i am number four

168
MULANYA KAMI BERSEMBILAN. Kami pergi saat masih muda, nyaris terlalu muda untuk mengingat. Nyaris. Katanya, saat itu tanah berguncang dan langit dipenuhi cahaya serta ledakan. Peristiwa itu terjadi kala kedua bulan saling berhadapan di cakrawala selama dua minggu. Itu adalah musim perayaan, dan awalnya ledakan itu disangka kembang api. Padahal bukan. Angin sepoi-sepoi yang hangat bertiup dari arah perairan. Aku selalu diberitahu bahwa waktu itu cuacanya hangat. Ada angin sepoi-sepoi. Aku tidak pernah mengerti kenapa itu penting. Yang aku ingat jelas pada hari itu hanyalah wajah nenekku. Dia kalut dan sedih. Dia menangis. Kakekku berdiri tepat di samping nenekku. Aku ingat bagaimana kacamatanya memantulkan cahaya dari langit. Ada pelukan. Ada kata-kata yang mereka ucapkan. Aku tidak ingat apa yang mereka katakan. Dan kenangan itu benar-benar menghantuiku. Perlu waktu satu tahun untuk sampai di sini. Aku berumur lima tahun saat kami tiba. Kami beradaptasi dengan tempat ini. Dan kelak, saat Lorien sudah bisa ditinggali lagi, kami akan kembali. Kami bersembilan harus berpencar dan menjalani hidup kami masing- masing. Entah berapa lama. Sampai sekarang kami masih tidak tahu. Mereka semua tidak tahu di mana aku berada. Aku juga tidak tahu di mana mereka, atau seperti apa tampang mereka sekarang. Ini cara kami melindungi diri. Semua sesuai dengan mantra pelindung yang diberikan saat kami pergi. Mantra pelindung itu menjamin bahwa kami hanya bisa dibunuh sesuai dengan nomor urut kami, asalkan kami tetap terpisah. Jika kami bertemu, mantra pelindung itu terpatahkan. Jika salah satu dari kami ditemukan dan dibunuh, akan muncul bekas luka berbentuk goresan di sekeliling pergelangan kanan kami yang masih hidup. Dan di pergelangan kaki kiri terdapat tanda melingkar kecil yang serupa dengan jimat yang kami semua kenakan. Tanda yang terbentuk saat kami dikenai mantra Loric. Goresan melingkar itu adalah bagian lain dari mantra pelindung. Suatu sistem peringatan sehingga kami tahu keadaan masing-masing, dan agar kami tahu kapan mereka akan memburu kami. Goresan luka pertama muncul saat aku masih sembilan tahun. Goresan itu membuatku terbangun, membakar dagingku. Saat itu kami tinggal di Arizona, sebuah kota kecil di perbatasan dekat Meksiko. Aku terbangun menjerit di tengah malam, kesakitan, ketakutan saat goresan itu membakar dagingku. Itu tanda pertama bahwa kaum Mogadorian telah menemukan kami di Bumi ini. Itu tanda pertama bahwa kami dalam bahaya. Sebelum goresan itu muncul, aku hampir meyakinkan diriku sendiri bahwa ingatanku salah, dan bahwa apa yang Henri katakan kepadaku hanyalah kebohongan. Aku ingin menjadi anak normal yang menjalani kehidupan normal. Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi, bahwa aku tidak normal. Kami pindah ke Minnesota keesokan harinya. Goresan kedua muncul saat aku berusia dua belas tahun. Saat itu aku berada di sekolah, di Colorado, menjadi salah satu peserta kompetisi mengeja. Begitu merasakan sakitnya, aku langsung tahu apa yang terjadi pada Nomor Dua. Sakitnya sangat menyiksa, tapi saat itu aku bisa menahannya. Aku ingin tetap berdiri di panggung, tapi panasnya membuat kaus kakiku terbakar. Guru yang memimpin acara itu menyemprotku dengan pemadam api dan membawaku ke rumah sakit. Dokter di UGD menemukan goresan pertama dan memanggil polisi. Saat Henri tiba, mereka mengancam untuk menahannya atas tuduhan penganiayaan anak. Tapi karena Henri tidak ada di dekatku saat goresan kedua muncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk

Upload: medhita

Post on 03-Oct-2015

96 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

novel

TRANSCRIPT

  • MULANYA KAMI BERSEMBILAN. Kami pergi saat masihmuda, nyaris terlalu muda untuk mengingat.Nyaris.Katanya, saat itu tanah berguncang dan langitdipenuhi cahaya serta ledakan. Peristiwa itu terjadikala kedua bulan saling berhadapan di cakrawalaselama dua minggu. Itu adalah musim perayaan, danawalnya ledakan itu disangka kembang api. Padahalbukan. Angin sepoi-sepoi yang hangat bertiup dariarah perairan. Aku selalu diberitahu bahwa waktu itucuacanya hangat. Ada angin sepoi-sepoi. Aku tidakpernah mengerti kenapa itu penting.Yang aku ingat jelas pada hari itu hanyalah wajahnenekku. Dia kalut dan sedih. Dia menangis. Kakekkuberdiri tepat di samping nenekku. Aku ingatbagaimana kacamatanya memantulkan cahaya darilangit. Ada pelukan. Ada kata-kata yang merekaucapkan. Aku tidak ingat apa yang mereka katakan.Dan kenangan itu benar-benar menghantuiku.Perlu waktu satu tahun untuk sampai di sini. Akuberumur lima tahun saat kami tiba. Kami beradaptasidengan tempat ini. Dan kelak, saat Lorien sudah bisaditinggali lagi, kami akan kembali. Kami bersembilanharus berpencar dan menjalani hidup kami masing-masing. Entah berapa lama. Sampai sekarang kamimasih tidak tahu. Mereka semua tidak tahu di manaaku berada. Aku juga tidak tahu di mana mereka,atau seperti apa tampang mereka sekarang. Ini carakami melindungi diri. Semua sesuai dengan mantrapelindung yang diberikan saat kami pergi. Mantrapelindung itu menjamin bahwa kami hanya bisadibunuh sesuai dengan nomor urut kami, asalkankami tetap terpisah. Jika kami bertemu, mantrapelindung itu terpatahkan.Jika salah satu dari kami ditemukan dan dibunuh,akan muncul bekas luka berbentuk goresan disekeliling pergelangan kanan kami yang masih hidup.Dan di pergelangan kaki kiri terdapat tanda melingkarkecil yang serupa dengan jimat yang kami semuakenakan. Tanda yang terbentuk saat kami dikenaimantra Loric. Goresan melingkar itu adalah bagian laindari mantra pelindung. Suatu sistem peringatansehingga kami tahu keadaan masing-masing, danagar kami tahu kapan mereka akan memburu kami.Goresan luka pertama muncul saat aku masihsembilan tahun. Goresan itu membuatku terbangun,membakar dagingku. Saat itu kami tinggal di Arizona,sebuah kota kecil di perbatasan dekat Meksiko. Akuterbangun menjerit di tengah malam, kesakitan,ketakutan saat goresan itu membakar dagingku. Itutanda pertama bahwa kaum Mogadorian telahmenemukan kami di Bumi ini. Itu tanda pertamabahwa kami dalam bahaya. Sebelum goresan itumuncul, aku hampir meyakinkan diriku sendiri bahwaingatanku salah, dan bahwa apa yang Henri katakankepadaku hanyalah kebohongan. Aku ingin menjadianak normal yang menjalani kehidupan normal.Namun kemudian aku tahu, tak disangsikan lagi,bahwa aku tidak normal. Kami pindah ke Minnesotakeesokan harinya.Goresan kedua muncul saat aku berusia dua belastahun. Saat itu aku berada di sekolah, di Colorado,menjadi salah satu peserta kompetisi mengeja. Begitumerasakan sakitnya, aku langsung tahu apa yangterjadi pada Nomor Dua. Sakitnya sangat menyiksa,tapi saat itu aku bisa menahannya. Aku ingin tetapberdiri di panggung, tapi panasnya membuat kauskakiku terbakar. Guru yang memimpin acara itumenyemprotku dengan pemadam api danmembawaku ke rumah sakit. Dokter di UGDmenemukan goresan pertama dan memanggil polisi.Saat Henri tiba, mereka mengancam untukmenahannya atas tuduhan penganiayaan anak. Tapikarena Henri tidak ada di dekatku saat goresan keduamuncul, mereka terpaksa melepasnya. Kami masuk

  • ke mobil dan pergi, kali ini ke Maine. Kamimeninggalkan semua benda yang kami miliki kecualiPeti Loric yang selalu Henri bawa saat pindah. Sudahdua puluh satu kali hingga kini.Goresan ketiga muncul sejam yang lalu. Aku sedangduduk di perahu ponton, milik orangtua anakterpopuler di sekolahku yang dia gunakan untukberpesta tanpa sepengetahuan orangtuanya. Akubelum pernah diundang ke pesta apa pun. Aku selalusendirian, karena aku tahu kami bisa pergi kapan pun.Tapi selama dua tahun ini tidak ada kejadian apa-apa.Henri tidak melihat apa pun di berita yang dapatmengarahkan para Mogadorian ke salah satu darikami, atau peristiwa apa pun yang patut membuatkami waspada. Jadi aku memiliki beberapa teman.Salah satu temanku memperkenalkanku kepada anakyang berpesta ini. Semua orang bertemu di dermaga.Ada tiga kotak pendingin berisi minuman, musik,gadis-gadis yang kutaksir dari kejauhan tapi belumpernah kuajak bicara walaupun sebenarnya aku mau.Kami bertolak dari dermaga dan berlayar sejauhdelapan ratus meter ke Teluk Meksiko. Saat itu akusedang duduk di tepi perahu ponton dengan kaki diair, bicara dengan seorang gadis manis bernama Tarayang berambut gelap dan bermata biru. Kemudianaku merasakannya. Air di sekitar kakiku mulaimenggelegak. Kakiku mulai berpijar saat goresan itumuncul. Simbol Lorien ketiga. Peringatan ketiga. Taramenjerit dan orang-orang mulai berkerumun disekitarku. Aku tahu aku tidak bisa menjelaskannya.Dan aku tahu kami harus pergi secepatnya.Keadaan semakin gawat. Mereka telah menemukanNomor Tiga, entah di mana dia berada. Dan NomorTiga sudah mati. Jadi aku menenangkan Tara,mencium pipinya, mengatakan bahwa aku senangbertemu dengannya, serta mendoakan agar iaberumur panjang dan hidup bahagia. Akumenceburkan diri di samping perahu dan mulaiberenang secepat yang aku bisa, di bawah airkecuali satu kali saat mengambil napashinggamencapai pantai. Aku berlari di tepi jalan besar, ditrotoar, dengan kecepatan yang sama dengan mobil.Saat tiba di rumah, Henri berada di antara berbagaipemindai dan monitor yang dia gunakan untukmemeriksa berita di seluruh dunia serta aktivitas polisidi lingkungan kami. Tanpa perlu kujelaskan, dialangsung tahu. Namun dia tetap menyingkap kakicelanaku yang basah untuk melihat bekas luka itu.Mulanya kami bersembilan.Tiga hilang, mati.Tinggallah kami berenam.Mereka memburu kami. Mereka tak akan berhentihingga selesai membunuh kami semua.Aku Nomor Empat.Berikutnya adalah giliranku.AKU BERDIRI DI HALAMAN DAN MENATAP KE ARAHrumah. Rumah panggung dari kayu, berdiri sekitar tigameter dari tanah, dengan cat warna merah mudacerah mirip hiasan kue. Sebuah pohon palemmelambai di depannya. Di bagian belakang terdapatsebuah dermaga sepanjang delapan belas metermengarah ke arah Teluk Meksiko. Jika rumah ituberdiri sekitar dua kilometer ke sebelah selatan,dermaga itu pasti ada di Samudra Atlantik.Henri berjalan keluar rumah sambil membawakardus-kardus terakhir, sebagian tidak pernah dibukasejak terakhir kali kami pindah. Ia mengunci pintu,lalu meninggalkan kuncinya di dalam lubang pos disamping pintu. Saat ini pukul dua pagi. Henri memakaicelana pendek cokelat muda dan kaus polo hitam.Kulitnya sangat kecokelatan, dengan wajah yangbelum dicukur dan tampak muram. Dia juga merasasedih karena harus pergi. Henri memasukkan kardusterakhir ke belakang truk, bersama dengan barang-

  • barang kami yang lain.Yang terakhir, katanya.Aku mengangguk. Kami berdiri dan menatap rumahitu sambil mendengar angin berdesir melewati daun-daun palem. Aku memegang sekantong seledri ditangan.Aku akan merindukan tempat ini, kataku. Lebih daritempat lainnya.Aku juga.Saatnya membakar?Ya. Kau mau melakukannya, atau kau mau aku yangmelakukannya?Biar aku saja.Henri mengeluarkan dompet dan melemparkannya ketanah. Aku mengeluarkan dompetku dan melakukanhal yang sama. Henri berjalan ke truk kami dankembali dengan paspor, akta kelahiran, kartu jaminansosial, buku cek, kartu kredit dan kartu bank, danmelemparkannya ke tanah. Semua dokumen dan hal-hal yang berkaitan dengan identitas kami ada di sini.Semuanya palsu. Aku mengambil kaleng bensin kecilyang kami simpan sebagai cadangan dari truk. Akumenyiramkan bensin ke tumpukan kecil itu. Namakusaat ini adalah Daniel Jones. Ceritanya aku besar diCalifornia dan pindah ke sini karena pekerjaanayahku, seorang pemrogram komputer. Sebentar lagiDaniel Jones hilang. Aku menyalakan korek api danmelemparkannya. Tumpukan itu mulai menyala.Sekali lagi, salah satu kehidupanku hilang. Sepertiyang biasa kami lakukan, Henri dan aku berdirimemandangi api itu. Dah, Daniel, pikirku, senangmengenalmu. Saat api padam, Henri menatapku.Kita harus pergi.Aku tahu.Kepulauan ini tidak aman. Sulit untuk pergi daritempat ini dengan cepat, sangat sulit untuk melarikandiri. Kita bodoh sekali datang kemari.Aku mengangguk. Dia benar, dan aku tahu itu. Tapiaku masih enggan pergi. Kami datang kemari karenakeinginanku. Dan untuk pertama kalinya, Henrimembiarkanku memilih tujuan kami. Kami tinggal disini selama sembilan bulan. Tempat yang paling lamakami tinggali sejak meninggalkan Lorien. Aku akanmerindukan matahari dan kehangatan tempat ini. Akuakan merindukan cecak yang menatap dari dindingsetiap pagi saat aku sarapan. Walaupun sebenarnyaada jutaan cecak di Florida selatan, aku beranibersumpah bahwa cecak yang satu ini mengikutikuke sekolah dan tampaknya selalu ada di mana punaku berada. Aku akan merindukan hujan badai yangseolah datang dari antah berantah. Aku akanmerindukan keheningan dan kedamaian di pagi harisebelum burung-burung laut tiba. Aku akanmerindukan lumba-lumba yang terkadang mencarimakan saat matahari tenggelam. Aku bahkan akanmerindukan bau belerang dari rumput laut yangmembusuk di tepi pantai, serta bagaimana bau itumemenuhi rumah dan menembus mimpi saat kamitidur.Singkirkan seledri itu. Aku tunggu di truk, kata Henri.Sudah waktunya.Aku masuk ke rerimbunan pohon di sebelah kanantruk. Di sana ada tiga ekor rusa Key, jenis rusa langkayang ad adi Florida, sedang menanti. Akumengeluarkan isi kantong seledri itu di kaki mereka,lalu berjongkok dan membelai rusa-rusa itu. Merekamembiarkanku karena sudah tidak gugup dengankehadiranku. Salah satu rusa mengangkat kepala danmemandangku. Mata hitam yang kosong menatapku.Rasanya rusa itu seperti menyampaikan sesuatukepadaku. Bulu kudukku meremang. Rusa itumenunduk dan melanjutkan makan.Selamat tinggal, teman-teman kecil, kataku.Kemudian aku berjalan ke arah truk dan naik.Melalui kaca spion, kami memandang rumah itu

  • mengecil. Akhirnya Henri berbelok ke jalan utama danrumah itu pun hilang. Ini hari Sabtu. Aku bertanya-tanya apa yang terjadi di pesta itu tanpa kehadiranku.Apa yang mereka katakan mengenai caraku pergi.Apa yang akan mereka katakan pada hari Senin saataku tidak ada di sekolah. Andai aku bisamengucapkan kata-kata perpisahan. Aku tidak akanpernah bertemu lagi dengan orang-orang yangkukenal di sini. Aku tidak akan pernah lagi berbicaradengan salah satu dari mereka. Dan mereka tidakakan pernah tahu apa aku ini atau mengapa akupergi. Setelah beberapa bulan, atau mungkinbeberapa minggu, mungkin tidak akan ada lagi yangmemikirkanku.Sebelum mencapai jalan raya, Henri menepi untukmengisi bensin. Saat ia mengisi bensin, aku melihatatlas yang Henri simpan di antara bangku pengemudidan bangku penumpang. Sejak tiba di planet ini, kamimemiliki atlas. Atlas itu sudah digambari dengan garisdari dan ke semua tempat yang pernah kami tinggali.Saat ini, ada banyak garis yang menyilangi seluruhAmerika Serikat. Kami tahu seharusnya kamimenyingkirkan atlas itu, tapi atlas ini adalah satu-satunya benda yang berisi sejarah hidup kami. Orangbiasa memiliki foto, video, dan jurnal atau bukuharian. Kami memiliki atlas. Aku mengambil atlas danmemandangnya. Henri telah membuat garis baru dariFlorida menuju Ohio. Ketika berpikir mengenai Ohio,aku memikirkan sapi dan jagung serta orang-orangyang baik. Aku tahu bahwa plat mobil Ohio yangbertuliskan THE HEART OF IT ALL PUSATSEGALANYA. Aku tidak tahu apa yang dimaksuddengan Segalanya, tapi kurasa sebentar lagi akuakan mengetahuinya.Henri kembali ke truk. Dia membeli beberapa kalengsoda dan sebungkus keripik. Dia keluar dari tempat itudan mengarahkan truk ke jalan U.S.1, yang akanmembawa kami ke arah utara. Ia meraih atlas.Kau pikir ada orang di Ohio? aku bercanda.Dia terkekeh. Kurasa ada beberapa. Dan mungkinnanti kita beruntung dan menemukan mobil serta TVjuga di sana.Aku mengangguk. Mungkin ini tidak seburuk yangkupikir.Menurutmu nama John Smith bagus nggak?tanyaku.Kau mau nama itu?Kurasa, jawabku. Aku belum pernah menggunakannama John, atau Smith.Tak ada nama yang lebih biasa daripada itu. Akuakan berkata senang bertemu denganmu, Mr. Smith.Aku tersenyum. Yeah, kurasa aku suka John Smith.Satu setengah kilometer kemudian kamimeninggalkan pulau dan menyeberang melintasijembatan. Air mengalir di bawah kami. Air tampaktenang. Sinar bulan memantul di atas gelombang airsehingga puncaknya tampak putih. Di sebelah kanansamudra. Di sebelah kiri teluk. Pada dasarnya ini airyang sama, tapi dengan dua nama berbeda. Akumerasa ingin menangis, tapi aku tidak menangis. Akubukan sedih karena meninggalkan Florida, tapi akubosan melarikan diri. Aku bosan memikirkan namabaru setiap enam bulan. Aku bosan dengan rumahbaru, sekolah baru. Aku bertanya-tanya kapanakhirnya kami bisa berhenti lari.KAMI BERHENTI UNTUK MEMBELI MAKANAN, bensin,dan ponsel baru. Kami berhenti di tempatpemberhentian truk. Di sana kami makan meatloaf,juga macaroni and cheese, salah satu dari sedikit halyang menurut Henri jauh lebih baik daripada apayang kami makan di Lorien. Saat kami makan, Henrimembuat dokumen-dokumen baru di laptopnya,menggunakan nama baru kami. Ia akan mencetakdokumen-dokumen itu begitu kami tiba. Lalu tiba-tiba

  • saja kami akan menjadi orang yang kami ciptakanitu.Kau yakin dengan John Smith? tanyanya.Yeah.Kau lahir di Tuscaloosa, Alabama.Aku tertawa. Kau dapat ide itu dari mana?Henri tersenyum dan member isyarat ke arah duaorang perempuan yang duduk beberapa meja darikami. Keduanya tampak seksi. Salah satunyamengenakan kaus bertuliskan WE DO IT BETTER INTUSCALOOSA.Dan itu tujuan kita berikutnya, kata Henri.Mungkin kedengaran aneh, tapi kuharap kita tinggaldi Ohio untuk waktu yang lama.Oh, ya? Kau suka Ohio?Aku suka dengan gagasan memiliki teman, pergi kesekolah yang sama selama lebih dari beberapa bulan,dan mungkin memiliki kehidupan yang sesungguhnya.Aku mulai melakukan itu di Florida. Rasanya hebat.Dan untuk pertama kalinya sejak kita tiba di Bumi,aku merasa hampir normal. Aku ingin menemukansatu tempat dan tinggal di tempat itu seterusnya.Henri tampak merenung. Apa kau sudah melihatgoresanmu hari ini?Belum, kenapa?Karena ini bukan tentang kau. Ini tentangkeselamatan hidup bangsa kita, yang hampirsepenuhnya lenyap. Dan ini tentang menjagamu agartetap hidup. Setiap kali salah satu dari kitamatisetiap kali salah satu dari kalian, para Garde,matikesempatan kita berkurang. Kau Nomor Empat.Kau yang berikutnya. Kau diburu oleh seluruh bangsapembunuh kejam. Kita pergi begitu ada pertandabahaya, tanpa banyak tanya.Henri menyetir sepanjang waktu. Selain saat istirahatdan membuat dokumen-dokumen baru, perjalanan itumemakan waktu tiga puluh jam. Aku menghabiskansebagian besar waktu dengan tidur atau bermainvideo game. Karena refleksku, aku bisa menguasaisebagian besar permainan itu dengan cepat. Palinglama, satu permainan kutaklukan dalam waktu satuhari. Aku paling suka permainan di ruang angkasa danperang melawan alien. Aku berpura-pura berada diLorien, melawan para Mogadorian, memotong-motongmereka, dan membuat mereka menjadi abu. Henripikir itu aneh dan dia selalu berusaha mengecilkanhatiku. Dia bilang kita seharusnya hidup di dunianyata, tempat perang dan kematian itu nyata, bukanpura-pura. Setelah menamatkan game terakhirku, akumenengadah. Aku bosan duduk di truk. Jam di dasbormenunjukkan 7:58. Aku menguap, menggosok mata.Masih jauh?Hampir sampai, kata Henri.Di luar gelap, tapi ada cahaya pucat di barat. Kamimelewati pertanian dengan kuda dan ternak, lalupadang tandus, dan setelah itu, hanya pepohonansejauh mata memandang. Ini tepat seperti yang Henriinginkan. Tempat yang sepi sehingga kami tidakmenarik perhatian. Seminggu sekali Henri menjelajahiInternet selama enam, tujuh, atau delapan jam untukmemperbaharui daftar rumah sewaan di negara iniyang memenuhi kriterianya: terasing, di pedesaan,dapat langsung ditempati. Katanya ia harusmenelepon empat kalisatu ke South Dakota, satu keNew Mexico, satu ke Arkansashingga akhirnyaberhasil mendapatkan rumah kontrakan di tempatyang kami tuju.Beberapa menit kemudian kami melihat sekumpulancahaya. Itu kota yang kami tuju. Kami melewatipapan tanda yang bertuliskan:SELAMAT DATANG DI PARADISE, OHIOJUMLAH PENDUDUK 5.234Wow, kataku. Tempat ini lebih kecil daripadatempat tinggal kita di Montana.Henri tersenyum. Menurutmu ini paradise

  • surgabagi siapa?Sapi, mungkin? Orang-orangan sawah?Kami melewati satu pom bensin tua, satu tempat cucimobil, dan satu tempat pemakaman. Lalu rumah-rumah mulai terlihat. Rumah-rumah terbuat dari kayudan berjarak sekitar sepuluh meter antara satudengan lainnya. Dekorasi Halloween tergantung dijendela sebagian besar dari rumah-rumah itu. Trotoarmembentang di depan pekarangan yang mengarahke pintu depan. Bundaran lalu lintas berada di tengahkota. Di bagian tengahnya berdiri sebuah patungorang yang sedang duduk di atas kuda sambilmemegang pedang. Henri berhenti. Kami memandangpatung itu dan tertawa. Kami tertawa karena kamiharap tidak ada orang lain dengan pedang yang akanmuncul di tempat ini. Henri kemudian menjalankanmobil mengitari bundaran itu. Saat kami melewatinya,sistem navigasi GPS di dasbor member tahu kamiuntuk berbelok. Kami mengarah ke barat, ke luarkota.Kami berkendara sejauh enam setengah kilometerlalu belok kiri memasuki jalan berkerikil. Kemudiankami melewati lading yang baru dipanenyangmungkin penuh dengan jagung pada musimpanasdan melintasi hutan lebat sejauh kira-kira satusetengah kilometer. Lalu kami menemukannya, dibalik tumbuhan lebat, sebuah kotak surat berwarnaperak yang sudah berkarat dengan huruf-huruf hitamdi salah satu sisinya dan berbunyi 17 OLD MILL RD.Rumah terdekat jaraknya 3 kilometer, kata Henrisambil berbelok masuk. Rumput liar tumbuh disepanjang jalan berkerikil, yang dipenuhi kubanganair berwarna kuning kecokelatan. Henri menghentikantruk dan mematikannya.Mobil siapa itu? tanyaku, menganggukkan kepala kearah SUV hitam di depan kami.Mungkin milik si agen properti.Rumah itu dinaungi pepohonan. Dalam kegelapan,rumah itu tampak mengerikan, seolah siapa pun yangdulu tinggal di sana ketakutan hingga pergi, ataudiusir, atau melarikan diri. Aku keluar dari truk. Mesinmasih berdetak dan aku bisa merasakan panasnya.Aku mengambil tas dari truk dan berdiri sambilmemegangnya.Bagaimana menurutmu? tanya Henri.Rumah itu hanya satu lantai. Terbuat dari kayu.Sebagian besar cat putihnya sudah mengelupas. Salahsatu jendela depan rusak. Atapnya ditutupi oleh siraphitam yang tampak bengkok dan rapuh. Kursi-kursireyot bergelimpangan di atas tiga anak tangga yangmengarah ke beranda kecil. Halaman depannyasendiri panjang dan tampak berantakan. Pasti sudahlama sejak terakhir kali rumput dipotong.Tampak seperti Paradise, kataku.Kami berjalan bersama. Lalu seorang wanita pirangseusia Henri dan berpakaian rapi keluar dari pintu. Diamengenakan setelan bisnis dan memegang papankecil serta map. Blackberry digantungkan di bagianpinggang roknya. Perempuan itu tersenyum.Mr. Smith?Ya, jawab Henri.Nama saya Annie Hart, agen dari Paradise Realty.Kita sudah bicara di telepon. Saya mencobamenghubungi Anda tadi, tapi tampaknya telepongenggam Anda dimatikan.Oh, benar. Baterainya habis dalam perjalanankemari.Ah, saya benci jika itu terjadi, kata perempuan itu.Dia berjalan ke arah kami dan menjabat tanganHenri. Perempuan itu menanyakan namaku dan akumemberitahunya, walaupun seperti biasanyasebenarnya aku tergoda untuk menjawab Empat.Saat Henri menandatangani kontrak, perempuan itubertanya berapa usiaku. Lalu dia mengatakan bahwadia memiliki seorang anak perempuan seusiaku yang

  • bersekolah di SMA di tempat itu. Perempuan itusangat ramah, bersahabat, dan jelas sangat sukamengobrol. Henri menyerahkan kontrak itu kembali.Kemudian kami bertiga masuk ke dalam rumah.Di dalam, sebagian besar perabotan ditutupi kainputih. Perabotan yang tidak ditutupi kain diselimutilapisan debu tebal dan serangga mati. Kain kasa dijendela tampak rapuh jika disentuh dan tembokrumah itu ditutupi oleh papan tripleks murah. Ada duakamar tidur, satu dapur berukuran sedang denganlantai keramik berwarna hijau limau, serta satu kamarmandi. Ruang tamunya besar dan berbentuk persegi,terletak di bagian depan rumah. Ada perapian diujung sana. Aku masuk dan melemparkan tasku keatas tempat tidur di kamar yang kecil. Di kamar ituada sebuah poster besar yang sudah pudar. Dalamposter itu tampak seorang pemain American footballdengan seragam oranye cerah. Ia sedangmelemparkan bola, dan tampaknya akan diremukkanoleh seorang lelaki raksasa berseragam hitam danemas. Tulisannya BERNIE KOSAR, QUARTERBACK,CLEVELAND BROWNS.Kemari dan ucapkan selamat jalan kepada Mrs. Hart,teriak Henri dari ruang tamu.Mrs. Hart berdiri di pintu bersama Henri. Dia berkatabahwa aku harus menemui anaknya di sekolah,mungkin kami bisa berteman. Aku tersenyum danberkata ya, itu pasti menyenangkan. Setelah Mrs. Hartpergi, kami langsung mengosongkan truk. Tergantungseberapa cepat kami meninggalkan suatu tempat,kami biasanya bepergian dengan tanpa membawabanyak barangmaksudnya hanya baju di badan,laptop Henri, dan Peti Loric berukir rumit yang selalukami bawa ke mana pun kami pergiatau denganmembawa sejumlah barangbiasanya komputercadangan dan peralatan Henri, yang dia gunakanuntuk membuat garis pertahanan dan mencari beritaserta peristiwa yang mungkin berkaitan dengan kamidi web. Kali ini kami membawa Peti Loric, duakomputer bertenaga besar, empat TV monitor, danempat kamera. Kami juga membawa sejumlahpakaian, walaupun pakaian kami di Florida hanyasedikit yang sesuai dengan kehidupan di Ohio. Henrimembawa Peti Loric ke kamarnya. Lalu kamimengangkut semua peralatan ke ruang bawah tanah.Henri akan memasangnya di sana sehingga tidakterlihat tamu. Setelah semua barang dimasukkan,Henri mulai memasang kamera dan menyalakanmonitor.Tidak ada saluran Internet sampai besok pagi. Tapijika kau mau pergi ke sekolah besok, aku bisamencetak semua dokumen barumu.Jika aku tinggal apakah itu artinya aku harusmembantumu membersihkan dan merapikan tempatini?Ya.Kalau begitu aku ke sekolah, kataku.Kalau begitu sebaiknya malam ini kau tidur yangnyenyak.IDENTITAS BARU LAGI, SEKOLAH BARU LAGI. Aku takingat sudah berapa banyak selama bertahun-tahun ini.Lima belas? Dua puluh? Selalu kota kecil, sekolahkecil, rutinitas yang sama. Anak baru menarikperhatian. Kadang aku mempertanyakan strategi kamidalam memilih kota kecil karena sulit, untuk tidakmenarik perhatian. Tapi aku tahu alasan Henri:mereka juga tidak mungkin tidak menarik perhatian.Sekolah baruku berjarak lima kilometer dari rumah.Henri mengantarku pada pagi hari. Sekolah itu lebihkecil daripada sekolah-sekolah lain yang pernahkumasuki. Penampilannya juga tidak mengesankan,hanya satu lantai, panjang, dan beratap rendah.Lukisan dinding berupa sosok seorang bajak lautsedang menggigit pisau menutupi tembok luar disamping pintu depan.

  • Jadi sekarang kau bajak laut? kata Henri darisampingku.Sepertinya, jawabku.Kau tahu apa yang harus kau lakukan, katanya.Ini bukan pertama kalinya aku jadi murid baru.Jangan tunjukkan bahwa kau pintar. Itu akanmembuat mereka membencimu.Tak akan.Jangan terlihat menonjol atau terlalu menarikperhatian.Sip, aku cuma seekor lalat di dinding.Dan jangan sakiti siapa pun. Kau jauh lebih kuatdaripada mereka.Aku tahu.Yang terpenting, selalu siap sedia. Siap untuk pergikapan saja. Apa isi ranselmu?Buah dan kacang keringan, cukup untuk lima hari.Kaus kaki ganti dan pakaian dalam hangat. Jas hujan.GPS genggam. Pisau berbentuk pena.Semua itu harus selalu kau bawa. Henri menariknapas panjang. Dan waspada terhadap segala tanda-tanda. Kekuatan Pusakamu bisa muncul kapan saja.Pokoknya kau harus menyembunyikannya danlangsung telepon aku.Aku tahu, Henri.Kapan saja, John, ulangnya. Jika jarimu mulaimenghilang, atau jika kau mulai melayang, atau jikabadanmu bergetar keras, atau jika kau kehilangankendali terhadap otot-ototmu atau mulai mendengarsuara-suara walaupun tidak ada orang yang berbicara.Apa pun itu, kau harus menelepon.Aku menepuk ransel. Ponselku di sini.Aku di sini saat sekolah bubar. Hati-hati, Nak,katanya.Aku tersenyum ke Henri. Henri berusia lima puluhtahun. Itu berarti dia empat puluh tahun saat kamitiba. Orang seusianya lebih sulit beradaptasi. Diamasih berbicara dengan aksen Loric yang kental dankarenanya sering disangka sebagai orang Prancis. Itualibi yang bagus. Jadi ia menamakan dirinya Henri,dan selalu menggunakan nama itu. Ia hanyamengganti nama belakangnya agar sama dengannama belakangku.Kupergi tuk taklukan sekolah, kataku.Baik-baik, ya.Aku berjalan menuju gedung sekolah. Sepertikebanyakan SMA, banyak anak yang nongkrong danberkerumun di luar. Mereka berkerumun sesuaidengan kelompok masing-masing. Para olahragawandan pemandu sorak, anak marching band dengan alatmusiknya, anak pintar berkacamata dengan bukupelajaran dan BlackBerry, serta para pecandu yangberkerumun di pinggiran, tak memedulikan sekitarnya.Seorang anak ceking berkacamata tebal berdirisendiri. Ia mengenakan kaus NASA hitam dan jins.Berat badannya pastilah tidak lebih dari lima puluhkilogram. Ia memiliki teleskop genggam dan sedangmengamati langit yang tertutup awan. Aku melihatseorang gadis yang sedang memotret, berjalan darisatu kelompok ke kelompok lain. Ia tampak sangatcantik dengan rambut pirang lurus panjang, kulitgading, tulang pipi tinggi, dan mata biru muda.Tampaknya semua orang mengenal gadis itu danmenyapanya. Tidak ada yang keberatan dipotretnya.Gadis itu melihatku, tersenyum, dan melambai. Akubertanya-tanya mengapa lalu menengok ke belakanguntuk melihat apa ada orang di belakangku. Ada. Duaorang anak yang sedang membahas PR matematika,tidak ada yang lain. Aku menoleh kembali. Gadis ituberjalan ke arahku, tersenyum. Aku belum pernahmelihat seorang gadis yang sangat cantik, apalagiberbicara dengan gadis seperti itu. Selain itu, belumpernah ada gadis cantik yang melambai dantersenyum kepadaku seolah kami berteman. Akulangsung merasa gugup. Mukaku memerah. Tapi aku

  • juga waspada, karena memang dilatih untukwaspada. Saat gadis itu berada di dekatku, diamengangkat kamera dan mulai memotret. Akumengangkat tangan menutupi wajah. Diamenurunkan kameranya dan tersenyum.Jangan malu, dong.Nggak. Cuma berusaha melindungi lensa kameramu.Wajahku bisa membuatnya pecah.Gadis itu tertawa. Bisa saja kalau kau cemberutseperti itu. Ayo senyum.Aku tersenyum, tipis. Aku sangat gugup sehinggamerasa seolah akan meledak. Aku bisa merasakanleherku panas dan tanganku menghangat.Itu bukan senyum betulan, goda gadis itu. Senyumitu harusnya memperlihatkan gigi.Aku tersenyum lebar dan dia memotret. Aku biasanyatidak mengizinkan siapa pun memotretku. Jika foto itumuncul di Internet, atau di surat kabar, aku akanmudah ditemukan. Hal seperti itu pernah terjadi duakali. Henri sangat marah, mengambil foto itu, danmenghancurkannya. Jika Henri tahu saat ini akudipotret, aku akan mendapat masalah besar. Tapi akutidak bisa apa-apagadis itu sangat cantik danmenawan. Saat si gadis memotret, seekor anjingberlari menghampiriku. Anjing jenis beagle dengantelinga terkulai berwarna kecokelatan, tungkai dandada berwarna putih, dan tubuh langsing berwarnahitam. Anjing itu kurus dan kotor. Tampaknya selamaini dia hidup sebatang kara. Si anjing menggosokkanbadannya di kakiku, mendengking, berusaha menarikperhatian. Si gadis merasa bahwa tingkahnya manisdan menyuruhku berlutut agar bisa memotretkubersama si anjing. Saat gadis itu mulai memotret,anjing itu mundur. Saat si gadis mencoba memotretlagi, anjing itu menjauh. Akhirnya si gadis menyerahdan memotretku lagi. Anjing itu duduk sekitar sepuluhmeter dari kami dan memandangi kami.Kau kenal anjing itu? tanya si gadis.Seumur-umur belum pernah melihatnya.Tampaknya anjing itu menyukaimu. Kau John, kan?Si gadis mengulurkan tangannya.Yeah, kataku. Kok tahu?Aku Sarah Hart. Ibuku agen properti. Dia bilangmungkin kau mulai bersekolah hari ini, dan aku harusbertemu denganmu. Kau satu-satunya anak baru yangmuncul hari ini.Aku tertawa. Yeah, aku sudah bertemu ibumu. Diabaik.Apa kau tak mau bersalaman denganku?Sarah masih mengulurkan tangannya. Aku tersenyumdan menjabat tangannya. Ini benar-benar perasaanterbaik yang pernah kurasakan.Wow, katanya.Apa?Tanganmu panas. Panas banget, sepertinya kau inidemam atau semacamnya.Kurasa tidak.Sarah melepaskan tanganku.Mungkin darahmu panas.Yeah, mungkin.Bel berdering di kejauhan. Sarah memberitahukubahwa itu bel peringatan. Kami memiliki waktu limamenit untuk masuk kelas. Kami berpisah dan akumenatapnya pergi. Sesaat kemudian, sesuatumengenai siku belakangku. Aku berbalik. Sekelompokpemain football, semuanya mengenakan jaket tim,berjalan ke arahku. Salah satu dari merekamemelototi dan memukulku dengan ranselnya saatlewat. Aku yakin dia sengaja maka kuikuti mereka.Aku tahu aku tidak akan melakukan apa pun,walaupun sebenarnya aku bisa. Aku hanya tidak sukapenindas. Lalu si anak berkaus NASA berjalanmenjajariku.Aku tahu kau anak baru, jadi aku kasih tahu, deh,katanya.

  • Apa? tanyaku.Itu Mark James. Bintang di sini. Ayahnya sheriff kota.Mark sendiri bintang tim football. Dulu dia mengencaniSarah, saat Sarah masih jadi cheerleader. Tapikemudian Sarah berhenti dari cheerleader danmencampakkan Mark. Mark belum bisamerelakannya. Jadi, sebaiknya kau jangan terlibat.Makasih.Anak itu bergegas pergi. Aku berjalan ke kantorkepala sekolah untuk mendaftar kelas dan mulaibelajar. Aku berbalik dan melihat si anjing masih disitu. Dia, masih duduk di tempat yang sama,menatapku.* * *Kepala sekolahku bernama Mr. Harris. Ia gemuk dankepalanya hampir botak, hanya ada sedikit rambutpanjang di bagian belakang dan samping kepalanya.Perutnya buncit. Matanya kecil dan bulat, hampirberdempetan. Dia menyeringai ke arahku dariseberang meja sehingga matanya tampak semakinkecil.Jadi di Santa Fe kamu itu kelas dua? tanyanya.Aku mengangguk dan menjawab ya, padahal kamibelum pernah ke Santa Fe, atau New Mexico.Kebohongan sederhana agar tetap tidak terlacak.Itu sebabnya kulitmu cokelat. Dan kenapa kau keOhio?Karena pekerjaan ayahku.Henri bukan ayahku, tapi aku selalu berkata begituagar tidak mencurigakan. Sebenarnya Henri ituPenjagaku, atau bahasa Buminya waliku. Di Lorienada dua jenis warga. Yang pertama adalah wargayang memiliki Pusaka, atau kekuatanyang banyaksekali macamnya, mulai dari kemampuan untukmenjadi tidak terlihat hingga kemampuan membacapikiran, atau kemampuan untuk terbang, hinggakemampuan mengendalikan kekuatan alam sepertiapi, angin, atau petir. Warga yang memiliki Pusakadisebut Garde. Yang kedua adalah warga yang tidakmemiliki kekuatan, mereka disebut Cpan atauPenjaga. Aku itu Garde. Henri itu Cpan. Cpanmembantu kami memahami sejarah planet dan jugabagaimana mengembangkan kekuatan kami. Cpandan Gardeyang satu bertugas menjalankan planet,sedangkan yang lain bertugas mempertahankanplanet.Mr. Harris mengangguk. Apa pekerjaan ayahmu?Ayahku penulis. Dia ingin tinggal di kota kecil yangsunyi untuk menyelesaikan tulisannya, jawabku, inicerita standar kami.Mr. Harris mengangguk dan mengedipkan mata.Tampaknya kau pemuda yang kuat. Apa kau inginikut tim olahraga di sini?Andai saja aku bisa. Aku punya asma, Pak,jawabku, ini alasan standarku agar terhindar darisituasi yang dapat mengungkapkan kekuatan dankecepatanku.Sayang sekali. Kami selalu mencari atlet untuk timfootball, kata Mr. Harris sambil melemparkanpandangan ke arah rak dinding. Di atas rak ituterdapat piala football yang bertuliskan tanggal padatahun lalu. Kami memenangi kejuaraan olahragaPioneer Conference, katanya dengan berseri-serikarena bangga.Dia meraih dan menarik dua lembar kertas dari lemariarsip di samping meja kerjanya lalu memberikankertas-kertas itu kepadaku. Kertas pertama berisidaftar pelajaranku dengan beberapa tempat kosong.Kertas kedua berisi daftar mata pelajaran pilihan yangbisa kupilih. Aku memilih sejumlah kelas danmemasukkannya ke dalam daftar pelajaranku.Kemudian aku mengembalikan kedua kertas itu. Mr.Harris memberikan semacam orientasi. Dia berbicarasangat panjang, membahas setiap halaman bukupanduan siswa hingga rincian terkecil. Bel berbunyi

  • satu kali, lalu satu kali lagi. Saat akhirnya selesai, Mr.Harris bertanya apakah aku memiliki pertanyaan. Akujawab tidak.Bagus. Masih ada setengah jam di jam pelajarankedua, dan kau sudah memilih kelas astronomidengan Mrs. Burton. Beliau guru yang hebat, salahsatu guru terbaik kami. Mrs. Burton pernahmemenangi penghargaan negara bagian,ditandatangani oleh gubernur sendiri.Hebat, kataku.Setelah Mr. Harris berjuang membebaskan diri darikursinya, kami meninggalkan kantor dan berjalanmenyusuri lorong. Sepatunya berbunyi di atas lantaiyang baru digosok. Udara dipenuhi bau cat segar danproduk pembersih. Loker-loker berjejer di dinding.Sebagian besar loker dihiasi spanduk dukungan bagitim football. Di seluruh bangunan sekolah ini pastihanya ada dua puluh ruang kelas atau malah kurang.Aku menghitungnya saat kami berjalan.Nah, kita sampai, kata Mr. Harris. Dia mengulurkantangan. Aku menjabat tangannya. Kami senangmenerimamu. Aku biasanya beranggapan kita semuaini keluarga dekat. Selamat datang.Terima kasih, kataku.Mr. Harris membuka pintu dan melongok ke dalamkelas. Saat itu aku merasa agak gugup dan ada rasapusing yang merayapiku. Kaki kananku gemetar. Didalam perutku seolah ada kupu-kupu. Aku tidakmengerti kenapa. Pastinya ini bukan karena sebentarlagi aku memasuki kelas pertamaku di sini. Aku sudahsangat sering melakukannya sehingga tidak merasagugup lagi. Aku menarik napas dalam dan mencobamenyingkirkan perasaan itu.Mrs. Burton, maaf mengganggu. Murid baru Anda adadi sini.Oh, bagus sekali! Silakan masuk, jawab Mrs. Burtonantusias.Mr. Harris membuka pintu dan aku masuk ke dalam.Kelas itu berbentuk persegi, kurang lebih berisi duapuluh lima orang yang duduk di meja persegiseukuran meja dapur, masing-masing tiga murid disetiap meja. Semua mata memandangku. Aku balasmemandang mereka sebelum menatap Mrs. Burton.Mrs. Burton berusia sekitar enam puluh tahun,mengenakan sweater wol merah muda dankacamata plastik berwarna merah rantai mengelilingilehernya. Dia tersenyum lebar. Rambut keritingnyamulai beruban. Telapak tanganku berkeringat danwajahku terasa panas. Kuharap wajahku tidak merah.Mr. Harris menutup pintu.Siapa namamu? tanya Mrs. Burton.Karena gugup aku hampir menjawab Daniel Jones.Aku menarik napas dalam dan berkata, John Smith.Bagus! Dan dari mana asalmu?Fl, aku mulai menjawab, tapi langsung berhenti.Santa Fe.Anak-anak, mari beri sambutan hangat untuknya.Semua orang bertepuk tangan. Mrs. Burtonmempersilakanku duduk di bangku kosong di tengahruangan di antara dua orang murid lain. Aku legakarena ia tidak bertanya lebih lanjut. Mrs. Burtonkembali ke mejanya. Aku berjalan menuju bangkuku,tepat ke arah Mark James yang duduk di sebuahmeja bersama Sarah Hart. Saat aku lewat, Markmenjulurkan kaki untuk menjegalku. Aku kehilangankeseimbangan, tapi tetap tegak. Ruangan dipenuhitawa terkekeh. Mrs. Burton berbalik.Ada apa? tanyanya.Aku tidak menjawab dan memelototi Mark. Setiapsekolah memiliki satu, si jagoan, si penindas, apa punsebutannya, tapi tidak ada yang menampakkanaslinya secepat ini. Rambut Mark hitam, penuh denganminyak rambut, dan ditata sedemikian rupa sehinggamencuat tegak ke segala penjuru. Dia juga memilikicambang yang dipangkas rapi di wajahnya. Alis tebal

  • di atas sepasang mata hitam. Dari jaket football-nyaaku tahu bahwa dia murid kelas tiga dan namanyatertera, di atas tulisan tahun, dengan huruf sambungyang disulam dengan benang emas. Kami salingmelotot. Seluruh kelas menyuarakan eranganmencemooh.Aku melihat tempat dudukku, tiga meja dari sana, lalumenatap Mark kembali. Aku benar-benar bisamematahkannya menjadi dua jika mau. Aku bisamelemparkannya ke negara bagian tetangga. Jika diamencoba kabur dengan naik mobil, aku bisa menyusulmobilnya dan melemparkannya ke atas pohon.Namun di samping keinginan berlebihan itu, kata-kataHenri bergema di benakku: Jangan terlihat menonjolatau terlalu menarik perhatian. Aku tahu bahwa akuharus mengikuti nasihat Henri dan mengabaikan apayang baru terjadi, seperti yang biasa kulakukan dimasa lalu. Kami pintar melakukan itu, berbaur denganlingkungan dan hidup di bawah baying-bayang. Tapiaku merasa agak kurang waspada dan gelisah.Sebelum sempat berpikir dua kali, aku sudahmelontarkan pertanyaan itu.Apa kau menginginkan sesuatu?Mark memalingkan muka dan memandang sekelilingruangan, beringsut di kursinya, lalu balas menatapku.Maksudmu? tanyanya.Kau menjulurkan kaki saat aku lewat. Dan kaumenubrukku di luar. Aku pikir kau mungkinmenginginkan sesuatu.Ada apa? tanya Mrs. Burton di belakangku. Akumenoleh ke belakang melihatnya.Tidak ada, kataku. Aku kembali menatap Mark.Jadi?Mark mencengkeram meja dengan kuat tapi tetapdiam. Mata kami saling terkunci sampai akhirnya diamendesah dan memalingkan muka.Sudah kuduga, kataku mengejek lalu berjalan kebangkuku. Murid-murid lain tidak tahu harus bereaksibagaimana. Sebagian besar dari mereka masihmenatapku saat aku duduk di antara gadis berambutmerah dengan wajah berbintik-bintik dan pemudakegemukan yang ternganga memandangku.Mrs. Burton berdiri di depan kelas. Dia tampak agakbingung, tapi langsung mengabaikannya. Setelah itudia menjelaskan mengapa ada cincin yangmengelilingi Saturnus dan bahwa cincin itu sebagianbesar terdiri atas debu dan partikel es. Setelahbeberapa saat, aku berhenti mendengarkan Mrs.Burton dan memandang murid-murid lain. Sekelompokorang baru. Seperti biasa, aku akan menjaga jarakdengan mereka. Aku hanya perlu berinteraksisecukupnya dengan mereka agar tetap misteriustanpa membuat diriku tampak aneh dan menonjol.Hari ini aku melakukannya dengan sangat buruk.Aku menarik napas dalam dan mengembuskannyapelan-pelan. Perutku masih terasa berdenyar-denyarseakan ada kupu-kupu beterbangan di dalam, dankakiku masih gemetaran mengganggu. Tangankuterasa lebih hangat. Mark James duduk tiga meja didepanku. Ia menoleh ke belakang sekali danmelihatku lalu membisikkan sesuatu ke telinga Sarah.Sarah menoleh ke belakang. Ia tampak tenang.Namun kenyataan bahwa Sarah pernah berkencandengan Mark dan sekarang duduk dengannyamembuatku bertanya-tanya. Sarah tersenyum hangatke arahku. Aku ingin balas tersenyum tapi yangkulakukan hanya diam. Mark berbisik sekali lagikepada Sarah, tapi Sarah menggelengkan kepalanyadan mendorong Mark menjauh. Pendengaranku jauhlebih baik daripada pendengaran manusia jika akumemusatkan perhatian. Namun aku begitu bingungmelihat senyuman Sarah sehingga tidak berusahamendengarkan kata-kata Mark. Andai tadi akumendengar apa yang Mark katakan.

  • Aku membuka dan menutup tanganku. Telapaktanganku berkeringat dan mulai memanas. Akumenarik napas dalam sekali lagi. Pandangankumengabur. Lima menit berlalu, kemudian sepuluh. Mrs.Burton masih berbicara tapi aku tidak mendengar apayang dia katakan. Aku mengepalkan tangan, lalumembukanya kembali. Lalu napasku tercekat. Adasinar yang keluar dari telapak tanganku. Akumemandangnya, heran, takjub. Setelah beberapasaat, sinar itu tampak semakin terang.Aku mengepalkan tangan. Awalnya aku takut adasesuatu yang terjadi pada salah satu dari kami. Tapiapa yang mungkin terjadi? Kami tidak bisa dibunuhsecara acak. Itu akibat mantra pelindung. Tapi apakahitu berarti mereka bisa disakiti dengan cara lain?Apakah tangan kanan seseorang dipotong? Aku tidakbisa mengetahuinya. Tapi jika sesuatu terjadi, akupasti merasakannya pada goresan di pergelangankakiku. Lalu aku sadar. Pasti ini kemunculan Pusakapertamaku.Aku mengeluarkan ponsel dari tas dan mengirimkanpesan berbunyi KESINN, padahal aku ingin mengetikKE SINI. Aku terlalu pusing untuk mengetikkan kata-kata lain. Aku mengepalkan tangan danmeletakkannya di pangkuan. Tanganku sangat panasdan gemetar. Aku membuka tanganku. Telapak kirikuberwarna merah terang, tangan kananku masihbersinar. Aku melirik jam di dinding. Sebentar lagikelas berakhir. Jika aku bisa keluar dari sini, aku bisamencari ruangan kosong dan menelepon Henri lalubertanya apa yang terjadi. Aku mulai menghitungdetik demi detik: enam puluh, lima sembilan, limadelapan. Rasanya seolah sesuatu akan meledak ditanganku. Aku berkonsentrasi menghitung. Empatpuluh, tiga sembilan. Sekarang tanganku terasa geliseolah jarum-jarum kecil ditusukkan ke dalam telapaktanganku. Dua delapan, dua tujuh. Aku membukamata dan menatap ke depan, memandangi Sarahsambil berharap itu akan membuat pikirankuteralihkan. Lima belas, empat belas. MemandangSarah malah membuatnya semakin parah. Sekarangjarum-jarum itu terasa seperti paku. Paku yangdiletakkan di atas kompor dan dipanaskan hinggaberpijar. Delapan, tujuh.Bel berbunyi. Aku langsung berdiri dan keluar kelas,bergegas melewati murid-murid lain. Aku merasapusing, kakiku goyah. Aku terus berjalan di lorong dantidak tahu harus ke mana. Aku bisa merasakanseseorang mengikutiku. Aku mengeluarkan jadwalpelajaran dari saku belakang dan mengecek nomorlokerku. Beruntung sekali, lokerku ada di kananku.Aku berhenti dan menyandarkan kepala di pintulogam lokerku. Aku menggelengkan kepala saat sadarbahwa tas dan ponselku tertinggal di kelas karenaterburu-buru keluar. Lalu seseorang mendorongku.Ada apa, Jagoan?Aku terdorong beberapa langkah lalu menatap balik.Mark berdiri di sana, tersenyum ke arahku.Ada masalah? tanyanya.Nggak, jawabku.Kepalaku berputar. Aku merasa seperti akan pingsan.Dan tanganku seakan terbakar. Apa pun yangkualami sekarang justru terjadi pada saat yang salah.Mark mendorongku lagi.Nggak begitu jago tanpa guru, ya?Kakiku terlalu goyah. Aku tersandung kakiku sendiridan jatuh. Sarah melangkah ke depan Mark.Jangan ganggu dia, katanya.Ini nggak ada hubungannya denganmu, kata Mark.Yang benar saja. Kau melihat anak baru bicaradenganku dan kau langsung berantem dengannya. Inisalah satu alasan kenapa kita putus.Aku berusaha berdiri. Sarah menunduk untukmembantuku. Begitu ia menyentuhku, tangankuterasa terbakar dan kepalaku seolah disambar petir.

  • Aku berbalik dan mulai berlari ke arah yangberlawanan dari kelas astronomi. Aku tahu semuaorang akan berpikir bahwa aku pengecut karenamelarikan diri, tapi aku merasa seperti akan pingsan.Aku akan berterima kasih kepada Sarah, danmengurus Mark, nanti. Sekarang aku hanya perlumencari ruangan dengan kunci di pintu.Aku tiba di ujung lorong, yang berpotongan denganpintu masuk utama sekolah. Aku mengingat orientasiMr. Harris, yang termasuk lokasi berbagai ruangan disekolah. Jika aku tidak salah ingat, auditorium,ruangan marching band, dan ruangan seni ada diujung lorong ini. Aku berlari menuju ruangan itusecepat yang kubisa. Di belakangku terdengar Markberteriak kepadaku, dan Sarah berteriak kepada Mark.Aku membuka pintu pertama yang kutemukan danmenutupnya. Untung ada kuncinya, yang langsungaku putar.Aku berada di kamar gelap. Pita negatif filmbergantungan. Aku jatuh ke lantai. Kepalaku berputardan tanganku terbakar. Sejak pertama kali melihatcahayanya, tanganku selalu kukepalkan. Akumemandang kedua tanganku. Tangan kananku masihberpijar dan berdenyut. Aku mulai panik.Aku duduk di lantai, keringat membakar mataku.Kedua tanganku terasa sakit luar biasa. Aku tahubahwa Pusakaku akan muncul. Namun aku tidak tahubahwa aku harus mengalami ini. Aku membukatanganku. Telapak kananku bersinar terang,cahayanya mulai mengumpul. Telapak kiriku berkelap-kelip redup dan panasnya tak tertahankan. Aku harapHenri di sini. Kuharap dia sedang ke sini.Aku menutup mata dan memeluk diriku. Aku berayunke depan dan ke belakang di lantai, seluruh tubuhkusakit. Aku tidak tahu berapa lama waktu berlalu. Satumenit? Sepuluh menit? Bel bordering, menandakanjam pelajaran berikut dimulai. Aku bisa mendengarorang berbicara di luar. Pintu bergetar beberapa kali.Namun pintu itu dikunci dan tidak ada yang bisamasuk ke dalam. Aku terus berayun dengan matadipejamkan rapat-rapat. Pintu terus diketuk. Suara-suara teredam yang tidak bisa kupahami. Akumembuka mata dan melihat pijaran di tangankumenyebabkan seluruh ruangan terang benderang. Akumengepalkan tangan, mencoba menghalangicahayanya, namun cahaya terus memancar dari sela-sela jariku. Lalu pintu itu mulai berguncang. Apa yangakan mereka pikirkan mengenai cahaya di tanganku?Tidak mungkin disembunyikan. Bagaimana akumenjelaskannya?John? Buka pintunyaini aku, terdengar sebuahsuara.Aku dibanjiri rasa lega. Suara Henri. Satu-satunyasuara di muka bumi yang ingin kudengar.AKUMERANGKAK KE PINTU DAN MEMBUKA KUNCINYA.Pintu berayun terbuka. Henri mengenakan pakaianberkebun dan berlumuran kotoran, tampaknya tadi iamembereskan bagian luar rumah. Aku begitu senangmelihatnya sehingga ingin meloncat dan memeluknya.Aku memang mencoba melakukan itu, tapi terlalupusing sehingga terjatuh kembali ke lantai.Semua baik-baik saja? tanya Mr. Harris yang berdiridi belakang Henri.Segalanya baik-baik saja. Tolong tinggalkan kamisebentar, jawab Henri.Apa perlu kupanggilkan ambulans?Tidak!Henri masuk ke kamar gelap dan menutup pintu. Iamenunduk memandang tanganku. Cahaya di tangankananku begitu terang sedangkan yang di tangankiriku berkelap-kelip redup seolah sedangmengumpulkan keberanian. Henri tersenyum lebar.Wajahnya bersinar bagai mercusuar.Ahh, terpujilah Lorien, desahnya. Lalu Henrimengeluarkan sarung tangan kulit untuk berkebun

  • dari saku belakangnya. Beruntung sekali aku tadisedang sibuk bekerja di halaman. Pakai ini.Aku memakai sarung tangan yang langsungmenyembunyikan cahaya dari tanganku. Mr. Harrismembuka pintu dan menjulurkan kepala ke dalam.Mr. Smith? Apa keadaan baik-baik saja?Ya, segalanya baik-baik saja. Beri kami waktu tigapuluh detik, jawab Henri, lalu kembali menatapku.Kepala sekolahmu suka ikut campur.Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya.Aku paham apa yang terjadi, tapi kenapa ini?Pusaka pertamamu.Iya, aku tahu. Tapi kenapa pakai cahaya?Nanti kita bahas di truk. Kau bisa jalan?Kurasa bisa.Henri membantuku berdiri. Aku goyah, masihgemetar. Aku mencengkeram lengannya untukbersandar.Aku harus mengambil tas sebelum kita pergi,kataku.Di mana?Kutinggalkan di kelas.Nomor berapa?Tujuh belas.Kita ke truk, setelah itu aku akan mengambilnya.Aku mengalungkan lengan kananku di atas bahuHenri. Henri menyokongku dengan mengalungkanlengan kirinya di pinggangku. Walaupun bel keduasudah berbunyi, aku masih bisa mendengar suaraorang-orang di lorong.Kau harus berjalan tegak dan senormal mungkin.Aku menarik napas dalam-dalam. Aku mencobamengumpulkan sisa kekuatanku untuk mengatasiperjalanan panjang keluar sekolah.Ayo, kataku.Aku menyeka keringat dari kening dan mengikutiHenri keluar dari kamar gelap. Mr. Harris masih berdiridi lorong.Asmanya kambuh, parah, kata Henri kepada Mr.Harris sambil berjalan melewatinya.Sekitar dua puluh orang masih berkerumun di lorong.Sebagian besar membawa kamera di leher, menantiagar bisa masuk ke dalam kamar gelap untuk kelasfotografi. Untungnya Sarah tidak ada di antaramereka. Aku berjalan semantap yang kubisa, satulangkah demi satu langkah. Pintu keluar sekolahmasih tiga puluh meter lagi. Berarti banyak sekalilangkah. Orang-orang berbisik.Dasar orang aneh.Apa dia sekolah di sini?Kuharap begitu, dia imut.Menurutmu ngapain dia di kamar gelap sampaimukanya merah begitu? celetuk seseorang dansemua tertawa. Seperti kami bisa menajamkanpendengaran, kami juga bisa menulikan diri, yangcukup membantu jika ingin berkonsentrasi saatkeadaan di sekeliling ribut dan kacau. Jadi akumenulikan diri dan berjalan pelan di belakang Henri.Satu langkah terasa bagai sepuluh langkah, tapiakhirnya kami sampai di pintu. Henri menahan pintuitu agar terbuka untukku. Aku berusaha berjalansendiri ke truknya, yang diparkir di depan. Selama duapuluh langkah terakhir, aku mengalungkan lengankudi bahu Henri lagi. Henri membuka pintu truk dan akuberingsut naik ke dalam.Kau bilang tujuh belas?Ya.Seharusnya kau terus membawanya. Kekeliruan kecilbisa berakhir pada kesalahan besar. Kita tidak bolehmelakukan kekeliruan sedikit pun.Aku tahu. Maaf.Henri menutup pintu dan berjalan kembali ke gedungsekolah. Aku duduk membungkuk dan mencobamemelankan napasku. Aku masih bisa merasakankeringat di keningku. Aku duduk tegak dan

  • menurunkan pelindung matahari agar bisa bercermin.Wajahku lebih merah daripada yang kukira, matakuagar berair. Tapi walaupun merasa sakit dan lelah,aku tersenyum. Akhirnya, pikirku. Setelah bertahun-tahun menanti, setelah bertahun-tahun hanyamengandalkan kepintaran dan bersembunyi sebagaipertahanan melawan Mogadorian, akhirnya Pusakapertamaku muncul. Henri keluar dari sekolah sambilmembawa tasku. Dia berjalan mengelilingi truk,membuka pintu, dan melemparkan tasku ke kursi.Terima kasih, kataku.Sama-sama.Setelah kami keluar dari halaman sekolah, akumelepaskan sarung tangan dan mengamati tanganku.Cahaya di tangan kananku mulai berkumpulmembentuk sorotan seperti senter, hanya saja lebihterang. Rasa panasnya mulai berkurang. Tangan kirikumasih berkelap-kelip redup.Sebaiknya pakai sarung tangan itu sampai kita tibadi rumah, kata Henri.Aku memasang sarung tangan kembali dan menatapHenri. Ia tersenyum bangga.Penantian yang lama, katanya.Ha? tanyaku.Henri balas menatapku. Benar-benar penantian yanglama banget, katanya lagi. Menunggu kemunculanPusakamu.Aku tertawa. Dari segala hal yang Henri pelajari dankuasai selama ini di Bumi, kata-kata semacam itubukan salah satunya.Penantian yang sangat lama, aku membetulkannya.Yeah, tadi aku bilang itu.Henri berbelok ke jalan yang menuju rumah kami.Jadi, selanjutnya apa? Apa ini berarti aku bisamenembakkan laser dari tanganku atau apa?Henri menyeringai. Pasti bagus sekali kalau begitu,tapi bukan itu.Lalu apa yang harus kulakukan dengan cahaya?Kalau aku dikejar, apakah aku harus berbalik danmenyorotkan cahaya ke mata mereka? Memangnyaitu bakal bikin mereka takut padaku atausemacamnya?Sabar, kata Henri. Kau belum bisa memahaminya.Tunggu sampai kita di rumah.Lalu aku teringat sesuatu yang hampir membuatkuterlonjak dari tempat duduk.Apa ini berarti kita akhirnya bisa membuka Peti itu?Henri mengangguk dan tersenyum. Segera.Keren! kataku. Peti kayu dengan ukiran rumit itumenghantuiku seumur hidup. Peti itu adalah sebuahkotak yang tampak rapuh, dengan simbol Loric di sisi-sisinya. Dan Henri selalu merahasiakannya. Dia tidakpernah memberitahuku apa yang ada di dalam petiitu. Peti itu juga tidak mungkin dibuka, aku tahukarena sudah berkali-kali mencoba, tentunya tanpahasil. Peti itu dikunci menggunakan gembok yangtidak memiliki lubang kunci.Saat kami tiba di rumah, aku langsung tahu bahwatadi Henri sibuk bekerja. Tiga kursi di beranda depansudah disingkirkan dan semua jendela sudah dibuka.Di dalam, kain penutup perabotan sudah disingkirkandan sebagian perabotan malah sudah dibersihkan.Aku meletakkan tas di atas meja di ruang tamu danmembukanya. Gelombang frustrasi menyapuku.Sialan, kataku.Apa?Ponselku hilang.Di mana?Pagi ini aku cekcok sedikit dengan anak bernamaMark James. Mungkin dia yang ambil.John, kau baru satu setengah jam di sekolah. Kokbisa-bisanya kau sudah cekcok dengan orang?Harusnya kau tahu apa yang kau lakukan.Namanya juga SMA. Aku anak baru. Gampang.Henri mengeluarkan telepon genggamnya dari saku

  • dan memutar nomorku. Lalu ia menutup telepongenggamnya.Dimatikan, katanya.Pastinya.Henri memelototiku. Apa yang terjadi? tanyanyadengan nada yang kukenal. Henri biasa menggunakannada seperti itu saat merenungkan langkahselanjutnya.Tak ada. Hanya perselisihan kecil. Mungkin ponselkuterjatuh saat aku memasukkannya ke tas, kataku,walaupun aku tahu kejadiannya bukan begitu. Akusedang tidak bisa berpikir jernih. Mungkin aku bisamenemukannya di bagian barang hilang.Henri memandang berkeliling rumah dan mendesah.Apa ada yang melihat tanganmu?Aku menatap Henri. Matanya merah, lebih merahdaripada saat mengantarku ke sekolah tadi pagi.Rambutnya berantakan. Dia juga tampak loyo seolahbakal pingsan kapan saja karena lelah. Terakhir kaliHenri tidur saat di Florida, dua hari lalu. Aku tidak tahumengapa dia masih bisa berdiri.Tak ada.Kau di sekolah selama satu setengah jam. Pusakapertamamu muncul, kau hampir berkelahi, dan kaumeninggalkan tas di kelas. Itu nggak bisa disebutberbaur.Bukan apa-apa. Jelas bukan masalah yang cukupbesar sehingga kita harus pindah ke Idaho, atauKansas, atau ke mana pun.Henri menyipitkan mata dan merenungkan apa yangbaru dia saksikan. Dia berusaha memutuskan apakahkesalahan itu cukup besar sehingga kami harus pergi.Ini bukan saatnya bertindak ceroboh, katanya.Tiap hari perbedaan pendapat selalu terjadi disekolah mana pun. Aku jamin mereka tidak akanmelacak kita hanya karena seorang murid sok jagomenindas murid baru.Tangan si murid baru tidak menyala di setiapsekolah.Aku mendesah. Henri, kau tampak lelah setengahmati. Tidurlah. Kita putuskan nanti setelah kaubangun.Banyak yang harus kita bicarakan.Aku belum pernah melihat kau selelah ini. Tidurlahbeberapa jam. Nanti kita bicara.Henri mengangguk. Tidur mungkin bagus bagiku.* * *Henri pergi ke kamarnya dan menutup pintu. Akuberjalan keluar dan mondar-mandir di halamansebentar. Matahari ada di balik pepohonan dan anginsegar bertiup pelan. Tanganku masih ditutupi sarungtangan. Aku melepaskan sarung tangan danmemasukkannya ke saku belakangku. Tangankumasih sama seperti sebelumnya. Sebenarnya, hanyasebagian diriku yang senang karena Pusakapertamaku akhirnya muncul setelah bertahun-tahunmenanti dengan tidak sabar. Sebagian diriku yang lainmerasa hancur. Kepindahan kami yang terlalu seringmembuatku lelah. Dan sekarang tidak mungkin untukberbaur atau tinggal di satu tempat selama beberapawaktu. Aku tidak mungkin memiliki teman atausetidaknya merasa berhasil menyesuaikan diri. Akumuak dengan nama-nama palsu dan berbagaikebohongan. Aku muak selalu menengok ke belakanguntuk melihat apakah aku dibuntuti.Aku meraih ke bawah dan merasakan tiga goresan dipergelangan kaki kananku. Tiga lingkaran mewakilitiga yang mati. Kami terikat satu sama lain bukanhanya karena kami satu bangsa, tapi lebih dari itu.Saat meraba goresan di pergelangan kakiku, akumencoba membayangkan siapa mereka, lelaki atauperempuan, di mana mereka tinggal, berapa usiamereka saat mereka meninggal. Aku mencobamengingat anak-anak lain yang saat itu satu pesawatdenganku, dan memberi mereka nomor. Aku berpikir

  • seperti apa rasanya bertemu dan bergaul denganmereka. Seperti apa rasanya jika kami semua masihdi Lorien. Seperti apa rasanya jika nasib seluruhbangsa kami tidak digantungkan pada keselamatankami yang hanya sedikit ini. Seperti apa rasanya jikakami semua tidak menghadapi musuh yang berniatmenghabisi kami.Mengerikan rasanya mengetahui bahwa akulah yangberikut. Tapi kami selalu berada di depan merekakarena kami selalu pindah, melarikan diri. Walaupunaku muak dengan pelarian ini, tapi aku tahu bahwaitulah alasan mengapa kami masih tetap hidup. Jikakami berhenti, mereka akan menemukan kami. Dankarena berikutnya giliranku, pasti merekamempercepat pencarian. Mereka pasti tahu bahwakami semakin kuat, bahwa Pusaka kami telahmuncul.Dan di pergelangan kaki satunya ada bekas luka lain.Bekas luka penanda saat kami dimantrai denganmantra pelindung Loric secara tergesa-gesa sebelummeninggalkan Lorien. Cap yang mengikat kamisemua.AKU MASUK LALU BERBARING DI ATAS KASUR dikamarku. Peristiwa pagi tadi membuatku lelah. Akumembiarkan mataku menutup. Saat aku membukamata kembali, matahari sudah pindah ke ataspepohonan. Aku keluar dari kamar. Henri duduk dimeja dapur dengan laptop terbuka. Aku tahu diasedang memeriksa berita-berita, seperti biasanya,mencari informasi atau cerita yang bisa memberipetunjuk mengenai keberadaan yang lain.Bisa tidur? tanyaku.Hanya sebentar. Internet sudah bisa digunakan danaku belum memeriksa berita sejak di Florida. Itumenggangguku.Ada yang penting? tanyaku.Henri mengangkat bahu. Seorang bocah empat belastahun di Afrika jatuh dari jendela lantai empat dantak terluka sedikit pun. Ada bocah lima belas tahun diBangladesh yang mengaku sebagai sang Messiah.Aku tertawa. Aku yakin yang lima belas tahun itubukan orang kita. Ada yang lain?Tak ada. Selamat setelah jatuh dari lantai empatbukan hal luar biasa. Lagi pula, jika itu salah satu darikita, pasti mereka tidak seceroboh itu, katanyasambil mengedipkan mata.Aku tersenyum dan duduk di depan Henri. Ia menutupkomputernya dan meletakkan tangan di meja. Jamtangannya menunjukkan pukul 11:36. Kami di Ohiobaru setengah hari dan sudah begitu banyak yangterjadi. Aku mengangkat telapak tanganku. Keduanyalebih redup dibandingkan terakhir kali aku melihatnya.Kau tahu apa yang kau miliki? tanya Henri.Sinar di tanganku.Henri terkekeh. Namanya Lumen. Kau pasti bisamengontrol cahaya itu sebentar lagi.Kuharap begitu, karena penyamaran kita akanterbongkar jika cahaya ini tidak segera padam. Tapiaku masih tak tahu apa gunanya.Lumen itu lebih daripada sekadar cahaya. Dijamin.Jadi yang lain apa?Henri berjalan ke kamarnya dan kembali sambilmembawa pemantik.Kau ingat kakek dan nenekmu? tanyanya. Kakekdan nenek adalah orang yang membesarkan kami.Kami jarang sekali bertemu orangtua kami hinggaberusia dua puluh lima tahun, saat kami telahmemiliki anak sendiri. Angka harapan hidup para Loricadalah sekitar dua ratus tahun, jauh lebih lamadaripada manusia. Lalu saat anak-anak lahir, biasanyasaat orangtua mereka berusia dua puluh lima dan tigapuluh lima, para sepuh atau kakek neneklah yangmembesarkan anak-anak itu. Sementara itu, paraorangtua terus mengasah Pusaka mereka.

  • Sedikit. Kenapa?Karena kakekmu memiliki Pusaka yang sama.Aku tidak ingat tangannya pernah bersinar, kataku.Henri mengangkat bahu. Mungkin tidak ada alasanuntuk menggunakannya.Luar biasa, kataku sinis. Kedengarannya ini Pusakayang luar biasa untuk dimiliki. Pusaka yang tidak akanpernah kugunakan.Henri menggelengkan kepalanya. Kemarikantanganmu.Aku memberikan tangan kananku. Henri menyalakanpemantik dan menggerakkannya hingga apimenyentuh jariku. Aku langsung menarik tanganku.Apa yang kau lakukan?Percayalah kepadaku, katanya.Aku memberikan tanganku kembali kepada Henri.Henri menahan tanganku dan menyalakan pemantiklagi. Ia menatap mataku. Lalu ia tersenyum. Akumemandang ke bawah dan melihat lidah api di ujungjari tengahku. Aku tidak merasakan apa pun. Namunnaluriku menyebabkan aku menyentakkan tangandan menariknya. Aku menggosok jariku. Rasanyatidak berbeda.Kau merasakannya? tanya Henri.Nggak.Kemarikan tanganmu, kata Henri. Dan beritahu akujika kau merasakan sesuatu.Dia mulai dari ujung jariku lagi lalu menggerakkan apidengan sangat pelan ke punggung tanganku. Akumerasa agak geli di tempat lidah api itu menyentuhkulitku, hanya itu. Namun saat api itu mencapaipergelangan tangan, aku mulai merasa terbakar. Akumenarik tanganku.Aw!Lumen, kata Henri. Kau akan menjadi tahan apidan panas. Tanganmu sudah tahan api secara alami,tapi kita harus melatih bagian tubuhmu yang lain.Senyum melebar di wajahku. Tahan api dan panas,kataku. Jadi aku nggak akan bisa terbakar?Nantinya, ya.Keren!Bukan Pusaka yang buruk, kan?Jelas, aku setuju. Lalu bagaimana dengan sinar ini?Apa sinar ini bakal padam?Pasti. Mungkin setelah tidur malam yang nyenyak,saat kau lupa bahwa tanganmu bersinar, jawabHenri. Tapi sementara waktu kau harus hati-hati agartidak terlalu emosi. Ketidakseimbangan emosi akanmenyebabkan tanganmu bersinar lagi, misalnya jikakau terlalu gugup, marah, atau sedih.Berapa lama?Sampai kau belajar mengendalikannya. Henrimenutup mata dan menggosok wajah dengan keduatangan. Ngomong-ngomong, aku mau coba tidur lagi.Kita akan membahas latihanmu beberapa jam lagi.Setelah Henri pergi aku tinggal di meja dapur,membuka dan menutup tangan, menarik napasdalam-dalam dan mencoba menenangkan semuaperasaanku agar cahaya itu meredup. Tentu saja tidakberhasil.Seisi rumah masih berantakan, kecuali di beberapabagian yang Henri bereskan saat aku di sekolah. Akutahu bahwa Henri lebih suka untuk pergi, tapi diamasih bisa dibujuk untuk tinggal. Mungkin jika diabangun dan mendapati rumah bersih dan rapi, diasetuju jika kami tinggal.Aku mulai membereskan kamarku. Akumembersihkan debu, mengelap jendela, menyapulantai. Saat semuanya bersih, aku memasang seprailalu meletakkan bantal dan selimut di tempat tidur.Setelah itu aku menggantung dan melipat pakaianku.Lemari pakaianku tua dan rapuh, tapi aku tetapmemasukkan barang ke dalamnya. Setelah itu, akumeletakkan beberapa buku milikku di atasnya. Danbereslah. Kamar sudah bersih. Semua barang yang

  • kumiliki sudah disimpan rapi.Aku pergi ke dapur, menyingkirkan piring danmengelap konter. Setidaknya ada yang kulakukansehingga bisa melupakan tanganku, walaupun saatbersih-bersih itu aku memikirkan Mark James. Untukpertama kalinya aku berani melawan orang. Akuselalu ingin melakukan itu. Namun aku tidak pernahmelakukannya karena ingin menuruti nasihat Henriuntuk tidak menarik perhatian. Aku selalu mencobamenunda tindakan lain sebisa mungkin. Tapi hari inibeda. Ada rasa puas saat balas mendorong ketika adaorang yang mendorong kita. Lalu ada masalah denganponselku, yang dicuri. Tentu saja kami bisamendapatkan yang baru dengan mudah, tapi di manaletak keadilan kalau aku membiarkan ponselkudiambil begitu saja?AKU BANGUN SEBELUM ALARMBERBUNYI. RUMAH terasa dingin dan sepi. Akumengeluarkan tangan dari bawah selimut. Keduanyatampak normal, tidak ada sinar, tidak ada cahaya.Aku turun dari tempat tidur dan berjalan ke ruangtamu. Henri ada di meja dapur, membaca surat kabarlokal sambil minum kopi.Pagi, katanya. Bagaimana perasaanmu?Luar biasa, jawabku.Aku menyiapkan semangkuk sereal dan duduk didepannya.Apa rencanamu hari ini? tanyaku.Mengurus rumah. Uang kita menipis. Aku berniatuntuk mengambil uang dari bank.Lorien adalah (atau dulunya, tergantung bagaimanakau memandangnya) sebuah planet yang kaya akansumber daya alam. Salah satu sumber daya alamnyaadalah permata dan logam berharga. Saat kami pergi,setiap Cpan mendapatkan satu karung penuh intan,zamrud, dan batu mirah delima untuk dijual saat tibadi Bumi. Henri menjual permata-permata itu danmenyimpan uangnya dalam sebuah rekening bank diluar negeri. Aku tidak tahu berapa jumlahnya danjuga tidak pernah bertanya. Tapi aku tahu jumlahnyacukup untuk menyokong hidup kami paling tidaksampai sepuluh turunan. Henri mengambil uang daribank setidak-tidaknya setahun sekali.Tapi entahlah, lanjutnya. Aku tak ingin beradaterlalu jauh kalau-kalau terjadi sesuatu hari ini.Karena tidak ingin memperbesar masalah kemarin,aku menepis keraguannya. Aku akan baik-baik saja.Pergilah.Aku memandang ke luar jendela. Fajar merekah,menyirami segala hal dengan cahaya pucat. Truk kamidiselimuti embun. Sudah lama kami tidak mengalamimusim dingin. Aku bahkan tidak memiliki jaket dansebagian besar sweater-ku sudah kekecilan.Sepertinya dingin, kataku. Mungkin kita bisa pergimembeli pakaian dalam waktu dekat.Henri mengangguk. Aku berpikir tentang itusemalam. Itu sebabnya mengapa aku perlu ke bank.Pergilah, kataku. Hari ini tidak akan terjadi apa-apa.Aku menghabiskan serealku, memasukkan mangkukke bak cuci piring, lalu mandi. Sepuluh menitkemudian aku sudah berpakaian, celana jins dan kaushangat hitam dengan lengan digulung hingga siku.Aku menatap cermin lalu menunduk memandangtanganku. Aku merasa tenang. Sebaiknya tetapbegitu.Dalam perjalanan ke sekolah, Henri memberikansepasang sarung tangan kepadaku.Pastikan kau menyimpan ini sepanjang waktu. Kitatak pernah tahu.Aku memasukkan sarung tangan itu ke sakubelakang.Rasanya aku tak memerlukan sarung tangan. Akumerasa cukup baik.Saat tiba di sekolah, ada barisan bus di depan kami.Henri menepi di samping gedung sekolah.

  • Aku tak suka kau tak punya ponsel, katanya.Banyak hal buruk yang bisa terjadi.Jangan khawatir. Ponselku bakal kembali.Henri mendesah dan menggelengkan kepala. Janganmelakukan hal bodoh. Aku tunggu di sini seusaisekolah.Tak akan, jawabku. Lalu aku keluar dari truk. Henripergi.Di dalam, lorong dipenuhi berbagai kegiatan. Paramurid mondar-mandir di dekat loker, mengobrol,tertawa. Sebagian kecil melihatku dan berbisik. Akutidak tahu apakah itu karena hampir berkelahi ataukarena kejadian di kamar gelap. Tampaknya merekaberbisik-bisik mengenai keduanya. Ini sekolah kecil. Disekolah kecil semua orang tahu segalanya.Saat tiba di pintu masuk utama, aku berbelok danmembuka lokerku. Kosong. Aku punya waktu limabelas menit sebelum pelajaran musik untuk kelas duadimulai. Aku berjalan ke kelas itu, untuk memastikanletaknya, lalu pergi ke kantor sekolah. Sang sekretaristersenyum saat aku masuk.Hai, kataku. Aku kehilangan ponsel kemarin.Apakah ada yang melapor ke penitipan baranghilang?Ia menggelengkan kepala. Maaf, tapi rasanya takada ponsel yang diserahkan kemari.Terima kasih, kataku.Saat kembali ke lorong, aku tidak melihat Mark. Akumemilih satu arah lalu berjalan ke arah itu. Orang-orang masih memandang dan berbisik, tapi aku tidakpeduli. Aku melihat Mark lima belas meter di depanku.Aku merasakan adrenalin menyerbu. Aku menundukmemandang tanganku. Normal. Aku khawatirtanganku menyala, dan rasa khawatir itu mungkinbisa membuat tanganku menyala.Mark sedang bersandar di sebuah loker dengantangan bersilang di dada, di tengah sekelompok anak,lima laki-laki dan dua perempuan. Mereka semuamengobrol dan tertawa. Sarah duduk di ambangjendela sekitar lima meter dari situ. Sarah tampakberbinar hari itu, dengan rambut pirang diekor kudaserta rok dan sweater abu-abu. Ia sedang membacabuku. Namun Sarah menengadah saat aku berjalanke arah Mark dan teman-temannya.Aku berhenti tepat di luar kerumunan itu, menatapMark, dan menunggu. Dia baru menyadarikehadiranku setelah lima detik.Mau apa kau? tanyanya.Kau tahu aku mau apa.Mata kami saling terkunci. Kerumunan di sekitar kamimembengkak menjadi sepuluh orang, lalu dua puluh.Sarah berdiri dan berjalan ke tepi kerumunan. Markmengenakan jaket football-nya. Rambut hitamnyaditata dengan saksama sehingga ia tampak sepertilangsung berpakaian begitu bangun tidur.Mark menjauhi loker dan berjalan ke arahku. Saatjarak kami tinggal beberapa senti lagi, dia berhenti.Dada kami hampir bersentuhan dan aroma cologne-nya yang tajam memenuhi rongga hidungku.Tingginya mungkin sekitar 185 sentimeter, beberapasenti lebih tinggi dariku. Besar tubuh kami sama. Tapidia tidak tahu bahwa kemampuanku berbeda dengankemampuannya. Aku lebih cepat dan juga jauh lebihkuat daripada Mark. Pikiran itu menyebabkan seringaipercaya diri muncul di wajahku.Menurutmu hari ini kau bisa tinggal di sekolah sedikitlebih lama? Atau kau bakal kabur lagi seperti seorangpengecut?Kerumunan itu terkekeh.Kita lihat saja nanti.Yeah, kita lihat saja nanti, katanya sambil bergeraksemakin mendekatiku.Kembalikan ponselku, kataku.Aku tidak menyimpan ponselmu.Aku menggelengkan kepala. Ada dua orang yang

  • melihat kau mengambilnya, aku berbohong.Dari caranya mengerutkan dahi, aku tahu bahwatebakanku benar.Yeah, dan kalau memang iya? Kau mau apa?Sekarang mungkin ada tiga puluh orang yangmengelilingi kami. Aku yakin dalam sepuluh menitjam pelajaran pertama seluruh sekolah akan tahu apayang terjadi.Ini peringatan buatmu, kataku. Waktumu hanyahingga akhir hari ini.Aku berbalik dan pergi.Atau apa? teriak Mark di belakangku. Aku tidakmenanggapinya. Biarkan ia memikirkan jawabannya.Tanganku terkepal dan aku sadar bahwa sebenarnyaaku gugup, bukan marah. Kenapa aku begitu gugup?Karena situasi yang tidak dapat diramalkan?Kenyataan bahwa ini pertama kalinya akumengonfrontasi orang lain? Takut tangankubercahaya? Mungkin ketiganya.Aku pergi ke kamar mandi, masuk ke toilet kosong,dan mengunci pintu di belakangku. Kubuka telapaktanganku. Tangan kananku sedikit bersinar. Akumenutup mata dan mendesah, memusatkan perhatianuntuk bernapas dengan pelan. Semenit kemudiansinar itu masih ada di sana. Aku menggelengkankepala. Tidak kusangka Pusaka bisa begitu sensitif.Aku diam di dalam toilet. Keningku berkeringat. Keduatanganku hangat, tapi untungnya tangan kiriku masihnormal. Orang-orang berseliweran di kamar mandi.Aku tetap di dalam toilet, menunggu. Tangan kanankumasih bersinar. Akhirnya bel pelajaran pertamaberbunyi dan kamar mandi itu kosong.Aku menggelengkan kepala muak dan menerimanasib. Aku tidak memiliki ponsel dan Henri ke bank.Aku sendirian dengan kebodohanku dan tidakmemiliki orang lain untuk disalahkan kecuali dirikusendiri. Aku mengeluarkan sarung tangan dari sakubelakang lalu mengenakannya. Sarung tanganberkebun dari kulit. Aku tampak bodoh sekali sepertijika aku memakai sepatu badut dan celana kuning.Percuma berusaha berbaur. Aku sadar bahwa akuharus berhenti mengurusi Mark. Dia menang. Diaboleh memiliki ponselku. Henri dan aku akan membeliyang baru malam ini.Aku keluar dari kamar mandi dan berjalan menyusurilorong kosong menuju kelasku. Semua orangmenatapku saat aku masuk, lalu ke arah sarungtanganku. Tak ada gunanya menyembunyikan sarungtangan itu. Aku tampak seperti orang bodoh. Aku inialien. Aku memiliki kekuatan super dan masih banyaklagi yang akan muncul. Aku bisa melakukan hal-halyang hanya bisa manusia impikan. Tapi aku tetaptampak seperti orang bodoh.* * *Aku duduk di tengah ruangan. Tidak ada yangberbicara denganku. Aku terlalu gugup dan tidakmendengar apa yang guru katakan. Saat bel berbunyi,aku mengumpulkan barang-barangku,memasukkannya ke tas, dan memanggul tas dibahuku. Aku masih memakai sarung tangan. Saatkeluar dari kelas itu, aku mengangkat tepi sarungtangan kanan dan mengintip telapak tanganku. Masihbersinar.Aku berjalan di lorong tanpa terburu-buru. Bernapaspelan. Aku mencoba mengosongkan pikiran tapi tidakberhasil. Saat masuk ke kelas berikut, Mark duduk ditempat yang sama seperti hari sebelumnya dan Sarahduduk di samping Mark. Mark menyeringaimencemooh ke arahku. Karena berusaha tampakkeren, ia tidak memperhatikan sarung tanganku.Apa kabar, Jagoan? Aku dengar tim lari lintas alamsedang cari anggota baru.Jangan bersikap berengsek, kata Sarah kepadanya.Aku memandang Sarah saat lewat, menatap matabirunya yang membuatku merasa malu dan canggung

  • serta menyebabkan pipiku menghangat. Kursi yangkududuki kemarin sudah terisi, jadi aku berjalan kekursi paling belakang. Semua murid masuk ke dalamkelas. Anak yang memperingatkanku soal Markkemarin duduk di sampingku. Ia mengenakan kaushitam lain dengan logo NASA di tengah, celanatentara, dan sepasang sepatu tenis Nike. Dia memilikirambut berwarna pirang seperti pasir dan berantakan,dengan mata berwarna merah kecokelatan yangtampak semakin besar akibat kacamatanya. Anak itumengeluarkan buku catatan yang penuh diagram rasibintang dan planet. Dia melihatku dan tidak mencobamenyembunyikan kenyataan bahwa diamemandangiku.Pa kabar? tanyaku.Ia mengangkat bahu. Kenapa kau memakai sarungtangan?Aku membuka mulut untuk menjawab, tapi Mrs.Burton sudah mulai mengajar. Hampir sepanjangpelajaran anak di sampingku membuat gambar yangtampaknya merupakan penafsirannya mengenaiseperti apa makhluk Mars itu. Tubuh kecil dengankepala, tangan, dan mata besar. Sama dengan yangada di film-film. Di bagian bawah setiap gambar, diamenulis namanya dengan huruf-huruf kecil: SAMGOODE. Dia menyadari bahwa akumemperhatikannya, lalu aku memalingkan muka.Saat Mrs. Burton menjelaskan mengenai 61 satelityang mengelilingi Saturnus, aku melihat belakangkepala Mark. Ia duduk membungkuk di kursinya,menulis. Lalu dia menegakkan tubuh danmelemparkan kertas kecil ke Sarah. Sarahmenjentikkan kertas itu kembali tanpa membacanya.Itu membuatku tersenyum. Mrs. Burton mematikanlampu dan menyalakan video. Gambaran planet-planet yang berotasi di layar di depan kelasmengingatkanku kepada Lorien. Lorien adalah salahsatu dari delapan belas planet di jagat raya yangdapat dihuni. Bumi termasuk salah satunya. Dan,sayangnya, Mogadore juga termasuk.Lorien. Aku menutup mata dan membiarkan dirikumengingat. Lorien adalah sebuah planet tua, seratuskali lebih tua daripada Bumi. Setiap masalah yangBumi hadapi saat inipolusi, overpopulasi, pemanasanglobal, kekurangan panganjuga pernah Lorienhadapi. Pada suatu ketika, dua puluh lima ribu tahunyang lalu, Lorien mulai sekarat. Ini terjadi jauhsebelum kami memiliki kemampuan untukmenjelajahi jagat raya. Karena itu penghuni Lorienharus melakukan sesuatu untuk bertahan hidup.Perlahan namun pasti mereka berkomitmen agarPlanet Lorien dapat terus dihuni, yaitu dengan caramengubah cara hidup mereka. Mereka tidakmenggunakan benda-benda berbahaya sepertisenjata api dan bom, zat kimia beracun, atau polutan.Pada akhirnya Planet Lorien mulai pulih kembali.Dengan adanya evolusi, setelah ribuan tahun,penghuni Lorien tertentupara Gardemulai memilikikekuatan untuk melindungi planet itu, danmenolongnya. Lorien tampaknya menghadiahi paraleluhurku atas tindakan mereka, atas penghormatanmereka terhadap planet itu.Mrs. Burton menyalakan lampu kembali. Akumembuka mata dan memandang jam. Pelajaranhampir selesai. Aku merasa tenang kembali, benar-benar lupa dengan tanganku. Aku menarik napasdalam dan menyingkap bagian pergelangan sarungtangan kanan. Sinarnya padam! Aku tersenyum danmelepas kedua sarung tangan itu. Kembali normal.Aku punya enam jam pelajaran lagi pada hari itu. Akuharus tetap tenang sampai semua selesai.* * *Setengah hari pertama lewat tanpa insiden. Aku tetaptenang, dan tidak berurusan lebih jauh dengan Mark.

  • Saat makan siang aku mengisi nampanku denganmakanan biasa, lalu duduk di meja kosong di ujungruangan. Saat sedang menyantap sepotong pizza,Sam Goode, anak dari kelas astronomi, duduk didepanku.Apa benar kau akan berkelahi dengan Mark sepulangsekolah? tanyanya.Aku menggeleng. Tidak.Tapi orang-orang bilang begitu.Mereka salah.Dia mengangkat bahu dan melanjutkan makan.Semenit kemudian dia bertanya, Sarung tanganmuke mana?Aku lepas. Tanganku sudah nggak dingin lagi.Dia membuka mulut untuk menjawab, tapi tiba-tibasebuah bakso besaryang aku yakin diarahkankepadakumuncul begitu saja dan menghantamkepala Sam. Rambut dan bahunya berlumuranpotongan daging dan saus spageti. Sebagianmemercikiku. Saat aku membersihkan diri, baksokedua terbang dan mengenaiku tepat di pipi. SuaraOooh terdengar di seluruh kantin.Aku berdiri dan mengelap pipi dengan serbet, amarahmenguasaiku. Saat itu aku tidak peduli dengantanganku. Tanganku boleh saja bersinar seterangmatahari, lalu Henri dan aku bisa pergi sore ini jika ituyang harus terjadi. Tapi tidak mungkin akumembiarkan ini begitu saja. Masalah tadi pagi sudahselesai yang ini belum.Jangan, kata Sam. Jika kau melawan, mereka tidakakan pernah membiarkanmu.Aku mulai berjalan. Seluruh kantin hening. Seratuspasang mata menatapku. Wajahku memberengut.Tujuh orang duduk di meja Mark James, semuanyalaki-laki. Ketujuh-tujuhnya berdiri saat aku mendekat.Ada masalah? tanya salah satu dari mereka. Diaberbadan besar dengan perawakan sepertipenyerang. Ada kumpulan-kumpulan rambutkemerahan yang tumbuh di pipi dan dagunya,tampaknya dia ingin menumbuhkan janggut.Membuat wajahnya tampak kotor. Seperti yang lain,dia juga mengenakan jaket football. Cowok itumenyilangkan lengan dan menghalangi jalanku.Bukan masalahmu, kataku.Hadapi aku dulu sebelum kau menghadapinya.Pasti, kalau kau tidak mau menyingkir.Memangnya kau bisa? katanya.Aku menyentakkan lututku tepat keselangkangannya. Napasnya tercekat lalu diaterguling. Seluruh kantin terkesiap.Sudah kuperingatkan, kataku, lalu akumenginjaknya dan berjalan ke arah Mark. Saatmencapai Mark, seseorang menarikku dari belakang.Aku berbalik dengan tangan dikepal, siap untukdiayunkan, tapi pada detik terakhir aku sadar orangitu ternyata si pelayan kantin.Cukup, Anak-anak.Lihat apa yang dia lakukan pada Kevin, Mr. Johnson,kata Mark. Kevin masih meringkuk di lantaimemegangi sela pahanya. Mukanya merah sekali.Kirim dia ke kepala sekolah!Diam, James. Kalian berempat harus pergi. Jangankira aku tidak melihatmu melempar bakso itu,katanya, lalu memandang Kevin yang masih di lantai.Bangun.Sam muncul entah dari mana. Dia mencobamembersihkan rambut dan bahunya. Potongan-potongan daging yang besar sudah hilang, tapi sisasausnya masih ada. Aku tidak tahu mengapa dia adadi situ. Aku menunduk menatap tanganku, siap larijika melihat cahaya setitik, tapi anehnya tangankutidak bersinar. Apa ini karena situasi yang mendesak,sehingga aku bisa mendekati Mark sebelum sempatmerasa gugup? Aku tak tahu.Kevin berdiri dan memandangku, gemetar dan masih

  • sulit bernapas. Dia mencengkeram bahu anak lelaki disampingnya agar bisa berdiri.Akan kubalas, katanya.Yang benar saja, kataku. Aku masih merengut,masih dilumuri makanan. Aku tak mau repot-repotmembersihkannya.Kami berempat berjalan ke kantor kepala sekolah. Mr.Harris duduk di mejanya, menikmati makan siangyang dipanaskan dengan microwave dengan serbetdiselipkan ke kerah kemeja.Maaf mengganggu. Ada kekacauan kecil saat makansiang. Aku yakin anak-anak ini mau menjelaskan,kata si penjaga kantin.Mr. Harris mendesah, menarik serbet dari kemeja lalumelemparkannya ke dalam keranjang sampah. Diamendorong makan siangnya ke tepi meja denganpunggung tangan.Terima kasih, Mr. Johnson.Mr. Johnson pergi, menutup pintu kantor, danmeninggalkan kami berempat di dalam.Jadi siapa yang mau mulai? tanya sang KepalaSekolah, terdengar jengkel.Aku diam. Otot-otot rahang Mr. Harris menegang. Akumenunduk memandang tanganku. Masih padam. Akumemasukkan tangan ke celana jinsku, untuk jaga-jaga. Setelah keheningan selama sepuluh detik, Markbicara. Seseorang menimpuknya dengan bakso. Diapikir aku pelakunya, jadi dia menendang Kevin dianunya.Hati-hati dengan bahasamu, kata Mr. Harris, laluberpaling ke Kevin. Kau baik-baik saja?Kevin, yang wajahnya masih merah, mengangguk.Jadi siapa yang melempar bakso? tanya Mr. Harriskepadaku.Aku tidak mengatakan apa pun, masih mendidih,kesal dengan seluruh kejadian itu. Aku menarik napasdalam untuk menenangkan diri.Aku tidak tahu, kataku. Kemarahanku sudah takterkira. Aku tidak ingin berurusan dengan Markmelalui Mr. Harris. Aku lebih suka mengurus masalahitu sendiri, jauh dari kantor kepala sekolah.Sam memandangku heran. Mr. Harris mengangkattangan frustrasi. Jadi, kenapa kalian semua ada disini?Itu pertanyaan bagus, kata Mark. Kami hanyamakan siang.Sam berbicara. Mark yang melemparnya. Akumelihatnya, begitu juga dengan Mr. Johnson.Aku memandang Sam. Aku tahu Sam tidakmelihatnya karena dia memunggungi Mark waktubakso pertama dilempar. Lalu saat bakso keduadilempar, dia sibuk membersihkan diri. Tapi akukagum karena dia berani berkata begitu, karenamemihakku walaupun tahu itu bisa menimbulkanmasalah antara dirinya dan Mark serta teman-temannya. Mark memberengut memandang Sam.Ayolah, Mr. Harris, Mark memohon. Besok aku adawawancara dengan Gazette, dan hari Jumat adapertandingan. Aku tidak ada waktu untuk mengurusiomong kosong macam ini. Aku dituduh melakukansesuatu yang tidak aku lakukan. Sulit berkonsentrasidengan situasi sialan macam begini.Jaga mulutmu! bentak Mr. Harris.Tapi itu benar.Aku percaya kepadamu, kata Kepala Sekolah, lalumenghela napas berat. Dia memandang Kevin, yangmasih berusaha bernapas dengan benar. Apa kauperlu ke perawat?Aku akan baik-baik saja, kata Kevin.Mr. Harris mengangguk. Kalian berdua, lupakanlahsoal insiden di kantin tadi. Mark, konsentrasi. Kitasudah lama berusaha mendapatkan kesempatanwawancara ini. Mereka mungkin akan menempatkankita di halaman utama. Bayangkan, halaman utamaGazette, katanya tersenyum.

  • Terima kasih, kata Mark. Aku tak sabarmenantinya.Bagus. Nah, kalian berdua boleh pergi.Mereka pergi. Lalu Mr. Harris menatap Sam tajam.Sam balas menatap tanpa mengalihkanpandangannya.Katakan, Sam. Aku ingin kebenaran. Apa benar kaumelihat Mark melempar bakso itu?Mata Sam menyipit. Dia tidak mengalihkanpandangan.Ya.Kepala Sekolah menggeleng. Aku tidak percayakepadamu, Sam. Dan karena itu, ini yang akan kitalakukan. Mr. Harris memandangku. Jadi sebuahbakso dilemparDua, sela Sam.Apa?! tanya Mr. Harris, sekali lagi menatap Samtajam.Ada dua bakso yang dilempar, bukan satu.Mr. Harris menghantamkan tinjunya ke meja. Siapayang peduli seberapa banyak! John, kau menyerangKevin. Mata dibalas mata. Kita bisa melupakanmasalah itu. Paham?Wajah Mr. Harris merah dan aku tahu tak adagunanya berdebat.Ya, jawabku.Aku tak mau lagi melihat kalian berdua di sini,katanya. Kalian boleh pergi.Kami meninggalkan kantor kepala sekolah.Kenapa kau tidak mengatakan soal ponselmukepadanya? tanya Sam.Karena dia tidak peduli. Dia cuma ingin bisa makansiang secepatnya, jawabku. Dan hati-hati, katakukepada Sam. Mulai sekarang Mark akanmengawasimu.* * *Pelajaran tata boga berlangsung setelah makansiangbukan karena aku suka memasak, tapi karenapilihannya hanya ini atau paduan suara. Lagi pula,walaupun aku memiliki banyak kekuatan dankemampuan yang dianggap luar biasa di Bumi,menyanyi bukanlah salah satunya. Jadi aku masuk kekelas tata boga dan duduk. Ruangan itu kecil. Tepatsebelum bel berbunyi, Sarah masuk dan duduk disampingku.Hai, katanya.Hai.Darah mengalir ke wajahku dan bahuku menjadikaku. Aku mengambil pensil dan memutar-mutarnyadengan tangan kanan sementara tangan kirikumencengkeram bagian tepi buku catatanku.Jantungku berdebar. Tolong jangan biarkan tangankubersinar. Aku mengintip telapak tanganku danbernapas lega saat melihatnya masih normal. Tenang,pikirku. Dia cuma anak cewek.Sarah memandangku. Seluruh bagian dalam tubuhkuterasa seolah menjadi bubur. Dia mungkin gadistercantik yang pernah kulihat.Maaf karena Mark bersikap berengsek terhadapmu,katanya.Aku mengangkat bahu. Bukan salahmu.Kalian berdua nggak akan benar-benar berkelahi,kan?Mauku sih nggak, kataku.Sarah mengangguk. Mark kadang memangmenyebalkan. Dia selalu berusaha menunjukkanbahwa dirinya jagoan.Tanda-tanda orang tak percaya diri, kataku.Dia bukannya tak percaya diri. Hanya berengsek.Pastinya. Tapi aku tidak ingin berdebat dengan Sarah.Lagi pula, dia berbicara dengan begitu yakin sehinggaaku hampir meragukan diriku.Sarah melihat noda saus spageti yang sudahmengering di bajuku, lalu mengulurkan tangan danmenarik saus yang mengering dari rambutku.

  • Makasih, kataku.Sarah mendesah. Aku minta maaf atas apa yangterjadi. Dia menatap mataku. Kami nggak pacaranlho.Masa?Sarah menggelengkan kepala. Minatku bangkit karenadia merasa perlu menjelaskan itu kepadaku. Setelahsepuluh menit mendengarkan cara membuatpancakeaku tidak mendengar apa punsang guru,Mrs. Benshoff, memasangkan Sarah dan aku. Kamimelewati pintu di bagian belakang ruangan itu yangmengarah ke dapur. Dapur itu tiga kali lebih besardaripada ruang kelas tadi. Ada sepuluh bagian dapuryang berbeda, lengkap dengan lemari es, lemarimakan, tempat cuci piring, dan oven. Sarah berjalanke salah satunya, mengambil celemek dari laci, danmengenakannya.Bisa tolong ikatkan ini? tanyanya.Aku salah mengikatnya dan harus mengikat ulang.Aku bisa merasakan bentuk pinggangnya dengan jari-jariku. Setelah celemek Sarah terikat, akumengenakan celemekku dan mulai mengikatnyasendiri.Sini, katanya sambil menarik tali dan mengikatcelemekku.Makasih.Aku mencoba memecahkan telur pertama, namunaku melakukannya terlalu keras dan tidak ada yangmasuk ke dalam mangkuk. Sarah tertawa. Diameletakkan telur baru di tanganku, memegangtanganku dan menunjukkan bagaimana caramemecahkan telur menggunakan pinggiran mangkuk.Dia memegang tanganku sedetik lebih lama daripadaseharusnya. Sarah memandangku dan tersenyum.Seperti itu.Dia mengaduk adonan. Beberapa helai rambut turunke wajahnya. Aku sangat ingin mengulurkan tangandan menyampirkan helaian rambut itu ke belakangtelinganya, tapi aku tidak melakukannya. Mrs.Benshoff berjalan ke dapur kami untuk memeriksapekerjaan kami. Sejauh ini cukup bagus. Tentu sajasemua itu berkat Sarah karena aku sendiri tidak tahuapa yang kulakukan.Menurutmu gimana Ohio? tanya Sarah.Lumayan. Seharusnya hari pertamaku di sekolahlebih baik daripada kemarin.Sarah tersenyum. Sebenarnya apa yang terjadi? Akukhawatir.Apa kau percaya jika kubilang bahwa aku ini alien?Yang benar saja, katanya sambil tertawa. Apayang sebenarnya terjadi?Aku tertawa. Aku punya penyakit asma yang sangatparah. Lalu entah kenapa, kemarin aku terserangasma, kataku, merasa menyesal karena harusberbohong. Aku tidak ingin Sarah melihat kelemahandalam diriku, terutama kelemahan yang tidak benar.Yah, aku senang kau sudah sehat.Kami membuat empat pancake. Sarah menumpuksemuanya di atas satu piring. Ia menuangkan banyaksekali sirup maple di atasnya dan memberikan garpukepadaku. Aku melihat murid-murid lain. Sebagianbesar makan dengan dua piring. Aku mengulurkantangan dan memotong setusuk pancake.Nggak buruk, kataku sambil mengunyah.Aku sama sekali tidak lapar, tapi aku membantuSarah menghabiskan semua. Kami gantian memakanhingga piring itu kosong. Aku jadi sakit perut karenakekenyangan. Lalu Sarah mencuci piring dan akumengeringkannya. Saat bel berbunyi, kami keluar dariruangan itu bersama-sama.Kau tahu, kau nggak jelek untuk seorang murid kelasdua, katanya sambil menyikutku. Aku nggak peduliapa kata orang.Makasih, dan kau sendiri juga nggak jelek untukseorangapa pun kau itu.

  • Aku kelas tiga.Kami berjalan tanpa berbicara selama beberapalangkah.Kau nggak bakal berkelahi betulan dengan Markseusai sekolah nanti, kan?Aku ingin ponselku kembali. Lagi pula, lihat aku,kataku sambil menunjuk bajuku.Sarah mengangkat bahu. Aku berhenti di lokerku.Sarah memperhatikan nomornya.Yah, sebaiknya kau nggak berkelahi, katanya.Maunya sih nggak.Sarah memutar matanya. Anak laki-laki danperkelahian mereka. Yah. Sampai besok.Semoga sisa harimu menyenangkan, kataku.* * *Setelah pelajaran kesembilan, sejarah Amerika, akuberjalan pelan ke lokerku. Aku berpikir untuk pergidari sekolah diam-diam, tanpa mencari Mark. Tapikemudian aku sadar bahwa aku akan dicap pengecutuntuk selamanya.Aku pergi ke lokerku dan mengeluarkan buku-bukuyang tidak kuperlukan dari tas. Lalu aku berdiri disana dan merasakan rasa gugup mulai merayapiku.Tanganku masih normal. Aku berpikir untukmengenakan sarung tangan untuk jaga-jaga, tapi akutidak melakukannya. Aku menarik napas panjang danmenutup pintu loker.Hai, terdengar suara, membuatku terkejut. Sarah.Dia melirik ke belakang lalu memandangku kembali.Aku ada sesuatu untukmu.Bukan pancake lagi kan? Aku masih merasa bakalmeledak.Sarah tertawa gugup.Bukan pancake. Tapi kalau aku memberikan inikepadamu, kau harus janji tidak akan berkelahi.Oke, jawabku.Sarah melirik ke belakang lagi lalu merogoh kantongdepan tasnya dengan cepat. Dia mengeluarkanponselku lalu memberikannya kepadaku.Bagaimana caramu mendapatkan ini?Sarah mengangkat bahu.Mark tahu?Nggak. Jadi, apa kau masih mau bertingkah sokjago? tanyanya.Kurasa nggak.Bagus.Terima kasih, kataku. Aku tidak percaya Sarah maumelakukan sejauh itu untuk membantuku. Dia kantidak kenal aku. Tapi aku tidak protes.Sama-sama, kata Sarah, lalu dia berbalik danbergegas pergi. Aku memandanginya sepanjanglorong itu, tidak bisa berhenti tersenyum. Saat akukeluar, Mark James dan delapan temannyamenghadangku di lobi.Nah, kata Mark. Berhasil melalui hari ini, he?Pastinya. Dan lihat apa yang kutemukan, katakusambil mengangkat ponselku. Dia ternganga. Akuberjalan melewatinya, menyusuri lorong, dan keluardari gedung sekolah.HENRI MEMARKIRKAN MOBIL TEPAT DI TEMPAT yangdia janjikan tadi. Aku melompat masuk ke dalamtruk, masih tersenyum.Hari yang indah? tanyanya.Nggak jelek. Ponselku kembali.Tidak berkelahi?Nggak juga sih.Henri menatapku curiga. Apa aku perlu tahu apamaksudnya?Mungkin tidak.Apa tanganmu menyala hari ini?Nggak, aku berbohong. Bagaimana harimu?Henri mengemudi menyusuri jalan untuk mobil yangmengelilingi sekolah. Bagus. Aku mengemudi sekitarsatu setengah jam ke Columbus setelah

  • mengantarmu.Kenapa Columbus?Di sana banyak bank besar. Aku tak maumenimbulkan kecurigaan karena mengambil uangyang jumlahnya lebih besar daripada jumlah seluruhuang di kota ini.Aku mengangguk. Cerdas.Henri berbelok ke jalan raya.Jadi siapa nama gadis itu?Hm? tanyaku.Pasti ada yang menyebabkanmu tersenyum-senyumseperti orang sinting. Biasanya alasannya cewek.Kok tahu?John, temanku, dulu di Lorien, Cpan tua ini punyabanyak pacar, lho.Yang benar saja, kataku. Di Lorien nggak ada yangpunya banyak pacar.Henri mengangguk setuju. Kau memperhatikanrupanya.Kaum Loric menganut monogami. Bila kami jatuhcinta, itu untuk selamanya. Pernikahan biasanyaberlangsung pada usia dua puluh lima, kurang lebih,dan tidak ada hubungannya dengan hukum.Pernikahan biasanya lebih didasarkan pada janji dankomitmen, dan bukan karena alasan lain. Henri sudahmenikah selama dua puluh tahun sebelum akhirnyapergi denganku. Sudah sepuluh tahun berlalu, tapi akutahu ia masih merindukan istrinya setiap hari.Jadi siapa dia? tanya Henri.Namanya Sarah Hart. Dia anak agen properti yangmenyewakan rumah kepadamu. Dia ada di dua kelasyang kuikuti. Kakak kelas.Henri mengangguk. Cantik?Jelas. Cerdas pula.Yeah, kata Henri pelan. Aku sudah lama menantihal seperti ini. Tapi ingat, kita mungkin terpaksa pergimendadak.Aku tahu, kataku. Lalu kami diam sepanjangperjalanan ke rumah.* * *Saat tiba di rumah, Peti Loric bertengger di mejadapur. Ukurannya sebesar oven microwave, hampirpersegi, 45 senti kali 45 senti. Kegembiraanmerasukiku. Aku berjalan ke arah Peti dan meraihgemboknya.Kurasa aku lebih ingin membuka peti ini daripadamengetahui apa yang ada di dalamnya, kataku.Oh, ya? Yah, aku bisa menunjukkan bagaimana caramembuka Peti itu, lalu kita bisa menguncinya lagi danmelupakan apa yang ada di dalam.Aku tersenyum ke arah Henri. Jangan begitu. Ayolah.Apa isinya?Warisanmu.Apa maksudmu, Warisanku?Warisan itu adalah sesuatu yang diberikan kepadaGarde ketika mereka dilahirkan untuk digunakan olehPenjaganya saat Pusaka Garde itu muncul.Aku mengangguk senang. Jadi apa isinya?Warisanmu.Jawaban main-mainnya membuatku frustrasi. Akumemegang gembok dan mencoba membukanyasecara paksa seperti yang dulu sering kulakukan.Tentu saja tidak ada hasilnya.Kau tidak bisa membukanya tanpaku, dan aku tidakbisa membukanya tanpamu, kata Henri.Jadi, bagaimana kita membukanya? Nggak adalubang kunci.Mudah.Ayolah, Henri. Jangan main rahasia-rahasiaan lagi.Henri melepaskan gembok itu dari tanganku.Gembok ini hanya terbuka saat kita bersama, danhanya setelah Pusaka pertamamu muncul.Henri berjalan ke pintu depan, menjulurkan kepala keluar, lalu menutup dan mengunci pintu, kemudian