human rights corner.doc
DESCRIPTION
human rights indonesiaTRANSCRIPT
Oleh : Devianty Hartady
Staff biro jurnalistik LK 2 2014 dan Mahasiswa FHUI angkatan 2013
HARUSKAH TES KEPERAWANAN DILAKUKAN?
Akhir-akhir ini publik kembali dihebohkan kembali dengan wacana tes keperawanan yang
akan dilakukan oleh seorang anggota Komisi D DPRD Jember, Mukti Ali,yang mengusulkan
tes keperawanan bagi pelajar SMP dan SMA yang rencananya dimasukkan dalam Peraturan
Daerah (Perda) jember. Tentu hal ini menjadi hal yang dipertanyakan oleh publik. Apakah
memang relevan untuk melakukan tes keperawanan untuk mengetahui bahwa seseorang tidak
terlibat pergaulan bebas atau tidak? Meskipun pada awalnya tes keperawanan ini dilakukan
karena banyaknya moral anak bangsa yang rusak akibat pergaulan bebas dan degradasi
moral. Namun, apakah suatu hal yang dapat menimbulkan stigma negatif dalam masyarakat
dilakukan oleh pemerintah?
Wacana tes keperawanan ini tidak sesekali muncul di masyarakat namun sudah berkali-kali
masalah ini mencuat ke ranah publik. Nampaknya, hal ini lebih dikarenakan kekhawatiran
pemerintah akan semakin maraknya pergaulan bebas sehingga banyak terjadi kebobrokan
moral dalam masyarakat. Menurut survei Komnas Perlindungan Anak tahun 2012 bahwa
62,7 % siswi SMP sudah tidak perawan, 21,2 % pernah melakukan aborsi. Responden yang
disurvei 4726 orang di 17 kota/kabupaten. Kalau memperhatikan perilaku remaja di
sekeliling kita sekarang kiranya hasil survei tersebut mendekati kebenaran.
Hal serupa juga terjadi pada Dinas Kesehatan Kota Sabang, Aceh, mendadak tenar tapi
karena dikecam. Bukan urusan spesifik tes keperawanan tetapi pokoknya mengarah ke
perkara kegadisan. Beredar kuesioner Dinas Kesehatan di sejumlah SMP tentang organ vital
siswi pada September 2013. Para pelajar perempuan diwajibkan menjawab pertanyaan berapa
ukuran alat kelamin dan payudara mereka. Kuesioner ini juga menampilkan gambar, foto,
atau sketsa bagian-bagian alat vital reproduksi tanpa penjelasan yang memadai dan
cenderung akan mengarah kepada pornografi. Tentunya hal ini sangat tidak relevan dengan
apa gunanya untuk melakukan tes keperawanan atau kegadisan dalam masyarakat.
Hal ini juga terjadi tidak hanya pada kaum pelajar perempuan saja, namun Polri juga
nampaknya tidak mau ketinggalan untuk melakukan tes keperawanan ini. Untuk melakukan
tes keperawanan yang meskipun sudah dilarang sejak 4 tahun lalu. Apalagi apabila polisi
wanita tersebut tidak lulus tes maka dia akan dikeluarkan sehingga akan menimbulkan
trauma.
Belum lagi pandangan masyarakat yang apabila mengetahui seseorang yang tidak lulus tes
keperawanan maka hal ini akan menimbulkan prejudice pada kehidupan orang tersebut.
Sungguh hal ini sangat tidak adil karena, tes keperawanan hanya bisa diukur pada wanita,
sedangkan tidak ada yang bisa diukur dari seorang pria.
Sehingga tes keperawanan ini akan menjadi diskriminasi pada wanita karena menimbulkan
stigma negatif masyarakat terhadap mereka yang selaput darahnya robek. Meskipun selaput
darah robek tersbeut bisa saja terjadi karena melakukan kegiatan seperti olahraga atau
kegiatan berat lainnya. Tes keperawanan juga dianggap merupakan praktik diskriminatif
karena mengingkari jaminan konstitusi pada hak warga negara, utamanya Pasal 28I Ayat 2
untuk hak bebas dari diskriminasi dan Pasal 28G Ayat 1 tentang hak atas perlindungan diri,
harkat dan martabat, dan Pasal 27 Ayat 1 tentang hak kesamaan di hadapan hukum dan
pemerintahan. Maka, dalam hal ini Komnas Perempuan juga mendorong Kementerian
Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan memastikan penyikapan lintas institusi untuk
mendukung upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap
perempuan terkait dengan praktik tes keperawanan ini.
Refrensi :
Vivanews dan hukumonline