paper ke-x achieving human rights through social … · hak asasi manusia (ham) sebagai sesuatu...

22
i Paper ke-X ACHIEVING HUMAN RIGHTS THROUGH SOCIAL WORK PRACTICE (MENGGAPAI HAM MELALUI PRAKTIK PEKSOS) Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk: Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia Dosen: Dr. EPI SUPIADI, M.Si Dra. SUSILADIHARTI, M.SW Oleh: HERU SUNOTO NRP: 13.01.003 PROGRAM SPESIALIS-1 PEKERJAAN SOSIAL SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL BANDUNG 2013

Upload: others

Post on 31-May-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

Paper ke-X

ACHIEVING HUMAN RIGHTS THROUGH SOCIAL WORK PRACTICE

(MENGGAPAI HAM MELALUI PRAKTIK PEKSOS)

Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk:

Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia

Dosen:

Dr. EPI SUPIADI, M.Si

Dra. SUSILADIHARTI, M.SW

Oleh:

HERU SUNOTO

NRP: 13.01.003

PROGRAM SPESIALIS-1 PEKERJAAN SOSIAL

SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL

BANDUNG

2013

ii

KATA PENGANTAR

الحمد هلل رّب العالمين، والصالة والسالم على رسوله األمين، وعلى آله وصحبه أجمعين، وبعد ...

Segala puji bagi Allah SWT sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ke-VIII, paper tentang

Achieving Human Rights through Social Work Practice (Menggapai HAM melalui Praktik

Peksos) dengan referensi utama buku Jim Ife, “Human Right and Social Work” Bab X untuk

mata kuliah Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan HAM bisa selesai.

Terakhir, kami berharap ada masukan dan penyempurnaan dari sesama teman-teman Sp-1,

dan lebih khusus lagi dosen kami.

Bandung, 09 Oktober 2013

Heru Sunoto

iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I. PENDAHULUAN 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2

Landasan teoritik

Pemberdayaan (empowerment)

Kontekstual/isu-isu universal

BAB III. PEMBAHASAN 15

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 17

DAFTAR PUSTAKA

1

BAB I

PENDAHULUAN

Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai sesuatu yang luhur yang dimiliki oleh manusia tanpa

terkecuali, seyogyanya otomatis dimiliki semenjak lahir hingga wafat. Namun pada

kenyataannya, tataran lapangan tidak seindah yang dibayangkan. Banyak pelanggaran

HAM, dari awal sejarah peadaban manusia hingga sekarang menunjukkan HAM perlu

diperjuangkan. Jim Ife mengatakan, “mendefinisikan HAM tidak akan pernah final.”

Schmitz and Sikkin (2002)1 mendefinisikan HAM sebagai berikut:

Human right are a set of principles of ideas about the threatment to which individual are

entitled by virtue of being human. The Human right discourse is universal in character and

includes claims of equality and non-discrimination (p. 157).

Hak asasi manusia adalah:

Seperangkat prinsip yang tinggi/luhur

Ingin diwujudkan oleh manusia

Agar menjadi manusia seutuhnya

Tentang kesetaraan dan non-diskriminasi.

Susan C. Mapp (2008) mengatakan:

The rights it defines were intended to be universal and indivisible—that is, all humans have

the right to them regardless of culture, political system, ethnicity, or any other characteristic

(universal), and a country cannot select which rights it should grant; all humans should have

all rights (indivisible)…. Not all rights claimed by people can be regarded as human rights.

By human rights we generally mean those rights which we claim belong to all people,

regardless of national origin, race, culture, age, sex, or anything else. (p.17 - 18)

Hak adalah universal, tidak dapat dipisah-pisahkan, dimiliki setiap manusia tanpa melihat

budaya, system politik, suku, dan karakteristik apapun, dan sebuah Negara tidak dapat

menentukan hak tertentu untuk diakui dan tidak diakui, setiap manusia memiliki semua hak

tersebut tanpa terpisah-pisahkan. Namun, tidak setiap hak yang dituntut oleh orang bisa

disebut sebagai HAM. Dengan HAM, kita biasanya mengartikannya sebagai hak yang kita

1 Derrick M. Nault and Shawn L. England, “Globalization and Human Right in the Developing World”, Palgrave

Mac-Millan, 2011. Downloaded from: http://bookre.org/reader?file=1434909&pg=1 , at August 29th 2013.

2

anggap sebagai hak milik semua orang, terlepas dari perbedaan asal Negara, ras/warna

kulit, budaya, suku, usia, jenis kelamin, dan sebagainya. (hal. 17 - 18) 2

Ada banyak cara untuk menggapai HAM. Bisa melalui perjuangan pribadi, bisa melalui

agresi militer, bisa juga melalui soft approach, yaitu melalui pendekatan pekerjaan social.

Hal inilah yang akan kita bahas pada Bab 10 kali ini.

***

2 Susan C. Mapp, “Human Right and Social Justice in a Global Perpective: an Introduction to Int’l. Social Work”,

Oxford Univercity Press, 2008.

3

BAB II

MENGGAPAI HAM MELALUI PRAKTIK PEKSOS

Pada bab ini kita akan berbicara tentang 3 hal, yaitu: (i) Landasan teoritik, (ii)

Pemberdayaan (empowerment), dan (iii) Kontekstual/isu-isu universal.

A. LANDASAN TEORITIK

1. Praksis (Praxis)

Gagasan tentang “PRAXIS”3 menyatakan bahwa teori dan praktik, belajar dan

bekerja, keduanya tidak dapat dipisahkan. Karena, melalui teori/refleksi kita bisa

mengembangkan praktik/aksi, dan pada saat yang sama, melalui praktik/aksi kita

juga bisa mengembangkan teori/refleksi. Kita bisa belajar sambil bekerja, dan

sebaliknya, kita bisa bekerja sambil belajar. Oleh karena itu, praksis adalah dua hal,

ilmu pengetahuan dan praktiknya. Pengetahuan tanpa praktik hanya omong kosong,

tanpa makna, sedangkan praktik tanpa pengetahuan adalah kebodohan,

bertentangan dengan intelektualitas, dan ini berbahaya.

Dan pekerjaan social, terkadang sering terlihat memisahkan antara ilmu dengan

praktik.4 Lihatlah diskusi panjang dan bertele-tele pada bab-bab terdahulu tentang

perlunya menggandengkan “ilmu dan praktik” dalam pekerjaan social; sebuah diskusi

yang sebenarnya tidak perlu dilakukan untuk memahami peksos berdasarkan

landasan yang benar. HAM juga difahami sebagai teori dan praktik.

Orientasi yang benar juga berarti tidak boleh ada pembedaan antara pendidikan

peksos dengan praktik peksos. Benar bahwa pendidikan peksos akan disebut efektif

jika siswa atau mahasiswa bisa melaksanakan ilmunya di dalam praktik serta

mengembangkan ilmu dan praktik tersebut secara bersamaan. Namun jangan salah,

bahwa praktik peksos juga tidak boleh berhenti ketika pendidikan saja. Ia terus

dikembangkan melalui praktik setiap saat, baik pandangan, formula di dalam melihat

dunia, pendekatan yang dipakai, dan seterusnya.5

3 P. Freire, the Pedagogy of the Oppressed, Harmondsworth, Penguin-books, 1996.

4 Pease and Fook, 1999.

5 Tentang bagaimana membumikan teori, silakan lihat Strauss & Corbin, 1990.

4

2. Moralitas (Morality)

Peksos pada dasarnya sebuah aktivitas moral, ia didasarkan pada system nilai dan

etika serta konsep tentang “benar-salah”, meski seorang peksos jarang sekali

menggunakan istilah ini. Oleh karena itu, seorang peksos perlu memiliki kemampuan

engagement terhadap dilematik moral yang sulit, ketika akan

menjelaskan/memperjuangkan formula alasan moral, untuk kemudian diwujudkan

dalam bentuk “pengambilan keputusan” yang mendasar (problem solving).

Perspektif HAM menyediakan kerangka untuk menjelaskan masalah moral dan

bagaimana memperjuangkannya di lapangan. Kealamiahan wacana HAM mampu

membawa peksos untuk menghindari “jebakan” absolutism moral, dimana benar-

salah sebagai “kode baku” yang tidak bisa diubah dan dibuat lebih lembut dalam

dunia post-modernisme. Ini tidak berarti bahwa pembuatan keputusan peksos tidak

kuat atau tegas. Salah satu ciri khas HAM adalah ia sangat kuat memaksa,

membentuk pola nilai melalui solusi HAM yang ditawarkan untuk dilaksanakan

sebagai jawaban atas masalah moral.

Perspektif HAM bagi peksos lebih menekankan untuk selalu berfikir tentang isu-isu

moralitas, mampu berperan dengan berkolaborasi dengan korban, pelaku, dan

siapapun yang terkait. Peksos adalah agen moral, yang dengan kemampuan

engagement-nya bisa mengkolaborasi pelaku lainnya dalam membuat keputusan

sehingga perjuangannya akan HAM terasa lebih efektf.

3. Penuh Semangat (Passion)

Peksos didorong tidak hanya untuk melakukan analisis secara seksama tentang isu-

isu HAM semata. Tapi ia juga diminta untuk bisa dengan penuh semangat mengubah

dunia menjadi tempat yang lebih baik, lebih nyaman buat semua, menghilangkan

kebiadaban, ketidakadilan, dan penindasan. Dan HAM secara historis memang

merupakan perjuangan untuk itu semua. Oleh karena itu, peksos yang didasarkan

pada landasan HAM harus bisa dengan penuh semangat memperjuangkan HAM

yang tidak pandang bulu. Maka, gagasan tentang seorang peksos sebagai profesi

yang mandiri, yaitu sebagai “system intervensi”6 yang didasarkan hanya pada riset

umum tentang pengetahuan, tidaklah cukup. Tapi, ia harus menyambungkan isu-isu

HAM dengan aksi-aksi nyata secara efektif. Sehingga, meski ada di dalam system

yang menindas dan struktur yang dehumanism, seorang peksos tetap bisa bekerja.

6 Pincus and Minahan, 1976; Compton and Galaway, 1999.

5

Contoh-contohnya adalah semisal perjuangan Nelson Mandela7 dalam membongkar

politik Apartheids, perjuangan demokrasi Aung San Suu Kyi8, Vaclav Havel9, Xanana

Gusmao, Martin Luther. Itu semua, dan contoh lainnya merupakan inspirasi bagi

perjuangan akan isu-isu HAM dan mengkorelasikannya dengan aksi-aksi nyata, dan

terbukti efektif.

4. Ideologi (Ideology)

Perspektif HAM sebagaimana yang kita bahas pada Bab I, secara jelas merupakan

implikasi ideology. Merupakan wujud dari tujuan dan tugas kewarganegaraan yang

mengikuti perkembangan hak masyarakat, sebagai bentuk kolektivitas. Kita tidak

hanya menuntut, memperjuangkan, dan memiliki hak sendirian, tapi juga merupakan

tugas kita untuk menguji dan merealisasikannya, memastikan hak orang lain juga

bisa merealisasikan secara maksimal.10

Ini merupakan perintah kepada setiap kita, bahwa kita tidak sendirian ketika

memperjuangkan hak, namun juga harus peduli dengan hak orang lain, semua saling

bergantung dan mempengaruhi secara mutualistic sebagai warga dunia. Maka,

individualism, yang merupakan anak dari teori ekonomi ortodoks dan neo-liberal jelas

tidak cocok dengan HAM.

Landasan HAM pekerjaan social pasti juga merupakan politik pekerjaan social, untuk

melakukan posisi ideologis, menggabungkan beragam prinsip koletivitas dengan

peran di sector public. Artinya ada peran yang bersifat kolektif untuk tugas HAM ini

jika kita ingin merealisasikan HAM, tidak hanya Negara saja atau individu saja.

7 Di Afrika selatan, sukses pada tahun 1989.

8 Aung San Suu Kyi, pejuang demokrasi di Miyanmar (Burma), ketua dan sekjen partai the National League for

Democracy, lahir di Rangoon (sekarang Yangon) pada 19 Juni 1945, beragama Budha aliran Therevada. Aliran ini tidak meyakini adanya Tuhan sebagai Pencipta alam semesta. Tuhan dalam aliran ini adalah kebijaksanaan tertinggi dari “sesuatu yang mencerahkan”. Sumber: (i) http://en.wikipedia.org/wiki/Aung_San_Suu_Kyi; (ii) http://www.beliefnet.com/Faiths/2001/06/What-Theravada-Buddhists-Believe.aspx; downloaded at October 6

th 2013.

9 Vaclav Havel. Lahir 5 Oktober 1936 dan meninggal 18 Desember 2011. Merupakan presiden Chechnya

pertama (1993 – 2003). Ketika mendapatkan medali pada 4 Juli 1994 dari Piladelphia Liberty Medal, ia mengatakan: Gagasan tentang HAM dan kebebasan harus menjadi bagian integral setiap tatanan dunia yang beradab, tapi implementasinya harus disesuaikan dengan perbedaan tempat dan cara yang juga berbeda. Jika hanya sebatas slogan, maka setengah penduduk dunia akan mentertawakannya. Ia tidak boleh dipisahkan dari konteks zaman, tidak boleh hanya menjadi buih di lautan, tapi harus dikaitkan, antara pengetahuan dengan dunia nyata”. Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/V%C3%A1clav_Havel#Awards, downloaded at October 6

th 2013.

10 Stapleton, 1995.

6

5. Sejarah (History)

Karena HAM adalah wacana yang dikonstruksikan oleh manusia, ia berubah dan

berkembang setiap saat, maka penting bagi kita untuk memiliki beberapa

pemahaman tentang sejarah perjuangan HAM --tidak hanya di Barat ia begitu

diperjuangkan-- dan dikolerasikan dengan konteksnya. Berangkat dari hal ini,

perjuangan HAM bergerak menjauhi kerangka positivis sehingga wacana HAM lebih

kuat, hak tidak hanya “sesuatu” yang menunggu untuk ditemukan dan diukur, tetapi

lebih merupakan hasil dari perjuangan sejarah yang sedang berlangsung di mana

setiap pekerja sosial berkecimpung di dalamnya. Karena itu, HAM tidak dapat

dipahami secara statis, tapi harus dilihat konteks historisnya. Oleh karena itu, studi

tentang sejarah adalah penting bagi pekerja sosial. Urgensinya adalah karena 4

alasan, yaitu:

Pertama, perspektif historis penting untuk menekankan bahwa sesuatu itu dapat

dicapai dan dapat berubah. Tidak ada yang tidak mungkin. Ini juga agar para

pejuang HAM, peksos termasuk di dalamnya, tidak berkecil hati dalam ranah kerja

mereka. Ini sebagai bantahakan kepada argumentasi kaum konservatif yang

menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada adalah “urutan alami” dan tidak dapat

diubah, maka percayalah bahwa cara orang berperilaku dalam dunia modern adalah

“sifat manusia”, tidak dapat diubah. Fakta sejarah menunjukkan sebaliknya .

Ke dua, studi sejarah dapat dilihat sebagai studi tentang perjuangan HAM, yang

memberikan reaksi yang sangat cepat akan isu HAM yang sedang terjadi. Beragam

agenda perjuangan HAM masa lalu, yang dialami berbagai bangsa di dunia, adalah

sejarah yang sangat penting bagi setiap peksos yang mengidentifikasi sebagai

pekerja HAM. Oleh karena itu, HAM dapat dilihat sebagai komponen utama

pendidikan pekerjaan sosial.

Ke tiga, studi sejarah penting karena kita perlu untuk meruntuhkan kerangka yang

menyatakan bahwa HAM itu adalah dominasi Barat. Ini sudah kita bahas pada Bab 4

yang lalu. Pandangan demikian sangat membatasi pemahaman HAM (Touraine

1995), dan karenanya, Barat wajib bertanggung jawab karena HAM difahami secara

sempit, yaitu fokus pada hak sipil dan politik. Dominasi Barat dalam memahamkan

HAM inilah yang merupakan “kolonialisme”. Studi sejarah adalah salah satu cara di

mana kebutaan budaya tersebut dapat diatasi, yaitu melalui studi tentang “sejarah

gagasan” yang melampaui batas-batas tradisi intelektual Barat, sejarah imperialisme

dan kolonialisme Barat dan perjuangan terhadapnya.

7

Ke empat, pentingnya sejarah adalah perpanjangan gagasan hak asasi manusia

untuk isu-isu keadilan antar-generasi, seperti dibahas dalam Bab 1. Jika generasi

sekarang dipandang dianggap bertanggung jawab untuk menangani pelanggaran

HAM di masa lalu, dan mencegah pelanggaran HAM untuk generasi mendatang,

maka perlu memasukkan perspektif sejarah dalam pekerjaan HAM. Peksos dengan

individu, keluarga, atau masyarakat harus mencakup pemahaman tentang sejarah

peradaban masa lalu, sehingga isu-isu HAM saat itu bisa dikontekstualisasikan

dengan saat sekarang.

Melalui studi tentang sejarah, HAM harus dipahami secara historis dan kontekstual.

Sebaliknya, praktek yang ahistoris, adalah kelanjutan dari pelanggaran HAM, karena

tidak mengakui pentingnya kerangka sejarah pelanggaran HAM.

6. Struktur yang Merugikan

Untuk memahami mengapa HAM tidak diterangkan, direalisasikan atau dilindungi?

Ini bagi banyak orang membutuhkan sebuah analisis tentang struktural penindasan

atau merugikan. Ini harus berdasar pada “semua dasar HAM” pekerjaan sosial.

Sejumlah kerugian individu, merupakan fokus pemahaman peksos tentang “orang

beserta masalahnya”. Tidak cukup seorang peksos bertanya, misalnya :

mengapa banyak orang mengalami kemiskinan?

mengapa wanita sering dirugikan, baik di sektor publik maupun domestik?

mengapa perempuan dan anak-anak tetap menjadi korban utama kekerasan?

mengapa Masyarakat Adat terus dirugikan dan mengalami diskriminasi?

mengapa ada beberapa negara-negara kaya dan beberapa negara miskin?

mengapa warna kulit seseorang menentukan perlakuan?

mengapa globalisasi hanya menguntungkan sekelompok orang dan merugikan

yang lain?

Penindasan ini perlu dianalisis secara kuat. Klien merupakan korbannya, mungkin

banyak yang tidak menyadari semua ini. Dan peksos tidak bisa berharap untuk

memahami, apalagi bantuan mereka, tanpa pemahaman yang baik tentang sifat

mereka dan kegunaan struktur penindasan dan kelemahan ( Mullaly 1997) .

Jadi jika fokus peksos adalah HAM, maka harus mengatasi masalah “struktur yang

merugikan” tersebut. Memang, praktek yang tidak concern menganalisis “struktur

penindasan”, justeru akan memperkuat system tersebut. Sama seperti banyak aktivis

8

Marxis yang sebelumnya berkuasa, mereka justeru memperkuat penindasan

terhadap perempuan karena kaum Marxis ini buta dengan analisis gender.

Maka, peksos harus memasukkan analisis multidimensi tentang struktural yang

merugikan. Ini harus menjadi pemikiran utama peksos, di tingkat apa pun pekerja

sosial berkarya. Ketimpangan struktural dan penindasan adalah konteks di mana

pekerja sosial berkarya, dan jika mereka tidak berusaha untuk menjadi bagian dari

solusi, praktek mereka pasti akan menjadi bagian dari masalah.

7. Holisme (HOLISM)

Keruntuhan pandangan Barat tentang HAM menuntut untuk membuang terbatasnya

cara berfikir linier yang merupakan ciri khas pandangan Pencerahan, untuk

kemudian maju dan menjangkau pemahaman yang lebih holistik. Ini merupakan

refleksi dari implementasi gagasan HAM dalam tugas warga Negara dan kebutuhan

untuk kontekstualisasi HAM melalui definisi kebutuhan manusia, ini hanya dapat

benar dipahami dalam kerangka yang lebih holistik ekologi.

Holisme bukan hal baru bagi pekerja sosial, dan penting dalam sejumlah bentuk

praktek peksos (misal, model ekologi Germaine 1991). Tapi meninggalkan pemikiran

linear tidak mudah bagi peksos yang terdidik dalam tradisi Barat karena tradisi ini

secara konsisten menekankan hubungan kausal linier, menyelidiki satu hal, dan

penelitian itu menemukan banyak hal yang kurang tentang salah satu bagian dari

gambaran. Seharusnya, mereka memahami bagaimana semua komponen yang

berbeda berinteraksi dan berkontribusi terhadap keseluruhan, sebab “keseluruhan”

itu lebih dari sekedar jumlah bagian-bagiannya.

Pekerjaan sosial sebenarnya menyajikan peluang untuk melakukan hal ini , misalnya

dalam mencoba memahami sebuah keluarga, komunitas, atau organisasi. Pekerja

sosial biasanya akan mencoba melihatnya sebagai kompleksitas daripada

membaginya menjadi bagian-bagian penyusunnya dan mempelajari bagian-

bagiannya.

Salah satu sumber penting paradigma yang lebih holistik dan sistemik, dari dalam

konteks Barat, yaitu Green Movement “Gerakan Hijau” (Goodin 1992; Dobson 1995,

Carter 1999; Torgerson 1999). Gerakan ini menekankan “saling keterkaitan” lebih

penting daripada bagian dari pendekatan ekologis. Gerakan ini juga menyatakan

bahwa mengejar pemikiran linier murni dapat menyebabkan bencana ekologis.

Faktanya, Green-Movement memiliki dasar yang kuat dalam ilmu fisika, ia makin

9

menguatkan kehormatan ilmiah, dan menulis banyak hal selama lebih dari 50 tahun

terakhir yang merupakan tantangan besar kepada cara berpikir tradisional Barat.

Penting juga bagi pekerja sosial: gerakan lingkungan, dalam banyak hal, telah

mengejar tujuan yang sama (misalnya pembangunan masyarakat yang

berkelanjutan), dan dengan masuknya hak lingkungan dalam bidang HAM,

lingkungan menjadi sah, dan memang penting, untuk dijadikan fokus praktik peksos.

Sumber pandangan dunia yang lebih holistic dan sistemik lainnya, dapat ditemukan

dalam Tradisi intelektual non-Barat, misalnya:

Ajaran Buddha atau tradisi Konghucu11, yang menekankan harmoni dan

keseimbangan (sistemik-alamiah).

Masyarakat Adat yang menekankan kesatuan dengan alam dan pentingnya

keutuhan dan interkoneksi.

Pemikiran linear Barat adalah benar-benar tradisi menyimpang dan tidak sejalan

dengan norma-norma intelektual tradisi budaya lainnya. Apabila pekerja sosial Barat

mau menerima pandangan ini, maka perlu kesederhanaan dan kerendahan hati, dan

ini bertentangan dengan tabiat dan arogansi Barat.

8. Post-modernisme dan Post-Strukturalisme

Pemahaman post-modern itu penting bagi pekerja sosial. Ia merupakan komponen

penting praktek pekerjaan sosial dalam mengkritisi pemahaman modernis. Post-

modernisme membantu pekerjaan sosial untuk meninggalkan “narasi tunggal” dan

obsesi yang hanya memberikan “satu jawaban benar” untuk setiap masalah. Post-

modernisme berpandangan untuk menghargai beragam suara dan memungkinkan

untuk mengkonstruksi pemaknaan yang juga beragam dan beragam realitas.

Kita juga sudah sampaikan pada Bab VII tentang bahayanya “postmodernisme

ekstrim”, dan pasti juga ada pandangan yang berbeda tentang makna

postmodernisme bagi pekerjaan sosial (Pease & Fook 1999). Tapi bahwa

postmodernisme adalah penting bagi pekerjaan sosial, itu sudah jelas. Post-

modernisme menerima ambiguitas, dan mengakui keragaman, dan tidak membawa

keberagaman tadi dalam “sebuah kerangka kerja yang koheren”. Konsekuensinya, ia

akan mendobrak batasan yang selama ini ada dan menuju ketidakpastian dan

ambiguitas. Oleh karena itu, post-modernisme menyediakan potensi arena yang

11

De Bary & Weiming 1998; Hershock 2000.

10

menjanjikan untuk berteori, yang tentu saja bertentangan dengan kepastian dan

mendasar, yaitu dunia atheoretical praktek berbasis bukti.

Desakan buku ini adalah tentang membangun wacana HAM, dan bagaimana ia

mengubah wacana kekuasaan, menunjukkan bahwa perspektif pasca-strukturalis,

yang terggambar pada karya Foucault (1970, 1972, 1986, 1991), telah mendasari

banyak pendekatan yang diambil dalam buku ini (Parton & O'Byrne 2000). Karya

Foucault tentang wacana kekuasaan dan pandangan Habermas tentang wacana

rasionalitas (Habermas 1984) merupakan referensi penting bagi siapa saja yang

tertarik mengembangkan praktek peksos berbasis HAM yang kuat. Analisis

postmodernis, juga menghargai konstruksi dan dekonstruksi (penghancuran

pandangan lain), ambiguitas dan menghilangkan batas-batas, dan membelah

keajegan dan membentuk kembali kepastian yang sudah jelas. Ini penting dalam

menemukan pekerjaan sosial sehingga relevan dengan kondisi postmodernitas.

B. PEMBERDAYAAN (EMPOWERMENT)

Gagasan tentang pemberdayaan tetap menarik bagi peksos, dan untuk alasan yang baik :

ide sederhana memungkinkan orang lain untuk mencapai kekuatan lebih. Bagi banyak

peksos, praktek yang demikian adalah segalanya. Dan bagi praktek yang berbasis HAM,

adalah menyiratkan secara kuat tentang unsur pemberdayaan, ide-ide agar bagaimana

orang lain bisa mendefinisikan hak mereka lalu bertindak merealisasikannya kemudian

melindungi mereka. Inilah esensi dari pemberdayaan.

Tidak masuk akal jika kita berbicara tentang pemberdayaan, tanpa melihat beberapa

pemahaman tentang sifat kekuasaan dan berbagai teori dan perspektif politis pada

kekuasaan, termasuk di dalamnya pluralis, elitis, struktural dan poststructural (Clegg 1989).

Pandangan post-struktural, dalam pendekatan peksos, adalah membangun dan

merekonstruksi ulang wacana kekuasaan yang cenderung konstan, sehingga bisa bergerak

dan berubah. Namun, kekuasaan struktural, yang dipahami sebagai pihak yang merugikan

pihak tertentu, semisal: kelas, ras, gender, dan sebagainya, juga sama-sama penting.

Pemahaman peksos tentang kekuasaan perlu menggabungkan kedua perspektif tersebut

(struktural dan post-struktural) dalam rangka pemberdayaan klien.(Healy 2000). Ada

sejumlah pendekatan HAM bagi praktik yang berbasis pemberdayaan, yaitu:

1. Praksis Dialogis (Dialogical Praxis)

Gagasan “praksis dialogis” menarik terutama pada karya Paulo Freire (1972, 1985,

1996) dan lain-lain yang mencari cara untuk menempatkan karyanya dalam praktek

(McLaren & Leonard 1993; McLaren & Lankshear 1994).

11

Kata kuncinya adalah “penyadaran”, yaitu peningkatan kesadaran melalui dialog,

menghubungkan personal dan politik, sedemikian rupa sehingga membuka

kemungkinan tindakan sebagai orang menjadi lebih sadar akan struktur dan wacana

yang mendefinisikan dan mengabadikan penindasan. Ini sama dengan kritikan dari

paradigma ilmu sosial, seperti yang dijelaskan oleh Brian Fay (1975, 1987). Namun,

sebagai pendekatan untuk ilmu sosial, dan penggunaan yang sangat akan gagasan

meningkatnya kesadaran, malah bisa merendahkan dan menindas. Misalnya,

peksos, ia seakan arogan dan menganggap memiliki kesadaran lebih unggul dan

berusaha untuk memaksakannya pada klien. Untuk itulah, gagasan dialog sangat

penting. Hal ini, baik peksos maupun klien, sama-sama dianggap setara dan ahli.

Meskipun benar bahwa pekerja memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus yang

klien tidak punya. Dan benar pula bahwa klien memiliki berbagai pengetahuan,

keterampilan, dan keahlian yang tidak dimiliki peksos, yaitu pengalaman hidup dan

keterampilan bertahan hidup. Ini adalah bentuk praktik yang bertujuan untuk

mencapai HAM dan juga menghormati dan menegaskan HAM dalam metodologi

aktual yang digunakan (Narayan 2000).

2. Demokrasi Partisipatif (Participatory Democracy)

Pekerjaan social dilandasi semangat gagasan HAM, ia harus ditujukan untuk

semaksimal mungkin melibatkan partisipasi sipil dalam seluruh aspek kehidupan. Hal

ini bisa dilakukan pada satu tingkat, misalnya, dengan bekerja dengan individu.

Caranya, dengan memotivasi munculnya pastisipasi komunitas melalui penghargaan

terhadap kontribusi anggota tentang apa yang mereka buat dan mereka harapkan.

Kedua, melalui memberi fasilitas terhadap partisipasi tersebut melalui beragam

ranah skills yang familiar bagi peksos komunitas.

Gagasan partisipasi dan dekokrasi yang partisipatif tentu saja harus diuji dan ini sulit

dan merupakan arena yang kontradiktif dalam praktik peksos. (Clarck, 2000). Tidak

ada ruang yang bisa mendiskusikan seluruh masalah, kontradiksi partisipasi, dan

demokrasi partisipatif. Ini yang saat ini penting dalam konteksnya sebagai ranah

praktik peksos dan patut diperjuangkan oleh peksos yang menghargai gagasan dan

akibat dari HAM.

3. Praktik Anti-Kolonialisme (Anti-Colonialist Practice)

Satu dari kritikan tajam kepada dominasi Barat terhadap HAM adalah bahwa wacana

HAM –selalu dikaitkan dengan pemikiran penceraham-- selalu difahami dan

digunakan sebagai dukungan kepada kolonialisasi dan melanjutkan kolonialisasi

Barat kepada Negara lain dalam ranah ekonomi, politik, dan norma budaya. (Pereira,

1997). Tentang ini kita sudah kaji pada Bab IV.

12

Kata kunci dari istilah “anti-kolonialisme” adalah mendengarkan suara dari mereka

yang menjadi korban kolonialisme. Korban kolonialisme harus bisa diberi

kesempatan untuk memberikan alternative tentang “makna kebijaksanaan dan ilmu

pengetahuan” yang selama ini ditiadakan oleh Barat dari mereka. (Knudston &

Suzuki, 1992).

4. Feminisme (Feminism)

Sebuah feminisme struktural atau post-struktural adalah komponen penting, sebagai

kritik atas struktur patriarkal yang dominan dan menindas serta wacana yang

mengingkari HAM. Ini belum banyak concern dari lembaga atau peksos. Patriarki

merupakan pelanggaran HAM yang utama, dalam semua kategori HAM. Praktik

peksos harus menghadapi struktur patriarkal ini.

Seorang peksos seharusnya bisa memastikan bahwa:

(i) Analisis feminis adalah bagian dari proses assessment dan analisis

(menempatkan klien sebagai bagian dari praksis-dialogis), dan

(ii) Format praktik yang feminis harus menghadapi struktur dan proses patriarkal

(iii) Pandangan feminis harus menjadi seluruh bagian setting peksos.

5. Tidak Memaksa/Kejam (Non-Violence)

Non-Violence terletak pada (i) Menolak pembedaan antara sarana dan tujuan, dan

(ii) Menolak cara-cara kekerasan untuk memenuhi “tujuan yang tanpa kekerasan”.

Prinsip tanpa kekerasan adalah bahwa sarana dan tujuan tidak dapat dipisahkan,

dan bahwa menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan “non-

kekerasan” justeru akan merusak tujuan dan tidak akan mencapai hasil yang

diinginkan (Fay 1975).

6. Kebutuhan (Needs)

Tema bagaimana mendefinisikan kebutuhan sebagai wujud dari HAM, ini sudah kita

bahas pada Bab V. Aspek pentingnya adalah pendefinisian kebutuhan itu harus

memperhatikan suara klien. Ini bisa peksos peroleh melalui proses yang praksis-

dialogis. Peksos harus bisa mengidentifikasi HAM yang tersirat dalam pernyataan

tentang kebutuhan, mengujinya, dan mendiskusinya secara matang. Kedua, Peksos

juga harus bisa menyimpulkan makna HAM dalam setiap kata “kebutuhan” yang

klien ungkapkan. Intinya, kemampuan mendefinisikan kebutuhan adalah salah satu

aspek paling penting dalam praktik HAM.

7. Penelitian (Research)

Sebagain piranti penting dalam praktik, maka penelitian berfungsi membentuk desain

dan metode dalam (i) assessment kebutuhan, (ii) evaluasi praktik, (iii) pembuatan

dokumen kekurangan welfare-state, (iv) mengumpulkan data masalah social, (v)

13

memahami klien yang bekerja bersama peksos, (vi) menggali kontradiksi dan

dilemma praktik, dan lain-lain. (Fook, 1996).

C. KONTEKSTUAL/ISU-ISU UNIVERSAL

HAM harus difahami secara universal. Dalam pandangan post-modernisme, semakin

banyaknya setting dan beragamnya penjelasan HAM adalah melalui konteks dan

relativisme. Jika mengkonfrontir dualism antara universalitas dan kontekstualitas, dan

menggali bagaimana teori dan praktik peksos dapat memahami HAM dalam

universalitas dan kontektualitasnya, maka ia merupakan tantangan bagi mayoritas

peksos yang berbasis HAM.

1. Personal dan Politik

Hal ini merupakan pusat pekerjaan social, yaitu memahami individu dalam bingkai

politik, dan memahami politik dalam ranah individu, kemudian membawanya untuk

mengubah keduanya. (Van Den Bergh & Cooper, 1986; Dominelli & McLeod, 1989;

Fook, 1993).

2. Privat dan Publik

Implikasi praktek peksos adalah menghubungkan ranah privat dan publik,

sebagaimana kita hubungkan personal dan politik. Penting bagi pekerja sosial untuk

teguh pada pemahaman tentang HAM yang meluas ke ranah privat menjadi bagus

sebagaimana ranah publik, dan merincinya agar efektif dalam memperjuangkannya.

Sebab, di sini tidak ada kepentingan Negara.

3. Relativisme Budaya

Budaya, memiliki karakteristik selalu berubah dan beragam. Sebuah kerangka HAM

yang luas memungkinkan peksos memahami bahwa penindasan dan pelanggaran

HAM terjadi melintasi batas-batas budaya dan bahwa perjuangan untuk HAM dan

keadilan sosial melampaui perbedaan budaya. Pada saat yang sama, pelanggaran

terjadi dalam konteks budaya, maka perlu difahami oleh peksos bahwa perjuangan

untuk merebutnya berada dalam budaya yang berbeda pula.

4. Praktik Makro-Mikro

Seorang peksos ranah casework, yang menangani masalah individu dan keluarga,

tidak bisa hanya fokus pada dua hal itu dan tidak memperhatikan bagaimana konteks

social yang ada. Peksos mesti pendekatan casework yang terlalu sederhana ini.

Sebagian besar peran peksos, kemampuannya membantu individu atau keluarga

dipengaruhi oleh sejauh mana kapasitasnya tentang “bekerja dalam system

organisasi”, menjalankan pertemuan tim, mengadvokasi layanan komunitas, dan

membangun dukungan komunitas secara kuat.

14

Seorang peksos ranah makro atau ranah kebijakan publik, juga tidak boleh

menyepelekan pemahaman dan skill dalam ranah mikro. Ia terkadang butuh akan

interpersonal-skills dalam konteks luas, bukan dalam arti interview sebagaimana

difahami secara konvensional.

5. Global dan Lokal

Seorang peksos harus bisa berpraktik dalam 2 segmen, global dan local. Prakik

peksos dalam ranah local adalah bukan barang baru. Namun, praktik dalam ranah

global juga sudah muncul bersamaan dengan globalisasi. Maka, praktik local/global,

keduanya adalah penting. Sebab banyak permasalah local yang diakibatkan dari isu

global. Solusinya, meski merupakan isu global, harus dilakukan dalam konteks local.

Apalagi terkait HAM, dimana ia meski sangat universal, tetapi harus tetap

menghargai nilai dan etika local.

Jika peksos berpraktik dalam ranah global, ia dituntut untuk memahami system-

struktur global, semisal PBB beserta perangkatnya, kelompok regional semisal uni-

Eropa, ASEAN, organisasi ekonomi semisal Bank Dunia, IMF, WTO, dan berbagai

LSM asing.

Tuntutan bagi peksos adalah tidak hanya bisa kerja di ranah global atau local. Tapi

bagaimana ia bisa menjalin dua bingkai ini dalam format praktik yang kreatif yang

tidak “memecah” local atau global. Ini artinya, peksos harus melihat masalah local

juga sebagai masalah global, mencari cara bagaimana menyelesaikan, dan

menyambungkan dua hal tersebut. Hal ini tidak bisa dilakukan sendiri, namun peksos

harus secara kooperatif dalam dua tingkatan, yaitu:

(i) Bekerja secara dialogis dengan klien (individu atau masyarakat)

(ii) Membangun pola kerjasama (partnership) dengan peksos lain, klien, masyarakat

lainnya di dunia yang memiliki kasus sama.

***

15

BAB III

PEMBAHASAN

MENGGAPAI HAM MELALUI PRAKTIK PEKSOS

Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai sesuatu yang luhur yang dimiliki oleh manusia tanpa

terkecuali, seyogyanya otomatis dimiliki semenjak lahir hingga wafat. Namun pada

kenyataannya, tataran lapangan tidak seindah yang dibayangkan. Banyak pelanggaran

HAM, dari awal sejarah peadaban manusia hingga sekarang menunjukkan HAM perlu

diperjuangkan. Jim Ife mengatakan, “mendefinisikan HAM tidak akan pernah final.”

Schmitz and Sikkin (2002)12 mendefinisikan HAM sebagai berikut:

Human right are a set of principles of ideas about the threatment to which individual are

entitled by virtue of being human. The Human right discourse is universal in character and

includes claims of equality and non-discrimination (p. 157).

Hak asasi manusia adalah:

Seperangkat prinsip yang tinggi/luhur

Ingin diwujudkan oleh manusia

Agar menjadi manusia seutuhnya

Tentang kesetaraan dan non-diskriminasi.

Susan C. Mapp (2008) mengatakan:

The rights it defines were intended to be universal and indivisible—that is, all humans have

the right to them regardless of culture, political system, ethnicity, or any other characteristic

(universal), and a country cannot select which rights it should grant; all humans should have

all rights (indivisible)…. Not all rights claimed by people can be regarded as human rights.

By human rights we generally mean those rights which we claim belong to all people,

regardless of national origin, race, culture, age, sex, or anything else. (p.17 - 18)

Menurut Susan C. Mapp, hak memiliki ciri-ciri:

Universal,

Tidak dapat dipisah-pisahkan,

Dimiliki setiap manusia tanpa melihat budaya, system politik, suku, dan karakteristik

apapun,

Sebuah Negara tidak dapat menentukan hak tertentu untuk diakui dan tidak diakui,

12

Derrick M. Nault and Shawn L. England, “Globalization and Human Right in the Developing World”, Palgrave Mac-Millan, 2011. Downloaded from: http://bookre.org/reader?file=1434909&pg=1 , at August 29

th 2013.

16

Setiap manusia memiliki semua hak tersebut tanpa terpisah-pisahkan.

Namun, tidak setiap hak yang dituntut oleh orang bisa disebut sebagai HAM. Dengan HAM,

kita biasanya mengartikannya sebagai hak yang kita anggap sebagai hak milik semua

orang, terlepas dari perbedaan asal Negara, ras/warna kulit, budaya, suku, usia, jenis

kelamin, dan sebagainya. (hal. 17 - 18) 13.

LANDASAN TEORITIK

Praksis (Praxis)

Moralitas (Morality)

Penuh Semangat (Passion)

Ideologi (Ideology)

Sejarah (History)

Struktur yang Merugikan

Holisme (Holism)

Post-modernisme dan Post-Strukturalisme

D. PEMBERDAYAAN (EMPOWERMENT)

Empowerment atau pemberdayaan adalah proses seseorang dengan system lingkungannya

saling berhubungan secara mutualistic dan saling bergantung. artinya, individu-individu

ditingkatkan kapasitasnya, menggunakan kapasitasnya tersebut untuk mengkontrol dan

mempengaruhi lingkungannya.14

Ada tiga sendi empowerment, yaitu:15

Share Information with others (berbagi informasi)

Create autonomy through Boundaries (Menciptakan otonomi melalui batas aturan)

Replace Hierarchical thinking with Self-Managed Team (Mengganti cara berfikir yang

hirarkhis dengan “Tim yang memenej sendiri”).

Terkait dengan definisi dan sendi-sendi empowerment, maka seorang peksos harus bisa

berbagi informasi yang akurat dengan klien tentang potensi klien, system sumber yang bisa

13

Susan C. Mapp, “Human Right and Social Justice in a Global Perpective: an Introduction to Int’l. Social Work”, Oxford Univercity Press, 2008.

14 Rappaport, 1987; Zimmerman, 1990, 2000 dalam Donald M. Linhorst Empowering People with Severe Mental Illness: A Practical Guide, oxford University Press, 2006.

15 Ken Blanchard et.al. Empowerment Takes More Than a Minute, 2nd ed., Barrett-Koehler Publisher, Inc. San Fransisco, California, 2001.

17

diakses, dan lain-lain; menguatkan otonomi klien untuk “menerangkan dirinya dan

masalahnya” dan menetapkan solusi terbaik sendiri; mendobrak “belenggu” masalah dan

memastikan “ia bisa” menyelesaikan masalahnya.

Ada sejumlah pendekatan HAM bagi praktik yang berbasis pemberdayaan, yaitu:

Praksis Dialogis (Dialogical Praxis)

Demokrasi Partisipatif (Participatory Democracy)

Praktik Anti-Kolonialisme (Anti-Colonialist Practice)

Feminisme (Feminism)

Tidak Memaksa/Kejam (Non-Violence)

Kebutuhan (Needs)

Penelitian (Research)

E. KONTEKSTUAL/ISU-ISU UNIVERSAL

Personal dan Politik

Privat dan Publik

Relativisme Budaya

Praktik Makro-Mikro

Global dan Lokal

***

18

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Berdasarkan apa yang sudah kami kemukakan pada bab-bab terdahulu, dapat kami

simpulkan hal-hal sebagai berikut:

Hak asasi manusia (HAM) menjadi ada ketika ia diperjuangkan. Proses perjuangan HAM

bisa dilakukan dengan berbagai cara, (i) secara pribadi, (ii) melalui pendekatan militer, dan

(iii) melalui pekerjaan social dalam arti luas. Pendekatan pekerjaan social sebagai soft-

power dianggap efektif karena bisa mencapai hasil maksimal dengan cara-cara yang lebih

beradab.

Ada trilogy dalam menggapai HAM melalui praktik pekerjaan social, yaitu (i) memahami

wacana HAM, (ii) pemberdayaan, dan (iii) kontekstualisasi isu-isu HAM. Agar praktik

pekerjaan social bisa optimal, efektif dan efisien, maka ketiga hal di atas harus secara tepat

dilakukan.

SARAN

1. Pekerja Sosial harus mendalami wacana HAM, aspek empowerment, dan

konteksualisasi dalam praktiknya, sehingga pelayanan akan benar-benar efektif, efisien,

akuntabel, optimal.

2. Para stakeholder, seperti Kementerian Sosial RI, kementerian terkait, dan termasuk

IPSPI, NGO-NGO, perlu untuk secara secara periodic melakukan upgrading

kemampuan dan ketrampilan pekerja social tentang pendekatan dalam menangani klien.

***

19

DAFTAR PUSTAKA

Derrick M. Nault and Shawn L. England, “Globalization and Human Right in the

Developing World”, Palgrave Mac-Millan, 2011. Downloaded from: http://bookre.org/reader?

file=1434909&pg=1 , at August 29th 2013.

Donald M. Linhorst, Empowering People with Severe Mental Illness: A Practical Guide,

oxford University Press, 2006.

Ken Blanchard et.al., Empowerment Takes More Than a Minute, 2nd ed., Barrett-Koehler

Publisher, Inc. San Fransisco, California, 2001.

Jim Ife, Human Right and Social Work: Toward Right-Based Practice”, Cambridge

Univercity Press, 2008;

Susan C. Mapp, “Human Right and Social Justice in a Global Perpective: an Introduction to

Int’l. Social Work”, Oxford Univercity Press, 2008.

http://en.wikipedia.org/wiki/Aung_San_Suu_Kyi; downloaded at October 6th 2013

http://www.beliefnet.com/Faiths/2001/06/What-Theravada-Buddhists-Believe.aspx;

downloaded at October 6th 2013.

http://en.wikipedia.org/wiki/V%C3%A1clav_Havel#Awards, downloaded at October 6th 2013.

***