perbedaan kualitas hidup pasien saat dipasung, masa ...eprints.ums.ac.id/71767/1/naskah...
TRANSCRIPT
i
PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PASIEN SAAT DIPASUNG,
MASA PERAWATAN, DAN PASCA PERAWATAN
PASIEN PASCA PASUNG DI SUKOHARJO
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I
pada Jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Oleh:
DEWI AULIA RACHMAWATI
J210171173
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
i
ii
iii
1
PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PASIEN SAAT DIPASUNG,
MASA PERAWATAN, DAN PASCA PERAWATANPASIEN
PASCAPASUNG DI SUKOHARJO
Abstrak
Gangguan mental berdampak pada penurunan produktivitas, peningkatan
biaya perawatan dan menciptakan masalah baru. Pemahaman tentang
keluarga dan komunitas yang kurang dalam gangguan mental dan
pandangan miring tentang hasil penderita dalam keluarga dengan gangguan
mental semakin tidak mampu membuat keputusan yang tepat untuk merawat
orang-orang dengan gangguan mental. Jadi jika keluarga telah menyerah
untuk mempertimbangkan beban, pengasingan atau pasung menjadi pilihan
keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas
hidup pasien saat di pasung, perawatan massal, dan pasca perawatan pasien
setelah pasung di Sukoharjo. Penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif.
Populasi penelitian adalah 30 pasien pasung di wilayah Kabupaten
Sukoharjo. Sampel penelitian dari 30 pasien pasca pasung ditentukan
dengan menggunakan teknik total sampling. Pengumpulan data penelitian
menggunakan instrumen kuesioner, sedangkan analisis data menggunakan
analisis univariat. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan
kualitas hidup pasien pasung, masa perawatan dan pasung pasung pasien di
wilayah kerja Puskesmas Sukoharjo.
Kata kunci: kualitas hidup, selama pasung, masa pengobatan, pasca pasung
Abstract
Mental disorders have an impact on decreasing productivity, increasing
maintenance costs and creating new problems. Understanding of families
and communities who are lacking in mental disorders and a slanted view of
sufferers results in families with mental disorders increasingly unable to
make the right decisions to care for people with mental disorders. So if the
family has come to surrender to consider a burden, exile or pasung becomes
the choice of the family. This study aims to determine the differences in the
quality of life of patients while in pasung, mass care, and post-treatment of
patients after pasung in Sukoharjo. This research is quantitative descriptive.
The study population was 30 patients after pasung in the Sukoharjo
Community Health Center work area. The study sample of 30 patients post
pasung was determined using total sampling technique. The collection of
research data using questionnaire instruments, while data analysis using
univariate analysis. The conclusion of the study was that there were
differences in the quality of life of patients during pasung, the period of care
and post-pasung patient pasung in the work area of Sukharjo Health Center.
2
Keywords: quality of life, during pasung, treatment period, post pasung
1. PENDAHULUAN
Gangguan jiwa merupakan kondisi dimana mental seseorang kurang berfungsi
dengan baik yang dapat mengakibatkan terganggunya fungsi sehari-hari.
Gangguan jiwa yang dialami seseorang memiliki gejala yang berbeda-beda, baik
yang tampak jelas maupun yang hanya terdapat dalam pikirannya. Mulai dari
perilakuyang tidak mau berhubungan dengan orang lain, menghindar dari
lingkungan, tidak mau makan hingga mengamuk tanpa sebab yang jelas (Lestari,
2014). Gangguan jiwa merupakan penyakit dengan manifestasi yang berhubungan
dengan psikologik atau perilaku yang berkaitan dengan gangguan fungsi akibat
gangguan sosial, biologis, psikologis, genetik, kimiawi maupun fisik dengan tanda
gejala yang khas (Wijayanti, 2014).
Menurut badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization
(WHO)tahun 2016 melaporkansekitar 450 juta orang di dunia mengalami
gangguan jiwa. Menurut laporan dari Human Rights Watch Indonesia dengan
jumlah penduduk sekitar 250 juta orang sakit jiwa, sedangkan Indonesia memiliki
600-800 psikiatri, hal tersebut berarti satu orang menangani 300.000 hingga
400.000 orang (Wijayanti, 2016). Di Cina jumlah pemasungan di tahun 2012
mencapai 230 ini berlokais di daerah demonstrasi di 26 provinsi (Guan, et all.
2015).
Prevalensi gangguan jiwa di Indonesia mencapai 1,7 permil. Data gangguan
jiwa berat yang pernah dipasung sebanyak 14,3 persen. Pemasungan yang terjadi
dipedesaan 18,2 persen. Pravelensi gangguan mental emosional yang terjadi di
pedesaan sebanyak 6,1 persen. Dari 33 rumah sakit jiwa (RSJ) di Indonesia
jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta jiwa. Studi penelitian
(Wijayanti, 2016). Penyebaran pasien pasung di Jawa Tengah pada tahun 2011-
2015 yang sebagian besar dirawat di RSJ dr. Soerojo Magelang berjumlah 260
kasus. Jumlah kunjungan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) pada tahun
2015 sebanyak 31.504. kunjungan pada orang dengan gangguan jiwa terbesar
dirumah sakit sebanyak 60,59 persen (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
3
Tahun 2015). Pasien pasung yang berada di wilayah Kabupaten Sukoharjo pada
tahun 2013 yang masuk RSJ Surakarta sebanyak 37 pasien data ini didapat dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo.
Pemasungan merupakan tindakan memasung menggunakan balok kayu pada
tangan dan kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan pada suatu tempat
tersendiri di dalam rumah ataupun hutan. Salah satu tujuan pemasungan adalah
membatasi gerak penderita gangguan jiwa dengan cara memasang kayu yang
dibuat secara khusus (kayu apit) pada kedua kaki sehingga seseorang itu tidak
dapat melakukan aktivitas kehidupan seperti perawatan diri, buang air kecil dan
buang air besar. Alasan keluarga melakukan pemasungan cukup beraneka ragam
diantaranya untuk mencegah seseorang yang dipasung melakukan tindakan
kekerasan yang membahayakan bagi dirinya dan orang lain, mencegah untuk
meninggalkan rumah, mencegah menyakiti diri sendiri seperti melakukan bunuh
diri, dan karena ketidaktahuan serta ketidakmampuan keluarga dalam menangani
ketika kambuh. Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan keluarga merupakan
penyebab seseorang dengan gangguan jiwa berat dipasung (Suharto, 2014).
Faktor keluarga melakukan pemasungan diantaranya untuk mencegah
penderita gangguan jiwa melakukan tindakan kekerasan yang dianggap
membahayakan terhadap orang lain maupun diri sendiri. Selain itu upaya ini
mencegah penderita gangguan jiwa agar tidak kambuh (meninggalkan rumah,
perilaki kekerasan, isolasi sosial). Selain itu kemiskinan dan rendahnya
pendidikan keluarga mempengaruhi salah satu penyebab pasien gangguan jiwa
berat hidup terpasung. Ketidaktahuan keluarga, rasa malu keluarga, penyakit yang
tidak kunjung sembuh, tidak adanya biaya pengobatan, dan tindakan keluarga
untuk mengamankan lingkungan merupakan penyebab seseorang dengan
gangguan jiwa mengalami pemasungan oleh keluarga (Romandoni, 2015).
Tindakan pasung dilakukan oleh pasien gangguan jiwa kronis, disertai dengan
perilaku agresif, kekerasan, mengamuk, dan halusinansi yang beresiko menciderai
diri sendiri maupun orang lain dilingkungannya. Pemasungan merupakan
kegagalan keluarga dalam mendukung keluarga untuk membawa pasien ke tempat
pelayanan kesehatan yang terdekat, tindakan pemasungan itu hanya memperparah
4
kondisi gangguan jiwa. Pemasungan itu sendiri dapat menyebabkan terbatasnya
pemenuhan kebutuhan dasar hidup, termasuk kesehatan, pendidikan dan
pekerjaan. Seseorang yang dipasung dalam waktu yang lama akan mengalami
atropi otot, tidak mampu berjalan, mengalami cidera. Dampak lain dari
pemasungan itu sendiri pasien mengalami trauma, dendam kepada keluarga,
merasa terbuang, rendah diri, dan putus asa, bisa jadi muncul depresi dan
berniatan melakukan bunuh diri (Yususf, 2017).
Kesehatan mental telah dikonseptualisasikan sebagai emosi positif yang ada
dalam konsep kesehatan mental positif termasuk kesejahteraan, ketahanan, dan
kualitas hidup. Dalam mencapai tujuan kesehtaan seseorang tidak dapat
mengabaikan kesehatan fisik dan kesehatan mental (Kalre et al, 2012).
Kualitas hidup merupakan konsep multidimensi yang berhubungan dengan
kepuasan individu terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk fungsi fisik,
sosial, kesehatan jiwa maupun kesehatan umum. Kualitas hidup terdiri dari dua
elemen yaitu subjektif dan objektif. Kualitas hidup itu sendiri dipengaruhi oleh
kesehatan fisik dan kesehatan jiwa seseorang, tingkat kemandirian, hubungan
sosial dengan lingkungan. Kualitas hidup pasien gangguan jiwa menjadi lebih
rendah setelah penyembuhan dari gangguan jiwa sebagai hasil dari faktor sosial
termasuk stigma dan diskriminasi. Oleh sebab itu masalah kesehatan jiwa perlu
ditangani secara serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien, karena
akan mempengaruhi aktivitas yang dilakukan sehari-hari seperti aktifitas
menjalankan peran dalam rumah tangga, bekerja, aktifitas pendidikan, perawatan
diri dan keterlibatan dalam pelayanan sosial atau kesehatan.
Berdasarkan masalah pada studi pendahuluan diatas maka penelitian tertarik
untuk melakukan penelitian tentang perbedaan kualitas hidup pasien saat
dipasung, masa perawatan dan pasca perawatan pasien pasca pasung di Sukoharjo.
2. METODE
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah apakah adsa perbedaan kualtias
hidup pasien saat dipasung, masa perawatan dan pasca perawatan pasien pasca
pasung di Sukoharjo. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.
5
Populasi penelitian adalah 30 pasien pasca pasung di wilayah kerja Puskesmas
Kabupaten Sukoharjo. Sampel penelitian sebanyak 30 pasien pasca pasung yang
ditentukan menggunakan teknik total sampling. Pengumpulan data penelitian
menggunakan instrument kuesioner, sedangkan analisis data menggunakan
analisis univariat.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik Responden
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden
No Karakteristik Frek %
1. Jenis kelamin keluarga
a. Perempuan
b. Laki-laki
Total
14
16
30
47,7%
53,3%
100,0%
2. Pendidikan responden
a. Tamat SD
b. Tamat SMP
c. Tamat SMA
d. Tamat Sarjana/Diploma
Total
10
10
9
1
30
33,3%
33,3%
30,0%
3,4%
100,0%
3. Mengalami gangguan jiwa
sejak
a. < 10 tahun
b. 11 – 20 tahun
c. > 20 tahun
Total
2
18
10
30
6,7%
60,0%
33,3%
100,0%
4. Lama dipasung
a. < 10 tahun
b. 11 – 20 tahun
c. > 20 tahun
Total
18
10
2
30
60,0%
33,3%
6,7%
100,0%
5. Lama dirawat di RSJ
a. < 5 bulan
b. 6 – 10 bulan
c. > 11 bulan
Total
12
13
5
30
40,0%
43,3%
16,7%
100%
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi karakteristik responden
menunjukkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 16 responden (53,3%) dan perempuan sebesar 14 responden (47,7%).
6
Karakteristik tingkat pendidikan responden menunjukkan distribusi tertinggi
adalah SMP dan SD yaitu masing-masing 10 responden (33,3%) dan distribusi
terendah sarjana 1 responden (3,4%). Karakteristik lama mengalami gangguan
jiwa menunjukkan distribusi tertenggi adalah lebih dari 10 – 20 tahun sebanyak 18
responden (60,0%), distribusi terendah adalah kurang dari 10 tahun sebesar 2
responden (6,7%). Karakteristik lama mengalami pasung menunjukkan distribusi
tertinggi adalah kurang dari 10 tahun sebanyak 18 responden (60,0%) dan
terendah adalah lebih dari 20 tahun sebesar 2 responden (6,7%). Karakteristik
lama dirawat di Rumah Sakit Jiwa menunjukkan distribusi tertinggi 6 sampai 10
bulan sebanyak 13 responden (43,3%) dan distribusi terendah lebih dari 11 bulan
sebesar 5 responden (16,7%).
3.2 Kualitas Hidup Pasien Saat Dipasung
Tabel 2. Data Statistik Skor Kualitas Hidup Saat Dipasung
Kualitas
Hidup
Saat
Dipasung
Mean Median Nilai
SD Minimum Maximum
37,90 33,00 22,00 69,00 10,66
Sumber : data primer yang diolah tahun 2019
Hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sukoharjo
menunjukkan bahwa sebagian besar kualitas hidup pasien kategori rendah.
Pemasungan pada pasien pasung di Puskesmas Sukoharjo dilakukan untuk
membatasi gerak pasien gangguan jiwa dengan cara memasang kayu yang dibuat
secara khusus (kayu apit), ada yang sebagian mengunakan rantai yang dipasnag
pada kedua kaki penderita sehingga orang tersebut tidak dapat berjalan dan
bahkan tidak dapat melakukan aktivitas kehidupan dasar seperti perawatan diri,
buang air kecil dan buang air besar. Pasien pasung biasanya ditempatkan pada
ruangan atau bangunan khusus dan dipisahkan dari anggota keluarga lain. Pada
perkembangan selanjutnya, pemasungan dengan cara memasang kayu mulai
ditinggalkan dan beralih menggunakan rantai misalnya borgol yang dipasang pada
kedua kaki. Hal ini menunjukkan bahwa pemasungan yang dilakukan pada pasien
pasung di wilayah kerja Puskesmas Sukoharjo memberikan dampak pada kualitas
7
hidup pasien pasung, baik fisik, psikologis dan sosial. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian Rasmawati (2018) bahwa tindakan pemasungan dapat
mempengaruhi kondisi psikis orang dengan gangguan jiwa.
Orang dengan gangguan jiwa yang dilakukan pemasungan dapat mengalami
trauma, merasa dibuang, rendah diri, putus asa dan menyebabkan dendam pada
keluarga (Lestari dan Wardani, 2014). Selain itu, stigma dan diskriminasi yang
didapatkan orang dengan gangguan jiwa juga dapat semakin memperburuk
keadaannya. Stigma, diskriminasi dan pemukulan oleh keluarga paling sering
dialami ODGJ yang dipasung (Adeosun, dkk, 2014). Pemasungan juga terjadi
akibat kurangnya pemahaman masyarakat terhadap kesehatan jiwa (Fitriani,
2014).
Laila, Renti, Tri dan Siddharudha (2018) Pasung dianggap sebagai langkah
yang perlu untuk melindungipasien dan orang lain dari perilaku agresif pasien.
Keterbatasan keuangan dan ketidakpuasan dengan layanan kesehatan mental yang
ada memaksa anggota keluarga untuk mencari pengobatan alternatif atau tidak.
Pengetahuan yang buruk dan kesalahpahaman tentang skizofrenia lazim di
kalangan anggota keluarga dan tokoh masyarakat. Meningkatkan layanan
kesehatan mental, terutama di pedesaan dan menekankan aksesibilitas dan kualitas
sangat penting. Pendidikan kesehatan tentang skizofrenia dan kesalahpahaman
yang lazim dan pemberian yang tepat waktu dan tepat pengobatan diperlukan.
3.3 Kualitas Hidup Pasien Masa Perawatan
Tabel 3. Data Statistik Skor Kualitas hidup Masa perawatan
Kualitas
Hidup
Masa
Pasung
Mean Median Nilai
SD Minimum Maximum
53,56 53,00 37,00 82,00 10,22
Sumber : data primer yang diolah tahun 2019
Hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten
Sukoharjo menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien masa perawatan sebagian
besar termasuk kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien
masa pasung di Puskesmas Kabupaten Sukoharjo belum sepenuhnya mengalami
perubahan yang lebih baik. Pasung merupakan suatu kondisi pembatasan fisik,
mental, dan sosial seseorang dengancarapengikatan atau pengurungan. Pasung
8
menyebabkan pasien tidak bisa berdiri; kontraktur; merusak organ tubuh;
memudahkan terkena penyakit infeksi seperti tuberkulosis; kematian; terpisah dari
keluarga;gangguan jiwa bertambah parah, memperlambat kesembuhan; keluarga
merasa diasingkan;keluarga menjadi malu; melanggar hak asasi manusia;
Perawatan dan dukungan yang tepatuntuk orang dengan gangguan jiwa berat
secara individual, dapat pulihdari penyakitnya dan memiliki kehidupan yang
memuaskan sertaproduktif. Pemulihan merupakan proses dimana seseorang
mampu hidup, bekerja, belajar, dan berpartisipasi secara penuh dalam
komunitasnya. Hasil penelitian ini diperoleh kualitas hidup pasien masa
perawatan dengan mean 53,56. Upaya untuk memulihkan atau rehabilitasi bagi
orang dengan gangguan jiwa bertujuan untuk mempersiapkan diri pasien pasung
dimasyarakat, oleh karena itudiperlukan program rehabilitasi psikososial. Program
pelayanan rehabilitasi psikososial bagi penderita gangguan jiwa paska pasung
sangatlah diperlukan untuk mengembalikan individu baik hakdan fungsinya
sebagai warga masyarakat yang mandiri danberguna, dan dapat meningkatkan
kemampuan bersosialisasi baikdalam keluarga maupun masyarakat (Rahayu dkk,
2015.
3.4 Kualitas Hidup Pasien Pasca Perawatan
Tabel 4. Data Statistik Skor Kualitas hidup Pasca Perawatan
Kualitas
Hidup
Pasca
Pasung
Mean Median Nilai
SD Minimum Maximum
67,30 71,50 42,00 91,00 11,89
Sumber : data primer yang diolah tahun 2019
Hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten
Sukoharjo menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien pasca perawaatan sebagian
besar termasuk kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa pasien pasca
perawaatan sudah mengalami peningkatan kualitass hidup yang lebih baik.
Permasalahan yang masih dihadapi pasca pemasungan dapat berupa stigma dan
diskriminasi. Penderita gangguan jiwa seringkali mendapat stigma dari
lingkungan sekitarnya. Stigma tersebut melekat pada penderita sendiri maupun
keluarganya. Hal ini karena, orang dengan gangguan jiwa dipercaya sebagai orang
yang berbahaya dan tidak bisa diprediksi, kurang kompeten, tidak dapat bekerja,
9
harus dirawat di RSJ, dan tidak akan pernah sembuh (Lestari dan Wardani, 2014).
Gangguan jiwa berdampak penurunan produktivitas, peningkatan biaya
perawatan, dan cenderung menimbulkan permasahan, misalnya penganiayaan dan
penyiksaan. Perawatan dan dukungan yang tepat untuk orang dengan gangguan
jiwaberat secara individual, dapat pulih dari penyakitnya dan memiliki kehidupan
yang memuaskan serta produktif. Pemulihan merupakanproses dimana seseorang
mampu hidup, bekerja, belajar, danberpartisipasi secara penuh dalam
komunitasnya. Pemulihan merupakan kemampuan untuk hidup dalam kehidupan
yang berkecukupan dan produktif. Rehabilitasi merupakan berbagai kegiatan
dalam bentuk aktivitas fisik, penyesuaian psikososial, dan latihan vocational
untuk mempersiapkan diri dan memperoleh fungsi dan penyesuaian diri secara
maksimal (Rahayu dkk, 2015).
Hasil penelitian tentang kualitas hidup pasien saat di pasung menunjukkan
distribusi tertinggi adalah sedang, selanjutnya rendah, dan tinggi. Berdasarkan
hasil analisis, maka sebagian besar pasien pasca pasung saat dipasung memiliki
kualitas hidup dalam kategori sedang. Pasung adalah suatu tindakan memasang
sebuah balok kayu pada tangan dan atau kaki seseorang, diikat atau dirantai,
diasingkan padasuatu tempat tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan.
Pemasungan bisa diartikan sebagai segala tindakan yang dapat mengakibatkan
kehilangan kebebasan seseorang akibat tindakan pengikatan dan pengekangan
fisikwalaupun telah ada larangan terhadap pemasungan. Penyebab tindakan
pemasungan banyak alasan mengapa keluarga harus memasung, antara lain
mengganggu orang lainatau tetangga, membahayakan dirinya sendiri,jauhnya
akses pelayanan kesehatan, tidak adabiaya, ketidak pahaman keluarga dan
masyarakat tentang gangguan jiwa (Suharto, 2014).
Kualitas hidup merupakan persepsi individu tentang posisinya dalam
kehidupan, ada hubungannya dengan sistem nilai dan budaya yang menyangkut
dengan cita-cita, pengaharapan, dan pandangannya, yang merupakan pengukuran
multidimensi, tidak bisa diukur hanya pada efek fisik maupun pengobatan
psikologis (Siregar, 2014). Yusra (2011) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
berhubungan dengan kualitas hidup seseorang adalah usia, jenis kelamin, tingkat
10
pendidikan dan pekerjaan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harry Minas dan Hervita Diatri
(2008) menunjukkan bahwa penyalahgunaan hak asasi manusia yang diwakilkan
oleh pasung bukanlah produk dari kebodohan atau ketidaktahuan keluarga dan
masyarakat, atau dengan penolakan untuk menerima perawatan psikiatrik, tetapi
lebih tepat dikaitkan dengan pengabaian oleh pemerintah. tanggung jawab mereka
untuk menyediakan layanan kesehatan mental dasar untuk orang dengan penyakit
mental yang parah. Strategi sistematis perlu dikembangkan untuk memberantas
praktik ini. Ini akan membutuhkan partisipasi kolaboratif dari pembuat kebijakan,
pengembang dan manajer layanan dan profesional kesehatan, LSM pembangunan
dan lembaga bilateral, serta organisasi masyarakat sipil termasuk mereka yang
memiliki fokus yang jelas pada promosi dan perlindungan hak asasi manusia yang
paling rentan dalam rangkaian sumber daya rendah.
Pada akhirnya, satu-satunya strategi yang efektif dan berkelanjutan untuk
memberantas praktik ini adalah untuk memastikan bahwa keluarga dan
masyarakat memiliki akses yang terjangkau dan merata kepelayanan kesehatan
mental dasar.Penyediaan layanan kesehatan mental dasar masyarakat, di
manatidak ada sebelumnya, memungkinkan mayoritas orang yang telah ditahan
untuk menerima perawatan kejiwaan dan akan dibebaskan dari pasung.
Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien gangguan jiwa
pasca perawatan memiliki kualitas hidup yang cukup. Kondisi ini dimungkinkan
adanya kemampuan keluarga yang merawat dan memanfaatkan pelayanan
kesehatan sehingga ada peningkatan kualitas hidup pasien pasca perawatan.
Merawat anggota keluarga yang sakit merupakan bentuk rasa kasih sayangikatan
yang terjadi antar anggota keluarga. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian
Mugianti dan Suprajitno (2014) bahwa kemampuan keluarga dalam merawat
pasien paska pemasungan sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien
pasung. Kejadian pemasungan dimungkinkan belum tahunya masyarakat atau
keluarga yang memiliki anggota keluarga menderita gangguan jiwa. Secara
sederhana masyarakat perlu diberikan pengertian tentang pemasungan, yaitu
segala tindakan pengikatan dan pengekangan fisik yang dapat mengakibatkan
11
kehilangan kebebasan seseorang. Dari pengertian tersebut, pemasungan termasuk
penelantaran, bertentangan dengan rasa kemanusiaan, dan melanggar HAM (hak
azasi manusia) penderita gangguan jiwa (Mugianti dan Suprajitno, 2014).
3.5 Perbedaan Kualitas hidup saat dipasung, masa perawatan dan pasca
perawatan
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kualitas hidup
No Kualitas
hidup
Saat Dipasung Masa Perawatan Pasca Perawatan
Frekuensi Persentase
(%)
Frekuensi Persentase
(%)
Frekuensi Persentase
(%)
1
2
3
Tinggi
Sedang
Rendah
2
12
16
6,7%
40,0%
53,3%
5
20
5
16,7%
53,6%
16,7%
15
11
4
50,0%
36,7%
13,3%
Total 30 100% 30 100% 30 100 Sumber : data primer yang diolah tahun 2019
Hasil penelitian tentang perbedaan kualitas hidup saat dipasung, masa
perawatan dan pasca pasca pasung pasien pasung di wilayah kerja Puskesmas
Kabupaten Sukoharjo diketahui pada saat pasung diperoleh mean 42,06, masa
pasung mengalami peningkatan kualitas hidup dengan mean 53,56 dan
selanjutnya pasca pasung mengalami peningkatan kualitas hidup yaitu mean
diperoleh 64,73. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
kualitas hidup saat dipasung, masa perawatan dan pasca perawatan pasca pasung
di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Sukoharjo. Hal ini dikarenakan pasien
gangguan jiwa pasca pasung sudah terbebas dari pengekangan dan sudah
mendapatkan perawatan yang layak, namun hal ini juga tidak menutup
kemungkinan akan kekambuhan dan pemasungan lagi. Perawatan keluarga yang
tepat terhadap pasien gangguan jiwa mempengaruhi keberhasilan pengobatan
pasien. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Kustanti dan Widodo (2008) pemberian relaksi pasien skizofrenia sangat efektif
untuk mengurangi ketegangan otot, kecemasan dan kelelahan yang dialami klien
sehingga akan mempengaruhi status mental klien.
Adapun dalam penelitian ini perawatan yang dilakukan keluarga
terhadap pasien gangguan jiwa tidak melakukan pengobatan teratur, di biarkan
dirumah, di kurung dan ke pelayanan kesehatan jika kondisi darurat (tidak
bisa menangani). Banyak kasus dimasyarakat yang tidak melakukan penanganan
12
secara tepat untuk anggota keluarga gangguan jiwa, terutama dalam hal
pengobatan yang seharusnya dilakukan secara rutin, Goldstein dan Shemansky
(2000, dalam Stuart & Laraia, 2005) menyatakan terapi medikasi teratur pada
klien gangguan jiwa kronis dapat menurunkan angka relaps 30-40%. Relaps
terjadi satu tahun pertama sekitar 60%-70% dan dengan kombinasi
antipsikotik dan dukungan kelompok edukasi dapat menurunkan relaps sampai
15,7% (Olfson, et al., 2000, dalam Stuart & Laraia, 2005).
Keluarga merupakan “perawat” utama dan support system terbesar untuk
klien. Gangguan jiwa yang dialami klien akan menimbulkan berbagai respon dari
keluarga dan lingkungan, salah satunya berupa berupa pemasungan yang
dilakukan oleh keluarga terhadap klien gangguan jiwa jika dianggap berbahaya
bagi lingkungan. Pemasungan yang dilakukan oleh keluarga sangat dipengaruhi
oleh perilaku keluarga yang diuraikan menurut teori Green (1980) meliputi
predisposing factor, enabling factor dan reeinforcing factor. Konsep keluarga
diuraikan melalui bebrapa aspek yaitu kemampuan, fungsi, peran, tugas dan
karakteristik keluarga. Semua faktor tersebut mempengaruhi kemampuan keluarga
dalam merawat klien gangguan jiwa.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Wulansih dan Widodo (2008) bahwa ada hubungan antara dengan kekambuhan
pada pasien skizofrenia, hal ini menunjukkan bahwa dengan sikap yang baik pada
keluarga dapat mencegah kekambuhan pasien skizofrenia. Sikap keluarga pasien
skizofrenia dalam penelitian ini sikap adalah afek atau penilaian positif atau
negatif terhadap suatu objek sebagai upaya untuk memperbaiki sikap keluarga
dalam memberi dukungan ataupun merawat pasien skizofrenia yaitu dengan cara
meningkatkan pengetahuanya terlebih dahulu karena sikap dan perilaku seseorang
akan ditentukan oleh tingkat pengetahuan yang dia miliki. Sehingga seseorang
dapat berperan dalam upaya meningkatkan kesehatan dirumah maupun perilaku
mereka.
Laila, Renti, Tri dan Siddharudha (2018) pencegahan pemasungan dapat
dilakukan dengan upaya serentak untuk memperkuat layanan kesehatan mental
dasar dan pendidikan kesehatan mengenai skizofrenia atau sakit jiwa,
13
kesalahpahaman yang lazim dan pentingnya perawatan yang tepat waktu dan tepat
diperlukan terutama di daerah pedesaan. Anggota keluarga dan masyarakat pada
umumnya menganggap bahwa pasung diperlukan untuk alasan keamanan karena
perilaku agresif pasien seperti kekerasan fisik terhadap tetangga, mencuri
makanan, dll. Menurut pemimpin masyarakat, keluarga sering tidak menanggapi
permintaan pasien untuk dibebaskan dari pasung. Anggota keluarga memiliki
kendala keuangan untuk mencari perawatan kesehatan mental dan juga tidak puas
dengan layanan yang tersedia. Penyedia layanan kesehatan disorotpengetahuan
yang buruk dan kesalahpahaman yang berlaku tentang skizofrenia di masyarakat.
Bentuk kegiatan perawatan pada hal sederhana memungkinkan dilakukan
oleh keluarga, menimbulkan rasa spontan perawatan oleh anggota keluarga yang
lain, sehingga dapat disimpulkan kemampuan keluarga melakukan tugas untuk
merawat anggota keluarga yang sakit akan memperkecil kemungkinan pasien
gangguan jiwa dipasung. Proses pemasungan yang pernah dialami oleh pasien
berdampak pada terjadinya penurunan kemampuan fisik dan sosial pasien
terhadap kehidupannya. Penelitian Suharto (2014) menunjukkan bahwa dampak
pemasungan adalah menurunnya kemampuan merawat diri pada pasien,
kemampuan kognitif pasien dan kemampuan interaksi pasien dengan kehidupan
sosial. Pemasungan penderita gangguan jiwa masih juga dilakukan oleh keluarga
saat ini. Keadaan tersebut bertentangan dengan deklarasi Menteri Kesehatan RI
pada 10 Oktober 2010 yaitu Menuju Indonesia Bebas Pasung. Alasannya
melanggar UU yang dimiliki Negara Indonesia, karena gangguan jiwa dapat
disembuhkan dan penderita gangguan jiwa berhak mendapatkan layanan
pengobatan dan perlakuan yang manusiawi. Sehingga, Indonesia Bebas Pasung
memiliki makna upaya untuk membuat Indonesia bebas secara nasional dari
adanya praktik pasung dan penelantaran terhadap penderita gangguan jiwa. Hasil
penelitian Buanasari, Novy dan Ice (2017) menyimpulkan bahwa perawatan
psikososial untuk remaja yang tinggal bersama orang tua dengan pasung harus
mempertimbangkan dampak psikologis dan sosial sebagai akibat dari merawat
orang tua mereka dengan pasung.
Dengan menggunakan pendekatan kekeluarga, kita bisa meningkatkan
14
kualitas hidup seseorang contohnya promosi kesehatan dari pihak tenaga
kesehatan ke keluarga dan pasien, itu bentuk kepedulian keluarga dengan dan
pihak tenaga kesehatan demi meningkatkan tarah kualitas hidup pasien dengan
gangguan jiwa yang dipasung (Arif Widodo, et.all . 2019)
Hasil penelitian Idaiani dan Raflizar (2015) variabel yang mempunyai
hubungan paling kuat terhadap pasung adalah status ekonomi rumah tangga.
Menurus Riset Kesehatan Daerah (2013) faktor yang paling berperan terhadap
pasung di Indonesia adalah status ekonomi rumah tangga. Faktor ini ditambah
dengan ketidaktahuan fasilitas kesehatan dan tempat tinggal yang jauh dari
perkotaan.
4. PENUTUP
4.1 Kualitas hidup pasien pasca pasung di Sukoharjo saat dipasung mempunyai
kualitas hidup yang rendah.
4.2 Terdapat perbedaan antarakualitas hidup pasien saat dipasung, masa
perawatan dan pasca perawatan pasien pasung di wilayah kerja Puskesmas
Sukoharjo, yaitu dengan mean saat pasung 37,90, masa perawatan 53,56 dan
pasca perawatan 67,30.
DAFTAR PUSTAKA
Ardani, A. T. (2013). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Karya Putra Darwati: Bandung
Afiyanti, Y & Rachmawati, N I. (2014). Metodelogi Penelitian Kualitatif Dalam
Riset Keperawatan. Jakarta.Kharisma Putra Utama Offset
Billington, D., dkk. (2010). The New Zealand World Health Organization Quality
of Life (WHOQOL) Group. Journal of the New Zealand Medical
Association. Vol.123
Buanasari, Novy dan Ice. 2017. the experience of adolescents having mentally ill
parents with pasung. 1130-8621/@2017 Elsevier Espana S.L.U. All right
Reserverd. www.elsevier.es/enfermeriaclinica.
15
Dharma, K. (2013). Metodologi Penelitian Keperawatan Panduan Melaksanakan
dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta: Trans Info Media
Dermawan, DedendanRusdi. (2013). Keperawatanjiwa
;KonsepdanKerangkaAsuhanKeperawatanJiwa. Yogyakarta :Gosyen
Publishing.
Donsu, J. (2016). Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press
Fitria, Nita. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan.Jakarta:SalembaMedika.
Guan, L., et all. (2015). Unlocking patients with mental disorder who were in
restrants at home : a national follow-up study of china’s: New Pablic
Mental Health Intiatives. Jurnal pone 0121425.
https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.012142
5
Harry Minas dan Hervita Diatri. 2008.Pasung: Physical Restraint and
Confinement of the Menatally Ill in the Community. International
Journal of Mental Health Systems 2:8. doi:10.1186/1752-4458-2-8.
http://www.ijmhs.com/content/2/1/8
Idiaiani, S & Raflizar. (2015). Faktor yang Paling Dominan Terhadap
Pemasungan Orang Dengan Gangguan Jiwa di Indonesia: Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan. Vol. 18. No. 1. 2015.
Kalra, G., et all. (2012). Mental Health Promotion: Guaidance and Strategies.
European Psychiatry. No.27, Page 81-86.
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia / Kemenkuham. Undang-Undang
Kesehatan Republik Indonesia, No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Jiwa (2014). Tidak dipublikasikan tersimpan dalam lembaran negara RI
Tahun 2014, Nomor 185.
Keliat, Budi Anna. 2009. Proses KeperawatanKesehatanJiwa.Jakarta : EGC.
Kustanti, E. dan Widodo A. 2008. Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap
Perubahan Status Mental Klien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daewrah
Surakarta. Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697. Vol 1. No. 3
September, page : 131-136.
Laila, Renti, Tri dan Siddharudha. 2018. Perceptions aobut pasung (physical
restraint and confinement of schizophrenia patients: a qualitative study
among family members and other key stakeholders in Bogor Regency,
West Java Province, Indonesia 2017. Laila etalIntJ Ment Health Syst
16
(12:35) https://doi.org/10.1186/s13033-018-0216-0 International Journal
of Mental Health Systems.
Lestari,I,P,.Choiriyyah, Z & Mutgafi. (2014). Kecenderungan atau Sikap Keluarga
Penderita Gangguan Jiwa Terhadap Tindakan Pasung (Studi Kasus di RSJ
Amino Gandho Hutomo Semarang): Jurnal Keperawatan Jiwa.
Vol.2.No.1.2014.
Lestari, W & Wardani, Y, Z. (2015). Stigma dan Penanganan Penderita Gangguan
Jiwa Berat yang Dipasung: Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol. 17.
No. 2. 2015.
Minas, H., dan Diatri, H. (2008). Pasung: Physical restraint and confinement of
the mentally ill in the community. International Journal of Mental Health
Systems. Vol 2 (1), 1-5. Doi:10.1186/1752-4458-2-8.
Moleong, L J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Rosdakarya
Offset.
Mugianti, S & Suprajitno. (2014). Prediksi Penderita Gangguan Jiwa Dipasung
Keluarga(Predictin of Mental Discorders Deprived by Family: Jurnal Ners
Poltekes Malang. Vol. 9. No. 1. 2014.
Nasir, A. Muhith, A. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Salemba Medika:
Jakarta.
Nurjanah, I. (2014). PedomanPenangananpadaGangguanJiwaManagemen,
Proses KeperawatandanHubunganTerapeutikPerawat-Klien.Mocomedia:
Yogyakarta.
Nihayati, H, E. Mukhahalladah, D, A & Krisnana, I. (2016). Pengalaman
Keluarga Merawat Klien Gangguan Jiwa Pasca Pasung: Jurnal Ners Unair
Surabaya. Vol.11.No. 2. 2016.
Rianang, A. (2018). Pengaruh Promosi Kesehatan Pencegahan Pemasungan
Untuk Mengetahui Perubahan Kualitas Hidup Pasien dan Dukungan
Sosial pada Keluarga Pasien Pasca Pasung di Kabupaten
Klaten.http://eprints.ums.ac.id/56128/
Risnawati, D. Pamungkas, I, Y & Suwarni, A. (2014). Hubungan Peran Serta
Keluarga Pasien Gangguan Jiwa Dengan Perawatan Pasca Hospitalisasi Di
Desa Gedangan Grogol Sukoharjo: Jurnal Ilmu Keperawatan Indonesia.
Vol. 7. No. 2. 2014.
Rohmandoni, A & Mundzakir. (2015). Analisis Faktor yang Mempengaruhi
Keluarga Melakukan Pemasungan pada Anggota Keluarga dengan
Gangguan Jiwa : The Sun. Vol. 2. No. 3. 2015.
17
Saryono & Anggraeni, D M. (2010) Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam
Bidang Kesehatan. Yogyakarta. Muha Medika
Siregar, A. R dan Muslimah. R. N. (2014). Gambaran Kualitas Hidup Pada
Wanita Dewasa Awal Penderita Kanker Payudara. Psikologia : Jurnal
pemikiran & penelitian psikologi, Vol. 9, No. 3
Suharto, B. (2014). Budaya Pasung dan Dampak Yuridis sosiologi (Studi Tentang
Upaya Pelepasan Pasung dan Pencegahan Tindakan Pemasungan di
Kabupaten Wonogiri): IJMS Indonesia Journal on Medical Science. Vol 1.
No. 2. 2014.
Sugiyono. (2010). Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D.
Bandung: Alfabeta
Sugiyono. (2013). Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D.
Bandung: Alfabeta
Sukandarrumidi. 2012. Dasar-dasar Petunjuk Proposal Penelitian : Petunjuk
Praktik Untuk Penelitian Pemula. Yogyakarta : Gajah Mada University
press.
Tamara, E., dkk.(2014). Hubungan Antara Dukungan Keluarga dan Kualitas
Hidup Pasien Diabetes Mellitus Tipe II Di Rsud Arifin Achmad Provinsi
riau. Jom Psik vol.1, no.2 oktober 2014
Widodo, Prabandari, Sudiyanto, dan Rahmat . (2019). Increasing the Quality of
Life of Post Shackling Patients Through Multivel Health Promotion of
Shackling Prevention, Bali Medcal Jurnal. Vol 8. Nomber 2.2019.
http://balimedicalkurnal.org/index.php/bmj/pages/viuw/indexing
Wijayanti, A, P & Masyur, A, M. (2016). Lepas Untuk Kembali Dikungkung:
Studi Pemasungan Kembali Eks Pasien Gangguan Jiwa: Jurnal Empati.
Vol. 5. No. 4. 2016.
Wijayanti, A & Puspitosari, W, A. (2014). Hubungan Onset Usia dengan Kualitas
hidup Penderita Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kasihan II
Bantul Yogyakarta : Mutiara Medika. Vol. 14. No. 1: 47-53. 2014.
Wilkinson, G. Dkk., 2013. Self-report quality of life measure for people with
schizophrenia: the SQLS Self-report of life measure for people with
schizophrenia : the SWLS. , PP.42-46. The British Journal OF psychiatry
(2013) 177,42-46 doi ; 10.1192/bjp/177.1.42
Wirya, A & Zahra, A. A. (2017). Hukum yang Bipolar: Melindungi atau
Memasung ? : Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat. Jakarta
18
World Healt Organization (WHO). Global Tuberculosos Report 2015.
Switzerland. 2015
Wulansih S dan Widodo A. 2008. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dan
Sikap Keluarga Dengan Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia di RSJD
Surakarta. Berita Ilmu Keperawatan, ISSN 1979-2697, Vol. 1 No. 4
Desember, page 181-186.
Yususf, A., Tristiana, D, R & MS, I , P. (2017) Fenomena Pasung dan Dukungan
keluarga terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pasca pasung: JKP. Vol. 5. No. 3.
2017.
Yusra, A. (2011). Hubungan Antara Dukungan Keluarga dan Kualitas Hidup
Pasien Dm Tipe II di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat
Jakarta. Diperoleh pada tanggal 30 Agustus 2018 dari
www.lonntar.ui.ac.id