berpaling dari hukuman mati - un human rights asia away...menyelenggarakan “seminar pakar ahli...

48
"Hukuman mati tidak memiliki tempat di abad ke-21." Ban Ki-moon, UN Secretary-General Berpaling dari Hukuman Mati: Kajian dari Asia Tenggara

Upload: others

Post on 19-Jan-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

"Hukuman mati tidak memilikitempat di abad ke-21."

Ban Ki-moon, UN Secretary-General

Berpaling dari Hukuman Mati:Kajian dari Asia Tenggara

Page 2: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

Berpaling dari Hukuman Mati:Kajian dari Asia Tenggara

Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBBKantor Regional Asia Tenggara

"Hukuman mati tidak memiliki tempat di abad ke-21."Ban Ki-moon, Sekretaris-Jenderal PBB

Page 3: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

2

Ucapan Terima Kasih

Publikasi ini merupakan hasil kajian berdasarkan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati”, yang diselenggarakan oleh Kantor Regional Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) Asia Tenggara dan Kementerian Peradilan Thailand, di Bangkok, Thailand, dari 22-23 Oktober 2013.

Kantor Regional OHCHR mengapresiasi kontribusi semua pihak yang terlibat dalam seminar tersebut. Masukan dari beragam kelompok ahli – termasuk perwakilan dari berbagai pemerintah, Komisi Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN, lembaga hak asasi manusia nasional, lembaga swadaya masyarakat, serta kumpulan pakar ahli internasional, pengacara, dan akademisi di wilayah tersebut – telah sangat bermanfaat.

Kami ingin berterima kasih atas dukungan Profesor William Schabas yang sebelum keterlibatannya pada seminar tersebut telah memberangkatkan misi teknis ke Bangkok pada tahun 2012 guna membantu Kantor Regional OHCHR dalam mengembangkan strategi untuk mendukung negara-negara Asia Tenggara dalam upaya penghapusan hukuman mati.

OHCHR juga mendapatkan kontribusi yang sangat berguna dari Amnesti Internasional, Jaringan Anti Hukuman Mati Asia, Komisi Internasional Menentang Hukuman Mati, Komisi Ahli Hukum Internasional, dan Persatuan Kebebasan Sipil selama proses penyusunan publikasi ini.

Page 4: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

3

Prakata

Publikasi yang dirilis oleh Kantor Regional OHCHR Asia Tenggara ini dirilis pada saat yang penting, yaitu saat di mana terjadi pergerakan pada seluruh wilayah Asia Tenggara untuk ‘menjauh’ dari hukuman mati. Beberapa negara merupakan negara abolisionis (Kamboja, Timor Leste, Filipina), beberapa yang lain merupakan negara abolisionis de facto (Brunei Darussalam, Laos, Myanmar), sedangkan lainnya memberlakukan moratorium tidak resmi (Thailand). Sebagian lain mengusahakan pengurangan jumlah eksekusi dalam skala besar dan perubahan lainnya (Singapura, Malaysia), sedangkan sejumlah negara lainnya tidak memiliki arah menentu (Indonesia, Vietnam). Pada umumnya, gambaran ini mencerminkan perkembangan yang positif dan sejalan dengan tren di seluruh dunia. Kelanjutan dari upaya ini harus terus didukung sehingga Asia Tenggara dapat bebas hukuman mati.

Pada tahun 2012, saya diundang oleh Kantor Regional OHCHR untuk menjalankan misi teknis dan memberikan bantuan pengembangan strategi guna mendukung negara-negara Asia Tenggara dalam upaya penghapusan hukuman mati. Pada bulan Oktober 2013, saya juga turut terlibat dalam “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” yang diselenggarakan oleh Kementerian Peradilan Thailand. Kedua inisiatif ini memberikan landasan kuat bagi para pemangku kepentingan di Asia Tenggara untuk memulai diskusi tentang wacana penghapusan hukuman mati. Sebagai profesor hukum internasional dengan keahlian khusus pada isu hukuman mati, saya bersyukur dapat menjadi bagian dari tiga tahun prakarsa yang pada akhirnya berujung pada pembuatan publikasi yang sangat penuh wawasan dan membangun ini.

Isu-isu yang sangat penting, seperti permasalahan mengenai ambang batas “kejahatan paling serius”, penggunaan hukuman mati untuk kejahatan terkait narkoba, hak untuk peradilan yang adil, serta peran opini publik, kekuatan politik, dan kepemimpinan, dibahas jelas dalam dokumen ini. Terlebih lagi, kajian ini menyediakan tinjauan bermanfaat terhadap hukum dan praktik hukuman mati di Asia Tenggara serta bagaimana posisi negara-negara di wilayah tersebut apabila diukur dengan standar hukum internasional mengenai penggunaan hukuman mati.

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, laju perkembangan peraturan perundangan mengenai hukuman mati di Asia Tenggara sangatlah pesat. Telah diberlakukan penghapusan hukuman mati telah di Filipina, penyempitan cakupan penggunaan hukuman mati di Singapura dan Vietnam, serta peringanan hukuman di Malaysia, Myanmar, Singapura, dan Thailand. Saya yakin bahwa negara-negara Asia Tenggara lainnya ke depannya akan melakukan tindakan signifikan untuk menghapus hukuman mati. Karena itu, publikasi ini akan menjadi materi yang berguna bagi para pemangku kepentingan di segala tingkat untuk membuat perubahan dengan tujuan untuk menghapus hukuman mati.

William SchabasProfesor Hukum Internasional, Universitas Middlesex (London)Profesor Hukum Pidana Internasional dan Hak Asasi Manusia, Universitas LeidenProfesor Emeritus Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Hak Asasi Manusia Universitas Nasional Irlandia, GalwayProfesor Kehormatan, Akademi Ilmu Sosial Cina, Universitas Beijing dan Wuhan

Page 5: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

Daftar Isi

Ucapan Terima Kasih 2Prakata 3Pendahuluan 51. Tren Global 6

1.1 Kemajuan global menuju penghapusan hukuman mati 61.2 Imbauan moratorium global 71.3 Penerapan hukuman mati 8

2. Standar Hukum Internasional 92.1 Kejahatan paling serius 92.2 Hukuman mati wajib 112.3 Peradilan yang adil dan layak 11

2.3.1 Penggunaan hukuman mati yang sewenang-wenang dalam peradilan massal 132.3.2 Akses pelayanan konsuler bagi warga negara asing 132.3.3 Grasi, amnesti atau komutasi 13

2.4 Larangan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia 14

2.4.1 Hakikat hukuman mati 142.4.2 Metode eksekusi 142.4.3 Perlakuan saat penahanan 152.4.4 ”Fenomena antrean eksekusi mati” 15

2.5 Transparansi 162.6 Standar perlindungan minimum bagi kelompok yang rentan 17

2.6.1 Hak asasi anak-anak yang orang tuanya divonis mati atau dieksekusi 17

3. Permasalahan Opini Publik 194. Hukuman Mati: Reformasi Bertahap di Asia Tenggara 21

4. 1 Tren di Asia Tenggara 214.1.1 Hukuman mati dalam hukum nasional 224.1.2 Ratifikasi instrumen internasional 234.1.3 Pemungutan suara untuk “Moratorium penggunaan hukuman mati” 234.1.4 Penerapan hukuman mati terkini 25

4.2 Kepatuhan terhadap hukum internasional dan standar hak asasi manusia 254.2.1 Kejahatan paling serius 254.2.2 Peradilan yang adil dan layak 274.2.3 Larangan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia 284.2.4 Transparansi dan perlindungan lainnya 294.2.5 Standar perlindungan minimum untuk kelompok yang rentan 29

4.3 Keterlibatan publik 294.4 Kerja sama regional 30

5. Kesimpulan dan Rekomendasi 31Lampiran A. Profil Negara 32Lampiran B. Indikator Legislatif antar Negara Anggota 40

Page 6: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

5

Pendahuluan

“Hukuman mati tidak mempunyai tempat di abad ke-21”, ungkap Sekretaris-Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-Moon pada tanggal 2 Juli 2014 dalam suatu acara khusus yang bertujuan untuk mendukung semua negara untuk menerapkan moratorium hukuman mati.1

Pernyataan ini menggema ke seluruh dunia, di mana 160 negara telah menghapuskan hukuman mati, menerapkan moratorium, atau tidak mempraktikkan hukuman tersebut sama sekali.2 Secara umum, reformasi peraturan perundangan mengenai hukuman mati yang belum lama ini terjadi Asia Tenggara juga sejalan dengan tren tersebut. Berkurangnya jenis pelanggaran yang dikenai hukuman mati dan reformasi lain yang diberlakukan di Asia Tenggara menunjukkan perkembangan yang bertahap tapi nyata.

Kantor Regional OHCHR Asia Tenggara telah menjalin hubungan dengan para pemangku kepentingan guna memajukan penghapusan hukuman mati di negara-negara dalam wilayah tersebut. Kantor Regional OHCHR berkolaborasi dengan Kementerian Peradilan Thailand untuk menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober 2013.3 Para peserta berhasil mendirikan forum antar wilayah di mana para pemangku kepentingan utama dapat bertukar pikiran mengenai hukum dan praktik di tingkat regional dan internasional yang terkait dengan hukuman mati.4

Publikasi ini menyediakan tinjauan mendalam pada tren global isu hukuman mati, ringkasan standar hukum internasional yang berlaku, dan status reformasi peraturan perundangan yang terkait dengan hukuman mati di Asia Tenggara. Sebagai peran nyata dari Kantor Regional OHCHR Asia Tenggara, publikasi ini ditujukan sebagai sumber diskusi lebih lanjut di wilayah tersebut demi menuju penghapusan hukuman mati.

1 Ban Ki-Moon, Sekretaris-Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sambutannya pada panel tentang “Praktik terbaik dan tantangan dalam menerapkan moratorium hukuman mati”, New York, 2 Juli 2014. Dapat dilihat di www.un.org/sg/statements/index.asp?nid=7840 2 Navi Pillay, mantan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, dalam sambutannya pada “Diskusi Panel Tingkat Tinggi mengenai Permasalahan Hukuman Mati”, Jenewa, 5 Maret 2014. Dapat dilihat di www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=14339&LangID=E. Lihat juga Laporan Sekretaris-Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Permasalahan Hukuman Mati pada Dewan Hak Asasi Manusia, A/HRC/27/26, paragraf 5. 3 Kantor Regional OHCHR Asia Tenggara, “Pakar Ahli Internasional Sambut Baik Upaya Penghapusan Hukuman Mati di Asia Tenggara”, Siaran Pers, Bangkok, 23 Oktober 2013. Dapat dilihat di http://bangkok.ohchr.org/files/PRESS%20RELEASE_Death%20Penalty%20Seminar.pdf 4 Seminar pakar ahli ini mendatangkan peserta dari berbagai pemerintah, Komisi Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN, lembaga hak asasi manusia nasional, lembaga swadaya masyarakat, serta pakar, pengacara, dan akademisi internasional di wilayah tersebut.

Page 7: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

6

1. Tren Global

1.1 Kemajuan global menuju penghapusan hukuman mati

Penghapusan hukuman mati dari peraturan perundangan negara merupakan langkah tegas guna menjunjung hak untuk hidup yang mendasar dan melekat pada setiap umat manusia. Ini tercantum dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan individu.”5 Prinsip ini didukung oleh Pasal 6 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR): “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.”6 Komite Hak Asasi Manusia PBB, suatu badan traktat di bawah Kovenan tersebut, telah mencantumkan dalam Komentar Umum 6 mengenai hak untuk hidup bahwa “hukum harus mengontrol dan membatasi secara ketat kondisi-kondisi di mana seseorang dapat diambil nyawanya oleh pihak berwenang semacam itu [negara]” sebagai perlindungan terhadap penghilangan nyawa yang sewenang-wenang.7

Pengecualian terhadap ketentuan ini dapat dimungkinkan: Pasal 6 ayat 2 ICCPR menyatakan bahwa vonis mati hanya dapat dijatuhkan untuk “kejahatan paling serius” di negara-negara yang belum menghapus hukuman mati.8 Akan tetapi, perancang ICCPR telah membuka kesempatan untuk melangkah maju menuju penghapusan hukuman mati. Ayat terakhir Pasal 6 ICCPR menjelaskan bahwa “tidak satupun dalam pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini”. Tindakan ini terwujud pada tahun 1989 melalui penerapan Protokol Tambahan Kedua ICCPR dengan tujuan untuk menghapus hukuman mati, yang menyatakan bahwa “tidak ada seorang pun di bawah yuridiksi hukum dari Negara Pihak Protokol ini yang dapat dieksekusi”.

Pelapor Khusus untuk eksekusi di luar hukum, kilat, atau sewenang-wenang9 juga telah menyimpulkan bahwa Kovenan Internasional tersebut “memungkinkan pengecualian yang didefinisikan secara sempit, yaitu penghilangan nyawa oleh negara hanya dapat dilakukan di negara yang belum menghapus hukuman mati dan sedang merencanakan pembatasan hukuman mati secara progresif.”10 Karenanya, hukuman mati menjadi pengecualian yang dimungkinkan di negara-negara yang belum menghapus hukuman mati; tetapi hanya jika diterapkan secara terbatas, tidak sewenang-wenang, dan dengan pertimbangan untuk menghapus hukuman mati di masa depan.

Peraturan perundangan yang membatasi penerapan hukuman mati merupakan indikator utama kepatuhan suatu negara terhadap hukum internasional hak asasi manusia. Penghapusan hukuman mati dari peraturan perundangan memastikan bahwa eksekusi tidak hanya dihentikan tapi juga dihilangkan dari sistem peradilan pidana, sehingga meniadakan kuasa suatu negara untuk menghilangkan nyawa individu secara absolut. Status peraturan perundangan mengenai

penerapan hukuman mati oleh karena itu merupakan tolak ukur yang sesuai atas seberapa kuat komitmen suatu negara terhadap upaya penghapusan hukuman mati. Sejak Desember 2014,

5 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolusi 217 A (III).6 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Seri Traktat, vol. 999, hlm. 171.7 “Komentar Umum No. 6: Pasal 6 (Hak untuk Hidup)”, dalam “Kompilasi Komentar Umum dan Rekomendasi Umum yang Ditetapkan oleh Badan Traktat Hak Asasi Manusia”, Instrumen Hak Asasi Manusia, vol. I. (HRI/GEN/1/Rev.9 (Vol. I)), hlm. 177, ayat 3. 8 Lihat bagian 3.1. untuk pembahasan mengenai “kejahatan paling serius”.9 Termasuk dalam A/67/275, hlm. 23, ayat 116.10 Meskipun Negara Pihak ICCPR tidak diwajibkan untuk menghapus hukuman mati berdasarkan Pasal 6 ayat 2 Kovenan tersebut, Komentar Umum 6 Komite Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa pilihan kata pada ayat 6 Pasal tersebut sangat menganjurkan penghapusan hukuman mati. HRI/GEN/1/Rev.9 (Vol. I), loc. cit., ayat 6.

Page 8: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

7

sebanyak 101 Negara Anggota PBB telah menghapus hukuman mati untuk semua kejahatan dan 7 Negara telah menghapus hukuman tersebut untuk tindak kejahatan biasa, sedangkan 81 Negara telah mengesahkan Protokol Tambahan Kedua ICCPR (lihat tabel B.1).

Jumlah negara yang menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kejahatan terus meningkat secara stabil. Di wilayah yang masih mempertahankan hukuman mati, hukuman tersebut umumnya hanya digunakan sekali-sekali. Menurut laporan tahunan terbaru mengenai vonis mati dan eksekusi oleh Amnesti Internasional, sembilan negara melakukan eksekusi tiap tahun dari 2009 sampai 2013: Bangladesh, Tiongkok, Iran, Irak, Korea Utara, Arab Saudi, Sudan, Amerika Serikat, dan Yaman. Lima dari negara-negara ini sering kali menerapkan hukuman mati, yaitu: Tiongkok, Iran, Irak, Arab Saudi, dan Amerika Serikat. Negara lain yang mempertahankan hukuman mati mayoritas jarang menggunakannya.11

Sebagian besar negara yang pada praktiknya telah menghapus hukuman mati tapi tidak secara hukum (de facto), tidak kembali menerapkan hukuman tersebut. Sejumlah kecil negara abolisionis de facto telah melanjutkan eksekusi atau kembali memasukkan eksekusi ke dalam peraturan perundangan nasional tapi tidak melaksanakannya setelah menangguhkan praktik tersebut selama bertahun-tahun lamanya. Beberapa dari negara tersebut lalu menangguhkan penerapan hukuman itu kembali. Dari 35 negara abolisionis de facto, dua di antaranya telah melaksanakan eksekusi dalam 10 tahun terakhir (tabel B.2).

1.2 Imbauan moratorium global

Pada tahun 2007, dalam Resolusi 62/149 tentang “Moratorium penggunaan hukuman mati”, Majelis Umum mengemukakan “keprihatinan mendalam terhadap pelaksanaan hukuman mati yang terus-menerus” dan meminta “semua Negara yang masih mempertahankan hukuman mati”, antara lain, “untuk membatasi penggunaan hukuman mati secara bertahap dan mengurangi jumlah pelanggaran yang dapat dikenai hukuman mati; dan untuk menetapkan moratorium eksekusi dengan tujuan menghapus hukuman mati.”12 Pemungutan suara untuk resolusi ini menghasilkan 104 suara setuju, 54 suara tidak setuju, dan 29 abstain, suatu hasil yang mencerminkan pandangan global mengenai pelaksanaan hukuman mati.

Majelis Umum kemudian mengadopsi Resolusi 63/168 pada tahun 2008, Resolusi 65/206 pada tahun 2010, dan Resolusi 67/176 pada tahun 2012, dengan hasil pemungutan suara yang menunjukkan bertambahnya dukungan atas moratorium hukuman mati (lihat gambar 1).13 Jumlah Negara Anggota yang menyetujui moratorium telah meningkat, sedangkan jumlah yang menolak hal tersebut telah berkurang: bahkan sejumlah Negara yang sebelumnya menolak, kini memilih untuk abstain.14

Pada Resolusi 67/176 tahun 2012 tentang “Moratorium penggunaan hukuman mati”, Majelis Umum mengulangi “permintaan agar semua Negara menetapkan moratorium eksekusi dengan tujuan menghapus hukuman mati”. Majelis Umum juga mengimbau agar “Negara yang sudah menghapus hukuman mati tidak lagi menerapkannya, dan mendorong negara-negara ini untuk berbagi pengalaman dalam hal tersebut”.

11 Amnesti Internasional, "Vonis Mati dan Eksekusi 2013” (London, 2014), hlm. 34. Dapat dilihat di http://issuu.com/amnestypublishing/docs/death_sentences_and_executions_2013 12 Lihat Catatan Resmi Majelis Umum, Sidang Keenam Puluh Dua, Rapat Pleno, rapat ke-76 (A/62/PV.76), hlm. 17.13 Lihat Catatan Resmi Majelis Umum, Sidang Keenam Puluh Tiga, Rapat Pleno, rapat ke-70 (A/63/PV.70), hlm. 17, Catatan Resmi Majelis Umum, Sidang Keenam Puluh Lima, Rapat Pleno, rapat ke-71 (A/65/PV.71), hlm. 19, dan Catatan Resmi Majelis Umum, Sidang Keenam Puluh Tujuh, Rapat Pleno, rapat ke-60 (A/67/PV.60), hlm. 17, secara berurutan.14 Amnesti Internasional, “Resolusi Majelis Umum PBB Imbau Moratorium Penggunaan Hukuman Mati”. Dapat dilihat di www.amnesty.org/en/death-penalty/united-nations-general-assembly-resolutions-calling-for-a-moratorium-on-the-use-of-the-death-penalty

Page 9: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

8

Gambar 1. Pemungutan suara agregat global untuk resolusi“Moratorium penggunaan hukuman mati”

0

50

100

150

2007 2008 2010 2012

MenyetujuiMenolak

Abstain

1.3 Penerapan hukuman mati

Saat 160 negara telah menghapus hukuman mati, menetapkan moratorium, atau berhenti mempraktikkan hukuman mati,15 sejumlah kecil negara masih menerapkan hukuman tersebut, sering kali untuk pelanggaran yang terkait dengan narkoba. Di beberapa negara tersebut, pelanggaran terkait dengan narkoba wajib dikenai hukuman mati. Kewajiban ini problematis karena berlawanan dengan larangan perampasan hak hidup dengan sewenang-wenang dan melanggar hak untuk mendapatkan peradilan yang adil.16 Di antara semua Negara Anggota PBB, 32 masih menjatuhkan vonis mati untuk kasus pelanggaran narkoba, meskipun negara yang benar-benar melaksanakan eksekusi untuk pelanggaran tersebut berjumlah lebih sedikit.17 Sebagian, termasuk Iran, Arab Saudi dan Tiongkok, kerap kali menjatuhkan vonis mati, dengan jumlah pelaksanaan eksekusi tertinggi untuk pelanggaran yang terkait dengan narkoba; terutama di Iran.

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa upaya untuk menangani kejahatan narkoba kemungkinan tidak akan berhasil jika dihadapkan pada penafsiran sempit untuk membenarkan penerapan hukuman mati. Tidak ada bukti terpercaya yang mendukung bahwa hukuman mati lebih efektif daripada hukuman penjara jangka panjang dalam mencegah kejahatan narkoba. Yang akan mencegah pelaku kejahatan bukanlah kerasnya hukuman, melainkan kepastian hukuman. Dengan demikian, untuk mengurangi tingkat kejahatan, titik fokusnya berada pada reformasi sistem peradilan, menjadikannya lebih efektif, dan memastikan system tersebut tetap manusiawi. Kemajuan dalam memberantas kejahatan narkoba tidak perlu mengorbankan hak asasi manusia.

15 Pillay, op. cit.16 Silakan lihat halaman 11 untuk penjelasan lebih lanjut,17 Pusat Pemberitaan PBB, “Sekretaris-Jenderal Imbau Negara-Negara untuk Hapus Hukuman Mati”, 3 Juli 2012. Dapat dilihat di http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=42382#.VBZdAi6SzaY

Page 10: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

9

18 Navi Pillay, mantan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, “Berpaling dari Hukuman Mati: Kajian dari Pengalaman Nasional”, Prakata. Dapat dilihat di http://www.ohchr.org/Lists/MeetingsNY/Attachments/27/moving_away_from_death_penalty_web.pdf 19 HRI/GEN/1/Rev.9 (Vol. I), loc. cit, ayat 7.

2. Standar Hukum Internasional

“Penerapan hukuman mati hampir selalu disertai dengan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, dan melanggar hukum internasional.” – Navi Pillay, Mantan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia18

Bagian 2 publikasi ini mengkaji standar hak asasi manusia utama dalam penerapan hukuman mati.

Penerapan hukuman mati dilarang secara langsung dan tidak langsung dalam instrumen internasional hak asasi manusia, seperti Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Protokol Tambahan Kedua ICCPR yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati. Sejumlah besar resolusi dan kesepakatan Majelis Umum dan Dewan HAM PBB juga mendukung penghapusan hukuman mati, seperti halnya pernyataan dan petunjuk dari badan internasional dan regional lainnya. Meskipun adanya tren dan standar internasional yang menentang hukuman mati, sejumlah kecil Negara bersikeras untuk mempertahankan praktik kontroversial tersebut.

2.1 Kejahatan paling serius

“Hak untuk hidup yang melekat pada diri manusia” dijamin dalam ayat pertama Pasal 6 ICCPR, dengan satu pengecualian yang ditentukan pada ayat 2 Pasal yang sama: “Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.”

Ketentuan tersebut menjelaskan kondisi yang terbatas saat hak untuk hidup dapat diambil: hanya di negara yang belum menghapus hukuman mati dan dibatasi secara ketat dalam perspektif untuk menghapus hukuman mati di masa mendatang.

Konsep “kejahatan paling serius” merupakan dasar untuk mengetahui bagaimana dan kapan hukuman mati tidak melanggar hukum hak asasi manusia internasional. Komite Hak Asasi Manusia telah memaparkan secara jelas dalam Komentar Umum 6 tentang hak untuk hidup bahwa:

“Komite berpendapat bahwa istilah “kejahatan yang paling serius” harus diartikan secara terbatas yang berarti bahwa hukuman mati harus merupakan langkah yang sangat khusus. Komite juga mengambil dari istilah pasal 6 yang menyatakan bahwa hal tersebut hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan dilakukan dan tidak bertentangan dengan Kovenan.”19

Mengingat ICCPR telah diratifikasi oleh banyak pihak, permasalahannya bukan terletak pada kesepakatan mengenai standar yang membatasi, melainkan pada penafsiran batas-batas yang ditetapkan dalam ketentuan Kovenan tersebut. Istilah “kejahatan paling serius” tidak dijelaskan dalam ICCPR, namun hanya tertera pada Komentar Umum 6 sehingga menimbulkan beragam penafsiran. Karenanya, batas penerapan hukuman mati diperluas dan diperbesar ke berbagai jenis pelanggaran di sejumlah Negara. Walau hak dasar untuk hidup diakui secara universal, penafsiran

Page 11: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

10

terhadap cara menegakkan hak tersebut dalam kaitannya dengan hukuman mati telah berubah. Hal tersebut menyebabkan batasan penerapan hukuman mati sebagai pengecualian hak untuk hidup telah menjadi semakin ketat. Berdasarkan yurisprudensi hak asasi manusia internasional, Sekretaris-Jenderal Ban Ki-Moon menyatakan dalam laporan “Permasalahan hukuman mati”20 pada tahun 2013 bahwa istilah “kejahatan paling serius” hanya dapat digunakan untuk kejahatan pembunuhan atau pembunuhan berencana. Laporan tersebut mengecam penerapan hukuman mati untuk pelanggaran terkait narkoba, kejahatan ekonomi dan politik, perzinaan, dan hubungan konsensual sesama jenis. Hal ini sejalan dengan penafsiran restriktif dan terkini pada istilah “kejahatan paling serius” oleh Pelapor Khusus untuk eksekusi di luar hukum, kilat, atau sewenang-wenang. Pada laporan Pelapor Khusus yang diajukan kepada Majelis Umum di tahun 2012, beliau menyimpulkan bahwa “di negara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman ini hanya dapat digunakan untuk pembunuhan berencana, namun pada kenyataannya ketentuan ini terkadang tidak dipenuhi.21

Dengan standar internasional untuk menafsirkan “kejahatan paling serius” tersebut, hukuman mati seharusnya tidak diterapkan untuk kejahatan yang tidak sesuai dengan batasan dalam ketentuan tersebut, terutama pelanggaran terkait narkoba, kejahatan ekonomi dan politik, perzinaan, dan hubungan konsensual sesama jenis. Penerapan hukuman mati untuk kejahatan-kejahatan tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap Pasal 6 ayat 2 ICCPR. Penafsiran “kejahatan paling serius” tersebut merupakan hasil dari perkembangan yurisprudensi, pendapat ahli, dan perlindungan obyektif yang mengacu pada prinsip yang sama. Usaha pencegahan terjadinya perampasan nyawa yang sewenang-wenang dengan demikian membatasi jenis pelanggaran yang dapat dikenai hukuman mati, serta batasan-batasan substantif dan prosedural.

Walau hukuman mati telah lama dijadikan pembenaran sebagai upaya pencegahan kejahatan serius untuk mempertahankan keselamatan dan keamanan negara, dan walau masyarakat sering kali mendukung penggunaan hukuman mati untuk pelaku kejahatan yang serius, tidak terdapat bukti pasti mengenai keefektifan hukuman tersebut sebagai pencegah kejahatan.22 Hasil penelitian terkini tentang dampak hukuman mati untuk kasus pembunuhan, contohnya, tidak menjawab “apakah hukuman mati dapat mengurangi, meningkatkan, atau tak berpengaruh pada tingkat pembunuhan.”23

Upaya untuk mengatasi isu keamanan masyarakat dan kejahatan, seperti pembuatan kebijakan yang lebih efektif dan sistem peradilan yang adil dan berfungsi sebagaimana mestinya, dapat menjadi strategi yang lebih bermanfaat untuk menangani kejahatan serius.24 Penghapusan hukuman mati membutuhkan komitmen untuk menangani kejahatan dengan menggunakan langkah-langkah lain, misalnya dengan petugas penegak hukum yang mumpuni serta kepemimpinan yang kuat dan kreatif untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat dan

20 A/HRC/24/18, hlm. 7, ayat 24.21 A/67/275, op. cit, hlm. 14, ayat 67; mengutip Roger Hood dan Carolyn Hoyle, “Hukuman Mati”, edisi ke-4. (Oxford, Oxford University Press, 2008), hlm. 132.22 Mukadimah Resolusi 62/149 tentang Moratorium Penggunaan Hukuman Mati yang ditetapkan oleh Majelis Umum (A/RES/62/149), Mukadimah Resolusi 65/206 tentang Moratorium Penggunaan Hukuman Mati yang ditetapkan oleh Majelis Umum (A/RES/65/206), Mukadimah Resolusi 67/176 tentang Moratorium Penggunaan Hukuman Mati yang ditetapkan oleh Majelis Umum (A/RES/67/176), dan Dr. Jacqui Karn, “Pengawasan dan Pengendalian Kejahatan: Bukti dan Implikasinya dalam Praktik” (London, The Police Foundation, 2013), hlm. 3. Dapat dilihat di http://www.police-foundation.org.uk/uploads/catalogerfiles/policing-and-crime-reduction/police-foundation-police-effectiveness-report.pdf 23 Daniel S. Nagin dan John V. Pepper, “Pencegahan dan Hukuman Mati”, Dewan Penelitian Nasional, (Washington, DC, Akademi Ilmu Pengetahuan Amerika Serikat, 2012), hlm. 2.24 Amnesti Internasional, “Tidak Membuat Kita Lebih Aman: Kejahatan, Keselamatan Masyarakat, dan Hukuman Mati”, (London, Publikasi Amnesti Internasional, 2013), hlm. 4. Dapat dilihat di http://www.amnesty.org/en/library/asset/ACT51/002/2013/en/a862c002-448f-4640-8192-7873cb5b8c42/act510022013en.pdf

Page 12: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

11

25 Komisi Internasional Menentang Hukuman Mati, “Bagaimana Negara Menghapus Hukuman Mati”, (Oslo, 2013) hlm. 6. Dapat dilihat di http://issuu.com/icdp/docs/report_english 26 Walau begitu, terdapat unsur-unsur lain yang menjadi bagian dari penghapusan hukuman mati; putusan hukum dan tekanan politik dari institusi regional (seperti Majelis Eropa) dapat menjadi sama pentingnya dengan upaya politik dan kepemimpinan untuk reformasi legislatif.27 Rolando v. Filipina, Komunikasi No. 1110/2002 (CCPR/C/82/D/1110/2002), ayat 5.2. 28 A/67/275, loc. cit.29 Laporan Pelapor Khusus untuk eksekusi di luar hukum, kilat, atau sewenang-wenang (E/CN.4//1999/39), hlm. 22, ayat 63.30 Standar ini penting bukan hanya untuk mencegah penetapan putusan yang salah untuk orang yang tak bersalah, melainkan juga untuk menjamin bahwa hak untuk hidup ditegakkan untuk semua orang, karena tak bersalahnya seseorang tidak akan mengubah hak asasi dasar yang dimiliki oleh setiap manusia.31 Proyek Hukuman Mati, “Kesalahan yang Tak Dapat Dihindari” (London, 2014), hlm. 5. Dapat dilihat di http://www.deathpenaltyproject.org/wp-content/uploads/2014/07/The-inevitability-of-error-English.pdf 32 A/67/275, op. cit., hlm. 7, ayat 25.

menciptakan perubahan sistem peradilan tersebut.25 Waktu amat diperlukan oleh kepemimpinan politik yang berkomitmen demi mendapatkan dukungan dan membangun infrastruktur institusi yang kondusif untuk transisi tersebut.26

2.2 Hukuman mati wajib

Hukuman mati wajib berarti tidak adanya kebijaksanaan yudisial saat penerapan hukuman mati, sehingga tidak mempertimbangkan situasi pribadi terdakwa atau situasi pelanggaran tersebut, serta mengabaikan faktor-faktor yang dapat meringankan hukuman. Hukum hak asasi manusia internasional melarang keras pengenaan hukuman mati wajib.

Komite Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “pengenaan hukuman mati wajib dan otomatis merupakan perampasan nyawa secara sewenang-wenang, yang melanggar Pasal 6 ayat 1 ICCPR” dan pada dasarnya tidak selaras dengan hak peradilan yang adil dan layak yang ditetapkan dalam Pasal 14.27

Pelapor Khusus untuk eksekusi yang di luar hukum, kilat, dan sewenang-wenang28 menjelaskan bahwa bagaimana pun juga hukuman mati tidak boleh diwajibkan.29 Hukuman ini merusak inti dari hukum hak asasi manusia karena penetapan vonis seharusnya mempertimbangkan faktor-faktor yang ada pada tiap kasus demi menjamin hak asasi terdakwa dan menaati batasan sempit penggunaan hukuman mati.

2.3 Peradilan yang adil dan layak

“Tidak ada peradilan, di belahan dunia manapun, yang amat mumpuni hingga mampu menjamin nyawa tak bersalah tidak akan dirampas, dan terdapat bukti nyata yang mengkhawatirkan bahwa sistem hukum yang berfungsi baik pun telah menghukum mati laki-laki dan perempuan yang kemudian terbukti tak bersalah.”—Zeid Ra’ad Al Hussein, Komisaris Tinggi HAM PBB.

Hak untuk peradilan yang adil dan layak tercantum jelas dalam hukum internasional. Peradilan yang tidak adil, ketidakpatuhan terhadap jaminan pembelaan minimum, atau pelanggaran hak untuk peninjauan kembali, dapat menghasilkan salah putusan terhadap orang tak bersalah. Pada kasus yang menyangkut hukuman mati, kesalahan jelas berakibat fatal dan menyebabkan penghilangan nyawa seseorang dengan sewenang-wenang.30 Kesalahan terbesar dari sistem peradilan pidana yaitu menjatuhkan vonis mati pada orang tak bersalah.31 Standar tertinggi keadilan harus ditegakkan karena pengambilan nyawa adalah tindakan yang mutlak dan tidak dapat diubah. Pelapor Khusus untuk eksekusi di luar hukum, kilat, atau sewenang-wenang mengemukakan bahwa pemutusan vonis mati tanpa proses yang sesuai dengan standar tertinggi peradilan yang adil merupakan tindakan sewenang-wenang.32

Page 13: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

12

Hak untuk peradilan yang adil ditentukan dalam Pasal 14 ayat 1 ICCPR:

“Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum.”33

Jaminan untuk peradilan yang adil dijelaskan dalam ayat Pasal 14 ICCPR di atas. Komentar Umum 6 Komite Hak Asasi Manusia mengenai hak untuk hidup mengungkapkan jaminan prosedural yang harus diperhatikan saat menjatuhkan hukuman mati, yang termasuk hak untuk mendapatkan peradilan yang adil oleh pengadilan yang independen, asas praduga tak bersalah, jaminan minimum untuk pembelaan diri, dan hak untuk peninjauan kembali oleh pengadilan yang lebih tinggi—“sebagai tambahan dari hak untuk mendapatkan pengampunan atau pengurangan hukuman.”34

Apabila kita lebih hati-hati membaca Pasal 6 ayat 2 ICCPR dan batasan yang ditetapkan dalam penggunaan hukuman mati secara sah, terlihat bahwa “kejahatan paling serius” bukan satu-satunya batas yang digunakan, melainkan merupakan salah satu bagian dari batasan dalam penerapan hukuman mati.

“(1) Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan (2) tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. (3)

Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.”35

Pembahasaan dalam ketentuan tersebut menyiratkan bahwa semua batasan yang ada harus dipatuhi untuk memastikan hukuman mati hanya digunakan dalam keadaan yang terbatas, terutama karena Pasal 6 ayat 2 dianggap sebagai pengecualian terhadap hak untuk hidup yang dijamin dalam Pasal 6 ayat 1. Jika mendalami maksud dari batasan kedua dan ketiga sekaligus, hak untuk peradilan yang adil dan layak telah ditegaskan kembali dan dibuat relevan untuk pengenaan hukuman mati.36

Pada Komentar Umum 6, Komite Hak Asasi Manusia PBB menekankan bahwa penjatuhan vonis mati sebagai hasil dari sidang yang tidak mematuhi konsep peradilan yang adil dan layak seperti yang dijelaskan pada Pasal 14 ICCPR merupakan bentuk pelanggaran terhadap Pasal 6 Kovenan tentang hak untuk hidup.37

Standar ini dijelaskan kembali dalam “Perlindungan yang menjamin hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati” yang disetujui oleh Resolusi 1984/50 Dewan Ekonomi dan Sosial

33 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, op. cit.34 HRI/GEN/1/Rev.9 (Vol. I), op.cit, hlm. 178, ayat 7.35 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, op. cit. Data angka diikutsertakan sebagai klarifikasi dan tidak berasal dari teks asli Kovenan Internasional tersebut.36 Bagian ini menitikberatkan pada isu prosedural yang berhubungan dengan hukuman mati, tapi penting untuk dipahami bahwa Pasal 6 ayat 2 ICCPR berlaku juga untuk proses hukum substantif; yaitu, hukum itu sendiri tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Kovenan. 37 “Komentar Umum No. 32: Hak Kesetaraan pada Persidangan dan Hak Mendapatkan Peradilan yang Adil”, dalam “Kompilasi Pernyataan Umum dan Rekomendasi Umum yang Ditetapkan oleh Badan Perjanjian Hak Asasi Manusia“, Instrumen Hak Asasi Manusia, vol. I. HRI/GEN/1/Rev.9 (Vol. I), hlm. 260, ayat 59.38 ECOSOC, Resolusi 1984/50.

Page 14: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

13

38 ECOSOC, Resolusi 1984/50.39 Hasil Pengamatan Komite Hak Asasi Manusia PBB pada Trinidad dan Tobago (CCPR/CO/70/TTO), hlm. 2, ayat 7(c).40 A/HRC/27/26, ayat 54

(ECOSOC). Perlindungan No. 5 menyatakan bahwa “Hukuman mati dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan akhir pengadilan yang kompeten seusai proses hukum yang memberikan segala perlindungan yang memungkinkan untuk menjamin peradilan yang adil, setidaknya setara dengan yang dimaksud dalam Pasal 14 [Kovenan Internasional]”.38

Akses penasihat hukum sangat penting untuk memastikan bahwa peradilan yang adil telah dijunjung dan perlindungan untuk menjamin hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati telah ditaati. Komite Hak Asasi Manusia PBB mengusulkan “adanya bantuan penasihatan hukum harus dipastikan, melalui bantuan hukum seperlunya, segera saat penangkapan, dan sepanjang proses yang akan dialami oleh orang yang dituduh melakukan kejahatan serius, khususnya pada kasus pelanggaran yang dapat dikenai hukuman mati.” 39

2.3.1 Penggunaan hukuman mati yang sewenang-wenang dalam peradilan massal

Fenomena penjatuhan hukuman untuk sekelompok besar individu dalam peradilan massal merupakan isu besar dalam hak asasi manusia. Peradilan seperti ini melanggar standar hak asasi manusia akan jaminan peradilan yang adil dan jenis perlindungan lainnya. Peradilan tersebut umumnya dirusak oleh penyimpangan prosedural, termasuk kurangnya akses yang memadai dan tepat waktu terhadap pengacara, dan persidangan in absentia (tanpa kehadiran terdakwa). Pada banyak kasus, laporan menunjukkan bahwa sejumlah tahanan meninggal akibat disiksa. Selain itu, tuduhan yang dikenakan pada terdakwa tidak jelas, mengingat bahwa, dalam banyak khasus, tuduhan tersebut tidak dibacakan saat sidang. Peradilan juga tidak mengacu pada asas praduga tak bersalah. Berdasarkan Komentar Umum Komite Hak Asasi

Manusia PBB No. 32 (2007) tentang hak kesetaraan pada persidangan dan hak mendapatkan peradilan yang adil, asas praduga tak bersalah – dasar perlindungan hak asasi manusia – mewajibkan jaksa penuntut untuk membuktikan suatu tuduhan, menjamin bahwa putusan bersalah tidak dijatuhkan sebelum suatu tuduhan dibuktikan tanpa keraguan, memastikan tertuduh tidak diberikan prasangka buruk dan mengharuskan tertuduh untuk diperlakukan sesuai dengan prinsip yang berlaku.

2.3.2 Akses pelayanan konsuler bagi warga negara asing

Akses pelayanan konsuler merupakan aspek penting dari perlindungan warga negara asing yang menghadapi hukuman mati. Semua negara harus mengambil segala tindakan untuk memastikan kepatuhan bersama pada perlindungan ini selaras dengan ketentuan yang relevan mengenai hak untuk mendapatkan pelayanan konsuler berdasarkan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik. Di bawah hukum internasional, pelanggaran hak untuk menghubungi konsuler merupakan pelanggaran proses hukum yang layak dan eksekusi warga negara asing yang hak pelayanan konsulernya telah dirampas merupakan penghilangan nyawa secara sewenang-wenang, yang bertentangan dengan Pasal 6 dan 14 ICCPR.40

2.3.3 Grasi, amnesti, atau komutasi

Amnesti dan komutasi hukuman mati menunjukkan langkah positif menuju penghapusan hukuman mati. Pasal 6 ayat 4 ICCPR menyatakan tiap orang yang dijatuhi vonis mati berhak untuk mendapat pengampunan atau pengurangan hukuman. Amnesti, grasi, atau komutasi hukuman mati dapat diberikan dalam mayoritas kasus.

Page 15: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

14

2.4 Larangan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia

Kerasnya hukuman mati melampaui tindakan eksekusi itu sendiri; penyiksaan fisik dan/atau mental serta perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dapat dialami oleh terpidana yang sedang menunggu eksekusi dalam tahap yang berbeda selama penahanan. Sejak penetapan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT), sifat mutlak dan tak dapat ditawar dari larangan ini diterima sebagai hukum internasional yang lazim, dan tidak boleh dilanggar oleh negara mana pun terlepas dari status ratifikasi mereka.41

Kadang kala hukuman mati dianggap sebagai pelanggaran terhadap larangan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.

2.4.1 Hakikat hukuman mati

Penting untuk pertama-tama mempertimbangkan apakah penerapan hukuman mati itu sendiri merupakan pelanggaran terhadap larangan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Definisi dari penyiksaan menurut Pasal 1.1 CAT tidak menyebut “rasa sakit atau penderitaan yang muncul akibat, merupakan bawaan, atau terkait dengan sanksi hukum.”42 Pelapor Khusus untuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia berpendapat bahwa istilah “sanksi hukum” yang disebut dalam CAT merujuk pada sanksi yang sah di bawah hukum nasional dan internasional. Hal ini berarti praktik yang sah berdasarkan hukum nasional dapat dianggap sebagai pelanggaran Pasal 1 ICCPR bila sanksi tersebut termasuk pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional. Pelapor Khusus mendesak negara-negara untuk mempertimbangkan apakah penerapan hukuman mati itu sendiri menandakan kegagalan dalam menghormati martabat seseorang, menyebabkan rasa sakit atau penderitaan mental dan fisik yang parah, dan merupakan penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.43

2.4.2 Metode eksekusi

Metode eksekusi tertentu juga dapat diartikan sebagai pelanggaran terhadap larangan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Sebagai contoh, pada tahun 2003, Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengutuk hukuman mati dengan rajam.44 Komite Hak Asasi Manusia PBB telah menyerukan penghapusan hukuman mati dengan rajam45 dan menyatakan bahwa eksekusi dengan gas asfiksia merupakan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.46

41 “Komentar Umum 2: Implementasi Pasal 2 oleh Negara Pihak”, Komisi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT/C/GC/2), hlm. 1, ayat 1, dan Pasal 38(1)(b) Statuta Mahkamah Internasional yang menetapkan hukum internasional.42 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Seri Traktat, vol. 1465, No. 24841.43 Juan E. Méndez, Pelapor Khusus untuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, “Pelapor Khusus PBB Temukan Hukuman Mati Semakin Dipandang sebagai Penyiksaan”, New York, 23 Oktober 2012. Dapat dilihat di http://www.ohchr.org/en/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=12685&LangID=E 44 Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Resolusi 2003/67, hlm. 3, ayat 4(i).45 “Hasil Pengamatan Komite Hak Asasi Manusia PBB: Yaman” dalam “Pertimbangan Laporan yang Diajukan oleh Negara Pihak di bawah Pasal 40 ICCPR (CCPR/CO/84/YEM), hlm. 4, ayat 15. Ini berhubungan khusus dengan Brunei, di mana Perintah Kanun Hukuman Jenayah Syariah 2013 menjelaskan hukuman mati dengan rajam, dan akan dibahas lebih lanjut di bagian selanjutnya mengenai penerapan hukuman mati di Asia Tenggara berikut perkembangannya. 46 “Komunikasi No. 469/1991” dalam Keputusan Pilihan Komite Hak Asasi Manusia PBB di bawah Protokol Tambahan, vol. 5, Sidang Keempat Puluh Delapan sampai Kelima Puluh Lima (Publikasi PBB, Sales No. 04.XIV.9), hlm. 105, ayat 16.1.

Page 16: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

15

Lamanya waktu suatu metode eksekusi dan ketersediaan metode lain yang lebih manusiawi harus dipertimbangkan oleh Negara saat memutuskan cara pelaksanaan hukuman mati.

2.4.3 Perlakuan saat penahanan

Terpidana yang menghadapi hukuman mati sering kali menerima perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi. Karena itu, perlindungan sangatlah penting, terutama terhadap terpidana hukuman mati yang sudah menunggu hukuman bertahun-tahun dalam fasilitas penahanan.

Kondisi penahanan sering tidak memenuhi standar internasional karena kurangnya sumber daya untuk menyediakan standar minimum perawatan para tahanan, terlepas dari jenis hukuman mereka. Penyediaan kebutuhan pokok, sanitasi yang layak, dan perawatan medis adalah hak dasar yang harus diberikan pada tahanan guna memastikan kualitas hidup minimum.

Akan tetapi, hal-hal tersebut sering tidak memadai atau bahkan tak tersedia sama sekali. Kepadatan yang berlebihan merupakan masalah umum di fasilitas penahanan.

Terpidana hukuman mati kerap menghadapi stigma tambahan, dan rentan terhadap perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi dalam fasilitas penahanan, termasuk isolasi ekstrim, ruang gelap, dan pembelengguan. Mereka yang belum disidang mengalami siksaan agar memberikan pengakuan atau sebagai bentuk hukuman.

Menurut Prinsip 6 Kumpulan Prinsip-Prinsip untuk Perlindungan Semua Orang yang Ditahan atau Dipenjara dalam Bentuk Apapun47 “tidak ada seorang pun di bawah bentuk penahanan atau pemenjaraan apapun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Tidak ada keadaan apa pun yang dapat dijadikan sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.” Perlindungan terkuat dari segala kekerasan, baik secara fisik maupun mental, harus ditegakkan. Sejalan dengan Prinsip 3 Kumpulan Prinsip-Prinsip tersebut, pembatasan atau bentuk penyelewengan hak asasi manusia dalam bentuk apa pun pada saat penahanan atau pemenjaraan sangat dilarang. Norma hak asasi manusia internasional seperti hak untuk kesehatan, air, tempat bernaung dan, yang lebih mendasar lagi; martabat manusia, harus selalu dijunjung.48

2.4.4 ”Fenomena antrean eksekusi mati”

“Fenomena antrean eksekusi mati” (death row phenomenon) mengacu pada suatu kombinasi keadaan yang mengakibatkan trauma mental dan penderitaan fisik yang berat bagi para terpidana hukuman mati, termasuk masa menunggu yang berkepanjangan untuk putusan yang tidak jelas, isolasi, kondisi penjara yang buruk, dan kurangnya kegiatan pendidikan dan rekreasi.49

Seperti yang dilaporkan oleh Pelapor Khusus untuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, tahanan yang telah divonis mati dapat terjebak dalam limbo yang mengerikan dan ketidakpastian tanpa ujung antara kematian yang semakin dekat dan harapan bahwa permohonan naik bandingnya untuk grasi dapat membantunya mendapatkan pengampunan. Trauma mental yang dialami oleh terpidana mati

47 Majelis Umum PBB, Resolusi 43/173 (A/RES/43/173).48 “Tidak ada pembatasan atau pengurangan hak asasi manusia seseorang dalam bentuk penahanan atau pemenjaraan apa pun yang diakui atau berlaku di suatu Negara berdasarkan hukum, konvensi, regulasi, atau kebiasaan dengan dalih bahwa Kumpulan Prinsip-Prinsip ini tidak mengakui hak tersebut. Op. cit. Aturan Standar Minimum Perlakuan pada Tahanan, yang disetujui oleh Resolusi ECOSOC 663 C (XXIV) dan 2076 (LXII), merupakan referensi lainnya mengenai perlakuan pada tahanan.49 Juan Mendez, “Hukuman Mati dan Larangan Mutlak akan Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia”, Laporan Hak Asasi Manusia, vol. 20, No. 1 (Musim Gugur 2012), hlm. 3.

Page 17: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

16

diperparah saat dia harus menunggu lama untuk eksekusi, yang dapat mencapai puluhan tahun, dan kadang tidak diumumkan hingga saat-saat terakhir sebelum pelaksanaan hukuman. Selama masa penantian yang menyiksa tersebut, hukuman lainnya seperti isolasi dan nihilnya interaksi sosial memperparah hukuman yang sebenarnya sudah sangat berat tersebut.

Praktik-praktik tersebut termasuk penyiksaan, perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, serta melucuti hak dasar individu untuk hidup dan segala hak lainnya. Karena itu, perlindungan amat penting untuk melindungi tahanan eksekusi dari hukuman lebih parah yang tidak perlu, dan memastikan standar hukum hak asasi manusia internasional ditaati. Inti dari bagian ini bukan untuk menganjurkan percepatan eksekusi, melainkan untuk memastikan bahwa kondisi terpidana mati terjaga dan bahwa mereka sepenuhnya mengetahui proses yang mereka jalani melalui akses penasihat hukum dan memahami adanyai kesempatan naik banding.

2.5 Transparansi

“Negara berkewajiban untuk tidak melaksanakan hukuman mati secara rahasia.” – Sekretaris-Jenderal PBB, Ban Ki-Moon50

Transparansi sangat penting untuk menjamin bahwa penerapan hukuman mati mematuhi hukum internasional dan sesuai dengan ketentuan ICCPR, resolusi yang relevan, dan pendapat ahli. Merujuk pada kewajiban negara untuk menjamin hak untuk hidup, kebebasan berekspresi dan informasi, pelaksanaan hukuman mati haruslah transparan.51

Karena hukuman mati pada konsepnya merupakan pengecualian terbatas terhadap hak untuk hidup, pertama-tama transparansi menegaskan bahwa kekuatan luar biasa suatu negara untuk merenggut nyawa seseorang diawasi oleh masyarakat, dan kedua, memfasilitasi adanya pertanggungjawaban terhadap pelanggaran hak untuk hidup.

Masyarakat memiliki hak untuk kebebasan informasi, sesuai dengan Pasal 19 ICCPR.52 Transparansi dalam hukuman mati juga penting guna memenuhi kewajiban suatu negara untuk menyediakan informasi kepada pihak terpidana, keluarga dan pengacaranya, serta masyarakat. Dalam pengkajian kewajiban transparansi hukum dalam penggunaan hukuman mati, Pelapor Khusus untuk eksekusi di luar hukum, kilat, atau sewenang-wenang telah mengonfirmasikan bahwa pihak terpidana beserta keluarga dan pengacaranya harus diberikan informasi yang tepat waktu dan terpercaya mengenai prosedur dan jadwal naik banding, permohonan grasi, dan eksekusi untuk menjamin bahwa hak jaminan proses hukum dan larangan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia tetap dipatuhi.53 Resolusi 2005/59 Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengenai persoalan hukuman mati mengimbau semua negara yang masih mempertahankan hukuman mati untuk menyediakan akses informasi mengenai penerapan hukuman mati dan jadwal eksekusi bagi masyarakat.

Transparansi dalam konteks hukuman mati juga berlaku pada ketersediaan data mengenai penerapan hukuman mati. Kurangnya data jumlah eksekusi atau individu yang divonis mati merupakan hambatan yang signifikan terhadap perdebatan internasional dan nasional serta pengawasan pada penghapusan hukuman mati. “Penerapan perlindungan yang menjamin hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati” dalam Resolusi 1989/64 ECOSOC mendesak Negara Anggota:

50 Laporan Sekretaris-Jenderal PBB mengenai Moratorium Penggunaan Hukuman Mati (A/65/280), hlm. 19, ayat 72.51 A/67/275, op. cit, hlm. 20, ayat 104.52 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, op. cit.53 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, op. cit., dan Laporan Pelapor Khusus untuk eksekusi di luar hukum, kilat, atau sewenang-wenang: Transparansi dan pengenaan hukuman mati (E/CN.4/2006/53/Add.3), hlm. 2.

Page 18: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

17

54 Lihat 1989/64 dalam Catatan Resmi ECOSOC 1989, Sidang Organisasi 1989, Sidang Berkala Pertama 1989, Suplemen No. 1 (E/1989/89), hlm. 51, ayat 5.55 A/RES/67/176, op. cit., hlm. 2, ayat 4(b).56 A/67/275, op. cit, ayat 104.

“…untuk memublikasikan,untuk tiap kategori pelanggaran yang dikenai hukuman mati, dan bila memungkinkan tiap tahun, informasi penggunaan hukuman mati, termasuk jumlah orang yang divonis mati, jumlah eksekusi yang dilaksanakan, jumlah orang yang terancam hukuman mati, jumlah kasus hukuman mati yang dibatalkan atau dikomutasi saat naik banding, dan jumlah kasus yang mendapatkan grasi, dan untuk memuat informasi mengenai sejauh apa perlindungan yang tersebut di atas dijadikan bagian dalam hukum nasional.”54

Belum lama ini, Resolusi 67/176 Majelis Umum mengimbau negara-negara:

“…untuk menyediakan informasi yang terpercaya mengenai penggunaan hukuman mati, antara lain, jumlah orang yang divonis mati, jumlah orang yang terancam hukuman mati, dan jumlah eksekusi yang dilaksanakan, yang dapat berkontribusi pada perdebatan nasional dan internasional yang informatif dan transparan, termasuk kewajiban Negara dalam hal penggunaan hukuman mati.”55

Dengan memperhitungkan konteks Pasal 19, hak kebebasan informasi disebut sebagai unsur dari hak kebebasan berekspresi. Ketersediaan informasi mengenai penggunaan hukuman mati sangat berkaitan dengan kebebasan media dalam memublikasikan informasi kasus individu atau data penggunaan hukuman mati. Dengan demikian, diperlukan jaminan akan lingkungan yang terbuka untuk media publik guna memastikan adanya transparansi.

Pelapor Khusus untuk eksekusi di luar hukum, kilat, atau sewenang-wenang menyimpulkan pentingnya transparansi dalam konteks hukuman mati: (a) informasi yang cukup dan relevan harus diberikan kepada individu yang menghadapi hukuman mati, berikut keluarga dan pengacara yang bersangkutan; (b) transparansi adalah kunci dalam debat publik yang berwawasan dan pertanggungjawaban demokrasi; dan (c) komunitas internasional dapat menyediakan pengawasan tambahan pada praktik tersebut.56

2.6 Standar perlindungan minimum bagi kelompok yang rentan

Kerangka kerja hak asasi manusia internasional menyediakan perlindungan khusus untuk kelompok yang rentan, seperti anak di bawah umur, wanita hamil dan ibu muda, serta penyandang keterbatasan mental atau intelektual. Berdasarkan Pasal 6 ICCPR, Pasal 37(a) Konvensi Hak-Hak Anak dan ayat 3 Resolusi 1984/50 ECOSOC, kategori yang disebut di atas tidak dapat dieksekusi di bawah hukum internasional meskipun hukum nasional negara membolehkan penggunaan hukuman mati. Resolusi 2003/67 dan 2005/59 Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengulang kembali batasan tersebut, Resolusi 67/176 Majelis Umum menyediakan perlindungan bagi anak-anak dan wanita hamil, sementara resolusi 1989/64 ECOSOC mengusulkan penghapusan hukuman mati untuk penyandang keterbatasan mental.

2.6.1 Hak asasi anak-anak yang orang tuanya divonis mati atau dieksekusi

“Hukuman mati atau eksekusi yang dikenakan pada orang tua mengusik berbagai macam hak yang seharusnya dapat dinikmati anak-anak.” – Marta Santos Pais, Perwakilan Khusus Sekretaris-Jenderal untuk Kekerasan Terhadap Anak.

Dalam resolusi yang ditetapkan pada bulan Maret 2013, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengakui dampak negatif vonis mati atau eksekusi orang tua terhadap anak-anak mereka, dan mendesak negara-negara untuk menyediakan perlindungan dan bantuan bagi anak-anak tersebut. Resolusi

Page 19: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

18

tersebut juga mengimbau negara-negara untuk memberikan akses kepada anak-anak tersebut atau anggota keluarga yang lain jika sesuai dengan pertimbangan hukum demi kepentingan anak tersebut terhadap orang tua si anak dan semua informasi yang relevan mengenai situasi orang tua tersebut (A/HRC/RES/22/11).

Penelitian menunjukkan sejumlah pengaruh jangka pendek dan panjang pada anak-anak yang orang tuanya divonis mati atau dieksekusi, termasuk pelanggaran berbagai hak dan kewajiban yang ditentukan dalam Konvensi Hak-Hak Anak. Hal ini meliputi, terutama: kewajiban untuk memastikan bahwa kepentingan anak telah dipertimbangkan dan dilindungi (Pasal 3); hak untuk bebas dari kekerasan, khususnya kekerasan mental (Pasal 19); hak untuk mendapatkan perlindungan dan bantuan khusus dari negara sewaktu seorang anak dirampas dari lingkungan keluarganya (Pasal 20), dan hak untuk standar kehidupan yang memadai bagi anak dari segi perkembangan fisik, mental, rohani, moral, dan sosial (Pasal 27 ayat 1).57

Eksekusi orang tua dapat mempengaruhi kesehatan anak dalam beberapa cara, termasuk trauma emosional yang mengarah pada kerusakan mental jangka panjang. Pada diskusi panel mengenai hak asasi manusia pada anak-anak yang orang tuanya divonis mati atau dieksekusi, pada sesi ke-dua puluh empat Dewan Hak Asasi Manusia PBB tanggal 11 September 2013, Wakil Komisaris Tinggi menyebutkan bahwa anak-anak yang orang tuanya yang dihukum mati dapat mengalami diskriminasi, khususnya apabila pelanggaran yang dilakukan orang tuanya sudah tersebar, termasuk melalui paparan media. Bukti yang ada juga menunjukkan bahwa hukuman mati secara tidak proporsional mempengaruhi kalangan miskin dan ras, suku dan minoritas agama tertentu. Oleh karena itu, seorang anak dapat menderita diskriminasi berdasarkan ras, agama atau kondisi ekonomi, serta stigma dari hukuman mati yang dihadapi orang tua mereka.58

57 A/HRC/25/33, ayat 658 A/HRC/25/33, ayat 7

Page 20: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

19

59 Pillay, “Diskusi Panel Tingkat Tinggi mengenai Permasalahan Hukuman Mati, Sidang ke-25 Dewan Hak Asasi Manusia PBB”, op. cit.

3. Permasalahan Opini Publik

“Kemajuan manusia tidak akan pernah berhenti. Dukungan rakyat untuk hukuman mati saat ini bukan berarti akan tetap ada esok. Terdapat preseden sejarah yang tidak terbantahkan di mana rangkaian hukum, kebijakan dan praktik yang tidak konsisten dengan standar hak asasi manusia didukung oleh mayoritas rakyat, tapi kemudian terbukti salah dan akhirnya dihapus atau dilarang. Pemimpin harus menunjukkan betapa tidak sejalannya hukuman mati dengan martabat manusia.” – Mantan Komisaris Tinggi HAM PBB, Navi Pillay 59

Opini publik merupakan kumpulan sudut pandang masyarakat yang kompleks dan terus berkembang. Dukungan publik yang kuat terhadap hukuman mati untuk menghukum kategori pelanggaran tertentu kerap dijadikan dasar untuk mempertahankan hukuman tersebut dalam peraturan perundangan negara. Rangkaian lapisan kompleksitas sentimen publik, terutama pada isu rumit seperti hukuman mati, bisa jadi merupakan respons dari kepemimpinan politik. Penghapusan hukuman mati pada hakikatnya adalah hasil dari proses yang panjang dan direncanakan, serta membutuhkan komitmen yang teguh dan kemauan politik yang kuat. Kasus yang dijabarkan pada akhir bagian ini menggambarkan adanya hubungan kompleks antara opini publik dengan kepemimpinan politik.

Pertama, hasil jajak pendapat dapat dengan mudah dipengaruhi oleh cara penyusunannya dan bagaimana dan kapan pertanyaan tersebut diajukan. Artikel media yang menceritakan kesalahan penghukuman dan eksekusi dapat dengan mudah menggoyahkan pendapat yang menolak hukuman mati, dan begitu pun sebaliknya dengan berita tentang pembunuh berantai.

Kedua, beragam ketentuan standar hak asasi manusia internasional yang berkaitan dengan hukuman mati umumnya kurang dihargai oleh masyarakat umum. Karena legalitas hukuman mati terletak pada batasan yang sempit dan penafsiran yang terbatas pada batasan tersebut, opini publik tidak dapat mematahkan ketentuan hukum yang jelas. Pemerintah harus menjelaskan hal ini. Pada dasarnya, masyarakat awam kesulitan membedakan hukuman mati dengan hukuman mati wajib.

Ketiga, debat umum berwawasan tergantung pada kebebasan berekspresi. Mengingat pokok yang disampaikan oleh Pelapor Khusus Philip Alston mengenai kewajiban transparansi hukum, debat umum yang bermakna membutuhkan penjelasan secara rinci dari pemerintah mengenai penggunaan hukuman mati. Media yang bebas dan informatif dapat berperan aktif dan penting dalam meramaikan diskusi dan membentuk opini publik. Jika media mengalami tantangan dalam melaksanakan hal tersebut, akan sulit menebak sentimen publik yang sebenarnya terhadap hukuman mati.

Pengetahuan umum berperan penting untuk mendorong terjadinya debat publik yang berwawasan mengenai isu sekitar hukuman mati. Pemerintah bertanggung jawab atas pendidikan mengenai hak asasi manusia, termasuk menumbuhkan rasa hormat pada hak untuk hidup. Kepemimpinan dalam upaya memajukan beragam aspek dalam perdebatan mengenai hukuman mati, seperti kesesuaian proporsi hukuman, kepatuhan pada norma-norma hak asasi manusia internasional, dan tindakan alternatif, dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap opini publik.

Page 21: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

20

Contoh dari Filipina dan Mongolia menggambarkan pentingnya kepemimpinan demi kemajuan dalam penghapusan hukuman mati. Kepemimpinan yang kuat untuk menghentikan praktik eksekusi di suatu negara dan untuk memulai reformasi legislatif sangat vital dalam kisah sukses penghapusan hukuman mati di Asia.

Di Filipina, adanya Undang-Undang tahun 1987 menyebabkan penghapusan hukuman mati secara de facto, menjadikan Filipina sebagai negara pertama di wilayah Asia Tenggara yang mempelopori upaya tersebut. Akan tetapi, meningkatnya jumlah kejahatan membawa hukuman mati kembali pada tahun 1993,60 dengan tujuan untuk mencegah kejahatan. Di bawah pemerintahan Presiden Gloria Macapagal-Arroyo, hukuman mati kembali dilarang pada tahun 2006,61 dan semua vonis mati yang telah dijatuhkan kemudian diringankan menjadi hukuman penjara seumur hidup. Peristiwa yang dialami oleh Filipina menunjukkan bagaimana kepemimpinan politik dapat sangat berguna untuk mempertahankan atau menghapus hukuman mati. Di Mongolia, setelah penerapan undang-undang baru pada tahun 1992, penggunaan hukuman mati dibatasi hanya untuk kejahatan yang serius. Terobosan untuk penghapusan hukuman mati muncul pada tahun 2010, sewaktu Presiden Tsakhia Elbegdorj mengumumkan moratorium hukuman mati dan mengajukan rancangan undang-undang kepada Parlemen untuk mengesahkan Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Kegigihannya membawa Mongolia untuk menghapus hukuman mati dalam hukum dan mengesahkan Protokol Tambahan Kedua tersebut. Kasus Mongolia mencontohkan bagaimana kepemimpinan politik dapat membentuk debat publik dan menggerakkan parlemen untuk mengubah hukum.

60 Filipina, Undang-Undang Republik No. 7659 (1993).61 Filipina, Undang-Undang Republik No. 9346 (2006).

Page 22: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

21

62 Amnesti Internasional, “Hukuman mati dan eksekusi 2013”, op. cit.

4. Hukuman Mati: Reformasi Bertahap di Asia Tenggara

Pergerakan global menuju penghapusan hukuman mati telah terlihat di Asia Tenggara. Sejak Mei 2014, Kamboja, Timor Leste dan Filipina telah menghapus hukuman mati, sementara Brunei, Laos dan Myanmar merupakan negara abolisionis de facto. Tidak satu pun negara di wilayah Asia Tenggara yang diidentifikasi oleh Amnesti Internasional sebagai negara yang melaksanakan eksekusi secara teratur dari 2009 sampai 2013.62 Penolakan dari wilayah Asia Tenggara terhadap resolusi Majelis Umum mengenai moratorium penggunaan hukuman mati telah mengalami penurunan yang menjanjikan. Reformasi legislatif yang membatasi penggunaan hukuman mati di beberapa negara juga menunjukkan kemajuan positif dalam pergerakan yang bertahap menuju penghapusan hukuman mati. Di Asia Tenggara, terlihat bahwa pemerintah menjauh dari penggunaan hukuman mati melalui beberapa reformasi. Laju reformasi ini berbeda pada tiap negara. Dari praktik yang terdapat di wilayah tersebut, terdapat pula beberapa hal yang dapat dipelajari.

4. 1 Tren di Asia Tenggara

Kemajuan Asia Tenggara dalam mereformasi undang-undang tentang hukuman mati lebih mudah dipahami dalam konteks kerangka hukum dan tren di berbagai belahan dunia lain.

Tabel 1 menyajikan hasil ringkasan status hukuman mati di delapan negara Asia Tenggara yang belum menghapus hukuman mati (Brunei Darussalam, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam), termasuk yang masih retensionis dan abolisionis de facto. Informasi lebih rinci mengenai kedelapan negara tersebut dapat dilihat di Lampiran A, “Profil Negara”.

Kamboja, Timor Leste, dan Filipina tidak termasuk dalam Tabel 1 atau Lampiran A karena negara-negara tersebut telah menghapus hukuman mati.

Lampiran B berisi dua tabel indikator legislatif status hukuman mati di tiap Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Page 23: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

22

Catatan: ICCPR = Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik OP2-ICCPR = Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan PolitikCAT = Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia

Metode eksekusiPenggantungan,

Rajam Shooting Shooting Hanging Hanging Hanging Lethal injection Lethal injection

Pelanggaran yang dapat dikenai hukuman mati

Di mana hukuman mati diterapkan, pelanggaran yang dapat dikenai hukuman tersebut tidak terbatas pada pembunuhan berencana.

Hukuman mati wajib √ √ √ √ √ √63

Perlindungan bagi kelompok yang rentan √ √ √ √ √ √ √ √

Perubahan terbaru √ √ √ √ √

BRNw IDN LAO MYS MMR SGP THA VNM

Status Abolisionis de facto Retensionis Abolisionis de

facto Retensionis Abolisionis de facto Retensionis Retensionis Retensionis

Telah meratifikasi ICCPR √ √ √ √

Telah meratifikasi OP2-ICCPR

Telah meratifikasi CAT √ √ √ Telah

menandatangani

Pendapat pada Menolak Abstain Abstain Menolak Menolak Menolak Abstain Abstain

pemungutan suara mengenai moratorium hukuman mati tahun 2012

Ketentuan konstitusional tentang hak untuk hidup

√ √ √ √ √ √

Eksekusi terakhir 1957 2013 1989 2013 1988 2014 2009 2014

Tabel 1 Status legislatif hukuman mati di delapan negara Asia Tenggara yang masih mempertahankan hukuman tersebut

4.1.1 Hukuman mati dalam hukum nasional

Semua negara Asia Tenggara, kecuali Kamboja, Filipina, dan Timor Leste, masih mempertahankan hukuman mati dalam hukum nasional mereka. Brunei Darussalam, Laos dan Myanmar termasuk abolisionis de facto; yaitu belum menetapkan penghapusan hukuman mati tapi tercatat tidak melaksanakan eksekusi selama bertahun-tahun. Myanmar meringankan semua vonis mati pada bulan Januari 2014.64

Wilayah Asia Tenggara telah menunjukkan kemajuan yang tidak merata dalam pergerakan menuju penghapusan hukuman mati. Filipina mempunyai posisi terkuat karena telah menghapus hukuman mati dan mengesahkan Protokol Tambahan Kedua ICCPR, mengindikasikan komitmen teguhnya untuk menghapus hukuman mati dari hukum negara. Kamboja dan Timor Leste telah menghapus hukuman mati untuk semua jenis tindak kejahatan, dan Myanmar tampaknya akan melakukan hal yang sama meski belum mengesahkan protokol tambahan kedua.65 Walau vonis mati di Myanmar

63 Walau tidak ada alternatif hukuman untuk pelanggaran-pelanggaran tertentu, Undang-Undang Pidana Thailand memberikan pertimbangan yang meringankan keadaan. 64 Pusat Pemberitaan PBB, “Kantor Hak Asasi Manusia PBB Puji Myanmar karena Telah Meringankan Semua Hukuman Mati”, 10 Januari 2014. Dapat dilihat di 65 Op. cit.

Page 24: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

23

66 Laporan nasional Myanmar yang disampaikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB (A/HRC/WG.6/10/MMR/1), hlm. 6, ayat 37, dan op. cit.67 Kompilasi yang disusun oleh Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB mengenai Myanmar, disampaikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB (A/HRC/WG.6/10/MMR/2), hlm. 6, ayat 25.68 Laporan Kelompok Kerja Tinjauan Periodik Universal Myanmar (A/HRC/17/9), hal 1, ayat 106.9.69 A/62/PV.76, A/63/PV.70, A/65/PV.71, dan A/67/PV.60, op. cit.

dijatuhkan sesuai dengan hukum, negara tersebut melaporkan dalam Tinjauan Periodik Universal (UPR) 2011 bahwa mereka tidak melakukan eksekusi sejak 1998 dan telah meringankan vonis mati yang telah dijatuhkan menjadi penjara seumur hidup.66 Walaupun Pelapor Khusus untuk situasi hak asasi manusia di Myanmar memuji pemerintah Myanmar yang telah memberlakukan moratorium hukuman mati, beliau juga menyesali bahwa pengadilan tingkat rendah terus menjatuhkan vonis mati.67 Dalam Tinjauan Periodik Universal Myanmar pada Januari 2011, terdapat satu usulan untuk menghapus hukuman mati dari hukum negara guna agar efektif mencegah pengadilan tingkat rendah Myanmar menjatuhkan vonis mati dan menghapuskan hukuman mati sepenuhnya.68

Contoh kemajuan lainnya yaitu penetapan reformasi legislatif oleh parlemen Singapura pada bulan November 2012, yang membatasi penerapan hukuman mati wajib (Llihat Lampiran A.6). Malaysia telah mengumumkan reformasi yang serupa, sementara Vietnam telah mengurangi jumlah pelanggaran yang dapat dijatuhi vonis mati.

Kemunduran dalam hal peraturan perundangan mengenai hukuman mati di negara lain di Asia Tenggara antara lain diberlakukannya Perintah Kanun Hukuman Jenayah Syariah 2013 di Brunei Darussalam, yang memperluas cakupan pelanggaran yang dapat dikenai hukuman mati dan menetapkan metode rajam untuk eksekusi, suatu metode yang merupakan penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.

4.1.2 Ratifikasi instrumen internasional

Dari 10 negara Asia Tenggara, enam di antaranya, termasuk Kamboja, Indonesia, Laos, Filipina, Thailand, dan Vietnam, telah meratifikasi ICCPR. Tapi, hanya Filipina yang telah meratifikasi Protokol Tambahan Kedua ICCPR, yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati.

Kamboja, Indonesia, Laos, Filipina dan Thailand telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan, sementara Vietnam baru menandatangani tapi belum mengesahkannya. Semua negara di Asia Tenggara telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak, yang melarang penggunaan hukuman mati pada anak di bawah umur.

Status ratifikasi di negara-negara Asia Tenggara secara umum menunjukkan kesesuaian dengan status penggunaan hukuman mati negara tersebut. Filipina dapat dianggap sebagai negara yang paling maju dalam hal ratifikasi perjanjian internasional yang berkaitan langsung dengan penggunaan hukuman mati.

4.1.3 Pemungutan suara untuk “moratorium penggunaan hukuman mati”

Dari 10 negara di Asia Tenggara, Kamboja, Timor Leste dan Filipina secara konsisten menyetujui resolusi Majelis Umum tentang “Moratorium penggunaan hukuman mati”; dua negara di antaranya abstain (Laos dan Vietnam), sedangkan empat lainnya (Brunei Darussalam, Malaysia, Myanmar, Singapura) secara konsisten memilih untuk menolak resolusi tersebut.69

Meskipun dukungan total untuk moratorium penggunaan hukuman mati masih belum terdapat di Asia Tenggara, penolakan terhadap moratorium ini telah berkurang sejak Indonesia dan Thailand merubah pendirian mereka dari menolak menjadi abstain. Dengan begitu, terdapat empat negara di kawasan tersebut yang menolak moratorium tersebut.

Page 25: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

24

Sebelas negara Asia Tenggara dalam indikator agregat pada Gambar 2 adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Timor Leste dan Vietnam.

Hal ini membuktikan lebih jauh bahwa Asia Tenggara umumnya mengikuti tren global menentang praktik hukuman mati. Perincian lebih lengkap mengenai hasil pemungutan suara 11 negara mengenai Moratorium dijelaskan dalam Tabel 2.

Gambar 2 Pemungutan suara agregat pada “Moratorium terhadap penggunaan hukuman mati” di 11 negara Asia Tenggara

02468

10

2007200820102012

Setuju

Menolak

Abstain

Table 2 Pemungutan suara mengenai “Moratorium penggunaan hukuman mati” di 11 negara Asia Tenggara

Negara 2007 2008 2010 12012 Perubahan

Brunei Darussalam Menolak Menolak Menolak Menolak -

Filipina Menyetujui Menyetujui Menyetujui Menyetujui -

Indonesia Menolak Menolak Menolak Abstain Menolak → Abstain

Kamboja Menyetujui Menyetujui Menyetujui Menyetujui -

Laos Abstain Abstain Abstain Abstain -

Malaysia Menolak Menolak Menolak Menolak -

Myanmar Menolak Menolak Menolak Menolak -

Singapura Menolak Menolak Menolak Menolak -

Thailand Menolak Menolak Abstain Abstain Menolak → Abstain

Timor-Leste Menyetujui Menyetujui Menyetujui Menyetujui -

Viet Nam Abstain Abstain Abstain Abstain Abstain

Sumber: Pola hasil pemungutan suara tiap negara didapatkan dari dokumen-dokumen berikut, dan disusun dalam tabel ini. Catatan Resmi Majelis Umum, Sidang Keenam Puluh Dua, Rapat Pleno, Rapat ke-76 (A/62/PV.76), hal. 17, Catatan Resmi Majelis Umum, Sidang Keenam Puluh Tiga, Rapat Pleno, Rapat ke-70 (A/63/PV.70), hal. 17, Catatan Resmi Majelis Umum, Sidang Keenam Puluh Lima, Rapat Pleno, Rapat ke-71 (A/65/PV.71), hal. 19, dan Catatan Resmi Majelis Umum, Sidang Keenam Puluh Tujuh, Rapat Pleno, Rapat ke-60 (A/67/PV.60), hal. 17.

Page 26: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

25

4.1.4 Penerapan hukuman mati terkini

Indonesia, Malaysia, Singapura dan Vietnam adalah negara Asia Tenggara yang baru-baru ini melaksanakan eksekusi.

Indonesia kembali melaksanakan eksekusi pada bulan Maret 2013 setelah empat tahun moratorium de facto. Dua narapidana dieksekusi karena penyelundupan narkoba dan tiga lainnya karena pembunuhan berencana; tapi tidak satu pun dari eksekusi tersebut yang diumumkan terlebih dahulu sebelum hari pelaksanaannya.70 Komite Hak Asasi Manusia menyatakan kekecewaannya karena Indonesia telah menangguhkan moratorium de facto-nya dan kembali melanjutkan eksekusi, terlebih lagi untuk kejahatan yang tidak termasuk “kejahatan paling serius” yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat 2 ICCPR. Komite tersebut menganjurkan Indonesia untuk menetapkan moratorium hukuman mati.71

Malaysia melaksanakan setidaknya dua eksekusi secara rahasia di tahun 2013, satu dengan tuduhan pembunuhan dan yang satunya lagi karena pelanggaran terkait narkoba. Pada bulan Maret 2014, Malaysia mengabulkan permohonan untuk menangguhkan putusan atas seorang terpidana hukuman mati – warga negara Nigeria yang dipidana karena pembunuhan tapi diduga menderita gangguan mental – kategori orang yang menurut hukum internasional berhak mendapatkan perlindungan khusus dan dilarang dikenai hukuman mati.72

Singapura mengeksekusi dua orang pada tanggal 18 Juli 2014 karena pelanggaran terkait narkoba, dengan demikian mencabut moratorium de facto-nya tiga tahun setelah tinjauan legislatif di tahun 2011, yang berakhir pada bulan Januari 2013.73

Di Vietnam, setidaknya tujuh eksekusi dilaksanakan pada tahun 2013 dan tiga pada tahun 2014 setelah sempat berhenti selama 18 bulan.74

4.2 Kepatuhan terhadap hukum internasional dan standar hak asasi manusia

4.2.1 Kejahatan paling serius

Sejumlah negara di Asia Tenggara mengenakan hukuman mati untuk pelanggaran yang tidak dianggap sebagai “kejahatan paling serius” berdasarkan hukum internasional.

Negara-negara Asia Tenggara yang masih mempertahankan hukuman mati (Brunei Darussalam, Indonesia, Laos, Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam) menerapkan hukuman tersebut untuk berbagai pelanggaran, termasuk yang berkaitan dengan narkoba, ekonomi dan persenjataan, serta untuk pengkhianatan, pemerkosaan dan hubungan sesama jenis.

70 Amnesti Internasional, “Indonesia: Eksekusi Kelima Benarkan adanya Tren Kerahasiaan Baru yang Mengejutkan”, 18 November 2013. Dapat dilihat di http://www.amnesty.org/en/news/indonesia-fifth-execution-confirms-shocking-new-trend-secrecy-2013-11-18. Amnesti Internasional, “Indonesia: Indonesia: Eksekusi Pertama dalam Empat Tahun ‘Mencengangkan dan Regresif’”, 15 Maret 2013. Dapat dilihat di http://www.amnesty.org/en/for-media/press-releases/indonesia-first-execution-four-years-shocking-and-regressive-2013-03-15 71 Hasil Pengamatan Komite Hak Asasi Manusia PBB pada Indonesia (CCPR/C/IDN/CO/1), hlm. 3, ayat 10.72 Badan Peguam Malaysia, “Siaran Pers | Badan Peguam Malaysia menghargai Tindakan Sigap Pemerintah untuk Menangguhkan Putusan Hukuman Mati terhadap Osariakhi Ernest Obayangbon”, 14 Maret 2014.Dapat dilihat di http://www.malaysianbar.org.my/press_statements/press_release_%7C_the_malaysian_bar_commends_swift_action_by_the_government_in_stay_of_execution_of_death_sentence_on_osariakhi_ernest_obayangbon.html 73 Kantor Regional OHCHR Asia Tenggara, “Kantor Hak Asasi Manusia PBB Sangat Prihatin dengan Berlanjutnya Eksekusi di Singapura”, Siaran Pers, Bangkok, 22 Juli 2014. Dapat dilihat di http://bangkok.ohchr.org/files/ROB%20Press%20Release%20220714.pdf . Komisi Internasional Menentang Hukuman Mati, “Pernyataan oleh Komisi Internasional Menentang Hukuman Mati: Singapura Mengeksekusi Dua Orang dan Kembali Melaksanakan Eksekusi Setelah Lebih dari Tiga Tahun”, Jenewa, 22 Juli 2014. Dapat dilihat di http://www.icomdp.org/cms/wp-content/uploads/2014/07/24-ICDP-Press-Statement_Singapore-resumes-executions-July2014.pdf 74 Pusat Pemberitaan PBB, “Kembalinya Hukuman Mati ‘Kemunduran Besar’ bagi Hak Asasi Manusia di Vietnam – PBB”, 9 Agustus 2013. Dapat dilihat di http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=45595#.U9CnpOOSxZg

Page 27: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

26

Brunei Darussalam menetapkan Perintah Kanun Hukuman Jenayah Syariah 2013, memperluas cakupan jenis kejahatan yang dikenai hukuman mati walaupun negara tersebut menerapkan moratorium de facto dan telah berhenti melakukan eksekusi sejak tahun 1957. Berdasarkan revisi peraturan perundangan terbaru, pelanggaran yang dapat dikenai hukuman mati termasuk perampokan, pemerkosaan, perzinaan, sodomi, hubungan seksual di luar nikah bagi Muslim, penghinaan ayat Quran dan hadis, penistaan agama, pendeklarasian diri sebagai nabi atau non-Muslim, dan pembunuhan.. Tahap Pertama dari peraturan perundangan terbaru ini berlaku efektif sejak 1 Mei 2014.75 Reintroduksi hukuman mati dalam undang-undang hukum syariah ini menimbulkan kekhawatiran besar di komunitas internasional76 dan dibahas dalam UPR terbaru negara tersebut.77 Selama Tinjauan Periodik Universal (UPR), Pemerintah Brunei dianjurkan untuk mengkaji apakah Perintah Kanun Hukuman Jenayah Syariah mereka memenuhi ketentuan standar hak asasi manusia internasional, tidak memperluas cakupan penggunaan hukuman mati, dan memastikan hukuman tersebut hanya digunakan terbatas untuk “kejahatan paling serius”.

Di Indonesia, isu pokok hukuman mati diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk peninjauan kembali pada tahun 2007. Mahkamah Konstitusi memutuskan penggunaan hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang, walau sebetulnya disebut di dalamnya bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Undang-undang tersebut juga menekankan bahwa hukuman mati hanya digunakan sebagai pilihan terakhir untuk kejahatan paling serius. Walaupun demikian, Indonesia tetap menggunakan hukuman mati untuk pelanggaran terkait narkoba, yang tidak memenuhi kriteria “kejahatan paling serius” berdasarkan standar internasional.78 Komite Hak Asasi Manusia

menganjurkan Indonesia untuk meninjau peraturan perundangannya guna menjamin bahwa kejahatan yang berkaitan dengan narkoba tidak dikenai hukuman mati.79

Laos melaporkan dalam Tinjauan Periodik Universal terbarunya pada bulan Mei 2014 bahwa negara tersebut akan mempertimbangkan untuk merevisi Undang-Undang Pidana, dengan maksud membatasi ruang lingkup kejahatan yang dikenai hukuman mati. Selama UPR tersebut, Laos disarankan untuk memperluas cakupan moratorium de facto-nya dan menghapus hukuman mati untuk semua kasus, termasuk kejahatan serius, serta untuk meringankan vonis mati yang telah dijatuhkan menjadi hukuman penjara. Pemerintah Laos berkomitmen untuk mempertimbangkan anjuran tersebut.80

Praktik eksekusi yang berkelanjutan di Malaysia, kendati adanya komitmen dari pemerintah untuk meninjau penggunaan wajib hukuman mati dan keinginan untuk mempertimbangkan moratorium, dibahas dalam Tinjauan Periodik Universal negara tersebut pada tahun 2013. Malaysia dianjurkan untuk menyelaraskan peraturan perundangannya dengan standar minimum internasional, terutama dengan menghapus hukuman mati wajib dan hukuman mati untuk pelanggaran terkait narkoba.81 Negara tersebut juga memperkuat kembali komitmennya untuk meninjau peraturan perundangannya mengenai hukuman mati, dan menyatakan bahwa mereka “telah mengambil

75 The Brunei Times, “Tahap Pertama Perintah Kanun Hukuman Jenayah Syariah Dilaksanakan Besok, 1 Mei”, Bandar Seri Begawan, 30 April 2014. Dapat dilihat di http://www.bt.com.bn/bookmarks-breaking/2014/04/30/just-phase-one-syariah-penal-code-order-be-enforced-tomorrow-may-1 76 Pusat Pemberitaan PBB, “ PBB Prihatin akan Luasnya Cakupan Penggunaan Hukuman Mati dalam Revisi Undang-Undang Pidana Brunei”, 11 April 2014. Dapat dilihat di http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=47552#.U-r8fOOSxZg . Komisi Ahli Hukum Internasional, “Brunei: Undang-Undang Pidana Baru Azas Dasar untuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia”, 27 Januari 2014. Dapat dilihat di http://www.icj.org/brunei-new-penal-code-a-blueprint-for-human-rights-violations/77 Laporan Kelompok Kerja Tinjauan Periodik Universal Brunei Darussalam (A/HRC/27/11), hlm. 8, ayat 49, hlm. 10, ayat 69, hlm. 11, paragraf 85, hlm. 12, ayat 99, 103.78 CCPR/C/IDN/CO/1, loc. cit.79 Loc. cit.80 Laporan Kelompok Kerja Tinjauan Periodik Universal Laos (A/HRC/15/5), hlm. 4, ayat 11. Laporan Kelompok Kerja Tinjauan Periodik Universal Laos, Adendum (A/HRC/15/5/Add.1), hlm. 6, ayat 18.81 Laporan Kelompok Kerja Tinjauan Periodik Universal Malaysia (A/HRC/25/10), hlm. 19, 20.

Page 28: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

27

82 Laporan nasional yang diajukan oleh Malaysia kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB (A/HRC/WG.6/17/MYS/1), hlm. 8, ayat 47.83 Laporan nasional yang diajukan oleh Singapura kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB (A/HRC/WG.6/11/SGP/1), hlm. 16, ayat 12084 Lihat pula ringkasan catatan dialog interaktif CAT/C/SR.1214 ayat 22 dan CAT/C/SR.1217 ayat 4.85 The Nation, “Mengakhiri Impunitas Thailand Sepenuhnya”, 2 Juli 2012. Dapat dilihat di http://www.nationmultimedia.com/opinion/Ending-Thailands-impunity-for-real-30185269.html . Laporan Kelompok Kerja Tinjauan Periodik Universal Thailand (A/HRC/19/8), hlm. 20, ayat 89.29.86 Thailand, Kementerian Peradilan, “Statistik Hukuman Mati“ (Bangkok, Departemen Pemasyarakatan, 2013). Dapat dilihat di http://www.correct.go.th/correct2009/stat/Deathpenaltyprisoner/DeathpenaltyprisonerApr2014.pdf 87 A/HRC/19/8, loc. cit.88 Laporan nasional yang diajukan oleh Vietnam kepada Kelompok Kerja Hak Asasi Manusia PBB (A/HRC/WG.6/18/VNM/1), hlm.3, ayat 10.89 Laporan Kelompok Kerja Tinjauan Periodik Universal Vietnam, hlm. 19, ayat 143.89, 143.90, 143.91, 143.92, 143.93, 143.94.90 Menurut laporan Jaringan Anti Hukuman Mati Asia (ADPAN) berjudul “Saat Keadilan Gagal”, peradilan yang tidak adil adalah isu penting dalam penggunaan hukuman mati di Asia. Studi kasus tentang Indonesia, Malaysia, dan Singapura telah dilaksanakan oleh ADPAN.

inisiatif untuk melakukan studi terhadap reformasi komprehensif administrasi peradilan pidana di Malaysia, termasuk hukuman mati.”82

Singapura menganggap hukuman mati lebih sebagai bagian isu peradilan pidana daripada isu hak asasi manusia, dan tetap berpendapat bahwa hukuman tersebut sah berdasarkan hukum internasional. Pemerintah Singapura berprinsip hukuman mati hanya dikenakan pada kejahatan paling serius. 83Tetapi, penggunaan hukuman mati tersebut tidak terbatas pada kejahatan pembunuhan direncanakan, melainkan juga dikenakan pada kejahatan lain seperti kejahatan narkoba. Hal ini terbukti dari eksekusi dua orang atas kasus pelanggaran narkoba pada bulan Juli 2014.

Dalam tinjauan terbaru Pemerintah Thailand84 oleh Komite Menentang Penyiksaan, pemerintah tersebut menyatakan akan mempertimbangkan moratorium hukuman mati. Penghapusan hukuman mati sebenarnya disebut dalam rancangan Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Nasional (2014-2018),85 tetapi sejak itu belum ada kemajuan nyata untuk menghapus hukuman mati. Vonis mati dalam jumlah besar dijatuhkan oleh pengadilan pada tahun 2013, yang mana hampir setengahnya karena kasus pelanggaran narkoba.86 Saat Tinjauan Periodik Universal, Thailand disarankan untuk menetapkan moratorium hukuman mati dengan tujuan menghapus hukuman tersebut, seperti yang telah dijabarkan dalam Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Nasional.87

Dengan adanya amandemen Undang-Undang Pidana Vietnam 2009 yang menghapus hukuman mati untuk delapan jenis kejahatan dan memberhentikan penggunaan hukuman mati untuk pelaku kejahatan di bawah umur, pada tahun 2014 Pemerintah Vietnam mengumumkan rencananya untuk lebih lanjut membatasi penggunaan hukuman mati.88 Terlepas dari pengumuman tersebut, kenaikan jumlah vonis mati yang dijatuhkan oleh pemerintah, termasuk kejahatan selain pembunuhan berencana, dibahas dalam Tinjauan Periodik Universal Vietnam di bulan Februari 2014. Vietnam disarankan untuk lebih lanjut mengurangi daftar kejahatan dengan hukuman mati, terutama kejahatan ekonomi dan narkoba.89

4.2.2 Peradilan yang adil dan layak

Isu utama dalam penggunaan hukuman mati di Asia Tenggara adalah sifat wajib hukuman tersebut untuk berbagai pelanggaran, mayoritas yang terkait dengan narkoba, khususnya di Malaysia, Singapura, dan Thailand.90 Nihilnya kebijaksanaan yudisial melanggar hak untuk peradilan yang adil dan layak, sehingga merusak integritas sistem peradilan dan kredibilitas proses yudisial.

Malaysia menyebut kembali dalam Laporan Nasional mereka saat Tinjauan Periodik Universal 2013 bahwa hukuman mati hanya diterapkan untuk kejahatan paling serius seperti yang telah ditentukan di dalam hukum, dan hanya setelah hak banding digunakan, seraya menyatakan adanya

Page 29: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

28

pengamanan ketat yang sesuai dengan Pasal 6 ICCPR.91 Namun, terlepas dari pengamanan yang ada, sejumlah Negara Bagian Malaysia merekomendasikan diteruskannya penggunaan hukuman mati wajib.92

Perubahan peraturan perundangan disetujui oleh Parlemen Singapura pada bulan November 2012 setelah tinjauan terhadap aturan hukuman mati wajib. Pada bulan Januari 2013, perubahan berikut mulai berlaku: Hukuman mati wajib berlaku untuk kasus pembunuhan berencana; dan penyelundup narkoba yang hanya berperan sebagai kurir dan mau bekerja sama dengan Biro Pusat Narkoba secara substantif atau menyandang keterbatasan mental berhak untuk mendapatkan kebijaksanaan pengadilan untuk dihukum mati atau penjara seumur hidup dengan dicambuk.93

Berbagai hukuman juga telah diringankan. Moratorium hukuman mati dilaksanakan sepanjang proses tinjauan legislatif dari Juli 2011 sampai adanya perubahan di bulan Januari 2013. Mereka yang termasuk dalam daftar eksekusi berdasarkan Undang-Undang Pidana atau Undang-Undang Penyalahgunaan Obat-Obatan diijinkan untuk mengajukan peninjauan kembali saat peraturan perundangan terbaru berlaku. Perubahan ini telah menghasilkan 9 peringanan hukuman mati.94 Terlepas dari reformasi legislatif tersebut, aspek lain di dalam Undang-Undang Pidana yang telah diubah masih menjadi perhatian, seperti pengenaan hukuman mati pada pelanggaran narkoba dan hukuman mati wajib pada pelanggaran tertentu.

4.2.3 Larangan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia

Hukuman mati dengan rajam merupakan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia menurut hukum internasional. Perintah Kanun Hukuman Jenayah Syariah 2013 yang baru-baru ini ditetapkan di Brunei Darussalam mengkhususkan rajam sebagai metode hukuman mati untuk kejahatan seksual. Isi peraturan perundangan baru tersebut tidak sesuai dengan ambang batas “kejahatan paling serius” dan juga bertentangan dengan larangan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.95

Saat ini, Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura melakukan eksekusi dengan penggantungan, Indonesia dan Laos dengan penembakan, sementara Thailand dan Vietnam dengan suntikan mati.

Terdapat kemajuan di Aceh, Indonesia, khususnya dengan penghapusan rajam sebagai metode eksekusi bagi pezina. Pada tahun 2009, dewan legislatif mengesahkan peraturan yang mengubah beberapa bagian dari Undang-Undang Pidana dengan ketentuan Syariah, yang menetapkan hukuman kejam seperti rajam sampai mati bagi pezina. Namun, hal tersebut kemudian dikembalikan lagi kepada dewan legislatif untuk revisi karena menimbulkan banyak kritik dan ditolak oleh pemerintah provinsi. Sejak saat itu ketentuan mengenai rajam dihapus dari rancangan revisi peraturan perundangan tersebut.96

91 A/HRC/WG.6/17/MYS/1, op. cit., hlm. 8, ayat 45.92 A/HRC/25/10, op. cit., hlm. 19, ayat 146.108, 146.110, hlm. 20, ayat 146.112, 146.114, 146.117, 146.124.93 K. Shanmugam, Menteri Luar Negeri dan Hukum Singapura. “Pernyataan Menteri Luar Negeri dan Hukum K. Shanmugam: Perubahan Penggunaan Hukuman Mati Wajib untuk Pelanggaran Pembunuhan”, Singapura, 9 Juli 2012. Dapat dilihat di https://www.mlaw.gov.sg/content/dam/minlaw/corp/assets/documents/linkclick4dc3.pdf. Teo Chee Hean, Wakil Perdana Menteri, Menteri Koordinator Keamanan Nasional, dan Menteri Dalam Negeri Singapura, “Memperbaiki Kerangka Kerja Pengendalian Narkoba dan Tinjauan Hukuman Mati Kita – Pernyataan Menteri oleh Teo Chee Hean, Wakil Perdana Menteri, Menteri Koordinator Keamanan Sosial, dan Menteri Dalam Negeri”, Singapura, 9 Juli 2012. Dapat dilihat di http://www.mha.gov.sg/news_details.aspx?nid=MjUzMg%3D%3D-N4I1YQwYBNE%3D.94 Kementerian Dalam Negeri Singapura, “Pernyataan Kementerian Dalam Negeri sebagai Jawaban untuk Pertanyaan Media mengenai Hukuman mati”, Singapura, 18 Juli 2014. Dapat dilihat di http://www.mha.gov.sg/news_details.aspx?nid=MzIxMg==-JKr4CnFh6eQ=95 Pusat Pemberitaan PBB, “PBB Prihatin akan Luasnya Cakupan Penggunaan Hukuman Mati dalam Revisi Undang-Undang Pidana Brunei”, op. cit. Komisi Ahli Hukum Internasional, “Brunei: Undang-Undang Pidana Baru Azas Dasar untuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia”, op. cit.96 The Jakarta Globe, “Pemerintah Aceh Hapus Hukuman Rajam dari Rancangan Peraturan Perundangan”, Banda Aceh, 12 Maret 2013. Dapat dilihat di http://www.thejakartaglobe.com/news/aceh-government-removes-stoning-sentence-from-draft-bylaw/

Page 30: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

29

97 Hasil pengamatan laporan awal Thailand oleh Komite Menentang Penyiksaan (CAT/C/THA/CO/1), hlm. 11, ayat 23.98 Amnesti Internasional, “Hukuman Mati 2013: Tabir Rahasia Melingkupi Isu Eksekusi di Asia Pasifik”, 27 Maret 2014. Dapat dilihat di http://www.amnesty.org/en/for-media/press-releases/death-penalty-2013-shroud-secrecy-around-executions-asia-pacific-2014-03-27 99 Laporan Pelapor Khusus untuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia: Misi ke Indonesia (A/HRC/7/3/Add.7), hlm. 27, ayat 89.100 Laporan Kelompok Kerja Tinjauan Periodik Universal Singapura (A/HRC/18/11).101 Amnesti Internasional, “Singapura – Hukuman Mati: Korban Eksekusi yang Tersembunyi”, yang melaporkan kurangnya transparansi mengenai eksekusi dan statistik vonis mati atau eksekusi.102 A/HRC/26/6, op. cit., hlm. 20, ayat 143.113.103 Thailand menarik keberatannya akan ICCPR pada tahun 2012.104 A/HRC/WG.6/17/MYS/1, loc. cit., ayat 46.

Dalam hasil pengamatan Komite Menentang Penyiksaan pada Thailand, Komite tersebut berpendapat bahwa Thailand telah meninjau dan mengurangi penggunaan belenggu di fasilitas penahanan, tapi dianjurkan secara khusus untuk menghentikan pembelengguan permanen bagi tahanan hukuman mati.97

4.2.4 Transparansi dan perlindungan lainnya

Informasi mengenai penggunaan hukuman mati masih kurang jelas di banyak negara Asia Tenggara, terutama Laos, Malaysia, Singapura, dan Vietnam, di mana jumlah penggunaan hukuman mati tidak dipublikasikan. Hukuman mati juga dilakukan secara terselubung tanpa pemberitahuan terlebih dahulu di beberapa negara, khususnya di Indonesia, Malaysia, dan Vietnam.98

Berdasarkan kunjungannya ke Indonesia tahun 2007, Pelapor Khusus untuk Penyiksaan mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengakhiri kerahasiaannya dalam praktik eksekusi.99

Kurangnya transparansi pada penggunaan hukuman mati dijadikan pembahasan dalam UPR Singapura terbaru pada tahun 2011. Salah satu rekomendasi dalam UPR tersebut yaitu Pemerintah harus “menyediakan statistik dan informasi faktual yang mudah diakses mengenai penggunaan hukuman mati.”100 Pelayanan Penjara Singapura sejak itu menerbitkan statistik hukuman mati dalam Statistik Tahunan (mulai 2012 dan seterusnya); namun kurangnya informasi untuk anggota keluarga dan sanak saudara masih menjadi perhatian.101

Pada saat pelaksanaan UPR Vietnam, pemerintah negara tersebut dianjurkan untuk menerbitkan informasi yang rinci mengenai identitas dan jumlah tahanan hukuman mati.102

4.2.5 Standar perlindungan minimum untuk kelompok yang rentan

Semua negara Asia Tenggara memiliki peraturan perundangan yang memastikan pengecualian hukuman mati untuk anak di bawah umur, wanita hamil, dan penyandang keterbatasan mental atau intelektual.103 Namun, hukum Myanmar tidak mencantumkan secara jelas perlindungan terhadap pelaku kejahatan di bawah umur walau negara tersebut merupakan bagian dari Konvensi Hak-Hak Anak dan telah menarik keberatannya. Meskipun Vietnam memiliki peraturan perundangan yang secara spesifik mengecualikan anak di bawah umur dan wanita hamil dari hukuman mati, hal yang sama tidak berlaku untuk penyandang keterbatasan mental atau intelektual; walaupun Undang-Undang Pidana negara tersebut setidaknya mempertimbangkan kondisi keterbatasan tersebut sebagai keadaan yang meringankan dalam kasus hukuman mati.

4.3 Keterlibatan publik

Malaysia telah berkomitmen untuk tetap terbuka dan melanjutkan upayanya dalam “melibatkan dan berkonsultasi dengan masyarakat mengenai hukuman mati, termasuk pilihan alternatif selain hukuman mati,” dalam laporan nasionalnya yang diajukan sebelum UPR pada bulan Oktober 2013.104

Page 31: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

30

Di Thailand, Departemen Perlindungan Hak-Hak dan Kebebasan di bawah Kementerian Peradilan mengumumkan pada Agustus 2013 bahwa mereka akan melaksanakan studi dan konsultasi publik mengenai kemungkinan penghapusan hukuman mati [di Thailand]. Pemerintah negara tersebut juga menyatakan betapa pentingnya konsultasi nasional mengenai hukuman mati. 105

4.4 Kerja sama regional

Dukungan dan kerja sama regional berperan penting dalam mendorong dan melindungi hak asasi manusia. Kerangka kerja Komisi Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN (AIHCR) dapat berguna dalam hal ini. Pasal 11 Deklarasi HAM ASEAN menekankan kembali bahwa “Setiap orang mempunyai hak untuk hidup yang melekat dan dilindungi oleh hukum”, dan “tidak ada satu orang pun yang akan dirampas hidupnya kecuali sesuai dengan hukum”.

Pentingnya kerja sama regional dibahas dalam seminar pakar ahli mengenai hukuman mati di Bangkok pada tahun 2013. Ketua seminar tersebut, Vitit Muntarbhorn, menegaskan bahwa saat negara berusaha menerapkan Deklarasi HAM PBB yang mencantumkan perlindungan hak untuk hidup, negara tersebut membutuhkan dukungan dalam mengambil langkah nyata untuk mengembangkan upaya dan alat perlindungan guna menghentikan hukuman mati wajib. Perwakilan Indonesia untuk AICHR Rafendi Djamin menyatakan bahwa AICHR perlu mengadakan diskusi mengenai hukuman mati.106

Bertukar pengalaman nasional dapat menjadi alat untuk membangun dukungan dalam penghapusan hukuman mati. Salah satunya adalah pengalaman yang bisa diambil dari Filipina, negara yang tengah berpindah posisi dari mempertahankan hukuman mati menjadi menghapusnya dari hukum negara. Hubungan bilateral dalam peringanan hukuman dapat menjadi salah satu alternatif untuk memberikan tekanan secara regional demi mengurangi penggunaan hukuman mati dengan tujuan akhir penghapusan. Indonesia, misalnya, telah menjalin kerja sama dengan Malaysia dalam hal warga negara Indonesia yang dijatuhi hukuman mati di Malaysia.

105 Laporan nasional yang diajukan oleh Thailand kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB (A/HRC/WG.6/12/THA/1), hlm. 6, ayat 33.106 Kantor Regional OHCHR Asia Tenggara, “Catatan Internal Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara”, Bangkok, 2013.

Page 32: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

31

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Hukum hak asasi manusia internasional menempatkan batasan ketat pada kondisi di mana pengecualian terhadap hak untuk hidup dapat diperbolehkan. Mayoritas negara mencoba perlahan menghentikan penggunaan hukuman mati, walau kemajuan di Asia Tenggara lebih lambat dibandingkan dengan kecepatan pergerakan global dalam penghapusan praktik ini, baik secara hukum maupun pelaksanaan. Walaupun begitu, negara-negara Asia Tenggara kini kembali menjauh dari penerapan hukuman mati, walau dengan kecepatan yang berbeda.

Kantor Komisaris Tinggi PBB menganjurkan hal-hal di bawah ini untuk semua negara:

(1) Sejalan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa serta badan hak asasi manusia regional dan internasional, percepat upaya untuk menerapkan moratorium resmi pada semua eksekusi dan ringankan semua hukuman, dengan tujuan akhir untuk menghapus hukuman mati secara resmi;

(2) Ratifikasi Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati, jika belum;

(3) Berikan kesempatan bagi organisasi antar pemerintah, organisasi internasional dan regional, dan lembaga swadaya masyarakat untuk terlibat dalam diskusi mengenai hukuman mati;

(4) Bergabunglah dengan kerja sama dan kolaborasi regional pada platform seperti Komisi Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN, yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati di negara masing-masing secara resmi;

(5) Pastikan bahwa pengenaaan hukuman mati terbatas hanya pada kejahatan yang terkait pembunuhan berencana dan bahwa wajib hukuman mati dihapus dari hukum negara;

(6) Pastikan penegakkan standar tertinggi peradilan yang adil dan layak serta kepatuhan pada hukum internasional dan norma-norma hak asasi manusia dalam semua kasus hukuman mati;

(7) Pastikan pemberlakuan perlindungan khusus untuk kelompok yang rentan, sehingga hukuman mati tidak dikenakan pada anak di bawah umur, wanita hamil, penyandang keterbatasan mental atau intelektual, dan orang berumur;

(8) Pastikan adanya transparansi dalam kasus hukuman mati individu. Selain itu, pastikan secara spesifik adanya akses informasi untuk terpidana, anggota keluarganya, dan masyarakat; serta pastikan bahwa data penggunaan hukuman mati tersedia untuk masyarakat, termasuk jumlah hukuman mati yang dijatuhkan, eksekusi yang dilaksanakan dan individu yang dikenai hukuman mati;

(9) Ubah hukum negara mengenai ekstradisi dan deportasi agar secara khusus mencegah pemindahan paksa seseorang ke negara di mana terdapat risiko hukuman mati yang merupakan pelanggaran atas standar yang diakui secara internasional, kecuali bilamana telah diterapkan perlindungan yang memadai guna memastikan bahwa hukuman mati tidak akan dilaksanakan pada orang tersebut; dan

(10) Di negara yang termasuk abolisionis de facto, sejalan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa serta badan hak asasi manusia internasional dan regional, percepat upaya untuk menetapkan moratorium resmi untuk semua eksekusi dengan tujuan untuk meresmikan penghapusan hukuman mati di masa depan

Page 33: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

32

Lampiran A. Profil Negara

A.1 Brunei Darussalam

Brunei merupakan negara abolisionis de facto dalam praktik penggunaan hukuman mati. Negara ini belum mengesahkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati, dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Pada tahun 2012, negara tersebut menolak resolusi Majelis Umum tentang moratorium penggunaan hukuman mati.

Jumlah individu yang saat ini menghadapi hukuman mati tidak diketahui dan hanya sedikit hukuman mati yang telah dilaporkan dalam 10 tahun terakhir, di mana pada tahun 2007, 2011, 2012, dan 2013 tidak ada vonis hukuman mati.107 Tidak ada eksekusi selama 10 tahun terakhir; eksekusi terakhir yang diketahui adalah pada tahun 1957.108

Metode eksekusi yang dipergunakan di Brunei Darussalam adalah penggantungan atau rajam. Pelanggaran yang dikenai hukuman mati tertera secara rinci dalam Undang-Undang Pidana Brunei, Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri Brunei, Undang-Undang Penyalahgunaan Narkoba Brunei, dan yang baru-baru ini ditetapkan Perintah Kanun Hukuman Jenayah Syariah 2013. Pelanggaran yang dimaksud termasuk tindakan yang menentang keluarga raja, pembunuhan, penculikan, pelanggaran terkait senjata, narkoba, hubungan seksual di luar nikah, dan sodomi, yang mayoritas wajib dikenai hukuman mati.

Individu yang berusia di bawah 18 tahun saat melakukan kejahatan, wanita hamil, dan penyandang keterbatasan mental dibebaskan dari hukuman mati.

Grasi dapat diperoleh dari Sultan, seperti yang ditentukan dalam Pasal 9 Undang-Undang, yang menyebutkan bahwa “Sultan yang Agung dan Yang Di-Pertuan dapat bertindak sesuai dengan kebijakan mutlaknya untuk memberikan pengampunan, penangguhan, atau peringanan hukum. Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan proses pengampunan kerajaan.109

Adanya Perintah Kanun Hukuman Jenayah Syariah 2013 (termasuk implementasi bertahap dari Mei 2014 sampai Mei 2016) menyebabkan kemunduran pada status Brunei saat ini dalam hal hukuman mati. Undang-undang tersebut memperluas ruang lingkup pelanggaran yang dapat dikenai hukuman mati dan mempertahankan hukuman mati untuk pelanggaran yang tidak termasuk “kejahatan paling serius”. Metode hukuman dengan rajam adalah pelanggaran terhadap hukum internasional.110

107 Kutipan dari Amnesti Internasional, “ Vonis Mati dan Eksekusi 2007” (London, 2008), Amnesti Internasional, “ Vonis Mati dan Eksekusi 2008” (London, 2009), Amnesti Internasional, “ Vonis Mati dan Eksekusi 2009” (London, 2010), Amnesti Internasional, “ Vonis Mati dan Eksekusi 2010” (London, 2011), Amnesti Internasional, “ Vonis Mati dan Eksekusi 2011” (London, 2012), Amnesti Internasional, “ Vonis Mati dan Eksekusi 2012” (London, 2013), Amnesti Internasional, “ Vonis Mati dan Eksekusi 2013”, op. cit.108 Amnesti Internasional, “Hukuman Mati: Negara-negara Abolisionis secara Praktik”. Dapat dilihat di http://www.amnesty.org/en/death-penalty/countries-abolitionist-in-practice 109 Brunei, Perundang-undangan Brunei Darussalam, Perundang-undangan I (Undang-Undang Brunei Darussalam) (1984) dan Perundang-undangan II (Penggantian dan Proklamasi Keregenan) (1959), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Brunei Darussalam (1951).110 Pusat Pemberitaan PBB, “PBB Khawatirkan Luasnya Cakupan Penggunaan Hukuman Mati dalam Revisi Undang-Undang Pidana Brunei”, op. cit. Komisi Ahli Hukum Internasional, “Brunei: Undang-Undang Pidana Baru Azas Dasar untuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia”, op. cit.

Page 34: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

33

A.2 Indonesia

Indonesia memilih untuk tetap menerapkan hukuman mati. Negara tersebut telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Akan tetapi, Indonesia belum mengesahkan Protokol Tambahan Kedua ICCPR. Pada tahun 2012, negara tersebut memilih untuk abstain pada pemungutan suara resolusi Majelis Umum mengenai moratorium penggunaan hukuman mati. Pasal 28 Undang-Undang Republik Indonesia mempunyai ketentuan jelas mengenai hak untuk hidup, hak atas pengakuan dan perlindungan hukum, hak asasi manusia yang paling fundamental dan tidak boleh dibatasi, dan komitmen Negara terhadap implementasi hak asasi manusia yang fundamental.111

Per tanggal 31 Desember 2013, 149 individu dijatuhi hukuman mati, dengan vonis mati baru terus dijatuhkan tiap tahunnya sejak 2006.112 Indonesia tidak melakukan eksekusi dari 2009 sampai 2012, tapi kembali menjalankannya pada tahun 2013, mengeksekusi 5 individu atas pelanggaran yang terkait dengan pembunuhan dan penyelundupan narkoba.113 Tidak ada satu pun eksekusi yang dilakukan pada tahun 2013 yang diberitahukan sebelum hari pelaksanaannya.114 Komite Hak Asasi Manusia menyayangkan Indonesia kembali melanjutkan eksekusi dan kembali menerapkan hukuman mati untuk kejahatan narkoba yang tidak termasuk sebagai “kejahatan paling serius.”115

Metode eksekusi yang gunakan oleh Indonesia adalah penembakan.

Pelanggaran yang dikenai hukuman mati dijelaskan secara rinci dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Hukum Narkotika Indonesia, dan Hukum Indonesia tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pelanggaran tersebut termasuk kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap kehidupan, kejahatan terkait pelayaran (perompakan), pelanggaran narkoba, terorisme, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak ada penerapan hukuman mati wajib di Indonesia.

Mereka yang menyandang keterbatasan dan gangguan mental, yang berusia di bawah16 tahun saat melakukan pelanggaran, dan wanita hamil dibebaskan dari hukuman mati. Grasi dari presiden dijelaskan pada Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa “Presiden dapat mengabulkan grasi dan rehabilitasi dengan mempertimbangkan tinjauan Mahkamah Agung.”

Pembahasan mengenai hukuman mati dirujukkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk tinjauan pengadilan pada bulan Juli 2012. Mahkamah Konstitusi memutuskan penggunaan hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan menekankan bahwa hukuman mati hanya digunakan sebagai pilihan terakhir untuk kejahatan paling serius. Saat UPR pada bulan Mei 2012, Indonesia menolak rekomendasi untuk mengesahkan moratorium hukuman mati.116

Pada tahun 2009, dewan legislatif Aceh mengesahkan peraturan yang menggantikan sebagian dari Undang-Undang Pidana dengan ketentuan Syariah yang menggunakan hukuman kejam seperti

111 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia (1945).112 Kutipan dari Amnesti Internasional, “Vonis Mati dan Eksekusi 2007”, “Vonis Mati dan Eksekusi 2008”, “Vonis Mati dan Eksekusi 2009”, “Vonis Mati dan Eksekusi 2010”, “Vonis Mati dan Eksekusi 2011”, “Vonis Mati dan Eksekusi 2012”, “Vonis Mati dan Eksekusi 2013”, op. cit.113 Amnesti Internasional, “Vonis Mati dan Eksekusi 2013”, op. cit., hlm. 23. “Indonesia: Eksekusi Kelima Benarkan adanya Tren Kerahasiaan Baru yang Mengejutkan”, op. cit. “Indonesia: Eksekusi Pertama dalam Empat Tahun ‘Mencengangkan dan Regresif’”, op. cit.114 Op. cit.115 CCPR/C/IDN/CO/1, loc. cit.116 Laporan Kelompok Kerja Tinjauan Periodik Universal Indonesia: Pandangan terhadap kesimpulan dan/atau rekomendasi, komitmen sukarela, dan balasan Negara yang sedang ditinjau (A/HRC/21/7/Add.1), hlm. 3, ayat 6.6.

Page 35: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

34

rajam sampai mati bagi pezina.117 Setelah pemerintah provinsi menolak untuk menandatangani atau mengimplementasi peraturan tersebut, pemerintah Aceh akhirnya menghapus ketentuan rajam hingga mati untuk pezina.

A.3 Laos Laos telah menghapus penggunaan hukuman mati secara de facto. Negara ini telah mengesahkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Akan tetapi, Laos belum mengesahkan Protokol Tambahan Kedua ICCPR dan memilih untuk abstain dari pemungutan suara resolusi Majelis Umum mengenai moratorium penggunaan hukuman mati. Tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang yang menyebutkan tentang hak untuk hidup atau kebebasan yang mendasar.

Setidaknya terdapat 92 individu yang menghadapi hukuman mati per tanggal 31 Desember 2013, dengan vonis baru yang dijatuhkan pada tahun 2008, 2010, 2012 dan 2013.118 Namun, tidak ada eksekusi yang dilaksanakan sejak tahun 1989.119 Metode eksekusi yang digunakan adalah penembakan.

Pelanggaran yang dikenai hukuman mati dijelaskan secara rinci dalam Undang-Undang Pidana Laos dan Hukum tentang Perkembangan dan Perlindungan Wanita. Pelanggaran tersebut termasuk pengkhianatan, pemberontakan, pembahayaan kepentingan keamanan nasional, pembunuhan, dan pelanggaran terkait narkoba. Hukuman mati wajib dikenakan untuk pemroduksian, perdagangan, penggunaan, atau kepemilikan narkotika dalam jumlah tertentu.

Pelaku kejahatan yang berusia di bawah 18 tahun saat melakukan pelanggaran, yang menyandang keterbatasan mental, dan wanita hamil dibebaskan dari hukuman mati.

Menurut Pasal107 Undang-Undang Pidana Laos mengenai implementasi hukuman mati, “orang yang dikenakan hukuman mati mempunyai hak untuk mengajukan permohonan pengampunan kepada presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak tanggal putusan tersebut atau sejak tanggal orang tersebut diberitahukan mengenai putusan tersebut.”120

Sejauh ini tidak ada reformasi terbaru terhadap hukuman mati di Republik Demokratik Rakyat Laos.

A. 4 Malaysia

Malaysia merupakan negara retensionis dalam hal penggunaan hukuman mati. Negara ini belum mengesahkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Protokol Tambahan Kedua ICCPR, atau Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Malaysia menolak semua resolusi Majelis Umum tentang moratorium penggunaan hukuman mati. Terdapat rangkaian ketentuan dalam Undang-Undang Federal Malaysia atas hak kebebasan individu, di mana Pasal 5 menyatakan bahwa “tidak ada seorang pun yang dapat dirampas hidup atau kebebasan pribadinya kecuali sesuai dengan hukum yang berlaku.”121

117 Human Rights Watch, “Indonesia: Hukum Baru Aceh Terapkan Penyiksaan”, New York, 11 Oktober 2009. Dapat dilihat di http://www.hrw.org/news/2009/10/11/indonesia-new-aceh-law-imposes-torture

118 Kutipan dari Amnesti Internasional, “Vonis Mati dan Eksekusi 2007”, “Vonis Mati dan Eksekusi 2008”, “Vonis Mati dan Eksekusi 2009”, “Vonis Mati dan Eksekusi 2010”, “Vonis Mati dan Eksekusi 2011”, “Vonis Mati dan Eksekusi 2012”, “Vonis Mati dan Eksekusi 2013”, op. cit.119 Amnesti Internasional, “Hukuman Mati: Negara-Negara Abolisionis secara Praktik”, op. cit.120 Laos, Undang-Undang Pidana (2004).121 Malaysia, Undang-Undang Federal Malaysia, amandemen 2007 (1957).

Page 36: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

35

122 Amnesti Internasional, “Vonis Mati dan Eksekusi 2013”, op. cit., hlm. 24.123 Op.cit.124 Malaysia, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, amandemen tahun 2006 (1999).125 A/HRC/25/10,126 Myanmar, Undang-Undang Republik Persatuan Myanmar (2008).

Terdapat 992 individu yang dijatuhkan hukuman mati per 31 Desember 2013, dengan lebih dari 60 vonis baru dijatuhkan tiap tahunnya dalam waktu 6 tahun terakhir (setidaknya 68 pada tahun 2009, setidaknya 114 pada tahun 2010, setidaknya 108 pada tahun 2011, setidaknya 60 pada tahun 2012, dan setidaknya 76 pada tahun 2013). Setidaknya terdapat dua eksekusi pada tahun 2013, tapi kerahasiaan seputar eksekusi membuat sulit untuk memperkirakan jumlah orang yang dieksekusi.122 Sedikitnya terdapat empat kasus yang diringinkan dan dua kasus yang diampuni pada tahun 2013.123

Metode eksekusi yang digunakan oleh Malaysia adalah penggantungan.

Pelanggaran yang dikenai hukuman mati dijelaskan secara rinci dalam Undang-Undang Pidana Malaysia, Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri Malaysia, Undang-Undang Penculikan Malaysia, Undang-Undang Persenjataan Malaysia (Peningkatan Hukuman), dan Undang-Undang Obat-obatan Berbahaya Malaysia, dengan hukuman mati wajib untuk pelanggaran yang terkait dengan pembunuhan, persenjataan, penyelundupan obat-obatan berbahaya, dan pelanggaran terhadap kepala negara.

Wanita hamil, anak-anak, dan penyandang gangguan mental dibebaskan dari hukuman mati.

Kuasa pengampunan dari Yang di-Pertuan Agong (raja) ditentukan dalam Pasal 42 Undang-Undang Federal Malaysia, di mana disebutkan di dalamnya bahwa beliau memiliki “kekuatan untuk mengampuni, menangguhkan, dan menunda hukuman sehubungan dengan semua pelanggaran yang dilakukan di Negara Yang di-Pertuan Agong.” Selain itu, ketentuan yang sama juga tercantum pada Pasal 300 dan 301 Undang-Undang Hukum Acara Pidana Malaysia. Ketentuan rinci mengenai hukuman mati dinyatakan pada Pasal 281 Undang-Undang Hukum Acara Pidana Malaysia, yang menetapkan prosedur untuk naik banding dan implementasi eksekusi.124

Dalam laporan nasional yang disampaikan untuk UPR pada bulan Oktober 2013, Pemerintah Malaysia menyatakan mereka telah melakukan tinjauan komprehensif atas penerapan sistem peradilan di Malaysia, termasuk hukuman mati, dan persetujuannya untuk mengkaji rekomendasi dari UPR, yang mencakup moratorium penggunaan hukuman mati dengan tujuan penghapusan.125

A.5 Myanmar

Myanmar adalah negara abolisionis de facto. Negara tersebut belum mengesahkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Protokol Tambahan Kedua ICCPR, atau Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Myanmar menolak semua resolusi Majelis Umum mengenai moratorium penggunaan hukuman mati. Ketentuan mengenai hak untuk hidup dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Persatuan Myanmar, di mana Pasal 353 menyebutkan bahwa “tidak akan ada hal, kecuali sesuai dengan hukum yang berlaku, yang dapat mengusik kehidupan dan kebebasan pribadi siapa pun.126

Metode eksekusi yang digunakan di Myanmar adalah penggantungan.

Page 37: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

36

Eksekusi terakhir yang diketahui di Myanmar berlangsung pada tahun 1988. Pihak berwenang mengumumkan pada 2 Januari 2014 bahwa negara tersebut telah meringankan vonis mati yang telah dijatuhkan.127 Walaupun moratorium hukuman mati secara de facto telah diberlakukan, kemajuan dalam penghapusan hukuman mati secara hukum tidaklah signifikan, dan pengadilan tingkat rendah masih tetap menjatuhkan vonis mati.128

Pelanggaran yang dikenai hukuman mati dijelaskan secara rinci dalam Undang-Undang Pidana Myanmar, Hukum Obat-obatan Narkotika dan Zat Psikotropika Myanmar, dan Undang-Undang Anti-Penyelundupan oleh Perorangan Myanmar, dengan hukuman mati wajib diberlakukan untuk pelanggaran pembunuhan dan narkoba.

Wanita hamil dan penyandang keterbatasan mental dibebaskan dari hukuman mati, tapi tidak ada ketentuan khusus untuk melindungi anak di bawah umur walaupun Myanmar merupakan bagian dari Konvensi Hak-Hak Anak dan telah mencabut keberatannya. Pasal 54 Undang-Undang Pidana Myanmar menyatakan bahwa dalam tiap kasus di mana hukuman mati telah ditetapkan, Presiden dapat, tanpa persetujuan dari pelaku kejahatan, meringankan hukuman tersebut menjadi hukuman lainnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang.

Dalam laporan nasional yang disampaikan oleh Myanmar untuk UPR terakhirnya pada bulan Januari 2011, Pemerintah negara tersebut menyatakan bahwa mereka tidak melakukan hukuman mati sejak tahun 1988, walau hukuman tersebut dijatuhkan sesuai dengan hukum, dengan demikian menyoroti komutasi hukuman mati tersebut.129

A.6 Singapura

Singapura termasuk negara retensionis yang belum mengesahkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Protokol Tambahan Kedua ICCPR, maupun Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Negara ini menolak semua resolusi Majelis Umum mengenai moratorium penggunaan hukuman mati. Undang-Undang Republik Singapura menyediakan kebebasan pada tiap orang, dengan Pasal 9 yang menyebut bahwa “tidak seorang pun yang akan dirampas hidup atau kebebasan pribadinya kecuali sesuai dengan hukum yang berlaku.”130

Sejak 18 Juli 2014, terdapat 22 orang yang dijatuhi hukuman mati. Sejumlah vonis mati dijatuhkan tiap tahunnya setidaknya selama lima tahun terakhir.131 Eksekusi dihentikan selama tinjauan legislatif pada hukuman mati di tahun 2012, tapi kembali dijalankan pada bulan Juli 2014, saat dua orang dieksekusi karena pelanggaran narkoba. Peringanan berbagai hukuman diberikan pada tahun 2012.132

Metode yang digunakan Singapura untuk eksekusi adalah penggantungan.

127 Pusat Pemberitaan PBB, “Kantor Hak Asasi Manusia PBB Puji Myanmar yang Telah Meringkankan Semua Vonis Mati”, op. cit.128 A/HRC/17/9, loc. cit.129 A/HRC/WG.6/10/MMR/1, loc. cit.130 Singapura, Undang-Undang Republik Singapura (1965).131 Kementerian Dalam Negeri Singapura, “Pernyataan Kementerian Dalam Negeri sebagai Jawaban atas Pertanyaan Media mengenai Hukuman Mati”, op. cit. Singapura, Kementerian Dalam Negeri, “Rilis Statistik Tahunan Pelayanan Penjara Singapura 2012”, (Singapura, Pelayanan Penjara Singapura, 1 Februari 2012). Dapat dilihat di http://www.prisons.gov.sg/content/dam/sps/publication_latest/2012%20Prisons%20Annual%20Statistics%20Release%201%20Feb%202012.pdf . Singapura, Kementerian Dalam Negeri, “Rilis Statistik Tahunan Pelayanan Penjara Singapura 2013” (Singapura, Pelayanan Penjara Singapura, 30 Januari 2013). Dapat dilihat di http://www.prisons.gov.sg/content/dam/sps/publication_latest/2013%20Singapore%20Prison%20Service%20Annual%20Statistics%20Release.pdf . Singapura, Kementerian Dalam Negeri, “Rilis Statistik Tahunan Pelayanan Penjara Singapura 2014” (Singapura, Pelayanan Penjara Singapura, 11 Februari 2014). Dapat dilihat di http://www.prisons.gov.sg/content/dam/sps/publication_latest/PRIS%20Annual%20Statistics%20Press%20Release%202014_FINAL%20Approved%2010%20Feb.pdf 132 Kementerian Dalam Negeri Singapura, “Pernyataan Kementerian Dalam Negeri sebagai Jawaban atas Pertanyaan Media mengenai Hukuman Mati”, op. cit

Page 38: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

37

133 Singapura, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, revisi 2012 (2010).134 K. Shanmugam, “Pernyataan Menteri Luar Negeri dan Hukum, K. Shanmugam: Perubahan Penggunaan Hukuman Mati Wajib untuk Pelanggaran Pembunuhan”, op. cit. Teo Chee Hean, ““Memperbaiki Kerangka Kerja Pengendalian Narkoba dan Tinjauan Hukuman Mati Kita – Pernyataan Menteri oleh Teo Chee Hean, Wakil Perdana Menteri, Menteri Koordinator Keamanan Nasional, dan Menteri Dalam Negeri”, op. cit.135 Thailand, Undang-Undang Sementara Thailand (2014).

Pelanggaran yang dikenai hukuman mati dijelaskan secara rinci dalam Undang-Undang Pidana Singapura, Undang-Undang Penyalahgunaan Narkoba Singapura, Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri Singapura, Undang-Undang Pelanggaran Persenjataan Singapura, Undang-Undang Angkatan Bersenjata Singapura, Undang-Undang Terorisme Singapura, dan Undang-Undang Penculikan Singapura, dengan hukuman mati wajib dikenakan pada pelanggaran yang terkait dengan perompakan, pembunuhan, penyelundupan/pembuatan/impor atau ekspor narkoba dalam jumlah tertentu, persenjataan, dan terorisme dengan pemboman.

Mereka yang di bawah umur 18 tahun, memiliki gangguan kejiwaan, dan wanita hamil dibebaskan dari hukuman mati.

Pasal 22P Undang-Undang memberikan kuasa pada pemerintah untuk memberikan pengampunan, dan Jaksa Agung dapat memberikan pendapat dalam kasus tersebut. Sama halnya, Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Singapura juga memberikan kuasa pada presiden untuk memberikan pengampunan, penangguhan, atau pengurangan hukuman. 133

Reformasi legislatif dilaksanakan oleh Parlemen Singapura pada November 2012, dengan perubahan sebagai berikut: (1) hukuman mati wajib kini hanya berlaku pada pembunuhan berencana, dan (2) penyelundup narkoba yang berperan sebagai kurir dan telah bekerja sama dengan Biro Pusat Narkotika secara substantif atau memiliki keterbatasan mental, dapat memanfaatkan kebijaksanaan pengadilan untuk dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup dengan hukum cambuk.134

A.7 Thailand

Thailand tergolong sebagai negara retensionis dalam hal penggunaan hukuman mati. Negara ini telah mengesahkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia; tapi, belum mengesahkan Protokol Tambahan Kedua ICCPR. Pada tahun 2012, Thailand mengubah posisinya dari menolak menjadi abstain pada pemungutan suara resolusi Majelis Umum mengenai moratorium penggunaan hukuman mati. Undang-Undang Thailand memiliki rangkaian ketentuan mengenai hak pribadi dan kebebasan, dengan Pasal 32 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk menikmati hak dan kebebasannya dalam kehidupannya masing-masing sebagai individu. Penyiksaan, tindakan brutal, atau hukuman dengan cara yang kejam dan tidak manusiawi tidak akan diperbolehkan, tetapi, hukuman eksekusi sesuai dengan putusan pengadilan atau hukum tidak dianggap sebagai hukuman yang kejam atau tidak manusiawi berdasarkan ayat ini.”

Saat penyusunan publikasi ini, Undang-Undang 2007 ditangguhkan menyusul peristiwa kudeta militer pada tanggal 22 Mei 2014. Undang-Undang sementara yang disahkan pada bulan Juli 2014 menyatakan “Atas ketentuan di dalam Undang-Undang ini, martabat manusia, hak, kebebasan, dan kesetaraan warga Thailand dilindungi oleh tradisi demokrasi Thailand dengan Raja sebagai Pemimpin Negara dan komitmen internasional Thailand saat ini dilindungi oleh Undang-Undang ini.”135

Page 39: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

38

Per 30 Juni 2014, sebanyak 612 orang telah dijatuhi vonis mati, dan 294 di antaranya dijatuhi vonis tersebut pada tahun 2013 saja..136 Namun, belum ada eksekusi yang dilakukan sejak 2009, tahun ketika dua eksekusi dilakukan.

Metode eksekusi yang digunakan Thailand adalah suntikan mati.

Undang-Undang Pidana Thailand menjelaskan jenis pelanggaran yang dikenai hukuman mati, termasuk pelanggaran terhadap keluarga kerajaan, pelanggaran keamanan dalam dan luar negeri, pelanggaran kebebasan, dan pelanggaran seksual yang menyebabkan hilangnya nyawa. Hukuman mati wajib dikenakan pada pembunuhan, pelanggaran terhadap keluarga raja, pelanggaran seksual yang menyebabkan kematian, dan pelanggaran terhadap kebebasan.

Pelaku kejahatan yang berusia di bawah 18 tahun, penyandang kerusakan, penyakit, atau keterbatasan mental, dan wanita hamil dibebaskan dari hukuman mati.

Pasal 259 sampai 262 Undang-Undang Pidana menekankan proses pengampunan, komutasi dan peringanan hukuman.137

Penghapusan hukuman mati tertera dalam rancangan Rencana Hak Asasi Manusia Nasional Ketiga untuk periode 2014-2018. Departemen Perlindungan Hak dan Kebebasan Kementerian Peradilan berkomitmen untuk melakukan studi dan konsultasi publik mengenai kemungkinan penghapusan hukuman mati.

A.8 Vietnam

Vietnam tergolong negara retensionis dalam hal penggunaan hukuman mati. Negara ini telah mengesahkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dan telah menandatangani Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, namun belum meratifikasi Protokol Tambahan Kedua ICCPR. Vietnam memilih abstain untuk semua resolusi Majelis Umum pada pemungutan suara mengenai moratorium penggunaan hukuman mati. Bab 5 Undang-Undang Republik Sosialis Vietnam mengungkapkan hak-hak dasar masyarakatnya, termasuk hak untuk hidup.138

Sampai tanggal November 2013, diperkirakan ada 678 narapidana yang menghadapi hukuman mati. Kadang hukuman mati dijatuhkan dalam pengadilan massal. Setidaknya 148 orang dihukum mati pada tahun 2013.139

Metode eksekusi yang digunakan Vietnam adalah suntikan mati.

Undang-Undang Pidana Vietnam memerinci pelanggaran yang dikenai hukuman mati, termasuk pengkhianatan, spionase, pemberontakan, terorisme, pembunuhan, pemerkosaan, penyelundupan, penggelapan, dan pelanggaran terkait narkoba; tapi tidak terdapat hukuman mati wajib.

Pelaku di bawah umur, wanita hamil, dan wanita menyusui anak berusia di bawah tiga tahun dibebaskan dari hukuman mati.

136 Thailand, Kementerian Peradilan, “Statistik Hukuman Mati“, op. cit. Thailand, Kementerian Peradilan, “Statistik Yudisial Tahunan”, Thailand 2013 (Thailand, Departemen Pemasyarakatan, 2013), hlm. 13. Dapat dilihat di http://e-doc1300.m-society.go.th/article_attach/11971/16230.pdf 137 Thailand, Undang-Undang Pidana Thailand (1934).138 Vietnam, Undang-Undang Republik Sosialis Vietnam, amandemen 2001 (1992).139 Amnesti Internasional, “Vonis Mati dan Eksekusi 2013”, op. cit., hlm. 28

Page 40: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

39

140 Vietnam, Undang-Undang Hukum Acara Pidana Republik Sosialis Vietnam (2003).141 Amnesti Internasional, “Vonis mati dan Eksekusi 2013”, op. cit.

Prosedur untuk pertimbangan keputusan hukuman mati sebelum eksekusi dijelaskan dalam Pasal 258 Undang-Undang Hukum Acara Pidana Vietnam.140

Perubahan dalam peraturan Uni Eropa mengenai perdagangan peralatan dan zat yang dapat digunakan untuk hukuman mati menyebabkan kekurangan obat untuk suntikan mati dan memicu hiatus eksekusi pada tahun 2012. Pada tahun 2013, eksekusi kembali dijalankan.141 Telah terdapat anjuran untuk melanjutkan eksekusi dengan pasukan penembak.

Vietnam tidak mengumumkan angka penggunaan hukuman mati.

Page 41: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

40

Lampiran B. Indikator Legislatif antar Negara Anggota

Table B.1 Negara Anggota yang telah meratifikasi Protokol Tambahan Kedua ICCPR dan menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan

Negara Anggota

Protokol Tambahan Kedua ICCPR142 Penghapusan hukuman mati untuk semua

jenis kejahatan143

Penghapusan hukuman mati

untuk kejahatan biasa144

PenandatangananRatifikasi,

Aksesia

Suksesid Afghanistan

Afrika Selatan 28 Agu 2002a 1997

Afrika Tengah

Albania 17 Okt 2007a 2007

Algeria

Amerika SerikatAndorra 5 Aug 2002 22 Sep 2006 1990

Angola 24 Sep 2013 1992

Antigua dan Barbuda

Arab SaudiArgentina 20 Des 2006 2 Sep 2008 2008

Armenia 2003

Australia 2 Okt 1990a 1985

Austria 8 Apr 1991 2 Mar 1993 1968

Azerbaijan 22 Jan 1999a 1998

Bahamas

Bahrain

Bangladesh

Barbados

Belanda 9 Agu 1990 26 Mar 1991 1982

Belarus

Belau

Belgia 12 Jul 1990 8 Des 1998 1996

Belize

Benin 5 Jul 2012 a

Bhutan 2004

Bolivia 12 Jul 2013a 2009

Bosnia-Herzegovina 7 Sep 2000 16 Mar 2001 2001

142 Perserikatan Bangsa-Bangsa, “Status Ratifikasi, Reservasi dan Deklarasi Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang Bertujuan untuk Menghapusan Hukuman Mati.” Dapat dilihat di https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-12&chapter=4&lang=en143 Amnesti Internasional, “Hukuman Mati: Negara-Negara Abolisionis untuk Semua Kejahatan”. Dapat dilihat di http://www.amnesty.org/en/death-penalty/countries-abolitionist-for-all-crimes144 Amnesti Internasional, “Hukuman Mati: Negara-Negara Abolisionis untuk Kejahatan Biasa”. Dapat dilihat di http://www.amnesty.org/en/death-penalty/countries-abolitionist-for-ordinary-crimes-only

Page 42: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

41

Botswana

Brasil 25 Sep 2009 a 1979

Brunei Darussalam

Bulgaria 11 Mar 1999 10 Agu 1999 1998

Burkina FasoBurundi 2009

CadCile 15 Nov 2001 26 Sep 2008 2001

Denmark 13 Feb 1990 24 Feb 1994 1978

DominikaEkuador 23 Feb 1993a 1906

El Salvador 8 Apr 2014a 1983

EritreaEstonia 30 Jan 2004a 1998

EtiopiaFiji 1979

Filipina 20 Sep 2006 20 Nov 2007 2006

Finlandia 13 Feb 1990 4 Apr 1991 1972

Gabon 2 Apr 2014 a 2010

GambiaGeorgia 22 Mar 1999a 1997

GhanaGrenadaGuatemalaGuineaGuinea EkuatorialGuinea-Bissau 12 Sep 2000 24 Sep 2013 1993

GuyanaHaiti 1987

Honduras 10 Mei 1990 1 Apr 2008 1956

Hungaria 24 Feb 1994a 1990

IndiaIndonesiaInggris 31 Mar 1999 10 Des 1999 1998

IrakIranIrlandia 18 Jun 1993a 1990

Islandia 30 Jan 1991 2 Apr 1991 1982

Israel 1954

Italia 13 Feb 1990 14 Feb 1995 1994

Page 43: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

42

JamaikaJepangJerman 13 Feb 1990 18 Agu 1992 1987

Jibuti 5 Nov 2001 1995

Kamboja 1989

KamerunKanada 25 Nov 2005a 1998

Kazakstan 2007

KenyaKepulauan SolomonKirgistan 6 Des 2010 2007KiribatiKolombia 5 Agu 1997a 1910

KomoroKongoKorea SelatanKorea UtaraKosta Rika 14 Feb 1990 5 Jun 1998 1877

Kroasia 12 Okt 1995a 1990

KubaKuwaitLaosLatvia 19 Apr 2013a 2012

LebanonLesothoLiberia 16 Sep 2005a

LibiaLiechtenstein 10 Des 1998a 1987

Lituania 8 Sep 2000 27 Mar 2002 1998

Luksemburg 13 Feb 1990 12 Feb 1992 1979Madagaskar 24 Sep 2012

Makedonia 26 Jan 1995a 1991

MaladewaMalawiMalaysiaMaliMalta 29 Des 1994a 2000MarokoMarshall (Kepulauan)

Page 44: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

43

MauritaniaMauritius 1995

Meksiko 26 Sep 2007a 2005

MesirMikronesia Moldova 20 Sep 2006a 1995

Monako 28 Mar 2000a 1962

Mongolia 13 Mar 2012a

Montenegro 23 Okt 2006d 2002

Mozambik 21 Jul 1993a 1990

MyanmarNamibia 28 Nov 1994a 1990

NauruNepal 4 Mar 1998a 1997

NigerNigeriaNikaragua 21 Feb 1990 25 Feb 2009 1979

Norwegia 13 Feb 1990 5 Sep 1991 1979

OmanPakistanPanama 21 Jan 1993a 1922

Pantai Gading 2000

Papua NuginiParaguay 18 Agu 2003a 1992

Peru 1979

Polandia 21 Mar 2000 25 Apr 2014 1997

Portugal 13 Feb 1990 17 Okt 1990 1976

Prancis 2 Okt 2007a 1981

QatarRepublik Cheska 15 Jun 2004a 1990

Republik Demokratik KongoRepublik Dominika

1966

Rumania 15 Mar 1990 27 Feb 1991 1989

RusiaRwanda 15 Des 2008a 2007

Saint Kitts dan NevisSaint Vincent dan Grenadines

Page 45: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

44

Samoa 2004

San Marino 26 Sep 2003 17 Agu 2004 1865

Santa LusiaSao Tome dan Principe

6 Sep 2000 1990

Selandia Baru 22 Feb 1990 22 Feb 1990 1989

Senegal 2004

Serbia 6 Sep 2001a 2002

Seychelles 15 Des 1994a 1993

Sierra LeoneSingapuraSiprus 10 Sep 1999a 2002

Slovakia 22 Sep 1998 22 Jun 1999 1990

Slovenia 14 Sep 1993 10 Mar 1994 1989

SomaliaSpanyol 23 Feb 1990 11 Apr 1991 1995

Sri LankaSudanSuriahSurinameSwazilandSwedia 13 Feb 1990 11 Mei 1990 1972

Swiss 16 Jun 1994a 1992

TajikistanTanjung Verde 19 Mei 2000a 1981

TanzaniaThailandTimor Leste 18 Sep 2003a 1999

TiongkokTogo 2009

TongaTrinidad dan TobagoTunisiaTurki 6 Apr 2004 2 Mar 2006 2004

Turkimenistan 11 Jan 2000a 1999

TuvaluUgandaUkraina 25 Jul 2007a 1999

Uni Emirat ArabUruguay 13 Feb 1990 21 Jan 1993 1907

Page 46: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

45

Uzbekistan 23 Des 2008a 2008

VanuatuVenezuela 7 Jun 1990 22 Feb 1993 1863

VietnamYamanYordaniaYunani 5 Mei 1997a 2004

ZambiaZimbabweTotal193 37 81 88 7

Sumber: Perserikatan Bangsa-Bangsa, “Status Ratifikasi, Reservasi, dan Deklarasi Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang Bertujuan untuk Menghapus Hukuman Mati.” Dapat dilihat di https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-12&chapter=4&lang=en . Amnesti Internasional, “Hukuman Mati: Negara-negara Abolisionis untuk Semua Kejahatan”. Dapat dilihat di http://www.amnesty.org/en/death-penalty/countries-abolitionist-for-all-crimes . Amnesti Internasional, “Hukuman Mati: Negara-Negara Abolisionis untuk Kejahatan Biasa”. Dapat dilihat di http://www.amnesty.org/en/death-penalty/countries-abolitionist-for-ordinary-crimes-only

Page 47: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

46

Table B.2 Negara Anggota yang telah menghapus hukuman mati secara de facto tapi belum secara hukum, dengan tahun terakhir eksekusi 145

Negara Anggota Tahun terakhir eksekusi 146

Afrika Tengah 1981Aljazair 1993Benin 1987Brunei Darussalam 1957Burkina Faso 1988Eritrea 1989Ghana 1993Grenada 1978Kamerun 1997Kenya 1987Kongo (Republik) 1982Korea Selatan 1997Laos 1989Liberia 2000Madagaskar 1958Maladewa 1952Malawi 1992Mali 1980Mauritania 1987Maroko 1993Myanmar 1988Nauru Tidak ada sejak kemerdekaanNiger 1976Papua Nugini 1950Rusia 1999Sierra Leone 1998Sri Lanka 1976Suriname 1982Swaziland 1983Tajikistan 2004Tonga 1982Tunisia 1991Tanzania 1995Zambia 1997

Sumber: Amnesti Internasional, “Hukuman Mati: Negara-Negara abolisionis secara praktik”, op. cit.

145 Benin, Liberia, dan Mongolia telah mengaksesi Protokol Tambahan Kedua ICCPR dan Madagaskar telah menandatanganinya. 146 Amnesti Internasional, “Hukuman Mati: Negara-Negara Abolisionis secara Praktik”, op. cit.

Page 48: Berpaling dari Hukuman Mati - UN Human Rights Asia away...menyelenggarakan “Seminar Pakar Ahli tentang Berpaling dari Hukuman Mati di Asia Tenggara” di Bangkok tanggal 22-23 Oktober

Regional Office for South-East AsiaThe United Nations Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR)6th Floor, Block A, United Nations Secretariat Building,Rajdamnern Nok Avenue, Bangkok 10200, Thailand.Tel: +66(0)2-288-1235; Fax: +66(0)2-288-1039; Email: [email protected]: www.ohchr.org; http://bangkok.ohchr.org