hukum waris pada syariat lama

6
HUKUM WARIS PADA SYARIAT LAMA 1. Hukum waris pada masa mesir kuno Kepemilikan tanah belum dikenal pada masa ini, tanah-tanah dibiarkan sebgitu saja tanpa ada yang memiliki. Kepemilikan tanah mutlak baru ada pada zaman firau’nah, disini mereka hanya punya hak menggunakan saja tidak memiliki hak memperjual belikan. Sampai akhirnya pada masa raja Abu Khour yang memperbolehkan penduduk memiliki tanah-tanah pertanian. Sistem waris pada masa ini memosisikan anak paling dewasa dalam keluarga sebagai pengganti si pewaris, namun hanya dalam bidang pemanfaatan lahan tanpa hak milik. Di masa ini, tidak ada hak-hak istimewa bagi si ahli waris, termasuk dalam hal kepemilikan harta-harta yang dimiliki oleh saudara-saudara lain. Kedudukan orang yang meninggal hanya dalam hal memimpin keluarga saja. Dalam hal kepemilikan tanah dimiliki oleh keluarga yang lain. Pada masa ini tidak ada pembedaan anak sulung dan bungsu, dan juga pembedaan anak laki-laki dan perempuan. Jadi, pada masa ini mereka sudah tahu mekanisme pembagian waris antara laki- laki dan perempuan di suatu keluarga, meskipun tidak membedakan keduanya dalam harta kekayaan yang harus dibagi. Mereka juga mengetahui pentingnya pembagian waris kepada keluarga sedarah yang lain. 2. Hukum waris pada umat timur kuno Umat yang dimaksud pada zaman ini adalah umat turania, kaldan, suryani, phoenicia, dan sekitarnya yang meduduki dataran timur setelah terjaid topan dan banjir pada zaman nabi Musa a.s. mekanisme pembagian warisnya didasarkan pada anak yang paling tua. Anak paling tua menduduki kedudukan orang tuanya tanpa terikat wasiat, meskipun ia kurang cakap dalam urusan rumah tangga. Jika tidak ada anak laki-laki yang paling cakap atau pandai ataupun tidak ada anak laki-laki dalam keluarga itu makan posisi jatuh kepada saudara lain seperti paman dan

Upload: devi-hartady

Post on 28-Dec-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hukum waris islam pada syariat lama sebelum sampainya kebudayaan modern di seluruh dunia

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Waris Pada Syariat Lama

HUKUM WARIS PADA SYARIAT LAMA

1. Hukum waris pada masa mesir kuno

Kepemilikan tanah belum dikenal pada masa ini, tanah-tanah dibiarkan sebgitu saja tanpa ada yang memiliki. Kepemilikan tanah mutlak baru ada pada zaman firau’nah, disini mereka hanya punya hak menggunakan saja tidak memiliki hak memperjual belikan. Sampai akhirnya pada masa raja Abu Khour yang memperbolehkan penduduk memiliki tanah-tanah pertanian.

Sistem waris pada masa ini memosisikan anak paling dewasa dalam keluarga sebagai pengganti si pewaris, namun hanya dalam bidang pemanfaatan lahan tanpa hak milik. Di masa ini, tidak ada hak-hak istimewa bagi si ahli waris, termasuk dalam hal kepemilikan harta-harta yang dimiliki oleh saudara-saudara lain. Kedudukan orang yang meninggal hanya dalam hal memimpin keluarga saja. Dalam hal kepemilikan tanah dimiliki oleh keluarga yang lain.

Pada masa ini tidak ada pembedaan anak sulung dan bungsu, dan juga pembedaan anak laki-laki dan perempuan. Jadi, pada masa ini mereka sudah tahu mekanisme pembagian waris antara laki-laki dan perempuan di suatu keluarga, meskipun tidak membedakan keduanya dalam harta kekayaan yang harus dibagi. Mereka juga mengetahui pentingnya pembagian waris kepada keluarga sedarah yang lain.

2. Hukum waris pada umat timur kuno

Umat yang dimaksud pada zaman ini adalah umat turania, kaldan, suryani, phoenicia, dan sekitarnya yang meduduki dataran timur setelah terjaid topan dan banjir pada zaman nabi Musa a.s. mekanisme pembagian warisnya didasarkan pada anak yang paling tua. Anak paling tua menduduki kedudukan orang tuanya tanpa terikat wasiat, meskipun ia kurang cakap dalam urusan rumah tangga. Jika tidak ada anak laki-laki yang paling cakap atau pandai ataupun tidak ada anak laki-laki dalam keluarga itu makan posisi jatuh kepada saudara lain seperti paman dan sepupu. Hal ini dipertahankan agar keluarga tetap stabil dan tidak terjadi pertikaian.

Umat timur kuno sedikit lebih maju dengan meninggalkan sedikit demi sedikit keterbelakangan dan keprimitifan. Pemimpin dapat menciptakan kestabilan dalam kepemimpinannya. Namun warisan berdasarkan anak sulung sering menimbulkan ketidakpuasan pada ahli waris karena tidak adanya penegak hukum yang tidak mampu mengubah tradisi dan norma kehidupan mereka.

3. Hukum waris menurut syariat yahudi

Cara kaum yahudi dalam mendapatkan warisan :

a. Sebab mewarisi kaum yahudi adalah orang yang kedudukannya sebagai ayah, saudara atau paman. Seorang istri tidak dapat mewarisi harta pusaka suaminya meski suaminya meninggal lebih dulu. Namun, suami dapat mewarisi harta istrinya.

Page 2: Hukum Waris Pada Syariat Lama

b. Harta kekayaan ayah adalah hak milik anak laki-laki. Anak sulung mendapat harta dua kali lipat lebih besar dibanding saudaranya. Namun, bisa juga pembagian harta dibagi rata.

c. Jika ahli warisnya laki-laki dan perempuan maka harta hanya diperuntukkan pada anak laki-laki saja, sedangkan anak perempuan menggunakannya sampai ia menikah atau dewasa saja.

d. Seorang ibu tidak berhak mewarisi harta anaknya baik laki-laki dan perempuan. Tapi jika ibu meninggal hartanya, jatuh ke tangan anak laki-laki.

e. Jika seseorang meninggal tanpa meninggalkan keturunan maka, hartanya jatuh ketangan bapaknya atau saudara laki-lakinya.

f. Tidak ada hak mewarisi bagi seorang istri terhdapa harta suaminya meski sudah ada syarat yang mengatur bahwa si istri juga mendapatkan harta warisan.

g. Jika ahli warisnya tak ada baik anak atau bapak, maka kerabatnya mengajukan orang yang berada di posisi lebih utama dari yang lain.

h. Jika tidak ada ahli waris sama sekali dari garis keturunan ibu atau ayah , maka yang berhak mendapatkan harta tersebut adalah orang yang lebih dahulu memperolehnya.

i. Anak dari hasil zina dihukum sebagai orang lain dalam masalah harta kekayaan.

Ada bebarapa macam penghalang dalam doktrin syariat yahudi dalam pembagian waris pertama masalah perbedaan agama dan yang kedua karena seorang anak telah membunuh bapak atau ibunya, atau memukul keduanya dengan pukulan yang mematikan.

Dapat dilihat sistem kewarisan kaum yahudi sangat mengistimewakan kaum laki-laki dan menganggap mereka adalah tiang keluarga yang harus diberikan hak-hak istimewa dalam memimpin keluarga. Mereka juga kurang menghargai kaum wanita karena dianggap orang-orang yang harus dilindungi dan diletakkan dibawah pengayoman kaum laki-laki.

4. Hukum waris dalam syariat yunani kuno

Kaum ini mengaitkan harta pusaka dengan ritual penyembahan kepada leluhur, dalam hal ini keturunan perempuan tertutup mendapatkan harta pusaka.

a. Fase pertama

Warisan diperoleh dengan cara di muka sekelompok orang banyak. Si pewaris melaksanakan kehendaknya di muka pengadilan yang ditetapkan. Mekanismenya si ahli waris mengajukan gugatan atau klaim lalu diumumkan pada orang banyak. Jika si pewaris mengakui atas segala gugatan tersebut maka pengadilan menetapkan orang yang mengajukan gugatan berhak atas harta yang diwasiatkan sebagai harta waris. Orang yang mendapatkan wasiat harus mengelola dengan baik harta tersebut demi kesejahteraan keluarga.dan dia berhak memerintah individu dengan sesuka hati sehingga timbulah sifat kepemimpinan yang otoriter.

b. Fase kedua

Page 3: Hukum Waris Pada Syariat Lama

Pada fase ini subjek tidak hanya diperuntukkan untuk keturunan laki-laki saja tetapi berlaku juga untuk keturunan perempuan. Perempuan dapat mewaris dengan syarat yang ketat, misalnya tidak ada ahli waris utama laki-laki dalam keluarga.

c. Fase ketiga

Dalam fase ini ketentuan tentang hukum waris dibuat berdasarkan undang-undang yang harus dilaksanakan warganya. Meskipun masih didominasi laki-laki tetapi cukup memberi gambaran bahwa pelaksanaan hukum waris sudah dilaksanakan secara tertib dan bersahaja. Sudah agak maju jika dibandingkan masyarakat kuno sebelumnya.

5. Hukum waris dalam masyarakat romawi kuno

Terdapat beberapa fase peralihan di masa ini :

a. Fase pertama

Pewarisan terjadi dengan cara wasiat yang dilakukan oleh si pewaris yang dilaksanakan di hadapann kepala suku pada hari upacara keagamaan yang mereja laksanakan atau di hadpaan tentara ketika si pewaris hendak bertempur di medan perang. Hal ini dilakukan karena primitifnya dan loyal kepada aturan ketentaraan. Si ahli waris menjadi raja dalam keluarganya dan semua titah serta masalah keluarga ditanggung olehnya. Dan tidak boleh adanya sikap otoriter untuk menghindari malapetaka.

b. Fase kedua

Fase ini diknela transaksi jual beli wasiat antara pewasiat dan penerimanya. Jika terjadi seperti ini penerima wasiat menjadi pengganti pewasiat dalam segala ha; diperkenankan sesuka hatinya demi melindungi keluarga.

Dalam hal ini nilai keadilan menerima waris tidak ada sama sekali. Istilah siapa yang kuat dia yang menang berlaku dalam fase ini. Kaum perempuan akhirnya tersingkirkan karena tidak ammpu membela diri.

c. Fase ketiga

Kepala keluarga memilih sosok ahli waris lewat pengamatan yang ketat dan lama pada anak laki-laki tertua. Apabila dalam pengamatan kepala keluarga menilai anak laki-laki pertama tidak cocok menerima warisan maka akan diberikan pad anak laki-laki yang lain. Jika seseorang tidak mewariskan hartanya maka hartanya akan jatuh ke kerabatnya.

d. Fase keempat

Mewaris pada masa ini sudah berubah dan banyak berlaku hal-hal baru jika dibandingkan dengan fase sebelumnya. Pada masa ini diberlakukakn sistem kewarisan dengan lebih menonjolkan kekerabatan dengan membedakan kerabat dekat dan jauh. Tanpa adanya sistem diskriminasi antara kaum lelaki dan perempuan. Dan tidak ada individu yang terhalang

Page 4: Hukum Waris Pada Syariat Lama

mendapatkan warisan jika masih dalam derajat dan posisi yang sama dalam sebuah level keturunan.

6. Hukum waris dalam masyarakat arab jahiliyah

Masyarakat di masa ini menggunakan sistem hukum waris umat sebelum mereka. Jadi, seorang perempuan tidak mendapatkan waris baik kedudukannya istri, ibu ataupun garis ketruunan perempuan. Yang mewarisi harta pusaka hanya anak lelaki pamannya, atau anak lelaki sulungnya jika telah mencapai usia dewasa. Jadi tidak diwariskan pada yang masih belia dan perempuan. Bahkan anak perempuan dianggap sebagai harta perempuan yang dapat diwarisi. Kriteria dewasa disini adalah tangkas menggunakan senjata untuk menjaga ketentrama suku dan keluarga.

Jadi sebab mewaris pada masyarakat arab jahliyah ada tiga macam yaitu :

a. Karena kekerabatan

Mewarus dengan kekerabatan tidak cukup kalau tidak disertai dengan syarat lain seperti laki-laki, dewasa, cerdas dan mampu menggunakan senjata dengan baik. Jika sudah terpenuhi maka kerabat dapat mewarisi harta pusaka orang yang meninggal dalam kaumnya. Peran laki-laki disini dianggap lebih besar dari perempuan dalam rasio masyarakatnya, maka itu kaum lelaki memiliki nilai lebih dalam hal harta pusaka.

b. Sumpah

Sumpah adalah hal yang lazim di zaman ini bahkan berkembang hingga kelompok-kelompok. Sumpah terjadi antara dua pihak yang saling berhadapan dengan mengucapkan “hidupku adalah hidupmu, matimu merupakan matiku juga, aku mewarisimu dan kamu pun mewarisiku, perjuanganku perjuanganmu juga”. Jika pihak lain menerima apa yang diucapkan maka sahlah sumpah antara keduanya.

c. Pengangkatan anak

Tradisi pengangkatan anak berawal dari sebelum datangnya islam bahkan sampai sekarang di timur tengah dan eropa terus berkembang. Anak yang diangkat dianggap sebagai anak asli dan disandarkan nasabnya pada yang mengangkat. Anak ini menjadi sah secara hukum. Semua yang dimiliki oleh anak kandung dimiliki juga oleh anak angkat khusunya dalam hak mewarisi harta pusaka dari bapak angkatnya.

Sumber :

Manan, H. Abdul. “aneka masalah hukum perdata islam di indonesia”. Jakarta: prenada media group. 2006.