hukum, moral, dan politik

38
H ukum, M oral, da n Poli tik Materi Studium Generale untuk Matrikulasi Pr ogram Doktor Bi dang I lmu H ukum di U nive r sitas Di pone goro, Se marang, tanggal 23 Agustus 2008 Studium Generale ini akan mengupas hubungan antara hukum, moral, dan politik. Masalah utama yang akan dibahas adalah sulitnya pembuatan dan penegakan hukum yang responsif di Indonesia karena, antara lain, lemahnya moralita s para pembuat dan penegaknya serta sistem politik yang tidak kondusif. Dasar etik dan morali tas hukum Pembahasan mula-mula akan ditekankan pada hubungan hukum dengan etika dan moral terutama dalam kaitannya dengan hukum sebagai kristalisasi dari nilai-nilai etik dan moral yang diformalkan secara gradual menjadi hukum. Materi ini dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan para penstudi hukum  bahwa dilihat dari sumber mater iilnya hukum adalah kristalis asi atau formalisasi dari kaidah-kaidah atau norma lainnya di dalam masyarakat yang kemudian mempunyai sifat sendiri yakni bersifat memaksa dan dapat dipaksakan dengan kekuatan penegak hukum. Salah satu masalah yang sekarang timbul adalah terlepasnya sukma hukum yakni keadilan dari banyak proses penegakan hukum karena hukum kemudian lebih banyak dihayati sebagai persoalan teknis-prosedural semata. Banyak sekali orang yang melanggar etika dan moral tetapi merasa atau bersikap seakan-akan tidak bersalah karena belum diproses secara hukum, tepatnya  belum dibuktikan sebagai tindakan yang salah secara hukum oleh pengadilan. Padahal pada waktu yang bersamaan proses hukum di lembaga peradilan juga menghadapi masalah besar karena banyak dihinggapi oleh penyakit  jud icial corruption.  

Upload: zakarya-ar-rozy

Post on 10-Oct-2015

62 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tata Negara

TRANSCRIPT

  • Hukum, Moral, dan Politik

    Materi Studium Generale untuk Matrikulasi Program Doktor

    Bidang Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang, tanggal

    23 Agustus 2008

    Studium Generale ini akan mengupas hubungan antara hukum, moral,

    dan politik. Masalah utama yang akan dibahas adalah sulitnya pembuatan dan

    penegakan hukum yang responsif di Indonesia karena, antara lain, lemahnya

    moralitas para pembuat dan penegaknya serta sistem politik yang tidak kondusif.

    Dasar etik dan moralitas hukum

    Pembahasan mula-mula akan ditekankan pada hubungan hukum dengan

    etika dan moral terutama dalam kaitannya dengan hukum sebagai kristalisasi

    dari nilai-nilai etik dan moral yang diformalkan secara gradual menjadi hukum.

    Materi ini dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan para penstudi hukum

    bahwa dilihat dari sumber materiilnya hukum adalah kristalisasi atau formalisasi

    dari kaidah-kaidah atau norma lainnya di dalam masyarakat yang kemudian

    mempunyai sifat sendiri yakni bersifat memaksa dan dapat dipaksakan dengan

    kekuatan penegak hukum.

    Salah satu masalah yang sekarang timbul adalah terlepasnya sukma

    hukum yakni keadilan dari banyak proses penegakan hukum karena hukum

    kemudian lebih banyak dihayati sebagai persoalan teknis-prosedural semata.

    Banyak sekali orang yang melanggar etika dan moral tetapi merasa atau bersikap

    seakan-akan tidak bersalah karena belum diproses secara hukum, tepatnya

    belum dibuktikan sebagai tindakan yang salah secara hukum oleh pengadilan.

    Padahal pada waktu yang bersamaan proses hukum di lembaga peradilan juga

    menghadapi masalah besar karena banyak dihinggapi oleh penyakit judicial

    corruption.

  • Akibatnya, hukum kemudian menjadi alat permainan untuk mencari

    kemenangan di dalam sengketa atau berperkara di pengadilan dan bukan untuk

    menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban di dalam masyarakat.

    Penegakan hukum kemudian bermain atau terjebak di dalam permainan norma-

    norma tanpa mempedulikan manusianya sebagai subyek yang harus dilayani

    dengan hukum yang bersukmakan keadilan serta berlandasan etika dan moral.

    Di sinilah letak perlunya upaya mendiagnosis letak etika dan moral dalam

    perkembangan hukum kita pada saat ini.

    Hukum dan politik

    Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari

    etika dan moral, masalah lain yang kita hadapi adalah hubungan antara hukum

    dan politik sebagai dua subsistem kemasyarakatan. Dalam hal-hal penting

    tertentu hukum lebih banyak didominasi oleh politik sehingga sejalan dengan

    melemahnya dasar etik dan moral, pembuatan dan penegakan hukum banyak

    diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik kelompok dominan yang sifatnya

    teknis, tidak subtansial, dan bersifat jangka pendek.

    Secara teoritis hubungan antara hukum dan politik memang dapat

    dibedakan atas tiga model hubungan. Pertama, sebagai das Sollen, hukum

    determinan atas politik karena setiap agenda politik harus tinduk pada aturan-

    aturan hukum. Kedua, sebagai das Sein, politik determinan atas hukum karena

    dalam faktanya hukum merupakan produk politik sehingga hukum apa pun yang

    ada di depan kita tak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik

    yang saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum berhubungan secara

    interdeterminan karena politik tanpa hukum akan zalim sedangkan hukum tanpa

    pengawalan politik akan lumpuh.

    Pembahasan kita dalam studium generale ini akan menyorot teori atau

    berangkat dari asumsi bahwa sebagai kenyataan politik determinan atas

    hukum. Pilihan kita pada fokus ini sejalan dengan masalah terlepasnya keadilan

    sebagai sukma hukum yang bersumber dari etika dan moral.

  • Dengan demikian di dalam studium generale ini kita akan membedah

    hubungan sebab akibat dan kait kelindan antara hukum, moral, dan politik.

    Perubahan politik dan perubahan hukum1

    Meskipun reformasi yang berintikan penegakan supremasi hukum sudah

    berjalan lebih dari sepuluh tahun (sejak Mei tahun 1998) namun sekarang ini

    masih banyak keluhan bahwa supremasi hukum tak tegak-tegak.2 Mestinya

    dengan adanya reformasi situasi penegakan hukum dapat lebih baik, tetapi

    nyatanya tidak juga. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih merajalela,

    mafia peradilan, tepatnya judicial corruption, ditengarai semakin menggila.

    Melihat situasi yang buruk itu seorang peserta program doktor di Undip

    Semarang pernah bertanya kepada penulis: mengapa hukum tetap buruk meski

    sudah ada reformasi? Bukankah kita melakukan reformasi karena ingin

    membangun demokrasi agar hukum bisa berjalan baik dan dapat ditegakkan?

    Apakah tesis Bapak bahwa hukum berubah jika politik berubah tidak berlaku

    untuk kasus Indonesia?3

    Penulis menjawab bahwa hal itu terjadi karena perubahan politik kita di

    era reformasi ini bukan berubah dari otoriter ke demokratis melainkan dari

    otoriter ke oligarkis, meskipun pada awalnya agak demokratis juga. Hukum

    adalah produk politik sehingga jika politiknya tidak baik, maka hukumnya pun

    1 Bagian ini dan butir-butir berikutnya disunting dan ditulis kembali dari beberapa makalah saya, antara lain, Sepuluh Tahun Penegakan Hukum dalam Pemerintahan RI Pasca Reformasi,yang dipresentasikan pada Seminar Nasional tentang Sepuluh Tahun Pembangunan Hukum, Ekonomi, dan Kiprah Otonomi Daerah Bagi Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat yang diselenggarakan dalam rangka Pelantikan Pengurus Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA-UII) Propinsi Jambi tanggal 5 Juni 2008 di Jambi. 2 Pada bulan Mei tahun 2007 saya meluncurkan buku Hukum Tak Kunjung Tegak (PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2007) yang berisi kumpulan artikel tentang betapa mandulnya hukum kita jika berhadapan dengan politik. 3 Pada tahun 1993 saya menulis disertasi doktor di UGM yang salah satu temuan tesisnya menyebutkan bahwa karena hukum adalah produk politik maka jika politik berubah hukum pun akan berubah; politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif sedangkan politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks.

  • tidak akan baik. Demikianlah penulis menjawab kepada mahasiswa program

    doktor yang tampak sangat kecewa dengan perjalanan reformasi kita itu.

    Berdasar asumsi bahwa hukum adalah produk politik4 maka tampaklah

    fakta di depan kita bahwa begitu politik berubah hukum juga berubah. Perubahan

    itu akan sejalan dengan perubahan sistem politiknya. Kita menyaksikan sendiri

    betapa begitu rezim Orde Baru jatuh maka hampir semua hukum atau UU produk

    politik Orde Baru diganti. Begitu juga di masa yang lebih lampau kita

    menyaksikan penggantian hukum-hukum yang dibuat oleh Orde Lama begitu

    Orde Baru menggantikan rezim yang diperintah oleh Presiden Soekarno itu.

    Bahkan tampak jelas juga bahwa hukum-hukum lama segera harus diganti begitu

    politik kolonial (penjajahan) diganti dengan politik nasional (kemerdekaan,

    kebangsaan) pada tahun 1945.

    Pada era reformasi penggantian hukum (terutama dalam arti peraturan

    perundang-undangan) itu mula-mula menyentuh level UU yang secara lebih

    khusus berbagai UU dalam bidang politik, sehingga kita melihat terjadinya

    penggantian UU kepartaian, UU lembaga perwakilan, UU pemilu, UU

    Pemerintahan Daerah, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Tindak Pidana Korupsi,

    Pencabutan UU Subversi, dan sebagainya. Sampai dengan tahun 2008 ini rezim

    reformasi sudah melahirkan tidak kurang dari 200 UU yang lebih dari 30 di

    antaranya adalah UU yang lahir dari hak inisiatif DPR.

    Perubahan itu kemudian (sejak tahun 1999) menyentuh level yang lebih

    tinggi daripada UU yakni Tap MPR dan UUD. Mula-mula beberapa Tap MPR

    dicabut dan diganti serta dibuat Tap-tap MPR yang baru yang dianggap lebih

    demokratis. Kemudian dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD yang

    dikerjakan dalam empat tahap dan meniadakan Ketetapan MPR sebagai bagian

    dari peraturan perundang-undangan di dalam tata hukum kita. Tentang ini pada

    tahun 2003 MPR mengeluarkan Tap No. I/MPR/2003 yang oleh masyarakat

    dikenal sebagai Tap Sapu Jagat yang berisi pemosisian kembali secara hukum

    4 Secara ilmiah ada dua asumsi lain mengenai hubungan antara politik dan hukum yaitu asumsi bahwa hukum determinan atas politik dan asumsi bahwa politik dan hukum berhubungan secara interdependen atau interdeterminan.

  • semua Tap MPR/S yang pernah ada sebagai peraturan perundang-undangan

    level kedua (di bawah UUD, di atas UU). Di dalam Tap Sapu Jagat ini ada Tap

    MPR yang dinyatakan masih berlaku, ada yang dinyatakan dicabut, ada yang

    dinyatakan berlaku sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu tahun 2004,

    ada yang dinyatakan masih berlaku sampai dibentuknya UU yang

    menggantikannya, ada yang dinyatakan masih berlaku sampai selesai isi

    perintahnya (seperti Tap tentang Timtim) dan ada yang dinyatakan tidak berlaku

    dengan sendirinya karena sifatnya yang einmalig (sekali berlaku dan selesai).

    Menurut penulis, perubahan UUD kita setelah reformasi ini hanyalah satu

    kali tetapi disahkan dalam empat tahap. Mengapa? Karena sebenarnya selama

    empat tahun MPR tak berhenti membahas perubahan itu, hanya saja

    pengesahannya dilakukan setiap bulan Agustus sesuai dengan capaian tahapan

    perubahan itu. Antara bulan Agustus setelah pengesahan ke bulan Agustus tahun

    berikutnya MPR melalui Panitia Ad Hoc I tak pernah berhenti membahas

    perubahan UUD tersebut. Oleh sebab itu tidaklah benar kalau dikatakan bahwa

    MPR terlalu ceroboh karena dalam empat tahun mengubah UUD sampai empat

    kali. Yang benar selama empat tahun itu MPR hanya sekali mengubah UUD

    karena faktanya perubahan itu berkelanjutan dan bukan mengamandemen

    terhadap hasil amandemen tahun sebelumnya. Perubahan itu didasarkan pada

    kesepakatan dasar dengan satu konsepsi tertentu yang dipatok sejak tahun 1999.

    Namun karena proses pembahasan dan perdebatannya panjang maka

    pengesahannya dilakukan secara bertahap setiap Sidang Tahunan MPR pada

    bulan Agustus sesuai dengan capaian pembahasan dan kesepakatan setiap

    tahun.5 Bahwa hasilnya menimbulkan perdebatan dan kekecewaan di kalangan

    sebagian masyarakat itu adalah biasa, sebab, apa pun isi dan hasil amandemen

    itu merupakan kesepakatan politik yang pasti ada yang setuju dan ada yang tak

    5 Dalam makalah yang saya presentasikan 21 Nopember 2007 di kampus UI, Depok Jakarta, saya membuat perbandingan tentang waktu yang diperlukan serta keseriusan pembahasan antara UUD 1945 asli oleh BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945 dan UUD 1945 hasil amandemen oleh MPR yang ternyata UUD hasil amandemen jauh lebih lama dibahas dan didiskusikan dengan serius jika dibandingkan dengan UUD 1945 yang asli yang menurut Bung Karno sendiri merupakan UUD kilat sebagai produk situasi darurat agar segera merdeka. Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Penjajakan Materi dan Agenda Perubahan Kelima UUD 1945, makalah untuk Seminar Sehari Meninjau Kembali Prospek dan Agenda Perubahan UUD 1945 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UI tanggal 21 Nopember 2007.

  • setuju. Yang penting prosedurnya benar dan demokratis, sebab kata KC Wheare

    konstitusi itu merupakan resultante atau kesepakatan-kesepakatan politik sesuai

    dengan situasi poleksosbud pada waktu dibuat. Sebagai kesepakatan politik amat

    sulit mengharapkan sebuah konstitusi disetujui oleh semua orang. Bahwa hasil

    perubahan yang ada sekarang itu secara struktur dan sistematika terlihat kurang

    baik, juga disebabkan oleh karena kesepakatan-kesepakatan yang harus dibuat

    dan kemudian tak dapat dihindari.

    Hukum belum efektif

    Jika kita amati dan rasakan, ternyata sampai saat ini hukum belum efektif

    memberantas korupsi, terlihat dari berita tentang korupsi sehari-hari di media

    massa kita dan dari hasil survei Transparency International Indonesia (TII) yang

    setiap menempatkan Indonesia sebagai negara yang indeks persepsi korupsinya

    selalu rendah, dalam arti selalu menjadi salah satu negara dari lima negara yang

    paling korup di dunia.

    Mungkin banyak di antara kita yang kecewa ketika ternyata setelah

    sepuluh tahun reformasi KKN bukannya hilang, tetapi semakin merebak dan

    menjadi wabah menular termasuk kepada mereka yang dulu dikenal sebagai

    pejuang-pejuang reformasi. Kita dikejutkan oleh tragedi korupsi di KPU yang

    melibatkan mantan aktivis LSM penegakan hukum dan HAM serta beberapa guru

    besar yang dulunya menawarkan konsep-konsep reformasi.6 Kita tersentak ketika

    Menteri Agama dan salah seorang dirjennya dijatuhi hukuman penjara karena

    terbukti mengorupsi Dana Abadi Ummat. Bahkan kita bergidik ketika Dirut

    Bulog ditangkap dengan tuduhan korupsi ratusan miliar rupiah yang diduga

    melibatkan istri, anak, saudara, dan menantunya. Kita bergidik dan geram ketika

    ternyata ada jaksa dan beberapa anggota DPR ditangkap oleh KPK karena nekat

    melakukan korupsi pada saat kita (dan mereka) sedang berteriak keras untuk

    memberantas korupsi.

    6 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Sudah Habis Teori di Gudang, dalam harian KOMPAS, 11 Oktober 2005.

  • Yang paling spektakuler adalah kasus penyuapan Artalyta Suryani (Ayin)

    terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang megguncang dunia hukum pada tahun

    2008. Jaksa Urip Tri Gunawan digelandang ke pengadilan Tipikor karena

    tertangkap basah menerima suap lebih dari Rp 6.000.000.000,- (enam miliar)

    dari Artalyta Suryani yang didakwa mengurus perkara BLBI yang melibatkan

    Sjamsul Nursalim. Spektakulernya, karena ternyata selain uang yang diurus

    berjumlah triliunan rupiah, semula keduanya menyangkal uang yang disita

    karena tertangkap tangan itu sebagai suap. Tetapi rekaman-rekaman penyadapan

    telepon yang kemudian tidak dapat disangkal oleh keduanya telah meyakinkan

    majelis hakim Tipikor bahwa tindak pidana penyuapan itu adalah benar atau

    terbukti secara sah dan meyakinkan sehingga Ayin dijatuhi hukuman pidana

    penjara maksimal sebagai penyuap yakni lima tahun penjara.

    Korupsi telah menjadi penyakit yang sangat berbahaya yang menyebar di

    semua lini kehidupan masyarakat serta melibatkan banyak yang tadinya tidak

    kita sangka akan terlibat.

    Dalam satu tulisan penulis pernah mengemukakan, akibat ranjau korupsi

    yang menggila dan melibatkan banyak tokoh seperti itu maka banyak politisi dan

    aparat penegak hukum yang kemudian melakukan politik kancil pilek atau politik

    sariawan. Para politisi yang tadinya galak kemudian menjadi berperangai halus

    dan arif dan meminta tak buru-buru memvonis orang korupsi serta ber-

    suudzdzan. Aparat penegak hukum jerih, saling lempar badan karena tak mau

    berbenturan dengan partai politik yang pimpinannya diindikasikan terlibat

    korupsi. Padahal semua aparat penegak hukum langsung dapat bergerak untuk

    memroses dugaan tindak pidana yang bisa dijerat dengan berbagai kategori:

    korupsi, pencucian uang, gratifikasi, dan lain-lain.

    Mengapa KKN merajalela dan hukum tetap tak tegak? Jawabannya dapat

    diberikan dengan analisis dari sudut politik maupun dari sudut pembangunan

    hukum.

  • Penulis mencatat sekurang-kurangnya ada empat hal yang menyebabkan

    keadaan ironis terus berlanngsung. 7

    1. Reformasi hanya memotong puncak

    Ketika melakukan reformasi pada 1998 kita hanya memberhentikan

    presiden dan kabinetnya tanpa sekaligus melakukan reformasi birokrasi, padahal

    birokrasi yang mencakup sistem, prosedur dan para pejabatnya merupakan

    birokrasi yang sangat korup karena dibangun secara korup pula selama puluhan

    tahun.

    Dalam upaya menangani kasus-kasus korupsi di dalam birokrasi yang

    masih korup ini yang terjadi adalah situasi saling blokade dan saling ancam di

    antara mereka yang harus ditindak dan harus melakukan tindakan karena sama-

    sama punya masalah korupsi. Seorang yang bertugas melakukan tindakan hukum

    terpaksa harus berhenti ketika pihak yang akan ditindak menunjuk balik bahwa

    dirinya pun sebagai aparat yang harus memeriksa juga punya catatan tidak

    bersih.

    Orang-orang baru yang reformis bisa dikepung oleh kawanan birokrat

    lama untuk tidak dapat berdaya menghadapi korupsi yang terus berjalan tanpa

    takut, malah pejabat baru yang hadir dengan misi memberantas korupsi itulah

    yang dapat terlempar jika mau nekat membersihkan birokrasi.8 Dalam situasi

    seperti ini maka seringkali, dan banyak sekali, kasus yang menggegerkan

    masyarakat tiba-tiba hilang dari pemberitaan yang ketika ditanya ke mana kasus

    itu jawabannya adalah tak cukup bukti. Padahal yang terjadi di sini adalah saling

    7 Ketika menjadi Presiden Megawati pernah mengatakan bahwa dirinya bisa saja memegang leher para menteri untuk memberantas korupsi tetapi karena birokrasinya korup maka para menteri itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Kata Megawati dirinya mewarisi birokrasi tong sampah. Itu adalah pernyataan yang benar dan sangat mudah dibuktikan. 8 Di awal reformasi ada seorang pejabat baru yang menemukan pengeluaran uang negara oleh sebuah kementerian sampai bermiliar-miliar rupiah di luar ketentuan yang harus dibayarkan oleh negara kepada pihak ketiga. Ternyata kelebihan uang itu dijadikan bancakan oleh kroni dan anak pejabat di kementerian itu. Ketika dilapori Presiden setuju untuk diusut dan dilaporkan ke kajaksaan agung. Ketika pelaporan itu sudah berproses sang pejabat baru yang menemukan kasus itu tiba-tiba dipindah untuk menduduki jabatan lain (disingkirkan secara halus) dan kasus itu jadi lenyap dari peta korupsi.

  • menutupi dari borok korupsi masing-masing dan bukan benar-benar tak cukup

    bukti awal untuk terus diproses secara hukum.9

    2. Masih dominannya pemain-pemain lama

    Selain itu keadaan sekarang ini disebabkan juga oleh masih leluasanya

    pemain-pemain politik lama yang dulunya ikut membangun sistem yang korup

    untuk terus menguasai panggung politik. Semula, atas nama demokrasi dan

    perlindungan HAM, kita tidak punya alasan untuk melarang orang tetap aktif di

    panggung politik. Tapi justru itulah pula yang menyebabkan banyaknya tokoh

    lama yang tetap leluasa menjadi aktivis parpol. Ketika harus terlempar dari

    wadah yang lama mereka bisa berloncatan dari parpol lama ke parpol lama yang

    lain atau mendirikan parpol baru. Oleh sebab itu dalam keadaan seperti sekarang

    ini tidak dapatlah kita mengatakan ada parpol yang baik atau jelek, sebab dalam

    kenyataanya di setiap parpol ada orang-orang yang jelek dan ada orang-orang

    yang baik secara bercampur-baur dengan kecenderungan institusional yang

    korup. Oleh sebab itu cap reformis atau antireformasi tak dapat dilekatkan

    pada satu parpol mana pun melainkan pada orang-orang yang mengendalikan

    parpol yang dapat berada di parpol mana saja.10

    3. Politisi baru yang tanpa visi

    Banyak juga politisi baru yang hadir ke panggung politik melalui parpol

    tanpa visi dan misi untuk melakukan reformasi. Mereka hadir ke panggung

    9 Sebagai contoh kasus pembongkaran ijazah yang diperoleh secara tidak wajar seperti membeli tanpa belajar atau mendapat ijazah kehormatan tanpa kriteria yang jelas, seperti yang pernah ditulis sebagai Doktor Kucing oleh mantan Rektor Undip Eko Budihardjo. Semula diumumkan oleh Polri adanya puluhan ribu kasus seperti itu namun ternyata sampai sekarang tak ada kabarnya lagi. Katanya sulit mencari ketentuan itu di dalam hukum pidana; padahal kalau mau bersungguh-sungguh hal itu bisa dijerat dengan ketentuan pidana yang ada di dalam UU Sisdiknas maupun KUHP seperti berdasar hasil kajian beberapa perguruan tinggi. Sebenarnya masalahnya bukan tidak ada ketentuan hukum pidana yang mengancam itu melainkan karena banyak perwira tinggi Polri, perwira TNI, dan mantan pejabat tinggi yang disebut-sebut juga memiliki ijazah secara tidak wajar seperti yang nama-namanya pernah dimuat di berbagai media massa.. 10 Ketika oleh beberapa Penggugat saya diminta menjadi saksi untuk pembubaran Golkar di Mahkamah Agung pada tahun 2001 saya menolak karena, dengan bercampurbaurnya tokoh-tokoh parpol seperti sekarang, tak mungkin kita menyalahkan satu parpol untuk dibubarkan sambil mengatakan bahwa parpol lain bersih. Bagi saya yang penting untuk diburu dan diadili bukanlah partai politiknya melainkan oknum-oknum koruptornya yang itu bisa ada di partai mana pun, termasuk di dalam partai yang meneriakkan adanya korupsi di partai lain.

  • politik karena tiba-tiba mendapat peluang atas wadah yang harus mereka isi

    tanpa syarat kualitas tertentu karena memiliki massa pendukung. Bahkan jika

    dilihat dari fakta banyaknya tokoh-tokoh parpol, terutama di tingkat lokal, yang

    bermasalah dengan hukum karena KKN, dapat dikatakan bahwa mereka hadir ke

    panggung politik bukan dengan misi untuk memperbaiki melainkan ingin ikut

    menikmati juga peluang-peluang KKN yang dulunya tak dapat mereka peroleh.

    Keadaan ini disebabkan oleh tidak adanya sumber daya manusia yang

    cukup berkualitas di kalangan parpol-parpol terutama di tingkat lokal sebagai

    akibat dari sistem politik Orde Baru yang puluhan tahun sangat hegemonik.

    4. Rekrutmen politik yang tertutup

    Penyebab lainnya adalah sistem rekrutmen politik yang tertutup baik

    untuk legislatif maupun untuk eksekutif. Jika mengambil contoh kabinet yang

    memimpin eksekutif sekarang ini maka terlihat bahwa penempatan pejabat-

    pejabat puncak di eksekutif yang secara formal menjadi hak prerogatif presiden,

    dalam praktiknya harus dilakukan melalui negosiasi politik antara presiden dan

    elit parpol atau pendukung kampanye pilpres dalam rangka kompensasi politik

    sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan. Presiden yang mempunyai niat baik

    untuk mebentuk kabinet yang terdiri dari para ahli dan profesional terjebak

    dalam transaksi politik yang tak dapat dihindari. Akibatnya, pembentukan

    zaken kabinet (kabinet ahli dan profesional) yang dijanjikan tak bisa dilakukan

    dengan leluasa, bahkan fit and proper test yang semula dilakukan untuk calon

    pejabat pada saat terakhir pembentukan kabinet tidak lagi menjadi pertimbangan

    utama, lebih-lebih pada saat reshuffle.

    Untuk lembaga legislatif rekrutmen politik yang tertutup ini terutama

    melekat pada sistem pemilu yang dipergunakan untuk merekrut wakil-wakil

    rakyat yakni sistem proporsional, dimana penentuan anggota lembaga

    perwakilan rakyat dapat dikatakan sepenuhnya tergantung pada pimpinan partai,

    rakyat hanya memilih gambar parpol sedangkan calon-calon ditetapkan oleh

    pengurus parpol berdasarkan nomor urut yang dapat disusun berdasar posisi,

    transaksi, atau kedekatan politik.

  • Dalam hal-hal yang penting situasi tersebut telah menimbulkan sistem

    politik yang oligarkis, bukan lagi demokratis, karena demokrasi itu sendiri telah

    dirampok oleh para elitenya. Maka jangan heran jika kemudian hukum tidak

    responsif dan dunia peradilan juga korup sebab tak mungkin hukum dan

    peradilan itu menjadi baik jika politik yang melatarbelakanginya tidak

    demokratis melainkan oligarkis seperti sekarang ini.

    Peradilan yang korup

    Selain lembaga legislatif dan eksekutif kita juga merasakan bahwa judicial

    corruption di lembaga yudikatif tak kalah maraknya. Kebebasan lebih luas yang

    diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang baru (mula-mula dimuat di dalam

    UU No. 35 Tahun 1999) kepada para hakim bukan hanya digunakan oleh hakim

    untuk bebas dari intervensi kekuatan luar dalam memutus perkara tetapi juga

    oleh sebagian hakim digunakan sebagai kebebasan untuk melakukan korupsi

    peradilan dengan berbagai variasinya. Ada kasus Herman Alositandi dan ada

    kasus Harini Wijoso yang semuanya sudah dihukum, dan ada kasus penyuapan

    jaksa Tri Urip Gunawan dan Artalyta Suryani yang kini penyuapnya sudah

    divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor karena telah terbukti secara sah dan

    meyakinkan bahwa yang bersangkutan memang menyuap.

    Ini tragis, sebab lembaga peradilan adalah leading sector dalam

    pemberantasan KKN. Logikanya begini: Indonesia hancur dan terperosok ke

    dalam krisis karena korupsi, korupsi subur dan sulit diberantas karena lembaga

    peradilan juga korup. Karena lembaga kekuasaan kehakiman yang korup maka

    lembaga-lembaga penegak hukum yang lain seperti kejaksaan, kepolisian, dan

    pengacara juga menjadi semakin korup.11

    Kreativitas korupsi

    11 Dua tahun lalu ini ada dua jaksa yang dipecat karena meminta uang suap dalam satu kasus, sekarang banyak polisi (sampai tingkat perwira) yang diadili karena korupsi. Kita tentu belum lupa ketika seorang pengacara kondang dilaporkan telah merekayasa saksi untuk memberi keterangan palsu dengan imbalan tertentu, tapi kasus ini sekarang menguap mungkin karena kolusi juga.

  • Ada yang mengatakan bahwa keadaan ini adalah warisan budaya

    Indonesia. Karena merupakan warisan budaya maka kita sangat banyak akal

    untuk selalu korupsi. Bagaimana pun kita mengatur hal-hal penting agar

    menjadi baik atau menjadi bersih dari KKN maka peraturan itu menjadi tidak

    efektif karena selalu dapat diakali untuk dikorupsi atau dimanipulasi.12 Seperti

    akan dikemukakan kemudian penulis sendiri tidak terlalu percaya bahwa

    keadaan buruk ini timbul dan berlangsung karena budaya kita memang budaya

    korup sehingga sangat kreatif untuk korupsi; namun marilah kita lihat contoh

    betapa memang kreatifnya banyak di antara kita untuk melakukan korupsi.

    1. Penyatuatapan pembinaan hakim

    Dulu kita berteriak agar pembinaan hakim diletakkan di bawah satu atap

    Mahkamah Agung (MA). Asumsinya jika para hakim bebas dari pengaruh atau

    intervensi pemerintah maka kinerja hakim akan lebih baik karena dia dapat

    memutus perkara tanpa harus takut berefek pada status kepegawaian dan

    stabilitas finansialnya. Namun setelah penyatuatapan itu dilakukan, seperti

    dikemukakan di atas, dunia peradilan bukan menjadi lebih baik sebab mafia

    peradilan dan judicial corruption yang melibatkan hakim malah semakin marak.

    Kebebasan yang diberikan kepada hakim ternyata oleh sebagian hakim

    digunakan bukan sekedar untuk membebaskan diri dari intervensi pemerintah

    melainkan digunakan untuk berbuat berbagai hal yang tidak patut, termasuk

    melakukan korupsi.

    2. Penghapusan recall anggota DPR/DPRD

    Dulu kita juga selalu berteriak agar tidak ada recall (pemberhentian di

    tengah jalan) bagi anggota DPR/DPRD kecuali karena meninggal, mengundurkan

    diri, atau dijatuhi hukuman pidana dengan kualifikasi tertentu. Maksudnya agar

    para wakil rakyat bisa kritis dan tidak takut untuk menyuarakan aspirasi rakyat.

    12 Perlu ditekankan bahwa istilah korupsi tidak harus diartikan menurut hukum yang mensyaratkan tiga unsur komulatif, yaitu: 1)melawan hukum, 2)memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, 3)merugikan keuangan negara. Secara umum korupsi bisa berupa tindakan memanfaatkan kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri yang dalam praktik dapat berupa korupsi konvensional dan korupsi nonkonvensional.

  • Tetapi setelah tak bisa direcall banyak anggota lembaga perwakilan rakyat yang

    berperilaku korup dan amoral, banyak yang terlibat korupsi, perjudian,

    perbuatan asusila, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Ketika disorot

    mereka seakan menantang balik karena tidak bisa direcall kecuali setelah ada

    putusan pengadilan, padahal selain lama, proses peradilan itu masih bisa

    dikolusikan.

    3. Otonomi luas bagi Daerah

    Dulu kita juga meneriakkan agar sistem desentralisasi kita menganut asas

    otonomi luas dan DPRD diberi kedudukan politik yang kuat sebagai lembaga

    Legislatif Daerah yang sejajar dengan lembaga Eksekutif Daerah. Tapi yang

    terjadi sesudah itu adalah merebaknya korupsi di kalangan oknum-oknum

    anggota DPRD. Banyak anggota DPRD yang kemudian berkolusi atau bahkan

    memeras kepala daerah dengan ancaman halus LPJ-nya akan ditolak dan/atau

    akan dijatuhi mosi tak percaya jika permintaan itu tak dipenuhi. Saat pemilihan

    kepala daerah yang menurut UU No. 22 Tahun 1999 dipilih oleh DPRD banyak

    oknum anggota DPRD yang diberitakan menjual suaranya kepada calon tertentu.

    Yang kemudian muncul sebagai pemenang adalah kepala daerah yang mampu

    membeli suara terhadap lebih dari separoh dari seluruh anggota DPRD, bukan

    kepala daerah yang berkualitas dan amanah.

    4. Penghidupan recall dan Pilkada langsung

    Berdasar pengalaman buruk atau rapor anggota DPRD berdasar UU No.

    22 Tahun 1999 itu maka pada tahun 2002 UU tentang Parpol dan UU tentang

    Susduk MPR/DPR/DPD/DPRD diubah lagi dengan menghidupkan kembali

    lembaga recall yang diserahkan kepada Pimpinan Parpol. Pemilihan kepala

    daerah pun diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 menjadi pemilihan langsung

    sehingga anggota DPRD tak bisa lagi menjual suaranya kepada calon kepala

    daerah.

    Tetapi lagi-lagi kreativitas korupsi muncul dari pintu lain. Kalau dulu

    anggota DPR/DPRD bisa melakukan manipulasi karena tak dapat direcall,

  • sekarang gantian pengurus parpol yang dapat mengancam akan (dan sudah

    terbukti ada yang) merecall anggotanya dengan alasan yang masih kontroversial.

    Pada pihak lain setelah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih

    langsung dan anggota DPRD tak dapat menjual suaranya secara eceran maka

    giliran oknum pengurus parpol yang kini gencar diberitakan memungut uang

    yang tidak sedikit untuk keluarnya sebuah rekomendasi pencalonan. Kasus

    pilkada DKI dulu diramaikan oleh gugatan calon-calon yang gagal diusung

    karena mereka telah membayar uang kepada (oknum) parpol.13 Sungguh, orang

    kita ini sangat kreatif untuk korupsi.

    Apakah karena budaya?

    Tampak dan terasalah bahwa berbagai peraturan perundang-undangan

    untuk membetrantas KKN dan menegakkan hukum selalu bisa diakali untuk

    dikorupsi. Itulah yang kemudian dijadikan salah satu argumen untuk

    mengatakan bahwa korupsi adalah budaya kita; sebab bagaimana pun kita

    mengatur untuk mengubah kebiasaan korup itu ternyata selalu muncul

    kreativitas untuk mengakalinya lagi.

    Benarkah begitu? Sabastian Pompe, penulis buku The Indonesian

    Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, mengatakan nonsens jika

    dikatakan korupsi merupakan budaya bangsa Indonesia. Dalam kaitannya

    dengan dunia peradilan menurut Pompe judicial corruption baru muncul setelah

    peristiwa Malari tahun 1974 ketika lembaga peradilan dibina dengan sistem (dan

    mulai dimasuki oleh) kepemimpinan militer. Itu terjadi ketika Soeharto mulai

    melangkah untuk mengokohkan kekuasaannya dengan mengkooptasi kekuasaan

    13 Saat ini sudah ada UU No. 10 Tahun 2008 yang membuka pintu bagi calon perseorangan (sering disebut sebagai calon i ndependen) di dalam Pilkada. UU merupakan follow up atas putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa calon perseorangan harus diberi peluang mengikuti pilkada sebab banyak calon yang potensial tetapi tidak mendapat parpol pendukung sebagai kendaraan untuk berkompetisi di dalam pilkada.

  • kehakiman. 14Sejak itu, kata Pompe, terjadilah kebiasaan melayani (pemberian

    amplop atau upeti) di kalangan hakim.15

    Penulis sependapat dengan Pompe. Hasil studi yang pernah penulis

    lakukan menujukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah Indonesia, tepatnya

    pada tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan dengan baik melalui

    pimpinan-pimpinan yang tegas dan penuh integritas. Pada periode itu kita

    mencatat nama harum Jaksa Agung Soeprapto yang tegas mengajukan siapapun,

    termasuk menteri, ke pengadilan karena melakukan tindak pidana; begitu juga

    pada saat itu terlihat munculnya hakim-hakim yang jujur dan berani menghukum

    pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana.

    Dengan demikian pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa tidak

    dapat kita terima karena dua hal. Pertama, pandangan itu bertentangan dengan

    fakta sejarah; kedua, kalau kita mempercayai pandangan itu berarti percaya pula

    bahwa apa pun yang akan kita lakukan akan cenderung gagal sebab budaya itu

    sangat sulit untuk diubah.

    Etika dan Moral Tak Landasi Penegakan Hukum16

    Selanjutnya marilah kita lihat hubungan antara hukum, khususnya

    penegakan hukum, dengan etika dan moral. Seperti dikemukakan di atas, banyak

    sekali pelanggar hukum (termasuk penegak hukum yang sengaja melanggar

    hukum melalui judicial corruption) yang mempermainkan formalitas hukum

    untuk melemahkan hukum itu sendiri. Atas nama kepastian hukum banyak

    pelanggar hukum yang bersikap dan berlagak tidak salah hanya karena belum

    dibuktikan kesalahannya di pengadilan. Padahal secara etik dan moral mereka

    14 Pada era Orde Lama di bawah Bung Karno pengadilan juga dikooptasi oleh eksekutif sehingga tak berdaya, tetapi ketika itu ketidakberdayaan lembaga peradilan lebih merupakan ketidakberdayaan politik yang kemudian dituangkan secara resmi di dalam UU bahwa Presiden dapat mengintervensi Pengadilan. Buruknya dunia peradilan sekarang bukan pada soal politik tetapi disinyalir lebih dipengaruhi oleh jual beli perkara. 15 Lihat dalam majalah mingguan GATRA No. 21 Tahun XII, tanggal 8 April 2006. 16 Bagian ini dan beutir-butir berikutnya disunting dan ditulis ulang dari makalah penulis yang disampaikan sebagai orasi ilmiah pada wisuda sarjana Universitas Islam Kadiri (UNISKA) tanggal 15 Desember 2007 yang kemudian ditulis ulang dan dipresentasikan dengan judul Kepemimpinan Nasional yang Berbasis Konstitusi pada Seminar Nasional tentang Kepemimpinan Nasional yang diselenggarakan oleh Keluarga Alumni UII Wilayah Sulawesi Selatan dan CDLS Yogyakarta di Palembang tanggal 5 Mei 2008.

  • ini nyata-nyata bersalah atau sekurang-kurangnya ada common sense

    (pandangan umum yang wajar) bahwa mereka bersalah. Mereka bebas

    berkeliaran kemana-mana sambil berorasi tentang pembangunan dan penegakan

    hukum. Mereka tidak mau mundur dari jabatannya dengan alasan belum

    dibuktikan oleh pengadilan dirinya bersalah, padahal pengadilan selain

    memakan waktu lama juga mengalami krisis kepercayaan. Akibatnya, ada

    guyonan agak sinis bahwa negara kita ini dipimpin oleh para pelaku kriminal,

    utamanya para koruptor, yang berlindung di bawah formalitas-formalitas

    hukum.

    Hal ini ada kaitannya dengan pelaksanaan pendidikan kita yang lebih

    banyak berorientasi pada keahlian teknis bahkan lebih buruk dari itu

    berorientasi pada pengeluaran ijasah untuk dijadikan tiket meraih kedudukan

    tertentu di pemerintahan dan di tengah-tengah masyarakat.

    Marilah kita fokuskan perhatian kita pada kinerja hukum sebagai akibat

    runtuhnya etika keilmuan dan integritas kecendekiawanan dari konsepsi

    pendidikan yang juga salah dalam bidang hukum.

    Pada saat ini banyak sekali orang melakukan pelanggaran hak-hak negara

    dan hak masyarakat tetapi merasa tidak bersalah karena tidak merasa melanggar

    hukum formal. Mereka dengan senaknya merampok hak-hak masyarakat tetapi

    karena tidak salah secara hukum formal maka mereka merasa tak melakukan

    kesalahan apa pun. Hukum formal kemudian dijadikan alasan untuk berlindung

    dari kejahatan etik dan moral padahal hukum formal itu merupakan legalisasi

    dari etika dan moral. Artinya sebenarnya semua hukum formal itu adalah etika

    dan moral yang diformalkan. Oleh sebab itu seharusnya etika dan moral itu lebih

    diutamakan dari sekadar formalitas-formalitas hukum.

    Dalam kaitan etika ini penulis pernah menyajikan artikel di Harian Jawa

    Pos berjudul Politik-Hukum Kancil Pilek,17 Di dalam cerita fiktif ini dikisahkan

    bahwa orang bisa menjadi tak jujur dan tidak berani berbicara apa adanya karena

    tersandera oleh keadaan, dihegemoni oleh kekuatan di luar dirinya, dan takut

    untuk mengatakan sesuatu yang salah karena dirinya sendiri melakukan

    17 Moh. Mahfud MD, Politik-Hukum Kancil Pilek, dalam harian Jawa Pos, (tanggal, tak terlacak tapi sekitar Mei 2007).

  • kesalahan yang sama sehingga dia bersikap seperti kancil pilek dalam cerita di

    bawah ini.

    Syahdan di sebuah hutan rimba hiduplah harimau si raja rimba yang

    memerintah rimba itu dengan sewenang-wenang dan kejam. Pada suatu hari

    sang harimau mendengar kabar, di kalangan rakyatnya beredar gunjingan bahwa

    badan sang raja bau, pesing, dan membuat mual binatang lain. Merasa risih

    dengan desas desus itu. Si raja rimba memanggil tiga pimpinan binatang untuk

    mendapat kepastian.

    Mula-mula dia memanggil pimpinan binatang anjing, seekor herder yang

    besar. Menurutmu benarkah badan saya ini bau? tanya harimau sambil

    menyorongkan badannya kepada herder itu agar dibau. Ampun tuan raja yang

    mulia, memang benar badan tuan bau dan memualkan, jawab herder tersebut

    dengan jujur. Mendengar itu sang harimau jadi marah. Kurang ajar, berani

    benar kamu menghina raja di rimba ini, kata sang harimau sambil menerkam

    dan merobek-robek si herder sampai lumat.

    Kemudian dipanggillah pimpinan rakyat kijang. Apakah menurutmu

    badanku ini bau? tanya harimau kepada pimpinan kijang itu. Karena takut

    dirobek-robek seperti herder maka, setelah membau badan harimau, pimpinan

    kijang itu berkata. Ampun yang mulia, ternyata badan yang mulia harum

    menyegarkan, katanya. Tapi tiba-tiba sang harimau menerkam pimpinan kijang

    sambil mengaum keras. Kurang ajar, munafik; berani benar kamu membohongi

    raja, teriaknya sambil mencabik-cabik tubuh pimpinan kijang.

    Berikutnya dipanggillah pimpinan rakyat kancil yang kemudian datang

    dengan gelisah dan ketakutan. Bagaimana dirinya harus menjawab pertanyaan

    harimau si raja rimba? Kalau menjawab jujur seperti herder bisa dirobek-robek

    karena dianggap berani kurang ajar, kalau berbohong agar raja senang bisa

    dicabik-cabik seperti kijang.

    Ketika membau tubuh harimau si kancil bersin (wahing) karena tubuh

    raja rimba itu baunya memang menyengat. Bagaimana menurutmu, kancil? Apa

    badan saya memang bau?, tanya harimau sambil membentak. Dengan gemetar

    kancil itu menjawab. Maaf raja rimba yang mulia, saya sedang pilek, hidung lagi

    mampet; jadi tak tahu apakah badan tuan bau atau tidak, jawab sang kancil.

  • Kok, tadi kamu bersin? Apa karena badan saya bau? kejar sang harimau. Ya,

    saya bersin justru karena pilek itu, jawab kancil lebih berani. Sang harimau

    akhirnya melepaskan sang kancil yang cerdik itu.

    Dari cerita itulah di dalam dunia politik kita sering mendengar istilah

    politik kancil pilek, yang biasa diartikan sebagai politik diam meski melihat

    kemungkaran karena ingin selamat dari kekejaman penguasa. Politik kancil

    pilek di Indonesia bukan hanya karena dalam posisi lemah dan takut kepada

    penguasa yang busuk (harimau bau) melainkan juga banyak diantaranya yang

    menjadi kancil pilek karena mereka sendiri menjadi bagian dari kebusukan itu

    (ikut bau). Oleh sebab itu mereka menjadi takut berbicara yang sebenarnya dan

    menjadi kancil pilek jika ditanya tentang korupsi karena mereka sendiri ternyata

    juga korupsi.

    Jadi mereka takut pada perbuatannya sendiri, bukan takut pada penguasa

    yang kuat dan kejam. Lihat saja sekarang ini, banyak tokoh yang semula galak

    tiba-tiba menjadi pendiam dan menyerukan kearifan untuk tidak

    mempersoalkan sangkaan korupsi atas orang lain, padahal dulunya galaknya

    setengah mati meneriakkan pemberantasan korupsi. Mereka lalu berpura-pura

    pilek karena ternyata mereka juga terjerat kasus korupsi.

    Mereka ini kemudian berbicara secara sangat normatif (tapi palsu) agar

    semua masalah dikembalikan kepada hukum. Padahal menurut teori dan fakta,

    hukum itu baru bisa ditegakkan kalau ada dukungan politik, sekurang-kurangnya

    kalau ada imbangan politik atas kekuatan politik lain yang selalu menelikung

    hukum.

    Dalam pada itu lembaga penegak hukum sendiri juga terserang penyakit

    kancil pilek dan tidak berani melakukan tindakan hukum karena takut pada

    terkaman harimau jahat, takut dicopot. Yang menjadi harimau jahat sekarang

    ini adalah oligarki politik. Contoh paling aktual tentang ini adalah tindak lanjut

    hukum atas vonis kasus korupsi dana Departemen Kelautan dan Perikanan

    (DKP) yang telah menghukum (dan berhenti pada) mantan menteri DKP

    Rokhmin Dahuri. Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK sekarang ini sering membuang

    badan untuk menangani kelanjutan kasus korupsi yang menyangkut tokoh-tokoh

    politik kuat; padahal kasus itu sekurang-kurangnya dapat dikaitkan dengan

  • empat tindak pidana pidana lain oleh para penerimanya seperti penadahan,

    (ikut) korupsi, gratifikasi, dan pencucian uang. Alasan yang dikemukakan

    bermacam-macam, seperti karena belum adanya bukti awal (padahal bukti awal

    sudah sangat jelas), karena tidak ada laporan atau pengaduan (padahal kasusnya

    bukan delik aduan), karena kasusnya secara administratif menjadi domain

    lembaga lain seperti KPU (padahal kasus itu bersifat concursus atau gabungan

    tindak pidana yang bisa diurus oleh beberapa lembaga dari aspek hukumnya

    masing-masing sehingga kasus pidananya bisa ditangani kepolisian, kejaksaan,

    dan KPK).

  • Persoalan Etika

    Hal-hal tersebut pada saat ini menjadi problem besar di negara kita.

    Hukum bisa dipermainkan dengan formalitas-formalitas belaka dan dilepaskan

    dari ruh etiknya. Para penegak hukum bukan lagi mencari kebenaran melainkan

    bagaimana mencapai kemenangan riil sesuai dengan yang diinginkan dirinya

    maupun klien yang memesannya. Penyelesaian kasus-kasus hukum di

    pengadilan pun tidak lagi mengandalkan kekuatan argumen yang murni hukum

    melainkan diselesaikan melalui lobi-lobi politik dan negosiasi tentang cara

    penyelesaian atau materi putusan yang dapat dinilai dengan harga uang tertentu.

    Sekarang ini banyak orang melanggar hak-hak masyarakat, tetapi tetap

    bersikukuh tak bersalah hanya karena tidak atau belum dibuktikan secara formal

    melalui proses peradilan, padahal proses peradilan pun sudah berjalan dengan

    penuh judicial corruption. Orang yang bersalah kemudian melenggang dengan

    tenang dan tetap mengelabuhi masyarakat tanpa tahu malu dengan selalu

    berlindung di balik asas praduga tak bersalah. Sangat terasa bahwa buruknya

    kinerja penegakan hukum belakangan ini karena hukum sudah dilepaskan dari

    etika dan moral, orang yang melanggar etika merasa tidak bersalah karena

    merasa tak melanggar hukum padahal etika adalah dasar dari adanya hukum;

    atau hukum merupakan peningkatan gradual (legalisasi atau formalisasi) dari

    etika.

    Sebenarnya sudah sejak lama kita mengidentifikasi masalah tersebut

    sebagai salah satu penyebab buruknya penegakan hukum di Indonesia. Itulah

    sebabnya pada tahun 2001 kita mengeluarkan Tap MPR No. VI/MPR/2001

    tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang menekankan pentingnya etika dalam

    kehidupan berbangsa agar kita tidak disandera oleh krisis yang berkepanjangan.

    Namun sampai sekarang Tap MPR tersebut masih tumpul dan seperti tak

    pernah dihiraukan termasuk oleh mereka yang dulu ikut membuatnya. Tidaklah

    heran jika kita melihat banyak orang yang terus bermain pelesetan hukum dalam

    kenyataan hidup yang sebenarnya sangat serius ini. Kalau pelesetan kata di

    dalam ketoprak humor atau di dalam parodi Republik Mimpi bisa menggelikan

    dan menghibur. Misalnya memlesetkan Yusuf Kalla menjadi Ucup Kelik,

    memlesetkan kepanjangan JK menjadi Jarwo Kuwat, memlesetkan pepatah

  • hujan batu di negeri sendiri menjadi hujan babu di negeri sendiri merupakan

    contoh pelesetan kata yang lucu dan menggelikan.

    Tetapi kalau pelesetan hukum bukanlah permainan kata melainkan

    pembelokan kasus hukum. Ada kasus yang berindikasi kuat sebagai kasus pidana

    tetapi prosesnya menjadi mandek karena diselesaikan secara adat. Korupsi Dana

    Abadi Umat yang fantastis berhenti pada penghukuman mantan menteri agama

    dan seorang dirjennya sebagai tumbal padahal dana itu mengalir ke berbagai

    pejabat. Ada juga orang yang ingin kembali ke jabatannya setelah dihukum

    karena kasus korupsi dengan alasan belum pernah menerima surat

    pemberhentian. Di sini ada dua pelesetan, yang pertama pelesetan orang yang

    tak tahu diri karena sudah merusak negara dengan korupsi tetapi masih mau

    menjabat, yang kedua pelesetan karena kelalaian pemerintah yang ternyata tidak

    segera mengeluarkan SK pemberhentian begitu yang bersangkutan dinyatakan

    bersalah dan vonis pengadilan tentang itu telah mempunyai kekuatan hukum

    yang tetap. Agak sejalan dengan ini, ada juga yang ingin atau mau didudukkan di

    dalam jabatan publik padahal yang bersangkutan sedang menjadi tersangka

    dalam kasus korupsi. Ini lebih banyak menyangkut etika dan moral.

    Ada contoh lain lagi dalam kasus ini, yakni, adanya pejabat yang

    menyalahgunakan wewenang dan terindikasi kuat melanggar hukum tetapi

    mengaku tak bersalah. Mereka mau bertahan pada jabatannya dengan alasan, tak

    ada putusan pengadilan bahwa dirinya bersalah. Padahal kita tahu untuk pejabat

    tinggi level tertentu aparat penegak hukum selalu tak berani menyentuh sehingga

    selama dia menjabat kecil kemungkinannya disentuh oleh hukum.

    Harus diingat, menurut Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika

    Kehidupan Berbangsa seorang pejabat publik harus berhenti dari jabatannya jika

    membuat kebijakan atau melakukan sesuatu yang menimbulkan keresahan atau

    sorotan publik. Menurut Tap MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa itu

    pejabat publik harus mengundurkan diri tanpa harus lebih dulu terbukti bersalah

    secara hukum jika membuat policy atau melakukan sesuatu yang menimbulkan

    sorotan atau ketidakpercayaan publik. Tegasnya, menurut Lampiran Tap MPR

    No. VI/MPR/2001 (Bab II butir 2) setiap pejabat harus jujur, dan siap

    mundur dari jabatannya apabila secara moral kebijakannya bertentangan

  • dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat; yang harus diwujudkan dalam

    bentuk tidak melakukan kebohongan publik. Ingat, di sini ada soal moral,

    rasa keadilan, dan kebohongan publik. Selain itu pada tahun yang sama MPR

    mengeluarkan Tap No. VIII/MPR/2001 tentang Arah Kebijakan dan

    Rekomendasi Pembarantasan KKN yang juga berisi ketentuan bahwa pejabat

    publik dapat dikenakan tindakan administratif jika terlibat kasus hukum tanpa

    harus menunggu vonis pengadilan lebih dulu. Oleh sebab itu agak kurang tepat

    ketika Presiden menyatakan bahwa para menterinya sudah menandatangani

    surat pernyataan bersedia mengundurkan diri apabila terbukti melakukan

    pelanggaran hukum. Kurang tepat, karena kalau sudah terbukti melakukan

    pelanggaran hukum mestinya tak perlu bersedia mengundurkan diri melainkan

    harus langsung diberhentikan meskipun tak bersedia mengundurkan diri.

    Tuntutan untuk bersedia mengundurkan diri itu bukannya setelah terbukti

    bersalah secara hukum atas putusan poengadilan, melainkan cukup membuat

    kebijakan atau melakukan kecerobohan atau kesalahan yang mendapat sorotan

    negatif dari publik karena sangat tidak wajar tanpa harus dibuktikan lebih dulu

    melalui putusan pengadilan. Ini adalah soal etika yang dihukumkan melalui Tap

    MPR No. VI/MPR/2001.

    Perlu ditegaskan bahwa Tap MPR No. VI/MPR/2001 dan Tap No.

    VIII/MPR/2008 itu menurut Tap MPR No. I/MPR/200318 masih berlaku sampai

    ada UU yang menggantikannya.19

    Paradigma UUD 1945

    Dari sudut konstitusi penekanan pada pentingnya pemenuhan rasa

    keadilan di negara hukum Indonesia sebenarnya sudah lama menjadi landasan

    resmi politik hukum kita. Adanya dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan kaidah

    18 Sebenarnhya sejak amadnemen UUD 1945 tata hukum kita tidak lagi mengenal Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan, tetapi ada satu Tap terakhir yakni Tap No. I/MPR/2003 yang memosisikan kembali untuk terakhir kali semua Tap MPRS/MPR yang sudah terlanjur ada sehingga ada yang dinyatakan dicabut, ada yang dinyatakan berlaku dengan ketentuan, ada yang dinyatakan berlaku sampai waktu atau keadaan tertentu, ada yang dinyatakan berlaku sampai ada UU yang menggantikannya, dan ada yang dinyatakan tidak memerlukan tindakan hukum karena sudah selesai dengan sendirinya. 19 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Paradoks Pelesetan Hukum, dalam Harian KOMPAS tanggal 28 Agustus 2007; juga dalam Moh. Mahfud MD, Surat Terbuka Kepada Presiden SBY, Masyarakat Risau Soal Syamsul Bahri, dalam Harian Jawa Pos tanggal 15 Oktober 2007.

  • penuntun toleransi beragama yang berkeadaban dan berkeadilan sebenarnya

    harus dipahami sebagai landasan etika dan moral dalam pembangunan hukum

    kita. Pilihan landasan ini kemudian diperkuat ketika kita melakukan amandemen

    atas UUD 1945 (1999-2002) yang memindah ketentuan tentang negara hukum

    ke dalam pasal 1 ayat (3) dengan meniadakan istilah rechtsstaat. Melalui

    amandemen tersebut istilah rechtsstaat yang semula dimuat di dalam Penjelasan

    Umum UUD 1945 dihapuskan sehingga istilah negara hukum tidak lagi

    disambung dengan istilah rechtsstaat yang diletakkan di dalam kurung. Melalui

    amandemen tahap ke tiga (tahun 2001) istilah negara hukum itu dipindahkan20

    ke dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara

    hukum. Tampak jelas bahwa di dalam kalimat tersebut kata rechtsstaat tidak

    lagi dipergunakan karena sebenarnya negara kita tidak hanya menganut

    rechtsstaat tetapi juga menganut the Rule of Law dan sistem hukum lainnya

    dengan inti filosofinya masing-masing yang kemudian digabungkan sebagai

    paradigma negara hukum Pancasila. Paradigma yang penulis sebut sebagai

    prismatik (mengambil dari Fred W. Riggs) ini merajut nilai-nilai baik semua

    sistem hukum secara eklektis sehingga menjadi hukum nasional Indonesia.

    Secara lebih jelas dapat dikemukakan bahwa penghilangan istilah

    rechtsstaat dari UUD tersebut bukanlah masalah semantik semata melainkan

    juga menyangkut masalah yang substantif dan paradigmatik. Sebab, seperti

    diketahui, ada dua istilah yang berbeda yaitu rechtsstaat dan the Rule of Law

    (RoL). Kedua istilah tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dalam

    satu istilah yang sama, yaitu, negara hukum padahal kedua istilah (rechtsstaat

    dan RoL) meempunyai konsepsi dan pelembagaan secara berbeda.

    Istilah rechtsstaat adalah istilah untuk negara hukum yang dipakai

    negara-negara kawasan Eropa Kontinental yang lebih menekankan pada

    pentingnya hukum tertulis (civil law) dan kepastian hukum. Kebenaran dan

    keadilan hukum di dalam rechtsstaat lebih berpijak atau menggunakan ukuran

    formal; artinya yang benar dan adil itu adalah apa yang ditulis di dalam hukum

    20 Pemindahan isi ini dilakukan juga sebagai konsekuensi dari salah satu kesepakatan dasar dalam perubahan UUD 1945 yakni meniadakan Penjelasan dan memindahkan isinya yang bersifat normatif ke dalam pasal-pasal UUD.

  • tertulis. Titik berat penegakan hukum di dalam rechtsstaat adalah kepastian

    hukum sehingga hakim yang baik adalah hakim yang dalam membuat putusan

    dapat menemukan hukum-hukum tertulis yang pasti. Di dalam rechtsstaat

    hakim merupakan corong UU. Sedangkan the Rule of Law (RoL) adalah istilah

    untuk negara hukum di negara-negara kawasan Anglo Saxon yang lebih

    menekankan pada pentingnya hukum tak tertulis (common law) demi

    tegaknya keadilan substansial. Kebenaran dan keadilan hukum di dalam RoL

    lebih berpijak atau menekankan tegaknya substansi keadilan daripada kebenaran

    formal-prosedural semata; artinya yang benar dan adil itu belum tentu tercermin

    di dalam hukum tertulis melainkan bisa yang tumbuh di dalam sanubari dan

    hidup di dalam masyarakat; dan karenanya hukum tertulis (UU) dapat

    disimpangi oleh hakim jika UU itu dirasa tidak adil. Karena titik berat RoL

    adalah keadilan maka dalam membuat putusan hakim tidak harus tunduk pada

    bunyi hukum tertulis melainkan dapat membuat putusan sendiri dengan

    menggali rasa dan nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat.

    Sejak perubahan tahap ketiga UUD 1945 konstitusi kita sudah

    mengarahkan agar penegakan hukum di Indonesia secara prinsip menganut

    secara seimbang segi-segi baik dari konsepsi rechtsstaat dan The Rule of Law

    sekaligus yakni menjamin kepastian hukum dan menegakkan keadilan

    substansial. Bahkan kalau kita telah lebih jauh UUD 1945 hasil amandemen

    bukan hanya menekankan pentingnya asas kepastian hukum dan keadilan tetapi

    juga menekankan pada pentingnya asas manfaat yakni asas yang menghendaki

    agar setiap penegakan hukum itu harus bermanfaat dan tidak menimbulkan

    kerusakan atau mudharat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.21

    Penganutan lebih dari satu asas yang berasal dari konsepsi, tradisi, dan

    kawasan yang berbeda ini secara literatur penulis sebut sebagai konsepsi

    21 Baik asas keadilan maupun asas manfaat seringkali diperdebatkan karena bisa selalu menjadi kontroversi karena ukurannya tidak pasti, tetapi jika putusan itu jelas dasar argumen keadilan dan kemanfaataannya yang didukung oleh suasana kebatinan yang berkembang di dalam masyarakat maka hal itu dapat dilakukan atau diformulasikan oleh para hakim; buktinya di negara-negara Anglo Saxon hampir tak ada putusan hakim yang tidak dianggap sebagai hukum yang final karena argumen untuk memunculkan keadilan itu di sana dapat diurai dengan baik oleh para hakim.

  • prismatik. Istilah ini diambil dari Fred W. Riggs22 di dalam bukunya,

    Administration in Developing Countries, yang menunjukkan adanya pemaduan

    antara konsep-konsep yang sebenarnya tidak sama. Di dalam prismatika sistem

    hukum Pancasila saya melihat bahwa negara hukum kita memadukan secara

    harmonis unsur-unsur baik dari rechtsstaat (kepastian hukum) dan the Rule of

    Law (keadilan substansial). Di dalam konsepsi ini prinsip rechtsstaat dan the

    Rule of Law tidak diposisikan sebagai dua konsepsi yang bersifat alternatif atau

    kompilatif yang dalam penerapannya bisa dipilih berdasar selera sepihak,

    melainkan sebagai konsepsi yang kumulatif sebagai satu kesatuan yang saling

    menguatkan. Menurut penulis, pengambilan konsepsi prismatika ini tepat karena

    sesuai dengan nilai-nilai hukum yang memang akan kita tegakkan. Tidaklah

    mungkin kita hanya mengambil salah satunya secara mutlak-kategoris, seperti

    halnya tidak mungkinnya kita mengambil salah satu antara individualisme dan

    komunalisme atau antara negara agama dan negara sekuler. Konsepsi

    prismatik memungkinkan kita mengambil unsur-unsur yang baik dari konsep-

    konsep yang berbeda itu sebab sistem kemasyarakatan kita pun, sejak dulu,

    sebenarnya bersifat prismatik.

    Penegasan konstitusi kita tentang pentingnya pengambilan asas kepastian

    hukum, keadilan, dan manfaat dalam penegakan hukum kita ini bukan hanya

    dapat dinukil dari ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menetralkan negara

    hukum kita dari istilah rechtsstaat atau istilah asing lainnya melainkan juga

    tertuang, sekurang-kurangnya, di dalam pasal 24 ayat (1), pasal 28D ayat (1), dan

    pasal 28H ayat (2) yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 24 ayat (1): Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang

    merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

    keadilan.

    Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

    perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

    hadapan hukum.

    22 Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries, the Theory of Prismatic Society, Houghton Mifflin Company, Boston, 1964.

  • Pasal 28 H ayat (2): Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan

    perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama

    guna persamaan dan keadilan.23

    Dari uraian itu penulis berpendapat bahwa kepastian hukum haruslah

    dibangun untuk memastikan bahwa keadilan itu dapat tegak sesuai dengan

    penegasan pasal 28D ayat (1) yang menegaskan perlunya kepastian hukum yang

    adil dan bukan kepastian sekedar kepastian. Oleh karena keadilan itu selalu

    dapat tercermin dan dipenuhi oleh hukum-hukum tertulis, maka di sinilah letak

    pentingnya etika sebagai sumber isi dan dasar penegakan hukum di dalam

    negara hukum Pancasila yang bersifat prismatik ini.

    Sudah jelas bahwa salah satu persoalan pokok yang kita hadapi dalam

    penegakan hukum adalah tidak sinkronnya pelaksanaan etika dan norma dengan

    implementasi hukum di lapangan. Sekarang ini banyak sekali terduga, terdakwa,

    dan tertuduh pelanggar hukum tampil dan berargumen ke depan publik bahwa

    dirinya tidak bersalah karena belum ada putusan pengadilan yang mengadili atau

    putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kalau melanggar etika

    dan moral mereka merasa tidak bersalah karena demi kepastian hukum

    pengadilan belum pernah memutus bahwa mereka bersalah; padahal pengadilan

    pun sangat kolutif dan dililit oleh judicial corruption. Kalau diadili mereka dan

    para pengacaranya berkelit-kelit di seputar pasal-pasal formal tanpa peduli pada

    rasa keadilan yang diteriakkan oleh nurani yang sehat. Kelitan ini ditengarai

    dapat pula dimainmatakan dengan hakim maupun jaksa sesuai dengan transaksi

    yang dapat dilakukan di dalam proses judicial corruption itu.

    Dengan demikian salah satu agenda penting dalam pembangunan hukum

    kita adalah, bagaimana meletakkan etika dan moral sebagai sumber norma

    23 Tanda petik dalam pasal-pasal yang dikutip berasal dari saya (pengutip) untuk menunjukkan letak asas hukum kita.

  • hukum serta dasar implementasi atau penegakan hukum itu. Dalam situasi

    seperti ini diperlukan munculnya hakim, jaksa, dan pengacara yang tidak

    terbelenggu oleh hukum yang formal prosedural serta dapat bersikap progresif

    untuk menegakkan keadilan dan menjadikan etika dan moral sebagai fondasi

    penegakan hukum.

    Etika dalam pendidikan hukum

    Untuk jangka panjang, pendidikan hukum di negara kita haruslah ditata

    sedemikian rupa agar hukum tidak hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang

    kaku dan harus dilaksanakan melainkan harus dikuatkan juga dengan

    pendidikan atau nilai-nilai moral dan etika sebagai sumber kristalisasi dan

    legalisasi hukum. Masalah ini tak dapat dilepaskan juga dari orientasi pendidikan

    hukum yang kita selenggarakan.

    Terkait dengan ini perlu diingat bahwa salah satu landasan filosofi dalam

    pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang kita anut adalah

    filosofi bahwa Iptek itu dalam pengembangannya tidak boleh dinetralkan. Iptek

    hanya dapat dikembangkan jika tidak merusak dan membahayakan masyarakat.

    Berdasarkan itu ada dua batas pengembangan Iptek; Pertama, Iptek

    dikembangkan dengan wawasan rasional tetapi tidak berdasar rasionalisme,

    sebab bagi bangsa yang bertuhan (menganut agama) sumber kebenaran bukan

    hanya yang rasional atau bisa diuji secara ilmiah dengan berbagai metode dan

    eksperimen melainkan juga mencakup hal-hal yang secara ilmiah dan

    rasionalitas manusia tidak dapat dijangkau (ghaib). Kedua, Iptek hanya boleh

    dikembangkan sejauh tidak membahayakan umat manusia dan alam sehingga

    Iptek, meski dasar teorinya dapat netral, tetapi penerapan dan

    pengembangannya tetaplah harus memihak bagi kemaslahatan ummat. Itulah

    dasar etik dan moral yang harus dikuatkan dalam proses pendidikan dan

    penguatan profesi hukum kita.

    Ketentuan yang demikian kemudian menuntut munculnya integritas

    kecendekiawanan sehingga tugas universitas bukan hanya mencetak ijasah

    melainkan mendidik dan memanusiakan sivitas akademikanya agar berakhlak

    atau beretika di dalam kehidupannya. Sikap kecendekiawanan adalah sikap

  • penuh tanggung jawab atas kemaslahatan masyarakat. Oleh sebab itu sarjana

    dan cendekiawan itu berbeda, sebab sarjana lebih menekankan pada kecerdasan

    otak, sedangkan cendekiawan menekankan pada keseimbangan antara

    kecerdasan otak dan keluhuran watak.

    Masalahnya sekarang ini banyak sekali lembaga pendidikan yang tidak

    lagi mengindahkan filosofi yang harus menjadi landasan etik dan moral. Banyak

    lembaga pendidikan, mulai dari tingkat SD sampai peruruan tinggi, yang hanya

    mengeluarkan ijazah untuk keperluan formalitas orang mencari kerja dan

    mengejar jabatan. Kedalaman ilmu dan landasan etik dan moral tidak terlalu

    diperhatikan sehingga banyak lulusan universitas yang bukan saja tidak mampu

    memajukan masyarakat tetapi sebaliknya merusak sendi-sendi kehidupan

    masyarakat.

    Kita dapat mencatat adanya kesalahan pendidikan kita karena dalam

    praktiknya menekankan pada ijazah formal, bukan pada substansinya untuk

    memanusiakan manusia. Dengan praktik pendidikan yang menekankan pada

    ijazah sekolah formal yang dianut seperti sekarang, maka jabatan seseorang di

    tengah-tengah masyarakat ditentukan oleh ijazah sekolah yang dimilikinya,

    bukan ditentukan oleh kompetensi dan kualitas riilnya. Semakin tinggi ijazah

    formal yang dimiliki seseorang akan semakin tinggi kedudukannya di dalam

    masyarakat. Jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan kedudukan bergengsi

    di tengah-tengah masyarakat biasanya bisa dimasuki oleh seseorang dengan

    ukuran ijazah tertentu. Betapa pun seseorang bodoh, jika memiliki ijazah sekolah

    formal maka ia bisa meraih jabatan-jabatan penting. Sebaliknya betapa pun

    pandainya seseorang, biasanya sulit untuk menduduki jabatan pemerintahan

    kalau tak punya ijazah formal sekolah. Akibat konsepsi pendidikan yang seperti

    itu di negara kita banyak sekali orang memburu ijazah formal hanya karena ingin

    gengsi-gengsian dan mendapat jabatan resmi. Orang belajar ke sekolah bukan

    untuk mencari ilmu tetapi untuk mencari ijazah demi syarat formal untuk

    mendapat kedudukan. Mutu pendidikannya sendiri kemudian menjadi tidak

    terlalu penting.

    Janganlah heran kalau ribuan orang beken dan penting di negara kita

    memburu ijazsah dengan cara haram. Pada penghujung tahun 2005 kita

  • diributkan oleh ditemukannya banyak pejabat, pengusaha, pegawai negeri yang

    ternyata menggunakan ijazah aspal. Bahkan ada orang yang tiba-tiba menjadi

    profesor, padahal profesor adalah jabatan akademik yang hanya bisa diraih jika

    seseorang mengajar di perguruan tinggi dalam minimal waktu dan kompetensi

    tertentu dengan mengumpulkan angka kredit prestasi minimal tertentu pula

    yakni angka kredit 850 untuk profesor madya dan 1000 kredit untuk profesor.24

    Bahaya praktik pendidikan yang seperti itu pernah juga dikemukakan oleh

    Ivan Illich melalui bukunya Deschooling Society yang mengusulkan

    pembentukan masyarakat bebas sekolah. Kata Illich, yang diperlukan adalah

    pendidikan yang membebaskan manusia, bukan sekolah yang hanya

    mengeluarkan ijazah. Sistem pendidikan formal dengan berbagai jenis dan

    jenjang sekolah, menurut Illich, hanya memproduksi ijazah yang kemudian

    menciptakan kasta-kasta dan ketidakadilan di dalam masyarakat karena dengan

    ijazah sekolah itulah kedudukan seseorang ditentukan. Ini menyebabkan banyak

    orang yang hanya ingin mendapat ijazah tetapi tidak ingin mendapat, apalagi

    mengembangkan, ilmunya. Dan untuk ini ijazah bisa dicari dengan berbagai cara

    termasuk dengan membeli, menyuap, dan memalsukannya yang kemudian

    dijadikan syarat untuk menduduki jabatan penting. Tentu kita tidak harus

    mengikuti Illich untuk membangun masyarakat yang bebas sekolah. Sekolah

    dengan berbagai jenjang dan jenisnya tetap harus ada. Ijazah formal sekolah

    tetap diperlukan untuk menunjukkan tingkat-tingkat kemampuan dalam

    penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya saja lembaga pendidikan

    harus dikontrol dan diarahkan sedemikian rupa agar tumbuh secara bermutu

    sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak

    sekedar menjadi tempat jual beli ijazah.

    Ivan Illich benar sebab kesalahan praktik atau implementasi pendidikan

    yang seperti itu kemudian telah merusak etika dan menyuburkan ketidakjujuran

    ilmiah. Sekarang ini banyak bermunculan karya tulis ilmiah yang tidak ilmiah

    karena hanya dibuat secara formalitas untuk mendapat ijazah atau untuk naik

    pangkat. Yang lebih parah dari itu banyak karya ilmiah yang merupakan hasil

    24 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Pendidikan yang Tak Membebaskan, dalam Harian Seputar Indonesia, tanggal 20 September 2007

  • jiplakan dari karya orang yang kemudian diklaim sebagai hasil karya sendiri.

    Ada yang asal tulis tapi bisa terbit karena mampu membayar penerbit instant

    yang mau menerbitkannya asal penulisnya mau membayar mahal.

    Banyak juga politisi yang menulis buku atau artikel di media massa, tetapi

    dituliskan oleh orang lain alias ghost writer. Ada juga politisi yang suka

    mengomentari sesuatu di koran kemudian komentar-komentar itu

    disuruhtuliskan kepada seorang wartawan agar diberi landasan teori dan

    analisis, padahal wartawan itu tak kompeten di bidang itu.

    Seorang dirjen di satu departemen pernah dengan bangga menyerahkan

    buku kepada saya yang berisi masalah-masalah hukum. Ternyata buku itu

    merupakan himpunan pidatonya yang semula dituliskan oleh stafnya untuk

    kemudian disuruh menulis kepada seorang wartawan menjadi buku. Karena

    wartawan itu hanya bagus dalam menulis berita atau artikel pop tapi jarang

    menulis ilmiah, maka buku itu menjadi aneh dan sama sekali tidak ilmiah.

    Jangankan membuat sitasi rujukan, menulis daftar pustaka saja tidak benar.

    Tradisi keilmuan kita menjadi lebih buruk karena banyaknya tulisan

    sekarang ini jiplakan bukan hanya menjadi trend politisi atau pejabat birokrasi

    yang ingin gengsinya naik, tetapi juga banyak melanda kalangan akademisi,

    mahasiswa pascasarjana, bahkan dosen yang ingin menaikkan jabatan

    akademiknya. Mereka ini kerapkali menggunakan penulis hantu (ghost writer),

    misalnya wartawan pop atau mahasiswa, untuk menulis karya atas namanya

    guna dipublikasikan ke tengah-tengah masyarakat dalam bentuk buku maupun

    dalam bentruk artikel untuk dimuat di media massa. Si ghost writer mendapat

    uang, sedangkan si dosen atau figur publik yang sejatinya agak bodoh mendapat

    nama sebagai penulis.

    Orang seperti ini sama sekali tidak punya integritas keilmuan (kejujuran

    ilmiah) dan tak mungkin dapat memberi sumbangan apa pun bagi kemajuan

    pendidikan. Malah dosen yang seperti ini membuat mutu perguruan tinggi kita

    jadi berantakan. Orientasinya hanya ingin naik jabatan akademik tetapi tak mau

    berpikir dan bekerja secara ilmiah sehingga dia suka menyewa ghost writer atau

    menjiplak.

  • Penulis pernah diminta menjadi penelaah sebuah disertasi yang isinya

    bagus, tetapi setelah diuji ternyata yang bersangkutan sama sekali tak menguasai

    isinya. Ternyata sebagian besar isinya menjiplak karya orang lain. Penulis

    memrotes keras dan menyatakan bahwa demi integritas ilmiah dan

    menyelamatkan dunia akademik yang bersangkutan harus di-drop out atau

    harus memulai dari awal lagi.

    Berdasar hasil perbincangan penulis dengan banyak akademisi, sekarang

    ini memang banyak dosen yang menggunakan ghost writer baik untuk menulis

    disertasi maupun untuk menulis makalah, bahkan menulis kolom-kolom di

    koran. Untuk naik pangkat tak jarang ada dosen yang mencuri karya temannya

    bahkan ada yang mencuri data dan analisis karya mahasiswa yang dibimbingnya

    yang kemudian diklaim sebagai karyanya sendiri.25

    Orang yang tak punya integritas keilmuan dengan mengaku-aku dan

    mencuri karya orang lain pasti tidak akan jujur kepada masyarakat. Kalau ada

    peluang korupsi, orang yang seperti ini akan korupsi juga terhadap hak-hak

    masyarakat. Malahan kalau tak ada peluang dia akan mencari-cari dan membuat

    peluang untuk korupsi. Menurut penulis, itulah salah satu penjelasan mengapa

    bangsa kita sekarang ini terjerembab ke dalam krisis multidimensi, yakni, karena

    banyak pengelola lembaga pendidikan dan lulusan perguruan tinggi yang tidak

    lagi memiliki integritas kecendekiawanan.

    Dalam kaitan ini saya teringat ketika saya akan mengakhiri pendidikan

    doktor di UGM pada tahun 1993. Saat itu saya dinasehati oleh Prof. Koesnadi

    Hardjasoemantri dan Prof. Sri Soemantri agar saya dan para sarjana hukum

    menjaga integritas kecendekiawanan, yakni sikap untuk membangun dan

    memihak kepentingan masyarakat seperti meneriakkan dan berusaha agar

    politik selalu tunduk pada hukum. Kata kedua profesor itu, ilmu bukanlah untuk

    ilmu semata, tetapi untuk kebaikan bagi masyarakat. Ilmu jangan hanya

    mengandalkan logika tetapi juga harus berlandaskan moral dan etika untuk

    menyelamatkan masyarakat dari tindakan sewenang-wenang. Ilmuwan harus

    mempunyai integritas kecendekiawanan, yakni cerdas otaknya dan luhur

    25 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Ancaman Lunturnya Kejujuran Ilmiah, dimuat dalam Harian Kedaulatan Rakyat, tanggal 16 Oktober 2007

  • wataknya. Meminjam ungkapan Gus Dur, kita tak boleh menjadi ilmuwan tukang

    yang dapat membuat pandangan-pandangan yang seolah-olah ilmiah berdasar

    pesanan atau kepentingan politik.

    Pesan ini sangat penting karena sekarang ini hukum banyak

    diporakporandakan oleh demagogi politik seperti yang dicemaskan oleh kedua

    Soemantri itu. Itu disebabkan oleh lunturnya integritas kecendekiawanan.

    Ilmuwan kita banyak yang suka memanipulasi logika di atas etika dan moral

    karena kepentingan kue politik. Gubernur Lemhanas Muladi pernah

    mengemukakan bahwa sekarang ini banyak ilmuwan hukum yang menjadi saksi

    ahli di pengadilan dengan mendapat bayaran tinggi agar bersaksi untuk

    menyelamatkan koruptor; misalnya membelokkan kasus pidana menjadi kasus

    perdata atau administrasi.

    Di kalangan akademisi sekarang ini banyak yang suka melacurkan diri

    dengan menjadi ilmuwan tukang yang siap memberi fatwa ilmiah sesuai dengan

    keinginan pemesan asal dibayar dengan harga (uang, proyek, atau posisi)

    tertentu.26

    Itulah salah satu masalah serius yang kita hadapi, yakni, membusuknya

    integritas kecendekiawanan dan hilangnya kejujuran secara masif yang kalau

    dibiarkan dapat mengancam eksistensi bangsa dan negara Indonesia.

    Ranah pembangunan hukum kita

    Jika kita menggunakan teori yang ditawarkan oleh Lawrence M.

    Friedman maka kita akan dapat menemukan kerangka penjelasan atas

    berbagai persoalan tersebut. Seperti diketahui ranah pembangunan hukum

    menurut Lawrence M. Friedman sekurang-kurangnya harus menyangkut

    tiga hal yakni substance (isi atau materi hukum), structure (aparat penegak

    hukum), dan culture (budaya hukum).

    26 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Integritas Kecendekiawanan, dalam Koran Seputar Indonesia, tanggal 3 Oktober 2007; juga dalam Moh. Mahfud MD, Aroma Busuk Dunia Akademik, dalam majalah GATRA, edisi 24 Januari 2007.

  • Perubahan yang terjadi pada era reformasi sebagian besar

    menyangkut pada isi hukum, sedangkan pembangunan struktur hukum

    baru menyangkut struktur organisasi penegakan hukum tanpa menyentuh

    para penegak hukumnya. Begitu juga budaya hukum belum banyak

    disentuh dalam proses reformasi.

    Seperti kita ketahui begitu rezim Orde Baru runtuh maka diubahlah

    semua perundang-undangan yang dianggap tidak kondusif bagi

    demokratisasi dan penegakan hukum, mulai dari undang-undang bidang

    politik, bidang HAM, bidang peradilan, korupsi, pencucian uang dan

    sebagainya.

    Kita juga sudah mengubah bahkan menambah struktur lembaga

    penegak hukum dengan tujuan agar penegakan hukum, terutama untuk

    memberantas KKN, bisa berjalan efektif. Pembinaan hakim sudah

    disatuatapkan di bawah Mahkamah Agung. Kita juga sudah membentuk

    Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial melalui amandemen konstitusi;

    bahkan kita juga sudah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi,

    Peradilan HAM, Peradilan Tipikor, dan berbagai peradilan khusus lainnya.

    Namun dalam kaitan structure ini kita belum memperbaiki birokrasi dalam

    arti pejabat penegak hukum sehingga upaya pemberantasan KKN

    mengalami komplikasi bahkan blokade dari dalam diri aparat sendiri.

    Pembangunan budaya hukum belum efektif karena tampaknya

    belum dilakukan secara sungguh-sungguh. Pembangunan budaya hukum di

    sini harus diartikan sebagai upaya mengubah pemahaman, penghayatan,

    dan perilaku masyarakat dalam bidang hukum agar menjadi kondusif bagi

    penegakan hukum. Pembangunan budaya hukum harus dilakukan bukan

    karena budaya hukum kita merupakan budaya korup, melainkan karena

    kita perlu menghidupkan kembali budaya hukum yang baik yang telah lama

    kita miliki.

    Belajar dari fakta sejarah, ketegasan dalam penegakan hukum

    merupakan kunci penting untuk mengatasi berbagai problem yang kita

  • hadapi terutama untuk membangun budaya disiplin dan ketaatan hukum.

    Selama ini kita sudah sangat banyak memproduk berbagai undang-undang

    untuk mengatur langkah mencapai tujuan reformasi, tetapi belum banyak

    pemimpin-pemimpin yang tegas dan berani menegakkan hukum.

    Langkah-langkah

    Mengingat berbagai persoalan yang dikemukakan pada awal makalah

    ini maka selain mencari penegak hukum yang tegas dan berani ada

    beberapa langkah lain yang juga perlu dilakukan secara serius dan simultan.

    Pertama, melakukan reformasi birokrasi agar segera bersih dari

    sistem, prosedur, dan pejabat-pejabat yang korup. Selama ini kita selalu

    menyatakan yakin bahwa salah satu kunci penting keberhasilan reformasi

    adalah reformasi birokrasi, tetapi langkah nyata dan tegas ke arah itu belum

    juga dilakukan.

    Kedua, memutus hubungan secepatnya dengan persoalan-persoalan

    KKN yang diwariskan oleh Orde Baru agar kita keluar dari blokade yang

    mengepung dari berbagai lini. Pemutusan hubungan ini bisa dengan radikal

    (amputasi tanpa pandang bulu) dan bisa juga dengan kompromi (ampuni

    dan rekonsiliasi dengan permakluman) yang kemudian ditindaklanjuti

    dengan tindakan-tindakan tegas.

    Ketiga, membangun sistem rekrutmen politik yang demokratis dan

    terbuka melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Pemilu dengan

    sistem proporsional terbuka dapat menyeimbangkan peran parpol untuk

    menyeleksi kader-kadernya dan peran rakyat pemilih untuk menentukan

    sendiri wakil-wakilnya yang akan duduk di legislatif sesuai dengan yang

    ditawarkan oleh parpol. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka juga

    lebih sesuai dengan realitas bangsa Indonesia yang majemuk. Untuk

    lembaga eksekutif sistem pemilihan presiden secara langsung harus disertai

    dengan instrumen atau subsistem rekrutmen pejabat yang mendorong

    Presiden membentuk zaken kabinet (kabinet ahli, bersih, dan profesional)

    dengan membebaskan presiden dari belenggu untuk melakukan itu karena

  • transaksi politik kompensasi dan dukungan. Adalah fakta sekarang ini

    presiden tidak sekuat yang dibayangkan ketika kita menetapkan pemilihan

    presiden langsung agar presiden lebih kuat. Sekarang ini presiden tampak

    tersandera oleh, dan karenanya selalu memberi kompensasi politik, kepada

    parpol-parpol agar kebijakannya tidak diganggu. Seleksi pejabat kemudian

    tidak lagi berdasar keahlian dan profesionalitas melainkan berdasar hasil

    kompromi dan pertimbangan kompensasi politik.27

    Tak kalah penting dari semua itu, ada masalah yang lebih mendasar

    yang harus kita perhatikan secara sungguh-sungguh, yakni memosisikan

    kembali etika dan moral sebagai sumber materiil hukum yang sekaligus

    menjadi dasar tindakan dalam semua proses penegakan hukum dan hukum

    sukmanya, yakni keadilan.

    27 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Presidensiil Bergaya Parlementer, dalam majalah GATRA edisi 16 Maret 2007.

  • Daftar Pustaka

    Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, CV

    Mandar Maju, Bandung, 1995.

    Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and

    Practice in Europe and America, Weldham, Mass: Blaisdell Publishing

    Conmpany, 5th edition, 19673.

    Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1978.

    David kairys, The Politics of Law, A Progressive Critique, Pantheon Books, New

    York, 1982.

    Edward S. Corwin dan JW Peltason, Understanding Constitution, Holt, Rinehart

    and Winston, Inc., New York, Chicago, San Fransisco, Toronto,

    London, 1967.

    Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan

    Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987.

    Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries: The Thoery of

    Prismatic Society, Houghton Mifflin Company, Boston, 1964.

    Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, Cornell University Press,

    Ithaca-London, 1978.

    Harsya W. Bachtiar, Percakapan dengan Sidney Hook tentang Empat Masalah

    Filsafat: Etika, Ideologi Nasional, Marxisme, Eksistensialisme,

    Djambatan, Jakarta, 1980.

    James A. Curry, Ricard B. Railey, dan Richard M. Battistoni, Constitutional

    Government, The American Experince (1989),

    Jason L. Finkle dan Richard W. Gable, Political Development and and Social

    Change, John Wiley & Sons, Inc. Second Edition 1970.

    John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press, London, 1973.

  • KC Wheare, the Modern Constitutions, Oxford University Press, 3rd Impression,

    London-New York, Toronto, 1975.

    Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan

    Pemasyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun 1945, Setjen MPR-RI, Cet. III, Juni 2007.

    Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh

    Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum, disertasi

    Bidang Ilmu Hukum di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

    Yogyakarta, 1993.

    Moh. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi dalam Rangka Reformasi Tata

    Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999.

    Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES,

    Jakarta, 2006.

    Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

    Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007.

    Moh. Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, PT Citra Aditya Bhkati,

    Bandung, 2007.

    RAB Kusumah, Lahirnya UUD 1945, Penerbit Fakultas Hukum UI, Jakarta,

    2004.

    Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi dan Kontrol,

    Rajawali, Jakarta, 1985.

    Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam

    Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985.

    Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku

    Kompas, Jakarta, 2003.

    Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Penjelasan Satu Gagasan, dalam majalah

    Newsletter, Kajian Hukum Ekonomi dan Bisnis, No. 59, Desember

    2004.

    Satjipto Rahardjo, Mendudukkan Undang-Undang Dasar, Suatu Pembahasan

    dari Optik Ilmu Hukum Umum, Badan Penerbit Universitas

    Diponegoro, Semarang, 2007.

  • Thomas Paine, Rights of Man (1792), Constitution Society

    http://www.constitution org/tp/rightsma2.htm 9 Maret 2003.