politik hukum pertanahan

32
Pengertian Politik Hukum 1. Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk. 2. Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. 3. Satjipto Raharjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu 1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada, 2) cara-cara apa yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut, 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah, 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik. 4. Menurut Moh Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan 1

Upload: widemade

Post on 28-Jun-2015

4.303 views

Category:

Documents


103 download

TRANSCRIPT

Page 1: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

Pengertian Politik Hukum

1. Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang

menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk.

2. Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan

kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan

mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.

3. Satjipto Raharjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara

yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di

dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan

mendasar, yaitu 1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada, 2) cara-

cara apa yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan

tersebut, 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah, 4)

dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam

memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut

dengan baik.

4. Menurut Moh Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan)

resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru

maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.

Dengan demikian politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan

diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak

diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti

yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945.

Hukum Sebagai Alat

Berbagai pengertian atau definisi tersebut mempunyai substansi makna yakni bahwa

politi hukum itu merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak

diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Di sini hukum diposisikan sebagai alat untuk

mencapai tujuan negara. Terkait dengan ini Sunaryati Hartono mengemukakan tentang

“hukum sebagai alat” sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana

dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum

nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.

1

Page 2: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

Hukum Sebagai Produk Politik

Pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” adalah benar jika didasarkan pada

das sein dengan mengkonsepkan hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum

dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorang

pun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi,

formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik

melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.

Dalam konsep dan konteks inilah terletak kebenaran pernyataan bahwa “hukum merupakan

produk politik”. Hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum berubah

jika konfigurasi politik yang melahirkannya berubah. Siapa yang dapat membantah bahwa

hukum dalam arti undang-undang merupakan produk dari pergulatan politik. Itulah sebabnya

von Krichman mengatakan bahwa karena hukum merupakan produk politik maka

kepustakaan hukum yang ribuan jumlahnya bisa menjadi sampah yang tak berguna jika

lembaga legislatif mengetokkan palu pencabutan atau pembatalannya.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria).

Berdasarkan beberapa pengertian atau definisi di atas, maka dapat dikemukakan

pengertian atau definisi politik hukum tanah atau agraria adalah legal policy atau garis

(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum

baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara dalam

bidang pertanahan atau agraria.

Politik agraria adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam

memelihara, mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat,

mengurus dan membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan

kesejahteraan rakyat dan negara, yang bagi negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Politik agraria dapat dilaksanakan, dijelmakan dalam sebuah undang-undang yang

mengatur agraria yang memuat asas-asas, dasar-dasar, dan soal-soal agraria dalam garis

besarnya, dilengkapai dengan peraturan pelaksananya. Dengan demikian, ada hubungan erat

antara politik dan hukum.

2

Page 3: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

Perkembangan Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Di Indonesia

Perkembangan politik hukum agraria di Indonesia terdiri atas beberapa fase :

1. Pada masa kolonial / penjajahan

2. Pada masa orde lama, periode demokrasi liberal (1945-1959)

3. Pada masa orde lama, periode demokrasi terpimpin (1959-1966)

4. Pada masa orde baru (1966-1998)

5. Pada era reformasi (1998-saat ini)

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Kolonial / Penjajahan

Hukum agraria kolonial mempunyai 3 ciri :

1. Tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan.

2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum

adat, di samping hukum agraria yang berdasarkan atas hukum barat.

3. Hukum agraria penjajah tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli

(pribumi).

Beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa hukum dan kebijaksanaan agraria yang

berlaku sebelum Indonesia merdeka disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi

Pemerintahan Hindia belanda, dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pada masa terbentuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)

Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia

yang ditetapkan oleh VOC, antara lain :

a. Contingenten

Pajak atas hasil tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial

(kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian hasil pertaniannya kepada

kompeni tanpa dibayar sepeser pun.

b. Verplichte leveranten

Ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan raja tentang kewajiban

menyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga

sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-

benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka

hasilakn.

c. Roerendiensten

3

Page 4: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

Kebijaksanaan ini dikenal denga kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat

Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.

2. Pada masa pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811)

Kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Gubernur Herman Willem Daendles adalan

menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun

bangsa Belanda sendiri. Tanah-tanah yang dijual itu dikenal dengan sebutan tanah

partikelir.

3. Pada masa pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)

Kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles adalah

landrent atau pajak tanah. Tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa adalah milik

raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan

telah beralih kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah

hak kepemilikan atas tanah-tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula kepada

Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh

rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka

wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya

diberikan kepada raja mereka sendiri.

4. Pada masa pemerintahan Gubernur Johanes van de Bosch

Pada tahun 1830 Gubernur Johanes van de Bosch menetapkan kebijakan

pertanahan yang dikenal dengan Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem

tanam paksa ini, petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang

secara langsung maupun tidak langsung dibutuhkan pasar internasional pada

waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa

mendapat imbalan apa pun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah

pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa

kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahunnya.

5. Pada masa berlakunya Agrarische Wet Stb. 1870 No.55

Dengan berlakunya Agrarische Wet, politik monopoli (politik kolonial

konservatif) dihapuskan dan digantikan dengan politik liberal yaitu pemerintah

tidak ikut mencampuri di bidang usaha, pengusaha diberikan kesempatan dan

kebebasan mengembangkan usaha dan modalnya di bidang pertanian di Indonesia.

6. Pada masa berlakunya Agrarische Besluit Stb.1870 No.118

4

Page 5: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

Pada masa berlakunya Agrarische Besluit, di Kesultanan Yogyakarta juga terdapat

ketentuan semacam Domein Verklaring, yang dimuat dalam Rijksblad Yogyakarta

tahun 1918 No.16. Dengan berlakunya Domein Verklaring, kedudukan rakyat

Indonesia yang memiliki tanah berada pada pihak yang lemah karena hampir

semua tanah tersebut tidak mempunyai tanda bukti pemilikan sertifikat, sehingga

secara yuridis formal tanah-tanah tersebut menjadi domein (milik) negara. Rakyat

Indonesia yang memiliki tanah dianggap sebagai penyewa atau penggarap saja

dengan membayar pajak atas tanah.

Politik Pertanahan (Agraria) Kolonial / Penjajah

Dasar politik agraria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil

bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga

setinggi-tingginya. Tujuannya ialah tidak lain mencari keuntungan yang sebesar-besarnya

bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap sebagai penguasa. Keuntungan ini juga

dinikmati oleh pengusaha Belanda dan penguasa Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia

menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam.

Sistem kolonial ditandai oleh 4 ciri pokok, yaitu dominasi, eksploitasi, diskriminasi,

dan dependensi. Prinsip dominasi terwujud dalam kekuasaan golongan penjajah yang

minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini ditopang oleh

keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk pribumi.

Eksploitasi atau pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara

penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil produksinya untuk diserahkan kepada

pihak penjajah, yang kemudian oleh pihak penjajah itu dikirim ke negara induknya untuk

kemakmuran mereka sendiri. Diskriminasi atau perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah

dianggap sebagai bangsa superior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah dipandang

sebagai bangsa yang rendah atau hina. Dependensi atau ketergantungan masyarakat jajahan

terhadap penjajah. Masyarakat terjajah menjadi makin tergantung kepada penjajah dalam hal

modal, teknologi, pengetahuan dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Lama, Periode Demokrasi

Liberal (1945-1959)

Hukum agraria pada zaman Hindia Belanda telah menunjukkan bahwa hukum agraria

zaman kolonial sangat eksploitatif, dualistik, feodalistik. Dengan asas Domein Verklraing

5

Page 6: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

yang menyertainya, jelas sangat bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan

dalam masyarakat. Oleh sebab itu, wajar jika setelah proklamasi kemerdekaan timbul

tuntutan agar segera diadakan pembaruan terhadap hukum agraria. Untuk menanggapi

berbagai tuntutan itu pada tanggal 6 Maret 1948, presiden membentuk sebuah komisi yang

dikenal dengan Panitia Tanah Konversi. Dari komisi ini disampaikan rancangan UU untuk

memperbaiki Peraturan Sewa Tanah atas tanah milik pangeran melalui sepucuk surat tanggal

28 Maret 1948 kepada Presiden Soekarno. Akhirnya keluarlah UU No. 13 Tahun 1948 yang

menghapus hak konversi.

Pada periode 1945-1959 pemerintah belum berhasil membuat UU Agraria nasional

yang bulat sebagai pengganti Agrarische Wet 1870. Sejak awal kemerdekaan pemerintah

telah mengambil langkah-langkah konkret untuk mengalhiri berlakunya UU produk

kolonialisme, meskipun kenyataannya UU agraria nasional yang “bulat” baru dapat

diundangkan pada tahun 1960.

Diantara berbagai pertauran perundang-undangan yang penting yang dilahirkan

sebagai kebijaksanaan dan tafsir baru menyangkut hal-hal sebagai berikut :

1. Penghapusan Hak Konversi dengan UU No.13 Tahun 1948 yang kemudian

dilengkapi UU No.5 Tahun 1950.

2. Penghapusan Tanah Partikelir dengan UU No.1 Tahun 1958.

3. Perubahan Peraturan Persewaan Tanah Rakyat dengan UU Darurat No.6 Tahun

1951 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU biasa dengan UU No. 6 Tahun

1952.

4. Penambahan Peraturan dalam Pengawasan Pemindahan Hak atas Tanah dengan

UU Darurat No.1 Tahun 1952 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No.24

Tahun 1954.

5. Penaikan Besarnya Canon dan Cijns dengan UU No.78 Tahun 1957.

6. Larangan dan Penyesuaian Pemakaina Tanah Tanpa Izin dengan UU Darurat No.8

Tahun 1954, kemudian dirubah dan ditambah dengan UU Darurat No.1 Tahun

1956.

7. Pengaturan Perjanjian Bagi Hasil dengan UU No.2 Tahun 1960.

8. Pengalihhan Tugas-tugas Wewenang Agraria dengan Keppres No.55 Tahun 1955

dan UU No.7 Tahun 1958.

Untuk menyusun UU Agraria yang bercorak nasional dan bulat (menyeluruh) guna

menggantikan UU Agraria peninggalan kolonial, maka sejak awal kemerdekaan telah

6

Page 7: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

dibentuk komisi atau panitia yang diberi tugas menyusun dasar-dasar hukum agraria baru.

Namun, hasil akhir dan kerja-kerja berbagai panitia baru mengkristal dalam bentuk UU pada

tahun 1960, artinya setelah terlampuinya periode 1945-1959. Ada beberapa panitia yang

terbentuk dalam usaha menyusun UU agraria nasional, yaitu :

1. Panitia Agraria Yogya.

Panitia ini dibentuk pada tahun 1948 di ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.

Pembentukannya dilakukan dengan Penetapan Presiden No.16 Tahun 1948.

2. Panitia Agraria Jakarta

Setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan ibu kota negara berpindah

lagi ke Jakarta, dirasakan perlunya pembentukan Panitia Agraria yang baru yang

dapat bekerja sesuai dengan perkembangan keadaan. Pada tanggal 19 Maret 1951,

dengan Keppres No.36 Tahun 1951, Panitia Agraria Yogyakarta dibubarkan dan

digantikan dengan panitia baru, yakni Panitia Agraria Jakarta.

3. Panitia Soewahjo

Panitia ini dibentuk untuk melangkah lebih lanjut dalam upaya pembentukan

hukum agraria yang baru sesuai dengan pasal 26, pasal 37 (1) dan pasal 38 (3)

UUDS 1950. Dibentuk dengan Keppres No.1 Tahun 1956 panitia ini diketuai oleh

Soewahjo Soemodilogo dengan tugas utama menyusun rancangan UU Pokok

Agraria Nasional yang sedapat mungkin sudah dapat menyelesaikan tugasnya

dalam waktu 1 tahun.

4. Rancangan Soenarjo

Hasil RUU yang disusun Panitia Soewahjo, dengan beberapa penambahan atas

sistematika dan beberapa pasalnya, disetujui oleh pemerintah untuk diajukan

kepada DPR. Rancangan yang diajukan kepada DPR tanggal 24 April 1958

disebut Rancangan Soenarjo karena pada waktu itu menteri agraria yang mewakili

pemerintah mengajukan RUU itu kepada DPR adalah Soenarjo.

Sejak RUU Soenarjo diserahkan kepada Panitia ad hoc yang dibentuk DPR, dan

dilengkapi bahan-bahan baru agar lebih sempurna, pembahasannya di dalam

sidang pleno menjadi tertunda. Ketika pada tahun 1959 terjadi perubahan

konfigurasi politik dengan Dekrit 5 Juli 1959 RUU tersebut ditarik kembali oleh

pemerintah pada tanggal 23 Mei 1960. Alasan penarikan itu secara yuridis

konstitusional dapat dimengerti, sebab RUU itu disususn berdasarkan UUDS

7

Page 8: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

1950, sedangkan UUD yang berlaku berdasar Dekrit 5 Juli 1959 adalah UUD

1945.

Rangkaian langkah-langkah dalam membuat peraturan perundang-undangan secara

parsial dan membentuk berbagai panitia agraria, bahkan sampai menggajukan RUU-nya,

menunjukkan bahwa pada periode ini pemerintah bersungguh-sungguh untuk membuat

hukum agrraria yang responsif atau sesuai denggan rasa keadilan dalam masyarakat.

Meskipun belum pada hukum agraria nasional yang komprehensif, tetapi dari produk-

produknya yang parsial itu, dapat dilihat dengan jelas, hukum agraria pada periode ini

berkarakter sangat responsif. Watak responsif terlihat dari respons pemerintah pada aspirasi

seluruh masyarakat Indonesia yang menuntut secara keras dibentuknya UU agraria nasional.

Tindakan pemerintah dalam member respons tersebut, terlihat dari dibuatnya berbagai UU

secara parsial, sama sekali tidak bersifat positivis-instrumentalis, melainkan menyerap

aspirasi masyarakat pada umumnya. Tanpa harus membuat rincian kewenangan interpretasi

pemerintah atas berbagai produk hukum agaraia yang parsial, (karena pada periode ini belum

ada produk hukum agraria nasional yang komprehensif), pemberian kualifikasi responsif atas

bentuk-bentuk respons pemerintah sudah menunjukkan signifikansi yang proposional.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Lama, Periode Demokrasi

Terpimpin (1959-1966)

Menteri Agraria yang baru Sadjarwo, tidak lupa untuk terus mengusahakan

terciptanya hukum agraria nasional yang baru. Sebuah rancangan UU baru, yang disesuaikan

dengan UUD 1945 dan Manifesto Politik, diajukan kepada DPR-GR oleh pemerintah dengan

sebuah amanat presiden tanggal 1 Agustus 1960. Pada tanggal 14 September 1960 DPR-GR

dengan suara bulat menerima RUU agraria yang diajukan oleh pemerintah. RUU yang telah

disetujui tersebut disahkan 24 September 1960 sebagai UU No.5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menurut diktum kelimanya dapat disebut sebagai

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Beberapa peraturan yang dicabut secara eksplisit oleh UUPA :

1. Agrarische Wet (S.1870-55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 Wet op de

Staatsinrichting van Nederlands Indie (S.1925-447) dan ketentuan dalam ayat-

ayat lainnya dari pasal itu ;

2. Domein Verklaring, tersebut dalam pasal 1 Agrarische Besluit S.1870-118.

Algemene Domeinverklaring, tersebut dalam pasal 1 dalam s.1875-119a.

8

Page 9: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

Domeinverklaring untuk Sumatera, tersebut dalam pasal dari S.1874-94 f.

Domeinverklaring untuk Keresidenan Menado, tersebut dalam pasal I dari S.1877-

55.

Domeinverklaring untuk Residentie Zuider en Qoster-afdeling van Borneo,

tersebut dalam pasal 1 dari S.1888-58.

3. Koninklijk Besluit tangggal 16 April 1872 No.29 (S.1872-117) dan peraturan

pelaksanaannya.

4. Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) sepanjang

yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,

kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotek yang masih berlaku pada mulai

berlakunya UUPA.

Disamping pencabutan secra tegas (eksplisit) terdapat juga pencabutan yang sifatnya

tidak langsung (implisit), yakni terhadap semua peraturan perundang-undangan yang

bertentangan dengan jiwa UUPA. Dalam kaitan ini dapat disebutkan sebagai contoh bahwa

S.1875-179 menjadi tidak berlaku (tercabut) karena memuat ketentuan-ketentuan yang

bertentangan jiwa UUPA. S.1875-179 berisi “larangan pengasingan tanah” dari penduduk asli

Indonesia (golongan Bumi Putra) terhadap orang asing.

Dari sudut materinya yang bukan positivis-instrumentalis tersebut UUPA

memperlihatkan karakter responsifnya dengan merombak seluruh sistem yang dianut oleh

Agrarische Wet 1870, menghapus domeinverklaring, menghilangkan feodalisme dan segala

hak konversinya, menghilangkan dualism hukum sehinggga tercipta unifikasi hukum, serta

penegasan tentang melekatnya “fungsi sosial” atas hak atas tanah. Adanya hak menguasai

oleh negara justru memberi jalan bagi tindakan responsif lainnya karena dari hak tersebut

pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan yang berpihak bagi kepentingan masyarakat.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Baru (1966-1998)

Pemerintah Orde Baru tidak lagi mengahadapi tuntutan untuk membuat hukum

agraria nasional, sebab tugas itu sudah selesai ketika UUPA diundangkan pada tanggal 24

september 1960. Berkenaan dengan pelaksanaan UUPA pada periode Orde baru ini ada tiga

masalah pokok yang dihadapi oleh pemerintah, yaitu pembuatan peraturan pelaksana,

penyesuaian kembali isi peraturan-peraturana tertentu di bidang agraria, dan pelaksanaan

proses pembebasan tanah untuk keperluan pembangunan.

9

Page 10: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

Salah satu hal yang sering menjadi masalah publik adalah masalah pembebasan tanah

untuk keperluan pembangunan. Seperti diketahui, UUPA memberi legitimasi kepada

pemerintah untuk melakukan pencabutan hak atas tanah demi kepentingan umum yang

pedomannya diatur dalam UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah. Pada

masa orde baru tuntutan pembangunan nasional semakin memperbesar kapasitas tuntutan atas

tanah dan volume pengambilan tanah dari masyarakat. Hal ini menjadi masalah karena

kreteria kepentingan umum sebagai alasan pencabutan belum diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang proporsional. Pada tahun 1973 presiden mengeluarkan Inpres

No.9 Tahun 1973 yang berisi pedoman jenis-jenis kegiatan yang dapat dikategorikan

kepentingan umum. Meskipun secara materiil Inpres tersebut dapat dipakai, tetapi secara

formal, seharusnya materi yang begitu penting tidak hanya diatur dengan sebuah Inpres yang

biasanya bersifat teknis dan einmalig. Materi Inpres tersebut seharusnya diatur dengan UU,

karena menyangkut hak rakyat banyak. Pemberian bentuk Inpres atas kriteria “kepentingan

umum” lebih merupakan tindakan pragmatis pemerintah dalam melancarkan program-

progrmnya.

Pada era orde baru ini tidak ada lagi produk baru hukum agraria nasional karena

produk periode sebelumnya yang memiliki karakter responsif masih terus diberlakukan. Ada

kecendrungan untuk keperluan pragmatis pada era orde baru ini dibuat beberapa paraturan

perundangan agraria secara parsial dengan watak konservatif. Kecendrungan ini terlihat,

misalnya dengan adanya PMDN No.15 tahun 1957 dan Inpres No.9 tahun 1973. Kedua

peraturan perundang-undangan ini jika dilihat dari materinya lebih proporsional untuk

dituangkan dalam bentuk UU. Akan tetapi, tuntutan pragmatis telah membawa pemerintah

untuk melahirkannya hanya dalam bentuk Peraturan Menteri dan Instruksi Presiden. Kedua

bentuk peraturan perundang-undangan tersebut jelas sangat tidak partisipatif karena secara

formal hanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, dan dengan sendirinya tidak aspiratif

karena tidak membuka saluran secara wajar bagi masuknya aspirasi masyarakat.

Memang sebagai produk hukum yang tidak menyangkut gezagverhouding dan yang

mencakup hukum publik dan privat, UUPA berkarakter responsif, tetapi interpretasi

pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan secara parsial untuk keperluan

pragmatis dalam rangka pelaksanaan program-program pembangunan memperlihatkan watak

yang konservatif. Adanya Kepres No.55 Tahun 1993, meskipun membawa sedikit kemajuan,

namun bentuk peraturannya tetap tidak proporsional. Materinya yang prinsip seharusnya

menjadi materi UU yang tidak dapat dibuat sepihak oleh eksekutif.

10

Page 11: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

Politik Pertanahan (Agraria) Pada Era Reformasi (1998-Saat ini)

Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat,

dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga

menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang

merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA. Beberapa peraturan

perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria) dikeluarkan sejak

dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai

merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-

peraturan sebelumnya.

Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu

disebutkan dalam Pasal 5 TAP MPR RI No.IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan

pembaruan agraria adalah:

1. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan

kepemilikan tanah oleh rakyat;

2. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan

sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

Dalam rancangan Undang-Undang tentang Sumber Daya Agraria disebutkan Tanah

dan sumberdaya agraria selain tanah yang penguasaan dan pemilikannya melebihi batas

maksimum, dikuasai oleh Pemerintah dan ditetapkan sebagai objek landreform untuk

dibagikan kepada warga masyarakat yang termasuk dalam kelompok yang memperoleh hak

utama.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah

pun kembali diagendakan. Pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah

tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat

miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang

melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan

prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis,

hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis,

maupun tanah bekas swapraja (Kompas, tanggal 30 Januari 2007).

11

Page 12: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

Bahwa kebijakan pembaharuan agraria dan sumber daya alam tersebut dilaksanakan

antara lain dengan melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor

serta menyelesaikan konflik-konflik berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul

selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin

terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan pada prinsip-prinsip berkeadilan.

Bahwa hal tersebut dimandatkan secara tegas dalam ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7

TAP-MPR No.IX Tahun 2001 dimana DPR RI bersama Presiden ditugaskan untuk segera

mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam,

serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan

pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini, serta untuk segera melaksanakan

Ketetapan tersebut dan melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan MPR RI.

Bahwa dengan disahkannya peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan

sumber daya alam1 telah merusak politik pembaharuan hukum pengelolaan agraria dan

sumber daya alam yang telah dimandatkan secara tegas dalam TAP-MPR No.IX Tahun 2001,

sehingga berpotensi kembali melanggengkan pola pengelolaan sumber daya alam yang

berorientasi pada eksploitasi (use oriented) yang mengabaikan kepentingan konservasi dan

keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena semata-mata digunakan sebagai perangkat

hukum (legal instrument) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, orientasi pengelolaan

sumber daya alam yang lebih berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital oriented),

dimana hal tersebut akan mengabaikan kepentingan dan akses atas sumber daya alam serta

mematikan potensi-potensi pengelolaan perekonomian masyarakat lokal.

Implementasi pengelolaan yang dilakukan Pemerintah akhirnya bersifat sangat

sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi

dan tidak terkoordinasi serta berpotensi melanggar hak asasi manusia berkaitan dengan

penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini bertentangan dengan

Pembukaan alinea IV UUD 1945 yang menyatakan:

1 Misalnya, antara lain: UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.; UU No.27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.; UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.; UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.; UU No.19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.; UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan.; UU No.4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty On Plant Genetic Resources For Food And Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan Dan Pertanian).; UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.; UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.; UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.; UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi dan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

12

Page 13: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

“..... untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial .....”.

Hal ini sejalan dengan tujuan dan politik hukum pertanahan/agraria, yaitu antara lain:

1. Untuk mengatur keselarasan dan keseimbangan dalam pemanfaatan bumi, air, ruang

angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dalam hubungannya dengan

kepentingan manusia menuju masyarakat yang adil dan makmur.

2. Untuk menjamin ketertiban, kepastian hukum dan keadilan dalam hubungannya

dengan hak-hak seseorang atau masyarakat atas tanah (bumi), air, ruang angkasa dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

3. Untuk penyederhanaan hukum dan kesatuan hukum dalam mengatur halhal yang

berkaitan dengan agraria atau pertanahan dengan memperhatikan hukum adat.

4. Untuk mengatur dan sekaligus membatasi hak dan kewajiban seseorang atau badan

hukum, dan masyarakat serta negara dalam hubungannya dengan kepemilikan,

penguasaan, penggunaan atau pemanfaatan, pengusahaan, pemakaian, penatagunaan

dan pengelolaan atas bumi (tanah), air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung

di dalamnya.

5. Untuk memberikan atau menetapkan kekuasaan dan kewenangan kepada pemerintah

dalam mengatur hubungan hukum antara seseorang atau badan hukum tertentu dengan

tanah yang dimiliki, dikuasai, digunakan, dimanfaatkan, dipakai, dikelola, baik oleh

seseorang, masyarakat, badan hukum maupun instansi pemerintah lainnya.

Hal ini harus disesuaikan dengan Pasal 5 ayat 2 Ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001

tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang menyebutkan bahwa

arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah:

1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang

berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan

antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4

Ketetapan ini;

2. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui

identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi

pembangunan nasional;

13

Page 14: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

3. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber

daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk

menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional;

4. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan

melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam

tersebut;

5. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama

ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin

terlaksananya penegakan hukum;

6. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya

alam secara berlebihan;

7. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi

manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan

kondisi daerah maupun nasional.

Bahwa dengan berbagai indikasi penyimpangan atas beberapa prinsip yang disebut di

atas telah terjadi pembelokan prinsip negara hukum, dimana hukum telah dipakai menjadi

alat (instrument) untuk kepentingan kekuasaan semata, sehingga masyarakat menganggap

perlu untuk mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi, karena Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap UUD 1945, seperti

dinyatakan dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang

Republik Indonesia No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Para Pemohon yang

hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, misalnya:

1. Putusan MK No.01-21-22/PUU-I/2003, menyatakan UU No.20 Tahun 2002 tentang

Ketenagalistrikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2. Putusan MK No.002/PUU-I/2003 tentang menyatakan Pasal 12 ayat (3) sepanjang

mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-

kata “paling banyak”, dan Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3. Putusan MK No.58-59-60-63/PUU-II/2004 dan No.08/PUU-III/2005 tentang

Pengujian UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang walaupun ditolak,

namun dalam pertimbangan hukumnya majelis menganggap bahwa alasan-alasan

permohonan dapat dimaklumi.

14

Page 15: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

4. Putusan MK No.03/PUU-III/2005 tentang Pengujian UU No.19 Tahun 2004 tentang

Perubahan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyatakan menolak

Permohonan Pemohon.

5. Putusan MK No.13/PUU-III/2005 tentang Pengujian UU No.41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.; permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

6. Putusan MK No.21/PUU-III/2005 tentang Pengujian UU No.19 Tahun 2004 tentang

Perubahan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyatakan permohonan

Pemohon ditolak untuk seluruhnya.

7. Putusan MK No.11/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No.56 Prp Tahun 1960

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, menyatakan permohonan pemohon ditolak.

8. Putusan MK No.20/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang

Minyak dan Gas Bumi, menyatakan Permohonan para Pemohon tidak dapat diterima

(niet ontvankelijk verklaard);

9. Putusan MK No.21-22/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No.25 Tahun 2007

tentang Penanaman Modal, menyetakan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) sepanjang

menyangkut kata-kata “di muka sekaligus” dan “sekaligus di muka”; tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat;

Dengan adanya berbagai permohonan uji materil atas peraturan perundang-undangan

yang menyangkut pertanahan, maka perlu diterapkan sistem pengelolaan pertanahan yang

efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan

menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi. Selain itu, perlu dilakukan

penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui

perumusan berbagai aturan pelaksanaan land reform serta penciptaan insentif/disinsentif

perpajakan yang sesuai dengan luas, lokasi, dan penggunaan tanah agar masyarakat golongan

ekonomi lemah dapat lebih mudah mendapatkan hak atas tanah. Selain itu, menyempurnakan

sistem hukum dan produk hukum pertanahan melalui inventarisasi dan penyempurnaan

peraturan perundang-undangan pertanahan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat

adat, serta peningkatan upaya penyelesaian baik melalui kewenangan administrasi, peradilan,

maupun alternative dispute resolution. Selain itu, akan dilakukan penyempurnaan

kelembagaan pertanahan sesuai dengan semangat otonomi daerah dan dalam kerangka

Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas

sumber daya manusia bidang pertanahan di daerah.

15

Page 16: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

Salah satu peraturan perundang-undangan yang menimbulkan banyak tanggapan dari

masyarakat adalan Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Berbagai tanggapan tersebut menjadi

lebih mendasar ketika masyarakat melihat bahwa substansi atau materi yang diatur dalam

Peraturan Presiden sangat kental dengan pencabutan hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta

benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah oleh negara dengan pemberian ganti rugi

senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan dari instansi

pemerintah yang bersangkutan dengan benda-benda selain tanah. Hal tersebut sangat

meresahkan masyarakat dan menjadi masalah sosial yang timbul di masyarakat.

Permasalahan utamanya adalah hak masyarakat atas hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta

benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah menjadi terganggu. Pemerintah dapat saja “

seolah-olah “ dalam rangka kepentingan umum yang sebenarnya adalah akses memperlancar

“bisnis“ segelintir orang mencabut hak masyarakat tersebut, terlebih yang dimaksud dengan

kepentingan umum dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tersebut telah mengalami

perluasan kriteria jika dibandingkan dengan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993.

Sekalipun diatur mengenai musyawarah dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005, akan

tetapi jika musyawarah gagal ditempuh kemudian terdapat uang pengganti dari pemerintah

yang dititipkan ke pengadilan, hingga presiden sendiri yang mencabut hak atas tanah itu.

Hal tersebut menunjukan diperlemahnya akses masyarakat akan hak atas tanah dan

dilanggarnya hak sipil-politik dan hak ekonomi, sosial, budaya oleh masyarakat oleh

pemerintah. Tetapi mungkin saja justru para pemodal yang diuntungkan, termasuk investor

asing. Sahala Sianipar, Direktur Golin/Haris Internasional Pte Ltd Singapura, perusahan

publik relation yang bermarkas di AS, mengungkapkan, bahwa beberapa investor asing

memang belum mau meneken persetujuan investasi di proyek infarstruktur karena belum ada

jaminan soal pertanahan di Indonesia. Investor asing tidak mungkin berhadapan langsung

dengan masyarakat di Indonesia. Sebab itu, investor menginginkan agar pemerintah mengatur

soal tanah (Jawa Pos Online, 08/05/2005). Dan nampaknya bahwa pemerintah ingin

menguasai tanah masyarakatnya dengan harga murah. Pada kenyataan – seperti yang

disampaikan Abdul Haris Kepala Subdit Pertanahan Bappenas Jakarta - bahwa berdasarkan

hasil pemantauan proyek-proyek pemerintah yang berupa pinjaman luar negeri diperoleh

bahwa salah satu faktor penghambat pelaksanaan proyek tersebut adalah kurangnya dana

pengadaan tanah, adanya hambatan dalam proses pembebasan tanah, maupun hambatan

dalam permukiman kembali (Media Indonesia Kamis, 26 Mei 2005).

16

Page 17: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 memiliki kecendrungan untuk keperluan

pragmatis pada era ini yang dibuat secara parsial dengan watak konservatif. Peraturan

Presiden tersebut jika dilihat dari materinya lebih proporsional untuk dituangkan dalam

bentuk UU. Akan tetapi, tuntutan pragmatis telah membawa pemerintah untuk melahirkannya

hanya dalam bentuk Peraturan Presiden. Peraturan Presiden tersebut jelas sangat tidak

partisipatif karena secara formal hanya dilakukan secara sepihak oleh presiden (pemerintah),

dan dengan sendirinya tidak aspiratif karena tidak membuka saluran secara wajar bagi

masuknya aspirasi masyarakat. Peraturan Presiden itu juga tidak memberikan rasa keadilan

bagi masyarakat sehingga dalam pelaksanaannya banyak mendapat perlawanan dari

masyarakat. Pada tahun 2006 diadakan perubahan terhadap PP No.36 tahun 2005 yang

dilakukan melalui Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas PP No.36

tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum. Hal ini semakin membuktikan bahwa PP No.36 tahun 2005 tidak berwatak responsif

dan tidak mampu mengakomodir kepentingan dan aspirasi masyarakat Indonesia dalam

bidang pertanahan (agraria).

17

Page 18: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

DAFTAR ISI

1. Pengertian Politik Hukum ………………………….……………...…………………...1

2. Hukum Sebagai Alat …………………………………………..………………………..1

3. Hukum Sebagai Produk Politik ……………………………………………...…...........2

4. Politik Hukum Pertanahan (Agraria) ……………………………………………..…..2

5. Perkembangan Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Di Indonesia ………………..3

6. Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Kolonial / Penjajahan ……....….3

7. Politik Pertanahan (Agraria) Kolonial / Penjajah …………………………………...5

8. Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Lama,

Periode Demokrasi Liberal (1945-1959) …………………...………………………….5

9. Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Lama,

Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966) …………………………………...…...…8

10. Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Baru (1966-1998) ……...…9

11. Politik Hukum Pada Era Orde Baru (1998-Saat ini) ………………..………………11

18

Page 19: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia; Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,

Cet.XVII, Djambatan, Jakarta, 2006.

Mahfud MD, Moh., Politik Hukum Di Indonesia, Cet.I, Raja Garafindo Persada, Jakarta,

2009.

Parlindungan, AP., Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria, Cet.IX, Mandar Maju,

Bandung, 2008.

Santoso, Urip, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Cet.VI, Prenada Media Group,

Jakarta, 2010.

Peraturan Perundang-undangan :

Kitab Undang-Undang Agraria Dan Pertanahan, Fokusmedia, Bandung, 2009.

Sumber Media Internet :

Lilis Nur Faizah, Landreform : Sejarah Dari Masa Ke Masa , www.zeilla.wordpress.com

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Tanggapan Terhadap Perpres

No. 36 Tahun 2005, http://www.pbhi.or.id.

19

Page 20: POLITIK HUKUM PERTANAHAN

TUGAS

HUKUM AGRARIA I

POLITIK HUKUM PERTANAHAN (AGRARIA) DI INDONESIA

I MADE WIDANA PUTRA, S.H.

NIM. 1092461024

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2010

20