hukum keuangan negara

127
BAHAN AJAR HUKUM KEUANGAN NEGARA PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN SPESIALISASI AKUTANSI TIM PENYUSUN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TAHUN 2011

Upload: riyanto-ahmad

Post on 24-Jul-2015

953 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Keuangan Negara

BAHAN AJAR

HUKUM KEUANGAN NEGARA

PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN

SPESIALISASI AKUTANSI

TIM PENYUSUN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TAHUN 2011

Page 2: Hukum Keuangan Negara

i | P a g e

KATA PENGANTAR

Materi bahan ajar ini merupakan kutipan dari Buku HKN yang sedang dalam proses

penyelesaian; yang diharapkan dapat menjadi acuan bagi bapak/ibu dosen yang mendapat

tugas memberikan kuliah Hukum Keuangan Negara (HKN). Pada awalnya mata kuliah HKN

ini bernama HAKN atau Hukum Administrasi Keuangan Negara. Seiring dengan berjalannya

waktu materi mata kuliah HAKN nampak semakin menitik beratkan kearah permasalahan

teknis Administrasi Keuangan, sementara bobot pembelajaran Hukum Keuangannya sendiri

semakin jauh berkurang. Keadaan yang demikian tentu segera dicari jalan pemecahannya

mengingat pula kebutuhan pemahaman masalah hukum keuangan bagi lulusan STAN

semakin menjadi tuntutan para user; sehingga mulai tahun akademik 2010/2011 HAKN

dipisahkan menjadi dua mata kuliah yakni HKN dan AKN atau Hukum Keuangan Negara

dan Administrasi Keuangan Negara yang materi muatannya sangat jauh berbeda.

Melihat latar belakang proses kelahiran mata kuliah HKN seperti tersebut diatas,

maka bagi para Dosen sangat diharapkan pemahamannya terhadap ilmu hukum; khususnya

HAN/HTUN, HTN maupun bidang hukum Pidana/Perdata. Hal ini agar memudahkan dalam

proses pembelajarannya, misalnya seorang lawyer (yang kebetulan merelakan waktunya

untuk kegiatan mengajar) tidak perlulah “terlalu asyik” menerangkan proses beracara di

Pengadilan; seperti teknik membuat surat gugatan dan sebagainya tetapi bisa

memanfaatkan pengetahuannya tentang “teknik” pembuatan kontrak yang benar dengan

pihak III dalam kegiatan PBJ Pemerintah, maupun tentang kelemahan-kelemahan yang

sering dilakukan aparat dalam menghadapi kasus-kasus di Pengadilan.

Bahan ajar ini sengaja dibuat sangat singkat dan tidak pula disertai power point

dengan maksud para dosen untuk lebih mudah berimprovisasi dalam proses

pembelajarannya, termasuk membuat ppt versi masing-masing; tentu saja setelah

mencermati dengan baik setiap session materi bahan ajar ini. Sebagai contoh ketika

pemberian materi kuliah “Pengelolaan BMN” angkatlah suatu kasus dimana dalam suatu

DIPA SATKER tidak ditemukan kegiatan pembuatan Lapangan tennis, yang ada adalah

pembuatan Lapangan Parkir, tetapi Kepala Satker berkeinginan kuat untuk membuat

Lapangan Tenis; sementara untuk revisi DIPA diprediksi tidak memungkinkan. Bagaimana

hal ini bisa terlaksana tanpa melanggar hukum dan lulus tehadap LHP dari APIP?. Tentu

saja semua jawabannya ada pada materi kuliah “Pengelolaan BMN” tersebut. Sekali lagi

kejelian dan kecermatan dalam memahami materi bahan ajar serta disertai pengalaman

para Dosen akan membuat perkuliahan menjadi menarik dan selalu ditunggu para

mahasiswa.

Page 3: Hukum Keuangan Negara

ii | P a g e

Materi kuliah HKN adalah suatu materi kuliah yang dinamis dalam arti apa yang

menjadi topik di media atau di masyarakat harus bisa dijawab oleh HKN, begitu juga laju

perkembangan tata pemerintahan harus bisa diantisipasi oleh HKN; menyikapi hal ini para

dosen dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan-perkembangan tersebut.

Jakarta, Agustus 2011

Tim Penyusun HKN

Page 4: Hukum Keuangan Negara

iii | P a g e

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii

PENDAHULUAN................................................................................................................ vii

A Deskripsi Singkat.............................................................................................. vii

B Prasyarat Kompetensi...................................................................................... vii

C Standar Kompetensi......................................................................................... vii

D Kompetensi Dasar............................................................................................ vii

E Relevansi Dasar............................................................................................... vii

BAB I KEUANGAN NEGARA 1

A Definisi Keuangan Negara............................................................................... 1

B Ruang Lingkup Keuangan Negara................................................................... 4

C Pengertian-Pengertian Lain....................................... 5

BAB II KEKUASAAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA 7

A Presiden Sebagai Pemegang Kekuasaan Keuangan Negara......................... 7

B Pelaksanaan Keuangan Daerah...................................................................... 9

C Pelaksanaan Keuangan Negara...................................................................... 11

D Hubungan Kekuasaan Negara dengan Tujuan Bernegara.............................. 16

E Aktualisasi Fungsi Hukum Administrasi Negara dalam Mewujudkan

Pemerintahan yang Baik.................................................................................. 18

BAB III PENGERTIAN DAN SITILAH-ISTILAH KEUANGAN NEGARA DALAM

UNDANG-UNDANG 21

A Pengertian Keuangan Negara.......................................................................... 21

B Pengertian Perusahaan Milik Negara/Daerah.................................................. 22

C Pengertian APBN............................................................................................. 22

D Pengertian Penerimaan, Pengeluaran, Pendapatan, Belanja, dan

Pembiayaan…………………………………………………………………………. 23

E Pengertian Tahun Anggaran............................................................................ 23

F Pengertian Surplus Penerimaan ..................................................................... 24

BAB IV KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA 25

A Fungsi Presiden sebagai Pemegang Kekuasaan atas Pengelolaan 25

Page 5: Hukum Keuangan Negara

iv | P a g e

Keuangan Negara...........................................................................................

B Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara.......................... 26

C Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Daerah.......................... 26

BAB V KETENTUAN MENGENAI PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF DAN GANTI

RUGI (1) 29

A Aspek Pidana pada Pengelolaan Keuangan Negara....................................... 29

B

Pengenaan Pidana berdasarkan Paket Undang-Undang Keuangan

Negara.............................................................................................................. 30

C Pengenaan Pidana berdasarkan KUHP........................................................... 31

BAB VI KETENTUAN MENGENAI PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF DAN GANTI

RUGI (2) 36

A Pengertian Sanksi Administratif………………………....................................... 36

B Ketentuan Mengenai Sanksi Administratif........................................................ 37

C Prosedur Pemeriksaan, Penjatuhan, dan Penyampaian Keputusan

Hukuman.......................................................................................................... 38

D Pengertian Ganti Rugi dan Tuntutan Ganti Rugi berdasar UU No.1/2004..... 39

E Prosedur dan Ketentuan Ganti Rugi................................................................ 39

F Prosedur dan Ketentuan Ganti Rugi................................................................ 40

BAB VII Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum 42

A Pengertian Badan Layanan Umum.................................................................. 43

B Tujuan dan Asas.............................................................................................. 44

C Persyaratan, Penetapan, dan Pencabutan Status BLU................................... 45

D Standar dan Tarif Layanan............................................................................... 48

E Pengelolaan Keuangan BLU............................................................................ 49

F Tata Kelola, Pembinaan, dan Pengawasan..................................................... 57

BAB VIII PENGELOLAAN BMN 68

A Pengertian Barang Milik Negara...................................................................... 68

B Dasar Hukum Pengelolaan BMN..................................................................... 68

C Asas dan Lingkup Pengelolaan BMN............................................................... 62

D Pejabat Pengelola BMN................................................................................... 62

E Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran.................................................. 62

F Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan… 63

G Peniaian, Penghapusan, Pemindahtanganan, Penatausahaan....................... 73

Page 6: Hukum Keuangan Negara

v | P a g e

H Pengendalian dan Pengawasan serta Pembinaan.......................................... 87

I Ganti Rugi dan Sanksi...................................................................................... 88

BAB IX ASPEK LEGAL PENGADAAN BARANG DAN JASA (1) 97

A Penunjukkan kepada Pengguna Barang/Jasa................................................. 97

B Pembentukan Panitia/Pejabat Pengadaan....................................................... 98

C Pemaketan Pekerjaan...................................................................................... 100

D Penetapan Sistem Pengadaan yang dilaksanakan Penyedia Barang/Jasa…. 101

BAB X PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN

NEGARA (1) 105

A Pengertian Umum............................................................................................ 105

B Lingkup Pemeriksaan....................................................................................... 105

C Standar pemeriksaan Keuangan Negara......................................................... 106

D Pelaksanaan Pemeriksaan............................................................................... 107

E Pelaksanaan Tugas Pemeriksaan.................................................................... 108

F Investigasi dan Temuan Kasus Pidana............................................................ 108

BAB XI PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN

NEGARA (2) 110

A Hasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut……………………………………………. 110

B Pengenaan Ganti Rugi…………………………………………………………….. 112

C Ketentuan Pengenaan Pidana……………………………………………………. 113

D Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)……………………………………………… 115

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 119

Page 7: Hukum Keuangan Negara

vi | P a g e

PENDAHULUAN

A. Diskripsi Singkat

Hukum Keuangan Negara dalam modul ini membahas materi dari sisi aspek

hukumnya APBN mulai dari pengertian keuangan Negara, perencanaan anggaran,

penetapan anggaran, pelaksanaan anggaran, pelaporan sampai dengan

pertanggungjawabanya yang selama ini dikenal dengan perencanaan anggaran.

B. Prasyarat Kompetensi

Mahasiswa yang mengikuti Mata kuliah HKN terlebih dahulu harus telah menempuh dan

lulus mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH), Pengantar Ilmu Ekonomi (PIE), dan

Keuagan Publik.

C. Standar Kompetensi

Mahasiswa yang megikuti mata kuliah HKN sudah memiliki pengetahuan tentang dasar-

dasar filosofi pengertian tentang hukum, darimana hukum itu berasal, mengapa hukum itu

harus ditaati, sumber-sumber hukum, mahzab-mahzab atau teori-teori tentang hukum, tata

hukum, tata urutan perundang-undangan dsb., pengetahuan di bidang ekonomi mahasiswa

sudah memiliki pengetahuan dasar-dasar filosofi pengantar ekonomi, da di bidang keuangan

public mahasiswa sudah mengatuhi dan mengerti tentang peran Negara dalam kegiatan

sekonomi untuk membiayai tugas-tugasnya melaksanakan tugas umum pemerintaha dan

pembagunan.

D. Kompetensi Dasar

Kompetensi Dasar yang diperoleh mahasiswa setelah mengikuti kuliah HKN adalah

mahasiswa memahami dan mengerti tentang aspek hukum pengelolaan keuangan Negara

RI mulai dari perencanaan anggaran, penetapan anggaran, pelaksanaan anggaran,

pencatatan dan pelaporan anggaran sampai dengan pertanggungjawaban anggaran.

E. Relevansi Dasar

Mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH), Pengantar Ilmu Ekonomi, Keuangan Publik

mempuyai relevansi dasar bagi mahasiswa yang akan mengikuti kuliah Hukum Keuangan

Negara…Mata kuliah ini membahas aspek hukum Negara sebagai badan hokum public

bagaimana mencari pembiayaan melalui sumber-sumber yang diperkenankan oleh undang-

undang, bagaimana mengelolanya, dan akhirnya membelanjakaya serta

mempertaggungjawabkan kepada rakyat melalui DPR sebagai pemberi mandat.

Page 8: Hukum Keuangan Negara

1 | P a g e

BAB

KEUANGAN NEGARA

A. Definisi Keuangan Negara

Untuk memahami Hukum Keuangan Negara harus berangkat terlebih dahulu

dari pengertian Keuangan Negara. Banyak para ahli memberikan terhadap

pengertian Keuangan Negara. Disini akan dikutip beberapa pendapat.

1. Menurut M. Ichwan K.N.

Keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif dengan angka-

angka yang antara lain diwujudkan dalam mata uang, yang akan dijalankan

untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun.

2. Menurut GEODHART, K.N.

Keuangan negara adalah keseluruhan UU yang ditetapkan secara periodik yang

memberikan kekuasan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai

periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk

menutup pengeluaran tersebut.

Jadi unsur-unsur keuangan menurutnya:

Periodik

Pemerintah sebagai pelaksana anggaran

Pelaksanaan anggaran mencakup dua wewenang yaitu wewenang

penerimaan dan wewenang pengeluaran.

Bentuk anggaran berupa suatu UU

3. Menurut John F. Due K.N. is A Budget is general sense of term, is a financial

plan for specific period time… a government budget, therefore is a statement of

1 Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan

memahami definisi keuangan negara, ruang lingkup keuangan negara, dan

pengertian lain yang terkait.

Page 9: Hukum Keuangan Negara

2 | P a g e

proposed expenditures and expected revenues for the coming period together

with data of actual expenditures and revenues for current and past period.

Government Budget Adalah suatu pernyataan mengenai pengeluaran atau

belanja yang diusulkan dan penerimaan untuk masa mendatang bersama

dengan data pengeluaran dan penerimaan yang sebenarnya untuk periode

mendatang dan periode yang telah lampau.

Dengan demikian unsur-unsur KN menurut John F. Due adalah:

Anggaran belanja memuat data keuangan mengenai pengeluaran dan

penerimaan dari tahun2 yang sudah lalu.

Jumlah yang diusulkan untuk tahun yang akan datang.

Jumlah taksiran untuk tahun yang sedang berjalan.

Untuk suatu periode tertentu.

4. M. Marsono

Anggaran Negara adalah suatu rencana pekerjaan keuangan yang pada satu

pihak mengandung jumlah pengeluaran yang setinggi-ingginya yang mungkin

diperlukan untuk membiayai kepentingan Negara pada satu masa depan, dan

pada pihak yang lain merupakan perkiraan pendapatan yang mungkin dapat

diterima dalam masa tersebut.

5. M. Subagio

Anggaran Negara adalah suatu rencana yang diperlukan untuk membiayai

segala kegiatannya, begitu pula biaya yang diperlukan untuk menjalankan

pemerintahan disertai taksiran besarnya penerimaan yang didapat dan

digunakan membelanjakan pengeluaran tersebut.

Unsur-unsur K.N. menurutnya:

Kebijakan pemerintah tercermin dalam angka-angka.

Rencana pemasukan untuk membiayai pengeluaran.

Memuat data pelaksanaan anggaran satu tahun yang lalu.

Menunjukkan sektor yang diprioritaskan.

Menunjukkan maju mundurnya pencapaian sasaran.

Merupakan petunjuk bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakannya

untuk satu tahun mendatang.

Page 10: Hukum Keuangan Negara

3 | P a g e

Dari beberapa defenisi tersebut dapat disimpulkanKeuangan Negara adalah:

1. Semua kekayaan atau harta Negara dan utang Negara begitupun segala hal

yang menyangkut dengan harta atau utang tersebut baik yang berwujud atau

tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang.

2. Keuangan Negara biasa juga disebut dengan Anggaran Negara

(Budget). Bahkan UU No. 17 tahun 2003 menyebutnya dengan istilah

APBN/APBD.

Dengan demikian Anggaran Negara dapat kita lihat dari tiga sudut pandang, yaitu:

1. Sudut Administratif, berarti ditinjau dari sudut Penatausahaan Penerimaan dan

Pengeluaran Negara dengan memperhatikan keseimbangan yang logis diantara

keduanya.

2. Sudut Konstitusi, berarti hak untuk turut menentukan anggaran Negara dari

Badan Perwakilan Rakyat (Volksvertegenwoordiging) yang pada umumnya

dicantumkan dalam suatu konstitusi Negara. (Pasal 23 UUD 1945). Hal ini

sebagai konsekwensi pelaksanaan ajaran Trias Politika Montesque meskipun

tiori tersebut tidak murni lagi dianut.

3. Dari Sudut Undang-Undang/Peraturan Pelaksanaan, berarti Keseluruhan

ketentuan UU yang ditetapkan secara priodik, yang memberikan kekuasaan

eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran mengenai priode tertentu.

UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memberikan sebutan

dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN adalah Rencana

Keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh dewan perwakilan

rakyat. (berarti Anggaran) dipandang dari sudut konstitusi. Menurut UU No. 17 Tahun

2003, Keuangan Negara adalah Semua hak dan kewajiban negara yang dapat

dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang

yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan

kewajiban tersebut.

Dengan demikian Keuangan Negara menurut penulis adalahSemua

kekayaan atau harta Negara dan utang Negara begitupun segala hal yang

menyangkut dengan harta atau utang tersebut baik yang berwujud atau tidak

berwujud yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya semua kekayaan

atau harta daerah dan utang daerah karena daerah juga merupakan bagian dari

negara (Pasal 18 UUD 1945)

Page 11: Hukum Keuangan Negara

4 | P a g e

Dasar hukum Pengelolaan Keuangan Negara dapat ditemui dalam UUD 1945

Pasal 23, terutama ayat (1) yang berbunyi Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun

dengan undang-undang dan dilksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Ayat (2) RancanganUU APBN diajukan

oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan

DPD.Ayat (3) Apabila DPR tidak menyetujui rancangan APBN yang diusulkan oleh

Presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu.

Beberapa Ketentuan di bidang pengelolaan keuangan Negara yang perlu

diketahui:

UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara

UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara

UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Pengelolaan

Keuangan Negara

UU APBN

Keppres 80/2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa InstansiPemerintah,

Peraturan Pemerintah No. 8/2006 tentang Revisi Keppres 80/2003, terakhir

Perpres No. 54 th 2010

PP 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah

PP 21/2004 tentang RKA-KL

B. Ruang Lingkup Keuangan Negara

Yang termasuk lingkup keuangan negara RI adalah:

1. Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan

melakukan pinjaman.

2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum, Pemerintahan

Negara, dan melakukan pinjaman.

3. Penerimaan dan pengeluaran Negara

4. Penerimaan dan pengeluaran daerah

5. Kekayaan Negara dan kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain

berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat

dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan

Negara/daerah.

Page 12: Hukum Keuangan Negara

5 | P a g e

6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum

7. Kekayaan yang diperoleh pihak lain dengan mempergunakan fasilitas

pemerintah.

C. Pengertian-Pengertian Lain

1. Pengertian APBN adalah rencana kerja keuangan yang ditetapkan oleh

pemerintah untuk jangka waktu tertentu biasanya dalam satu tahun anggaran.

2. APBN atau biasa juga disebut perbendaharaan Negara. Perbendaharaan itu

sendiri dapat didekati dari beberapa sudut.:

a. Dari segi obyek, seluruh hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang

yang meliputi: uang, barang, utang-piutang dan investasi.

b. Dari segi subyek, seluruh harta dan utang yang dimiliki dan/atau dikuasai

oleh Pemerintah, termasuk yang dikelola oleh Badan Layanan Umum seperti

rumah sakit dan perguruan tinggi negeri.

c. Dari segi proses, seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan harta dan utang

sesudah APBN/APBD ditetapkan

d. Dari segi tujuan, seluruh kegiatan pengelolaan harta dan utang dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah

ditetapkan dalam APBN/APBD.

3. Pengertian Perusahaan Milik Negara/Daerah adalah perusahaan yang didirikan

dengan modalnya minimal 51% atau lebih dimiliki oleh negra atau daerah.

Perusahaan tersebut merupakan Badan Usaha milik Negara/Daerah yang

bersangkutan.

4. Pengertian tahun anggaran adalah tahun pelaksanaan dari suatu anggaran yang

telah ditetapkan bersama antara pemerintah dan DPR. Saat ini tahun anggaran

sama dengan tahun fiskal yaitu dimulai dario l Januari sampai dengan 31

Desember tahun yang berjalan.

5. Pengertian Penerimaan adalah semua pendapatan yang diterima negara dan

yang akan dipergunakan untjuk membiayai pengeluaran negara. Sedang belanja

adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh negara dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan. Sedang Pembiayaan adalah penerimaan yang

akan dibayar kembali dan pengeluaran yang akan diterima kembali.

Page 13: Hukum Keuangan Negara

6 | P a g e

6. Defisit Anggaran

Defisit anggaran merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan

kondisi APBN di saat angka belanjanya melebihi jumlah pendapatan. Terdapat

empat pilihan cara untuk mengukur defisit anggaran, yang masing-masing

dikenal dengan sebutan (i) defisit konvensional; (ii) defisit moneter; (iii) defisit

operasional; dan (iv) defisit primer.

7. Defisit Konvensional

Defisit yang dihitung berdasarkan selisih antara total belanja dengan total

pendapatan termasuk hibah.

8. Defisit Moneter

Merupakan selisih antara total belanja pemerintah (di luar pembayaran pokok

hutang) dengan total pendapatan (di luar penerimaan hutang).

9. Defisit Operasional

Merupakan defisit moneter yang diukur dalam nilai riil dan bukan nilai nominal.

10. Defisit Primer

Merupakan selisih antara belanja ( di luar pembayaran pokok dan bunga hutang)

dengan total pendapatan.

11. Pembiayaan

Dalam keadaan defisit tentunya diperlukan tambahan dana agar kegiatan yang

telah direncanakan tetap dapat dilaksanakan. Dana tersebut bias berasal dari

dalam negeri maupun luar negeri. Upaya untuk menutup defisit disebut sebagai

pembiayaan defisit (deficit financing). Upaya ini dapat dilakukan dalam berbagai

bentuk misalnya

a. hutang;

b. menjual asset milik negara; dan

c. memperoleh hibah.

Page 14: Hukum Keuangan Negara

7 | P a g e

BAB

KEKUASAAN PENGELOLAANKEUANGAN NEGARA

A. Presiden Sebagai Pemegang Kekuasaan Keuangan Negara

Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan

keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan (Pasal 6 UU No.

17/2003). Kekuasaan ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan khusus.

Kewenangan yang bersifat umum yaitu penetapan arah, kebijakan umum,

strategi dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman

pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan susunan rencana kerja

kementerian Negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan serta pedoman

pengelolaan penerimaan Negara.

Sedangkan yang termasuk kewenangan yang bersifat khusus yaitu

keputusan/kebijakan teknis yang berkaitan dengan penelolaan APBN, keputusan

rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan asset dan piutang

Negara.

Sebagian kekuasaan itu diserahkan kepada Menteri Keuangan yang

kemudian berperan sebagai pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam

kepemilikan negara dalam kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagian kekuasaan

lainnya diberikan kepada menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna

anggaran/pengguna barang lembaga/kementrian yang dipimpinnya.

Dari pernyataan tersebut, maka presiden dapat disebut sebagai Chief

Executive Officer (CEO) dimana presiden memiliki kekuasaan paling sentral dan

tertinggi dalam mengatur keuangan negara dengan fungsi:

1. Pembinaan dan koordinasi pembagian kekuasaan keuangan negara.

2 Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan

memahami tentang pengelolaan keuangan negara baik di pusat maupun di

daerah.

Page 15: Hukum Keuangan Negara

8 | P a g e

2. Penelitian dan pengembangan tertentu dalam rangka mendukung kebijakan yang

telah berlaku dalam UU.

3. Pelaksanaan pembuatan dan pengajuan RAPBN.

Sedangkan, Menteri Keuangan berperan dan berfungsi sebagai Chief

Financial Officer (CFO) sedangkan menteri teknis/pimpinan lembaga berperan

sebagai Chief Operating Officers (COOs).

Dalam rangka mewujudkan asas desentrailsasi dalam penyelenggaraan Negara,

Presiden dapat menyerahkan sebagian kekuasaan tersebut diserahkan kepada

gubernur/bupati/walikota selaku pengelola keuangan daerah. Adapun terkait dengan

penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter sebagai bagian dari keuangan

Negara dilaksanakan oleh bank sentral.

Berikut adalah rincian pembagian kekuasaan keuangan negara lebih lanjut

dari keterangan di atas:

1. Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam

kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.

2. Menteri Teknis/Pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran atau pengguna

barang kementerian negara atau lembaga yang dipimpinnya.

3. Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola

keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah untuk mengelola keuangan

PRESIDEN SEBAGAI

CEO

MENTERI

TEKNIS

SEBAGAI

COO

MENTERI

KEUANGAN

SEBAGAI

CFO

Page 16: Hukum Keuangan Negara

9 | P a g e

daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah

yang dipisahkan.

Pemisahan fungsi seperti di atas dimaksudkan untuk membuat kejelasan dan

kepastian dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab. Sebelumnya fungsi-

fungsi tersebut belum terbagi secara tegas sehingga seringkali terjadi tumpang tindih

antar lembaga. Pemisahan ini juga dilakukan untuk menegaskan terlaksananya

mekanisme checks and balances. Selain itu, dengan fokusnya fungsi masing-masing

kementrian atau lembaga diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme di dalam

penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah.

B. Pelaksanaan Keuangan Daerah

1. Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah

Untuk mengakomodasi berbagai perkembangan dalam sistem kelembagaan

Negara dan mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan,

pemerintai telah mengeluarkan Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang

Keuangan Negara. Undang-Undang tersebut menetapkan prinsip-prinsip yang

memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang telah

dimuat dalam UU tersendiri tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan

Keuangan.

Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan

keuangan Negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan

Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota selaku

pengelola keuangan daerah. Kekuasaan atas keuangan daerah tersebut diatur

dalam UU Keuangan Negara pasal 6 ayat (2) huruf c sebagai berikut:

a) Dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku

pejabat pengelola APBD

b) Dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat

pengguna anggaran/barang daerah

Pejabat pengelola keuangan daerah mempunyai tugas sebagai berikut:

a) Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD

b) Menyusun Rancangan APBD dan Rancangan Perubahan APBD

c) Melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan

Peraturan Daerah

Page 17: Hukum Keuangan Negara

10 | P a g e

d) Melaksanakan fungsi Bendahara Umum Daerah

e) Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggung jawaban

pelaksanaan APBD

Sedangkan pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas

sebagai berikut:

a) Menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya

b) Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran

c) Melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya

d) Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak

e) Mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja

yang dipimpinnya

f) Mengelola barang milik / kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab

satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya

g) Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat

daerah yang dipimpinnya.

Pemerintah pusat juga membagi keuangannya kepada daerah antara lain

tercermin dalam APBN sebagai Belanja Daerah. Bentuk pembagian/transfer

pemerintah pusat ke daerahnya dapat dikategorikan sebagai berikut:

a) Pendapatan yang ditunjuk/ diserahkan, meliputi pajak, royalti, pungutan yang

semula dikenakan oleh pemerintah pusat, tetapi diserahkan sebagian atau

seluruhnya kepada pemerintah daerah.

b) Subsidi, yang dibayarkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah tingkat

Provinsi/Kabupaten/Kota

c) Pembiayaan Sektoral, berupa pengeluaran pemerintah pusat untuk proyek-

proyek yang dilakukan pemerintah daerah

d) Pinjaman

2. Makna Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah

Seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pembagian kekuasaan keuangan

Negara kepada daerah sesungguhnya merupakan cermin dari berjalannya Otonomi

Daerah yang pada dasarnya tercantum pada UUD 1945 pasal 18 ayat 5 yang

berbunyi, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali

Page 18: Hukum Keuangan Negara

11 | P a g e

urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

Pemerintah Pusat.”

Selain itu juga. Pemerintah pusat dalam hal ini berusaha mengadakan

pemerataan di setiap daerah seperti halnya yang tercantum pada UU …. yang

berbunyi “Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah

suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang

mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta

pemerataan antar-Daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan

dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan Daerah, sejalan dengan

kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan

kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya”

Penyerahan kekuasaan keuangan Negara dari Presiden/Pemerintah Pusat

kepada Pemerintah Daerah juga mempertimbangkan adanya keanekaragaman

kondisi daerah.

C. Pelaksanaan Kekuasan Keuangan Negara

1. Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai

tujuan bernegara.

Sistem administrasi keuangan negara diatur dengan berbagai ketentuan,

diantaranya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun

2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Kebijakan dan kegiatan APBN diuraikan sejak dari perencanaan anggaran,

penyusunan dan penetapan anggaran, pelaksanaan anggaran, pertanggungjawaban

pelaksanaan anggaran, dan pemeriksaan pertanggungjawaban pelaksanaan

anggaran.

Peranan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran

Sektor Publik menjadi semakin signifikan. Dalam perkembangannya, APBN telah

menjadi instrumen kebijakan multi fungsi yang digunakan sebagai alat untuk

mencapai tujuan bernegara. Hal tersebut terutama terlihat dari komposisi dan

besarnya anggaran yang secara langsung merefleksikan arah dan tujuan pelayanan

kepada masyarakat. Oleh karena itu, agar fungsi APBN dapat berjalan secara

Page 19: Hukum Keuangan Negara

12 | P a g e

optimal, maka sistem anggaran dan pencatatan atas penerimaan dan pengeluaran

harus dilakukan dengan cermat dan sistematis.

Sebagai sebuah sistem, pengelolaan anggaran negara telah mengalami

banyak perkembangan. Dengan keluarnya tiga paket perundang-undangan di

bidang keuangan negara, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004

tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, sistem

pengelolaan anggaran negara di Indonesia terus berubah dan berkembang sesuai

dengan dinamika manajemen sektor publik.

Pemerintah telah menerapkan pendekatan anggaran berbasis kinerja,

anggaran terpadu dan kerangka pengeluaran jangka menengah pada tahun

anggaran 2005 dan 2006. Ternyata masih banyak kendala yang dihadapi, terutama

karena belum tersedianya perangkat peraturan pelaksanaan yang memadai,

sehingga masih banyak terjadi multi tafsir dalam implementasi di lapangan. Dalam

periode itu pula telah dikeluarkan berbagai peraturan pemerintah, peraturan menteri

keuangan, peraturan dirjen dan sebagainya guna menutup kelemahan-kelemahan

tersebut.

Dalam rangka merespon perubahan terhadap peraturan perundang-

undangan di bidang keuangan negara itu, makalah Sistem Administrasi Keuangan

Negara perlu direvisi dan disempurnakan. Hal ini akan sangat membantu para

peserta diklat untuk memahami secara lebih mudah materi peraturan yang baru.

Fungsi perencanaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tidak dibahas secara

rinci. Akan tetapi, pembahasan mengenai keuangan negara lebih difokuskan pada

fungsi pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian sesuai dengan ketentuan

undang-undang di bidang keuangan negara.

Dalam pengelolaan keuangan negara, fungsi perencanaan,

pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian di bidang keuangan harus

dilakukan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.

Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua

komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara, sebagaimana

tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu:

Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Page 20: Hukum Keuangan Negara

13 | P a g e

Memajukan kesejahteraan umum.

Mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ikut serta mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial

2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, atau disingkat APBN, adalah

rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh

Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang

memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran

(1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban

APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.

3. Fungsi APBN

APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan

negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan

pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan

nasional, mencapai stabitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas

pembangunan secara umum.

APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,

distribusi, dan stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran

yang menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan

dalam APBN. Surplus penerimaan negara dapat digunakan untuk membiayai

pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya.

Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar

untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang

bersangkutan. Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat

dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran negara dapat

menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun

tersebut. Bila suatu pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka

negara dapat membuat rencana-rencana untuk medukung pembelanjaan

tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan dianggarkan akan membangun

proyek pembangunan jalan dengan nilai sekian miliar. Maka, pemerintah

Page 21: Hukum Keuangan Negara

14 | P a g e

dapat mengambil tindakan untuk mempersiapkan proyek tersebut agar bisa

berjalan dengan lancar.

Fungsi pengawasan, berarti anggaran negara harus menjadi pedoman untuk

menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat

untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang negara untuk

keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak.

Fungsi alokasi, berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk

mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta

meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian.

Fungsi distribusi, berarti bahwa kebijakan anggaran negara harus

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan

Fungsi stabilisasi, memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat

untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental

perekonomian.

4. Prinsip penyusunan APBN

Berdasarkan aspek pendapatan, prinsip penyusunan APBN ada tiga, yaitu:

Intensifikasi penerimaan anggaran dalam jumlah dan kecepatan penyetoran.

Intensifikasi penagihan dan pemungutan piutang negara.

Penuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara dan

penuntutan denda.

Sementara berdasarkan aspek pengeluaran, prinsip penyusunan APBN adalah:

Hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan.

Terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan.

Semaksimah mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan

memperhatikan kemampuan atau potensi nasional.

5. Azas penyusunan APBN

APBN disusun dengan berdasarkan azas-azas:

Kemandirian, yaitu meningkatkan sumber penerimaan dalam negeri.

Penghematan atau peningkatan efesiensi dan produktivitas.

Penajaman prioritas pembangunan

Menitik beratkan pada azas-azas dan undang-undang Negara

Page 22: Hukum Keuangan Negara

15 | P a g e

6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana

keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun

anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai

dengan tanggal 31 Desember.

APBD terdiri atas:

a. Anggaran pendapatan, terdiri atas:

1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah,

hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain

2) Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi

Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus

3) Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat.

b. Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas

pemerintahan di daerah.

c. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau

pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang

bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

7. Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara:

a. Fungsi otorisasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk

merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa

dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk

dilaksanakan.

b. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi

manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

c. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi

manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

d. Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi

pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan

pemerintah daerah.

e. Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan

untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pemborosan

sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian daerah.

Page 23: Hukum Keuangan Negara

16 | P a g e

f. Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam

penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

g. Fungsi stabilitasi memliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk

memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekono-mian

daerah.

D. Hubungan Kekuasaan Negara dengan Tujuan Bernegara

1. Pengertian Tujuan dan Fungsi Negara Secara Universal

Antara tujuan dan fungsi negara merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan satu sama lain. Namun demikian keduanya memiliki arti yang berbeda

yaitu:

No. Tujuan Fungsi

1.

2.

3.

Berisi sasaran–sasaran yang hendak dicapai yang telah ditetapkan. Menunjukkan dunia cita yakni suasana ideal yang harus dijelmakan/diwujud kan. Bersifat abstrak – ideal.

Mencerminkan suasana gerak, aktivitas nyata dalam mencapai sasaran. Merupakan pelaksanaan atau penafsiran dari tujuan yang hendak dicapai. Bersifat riil dan konkrit.

Apabila kita hubungkan dengan negara, maka:

Tujuan menunjukkan apa yang secara ideal hendak dicapai oleh suatu negara,

sedangkan Fungsi adalah pelaksanaan cita–cita itu dalam kenyataan.

a. Tujuan Negara

Rumusan tujuan sangat penting bagi suatu negara yaitu sebagai pedoman:

Penyusunan negara dan pengendalian alat perlengkapan negara.

Pengatur kehidupan rakyatnya.

Pengarah segala aktivitas–aktivitas negara.

Setiap negara pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan

Undang–Undang Dasarnya. Tujuan masing–masing negara sangat dipengaruhi

oleh tata nilai sosial, kondisi geografis, sejarah pembentukannya serta pengaruh

politik dari penguasa negara. Secara umum negara mempunyai tujuan antara

lain sebagai berikut:

Memperluas kekuasaan semata

Page 24: Hukum Keuangan Negara

17 | P a g e

Menyelenggarakan ketertiban umum

Mencapai kesejahteraan umum

b. Fungsi Negara

Secara umum terlepas dari ideologi yang dianutnya, setiap negara

menyelenggarakan beberapa fungsi minimum yang mutlak harus ada. Fungsi

tersebut adalah sebagai berikut:

Melaksanakan penertiban (Law and order): untuk mencapai tujuan bersama

dan mencegah bentrokan–bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus

melaksanakan penertiban. Dalam fungsi ini negara dapat dikatakan sebagai

stabilisator.

Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

Pertahanan: fungsi ini sangat diperlukan untuk menjamin tegaknya

kedaulatan negara dan mengantisipasi kemungkinan adanya serangan yang

dapat mengancam kelangsungan hidup bangsa (negara). Untuk itu negara

dilengkapi dengan alat pertahanan.

Menegakkan keadilan: fungsi ini dilaksanakan melalui lembaga peradilan.

Keseluruhan fungsi negara tersebut di atas diselenggarakan oleh pemerintah

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Fungsi negaradapat juga

diartikan sebagai tugas organisasi negara. Secara umum tugas negara meliputi:

Tugas Essensial adalah mempertahankan negara sebagai organisasi politik

yang berdaulat, meliputi: (a). Tugas internal negara yaitu memelihara

ketertiban, ketentraman, keamanan, perdamaian dalam negara serta

melindungi hak setiap orang; dan (b). Tugas eksternalyaitu mempertahankan

kemerdekaan/kedaulatan negara.

Tugas Fakultatif adalah menyelenggarakan dan memperbesar kesejahteraan

umum.

Beberapa pendapat para ahli tentang tujuan negara:

Plato: tujuan negara adalah memajukan kesusilaan manusia.

Roger H Soltau: tujuan negara adalah mengusahakan agar rakyat

berkembang serta mengembangkan daya cipta sebebas mungkin.

John Locke: tujuan negara adalah menjamin suasana hukum individu secara

alamiah atau menjamin hak–hak dasar setiap individu.

Page 25: Hukum Keuangan Negara

18 | P a g e

Harold J Laski: tujuan negara adalah menciptakan keadaan agar rakyat dapat

memenuhi keinginannya secara maximal.

Montesquieu: tujuan negara adalah melindungi diri manusia sehingga dapat

tercipta kehidupan yang aman, tentram dan bahagia.

Aristoteles: tujuan negara adalah menjamin kebaikan hidup warga negaranya.

UUD 1945 Alinea ke IV dari Pembukaan Undang‐undang Dasar 1945, yang

menyatakan “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara

Indonesia yang (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia, (ii) meningkatkan kesejahteraan umum, (ii) mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial”.

E. Aktualisasi fungsi hukum administrasi negara dalam mewujudkan

pemerintahan yang baik.

1. Mewujudkan Pemerintahan yang Baik

Meskipun diketahui bahwa penyelenggaraan negara dilakukan oleh beberapa

lembaga negara, akan tetapi aspek penting penyelenggaraan negara terletak

pada aspek pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden

memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk

dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara pemerintahan atau sebagai

administrasi negara. Sebagai administrasi negara, pemerintah diberi wewenang

baik berdasarkan atribusi, delegasi, ataupun mandat untuk melakukan

pembangunan dalam rangka merealisir tujuan-tujuan negara yang telah

ditetapkan. Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah berwenang untuk

melakukan pengaturan dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Agar

tindakan pemerintah dalam menjalankan pembangunan dan melakukan

pengaturan serta pelayanan ini berjalan dengan baik, maka harus didasarkan

pada aturan hukum. Di antara hukum yang ada ialah Hukum Administrasi Negara

termasuk dalam pengelolaan keuangan negara, yang memiliki fungsi normatif,

fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Adanya Hukum Keuangan Negara secara

khusus memberikan kepastian adanya kepercayaan publik (public trust) bahwa

para penyelenggara Negara melakasankan tugas dan fungsi bersumber hokum

dan aturan. Disisi lain memberikan kepastian hukum bagi pengelenggara Negara

Page 26: Hukum Keuangan Negara

19 | P a g e

dalam melaksanakan tugas kedepan dipayungi oleh hukum. Seperti telah

disebutkan di atas, fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan

memerintah berkaitan dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen

yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah

dan norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus

menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.

Ketika pemerintah akan menjalankan pemerintahan, maka kepada

pemerintah diberikan kekuasaan, yang dengan kekuasaan ini pemerintah

melaksanakan pembangunan, pengaturan dan pelayanan. Agar kekuasaan ini

digunakan sesuai dengan tujuan diberikannya, maka diperlukan norma-norma

pengatur dan pengarah. Dalam Penyelenggaraan pembangunan, pengaturan,

dan pelayanan, pemerintah menggunakan berbagai instrumen yuridis. Pembuatan

dan pelaksanaan instrumen yuridis ini harus didasarkan pada legalitas dengan

mengikuti dan mematuhi persyaratan formal dan metarial. Dengan didasarkan

pada asas legalitas dan mengikuti persyaratan, maka perlindungan bagi

administrasi negara dan warga masyarakat akan terjamin. Dengan demikian,

pelaksanaan fungsi-fungsi Hukum Keuangan Negara adalah dengan membuat

penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan,

sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara

maupun warga masyarakat.

2. Implementasi pemikiran tersebut antara lain:

a. Tercermin dalam pasal 2 dan pasal 7 ayat 1 UU 17 Tahun 2003. Hal ini karena

tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, hanya

dapat direalisasikan melalui tugas layanan umum pemerintahan (kewajiban

negara, pasal 2 UU KN) yang dapat dijalankan melalui kekuasaan atas

pengelolaan keuangan negara.

b. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara oleh Presiden didelegasikan

kepada:

Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam

kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;

Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang

kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;

Page 27: Hukum Keuangan Negara

20 | P a g e

Diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala

pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili

pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Page 28: Hukum Keuangan Negara

21 | P a g e

BAB

PENGERTIAN DAN ISTILAH-ISTILAH

KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG

A. Pengertian Keuangan Negara

1. Menurut UUD 1945

a. APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap

tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan

bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (pasal 23:

ayat 1)

b. Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.

Catatan:Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat

pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya,

yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan

pertanggungjawaban. (Pasal 1 ayat 8; UU 15 Tahun 2006 tentang BPK)

2. Menurut Undang-undang:

a. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat

dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa

barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan

hak dan kewajiban tersebut. (UU 17/2003; Pasal 1 ayat 1)

b. Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-

undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab

dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.( UU 17/2003; pasal 3

ayat 1)

3 Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami

mengenai pengertian keuangan negara, pengertian perusahaan miliki negara/daerah,

pengertian APBN, pengertian tahun anggaran, dan pengertian surplus penerimaan.

Page 29: Hukum Keuangan Negara

22 | P a g e

B. Pengertian Perusahaan Milik Negara/Daerah

1. Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya

dimiliki oleh Pemerintah Pusat. (Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya

disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya

dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari

kekayaan negara yang dipisahkan.<Pasal 1 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003>)

2. Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya

dimiliki oleh Pemerintah Daerah.

Catatan:Apakah asset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan

negara?Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik

Negara menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut

Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya

terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu

persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan

utamanya mengejar keuntungan.

Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan terhadap Persero berlaku segala ketentuan

dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2000 tentang Perseroan Terbatas.

3. Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan

modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.

C. Pengertian APBN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN,

adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan

Perwakilan Rakyat.

1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah

rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

2. APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap

tahun ditetapkan dengan undang-undang.

3. APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap

tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Page 30: Hukum Keuangan Negara

23 | P a g e

4. APBN/APBD mempunyai fungsi-fungsi: otorisasi, perencanaan (lihat PP 20 dan

21 Th 2004 tentang RKP dan RKAKL), pengawasan (lihat UU N0. 15 Tahun

2004, UU No.15 Tahun 2006, Peraturan BPK No.1 Tahun 2007 dsb), alokasi,

distribusi, dan stabilisasi.

5. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban

negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam

APBN. (lihat PP 39 Th 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah)

6. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban

daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam

APBD.

D. Pengertian Penerimaan, Pengeluaran, Pendapatan, Belanja, dan

Pembiayaan.

1. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.

2. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara. (lihat PP 39 Th

2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah).

3. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.

4. Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.

5. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah

nilai kekayaan bersih.

6. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai

penambah nilai kekayaan bersih.

7. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai

pengurang nilai kekayaan bersih.

8. Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai

pengurang nilai kekayaan bersih.

9. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau

pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang

bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

E. Pengertian Tahun Anggaran.

Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari

sampai dengan tanggal 31 Desember. (pasal 4 UU 17/2003)

Page 31: Hukum Keuangan Negara

24 | P a g e

Catatan:

Tahun Anggaran (TA) yang berlaku dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31

Desember diperkenalkan mulai Tahun Anggaran 2000 dimana sebelumnya TA

adalah mulai tanggal 1 April sampai dengan tanggal 31 Maret tahun berikutnya.

Pada masa peralihan yaitu pada tahun 2000, TA berlaku dari 1 April sd 31

Desember.

F. Pengertian surplus penerimaan.

1. Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai

pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya.

2. Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam

ayat (diatas) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan (modal/saham

pemerintah) pada Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan

terlebih dahulu dari DPR/DPRD.

Catatan:

Surplus Penerimaan Negara tersebut dimungkinkan bilamana Pendapatan >

Belanja

Page 32: Hukum Keuangan Negara

25 | P a g e

BAB

KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN

KEUANGAN NEGARA

A. Fungsi Presiden sebagai Pemegang Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan

Negara

1. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan

keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.

(Pengertian Kekuasaan Pemerintahan adalah sebagaimana tertuang dalam: (i)

pasal 4 ayat 1 UUD 1945: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan

pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”[kewenangan atributif] dan (ii)

pasal 5 ayat 2 UUD 1945 yakni “Presiden menetapkan peraturan pemerintah

untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya” dan pasal-pasal

tentang “Kementerian Negara, Pemerintahan Daerah”); [hal ini bermakna

Presiden selaku pemegang kekuasaan Pemerintahan, maka berkewajiban

menjalankan Undang-undang].

Catatan: Pernyataan bahwa “kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai

bagian dari kekuasaan pemerintahan” …… mengandung makna: siapapun yang

menguasai Pemerintahan berarti mengusai Keuangan Negara.

2. Presiden secara otomatis karena perannya dalam Pemerintahan yang bila

dikaitkan dengan Keuangan Negara haruslah sebagai “penguasa” atas

Keuangan Negara tersebut, karena HAL KEUANGAN (pasal 23 UUD 1945)

dipergunakan sebagai sarana untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia SERTA mencapai kesejahteraan umum dan

4

Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu mengerti dan memahami

mengenai Fungsi Presiden sebagai Pemegang Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan

Negara, Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara, dan Pengertian

Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Daerah.

Page 33: Hukum Keuangan Negara

26 | P a g e

untukkemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar

disatu sisi dan keharusan seorang Presiden sebagai kepala pemerintahan yang

mendapat tugas untuk melaksanakan hal tersebut.

B. Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara.

1. Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan

bernegara.

2. Tujuan bernegara tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:”……….melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…..”

3. Tujuan Negara (tujuan bernegara) yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945

tersebut yakni “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa” diperlukan adanya biaya atau dana yang memadai, karena wujud

“perlindungan bangsa” tersebut bisa berupa peningkatan anggaran “Hankam”

maupun “Kepolisian”; begitu juga wujud “mencerdaskan kehidupan bangsa” dapat

berupa peningkatan anggaran “pendidikan” dsb.

4. Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan

bernegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (diatas) setiap tahun disusun

APBN dan APBD.

C. Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Daerah.

1. Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara oleh Presiden sebagian

diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah

untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam

kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

2. Hubungan Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara dan Tujuan

bernegara

a. Pokok-pokok pikiran:

1) Tujuan bernegara (pengertian, definisi dsb)…..alinea IV Pembukaan UUD

1945.

Page 34: Hukum Keuangan Negara

27 | P a g e

2) Siapa yang harus menjalankan/yang mempunyai kewajiban

menjalankan/mencapai “tujuan bernegara” tersebut…….. (benarkah)

Pemerintah.

3) Dengan cara bagaimana untuk mencapai “tujuan bernegara” tersebut…

Kewenangan dan Penyediaan Dana

4) Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara………(harus) dikuasai oleh

Pemerintah.

b. Aplikasinya bisa berupa:

1) Tercermin dalam pasal 2 dan pasal 7 ayat 1 UU 17 Tahun 2003. Hal ini karena

tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945,

hanya dapat direalisasikan melalui tugas layanan umum pemerintahan

(kewajiban negara, pasal 2 UU KN) yang dapat dijalankan melalui kekuasaan

atas pengelolaan keuangan negara.

2) Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara oleh Presiden didelegasikan*)

kepada:

Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam

kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;

Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang

kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;

Diserahkan**) kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala

pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili

pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

CATATAN:

*) “didelegasikan” merupakan konsep pelimpahan wewenang dalam HAN atau HTUN

dimana si penerima delegasi mengambil alih seluruh tugas dan tanggung jawab

dari si pemberi delegasi. Keika pendelegasian sedang berlangsung, si pemberi

delegasi tidak berhak lagi turut campur terhadap apa yang sudah di

delegasikannya sepanjang belum/tidak ada pencabutannya.

**) Istilah “diserahkan” mengacu kepada kaidah OTONOMI DAERAH. [UUD 1945

pasal 18 ayat 5:”.. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,

kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

Pemerintah Pusat.**)…” dan psl 18A ayat 2:”… Hubungan keuangan, pelayanan

umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara

Page 35: Hukum Keuangan Negara

28 | P a g e

pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil

dan selaras berdasarkan undang-undang. **….”

Latihan Soal:

1. Presiden secara otomatis karena perannya dalam Pemerintahan haruslah

sebagai “penguasa” atas Keuangan Negara tersebut. Jelaskan jawaban Saudara.

2. Buatlah analisa (secara) menyeluruh tentang “pokok-pokok pikiran” Hubungan

Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara dan Tujuan bernegara

3. Apapengertian “didelegasikan” dan “diserahkan”, dalam konteks kekuasaan

Pengelolaan Keuangan Negara berada ditangan Presiden yang telah dalam

kondisi kedua hal tersebut.

Page 36: Hukum Keuangan Negara

29 | P a g e

BAB

KETENTUAN MENGENAI PIDANA,

SANKSI ADMINISTRATIF DAN GANTI RUGI (1)

A. Aspek Pidana pada Pengelolaan Keuangan Negara

Undang-Undang tentang APBN/APBD merupakan pedoman pengelolaan

keuangan dan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap pejabat

pengelola keuangan dan setiap penyimpangan akan dikaitkan dengan adanya sanksi

hukum.

Sanksi hukum yang dikenakan berupa pemidanaan maupun sanksi

administratif.Setiap pejabat pengelola keuangan yang terbukti melakukan

penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang

tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan

denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

5

Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu mengerti dan memahami

mengenai Aspek Pidana pada Pengelolaan Keuangan Negara, Pengenaan Pidana

berdasarkan Paket Undang-Undang Keuangan Negara, Pengenaan Pidana berdasarkan

KUHP, Pengenaan Pidana berdasarkan Undang-Undang TIPIKOR

Page 37: Hukum Keuangan Negara

30 | P a g e

Catatan:

PENYIMPANGAN ------------------------------------------------- SANKSI HUKUM

PEMIDANAAN SANKSI ADMINISTRATIF

“pejabat pengelola keuangan”

KEGIATAN laks APBN

Penyimp> kegiatan ANGGARAN pidana penjara

denda

B. Pengenaan Pidana berdasarkan Paket Undang-Undang Keuangan Negara

1. Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan

penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang

APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan

denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.(Pasal 34 ayat 1 UU 17/2003)

2. Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja

Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran

yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah

tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan

ketentuan undang-undang. (Pasal 34 ayat 2 UU 17/2003)

3. Apabila dalam pemeriksaan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud

pada uraian: “Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara

ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan”, ditemukan unsur pidana, Badan

Page 38: Hukum Keuangan Negara

31 | P a g e

Pemeriksa Keuangan menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan

perundangundangan yang berlaku.Putusan pidana tidak membebaskan dari

tuntutan ganti rugi.

4. Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah

ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi

administratif dan/atau sanksi pidana.

C. Pengenaan Pidana berdasarkan KUHP

Pasal-pasal pemidanaan dalam KUHP adalah: 209, 210, 387, 388, 415,

416,417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP; dan tentang gratifikasi yakni pada

pasal 418, 419 dan 420 K.U.H.P.

Catatan:

Pasal 209

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat

dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu

dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

2. barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau

berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan

atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Pasal 210

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim

dengan maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara yang

diserahkan kepadanya untuk diadili;

2. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang yang

menurut ketentuan undang-undang ditentukan menjadi penasihat atau

adviseur untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud untuk

mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung

dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Page 39: Hukum Keuangan Negara

32 | P a g e

(2) Jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud supaya dalam perkara

pidana dijatuhkan pemidanaan, maka yang bersalah diancam dengan pidana

penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 415

Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum

terus-menerus atau untuk sementara waktu,Yang dengan sengaja menggelapkan

uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan

uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong

sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana

penjara paling lama tujuh tahun.

*)Selanjutnya Pasal-pasal dalam KUHP tersebut:

Pasal 387

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun seorang pemborong

atau ahli bangunan atau penjual bahan-bahan bangunan, yang pada waktu

membuat bangunan atau pada waktu menyerahkan bahan-bahan bangunan,

melakukan sesuatu perhuatan curang yang dapat membahayakan amanan orang

atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa yang bertugas mengawasi

pemhangunan atau penyerahan barang-barang itu, sengaja membiarkan

perbuatan yang curang itu.

Pasal 388

(1) Barang siapa pada waktu menyerahkan barang keperluan Angkatan Laut atau

Angkatan Darat melakukan perbuat.an curang yang dapat membahayakan

kesempatan negara dalam keadaan perang diancam dengan pidana penjara

paling lama tujuh tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa yang bertugas mengawasi

penyerahan barang-barang itu, dengan sengaja membiarkan perbuatan yang

curang itu.

Pasal 416

Seorang pejabat atau orang lain yang diheri tugas menjalankan suatu jabatan umum

terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang sengaja membuat secara palsu

atau memalsu buku buku-buku daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan

administrasi, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Page 40: Hukum Keuangan Negara

33 | P a g e

Pasal 417

Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum

terus-menerus atau untuk sementara waktu yang sengaja menggelapkan,

menghancurkan. merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barang-barang yang

diperuntukkan guna meyakinkan atau membuktikan dimuka penguasa yang

berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang dikuasai nya karena

jabatannya, atau memhiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,

merusakkan atau memhikin

tak dapat di pakai barang-barang itu, atau menolong sebagai pembantu dalam

melakukan perbuatan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun

enam bulan.

Pasal 418

Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya

harus diduganya., hahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau

kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran

orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya diancam

dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak

empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 419

Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun seorang pejabat:

1. yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji

itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan

sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

2. yang menerinia hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat.

Atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu

dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pasal 420

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun:

1. seorang hakim yang menerima hadiah atau janji. padahal diketahui bahwa

hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang

menjadi tugasnya;

2. barang siapa menurut ket.entuan undang-undang ditunjuk menjadi penasihat

untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal

Page 41: Hukum Keuangan Negara

34 | P a g e

diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat

tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu.

(2) Jika hadiah atau janji itu diterima dengan sadar bahwa hadiah atau janji itu

diberikan supaya dipidana dalam suatu perkara pidana, maka yang bersalah

diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 421

Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk

melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana

penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Pasal 422

Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan barana paksaan,

baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam

dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 423

Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang

untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan

potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan

pidana penjara paling lama enam tahun.

Pasal 435

Seorang pejabat yang dengan langsung maupun tidak langsung sengaja turut serta

dalam pemborongan, penyerahan atau persewaan, yang pada saat dilakukan

perbuatan, untuk seluruh atau sebagian, dia ditugaskan mengurus atau

mengawasinya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau

pidana denda paling banyak delapan belas ribu rupiah.

D. Pengenaan Pidana berdasarkan Undang-Undang TIPIKOR( UU Tindak

Pidana Korupsi / UU No.31 Th 1999 diubah dengan UU No.20 Th 2001 )

1. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang secara langsung atau tidak

langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau

diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara; dipidana penjara dengan penjara

Page 42: Hukum Keuangan Negara

35 | P a g e

seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua

ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

(Pasal 2 ayat 1 UU No.31/1999)

2. barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang

ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak

langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara;

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda

paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (Pasal 3 UU No.31/1999)

3. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak

menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana

Latihan Soal

1. Apa pengertian PENYIMPANGAN KEBIJAKAN, yang telah ditetapkan dalam

undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD.

Jelaskan bentuk dan jenis dari Penyimpangan Kebijakan tsb.disertai contoh.

2. Apa pengertian PENYIMPANGAN KEGIATAN ANGGARAN

Jelaskan bentuk dan jenis dari Penyimpangan Kegiatan Anggaran tsb., disertai

contoh.

3. Apa syarat seseorang dapat dipidana?

4. Bagaimana “menarik” seseorang untuk dapat dikenai sanksi pidana dengan

dakwaan melakukan “kegiatan penyimpangan anggaran?”

Page 43: Hukum Keuangan Negara

36 | P a g e

BAB

KETENTUAN MENGENAI PIDANA,

SANKSI ADMINISTRATIF DAN GANTI RUGI (2)

A. Pengertian Sanksi Administratif

Hukuman yang dijatuhkan kepada Pegawai Negeri Sipil dan atau Calon

Pegawai Negeri Sipil karena melanggar Peraturan perundangan, antara lain:

1. melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara,

Pemerintah, atau Pegawai Negeri Sipil;

2. menyalahgunakan wewenangnya;

3. tanpa izin Pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing;

4. menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara;

5. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan

barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik Negara secara tidak

sah;

6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau

orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk

keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak

langsung merugikan Negara;

7. melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam

terhadapbawahannya atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan

kerjanya;

8. menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga

yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau

6

Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengerti dan memahami menganai

Pengertian Sanksi Administratif, Ketentuan mengenai Sanksi Administratif, Prosedur

Pemeriksaan, Penjatuhan, dan Penyampaian Keputusan Hukuman, dan Ganti Rugi dan

Tuntutan Ganti Rugi.

Page 44: Hukum Keuangan Negara

37 | P a g e

mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil

yang bersangkutan;

9. memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat

Pegawai Negeri Sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan;

10. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;

11. melakukan sesuatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang

dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya

sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;

12. menghalangi berjalannya tugas kedinasan;

13. membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui karena

kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain;

14. bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk

mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah;

15. memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam

ruang lingkup kekuasaannya;

16. memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatan usahanya tidak berada dalam

ruang lingkup kekuasaannya tetapi yang jumlah dan sifat pemilikan itu

sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung

atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan;

17. melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi, maupun sambilan,

menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang

berpangkat Pembina (golongan ruang IV/a) ke atas atau yang memangku

jabatan eselon I;

18. melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan

tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain;

(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1980 Tentang

Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil diubah dengan PP No.53 Th 2010)

B. Ketentuan mengenai Sanksi Administratif

Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam peraturan perundangundangan

pidana, Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman

disiplin oleh pejabat yang berwenang menghukum.

Page 45: Hukum Keuangan Negara

38 | P a g e

1. Tingkat hukuman disiplin terdiri dari:

a. hukuman disiplin ringan;

b. hukuman disiplin sedang; dan

c. hukuman disiplin berat.

2. Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari:

a. tegoran lisan;

b. tegoran tertulis; dan

c. pernyataan tidak puas secara tertulis.

3. Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari:

a. penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun;

b. penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1

(satu) tahun; dan

c. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun.

4. Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari:

a. penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling

lama 1 (satu) tahun;

b. pembebasan dari jabatan;

c. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai

Pegawai Negeri Sipil; dan

d. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

C. Prosedur Pemeriksaan, Penjatuhan, dan Penyampaian Keputusan Hukuman

1. Sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, pejabat yang berwenang menghukum

wajib memeriksa lebih dahulu Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan

pelanggaran disiplin itu.

2. Pemeriksaan dilakukan:

a. secara lisan, apabila atas pertimbangan pejabat yang berwenang

menghukum, pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil

yang bersangkutan akan dapat mengakibatkan ia dijatuhi salah satu jenis

hukuman disiplin, sebagaimana nomor B.3 diatas.

b. secara tertulis, apabila atas pertimbangan pejabat yang berwenang

menghukum, pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil

Page 46: Hukum Keuangan Negara

39 | P a g e

yang bersangkutan akan dapat mengakibatkan ia dijatuhi salah satu jenis

hukuman disiplin, sebagaimana nomor B.4 diatas.

c. Pemeriksaan Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran

disiplin, dilakukan secara tertutup.

D. Pengertian Ganti Rugi dan Tuntutan Ganti Rugi berdasar UU No.1 /2004

Pasal 59:

(1) Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar

hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena

perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan

kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti

kerugian tersebut.

(3) Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat

daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui

bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah

yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak mana pun.

E. Prosedur dan ketentuan Ganti Rugi (UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN

dan Peraturan Pelaksanaannya)

Dalam sengketa Tata Usaha Negara, putusan Pengadilan yang mengabulkan

permohonan tergugat yang berisi antara lain pencabutan atau pembatalan

Keputusan TUN yang disengketakan, dan dalam hal segketa Kepegawaian ada juga

pemberian Rehabilitasi dan Ganti Rugi, maka hal-hal mengenai Ganti Rugi diatur

dalam:

Pasal 120

(1) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi

dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan

Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban membayar

Page 47: Hukum Keuangan Negara

40 | P a g e

ganti rugi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3) Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 97 ayat (10) diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah.

F. Prosedur dan ketentuan Tuntutan Ganti Rugi

Pasal 60 (UU NO 1 Tahun 2004):

(1) Setiap kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala kantor

kepada menteri/pimpinan lembaga dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa

Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian negara itu

diketahui.

(2) Segera setelah kerugian negara tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai

negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum

atau melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2)

segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa

kerugian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian

negara dimaksud.

(3) Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak

dapat menjamin pengembalian kerugian negara, menteri/pimpinan lembaga yang

bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian

kerugian sementara kepada yang bersangkutan.

Latihan Soal:

1. Mengapa pemeriksaan Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan

pelanggaran disiplin, dilakukan secara tertutup. Jelaskan.

2. Mengapa pemeriksaan Pegawai Negeri Sipil yang berakibat akan mendapatkan

Jenis hukuman disiplin berat harus dilakukan secara tertulis? Jelaskan dan

uraikan bagaimana pelaksanaannya.

3. Adakah upaya Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran

disiplin untuk melakukan upaya pembelaan diri? Bandingkan upaya pembelaan

diri tersebut bilamana Jenis hukuman disiplin berat telah dijatuhkan.

Page 48: Hukum Keuangan Negara

41 | P a g e

4. Pasal 60(1)…” Setiap kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan langsung

atau kepala kantor kepada menteri/pimpinan lembaga dan diberitahukan kepada

Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah

kerugian negara itu diketahui”. Ceriterakan dengan mengambil contoh kasus,

sehingga pasal diatas menjadi jelas dalam pelaksanaannya.

5. Bandingkan dan telaah pasal tentang TGR antara paket UU Keuangan dengan

ICW.

Referensi untuk Ganti Rugi dapat dipelajari pada:

1. UU No. 15 Tahun 2006 dan penggantinya tentang BPK

2. Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007

3. Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007

4. RPP tentang TGR (Rancangan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan

Republik Indonesia Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian

Negara/Daerah Terhadap Bendahara)

Page 49: Hukum Keuangan Negara

42 | P a g e

BAB

PENGELOLAAN KEUANGAN

BADAN LAYANAN UMUM

Dasar Hukum:

UU NO.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 68 dan 69:

Pasal 68

(1) Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan

kehidupan bangsa.

(2) Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara/daerah yang

tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk

menyelenggarakan kegiatan Badan Layanan Umum yang bersangkutan

(3) Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah pusat dilakukan oleh

Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang

bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.

(4) Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah daerah dilakukan oleh

pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala

satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang

pemerintahan yang bersangkutan.

Pasal 69

(1) Setiap Badan Layanan Umum wajib menyusun rencana kerja dan anggaran

tahunan.

7 Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami

mengenai pengertian Badan Layanan Umum, tujuan dan asas, persyaratan, penetapan,

dan pencabutan status blu, standar dan tarif layanan, pengelolaan keuangan blu, tata

kelola, dan pembinaan dan pengawasan.

Page 50: Hukum Keuangan Negara

43 | P a g e

(2) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan

Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan

dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja

Kementerian Negara/Lembaga/pemerintah daerah.

(3) Pendapatan dan belanja Badan Layanan Umum dalam rencana kerja dan

anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dan nomor (2)

dikonsolidasikan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian

Negara/Lembaga/pemerintah daerah yang bersangkutan.

(4) Pendapatan yang diperoleh Badan Layanan Umum sehubungan dengan jasa

layanan yang diberikan merupakan Pendapatan Negara/Daerah.

(5) Badan Layanan Umum dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari

masyarakat atau badan lain.

(6) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada nomor (4) dan nomor (5) dapat

digunakan langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum yang

bersangkutan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum

diatur dalam peraturan pemerintah.

A. Pengertian BADAN LAYANAN UMUM

1. Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di

lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa

mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya

didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

2. Pola Pengelolaan Keuangan <PPK> Badan Layanan Umum, yang selanjutnya

disebut PPK-BLU, adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan

fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang

sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka

memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,

sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005, sebagai

pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.

Page 51: Hukum Keuangan Negara

44 | P a g e

3. Rencana Bisnis dan Anggaran BLU, yang selanjutnya disebut RBA, adalah

dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan,

target kinerja, dan anggaran suatu BLU.

4. Standar Pelayanan Minimum adalah spesifikasi teknis tentang tolok ukur

layananminimum yang diberikan oleh BLU kepada masyarakat.

5. “Praktek bisnis yang sehat”adalah penyelenggaraan fungsi organisasi

berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian

layanan yang bermutu dan berkesinambungan.

B. Tujuan Dan Asas

Tujuan:

BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam

rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa

dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip

ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.

Asas:

1. BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah

daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya

berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang

bersangkutan.

2. BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian

negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak

terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi

induk.

3. Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas

pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang

didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan.

4. Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan

kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh

menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/ walikota.

5. BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian

keuntungan.

Page 52: Hukum Keuangan Negara

45 | P a g e

6. Rencana kerja dan anggaran(RKA-BLU) serta laporan keuangan dan kinerja BLU

(LKK-BLU) disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

rencana kerja dan anggaran (RKA-KLPD) serta laporan keuangan dan kinerja

(LKK-KLPD) kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.

7. BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktek bisnis

yang sehat.

C. PERSYARATAN, PENETAPAN, DAN PENCABUTAN STATUS BLU

1. Persyaratan:

(1) Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan

dengan PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan: substantif, teknis, dan

administratif.

(2) Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud pada nomor (1) terpenuhi

apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan

umum yang berhubungan dengan:

Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;

Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan

perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau

Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau

pelayanan kepada masyarakat.

(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada nomor (1) terpenuhi apabila:

kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsi(TUPOKSI)nyalayak

dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana

direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai

dengan kewenangannya; dan

kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat

sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.

(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada nomor (1) terpenuhi

apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh

dokumen berikut:

pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan,

keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;

pola tata kelola;

Page 53: Hukum Keuangan Negara

46 | P a g e

rencana strategis bisnis;

laporan keuangan pokok;

standar pelayanan minimum; dan

laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara

independen.

(5) Dokumen sebagaimana dimaksud pada nomor (4) disampaikan oleh unit

instansi berkenaan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk

mendapatkan persetujuan (rekomendasi) sebelum disampaikan kepada

Menteri Keuangan/Gubernur /Bupati /Walikota, sesuai dengan

kewenangannya.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif sebagaimana

dimaksud pada nomor (4) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan

/gubernur /bupati /walikota sesuai dengan kewenangannya.

(Lihat:Peraturan Menteri Keuangan Nomor 07/PMK.02/2006)

2. Penetapan:

(1) Menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD mengusulkan instansi pemerintah

yang memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif untuk

menerapkan PPK-BLU kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota,

sesuai dengan kewenangannya.

(2) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota menetapkan instansi pemerintah

yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada nomor (1)

untuk menerapkan PPK-BLU.

(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) dapat berupa pemberian

status BLU secara penuh atau status BLU bertahap.

(4) Status BLU secara penuh diberikan apabila seluruh persyaratan

sebagaimana dimaksud pada nomor (3.1.) telah dipenuhi dengan

memuaskan.

(5) Status BLU-Bertahap diberikan apabila persyaratan substantif dan teknis

sebagaimana dimaksud dalam (3.1.) “ketentuan Persyaratan” nomor (2) dan

nomor (3) telah terpenuhi, namun persyaratan administratif sebagaimana

dimaksud dalam “ketentuan Persyaratan” nomor (4) belum terpenuhi secara

memuaskan.

Page 54: Hukum Keuangan Negara

47 | P a g e

(6) Status BLU-Bertahap sebagaimana dimaksud pada nomor (3) berlaku paling

lama 3 (tiga) tahun.

(7) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,

memberi keputusan penetapan atau surat penolakan terhadap usulan

penetapan BLU paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterima dari

menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD.

3. Pencabutan:

(1) Penerapan PPK-BLU berakhir apabila:

a) dicabut oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan

kewenangannya;

b) dicabut oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota berdasarkan

usul dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan

kewenangannya; atau

c) berubah statusnya menjadi badan hukum dengan kekayaan negara yang

dipisahkan.

(2) Pencabutan penerapan PPK-BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1)

huruf a dan huruf b dilakukan apabila BLU yang bersangkutan sudah tidak

memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan/atau administratif sebagaimana

ditentukan dalam ketentuan “3.1.Persyaratan”.

(3) Pencabutan status sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf c dilakukan

berdasarkan penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,

membuat penetapan pencabutan penerapan PPK-BLU atau penolakannya

paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal usul pencabutan sebagaimana

dimaksud pada nomor (1) huruf b diterima.

(5) Dalam hal jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada nomor

(4) terlampaui, usul pencabutan dianggap ditolak.

(6) Instansi pemerintah yang pernah dicabut dari status PPK-BLU dapat

diusulkan kembali untuk menerapkan PPK-BLU sesuai dengan ketentuan

dalam ketentuan “3.1.Persyaratan”.

Page 55: Hukum Keuangan Negara

48 | P a g e

D. STANDAR DAN TARIF LAYANAN

1. Standar Layanan:

(1) Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU menggunakan standar

pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri /pimpinan lembara

/gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.

(2) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dapat

diusulkan oleh instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU.

(3) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dan

nomor (2) harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan

kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.

2. Tarif Layanan:

(1) BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas

barang/jasa layanan yang diberikan.

(2) Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan sebagaimana dimaksud

pada nomor (1) ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar

perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.

(3) Tarif layanan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) diusulkan oleh BLU

kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan

kewenangannya.

(4) Usul tarif layanan dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sebagaimana

dimaksud pada nomor (3) selanjutnya ditetapkan oleh Menteri

Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya.

(5) Tarif layanan sebagaimana dimaksud pada nomor (3) dan nomor (4) harus

mempertimbangkan:

kontinuitas dan pengembangan layanan

daya beli masyarakat;

asas keadilan dan kepatutan; dan

kompetisi yang sehat.

Page 56: Hukum Keuangan Negara

49 | P a g e

E. PENGELOLAAN KEUANGAN BLU

1. Perencanaan dan Penganggaran

a. Perencanaan

(1) BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu

kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL)

atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

(2) BLU menyusun RBA tahunan dengan mengacu kepada rencana strategis

bisnis sebagaimana dimaksud pada nomor (1).

(3) RBA sebagaimana dimaksud pada nomor (2) disusun berdasarkan basis

kinerja dan perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanannya.

(4) RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan

yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, dan

APBN/APBD.

b. Penganggaran

(1) BLU mengajukan RBA kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD

untuk dibahas sebagai bagian dari RKA-KL, rencana kerja dan anggaran

SKPD, atau Rancangan APBD.

(2) RBA sebagaimana dimaksud pada nomor (1) disertai dengan usulan

standar pelayanan minimum dan biaya dari keluaran yang akan

dihasilkan.

(3) RBA BLU yang telah disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala

SKPD diajukan kepada Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan

kewenangannya, sebagai bagian RKA-KL, rencana kerja dan anggaran

SKPD, atau Rancangan APBD.

(4) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengkaji

kembali standar biaya dan anggaran BLU dalam rangka pemrosesan

RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD

sebagai bagian dari mekanisme pengajuan dan penetapan APBN/APBD.

(5) BLU menggunakan APBN/APBD yang telah ditetapkan sebagai dasar

penyesuaian terhadap RBA menjadi RBA definitif.

2. Dokumen Pelaksanaan Anggaran BLU (DIPA/DPA)

(1) RBA BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 nomor (5) PP No.23

Tahun 2005 digunakan sebagai acuan dalam menyusun dokumen

Page 57: Hukum Keuangan Negara

50 | P a g e

pelaksanaan anggaran BLU untuk diajukan kepada Menteri

Keuangan/PPKD sesuai dengan kewenangannya.

(2) Dokumen pelaksanaan anggaran BLU sebagaimana dimaksud pada

nomor (1) paling sedikit mencakup seluruh pendapatan dan belanja,

proyeksi arus kas, serta jumlah dan kualitas jasa dan/atau barang yang

akan dihasilkan oleh BLU.

(3) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengesahkan

dokumen pelaksanaan anggaran BLU paling lambat tanggal 31 Desember

menjelang awal tahun anggaran.

(4) Dalam hal dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada

nomor (3) belum disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan

kewenangannya, BLU dapat melakukan pengeluaran paling tinggi

sebesar angka dokumen pelaksanaan anggaran tahun lalu.

(5) Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri

Keuangan/PPKD sebagaimana dimaksud pada nomor (3) menjadi

lampiran dari perjanjian kinerja (semacam “Petunjuk Operasional/PO-

BLU”) yang ditandatangani oleh menteri/pimpinan

lembara/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,

dengan pimpinan BLU yang bersangkutan.

(6) Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri

Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, sebagaimana

dimaksud pada nomor (3) menjadi dasar bagi penarikan dana yang

bersumber dari APBN/APBD oleh BLU.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan, pengajuan, penetapan,

perubahan RBA dan dokumen pelaksanaan anggaran BLU diatur dengan

Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan

kewenangannya.

3. Pendapatan dan Belanja

1) Pendapatan

(1) Penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan

sebagai pendapatan BLU.

Page 58: Hukum Keuangan Negara

51 | P a g e

(2) Pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada

masyarakat dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau

badan lain merupakan pendapatan operasional BLU.

(3) Hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan

pendapatan yang harus diperlakukan sesuai dengan peruntukan.

(4) Hasil kerjasama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya

merupakan pendapatan bagi BLU.

(5) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada nomor (1), nomor (2), dan

nomor (4) dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja BLU sesuai

RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 PP No. 23 Tahun 2005.

(6) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada nomor (2), nomor (3), dan

nomor (4) dilaporkansebagai pendapatan negara bukan pajak(PNBP)

kementerian/lembaga atau pendapatan bukan pajak pemerintah daerah.

2) Belanja

(1) Belanja BLU terdiri dari unsur biaya yang sesuai dengan struktur biaya

yang dituangkan dalam RBA definitif.

(2) Pengelolaan belanja BLU diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan

kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah

pengeluaran, mengikuti praktek bisnis yang sehat.

(3) Fleksibilitas pengelolaan belanja sebagaimana dimaksud pada nomor (2)

berlaku dalam ambang batas sesuai dengan yang ditetapkan dalam RBA.

(4) Belanja BLU yang melampaui ambang batas fleksibilitas sebagaimana

dimaksud pada nomor (3) harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan

/gubernur /bupati/ walikota atas usulan menteri/pimpinan lembaga/kepala

SKPD, sesuai dengan kewenangannya.

(5) Dalam hal terjadi kekurangan anggaran, BLU dapat mengajukan usulan

tambahan anggaran dari APBN/APBD kepada Menteri Keuangan/PPKD

melalui menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan

kewenangannya.

(6) Belanja BLU dilaporkan sebagai belanja barang dan jasa kementerian

negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.

Page 59: Hukum Keuangan Negara

52 | P a g e

4. Pengelolaan Kas

1) Dalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai

berikut:

a) merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas;

b) melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan

c) menyimpan kas dan mengelola rekening bank;

d) melakukan pembayaran;

e) mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek; dan

f) memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan

tambahan.

2) Pengelolaan kas BLU dilaksanakan berdasarkan praktek bisnis yang sehat.

3) Penarikan dana yang bersumber dari APBN/APBD dilakukan dengan

menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

4) Rekening bank sebagaimana dimaksud pada nomor 1) huruf c dibuka oleh

pimpinan BLU pada bank umum.

5) Pemanfaatan surplus kas sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf f

dilakukan sebagai investasi jangka pendek pada instrumen keuangan dengan

risiko rendah.

5. Pengelolaan Piutang dan Utang

1) Pengelolaan Piutang

(1) BLU dapat memberikan piutang sehubungan dengan penyerahan barang,

jasa, dan/atau transaksi lainnya yang berhubungan langsung atau tidak

langsung dengan kegiatan BLU.

(2) Piutang BLU dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis,

transparan, dan bertanggung jawab serta dapat memberikan nilai tambah,

sesuai dengan praktek bisnis yang sehat dan berdasarkan ketentuan

peraturan perundangundangan.

(3) Piutang BLU dapat dihapus secara mutlak atau bersyarat oleh pejabat

yang berwenang, yang nilainya ditetapkan secara berjenjang.

(4) Kewenangan penghapusan piutang secara berjenjang sebagaimana

dimaksud pada nomor (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri

Page 60: Hukum Keuangan Negara

53 | P a g e

Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,

dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Pengelolaan Utang

(1) BLU dapat memiliki utang sehubungan dengan kegiatan operasional

dan/atau perikatan peminjaman dengan pihak lain.

(2) Utang BLU dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis,

transparan, dan bertanggung jawab, sesuai dengan praktek bisnis yang

sehat.

(3) Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka

pendek ditujukan hanya untuk belanja operasional.

(4) Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka

panjang ditujukan hanya untuk belanja modal.

(5) Perikatan peminjaman dilakukan oleh pejabat yang berwenang secara

berjenjang berdasarkan nilai pinjaman.

(6) Kewenangan peminjaman sebagaimana dimaksud pada nomor (5) diatur

dengan Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota.

(7) Pembayaran kembali utang sebagaimana dimaksud pada nomor (1)

merupakan tanggung jawab BLU.

(8) Hak tagih atas utang BLU menjadi kadaluarsa setelah 5 (lima) tahun

sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-

undang.

6. Investasi

(1) BLU tidak dapat melakukan investasi jangka panjang, kecuali atas

persetujuan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan

kewenangannya.

(2) Keuntungan yang diperoleh dari investasi jangka panjang merupakan

pendapatan BLU.

7. Pengelolaan Barang

a. Pengadaan

(1) Pengadaan barang/jasa oleh BLU dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi

dan ekonomis, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat.

Page 61: Hukum Keuangan Negara

54 | P a g e

(2) Kewenangan pengadaaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada

nomor (1) diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai yang diatur dalam

Peraturan MenteriKeuangan/gubernur/bupati/walikota.

b. Pengelolaan

(1) Barang inventaris milik BLU dapat dialihkan kepada pihak lain dan/atau

dihapuskan berdasarkan pertimbangan ekonomis.

(2) Pengalihan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada nomor (1)

dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, atau dihibahkan.

(3) Penerimaan hasil penjualan barang inventaris sebagai akibat dari

pengalihan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) merupakan

pendapatan BLU.

(4) Pengalihan dan/atau penghapusan barang inventaris sebagaimana

dimaksud pada nomor (1), nomor (2), dan nomor (3) dilaporkan kepada

menteri/ pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait.

(5) BLU tidak dapat mengalihkan dan/atau menghapus aset tetap, kecuali

atas persetujuan pejabat yang berwenang.

(6) Kewenangan pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap sebagaimana

dimaksud pada nomor (1) diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai dan

jenis barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Penerimaan hasil penjualan aset tetap sebagai akibat dari pengalihan

sebagaimana dimaksud pada nomor (2) merupakan pendapatan BLU.

(8) Pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap sebagaimana dimaksud

pada nomor (2) dan nomor (3) dilaporkan kepada mnteri/pimpinan

lembaga/kepala SKPD terkait.

(9) Penggunaan aset tetap untuk kegiatan yang tidak terkait langsung

dengan tugas pokok dan fungsi BLU harus mendapat persetujuan pejabat

yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(10) Tanah dan bangunan BLU disertifikatkan atas nama Pemerintah

Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan.

(11) Tanah dan bangunan yang tidak digunakan BLU untuk penyelenggaraan

tugas pokok dan fungsinya dapat dialihgunakan oleh menteri/pimpinan

Page 62: Hukum Keuangan Negara

55 | P a g e

lembaga/kepala SKPD terkait dengan persetujuan Menteri Keuangan

/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

8. Penyelesaian Kerugian

Setiap kerugian negara/daerah pada BLU yang disebabkan oleh tindakan

melanggar hukum atau kelalaian seseorang diselesaikan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian kerugian negara/daerah.

9. Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban Keuangan

a. Sistem Informasi

BLU menerapkan sistem informasi manajemen keuangan sesuai dengan

kebutuhan dan praktek bisnis yang sehat.

b. Sistem Akuntansi

(1) Setiap transaksi keuangan BLU harus diakuntansikan dan dokumen

pendukungnya dikelola secara tertib.

(2) Akuntansi dan laporan keuangan BLU diselenggarakan sesuai dengan

Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah yang diterbitkan oleh Asosiasi

profesi akuntansi Indonesia.

(3) Dalam hal tidak terdapat standar akuntansi sebagaimana dimaksud pada

nomor (2), BLU dapat menerapkan standar akuntansi industri yang

spesifik setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

(4) BLU mengembangkan dan menerapkan sistem akuntansi dengan

mengacu pada standar akuntansi yang berlaku sesuai dengan jenis

layanannya dan ditetapkan oleh

menteri/pimpinanlembara/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan

kewenangannya.

c. Pelaporan

(1) Laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 nomor

(2) PP No. 23 Tahun 2005, setidak-tidaknya meliputi laporan realisasi

anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas

laporan keuangan, disertai laporan mengenai kinerja.

(2) Laporan keuangan unit-unit usaha yang diselenggarakan oleh BLU

dikonsolidasikan dalam laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada

nomor (1).

Page 63: Hukum Keuangan Negara

56 | P a g e

(3) Lembar muka laporan keuangan unit-unit usaha sebagaimana dimaksud

pada nomor (2) dimuat sebagai lampiran laporan keuangan BLU.

(4) Laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1)

disampaikan secara berkala kepada menteri/pimpinan

lembaga/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, untuk

dikonsolidasikan dengan laporan keuangan kementerian

negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.

(5) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) disampaikan

kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD serta kepada Menteri

Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,

paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir.

(6) Laporan keuangan BLU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

laporan pertanggungjawaban keuangan kementerian

negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.

(7) Penggabungan laporan keuangan BLU pada laporan keuangan

kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah dilakukan sesuai

dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.

(8) Laporan pertanggungjawaban keuangan BLU diaudit oleh pemeriksa

ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

10. Akuntabilitas Kinerja

(1) Pimpinan BLU bertanggungjawab terhadap kinerja operasional BLU

sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan dalam RBA.

(2) Pimpinan BLU mengihktisarkan dan melaporkan kinerja operasional BLU

secara terintegrasi dengan laporan keuangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 27 nomor (1)PP Nomor 23 Tahun 2005.

11. Surplus dan Defisit

a. Surplus

Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya

kecuali atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai

dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum

Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU.

Page 64: Hukum Keuangan Negara

57 | P a g e

b. Defisit

(1) Defisit anggaran BLU dapat diajukan pembiayaannya dalam tahun

anggaran berikutnya kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui

menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan

kewenangannya.

(2) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya dapat

mengajukan anggaran untuk menutup defisit pelaksanaan anggaran BLU

dalam APBN/APBD tahun anggaran berikutnya.

F. Tata Kelola, Pembinaan Dan Pengawasan

1. Kelembagaan, Pejabat Pengelola, dan Kepegawaian

a. Kelembagaan

Dalam hal instansi pemerintah perlu mengubah status kelembagaannya

untuk menerapkan PPK-BLU, perubahan struktur kelembagaan dari instansi

pemerintah tersebut berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh

menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.

b. Pejabat Pengelola

(1) Pejabat pengelola BLU terdiri atas:

a) Pemimpin;

b) Pejabat keuangan; dan

c) Pejabat teknis.

(2) Pemimpin sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf a berfungsi

sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU yang

berkewajiban:

a) menyiapkan rencana strategis bisnis BLU;

b) menyiapkan RBA tahunan;

c) mengusulkan calon pejabat keuangan dan pejabat teknis sesuai

dengan ketentuan yang berlaku; dan

d) menyampaikan pertanggungjawaban kinerja operasional dan

keuangan BLU.

(3) Pejabat keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf b)

berfungsi sebagai penanggung jawab keuangan yang berkewajiban:

Page 65: Hukum Keuangan Negara

58 | P a g e

a) mengkoordinasikan penyusunan RBA;

b) menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran BLU;

c) melakukan pengelolaan pendapatan dan belanja;

d) menyelenggarakan pengelolaan kas;

e) melakukan pengelolaan utang-piutang;

f) menyusun kebijakan pengelolaan barang, aset tetap, dan investasi

BLU;

g) menyelenggarakan sistem informasi manajemen keuangan; dan

h) menyelenggarakan akuntansi dan penyusunan laporan keuangan.

(4) Pejabat teknis BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf c)

berfungsi sebagai penanggung jawab teknis di bidang masing-masing

yang berkewajiban:

a) menyusun perencanaan kegiatan teknis di bidangnya;

b) melaksanakan kegiatan teknis sesuai menurut RBA; dan

c) mempertanggungjawabkan kinerja operasional di bidangnya.

c. Kepegawaian

(1) Pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU dapat terdiri dari pegawai

negeri sipil dan/atau tenaga profesional non pegawai negeri sipil sesuai

dengan kebutuhan BLU.

(2) Syarat pengangkatan dan pemberhentian pejabat pengelola dan pegawai

BLU yang berasal dari pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada

nomor (1) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

di bidang kepegawaian.

2. Pembinaan dan Pengawasan

1) Pembinaan teknis BLU dilakukan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala

SKPD terkait.

2) Pembinaan keuangan BLU dilakukan oleh Menteri Keuangan/PPKD sesuai

dengan kewenangannya.

3) Dalam pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dan

nomor (2) dapat dibentuk dewan pengawas.

4) Pembentukan dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada nomor (3)

berlaku hanya pada BLU yang memiliki realisasi nilai omzet tahunan menurut

Page 66: Hukum Keuangan Negara

59 | P a g e

laporan realisasi anggaran atau nilai aset menurut neraca yang memenuhi

syarat minimum yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

5) Dewan pengawas BLU di lingkungan pemerintah pusat dibentuk dengan

keputusan menteri/pimpinan lembaga atas persetujuan Menteri Keuangan.

6) Dewan pengawas BLU di lingkungan pemerintah daerah dibentuk dengan

keputusan gubernur/bupati/walikota atas usulan kepala SKPD.

3. Pemeriksaan

1) Pemeriksaan intern BLU dilaksanakan oleh satuan pemeriksaan intern yang

merupakan unit kerja yang berkedudukan langsung di bawah pemimpin BLU.

2) Pemeriksaan ekstern terhadap BLU dilaksanakan oleh pemeriksa ekstern

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Remunerasi

1) Pejabat pengelola, dewan pengawas, dan pegawai BLU dapat diberikan

remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan

profesionalisme yang diperlukan.

2) Remunerasi sebagaimana dimaksud pada nomor 1) ditetapkan berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota atas usulan

menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya.

5. Ketentuan Lain

(1) Investasi yang telah dimiliki atau dilakukan oleh instansi pemerintah pada

badan usaha dan/atau badan hukum sebelum ditetapkan menjadi PPK-BLU

dianggap telah mendapat persetujuan investasi dari Menteri

Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) PP No. 23 Tahun 2005 pada

saat instansi pemerintah dimaksud ditetapkan menjadi PPK-BLU.

(2) Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005, status Badan Usaha

Milik Negara yang berbentuk perusahaan jawatan (Perjan) beralih menjadi

instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU.

6. Ketentuan Peralihan

(1) Perguruan tinggi berstatus Badan Hukum Milik Negara dengan kekayaan

negara yang belum dipisahkan dapat menerapkan PPK-BLU setelah

memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5

PP No. 23 Tahun 2005.

Page 67: Hukum Keuangan Negara

60 | P a g e

(2) Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005, Badan

Usaha Milik Negara yang berbentuk perusahaan jawatan (Perjan) yang

statusnya beralih menjadi PPK-BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37

ayat (2) PP No.23 Tahun 2005, wajib melakukan penyesuaian.

(3) Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan BLU berlaku paling lambat 31 Desember 2005.

Latihan Soal:

1. Dikatakan bahwa “……Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005,

status Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk perusahaan jawatan (Perjan)

beralih menjadi instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU…..”. Jelaskan

ciri-ciri Perusahaan Jawatan (Perjan) tersebut, kelebihan dan kekurangannya.

2. Banyak Perguruan tinggi berupaya meraih status Badan Hukum Milik Negara tapi

mengapa ITS 10 Nopember Surabaya lebih memilih menerapkan PPK-BLU?

Jelaskan.

3. Pengelolaan Keuangan BADAN LAYANAN UMUM tertuang dalam UU NO.1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 68 dan 69. Jelaskan apa

yang menjadi idea dasar dari PPK-BLU tersebut.

4. Jelaskan korelasi antara Tarif Layanan dengan:

a. kontinuitas dan pengembangan layanan;

b. daya beli masyarakat;

c. asas keadilan dan kepatutan; dan

d. kompetisi yang sehat.

5. Dalam pelaksanaannya PPK-BLU ada kelebihan dan kekurangannya. Jelaskan.

Page 68: Hukum Keuangan Negara

61 | P a g e

BAB

PENGELOLAAN BMN

A. Pengertian Barang Milik Negara

1. Barang milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban

APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah

2. Barang milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban

APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah

3. Perolehan yang sah meliputi:

a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;

b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;

c. barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

B. Dasar Hukum Pengelolaan BMN

1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003

2. pasal 48 ayat (2) dan pasal 49 ayat (6) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004

3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006jo PP Nomor 38 Tahun 2008

8

Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu mengerti dan memahami

Pengertian Barang Milik Negara, Dasar Hukum Pengelolaan BMN, Azas dan Lingkup

Pengelolaan BMN, Pejabat Pengelola BMN, Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran,

Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan, Penilaian,

Penghapusan, Pemindahtangan, Penatausahaan, Pengendalian dan Pengawasan serta

Ganti Rugi dan Sanksi

Page 69: Hukum Keuangan Negara

62 | P a g e

C. Azas dan Lingkup Pengelolaan BMN

1. Pengelolaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan asas:

fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi,

akuntabilitas, dan kepastian nilai.

2. Pengelolaanbarang milik negara/daerah meliputi: (disebut Siklus Barang)

a. perencanaan kebutuhan dan penganggaran;

b. pengadaan;

c. penggunaan;

d. pemanfaatan;

e. pengamanan dan pemeliharaan;

f. penilaian;

g. penghapusan;

h. pemindahtanganan;

i. penatausahaan;

j. pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

D. Pejabat Pengelola BMN

1. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara adalah pengelola barang

milik Negara

2. Gubernur/bupati/walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik

daerah. (istilah saya: “Pemegang Kuasa Pengelola Barang Milik Daerah).

3. Menteri/pimpinan lembaga selaku pimpinan kementerian negara/lembaga adalah

pengguna barang milik negara.

4. Kepala Kantor dalam lingkungan kementerian negara/lembaga adalah kuasa

pengguna barang milik negara dalam lingkungan kantor yang dipimpinnya.

5. Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah kuasa pengguna barang milik

daerah dalam lingkungan kantor yang dipimpinnya.

E. Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran

1. Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah disusun dalam Rencana

Kerja dan Anggaran Kementerian negara/Lembaga/satuan kerja perangkat

daerah (RKA-KL-SKPD) setelah memperhatikan ketersediaan barang milik

negara/daerah yang ada.

Page 70: Hukum Keuangan Negara

63 | P a g e

2. Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan

standar harga.

3. Standar barang dan standar kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

ditetapkan oleh pengelola barang setelah berkoordinasi dengan instansi atau

dinas teknis terkait.

4. Pengguna barang menghimpun usul rencana kebutuhan barang yang diajukan

oleh kuasa pengguna barang yang berada di bawah lingkungannya.

5. Pengguna barang menyampaikan usul rencana kebutuhan barang milik

negara/daerah kepada pengelola barang.

6. Pengelola barang bersama pengguna barang membahas usultersebut dengan

memperhatikan data barang pada pengguna barang dan/atau pengelola barang

untuk ditetapkan sebagai Rencana Kebutuhan Barang Milik

Negara/Daerah(RKBMN/D).

F. Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan

1. Pengadaan

Pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-

prinsip: efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/ tidak

diskriminatif dan akuntabel. (catatan: Lihat Keppres 80 Th 2003 jo Perpres 54

Th 2010)

Pengaturan mengenai pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.( catatan: Lihat PP No. 36 Tahun 2005

>Perpres 36/2005)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan pengadaan barang

milik negara/daerah selain tanah diatur dengan Peraturan Presiden.

2. Penggunaan

a. Status penggunaan barang ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:

1) barang milik negara oleh pengelola barangdengan cara sebagai berikut:

Pengguna barang melaporkan barang milik negara yang diterimanya

kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaan

Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan menetapkan status

penggunaan barang milik negara dimaksud.

Page 71: Hukum Keuangan Negara

64 | P a g e

2) barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikotadengan tata cara sebagai

berikut:

Pengguna barang melaporkan barang milik daerah yang diterimanya

kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaan;

Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan mengajukan usul

penggunaan dimaksud kepada gubernur/bupati/walikota untuk ditetapkan

status penggunaannya.

b. Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk

penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan

kerja perangkat daerah, dapat juga untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam

rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi

kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan.

c. Penetapan status penggunaan tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan

ketentuan bahwa tanah dan/atau bangunan tersebut diperlukan untuk

kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang

dan/atau kuasa pengguna barang yang bersangkutan.

d. Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib menyerahkan tanah

dan/atau bangunan yang tidak digunakan kepada:

1) pengelola barang untuk barang milik negara; atau

a) gubernur/bupati/walikota melalui pengelola barang untuk barang milik

daerah.Pengelola barang menetapkan barang milik negara berupa tanah

dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena

sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi

instansi bersangkutan.

b) Gubernur/bupati/walikota menetapkan barang milik daerah berupa tanah

dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena

sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi

instansi bersangkutan.

2) Dalam menetapkan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

pengelola barang memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a) standar kebutuhan tanah dan/atau bangunan untuk menyelenggarakan

dan menunjang tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan;

b) hasil audit atas penggunaan tanah dan/atau bangunan.

Page 72: Hukum Keuangan Negara

65 | P a g e

3) Tindak lanjut pengelolaan atas penyerahan tanah dan/atau bangunan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hal-hal sebagai berikut:

ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas

pokok dan fungsi instansi pemerintah lainnya;

dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi barang milik negara/daerah;

dipindahtangankan

Pengguna barang milik negara yang tidak menyerahkan tanah

dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan

tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan kepada pengelola

barang dikenakan sanksi berupa pembekuan dana pemeliharaan

tanah dan/atau bangunan dimaksud.

Pengguna barang milik daerah yang tidak menyerahkan tanah

dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan

tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan kepada

gubernur/bupati/walikota dikenakan sanksi berupa pembekuan dana

pemeliharaan tanah dan/atau bangunan dimaksud.

Tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan sesuai dengan Pasal

16 ayat (1) dicabut penetapan status penggunaannya.

3. Pemanfaatan

a. Kriteria Pemanfaatan:

1) Pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan

sebagaimana dimaksud (dalam ayat:” Pengelola barang menetapkan barang

milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh

pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan

tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan “) dilaksanakan oleh pengelola

barang.

2) Pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan

sebagaimana dimaksud (dalam ayat:” Gubernur/bupati/walikota menetapkan

barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan

oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk

menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan”)

dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan

gubernur/bupati/walikota.

Page 73: Hukum Keuangan Negara

66 | P a g e

3) Pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan

yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi

pengguna barang/kuasa pengguna barang dilakukan oleh pengguna barang

dengan persetujuan pengelola barang.

4) Pemanfaatan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan

dilaksanakan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang.

5) Pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan

pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara/daerah dan

kepentingan umum

b. Bentuk-bentuk Pemanfaatan

1) Sewa

(1) Penyewaan barang milik negara/daerah dilaksanakan denganbentuk:

a) penyewaan barang milik negara atas tanah dan/atau bangunan yang

sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada pengelola;

b) penyewaan barang milik daerah atas tanah dan/atau bengunan yang

sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada

gubernur/bupati/walikota;

c) penyewaan atas sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih

digunakan oleh pengguna barang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19 ayat (3) PP 6/2006;

d) penyewaan atas barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau

bangunan.

(2) Penyewaan atas barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a dilaksanakan oleh pengelola barang.

(3) Penyewaan atas barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat

persetujuan gubernur/bupati/walikota.

(4) Penyewaan atas barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf c dan d, dilaksanakan oleh pengguna barang setelah

mendapat persetujuan pengelola barang.

(5) Barang milik negara/daerah dapat disewakan kepada pihak lain

sepanjang menguntungkan negara/daerah.

Page 74: Hukum Keuangan Negara

67 | P a g e

(6) Jangka waktu penyewaan barang milik negara/daerah paling lama lima

tahun dan dapat diperpanjang.

(7) Penetapan formula besaran tarif sewa dilakukan dengan ketentuan

sebagai berikut, ditetapkan pada:

a) barang milik negara oleh pengelola barang;

b) barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikota.

(8) Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa-

menyewa,yang sekurang-kurangnya memuat:

a) pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;

b) jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu;

c) tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan

selama jangka waktu penyewaan;

d) persyaratan lain yang dianggap perlu.

(9) Hasil penyewaan merupakan penerimaan negara/daerah dan seluruhnya

wajib disetorkan ke rekening kas umum negara/daerah.

2) Pinjam Pakai

(1) Pinjam pakai barang milik negara/daerah dilaksanakan antara pemerintah

pusat dengan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah.

(2) Jangka waktu pinjam pakai barang milik negara/daerah paling lama dua

tahun dan dapat diperpanjang.

(3) Pinjam pakai dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-

kurangnya memuat:

a) pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian;

b) jenis, luas atau jumlah barang yang dipinjamkan, dan jangka waktu;

c) tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan

selama jangka waktu peminjaman;

d) persyaratan lain yang dianggap perlu.

3) Kerjasama Pemanfaatan

Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/daerah dengan pihak lain

dilaksanakan dalam rangka:

a) mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang milik negara/daerah

b) meningkatkan penerimaan negara/pendapatan daerah.

Page 75: Hukum Keuangan Negara

68 | P a g e

Bentuk Kerja Sama

(1) Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan

dengan bentuk:

a) kerjasama pemanfaatan barang milik negara atas tanah dan/atau

bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada

pengelola barang;

b) kerja sama pemanfaatan barang milik daerah atas tanah dan/atau

bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada

gubernur/bupati/ walikota;

c) kerja sama pemfaatan atas sebagian tanah dan /atau bangunan yang

masih digunakan oleh pengguna barang;

d) kerja sama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah selain

tanah dan/atau bangunan,

(2) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh pengelola barang.

(3) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik daerah sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang

setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota.

(4) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah sebagaimana

dimaskud dalam ayat (1) huruf c dan d dilaksanakan oleh pengguna

barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.

Ketentuan Kerjasama

(1) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerahdilaksanakan

dengan ketentuan sebagai berikut:

a) tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalamAnggaran

Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untuk memenuhi biaya

operasional/pemeliharaan/ perbaikan yang diperlukan terhadap

barang milik negara/daerah di maksud;

b) mitra kerjasama pemanfaatan ditetapkan melalui tender dengan

mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/peminat, kecuali

untuk barang milik negara/daerah yang bersifat khusus dapat

dilakukan penunjukan langsung;

Page 76: Hukum Keuangan Negara

69 | P a g e

c) mitra kerjasama pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap ke

rekening kas umum negara/daerah setiap tahun selama jangka waktu

pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan

hasil kerjasama;

d) besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan

hasil kerjasama pemanfaatan ditetapkan dari hasil perhitungan tim

yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang;

e) besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan

hasil kerjasama pemanfaatan harus mendapat persetujuan pengelola

barang;

f) selama jangka waktu pengoperasian, mitra kerjasama pemafaatan

dilarang menjaminkan atau menggadaikan barang milik

negara/daerah yang menjadi obyek kerjasama pemanfaatn;

g) jangka waktu kerjasama pemanfaatan paling lama tiga puluh tahun

sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang.

(2) Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan kerjasama

pemanfaatan tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara/Daerah.

4) Bangun Guna Serah Dan Bangun Serah Guna ( BGS dan BSG )

(1) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara/daerah

dapat dilaksanakan dengan persyaratan sebagai berikut:

a) Pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi

penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan

pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan

fungsi; dan

b) Tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara/Daerah untk penyediaan bangunan dan fasilitas dimaksud.

(2) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik Negara

sebagaimana di maksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola

barang.

(3) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola

barang setelah mendapat pesetujuan gubernur/bupati/walikota.

Page 77: Hukum Keuangan Negara

70 | P a g e

(4) Tanah yang status penggunaanya ada pada pengguna barang dan telah

dapat direncanakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi

pengguna barang yang bersangkutan dapat dilakukan bangun guna serah

dan bangun serah guna setelah terlebih dahulu diserahkan kepada:

a) pengelola barang untuk barang milik negara;

b) gubernur /bupati /walikota untuk barang milik daerah.

(5) Bangun guna serah dan bangun serah guna sebagaimaa dimaksud pada

ayat (4) dilaksanakan oleh pengelola barang dengan mengikutsertakan

pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang sesuai tugas pokok

dan fungsinya.

Penetapan

Penetapan status penggunaan barang milik negara/ daerah sebagai hasil dari

pelaksanaan bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan oleh:

(1) pengelola barang untuk barang milik negara, dalam rangka

penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga

terkait;

(2) gubernur/ bupati/ walikota untuk barang milik daerah, dalam rangka

penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah

tekait.

Jangka Waktu

(1) Jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna paling lama

tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani.

(2) Penetapan mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna

dilaksanaka melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-

kurangnya lima peserta/ peminat.

(3) Mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna yang telah

ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian harus memenuhi

kewajiban sebagai berikut:

a) membayar kontribusi ke rekening kas umum negara/ daerah setiap

tahun, yang besarannya ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan tim

yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang;

b) tidak menjaminkan, menggadaikan atau memindahkantangankan

objek bangun guna serah dan bangun serah guna;

Page 78: Hukum Keuangan Negara

71 | P a g e

c) memelihara objek bangun guna serah dan bangun serah guna.

(4) Dalam jangka waktu pengoperasian, sebagai barang milik negara/daerah

hasil bangun guna serah dan bangun serah guna harus dapat digunakan

langsung untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah.

(5) Bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan berdasarkan

surat perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat:

a) pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;

b) objek bangun guna serah dan bangun serah guna;

c) jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna;

d) hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian;

e) persyaratan lain yang dianggap perlu.

(6) Izin mendirikan bangunan hasil bangun guna serah dan bangun serah

guna harus diatasnamakan Pemerintah Republik Indonesia/ Pemerintah

daerah.

(7) Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan bangun

guna serah dan bangun serah guna tidak dapat dibebankan pada

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Penyerahan

(1) Mitra bangun guna serah barang milik negara harus menyerahkan objek

bangun guna serah kepada pengelola barang pada akhir jangka waktu

pegoperasian, setelah dilakukan audit oleh aparat pegawasan fungsional

pemerintah.

(2) Mitra bangun guna serah barang milik daerah harus menyerahkan objek

bangun guna serah kepada gubernur/bupati/ walikota pada akhir jangka

waktu pegoperasian, setelahdilakukan audit oleh aparat pegawasan

fungsional pemerintah.

(3) Bangun serah guna barang milik kekayaan negara dilaksanakan dengan

ketentuan sebagai berikut:

a) mitra bangun serah guna harus menyerahkan objek bangunan serah

guna kepada pengelola barang segera setelah selesainya

pembangunan;

b) mitra bangun serah guna dapat mendayagunakan barang milik negara

tersebut sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian;

Page 79: Hukum Keuangan Negara

72 | P a g e

c) setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek bangun serah

guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan fungsional

pemerintah sebelum penggunaannnya ditetapkan oleh pegguna

barang.

(4) Bangun serah guna barang milik kekayaan daerah dilaksanakan dengan

ketentuan sebagai berikut:

a) mitra bangunan serah guna harus menyerahkan objek bangunan

serah guna kepada gubernur/ bupati/ walikota segera setelah

selesainya pembangunan;

b) mitra bangun serah guna dapat mendayagunakan barang milik negara

tersebut sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian;

c) setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek bangun serah

guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan fungsional

pemerintah sebelum penggunaannnya ditetapkan oleh gubernur/

bupati/walikota;

Lain-Lain

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sewa, pinjam pakai,

kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna barang

milik negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

4. Pengamanan

a. Pengelola barang, pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib

melakukan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada dalam

penguasaannya.

b. Pengamanan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada huruf a

meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, pengamanan hukum.

Sertifikasi/Bukti Kepemilikan

(1) Barang milik negara/ daerah berupa tanah harus disertifikatkan atas nama

Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan.

(2) Barang milik negara/daerah berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti

kepemilkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah

yang bersangkutan.

(3) Barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi

dengan bukit kepemilikan atas nama pengguna barang

Page 80: Hukum Keuangan Negara

73 | P a g e

(4) Barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi

dengan bukit kepemilikan atas nama pemerintah daerah yang bersangkutan.

Filling/Penyimpanan

(1) bukti kepemilikan barang milik negara/ daerah wajib disimpan dengan tertib

dan aman.

(2) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik negara berupa tanah dan/ atau

bangunan dilakukan oleh pengelola barang.

(3) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik negara selain tanah dan/ atau

bangunan dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang.

(4) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik daerah dilakukan oleh pengelola

barang.

5. Pemeliharaan

a. Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang bertanggung jawab atas

pemeliharaan barang milik negara/daerah yang ada di bawah penguasaannya.

b. Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada huruf a berpedoman pada Daftar

Kebutuhan Pemeliharaan Barang (DKPB).

c. Biaya pemeliharaan barang milik negara/daerah dibebankan pada Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah.

Evaluasi

(1) Kuasa pengguna anggaran wajib membuat daftar hasil pemeliharaan barang

yang berada dalam kewenangannya dan melaporkan/ menyampakan daftar

hasil pemeliharaan barang tersebut kepada pengguna barang secara berkala.

(2) Pengguna barangatau pejabat yang ditunjuk ,meneliti laporan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan menyusun daftar hasil pemeliharaan barang

yang dilakukan dalam satu tahun anggaran sebagai bahan untuk melakukan

evaluasi mengenai efisiensi pemeliharaan barang milik negara/ daerah.

G. Penilaian, Penghapusan, Pemindahtanganan, Penatausahaan.

1. Penilaian

Penilaian barang milik negara/daerah dilakukan dalam rangka penyusunan

neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik

negara/ daerah.

Page 81: Hukum Keuangan Negara

74 | P a g e

Penetapan nilai barang milik negara/daerah dalam rangka penyusunan

neraca pemerintah pusat/ daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar

Akuntansi Pemerintah (SAP):

a. Penilaian barang milik negara berupa tanah dan/ atau bangunan dalam rangka

pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh

pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh

pengelola barang.

b. Penilaian barang milik negara/ daerah berupa tanah dan/ atau bangunan dalam

rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan

oleh gubernur/ bupati/walikota, dan dapat melibatkan penilai independen yang

ditetapkan oleh gubernur/ bupati/ walikota.

c. Penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar, dengan estimasi terendah

menggunakan NJOP.

d. Hasil penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada huruf a

dan bditetapkan oleh:

pengelola barang untuk barang milik negara;

gubernur /bupati /walikota untuk barang milik daerah

2. Pelaksanaan

a. Penilaian barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan dalam rangka

pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh

pengguna barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan

oleh pengguna barang.

b. Penilaian barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka

pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh

pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh

pengelola barang.

c. Penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b

dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar.

d. Hasil penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada huruf a

dan bditetapkan oleh:

pengguna barang untuk barang milik negara;

pengelola barang untuk barang milik daerah.

Page 82: Hukum Keuangan Negara

75 | P a g e

3. Penghapusan

Penghapusan barang milik negara/daerah meliputi:

a. penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna;

b. penghapusan dari daftar barang milik negara/daerah.

(1) Penghapusan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal

41 huruf (a), dilakukan dalam hal barang milik negara/daerah dimaksud sudah

tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna

barang;

(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

penerbitan surat keutusan penghapusan dari:

pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang untuk

barang milik negara;

pengguna barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota

atas usul pengelola barang untuk barang milik daerah.

(3) Pelaksanaan atas penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

selanjutnya dilaporkan kepada pengelola barang.

Penghapusan diikuti dengan pemusnahan:

(1) Penghapusan barang milik negara/daerah dari daftar barang milik negara/daerah

sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 huruf b dilakukan dalam hal barang milik

negara/daerah di maksud sudah beralih kepemilikannya, terjadi pemusnahan

atau karena sebab-sebab lain.

(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

penerbitan surat keputusan penghapusan dari:

pengelola barang untuk barang milik negara;

pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota

untuk barang milik daerah.

Persyaratan Penghapusan diikuti dengan pemusnahan:

(1) Penghapusan barang milik negara/daerah dengan tindak lanjut pemusnahan

dilakukan apabila barang milik negara/ daerah dimaksud:

tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan tidak dapat

dipindahtangankan; atau

alasan lain sesuai ketentuan perundang-undangan.

Page 83: Hukum Keuangan Negara

76 | P a g e

(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:

pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk

barang miliki negara;

pengguna barang dengan surat keputusan dari pengelola barang setelah

mendapat persetujuan ubernur/ bupati/walikota untuk barang milik daerah.

(3) Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan

dalam berita acara dan dilaporkan kepada pengelola barang.

4. Pemindahtanganan

Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tidak lanjut atas penghapusan barang

milik negara/daerah meliputi:

a) penjualan;

b) tukar-menukar;

c) hibah;

d) penyertaan modal pemerintah pusat/daerah.

(1) Pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45

untuk:

a) tanah dan/atau bangunan;

b) selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari

Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), dilakukan setelah mendapat

persetujuan DPR.

(2) Pemindahtanganan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45

untuk:

a) tanah dan/atau bangunan;

b) selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah), dilakukan setelah mendapat persetujuan DPRD.

(3) Pemindahtanganan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau

bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a

tidak memerlukan persetujuan DPR/DPRD, apabila:

a) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;

b) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah

disediakan dalam dokumen penganggaran;

c) diperuntukkan bagi pegawai negeri;

d) diperuntukkan bagi kepentingan umum;

Page 84: Hukum Keuangan Negara

77 | P a g e

e) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan, yang telah memiliki

kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-

undangan, yang jika statuskepemilikannya dipertahankan tidak layak secara

ekonomis.

Proses Perolehan Persetujuan:

(1) Usul untuk memperoleh persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal

46 ayat (1) diajukan oleh pengelola barang.

(2) Usul untuk memperoleh persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal

46 ayat (2) diajukan oleh gubernur/bupati/walikota.

Pelaksanaan Pemindahtanganan:

(1) Pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan

sebagai berikut:

a) untuk tanah dan/atau bangunan yang bernilai di atas Rp10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat

persetujuan Presiden;

b) untuk tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola

barang;

(2) Pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) dilakukan oleh pengelola barang

setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.

Pemindahtanganan untuk selain tanah dan bangunan:

(1) Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang

bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan

oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola

barang.Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan

yang bernilai di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan

Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh pengguna barang

setelahmendapat persetujuan Presiden;

(2) Usul untuk memperoleh persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) diajukan oleh pengelola barang.Pemindahtanganan barang milik daerah

selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan

Page 85: Hukum Keuangan Negara

78 | P a g e

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah

mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.

e. Penjualan

1) Barang

(1) Penjualan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan

pertimbangan:

untuk optimalisasi barang milik negara yang berlebih atau idle;

secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara apabila dijual;

sebagai pelaksanaan ketentuan perundang-udangan yang berlaku.

(2) Penjualan barang milik negara/daerah dilakukan secara lelang,kecuali

dalam hal-hal tertentu.

(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

barang milik negara/daerah yang bersifat khusus;

barang milik negara/daerah lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh

pengelola barang.

2) Tanah dan Bangunan

(1) Penjualan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan

dilaksanakan oleh:

pengelola barang untuk barang milik negara;

pengelola barang setelah mendapat persetujuan

gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.

(2) Penjualan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan

dilaksanakan oleh:

pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang

untuk barang milik negara;

pengelola barang setelah mendapat persetujuan

gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.

3) Selain Barang, Tanah dan Bangunan

(1) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf(a)

dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) kuasa pengguna barang mengajukan usul kepada pengguna barang

untuk diteliti dan dikaji;

Page 86: Hukum Keuangan Negara

79 | P a g e

b) pengguna barang mengajukan usul penjualan kepada pengelola

barang;

c) pengelola barang meneliti dan mengkaji usul penjualan yang diajukan

oleh pengguna barang sesuai dengan kewenangannya;

d) pengelola barang mengeluarkan keputusan untuk menyetujui atau

tidak menyetujui usulan penjualan yang diajukan oleh pengguna

barang dalam bataskewenangannya;

e) untuk penjualan yang memerlukan persetujuan Presiden atau DPR,

pengelola barang mengajukan usul penjualan disertai dengan

pertimbangan atas usulan dimaksud;

f) penerbitan persetujuan pelaksanaan oleh pengelola barang untuk

penjualan sebagaimana dimaksud pada butir e dilakukan setelah

mendapat persetujuan Presiden atau DPR.

(2) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b

dilakukan denagn ketentuan sebagai berikut:

a) pengguna barang mengajukan usul penjualan kepada pengelola

barang;

b) pengelola barang meneliti dan mengkaji usul penjualan yang diajukan

oleh pengguna barang sesuai dengan kewenangannya;

c) pengelola barang mengeluarkan keputusan untuk menyetujui atau

tidak menyetujui usulan penjualan yang diajukan oleh pengguna

barang dalam batas kewenangannya;

d) untuk penjualan yang memerlukan persetujuan

gubernur/bupati/walikota atau DPRD, pengelola barang mengajukan

usul penjualan disertai dengan pertimbangan atas usulan dimaksud.

(3) Penerbitan persetujuan pelaksanaan oleh pengelola barang untuk

penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf d dilakukan setelah

mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota atau DPRD.

(4) Hasil penjualan barang milik negara/daerah wajib disetor seluruhnya ke

rekening kas umum negara/daerah sebagai penerimaan negara/daerah.

f. Tukar Menukar (Ruistlaag)

(1) Tukar menukar barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan

pertimbangan:

Page 87: Hukum Keuangan Negara

80 | P a g e

a) untuk memenuhi kebutuhan operasional penyelenggaraan pemerintahan;

b) untuk optimalisasi barang milik negara/daerah; dan

c) tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara/Daerah.

(2) Tukar menukar barang milik negara dapat dilakukan dengan pihak:

a) pemerintah daerah;

b) badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum milik pemerintah

lainnya;

c) swasta.

(3) Tukar menukar barang milik daerah dapat dilakukan dengan pihak:

a) pemerintah pusat;

b) badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum milik pemerintah

lainnya;

c) swasta.

Wujud Tukar Menukar

(1) Tukar menukar barang milik negara/daerah dapat berupa:

a) tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola

barang untuk barang milik negara dan gubernur/bupati/walikota untuk

barang milik daerah;

b) tanah dan/atau bangunan yang masih dipergunakan untuk

penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang tetapi tidak

sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;

c) barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan.

(2) Penetapan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang akan

dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh:

a) pengelola barang untuk barang milik negara;

b) gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah, sesuai batas

kewenangannya.

(3) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan

oleh:

a) pengelola barang untuk barang milik negara;

b) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota

untuk barang milik daerah.

Page 88: Hukum Keuangan Negara

81 | P a g e

(4) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan

oleh:

a) pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk

barang milik negara;

b) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota

untuk barang milik daerah.

(5) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan

oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.

Tukar menukar barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat

(1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) pengelola barang mengkaji perlunya tukar menukar tanah dan/atau

bangunan dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;

b) pengelola barang menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan

dipertukarkan sesuai batas kewenangannya;

c) tukar menukar tanah dan/atau bangunan dilaksanakan melalui proses

persetujuan dengan berpedomam pada ketentuan pada Pasal 46 ayat (1)

dan Pasal 48 ayat (1);

d) pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti

harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.

Tukar menukar barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat

(1) huruf b dan c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai

alasan/pertimbangan, kelengkapan data, data hasil pengkajian tim intern

instansi pengguna barang;

b) penegelola barang meneliti dan mengkaji alasan/pertimbangan tersebut

dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;

c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola

barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai dengan batas

kewenangannya;

d) pengguna barang melaksanakan tukar menukar dengan berpedoman

pada persetujuan pengelola barang;

e) pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti

harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.

Page 89: Hukum Keuangan Negara

82 | P a g e

Tukar menukar barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat

(1) huruf a dan b dilaksanakan dengan ketentuan sebagaimana berikut:

a) pengelola barang mengajukan usul tukar menukar tanah dan/atau

bangunan kepada gubernur/bupati/walikota disertai alasan/pertimbangan,

dan kelengkapan data;

b) gubernur/bupati/walikota meneliti dan mengkaji alasan.pertimbangan

perlunya tukar menukar tanah dan/atau bangunan dari aspek teknis,

ekonomis, dan yuridis;

c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku,

gubernur/bupati/walikota dapat mempertimbangkan untuk menyetujui dan

menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan dipertukarkan;

d) tukar menukar tanah dan/atau bangunan dilaksanakan melalui proses

persetujuan dengan berpedoman pada kententuan pada Pasal 46 ayat (2)

dan Pasal 48 ayat (2);

e) pengelola barang melaksanakan tukar menukar dengan berpedoman

pada persetujuan gubernur/bupati/walikota;

f) pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti

harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.

Tukar menukar barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat

(1) buruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai

alasan/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern

instansi pengguna barang;

b) pengelola barang meneliti dan mengkaji alasan/pertimbangan tersebut

dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;

c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola

barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas

kewenangannya;

d) pengguna barang melaksanakan tukar-menukar dengan berpedoman

pada persetujuan pengelola barang;

e) pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti

harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.

Page 90: Hukum Keuangan Negara

83 | P a g e

g. Hibah

(1) Hibah barang milik negara/daerah dilakukan dengan pertimbangan untuk

kepentingan sosial, keagamaan, kemanusiaan, dan penyelenggaraan

pemerintahannegara/daerah.

(2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi syarat sebagai

berikut:

a) bukan merupakan barang rahasia negara;

b) bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak;

c) tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi dan

penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah.

Wujud Hibah:

(1) Hibah barang milk negara/daerah dapat berupa:

a) tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola

barang untuk barang milik negara dan ubernur/bupati/walikota untuk

barang milik daerah;

b) tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan

untuk dihibahkan sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran;

c) barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan.

(2) Penetapan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan

yang akan dihibahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

dilakukan oleh:

a) pengelola barang untuk barang milik negara;

b) gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah, sesuai batas

kewenangannya.

(3) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh:

a) pengelola barang untuk barang milik negara;

b) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota

untuk barang milik daerah.

(4) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat 91) huruf b dilaksanakan oleh:

a) pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelolabarang untuk

barang milik negara;

b) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota

untuk barang milik daerah.

Page 91: Hukum Keuangan Negara

84 | P a g e

(5) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh

pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.

Pasal 60

(1) Hibah barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1)

huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) pengelola barang mengkaji perlunya hibah berdasarkanpertimbangan dan

syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58;

b) pengelola barang menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan

dihibahkan sesuai batas kewenangannya;

c) proses persetujuan hibah dilaksanakan dengan berpedoman pada

ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1);

d) pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan

dalam berita acara serah terima barang.

(2) Hibah barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1)

huruf b dan c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai

dengan alasan/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim

intern instansi pengguna barang;

b) pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan

syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58;

c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola

barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas

kewenangannya;

d) pengguna barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada

persetujuan pengelola barang;

e) pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan

dalam berita acara serah terima barang.

Pasal 61

(1) Hibah barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1)

huruf a dan b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) pengelola barang mengajukan usul hibah tanah dan/atau bangunan

kepada gubernur/bupati/walikota disertai dengan alasan/pertimbangan,

dan kelengkapan data;

Page 92: Hukum Keuangan Negara

85 | P a g e

b) gubernur/bupati/walikota meneliti dan mengkaji berdasarkan

pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 58;

c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang

berlaku,gubernur/bupati/walikota dapat mempertimbangkan untuk

menetapkan dan/atau menyetujui tanah dan/atau bangunan yang akan

dihibahkan;

d) proses persetujuan hibah dilaksanakan dengan berpedoman pada

ketentuan Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2);

e) pengelola barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada

persetujuan Gubernur/bupati/walikota;

f) pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan

dalam berita acara serah terima barang.

(2) Hibah barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1)

huruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) pengguna barang mengajukan usulan kepada PengelolaBarang disertai

alas an/pertimbangan, kelengkapan data,dan hasil pengkajian tim intern

instansi pengguna barang;

b) pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan

syarat sebagaimana dimaksud dalam

c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlak,pengelola barang

dapat mempertimbangkan untukmenyetujui sesuai batas

kewenangannya;

d) pengguna barang melaksanakan hibah dengan berpedomanpada

persetujuan pengelola barang;

e) pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan

dalam acara serah terima barang.

5. Penatausahaan

a. Pembukuan

(1) Kuasa pengguna barang/pengguna barang harus melakukan pendaftaran

dan pencatatan barang milik negara/daerah ke dalam Daftar Barang Kuasa

Pengguna (DBKP)/Daftar Barang Pengguna (DBP) menurut penggolongan

dan kodefikasi barang.

Page 93: Hukum Keuangan Negara

86 | P a g e

(2) Pengelola barang harus melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik

negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam Daftar Barang Milik

Negara/Daerah (DBMN/D) menurut penggolongan barang dan kodefikasi

barang.

(3) Penggolongan dan kodefikasi barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(4) Penggolongan dan kodefikasi barang daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat

pertimbangan Menteri Keuangan.(Pasal 67)

b. Penyimpanan

(1) Kuasa pengguna barang/pengguna barang harus menyimpan dokumen

kepemilikan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan

yang berada dalam penguasaannya.

(2) Pengelola barang harus menyimpan dokumen kepemilikan tanah dan/atau

bangunan yang berada dalam pengelolaannya. (Pasal 68)

c. Inventarisasi

(1) Pengguna barang melakukan inventarisasi barang milik negara/daerah

sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

(2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1), terhadap barang milik negara/daerah

yang berupa persediaan dan konstruksi dalam pengerjaan, pengguna barang

melakukan inventarisasi setiap tahun.

(3) Pengguna barang menyampaikan laporan hasil inventarisasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada pengelola barang selambat-

lambatnyatiga bulan setelah selesainya inventarisasi.(Pasal 69)

Ketentuan inventarisas:

Pengelola barang melakukan inventarisasi barang milik negara/daerah berupa

tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguasaannya sekurang-

kurangnya sekali dalam lima tahun. (Pasal 70)

d. Pelaporan

(1) Kuasa pengguna barang harus menyusun Laporan Barang Kuasa Pengguna

Semesteran (LBKPS) dan Laporan Barang Kuasa Pengguna Tahunan

(LBKPT)untuk disampaikan kepada pengguna barang.

Page 94: Hukum Keuangan Negara

87 | P a g e

(2) Pengguna barang harus menyusun Laporan Barang Pengguna Semesteran

(LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) untuk disampaikan

kepada pengelola barang.

(3) Pengelola barang harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah

(LBMN/D) berupa tanah dan/atau bangunan semesteran dan tahunan.

(4) Pengelola barang harus menghimpun Laporan Barang Pengguna

Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT)

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta Laporan Barang Milik

Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/atau bangunansebagaimana

dimaksud pada ayat (3).

(5) Pengelola barang harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah

(LBMN/D) berdasarkan hasil penghimpun-an laporan sebagaimana dimaksud

pada ayat (4).(Pasal 71).

e. Bahan Pembuatan Neraca

Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 71 ayat (5) digunakan sebagai bahan untuk menyusun neraca pemerintah

pusat/daerah. (Pasal 72).

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pembukuan,

inventarisasi, dan pelaporan barang milik Negara diatur dalam Peraturan Menteri

Keuangan.(Pasal 73)

H. Pengendalian dan Pengawasan serta Pembinaan

1. Pengendalian

(1) Pengguna barang melakukan pemantauan dan penertiban terhadap

penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan,

pemeliharaan, dan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada di

bawah penguasaannya.

(2) Pelaksanaan pemantauan dan penertiban sebagaimana yang dimaksud pada

ayat (1) untuk kantor/satuan kerja dilaksanakan oleh kuasa pengguna

barang.

(3) Kuasa pengguna barang dan pengguna barang dapat meminta aparat

pengawas fungsional untuk melakukan audit tindak lanjut hasil pemantauan

dan penertiban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Page 95: Hukum Keuangan Negara

88 | P a g e

(4) Kuasa pengguna barang dan pengguna barang menindaklanjuti hasil audit

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai ketentuan perundang-

undangan.(Pasal 75).

2. Pengawasan

(1) Pengelola barang berwenang untuk melakukan pemantauan dan investigasi

atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan

barang milik negara/daerah, dalam rangka penertiban penggunaan,

pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah sesuai

ketentuan yang berlaku.

(2) Sebagai tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola

barang dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit

atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan

barang milik negara/daerah.

(3) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada

pengelola barang untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan perundang-

undangan. (Pasal 76)

3. Pembinaan

(1) Menteri Keuangan menetapkan kebijakan umum pengelolaan barang milik

negara/daerah.

(2) Menteri Keuangan menetapkan kebijakan teknis dan melakukan pembinaan

pengelolaan barang milik negara.

(3) Menteri Dalam Negeri menetapkan kebijakan teknis dan melakukan

pembinaan pengelolaan barang milik daerah sesuai dengan kebijakan

sebagaimana ayat (1).

I. GANTI RUGI dan SANKSI

(1) Setiap kerugian negara/daerah akibat kelalaian,

penyalahgunaan/pelanggaran hukum atas pengelolaan barang milik

negara/daerah diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi sesuai dengan

peraturan perundangundangan.

(2) Setiap pihak yang mengakibatkan kerugian negara/daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi

pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 96: Hukum Keuangan Negara

89 | P a g e

REFERENSI:

PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA(STATE PROPERTY MANAGEMENT)

Oleh: Pokja RPP Pengelolaan BMN/D pada KPMK

A. PENGANTAR

BMN/D memiliki fungsi yang sangat strategis dalam penyelenggaraan

pemerintahan tetapi dalam pelaksanaan pengelolaannya sarat dengan potensi

konflik kepentingan. Gambaran umum pengelolaan BMN/D selama ini adalah:

1. Belum lengkapnya data mengenai jumlah, nilai, kondisi dan status

kepemilikannya

2. Belum tersedianya database yang akurat dalam rangka penyusunan Neraca

Pemerintah.

3. Pengaturan yang ada belum memadai dan terpisah-pisah.

4. Kurang adanya persamaan persepsi dalam hal pengelolaan BMN/D.

Makalah ini dimaksudkan untuk menguraikan mengenai pokok-pokok pengaturan

pengelolaan Barang Milik Negara sesuai UU No. 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara, serta arah penyusunan pedoman pelaksanaan di bidang

pengelolaan BMN, sebagai tindaklanjut dari UU No. 1 Tahun 2004.

B. PENGATURAN PENGELOLAAN BMN SESUAI UU 1/2004 DAN UU 17/2003

Undang-undang No. 1 Tahun 2004 mengamanatkan pengelolaan BMN

dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Adapun pokok-pokok pengaturan

pengelolaan BMN sesuai Undang-undang dimaksud meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Adanya pemisahan peran antara pengelola dan pengguna (pasal 42, 43, dan 44

UU No. 1/2004), yang selanjutnya perlu pengaturan yang jelas mengenai hak dan

kewajiban antara pengelola dan pengguna;

2. Barang Milik Negara yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan

negara/daerah tidak dapat dipindahkan (Pasal 45 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004).

Dengan demikian, pemanfaatan BMN oleh pengguna diarahkan untuk

penyelenggaraan Tupoksi masing-masing.

3. Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual,

dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah

mendapat persetujuan DPR (Pasal 45 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2004).

Page 97: Hukum Keuangan Negara

90 | P a g e

4. Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud pada butir 3 di atas adalah untuk

pemindahtanganan BMN yang berupa tanah dan bangunan, dengan beberapa

pengecualian. Persetujuan DPR juga diperlukan untuk pemindahtanganan BMN

diluar tanah dan bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00

(seratus miliar rupiah). Sedangkan pemindahtanganan BMN diluar tanah dan

bangunan yang bernilai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai

dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan setelah

mendapatkan persetujuan Presiden, dan yang bernilai sampai dengan

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan setelah mendapatkan

persetujuan Menteri Keuangan (Pasal 46 UU No. 1 Tahun 2004).

5. Penjualan BMN prinsipnya dilakukan dengan cara lelang, kecuali dalam hal-hal

tertentu yang pengaturan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal

48 UU No. 1 Tahun 2004).

6. BMN yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat harus disertifikatkan

atas nama pemerintah Republik Indonesia yang bersangkutan (Pasal 49 ayat (1)

UU No. 1 Tahun 2004). Yang perlu diatur lebih lanjut adalah apakah sertifikasi

tanah tersebut atas nama Pemerintah RI atau atas nama Pemerintah RI c.q

Menteri Keuangan atau atas nama Pemerintah RI c.q. instansi/

kementerian/lembaga pengguna , karena masing-masing alternatif memiliki

implikasi yang berbeda. Demikian juga untuk sertifikasi tanah-tanah pemerintah

daerah. Dalam kaitannya dengan sertifikasi tanah dalam penjelasan pasal 49

ayat (1) UU No. 1/2004 diamanatkan perlunya pengaturan pelaksanaan oleh

Menteri Keuangan selaku Bendaharawan Umum Negara berkoordinasi dengan

lembaga yang bertanggungjawab di bidang pertanahan;

7. Bangunan Milik Negara harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan

ditatausahakan dengan tertib (Pasal 49 ayat (2) UU No. 1/2004).

8. Khusus untuk tanah dan bangunan (pasal 49 ayat (3)) apabila tidak dimanfaatkan

untuk menunjang Tupoksi wajib diserahkan kepada Menteri Keuangan.

9. BMN dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas

tagihan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, dilarang digadaikan

atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman, dan dilarang untuk

dilakukan penyitaan (Pasal 49 ayat (4) dan (5) serta pasal 50 huruf c dan d UU

No. 1 Tahun 2004).

Page 98: Hukum Keuangan Negara

91 | P a g e

10. Ketentuan mengenai pedoman teknis dan administrasi pengelolaan BMN diatur

dengan peraturan pemerintah (Pasal 49 ayat (6) UU No. 1 Tahun 2004).

C. BATASAN PENGATURAN DALAM RPP

1. Negara

Pengertian atau batasan ”Negara” dalam kata ”Barang Milik Negara (BMN)”

adalah Pemerintah RI, dalam arti kementerian negara/lembaga. Pengertian lembaga

adalah sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 6 ayat (2) huruf b UU No.

17/2003, yaitu lembaga negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara.

2. Barang Milik Negara (BMN)

Yang dimaksud BMN sesuai dengan pasal 1 butir 10 UU No 1 Tahun 2004

adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari

perolehan lainnya yang sah. BMN dimaksud dapat berada di semua tempat, tidak

terbatas hanya yang ada pada kementerian/lembaga, namun juga yang berada pada

Perusahaan Negara dan BHMN atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang

belum ditetapkanstatusnya menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan

terhadap BMN yang statusnya sudah ditetapkan menjadi kekayaan Negara yang

dipisahkan diatur secara terpisah dari ketentuan ini.

Untuk barang-barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN dapat

lebih mudah identifikasinya sebagai bagian dari BMN. Sedangkan untuk barang-

barang yang berasal dari perolehan yang sah perlu adanya batasan yang lebih jelas,

mana yang termasuk sebagai BMN. Dalam hal ini, batasan pengertian barang-

barang yang berasal dari perolehan yang sah adalah barang-barang yang menurut

ketentuan perundang-undangan, ketetapan pengadilan, dan/atau perikatan yang sah

ditetapkan sebagai Barang Milik Negara .

3. Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

Sesuai pasal 48 ayat (2) dan penjelasan atas pasal 49 ayat (6) UU No. 1

Tahun 2004, ruang lingkup pengaturan pengelolaan BMN dalam Peraturan

Pemerintah meliputi penjualan barang melalui pelelangan dan pengecualiannya,

perencanaan kebutuhan, tata cara penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan,

penatausahaan, penilaian, penghapusan dan pemindahtanganan. Rumusan tersebut

merupakan siklus minimal atas seluruh mata rantai siklus pengelolaan barang milik

negara/daerah (asset management cycle).

Page 99: Hukum Keuangan Negara

92 | P a g e

D. LANDASAN PEMIKIRAN PENGELOLAAN BMN

Landasan-landasan pemikiran yang digunakan dalam pengaturan

pengelolaan BMN meliputi:

1. Landasan Filosofi

Hakekat BMN/D merupakan salah satu unsur penting penyelenggaraan

pemerintahan dalam kerangka NKRI untuk mencapai cita-cita dan tujuan berbangsa

dan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh

karena itu, pengelolaan BMN/D perlu dilakukan dengan mendasarkan pada perturan

perundang-undangan yang berlaku untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan

dimaksud.

2. Landasan Operasional

Landasan Operasional Pengelolaan BMN/D lebih berkaitan dengan

kewenangan institusi atau Lembaga Pengelola/Pengguna Barang milik negara, yang

dapat dikemukakan sebagai berikut:

Pengelolaan Kekayaan Negara yang bersumber pada pasal 33 ayat 3 UUD

1945 adalah Negara adalah badan penguasa atas barang negara dengan

hak menguasai dan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Instansi pengelolanya adalah instansi pemerintah departemen/LPND yang

diberikan wewenang untuk itu. Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional,

Tambang oleh Departemen Sumber Daya Mineral dan Energi, laut dan

kekayaannya oleh Departemen Kelautan dan sebagainya. Pengaturan atas

pengelolaan barang milik negara dalam ruang lingkup ini telah diatur dalam

berbagai undang-undang.

Pengelolaan Barang milik negara yang bersumber pada pasal 23 UUD 1945

adalah Negara sebagai Pemerintah Republik Indonesia yang dapat memiliki

barang atau sesuatu sebagai aset kekayaan pemerintah dengan tujuan untuk

menjalankan roda pemerintahan. Instansi pengelola adalah Presiden yang

didelegasikan kepada Menteri Keuangan dan instansi pengguna adalah

kementerian negara/lembaga.

3. Landasan Yuridis

Acuan dasar dalam pengelolaan BMN/D tertuang dalam UU No. 17 Tahun

2003 dan UU No 1 Tahun 2004, khususnya Bab VII dan Bab VIII pasal 42 s/d pasal

Page 100: Hukum Keuangan Negara

93 | P a g e

50. Untuk itu seluruh Peraturan Perundang-undangan yang ada perlu dikaji kembali

termasuk penerapannya untuk disesuaikan dengan acuan trsebut di atas.

4. Landasan Sosiologis

Rasa ikut memiliki ( sense of bilonging ) masyarakat terhadap BMN/D

merupakan wujud kepercayaan kepada pemerintah yang antara lain diwujudkan

dalam bentuk keterlibatannya dalam merawat dan mengamankan BMN/D dengan

baik. Namun, masih ditemui adanya pandangan sebagian anggota masyarakat

bahwa BMN adalah milik rakyat secara bersama, yang diwujudkan adanya usaha-

usaha untuk memanfaatkan dan memiliki BMN/D tanpa memperhatikan kaidah-

kaidah hukum yang berlaku, misalnya penguasaan, penyerobotan, atau penjarahan

tanah-tanah negara. Pengaturan yang memadai mengenai pengelolaan BMN/D

antara lain diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

pengamanan dan optimalisasi pendayagunaan BMN/D dengan selalu mendasarkan

pada kaidah-kaidah atau ketentuan yang berlaku.

E. AZAS-AZAS PENGELOLAAN BMN

Pengelolaan BMN dilaksanakan dengan memperhatikan azas-azas sebagai

berikut:

1. Azas fungsional

Pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-masalah dibidang

pengelolaan BMN dilaksanakan oleh pengelola dan/atau pengguna BMN sesuai

fungsi, wewenang, dan tangung jawab masing-masing.

2. Azas kepastian hukum

Pengelolaan BMN harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan

perundang-undangan, serta azas kepatutan dan keadilan.

3. Azas transparansi (keterbukaan)

Penyelenggaraan pengelolaan BMN harus transparan dan membuka diri

terhadap hak dan peran serta masyarakat dalam memperoleh informasi yang

benar dan keikutsertaannya dalam mengamankan BMN.

4. Efisiensi

Penggunaan BMN diarahkan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang

diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan Tupoksi pemerintahan secara

optimal.

Page 101: Hukum Keuangan Negara

94 | P a g e

5. Akuntanbilitas publik

Setiap kegiatan pengelolaan BMN harus dapat dipertaggungjawabkan kepada

rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara.

6. Kepastian nilai

Pendayagunaan BMN harus didukung adanya akurasi jumlah dan nominal BMN.

Kepastian nilai merupakan salah satu dasar dalam Penyusunan Neraca

Pemerintah dan pemindahtanganan BMN.

F. LINGKUP PENGATURAN PENGELOLAAN DALAM RPP

Untuk merumuskan siklus yang lebih lengkap, maka ruang lingkup Peraturan

Pemerintah tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang sedang dalam

proses pembahasan, yang khusus terkait dengan pengelolaan BMN meliputi:

1. Pengertian, maksud dan tujuan, asas-asas, lingkup BMN;

2. Pejabat pengelolaan BMN, yang berkedudukan sebagai pengelola, dan

pengguna BMN beserta hak dan kewajibannya);

3. Perencanaan Kebutuhan dan Pengadaan, yang terkait dengan perencanaan

kebutuhan BMN dan perolehan (kegiatan atau proses suatu kekayaan/barang

menjadi BMN), terutama yang berasal dari pengadaan;

4. Penguasaan, Penetapan Status dan Penggunaan, mengenai ketentuan

penetapan BMN pihak yang berhak menggunakan dan batasan hak,

kewenangan dan kewajiban dalam penggunaan BMN.

5. Pemanfaatan, yang berisi tentang ketentuan pemanfaatan BMN, pihak yang

berhak menentukan pemanfaatan BMN, dan batasan hak, kewenangan dan

kewajiban dalam pemanfaatan BMN;

6. Pengamanan, yang berisi tentang pengaturan pengamanan dari segi

administrasi, hukum dan fisik;

7. Penilaian, tentang ketentuan mengenai penilaian BMN dalam rangka

pemanfaatan, pemindahtanganan, dan pelaporan BMN;

8. Penghapusan, mengenai pertimbangan penghapusan, tindak lanjut

penghapusan, dan prosedur penghapusan;

9. Pemindahtangan, mengenai ketentuan-ketentuan mengenai penjualan,

pertukaran, hibah, penyertaan pemerintah atas BMN;

Page 102: Hukum Keuangan Negara

95 | P a g e

10. Penatausahaan, pengaturan tentang pendataan atas seluruh kekayaan yang ada

pada seluruh kementerian negara/lembaga baik di lingkungan Pemerintah Pusat

dan kekayaan yang ada pada pihak lain, misalnya BUMN dan Badan Usaha

lainnya; kegiatan pencatatan dan pembukuan; dan kegiatan pelaporan;

11. Pengawasan/Pengendalian, pengaturan tentang pengawasan atau pengendalian

atas penggunaan, pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN;

12. Sanksi/Tuntutan Ganti Rugi terkait dengan pengelolaan BMN

G. TAHAP PENYELESAIAN PENYUSUNAN RPP

Tahap-tahap yang telah dilaksanakan dalam penyusunan RPP dimaksud

meliputi:

1. Seminar ”Naskah Akademis”;

2. Menghimpun masukan-masukan dari nara sumber terkait;

3. Penyusunan pointers pengaturan di bidang pengelolaan BMN;

4. Drafting materi ke dalam RPP

Tahapan-tahapan berikutnya dalam penyelesaian RPP meliputi:

1. Penyelesaian drafting RPP dan penyempurnaan legal draftingnya

2. Seminar draft RPP

3. Penyeahan RPP kepada KPMK sampai dengan penyelesaian menjadi PP pada

Sekretariat Negara;

Page 103: Hukum Keuangan Negara

96 | P a g e

Rangkuman

Yang dimaksud BMN sesuai dengan pasal 1 butir 10 UU No 1 Tahun 2004

adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari

perolehan lainnya yang sah. BMN dimaksud dapat berada di semua tempat, tidak

terbatas hanya yang ada pada kementerian/lembaga, namun juga yang berada pada

Perusahaan Negara dan BHMN atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang

belum ditetapkanstatusnya menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan

terhadap BMN yang statusnya sudah ditetapkan menjadi kekayaan Negara yang

dipisahkan diatur secara terpisah dari ketentuan ini.

Sesuai pasal 48 ayat (2) dan penjelasan atas pasal 49 ayat (6) UU No. 1

Tahun 2004, ruang lingkup pengaturan pengelolaan BMN dalam Peraturan

Pemerintah meliputi penjualan barang melalui pelelangan dan pengecualiannya,

perencanaan kebutuhan, tata cara penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan,

penatausahaan, penilaian, penghapusan dan pemindahtanganan. Rumusan tersebut

merupakan siklus minimal atas seluruh mata rantai siklus pengelolaan barang milik

negara/daerah (asset management cycle).

Latihan Soal

1. Apa yang dimaksud dengan BMN?

2. sebutkan dasar hukum pengelolaa BMN?

3. Sebutkan dan jelaskan azas-azas pengelolaan BMN?

Page 104: Hukum Keuangan Negara

97 | P a g e

BAB

ASPEK LEGAL PENGADAAN

BARANG DAN JASA (1)

A. Penunjukkan kepada Pengguna Barang/Jasa

1. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dilakukan melalui:

a. Swakelola; dan/atau

b. pemilihan Penyedia Barang/Jasa.

2. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Peraturan Presiden ini meliputi:

a. Barang;

b. Pekerjaan Konstruksi;

c. Jasa Konsultansi; dan

d. Jasa Lainnya.

3. Pengadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. efisien;

b. efektif;

c. transparan;

d. terbuka;

e. bersaing;

f. adil/tidak diskriminatif; dan

g. akuntabel.

Ketika DIPA sudah di sahkanKegiatan yang harus dilakukan adalah penerbitan

Surat Keputusan Penunjukan Pengguna Barang/Jasa

1) Setelah menerima SK Penunjukan pengguna barang/jasa, KPA (dalam hal ini

sebagai pejabat pengadaan) yang ditujuk melalui kewenangan PA, segera

9

Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengerti dan memahami

berbagai aspek legal dalam pengadaan barang dan jasa.

Page 105: Hukum Keuangan Negara

98 | P a g e

membuat persiapan-persiapan yang berhubungan dengan tugas dan

fungsinya.

2) Pengguna barang/jasa (dalam hal ini KPA) diharuskan mengetahui

pentingnya perencanaan

3) KPA mengetahui tugas pokok dan syarat-syarat sebagai pengguna

barang/jasa

4) PA mengawasi pelaksanaan anggaran

5) Perencanaan pangadaan barang/jasa (termasuk PBJ secara swakelola)

mulai dari spesifikasi teknis Barang/Jasa; Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan

rancangan Kontrak dilaksanakan oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen)

B. Pembentukan Panitia/Pejabat Pengadaan

1. Kegiatan yang harus dilakukan adalah menyusun team kerja dengan

memperhatikan syarat-syarat pembentukannya sesuai dengan Perpres no 54

tahun 2010.

2. Perencanaan pengadaan

Lingkup perencanaan:

a. PA/KPA membuat rencana umum dan pembiayaan pengadaan;

b. PPK membuat rencana (teknis)termasuk spesifikasi, HPS, dan hal-hal yang

bersifat teknis lainnya pengadaan;

c. ULP membuat rencana pelaksanaan (pelelangan/seleksi) pengadaan.

3. Perpres 54/2010 mewajibkan pembentukan ULP dapat diselesaikan paling lambat

pada tahun 2014 dan berbentuk struktural di seluruh K/L/D/I serta dibentuk

berdasarkan keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan

Institusi.

4. Anggota Kelompok kerja ULP:

a. Berjumlah gasal minimal 3(tiga) orang

b. Dapat ditambah sesuai dengan kompleksitas pekerjaan.

c. Dapat dibantu aanwijzer

5. Dalam penyusunan Panitia/Pejabat Pengadaanharus memperhatikan:

a. Paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai

paling tinggi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dapat dilaksanakan oleh

ULP atau 1 (satu) orang Pejabat Pengadaan.

Page 106: Hukum Keuangan Negara

99 | P a g e

b. Paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi

Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dapat dilaksanakan oleh ULP atau 1

(satu) orang Pejabat Pengadaan.

c. Pengadaan Langsung dilaksanakan oleh 1 (satu) orang Pejabat Pengadaan.

6. Anggota Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan memenuhipersyaratan sebagai

berikut:

a. memiliki integritas, disiplin dan tanggung jawab dalammelaksanakan tugas;

b. memahami pekerjaan yang akan diadakan;

c. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugasULP/Pejabat

Pengadaan yang bersangkutan;

d. memahami isi dokumen, metode dan prosedur Pengadaan;

e. tidak mempunyai hubungan keluarga dengan Pejabatyang menetapkannya

sebagai anggota ULP/PejabatPengadaan;

f. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa sesuaidengan

kompetensi yang dipersyaratkan; dan

g. menandatangani Pakta Integritas.

7. Tugas pokok dan kewenangan ULP/Pejabat Pengadaan meliputi:

a. menyusun rencana pemilihan Penyedia Barang/Jasa;

b. menetapkan Dokumen Pengadaan;

c. menetapkan besaran nominal Jaminan Penawaran;

d. mengumumkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di website K/L/D/I

masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta

menyampaikan ke LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan

Nasional;

e. menilai kualifikasi Penyedia Barang/Jasa melalui prakualifikasi atau

pascakualifikasi;

f. melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap penawaran

yang masuk;

g. khusus untuk ULP:

1) menjawab sanggahan;

2) menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk:

Page 107: Hukum Keuangan Negara

100 | P a g e

a) Pelelangan atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan

Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi

Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); atau

b) Seleksi atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa

Konsultansi yang bernilaipaling tinggi Rp10.000.000.000,00

(sepuluhmiliar rupiah);

3) menyerahkan salinan Dokumen Pemilihan PenyediaBarang/Jasa kepada

PPK;

4) menyimpan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa;

C. Pemaketan Pekerjaan

Kegiatan yang harusdilakukanadalah:PejabatPenggunaBarang/Jasa bersama

Panitia penggadaan barang/jasa wajib memaksimalkan penggunan produksi dalam

negeri dan perluasan kesempatan bagi usaha kecil termasuk koperasi kecil

1. Pengguna barang/jasa diwajibkan:

a. menetapkan sebanyak-banyaknyapaket usaha untuk Usaha Mikro dan Usaha

Kecil serta koperasikecil tanpa mengabaikan prinsip efisiensi, persaingan

sehat,kesatuan sistem dan kualitas kemampuan teknis.

b. PA mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa di masing-

masing K/L/D/I secara terbuka kepada masyarakat luas setelah rencana kerja

dan anggaran K/L/D/I disetujui oleh DPR/DPRD.

2. Pengguna barang/jasa dilarang:

a. menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yangtersebar di beberapa

lokasi/daerah yang menurut sifatpekerjaan dan tingkat efisiensinya

seharusnya dilakukandi beberapa lokasi/daerah masing-masing;

b. menyatukan beberapa paket pengadaan yang menurut sifat dan jenis

pekerjaannya bisa dipisahkan dan/atau besaran nilainya seharusnya

dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil;

c. memecah Pengadaan Barang/Jasa menjadi beberapa paket dengan maksud

menghindari pelelangan; dan/atau

d. menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif

dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.

Page 108: Hukum Keuangan Negara

101 | P a g e

3. Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan

a. Jadual pelaksanaan pekerjaan meliputi: pelaksanaan pemilihan penyedia

barang/jasa, waktu mulai dan berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, dan waktu

serah terima akhir hasil pekerjaan;

b. Pembuatan jadual pelaksanaan pekerjaan disusun sesuai dengan waktu

yang diperlukan serta dengan memperhatikan batas akhir tahun

anggaran/batas akhir efektifnya anggaran.

4. Biaya Pengadaan:

Pengguna barang/jasa wajib menyediakan biaya yang diperlukan untuk

proses pengadaan.

D. Penetapan sistem Pengadaan yang dilaksanakan Penyedia Barang/Jasa

Kegiatan yang haru sdilakukan adalah sebagai berikut:

1. Penetapan Metoda Pemilihan Penyedia Barang Jasa Pemborongan/Jasa

Lainnya:

a. Metoda pemilihan Penyedia barang/jasa pemborongan/Jasa lainnya:

1) Pelelangan

a) Pelelangan Umum

b) Pelelangan Sederhana

Untuk pengadaan Barang/JasaLainnya yang:

Tidak kompleks

Bernilai ≤ Rp. 200 juta

Pasca kualifikasi

Pengumuman min 3 hari

2) Penunjukan Langsung

3) Pengadaan Langsung(Untuk pengadaan ≤ Rp.100 jt)

4) Sayembara/Kontes

b. Metoda pemilihan Penyedia Jasa Konsultasi:

1) Seleksi

a) Seleksi Umum

b) Seleksi Sederhana

2) Penunjukan Langsung

3) Pengadaan Langsung

Page 109: Hukum Keuangan Negara

102 | P a g e

4) Sayembara

2. PenetapanmetodaPenyampaianDokumenPenawaran:

a. Metoda Satu sampul

1) Untuk pelaksanaan Seleksi Sederhana

2) Untuk metode evaluasi pagu anggaran dan biaya terendah

b. Metoda dua sampul

1) Tidak dapat digunakan untuk pengadaan Pekerjaan Konstruksi.

c. Metoda Dua

1) Tidak dapat digunakan utk pengadaan Jasa Konsultansi

2) Tidak ada penyetaraan teknis

3. Metode evaluasi penawaran

a. Metode evaluasi penawaran dalam pemilihan Penyedia Barang / Pekerjaan

Konstruksi / Jasa Lainnya terdiri atas:

1) sistem gugur;

2) sistem nilai; dan

3) sistem penilaian biaya selama umur ekonomis.

b. Metode evaluasi penawaran untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa

Lainnya pada prinsipnya menggunakan penilaian sistem gugur.

c. Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bersifat kompleks,

dapat menggunakan metode evaluasi sistem nilai atau metode evaluasi penilaian

biaya selama umur ekonomis.

d. Metode evaluasi penawaran dalam pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi dapat

dilakukan dengan menggunakan:

e. metode evaluasi berdasarkan kualitas;

1) mengutamakan kualitas penawaran teknis sebagai faktoryang menentukan

terhadap hasil/manfaat (outcome) secara keseluruhan; dan/atau

2) lingkup pekerjaan yang sulit ditetapkan dalam KAK

f. metode evaluasi berdasarkan kualitas dan biaya;

1) lingkup, keluaran (output), waktu penugasan dan hal-hal lain dapat

diperkirakan dengan baik dalam KAK; dan/atau

2) besarnya biaya dapat ditentukan dengan mudah, jelas dan tepat.

Page 110: Hukum Keuangan Negara

103 | P a g e

g. metode evaluasi berdasarkan Pagu Anggaran;

1) sudah ada aturan yang mengatur (standar);

2) dapat dirinci dengan tepat; atau

3) anggarannya tidak melampaui pagu tertentu.

h. metode evaluasi berdasarkan biaya terendah.

digunakan untuk pekerjaan yang bersifat sederhana dan standar.

Rangkuman

Pada prinsipnya PBJ dilakukan melalui pelangan umum. Pelaksanaan Pengadaan

Barang/Jasa dilakukan melalui:

1. Swakelola; dan/atau

2. pemilihan Penyedia Barang/Jasa.

Pengadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. efisien;

2. efektif;

3. transparan;

4. terbuka;

5. bersaing;

6. adil/tidak diskriminatif; dan

7. akuntabel

Metoda pemilihan Penyedia barang/jasa Pemborongan/Jasa lainnya:

1. Pelelangan

a. Pelelangan Umum

b. Pelelangan Sederhana

2. Penunjukan Langsung

3. Pengadaan Langsung(Untuk pengadaan ≤ Rp.100 jt)

4. Sayembara/Kontes

Metoda pemilihan Penyedia Jasa Konsultasi:

1. Seleksi

a. Seleksi Umum

b. Seleksi Sederhana

2. Penunjukan Langsung

Page 111: Hukum Keuangan Negara

104 | P a g e

3. Pengadaan Langsung

4. Sayembara

Metode evaluasi penawaran

Metode evaluasi penawaran dalam pemilihan Penyedia Barang / Pekerjaan

Konstruksi / Jasa Lainnya terdiri atas:

1. sistem gugur;

2. sistem nilai; dan

3. sistem penilaian biaya selama umur ekonomis.

Latihan Soal

1. Mengapa diperlukan PBJ?

2. Sebutkan dasar hukum PBJ?

3. Sebutka dan uraikan apa yang mejadi tanggungjawab panitia pengadaan?

4. Sebutkan dan jelaskan metoda evaluasi penawaran pengadaan PBJ?

Page 112: Hukum Keuangan Negara

105 | P a g e

BAB

PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN

TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA (1)

A. Pengertian Umum

1. Pemeriksaan:adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang

dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar

pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan

informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

2. Pengelolaan Keuangan Negara: adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola

keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.

3. Tanggung Jawab Keuangan Negara: adalah kewajiban Pemerintah untuk

melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan

perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

B. Lingkup Pemeriksaan

1. Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan

keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara.

2. BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara.

3. Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan

oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara( a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan

uang, dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan

tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

10

0 Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengetahui dan menguasai

pemeriksaan pengelolaan keuangan negara.

Page 113: Hukum Keuangan Negara

106 | P a g e

c. Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f.

Pengeluaran Daerah; g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri

atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak

lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada

perusahaan negara/ perusahaan daerah; h. kekayaan pihak lain yang dikuasai

oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau

kepentingan umum; i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan

fasilitas yang diberikan pemerintah).

4. Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan

undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada

BPK dan dipublikasikan.

5. Pemeriksaan sebagaimana dimaskud dalam nomor 1 dan 2 diatas terdiri atas

pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan

tertentu.

6. Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan.

7. Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara

yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan

aspek efektivitas.

8. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk

dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada nomor (6) dan (7).

9. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam nomor (3) dan (4) dilaksanakan

berdasarkan standar pemeriksaan.

10. Standar pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada nomor (9) disusun oleh BPK,

setelah berkonsultasi dengan Pemerintah.

C. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)

1. Standar pemeriksaan adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar

umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib

dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa.

2. Standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana dimaksud sekurang-

kurangnya memuat (persyaratan) hal-hal sebagai berikut:

Page 114: Hukum Keuangan Negara

107 | P a g e

a. Pemeriksa tidak mempunyai hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah,

atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan jajaran pimpinan objek

pemeriksaan;

b. Pemeriksa tidak mempunyai kepentingan keuangan baik secara langsung

maupun tidak langsung dengan objek pemeriksaan;

c. Pemeriksa tidak pernah bekerja atau memberikan jasa kepada objek

pemeriksaan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir;

d. Pemeriksa tidak mempunyai hubungan kerja sama dengan objek

pemeriksaan; dan

e. Pemeriksa tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

kegiatan objek pemeriksaan, seperti memberikan asistensi, jasa konsultansi,

pengembangan sistem, menyusun dan/atau mereview laporan keuangan

objek pemeriksaan.(Pasal 31 ayat 4 UU 15 Tahun 2006 tentang BPK)

D. Pelaksanaan Pemeriksaan

1. Penentuan obyek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan,

penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian

laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK.

2. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan,

saran, dan pendapat lembaga perwakilan.

3. Dalam rangka membahas permintaan, saran, dan pendapat sebagaimana

dimaksud pada nomor (4.2.), BPK atau lembaga perwakilan dapat mengadakan

pertemuan konsultasi.

4. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam nomor

(4.1.), BPK dapat pula mempertimbangkan informasi dari pemerintah, bank

sentral, dan masyarakat.

5. Pemanfaatan Kinerja Aparat Pemeriksa Intern

a. Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat

pengawasan intern pemerintah.

b. Untuk keperluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), laporan hasil

pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK.

Page 115: Hukum Keuangan Negara

108 | P a g e

c. Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK dapat menggunakan

pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas

nama BPK

E. Pelaksanaan Tugas Pemeriksaan

1. meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang

berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara;

2. mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan

segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas

yang menjadi obyek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam

pelaksanaan tugas pemeriksaannya;

3. melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen

pengelolaan keuangan negara;

4. meminta keterangan kepada seseorang;(dapat melakukan pemanggilan kepada

seseorang).

5. memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu

pemeriksaan;

6. Dalam rangka pemeriksaan keuangan dan/atau kinerja, pemeriksa melakukan

pengujian dan penilaian atas pelaksanaan sistem pengendalian intern

pemerintah.

F. Investigasi Dan Temuan Kasus Pidana

Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap

adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.

1. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan

hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

2. Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

bersama oleh BPK dan Pemerintah.

Page 116: Hukum Keuangan Negara

109 | P a g e

Rangkuman

Pengelolaan Keuangan Negara: adalah keseluruhan kegiatan pejabat

pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang

meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.

Tanggung Jawab Keuangan Negara: adalah kewajiban Pemerintah untuk

melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan

perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan

keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Patokan

untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara

yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar

pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa disebut dengan

Standar Pemeriksaan. Penentuan obyek pemeriksaan, perencanaan dan

pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta

penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan

mandiri oleh BPK. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera

melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Latihan Soal

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pemeriksaan pengelolaan tanggungjawab

keuangan Negara? Sebutkan landasan hukumnya.

2. Bagaimana batas lingkup kewenangan pemeriksaan pengelolaan keuangan

Negara?

3. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya dugaan tindak pidana, langkah-

langkah apa yang harus dilakukan oleh pemeriksa?

Page 117: Hukum Keuangan Negara

110 | P a g e

BAB

PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN

TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA (2)

A. Hasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut

1. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP):

a. Pemeriksa menyusun laporan hasil pemeriksaan setelah pemeriksaan selesai

dilakukan.

b. Dalam hal diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim

pemeriksaan.

c. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini.

d. Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan

rekomendasi.

e. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.

f. Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan,

kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada

laporan hasil pemeriksaan.

2. Tindak Lanjut LHP (Penyampaian LHP):

(1)Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat

disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua)

bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat.

(2) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah

disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan

setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah.

11

Tujuan Instruksional Khusus:

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengetahui dan menguasai

tentang hasil pemeriksaan dan tindak lanjut

Page 118: Hukum Keuangan Negara

111 | P a g e

(3) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai

dengan kewenangannya.

(4) Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD

sesuai dengan kewenangannya.

(5) Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada

DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya.

(6)Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)

disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan

kewenangannya.

(7) Tata cara penyampaian laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur bersama

oleh BPK dan lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya.

3. Penyampaian LHP ke DPR:

(1) Ikhtisar hasil pemeriksaan semester disampaikan kepada lembaga perwakilan

selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah berakhirnya semester yang

bersangkutan.

(2) Ikhtisar hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota selambat-

lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah berakhirnya semester yang bersangkutan.

(3) Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga

perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum.

(4) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak

termasuk laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan

perundangundangan.

4. Tindak Lanjut LHP:

(1) Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

(2) Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang

tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

(3) Jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan

kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil

pemeriksaan diterima.

Page 119: Hukum Keuangan Negara

112 | P a g e

(4) BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

(5)Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

(6) BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan

semester.

5. Tindak Lanjut DPR:

(1) Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan

melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya.

(2) DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti

hasil pemeriksaan.

(3) DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan.

(4) DPR/DPRD dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil

pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3).

B. Pengenaan Ganti Rugi.

1. Prosedur Ganti Rugi:

(1) BPK menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu

pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi,

setelah mengetahui ada kekurangan kas/barang dalam persediaan yang

merugikan keuangan negara/ daerah.

(2) Bendahara dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri kepada BPK

dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima surat keputusan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Apabila bendahara tidak mengajukan keberatan atau pembelaan dirinya

ditolak, BPK menetapkan surat keputusan pembebanan penggantian

kerugian negara/daerah kepada bendahara bersangkutan.

(4) Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara

ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah.

(5) Tata cara penyelesaian ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

berlaku pula bagi pengelola perusahaan umum dan perusahaan

Page 120: Hukum Keuangan Negara

113 | P a g e

perseroanyang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen)

sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, sepanjang tidak diatur

dalam undang-undang tersendiri.

2. Penyelesaian Ganti Rugi:

(1) Menteri /pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/direksi perusahaan

negara dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara melaporkan

penyelesaian kerugian negara/daerah kepada BPK selambat-lambatnya 60

(enam puluh) hari setelah diketahui terjadinya kerugian negara/daerah

dimaksud.

(2) BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah

terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada

kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.

C. Ketentuan Pengenaan Pidana.

1. Sanksi Pidana Bagi Pejabat Atau Aparat:

a. Setiap orang yang dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban menyerahkan

dokumen dan/atau menolak memberikan keterangan yang diperlukan untuk

kepentingan kelancaran pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 (yakni: a. meminta

dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan

dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

negara; b. mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset,

lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali

dari entitas yang menjadi obyek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang

perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya; c. melakukan penyegelan

tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen pengelolaan keuangan

negara; d. meminta keterangan kepada seseorang; e. memotret, merekam

dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling

banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

b. Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, dan/atau

menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

Page 121: Hukum Keuangan Negara

114 | P a g e

10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan

dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

c. Setiap orang yang menolak pemanggilan yang dilakukan oleh BPK sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 tanpa menyampaikan alasan penolakan secara tertulis

dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan

dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

d. Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan atau membuat palsu dokumen

yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2. Sanksi Pidana Bagi Pemeriksa(1):

a. Setiap pemeriksa yang dengan sengaja mempergunakan dokumen yang

diperoleh dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan sebagaiamana dimaksud

dalam Pasal 10 melampaui batas kewenangannya, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

b. Setiap pemeriksa yang menyalahgunakan kewenangannya sehubungan dengan

kedudukan dan/atau tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10

dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling

lama 5 (lima) tahun dan /atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah).

3. Sanksi Pidana Bagi Pemeriksa <dan Terperiksa>(2):

a. Setiap pemeriksa yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan pemeriksaan

yang mengandung unsur pidana yang diperolehnya pada waktu melakukan

pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dipidana

dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam ) bulan dan/atau

denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

b. Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti

rekomendasi yang disampaikan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 ( satu)

tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima

ratus juta rupiah).

Page 122: Hukum Keuangan Negara

115 | P a g e

D. Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ).

1. Pengertian-pengertian:

a. Badan Pemeriksa Keuangan,: yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga

negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

b. BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

2. Keanggotaan:

a. BPK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya diresmikan

dengan Keputusan Presiden.

b. Susunan BPK terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil

Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota.

c. Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling

lambat 30 (tiga puluh) hari sejak anggota BPK terpilih diajukan oleh DPR.

d. Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat

dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

e. BPK memberitahukan kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden tentang

akan berakhirnya masa jabatan anggota BPK paling lambat 6 (enam) bulan

sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut.

3. Tugas-Tugas BPK:

(1) BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara

yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga

Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan

Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang

mengelola keuangan negara.

(2) Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan

dan tanggung jawab keuangan negara.

(3) Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja,

dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Page 123: Hukum Keuangan Negara

116 | P a g e

(4) Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan

ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib

disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.

(5) Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPK melakukan

pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai

dengan standar pemeriksaan keuangan negara.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK.

4. Wewenang BPK:

a. menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan

pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun

dan menyajikan laporan pemeriksaan;

b. meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap

orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga

Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan

Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang

mengelola keuangan negara;

c. melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik

negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha

keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan,

surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar

lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara;

d. menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan

tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK;

e. menetapkan standar pemeriksaan keuangan Negara (SPKN) setelah

konsultasi dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib

digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan

negara;

f. menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara;

g. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang

bekerja untuk dan atas nama BPK;

Page 124: Hukum Keuangan Negara

117 | P a g e

h. membina jabatan fungsional Pemeriksa;

i. memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan; dan

j. memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern

Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah

Pusat/Pemerintah Daerah.

5. Tindak Lanjut LHP BPK:

(1) BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan

kewenangannya.

(2) DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti hasil pemeriksaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan tata tertib masing-masing

lembaga perwakilan.

(3) Penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPRD dilakukan oleh Anggota

BPK atau pejabat yang ditunjuk.

(4) Tata cara penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan DPRD

diatur bersama oleh BPK dengan masing-masing lembaga perwakilan sesuai

dengan kewenangannya.

(5) Hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara

yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka

untuk umum.

6. Ketentuan Pidana:

(1) Anggota BPK yang memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan

yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU 15-2006 tentang BPK huruf a

(yakni: Anggota BPK dilarang: a. memperlambat atau tidak melaporkan hasil

pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang

berwenang), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit

Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Anggota BPK yang mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi

dan/atau dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan

tugas BPK dengan melampaui batas wewenangnya sebagaimana dimaksud

Page 125: Hukum Keuangan Negara

118 | P a g e

dalam Pasal 28 UU 15-2006 tentang BPK huruf b (yakni: Anggota BPK

dilarang: b. mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi, atau

dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas yang

melampaui batas kewenangannya kecuali untuk kepentingan penyidikan yang

terkait dengan dugaan adanya tindak pidana), dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau

denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling

banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Rangkuman

Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga negara yang bertugas untuk

memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tindak Lanjut LHP (Penyampaian LHP):

(1) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat

disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan

setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat.

(2) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah

disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah

menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah.

Tindak Lanjut LHP: Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil

pemeriksaan.

Latihan Soal

1. Bagaimana prosedur penetapan ganti rugi? Jelaskan!

2. Bagaimana penerapan sanksi bagi pemeriksa yang dalam pelaksanaan tugasnya

melakukan perbuatan melawan hukum?

3. Bagaimana penanganan atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)?

Page 126: Hukum Keuangan Negara

119 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

Bagian Pertama: Buku Teks

Richard , A. Musgrave dan B. Musgrave Peggy. Keuangan Negara Dalam Teori Dan

Praktik. Edisi Kelima . Jakarta: Erlangga. 1991.

Suparmoko. Keuangan Negara. Edisi 5. Yogyakarta: BPFE, 2000.

Bagian Kedua: Dokumen Publik

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke Empat.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan

Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Page 127: Hukum Keuangan Negara

120 | P a g e

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 Tentang Rencana Kerja Pemerintah.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 Tentang Penyusunan Rencana Kerja

Dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga.

Perauturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan

Layanan Umum.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik

Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Uang

Negara/Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara.

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa

Instansi Pemerintah.

Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri

Sipil.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.02/2006 Tentang Persyaratan

Administratif Dalam Rangka Pengusulan Dan Penetapan Satuan Kerja Instansi

Pemerintah Untuk Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan

Umum.

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Standar

Pemeriksaan Keuangan Negara.

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan omor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara

Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.