konstruksi hukum otoritas keuangan negara - muamar
DESCRIPTION
Konstruksi Hukum Otoritas NegaraTRANSCRIPT
Konstruksi Hukum Otoritas Keuangan Negara
dalam Mewujudkan Industri Perbankan Nasional yang
Sehat dan Dinamis.
Oleh:
H. Muammar Arafat Yusmad
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo
E-Mail: [email protected]
ABSTRAK
Kata Kunci: Otoritas Keuangan Negara dan Industri Perbankan Nasional
Kebijakan pada sektor perbankan yang dikeluarkan oleh BI dan OJK pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan dan memelihara kesehatan bank. Bank yang sehat adalah bank yang memenuhi indikator-indikator kesehatan sebuah bank secara terukur secara periodik. Bank yang sehat dapat menjalankan fungsi-fungsinya sebagai sebuah lembaga intermediasi dengan baik dan dapat menjaga kepercayaan dari masyarakat. Konstruksi hukum harus dilakukan secara cermat agar tidak terjadi benturan antar norma hukum (conflict of norm) dan kebijakan yang saling tumpang-tindih.
Berdasarkan hasil pembahasan konseptual diperoleh argumen: (1) Konstruksi hukum perbankan nasional harus berpedoman pada UUD 1945 sebagai konstitusi negara; (2) Prosedur yang ditempuh dalam melakukan konstruksi hukum berpedoman pada UURI No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan memerhatikan asas hukum keberlakuan, pembentukan dan materi muatan dalam peraturan perundang-undangan (3) Mewujudkan perbankan nasional yang sehat dan dinamis tidak terlepas dari sistem perbankan nasional yang sehat bagi terciptanya stabilitas dalam sistem keuangan dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional.
ABSTRACT
Key Words: State Finance Authority and National Banking Industry
The banking sector policies by the BI and OJK are intended to create and maintain the health of banks.The health bank is a bank that meets the indicators with measured periodically and also enable to perform its functions as an intermediary institutions and maintaining trust of the customer. A legal construction must be done carefully to avoid conflict of norm and overlapping policies.
Based on the conceptual discussion, the legal arguments are: (1) The legal construction of national banking should be guided by UUD 1945 as the state constitution; (2) The procedure of the legal construction refers to Act No. 12 Year 2011 on the establishment of legislation by refering of the legal principles: enforceability of rules, the formation and substace of the regulation; (3) Achieving the health and dynamic banks are related on the national bank system for the realization of stability in the financial systems and developing national economic growth.
A. Pendahuluan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) mengamanatkan agar perekonomian nasional
diselenggarakan dengan berdasarkan atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.1 Perkembangan perekonomian nasional dewasa ini
bergerak cepat, dinamis, kompetitif dan saling terintegrasi satu
sama lain. Menyikapi kondisi tersebut, diperlukan penyesuaian-
1 Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
penyesuaian kebijakan ekonomi termasuk kebijakan pada sistem
perbankan nasional. Salah satu masalah serius yang dihadapi
dalam pembangunan ekonomi Indonesia ialah mempraktikkan
kerangka hukum dan konstitusi dalam pengembangan kebijakan-
kebijakan perekonomian. Menurut Jimly Asshiddiqie, selama ini
persoalan tersebut dianggap tidak penting mengingat praktik
penyelenggaraan ekonomi sejak kemerdekaan telah berjalan
mengikuti saja arus logika pembangunan ekonomi yang
berkembang atas dasar pengalaman empiris di lapangan
ataupun teori-teori dan kisah-kisah sukses di negara lain yang
layak dijadikan contoh.2
Dalam menjalankan fungsi-fungsi intermediasi perbankan,
selain didukung oleh modal yang cukup dan rasional atau rasio
kecukupan modal (capital adequacy ratio) juga harus
dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian bank (prudential
banking) agar dapat menghasilkan profit dan memelihara
likuiditas sehingga bank tersebut tidak mengalami kesulitan
dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya. Bank juga wajib
mematuhi regulasi di bidang perbankan dan juga keuangan yang
dikeluarkan oleh otoritas keuangan negara yaitu Kementerian
Keuangan, BI dan OJK. Pengawasan terhadap kinerja perbankan
mutlak harus lebih ditingkatkan mengingat maraknya kasus-
kasus pembobolan bank di Indonesia dewasa ini dengan
memanfaatkan kelemahan sistem administrasi dan sumber daya
manusia pada bank tersebut.3
Dari uraian di atas, yang menjadi fokus permasalahan
adalah mengenai (1) Bentuk konstruksi hukum yang dilakukan
oleh Pemerintah dalam penataan perbankan nasional (2)
2 Lihat Jimlly Asshiddiqie: Konstitusi Ekonomi. 2010 (Jakarta: Kompas) hal. vii 3 Muammar Arafat: Aktualisasi Asas-asas Hukum Perbankan Guna Mencegah Tindak Pidana dalam Lingkup Perbankan Syariah. Jurnal Hukum Adil, Volume II No. 2, edisi Agustus 2011. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Yarsi, hal. 219.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam melakukan konstruksi
hukum terhadap perbankan nasional (3) Upaya mewujudkan
industri perbankan nasional yang sehat dan dinamis.
B. Pembahasan
Gambaran Umum Perbankan Nasional dan Profil OJK
Ketentuan UURI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana yang telah diubah dengan UURI No. 10 Tahun 1998
menjelaskan beberapa jenis bank berdasarkan jenis usahanya
tanpa mengurangi fungsinya sebagai lembaga penghimpun dan
penyalur dana dari masyarakat. Menurut ketentuan undang-
undang perbankan, secara umum bank terbagi atas dua jenis
yaitu: (1) Bank Umum: yaitu bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah
yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran dan (2) Bank Perkreditan Rakyat (BPR): yaitu bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Perbedaan antara kedua jenis bank tersebut terletak pada
kegiatan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Selaras dengan itu,
saat ini ekonomi syariah (termasuk perbankan syariah) sebagai
“pendatang baru” dalam industri perbankan juga perlu
dikuatkan. Hal ini disebabkan karena ajaran Islam tentang
ekonomi adalah ajaran yang bersifat integral, yang tidak
terpisahkan, baik dengan ajaran Islam secara keseluruhan
maupun dengan realitas kehidupan.4 Dalam konteks perbankan
syariah misalnya, tidak jarang muncul asumsi bahwa bank
4 Yadi Janwari: Tantangan dan Inisiasi dalam Implementasi Ekonomi Syariah di Indonesia. Jurnal Al-Ahkam, Vol. XII No. 2 edisi Juli 2012, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, hlm. 254.
syariah itu tidak jauh berbeda dengan bank konvensional.
Asumsi dan statemen ini merupakan indikator bahwa masyarakat
Islam belum memahami betul tentang ekonomi syariah.5
Perbankan syariah berkembang dengan cepat melalui inovasi
produk berbasisi pasar. Inovasi produk ini harus sesuai dengan
aturan yang ditetapkan dalam hukum Islam.6 Di sinilah peran
DSN-MUI, DPS, BI dan OJK penting untuk mengatur dan
mengawasi kegiatan operasional perbankan syariah sehingga
masyarakat tidak “terpedaya” dengan produk-produk bank
syariah yang tidak sesuai dengan prinsip syariah.
UURI No. 21 Tahun 2012 mengamanatkan bahwa terhitung
sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas dan kewenangan
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan pada
sektor perbankan, beralih dari Bank Indonesia ke OJK. Dengan
momentum peralihan tersebut, maka OJK resmi menjadi lembaga
yang bebas dan mandiri tanpa campur tangan pihak lain dalam
menjalankan perannya sebagai pengatur dan pengawas
lembaga-lembaga penyedia jasa keuangan di Indonesia.
Konstruksi Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan
Dalam melakukan konstruksi hukum bidang perbankan
nasional, terdapat beberapa lembaga yang secara integratif
menumbuhkan iklim perbankan yang sehat dan dinamis antara
lain adalah:
1) Kementerian keuangan dalam hal kebijakan fiskal;
2) BI dalam hal kebijakan moneter dan menjaga stabilitas
mata uang rupiah;
3) OJK dalam hal pengaturan dan pengawasan perbankan;
5 Ibid, hlm. 566 Ibrahim Siregar: Legal Aspect of “Gold Farming” Islamic Banking Product. Jurnal Al-
Ahkam, Vol. XIV No. 2 edisi Juli 2014, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, hlm. 165.
4) Dewan Komisaris selaku pengawas kegiatan perbankan
sebagai badan hukum sesuai dengan undang-undang
Perseroan Terbatas;
5) Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang menurut UURI No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah berfungsi untuk
menjadi penasihat direksi dan mengawasi bank agar sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah;
6) Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI) yang mengeluarkan fatwa-fatwa atas sebuah produk
perbankan syariah. Peranan DSN-MUI terbatas hanya pada
bank syariah dan bank konvensional yang memiliki unit
usaha syariah (UUS).
Konstruksi hukum yang dilakukan harus memperhatikan
asas hukum keutamaan keberlakuan peraturan perundang-
undangan yaitu: lex superiori derogat legi generale atau
peraturan yang lebih tinggi derajatnya harus lebih diutamakan
daripada peraturan yang lebih rendah. Olehnya itu, dalam
menetapkan peraturan perundang-undangan terkait perbankan
nasional harus dihindari pengaturan yang saling bertentangan
antara sebuah peraturan dan peraturan lainnya termasuk
menghindari adanya tumpang-tindihnya kewenangan antar
lembaga terkait. Konstruksi hukum yang dilakukan harus
berpedoman pada UUD 1945 sebagai konstitusi negara, sehingga
secara tata urutan (hierarkhie) peraturan terkait perbankan
nasional adalah:
1) UUD 1945 pada Bab VIII Hal Keuangan, Pasal 23 D;
2) UURI No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UURI
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
3) UURI No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UURI
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
4) UURI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
5) UURI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
6) UURI No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan;
7) Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (know your
customer principles);
8) Peraturan Bank Indonesia No. 6/10/PBI/2004 tentang
Sistem Penilaian Kesehatan Bank Umum;
9) Peraturan Bank Indonesia No. 9/1/PBI/2007 tentang
Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Syariah;
10) Peraturan Bank Indonesia No. 15/2/PBI/2013 tentang
Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank
Konvensional;
11) Peraturan Bank Indonesia No. 15/13/PBI/2013
tentang Perubahan atas PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang
Bank Umum Syariah;
12) Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan;
13) Surat Edaran Gubernur Bank Indonesia No.
12/13/DPbS tentang Pelaksanaan Prinsip Good
Corporate Governance bagi Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah.
Konstruksi hukum tersebut dibuat dengan memperhatikan
harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Khusus bagi bank umum syariah (BUS), bank konvensional yang
mempunyai unit usaha syariah (UUS) dan bank perkreditan
rakyat syariah (BPRS) harus memperhatikan fatwa-fatwa DSN-
MUI. Hal ini penting dilakukan untuk memastikan bahwa seluruh
produk-produk perbankan syariah tersebut telah sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah.
Bagan 1. Kerangka Metodologis Konstruksi Hukum dalam
Bidang Perbankan
Prosedur yang Ditempuh dalam Melakukan Konstruksi
Hukum.
Konstruksi hukum perbankan nasional harus memiliki
sebuah epistimologi yang tepat. Landasan yuridis dalam sebuah
proses pengkonstruksian hukum tersebut yaitu UURI No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam
melakukan sebuah konstruksi hukum adalah:
1) Tata urutan peraturan perundang-undangan nasional;
UURI No. 12 Thn 20011 ttg Pembentukan Peraturan Per-uu-an
Proses Konstruksi
Landasan Yuridis
ASAS-ASASHUKUMTERKAIT
UUD 1945(KONSTITUSI)
UNDANG-UNDANGTERKAIT
PERATURANBANK INDONESIA
DANPERATURAN OJK
SURAT EDARANBI DAN OJK
ATURAN INTERNALKomisaris, DireksiDPS (Bank Syariah) FATWA-FATWA
DSN-MUITERKAIT PERBANAS
(Khusus Bank Syariah)
B
A
N
K
2) Asas-asas hukum tentang keberlakuan peraturan
perundang-undangan;
3) Asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan;
4) Asas-asas hukum dalam materi muatan sebuah
peraturan perundang-undangan;
5) Materi muatan dalam peraturan perundang-undangan.
6) Pengaturan tentang kewenangan antar lembaga.
Urgensi dari pengaturan aspek-aspek yuridis tersebut
adalah untuk menghindari terjadinya benturan antar norma
hukum (conflict of norm), ketidakjelasan norma yang dapat
menimbulkan multitafsir dan tumpang tindihnya kewenangan
antar lembaga dan pembuat kebijakan. Guna mewujudkan
Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang
diamanatkan konstitusi7
Sebagai dasar yuridis dalam melakukan konstruksi hukum,
UURI No. 12 Tahun 2011 adalah pelaksanaan dari perintah UUD
1945 Pasal 22 A yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih
lanjut dalam undang-undang. Proses konstruksi hukum yang
dilakukan harus dilakukan secara komprehensif, integratif dan
berkelanjutan.
7 . NKRI sebagai negara hukum (rechtstaat) diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
Bagan 2. Konstruksi Hukum Terkait dengan Substansi
dalam
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Sektor
Perbankan
Mewujudkan Industri Perbankan Nasional yang Sehat dan
Dinamis
BI dan OJK dalam upaya mewujudkan industri perbankan
yang sehat dan dinamis mengeluarkan berbagai peraturan
sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya masing-masing
untuk mengatur kegiatan-kegiatan dalam sektor perbankan:
MATERI MUATAN
PERATURAN PER-UU-AN
SEKTOR PERBANKAN
UNDANG-UNDANG:1. Pengaturan lebih lanjut
ttg amanat UU;2. Perintah UU agar
diatur dlm UU;3. Pengesahan perj int’l;4. Pemenuhan kebutuhan
hukum masyarakat
UUD 1945:
Mengatur ttg hal-hal pokok yang secara
konstitusional merupakan kewajiban negara.
PBI & PERATURAN OJK:PBI dan Per-OJK berisi peraturan pelaksanaan
dari ketentuan UU
SURAT EDARANS.E berisi ttg edaran ke perbankan ttg petunjuk
teknis untuk melaksanakan suatu kebijakan tertentu.
B
A
N
K
1) PBI No. 3/PBI/10/2001 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah (know your customer principles).
Prinsip ini diterapkan oleh bank untuk mengetahui
identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah
dan melaporkan transaksi mencurigakan pada Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Bila
calon nasabah tidak memenuhi syarat sesuai ketentuan
dalam PBI tentang prinsip pengenalan nasabah, maka
bank dilarang untuk melakukan hubungan usaha dengan
calon nasabah tersebut.8;
2) PBI No. 6/10/2004 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan
Bank Umum. Tingkat kesehatan bank adalah hasil
penilaian secara kualitatif terhadap faktor-faktor yang
memengaruhi kegiatan operasional sebuah bank yang
mencakup: Permodalan, kualitas aset, manajemen,
rentabilitas, likuiditas, sensitifitas terhadap risiko pasar.
Setelah melakukan penilaian terhadap kinerja bank
dengan menilai secara kualitatif faktor-faktor dimaksud,
selanjutnya BI menetapkan peringkat komposit dengan
skala 1 sampai 5. Peringkat komposit 1 (PK-1)
mencerminkan bahwa bank tergolong sangat baik dan
mampu mengatasi pengaruh negatif kondisi
perekonomian dan industri keuangan. Peringkat komposit
5 (PK-5) mencerminkan bahwa bank tergolong tidak baik
dan sangat sensitif terhadap pengaruh negatif kondisi
perekonomian dan industri keuangan serta mengalami
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya.
8 Pelarangan bagi bank untuk melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah yang tidak memenuhi syarat adalah dimaksudkan untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya risiko-risiko usaha sebagaimana tujuan prinsip pengenalan nasabah dalam PBI No. 3/10/PBI/2010.
3) PBI No. 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. PBI
ini pada dasarnya sama dengan PBI No. 6/10/PBI/2004,
tentang sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum.
Perbedaanya adalah pada sistem operasional perbankan
yang dinilai yaitu bank umum berdasarkan prinsip syariah.
Peringkat kompositnya juga sama yaitu ditetapkan
dengan skala PK-1 sampai PK-5;
4) PBI No. 15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan
Tindak lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional.
Peraturan BI ini dibuat pada saat masa tugas BI dalam
kewenangannya mengawasi bank segera berakhir.
Terhitung sejak 31 Desember 2013, pengawasan
perbankan akan beralih ke OJK. Namun demikian
peraturan pelaksanaan yang ada masih tetap berlaku
sepanjang belum diadakan yang baru oleh lembaga yang
berwenang. Menurut PBI ini, status pengawasan terhadap
bank terdiri atas pengawasan normal, pengawasan
intensif dan pengawasan khusus.
5) Peraturan OJK No.1/POJK.7/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. OJK telah
menyiapkan sistem pelayanan dan mekanisme
pengaduan bagi konsumen yang dirugikan oleh pelaku
usaha pada sektor perbankan dan memfasilitasi
pengaduan nasabah bank. Contohnya, debitur telah
melunasi cicilan namun agunan masih ditahan oleh bank.
Apabila masalah antara nasabah dan bank belum selesai,
maka nasabah dapat melaporkannya pada layanan
konsumen OJK. Pengaduan dapat dikirim melalui Pos, fax,
telepon atau membuka website OJK dan mengirimkan e-
mail pengaduan. OJK hanya akan memproses pengaduan
dengan informasi dari konsumen yang jelas dan akurat
seperti adanya bukti penyampaian pengaduan nasabah
pada bank, identitas diri pelapor, deskripsi pengaduan
dan dokumen pendukung yang diperlukan.
Dalam upaya mewujudkan industri perbankan nasional
yang sehat dan dinamis, BI menetapkan enam pilar yang saling
terkait satu sama lain yaitu: 9
1) Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat
dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan
mendorong pembangunan ekonomi nasional yang
berkesinambungan;
2) Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank
yang efektif dan mengacu pada standar internasional;
3) Menciptakan industri perbankan yang kuat dan berdaya
saing tinggi serta tahan terhadap risiko-risiko perbankan;
4) Menciptakan good corporate governance dalam rangka
memperkuat kondisi internal perbankan nasional;
5) Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk
mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat;
dan
6) Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan.
D. Penutup
9 http://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur_Perbankan_Indonesia. Akses tanggal 26 April 2015
Setelah permasalahan yang menjadi topik penelitian ini
diuraikan dan dianalisis, selanjutnya dibangun sebuah argumen
hukum :
1) Konstruksi hukum yang dilakukan oleh Pemerintah
terhadap perbankan nasional harus berpedoman pada
UUD 1945 yang merupakan konstitusi negara sebagai
sumber hukum tertinggi bangsa Indonesia. Konstitusi R.I
mengatur tentang Hal Keuangan khususnya yang
mengatur tentang Pajak, Keuangan Negara dan Bank
Indonesia yang termaktub dalam Bab VIII pada Pasal
23A, 23C dan 23D. Indonesia memiliki sebuah bank
sentral yang tugas dan kewenangannya telah diatur
dalam UURI No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
UURI No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI).
Berlakuknya UURI No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan menjadikan tugas dan tanggung jawab
pengawasan perbankan beralih dari BI ke OJK.
Konstruksi hukum perbankan nasional harus menjaga
harmonisasi antar peraturan perundang-undangan
mulai dari konstitusi, undang-undang, peraturan BI dan
OJK serta peraturan lainnya yang saling terkait;
2) Prosedur yang ditempuh dalam melakukan konstruksi
hukum terhadap perbankan nasional berpedoman pada
UURI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Konstruksi hukum yang
dilakukan harus memperhatikan asas hukum
keberlakuan peraturan perundang-undangan antara
lain: lex superiori derogat legi generale atau peraturan
yang lebih tinggi derajatnya harus lebih diutamakan
daripada peraturan yang lebih rendah, lex specialis
derogat legi generale atau peraturan yang bersifat
khusus lebih diutamakan daripada peraturan yang
bersifat umum dan lex posteriori derogat legi priori atau
peraturan yang terbaru lebih diutamakan daripada
peraturan yang lama sepanjang masih berlaku. Urgensi
dari pengaturan aspek-aspek yuridis tersebut adalah
untuk menghindari terjadinya benturan antar norma
hukum (conflict of norm), ketidakjelasan norma yang
dapat menimbulkan multitafsir dan tumpang tindihnya
kewenangan antar lembaga dan pembuat kebijakan;
3) Mewujudkan perbankan nasional sebagai sebuah
industri yang sehat dan dinamis tidak terlepas dari
kehadiran sebuah sistem perbankan nasional yang
sehat sebagai syarat bagi terciptanya stabilitas dalam
sistem keuangan dan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi nasional. Bank perlu menerapkan prinsip-
prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance) dalam upaya melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan pada sektor perbankan dan untuk
mengantisipasi berbagai kemungkinan terjadinya risiko-
risiko perbankan yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abad Badruzaman. Dari Illah ke Maqasid: Formula Dinamisasi Hukum Islam di Era Kekinian Melalui Pengembangan Konsep Maqasid. Jurnal Ijtihad, Vol. 14, No. 1 Edisi Juni 2014, Salatiga: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Alumni Bandung. 2000.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi Ekonomi. Kompas Jakarta. 2010
Dewi, Gemala. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia. Kencana Prenada Media Group Jakarta. 2006
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI (Jilid 1 dan 2) Diterbitkan atas kerjasama Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI dan Bank Indonesia. 2010
Fatwa, A.M. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Kompas Jakarta. 2009
Firdaus, Muhammad N.H. et al. Sistem dan Mekanisme Pengawasan Syariah. Renaisan Jakarta. 2005.
Henny van Greuning, et al; Adhi, M. Ramdhan (Ed) Analisis Resiko Perbankan (Analyzing Banking Risk). Salemba Empat Jakarta. 2009
Ibrahim, Johnny. Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum. ITS Press, Surabaya. 2009.
Ibrahim Siregar. Legal Aspect of “Gold Farming” Islamic Banking Product. Jurnal Al-Ahkam, Vol. XIV No. 2 edisi Juli 2014, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
Machmud, Amir, et al. Bank Syariah, Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia. Erlangga Jakarta. 2010
Muammar Arafat. Aktualisasi Asas-asas Hukum Perbankan Guna Mencegah Tindak Pidana dalam Lingkup Perbankan Syariah. Jurnal Hukum Adil, Volume II No. 2, edisi Agustus 2011. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Yarsi
Yadi Janwari. “Tantangan dan Inisiasi dalam Implementasi
Ekonomi Syariah di Indonesia” Jurnal Al-Ahkam, Vol. XII No. 2 Edisi Juli 2012, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
Republik Indonesia. Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
Republik Indonesia. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Republik Indonesia. Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Republik Indonesia. Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Prinsip Mengenal Nasabah
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Kesehatan Bank Umum
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Syariah;
Republik Indonesia. Peraturan Bank Indonesia No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
Republik Indonesia. Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Konvensional.
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 15/13/PBI/2013 tentang Perubahan atas PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah.
Republik Indonesia. Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.