tugas otoritas jasa keuangan

33
PENGERTIAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi sudah harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai suatu lembaga pengawasan sektor keuangan di Indonesia yang perlu diperhatikan, karena ini harus dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut. Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya UU ini selain pertimbangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali dirubah, yakni : Page 1

Upload: ronnie-arthana

Post on 21-Nov-2015

101 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

paper

TRANSCRIPT

OTORITAS JASA KEUANGAN

PENGERTIAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi sudah harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai suatu lembaga pengawasan sektor keuangan di Indonesia yang perlu diperhatikan, karena ini harus dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut.Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya UU ini selain pertimbangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali dirubah, yakni : Sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional; Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan; Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan; dan Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.Harapan penataan melalui UU No.21 Tentang Otoritas Jasa Keuangan : Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan, dan Agar pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi.FUNGSI OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)Fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah:1. Mengawasi aturan main yang sudah dijalankan dari forum stabilitas keuangan;2. Menjaga stabilitas sistem keuangan;3. Melakukan pengawasan non-bank dalam struktur yang sama seperti sekarang; dan4. Pengawasan bank keluar dari otoritas BI sebagai bank sentral dan dipegang oleh lembaga baru.TUJUAN PEMBENTUKAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)Tujuan dalam pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK):1. Untuk mencapainya, BI dalam melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan dengan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian;2. Mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis; dan3. Menciptakan satu otoritas yang lebih kuat dengan memiliki sumber daya manusia dan ahli yang mencukupi.TUGAS DAN WEWENGAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap :1. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;2. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan3. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.Dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan, OJK mempunyai wewenang :1. Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang meliputi : Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa; Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank; Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank.2. Terkait Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi : Menetapkan peraturan dan keputusan OJK; Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK; Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu; Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan; Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.3. Terkait Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi: Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan; Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif; Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu; Melakukan penunjukan pengelola statuter; Menetapkan penggunaan pengelola statuter; Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.ASAS-ASAS OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM MELAKSANAKAN TUGAS DAN WEWENANGNYADalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Otoritas Jasa Keuangan berlandaskan asas-asas sebagai berikut:1. Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;2. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;3. Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;4. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;5. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;6. Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan7. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.LANDASAN PEMBENTUKAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)Awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya keresahan dari beberapa pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia. Ada 3 hal yang melatarbelakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia, permasalahan lintas sektoral industri jasa keuangan dan amanat Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (Pasal 34).Pasal 34 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia merupakan respon dari krisis Asia yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya pada sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya bank-bank yang mengalami koleps sehingga banyak yang mempertanyakan pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang tidak mendukung diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka sistem keuangan yang lebih tangguh. Reformasi dibidang hukum perbankan diharapkan menjadi obat penyembuh krisis dan sekaligus mencitakan penangkal dalam pemikiran pemasalahan-permasalahan di masa depan.Untuk itu terbentuklah ide awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan yang sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. Rancangan Undang-Undang ini disamping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (bank sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan rancangan undang-undang (kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank. Di Jerman, pengawasan industri perbankan dilakukan oleh suatu badan khusus yaitu Bundesaufiscuhtsamt fur da kreditwesen. Pada waktu Rancangan Undang-Undang tersebut diajukan muncul penolakan yang kuat oleh kalangan DPR dan Bank Indonesia. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral. Nantinya Otoritas Jasa Keuangan akan mengawasi seluruh industri jasa keuangan yang ada di Indonesia.Usulan untuk membagi kewenangan di bidang pengaturan dan pengawasan bank kepada 2 (dua) lembaga, yaitu Bank Indonesia dan lembaga penyedia jasa keuangan atau yang dikenal dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bentuk dari sistem ini merupakan hal baru dalam sejarah perkembangan di bidang perbankan Indonesia, mengingat bentuk pengaturan dan pengawasan perbankan sebelumnya berada di dalam satu lembaga saja, yaitu Bank Indonesia. Namun nantinya tugas mengawasi bank berada di tangan Otoritas Jasa Keuangan.Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia ditetapkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan akan dibentuk paling lambat tahun 2010. Namun Sebelum diamandemenkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia bunyi ketentuannya adalah Lembaga Pengawas Jasa Keuangan/LPJK (yang kemudian menjadi Otoritas Jasa Keuangan) paling lambat sudah harus dibentuk pada akhir Desember 2002.Tetapi dalam penyusunan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan terdapat masalah yang harus diindentifikasi yang selanjutnya dikaji dan dianalisa kebaikan dan kelemahannya, serta menelaah praktek-praktek dalam membentuk suatu lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan.Dalam hal ini perlu dipertimbangkan prinsip-prinsip untuk melakukan reformasi dan organisasi lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, yaitu independensi, terintegrasi, dan menghindari benturan kepentingan.HUBUNGAN KELEMBAGAAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DENGAN BANK INDONESIA DAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANANDalam melaksanakan tugasnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain: kewajiban pemenuhan modal minimum bank, sistem informasi perbankan yang terpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri, produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya, penentuan institusi bank yang masuk kategorisystemically important bankdan data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), akan tetapi tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank dan laporan hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya hasil pemeriksaan.Jika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera menginformasikan ke Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank IndonesiaOtoritas Jasa Keuangan (OJK) menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi.HUBUNGAN KELEMBAGAAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DENGAN DPR RIDewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan anggaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.Otoritas Jasa Keuangan (OJK) wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan dan tahunan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.Dalam hal persetujuan perjanjian internasional di sektor jasa keuangan menyangkut masalah hukum dan berdampak pada sistem keuangan nasional, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) wajib mendapatkan konfirmasi dari Dewan Perwakilan RakyatKOORDINASI OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM FUNGSI PENGAWASAN TERHADAP LEMBAGA KEUANGAN DI INDONESIADalam hal pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada industri keuangan baik bank maupun non bank berada di satu atap atau sistem pengawasan terpadu, sehingga sistem pengawas bisa bertukar informasi dengan mudah. Hal ini dapat menghindari adanya putusnya informasi antara badan pengawas bank dan non bank yang telah ada di Indonesia sebelumnya. Sebagai contoh kasus bailout Bank Century yang telah terjadi yang hingga sampai saat ini belum terselesaikan. Dalam kasus tersebut Bank Indonesia sebagai pengawas bank menganggap PT. Antaboga sudah di awasi Bapepam- LK karena merupakan produk reksa dana, tetapi Bapepam LK juga tidak mengetahui keberadaan PT. Antaboga karena produk ini di jual dilingkungan bank.Sistem pengawasan terpadu ini dapat meminimalisasi kemungkinan berbenturannya kordinasi antar lembaga. Jika ada berbagai lembaga pengawas dalam suatu sistem keuangan banyak tantangan yang harus dihadapi salah satunya adalah memastikan kordinasi antar lembagalembaga agar terciptanya konsistensi dalam menentukan suatu kebijakan atau menentukan siapa yang bertanggung jawab atas suatu kebijakan tersebut. Tetapi pada kenyataannya sering terjadainya kegagalan kordinasi dalam bentuk pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawasan terhadap dunia perbankan.Dalam proses pengawasan terpadu ini membutuhkan undangundang baru, tetapi memungkinkan menjadi kesempatan untuk kepentingan tertentu di sektor keuangan dalam membatasi proses efektifitas aturan dan pengawasan. Dengan adanya proses pengawasan terpadu akan berbenturan dengan sistem pengawasan sektoral yang sudah ada sebelumnya. Hal ini dapat menjadi kendala yang besar dalam proses pengawasan terpadu. Salah satu cara dalam mengatasi masalah tersebut adalah dengan mencabut aturan pengawasan sektoral dan melakukan pembentukan pengawasan terpadu. Tetapi yang perlu diperhatikan, dalam hal ini jangan sampai proses pembentukan aturan baru dapat di manfaatkan dan di gunakan oleh kepentingankepentingan tertentu.Dalam sistem pengawasan terpadu terdapat dua persoalan penting mengenai perubahan tata kelola yang akan dihadapi menuju sistem pengawasan terpadu yang di inginkan. Kegagalan dalam mengatasi persoalan tersebut, secara efektif akan mengurangi kemampuan lembaga pengawasan yang baru dalam kewenangannya melakukan pengawasan. Kedua persoalan tersebut adalah :Pertama, kesepakatan mengenai pemindahan pegawai dari lembaga pengawasan yang lama ke lembaga pengawasan yang baru. Dalam hal ini ketika sudah ada beberapa lembaga pengawas dan kemudian di gabungkan menjadi satu lembaga pengawas akan memunculkan ketegangan antar keduanya. Untuk mencegah hal tersebut dapat dilakukan dengan cara pemindahan pegawai dari lembaga yang lama ke lembaga pengawas yang baru, tetapi harus di sertai dengan kesepakatan antar dua lembaga untuk meninjau dan menempatkan kedudukan ulang para pegawai dan juga membentuk struktur pengawasan yang teratur agar tidak terjadi benturan atau persaingan antar pegawai yang sebelumnya bekerja di lembaga yang berbeda.Kedua, Perubahan budaya kerja, di setiap lembaga pengawas yang berbeda tentunya memiliki suatu budaya kerja yang beda pula. Budaya kerja dalam hal ini telah terjadi suatu kebiasaan yang di sebabkan oleh beberapa faktor seperti tata kelola dari masingmasing lembaga dan pendekatan umum pengawasan terhadap lembaga keuangan.Untuk itu dengan adanya penggabungan menjadi satu lembaga pengawas harus di ciptakan budaya kerja yang mencakup dari setiapsetiap lembaga pengawas yang sudah ada sebelumnya.PERAN OTORITAS JASA KEUANGANDewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir Oktober 2011 lalu akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Otoritas Jasa Keuangan (OJK). RUU ini bila dilaksanakan akan mengakhiri beberapa peran penting Bank Indonesia (BI), Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), bahkan Departemen Keuangan dalam mengawasi lembaga keuangan nasional.Pembentukan OJK berperan untuk menjaga perlindungan konsumen dan stabilitas sistem keuangan. Pembentukan OJK, tidak terlepas dari pelaksanaan Pasal 34 UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI). Pasal tersebut mengamanatkan pembetukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 2010. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. OJK akan menjadi otoritas yang memiliki kekuasaan penuh, dari mulai pengawasan, pengaturan, hingga penyelidikan terhadap korupsi baru yang menerpa sebuah lembaga keuangan.Tidak bisa dipungkiri, akan banyak kekuataan yang terberangus karena pendirian OJK. Bank Indonesia (BI), nantinya setelah kewenangannya beralih (paling lambat akhir 2013), BI hanya akan mengawasi aspek prudential makro perbankan. Sementara aspek mikronya, berupa kehati-hatian perbankan dan lain-lain akan ada di tangan OJK. Bahkan sebelumnya kekuasaan OJK akan sampai pada tahap penuntutan, namun hal itu akhirnya dibatalkan. OJK hanya akan melaporkan hasil penyelidikannya ke kejaksaan, di mana setelah sembilan puluh hari OJK akan menerima hasilnya, apakah kasusnya diterima atau ditolak.Sudah bisa dibayangkan, bagaimana nantinya kekuasaan OJK. RUU OJK sendiri akhirnya disetujui DPR dengan alasan besarnya tantangan sektor keuangan saat ini. Banyak sektor keuangan yang saling berkait, yang melibatkan banyak dana masyarakat. Sehingga, kemungkinan moral hazzard di lembaga-lembaga keuangan itu semakin besar. Untuk itulah diperlukan adanya sebuah instasi yang independen dan cukup memiliki wewenang untuk mengatasi berbagai permasalahan itu. Adanya pro dan kontra itu wajar. Tidak bisa disalahkan juga jika mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sampai mengatakan, OJK tak cocok untuk sistem keuangan global saat ini. Bahkan banyak negara yang sudah meninggalkannya. Bagi BI, Bapepam atau yang lainnya, mungkin harus berbesar hati melepaskan kekuasaan yang selama ini di tangannya. Kita tunggu saja bagaimana kiprah lembaga keuangan setelah keberadaan OJK. Apakah membaik atau bertambah amburadul. Banyak PR yang harus dituntaskan OJK. Yang jelas, jangan sampai moral hazzard perbankan dan lembaga keuangan lain yang seringkali menghilangkan dana nasabah tanpa pertanggungjawaban terjadi lagi. Kita tidak ingin penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus bail out Bank Century, dan sebagainya terulang kembali. Jalan Panjang OJKUndang-Undang Otoritas Jasa Keuangan diharapkan menjadi bagian dari kerangka peraturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. UU ini diharapkan akan mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat Indonesia. Secara umum OJK merupakan sebuah lembaga yang dirancang untuk melakukan pengawasan secara ketat lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Adapun tujuan utama pendirian OJK adalah: Pertama, meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang jasa keuangan. Kedua, menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Ketiga, meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan. Keempat, melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan. Adapun sasaran akhirnya adalah agar krisis keuangan seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang lalu tidak terulang kembali. Sebagaimana telah diketahui bahwa krisis yang melanda di tahun 1998 telah membuat sistem keuangan Indonesia porak poranda. Sejak itu maka lahirlah kesepakatan membentuk OJK pada tahun 2002, tapi nyatanya sampai akhir 2002 draf pembentukan OJK belum ada. Hingga akhirnya UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) direvisi menjadi UU No. 24/2004 yang menyatakan tugas BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Setelah lebih dari tiga tahun akhirnya sidang paripurna DPR pada tanggal 19 Desember 2003 menyelesaikan amandemen Undang-Undang Bank Indonesia. Usulan amendemen ini semula diajukan semasa pemerintahan Presiden Gus Dur. Undang-undang hasil amendemen ini disebut oleh Menteri Keuangan Boediono kala itu sebagai undang-undang bank sentral modern.Salah satu masalah krusial yang memperlambat proses amendemen ini adalah menentukan siapa yang berwenang mengawasi industri perbankan nasional. Terjadi tarik ulur yang alot antara Bank Indonesia dan pemerintah yang dalam kaitan ini diwakili oleh Departemen Keuangan. Kompromi yang dicapai akhirnya menetapkan bahwa OJK akan dibentuk paling lambat tahun 2010. Sebelum diamandemen bunyi ketentuannya adalah Lembaga Pengawas Jasa Keuangan/LPJK (yang kemudian menjadi OJK) paling lambat sudah harus dibentuk pada 31 Desember 2010.Secara historis, ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. RUU ini disamping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (bank sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU (kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi perbankan.

Peran yang MeragukanKini OJK sudah mendapatkan dasar hukum setelah undang-undangnya disahkan DPR RI. Banyak pihak pesimis, OJK dikhawatirkan tidak independen pada saat melaksanakan tugas-tugasnya. Itu muncul dari komposisi anggota Dewan Komisioner, yang kemungkinan besar akan ditempati oleh orang-orang yang lama berkecimpung di lembaga keuangan tertentu."Mereka terlibat secara batin, karena lama bekerja di satu lembaga keuangan. Hal yang sama terjadi di Amerika Serikat sebelum krisis keuangan global terjadi tahun 2008," ujar pengamat ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gajah Mada, Rimawan Pradiptyo, di Jakarta (2/11/2011), dalam sebuah diskusi terbatas yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW).Menurut Rimawan, di Amerika Serikat, lembaga sejenis OJK dihuni oleh anggota dewan komisioner yang sebelumnya bekerja di Goldman Sach. Akibatnya, ketika Goldman Sach terpuruk pada saat krisis keuangan terjadi tahun 2008, merekalah yang mendorong pemerintah untuk segera menyuntikan modal atau dana talangan agar Goldman Sach diselamatkan."Ada sembilan anggota Dewan Komisioner, hanya dua yang ex-officio (dari pihak pemerintah), dari Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Tujuh lainnya dipilih di DPR. Syaratnya adalah tidak terkait dengan partai politik dan memiliki pengalaman di lembaga keuangan. Siapa yang akan mengisinya dengan syarat seperti itu? Tentu orang yang dibesarkan di lembaga keuangan tertentu. Saya tidak yakin mereka bisa obyektif," ujarnya. Jalan keluarnya adalah, upayakan agar komposisi dewan komisioner merata, tidak terkonsolidasi pada alumni-alumni lembaga keuangan yang sama. "Saya sendiri menyarankan kepada pemerintah, sebaiknya seluruh anggota dewan komisioner berasal dari pejabat ex-officio," tutur Rimawan. Prahara keuangan yang terjadi di AS tahun 2008 lalu secara cepat mengalir dan menyebar pada sistem keuangan global. Krisis ini ditengarai diakibatkan oleh tidak mampunya otoritas jasa keuangan AS dalam mengidentifikasi potensi macetnya subprime mortgage (kredit perumahan). Secara umum krisis keuangan global ini belum usai karena memberi efek negatif. Krisis finansial di Yunani dan di beberapa negara Eroapa lainnya masih berpotensi mengancam. Sementara demonstrasi anti-Wall Street yang dimulai pertengahan September 2011 lalu melanda Amerika Serikat dan selama beberapa pekan kemudian meluas ke berbagai penjuru dunia. Hal ini menandakan bertumbuhnya kesadaran dan aspirasi kolektif bahwa globalisasi dan sistem ekonomi dunia tidak dapat dibangun di atas pelembagaan kerakusan atau ketamakan.Pemikiran pembentukan OJK utamanya dilandasi oleh sektor jasa keuangan yang semakin kompleks dan dinamis. Tapi, harus diingat bahwa OJK bukanlah mantra sakti yang dengan sekejap bisa merubah sektor keuangan dan perbankan nasional menjadi lebih baik. Diperlukan sosok yang jujur, punya prinsip, komitmen dan berintegritas untuk mewujudkan OJK sebagai lembaga yang benar-benar ideal.TANTANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)Tantangan utama yang dihadapi di sektor keuangan di Indonesia adalah konsekuensi dari pendalaman sektor keuangan, kerentanan pada risiko global dan kredibilitas Otoritas Jasa Keuangan (OJK).Konsekuensi Pendalaman KeuanganSektor keuangan merupakan pusat dari sistem dalam sebuah perekonomian: kegagalan sektor keuangan dapat melemahkan kinerja seluruh sistem dalam perekonomian (Joseph Stiglitz, 1994). Salah satu kunci utama pendalaman keuangan adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui ekspansi akses untuk pihak-pihak yang tidak memiliki kecukupan finansial. Yang tak kalah pentingnya adalah kekuatan struktur permodalan, infrastruktur dan inovasi produk jasa keuangan.Masalahnya, permodalan beberapa bank besar di Indonesia masih berada dibawah bank-bank sejenis di Asia. Modal Bank Mandiri dan BRI lebih rendah daripada bank-bank di negara tetangga seperti Bangkok Bank (Thailand), Maybank (Malaysia) ataupun Kookmin (Korea Selatan). Profil serupa terlihat pada infrastruktur darilevel of servicebank-bank di Indonesia, seperti jumlah cabang, ATM, dan jumlah penabung dibawah negara-negara tetangga.Struktur aset jasa keuangan di Indonesia masih terkonsentrasi di bank (80%), sementara yang lain seperti asuransi, 10%, Dana Pensiun 2,5%, pembiayaan 5,5% masih belum memadai untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara merata. Sektor perbankan Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar. Akan tetapi, kesempatan tersebut belum dioptimalkan sepenuhnya bagi pengembangan produk perbankan. Pengelolaan dana perbankan secara konvensional seperti sekarang ini juga menimbulkan masih tingginya biaya dana (cost of fund) dan suku bunga kredit.Inovasi jasa keuangan sering menimbulkan risiko. Majalah the Economist 25 Februari 2012 menyebutnya inovasi jasa keuangan sebagai bermain dengan api penuh risiko dan berbahaya. Tumbuhnya produk derivatif sangat cepat, dan pada umumnya (80%) produk derivatif berbentuk OTC (Over The Counter) dalam bentuk forexoptionsdanfuture, CDS (Credit Default Swap) dan OTC lainnya. Produk derivatif adalah suatu cara untuk membuat para pemegang dana memiliki rasa aman, namun eksesnya tidak dapat diperkirakan dan biasanya regulasi baru dapat diterapkan setelah terjadi masalah, misalnya penipuan, kejahatan, dan penyalahgunaan (fraud).Kerentanan pada Krisis Keuangan GlobalSektor jasa keuangan di Indonesia masih sangat rentan pada gejolak eksternal. Krisis keuangan dapat terjadi sebagai akibat dari efek ketularan (contangion effect), baik yang berasal dari negara tetangga, lingkup regional maupun global. Dampak krisis moneter 1998 terhadap perekonomian Indonesia sangat besar, dengan biaya pemulihan krisis mencapai 60% dari PDB. Sektor perbankan Indonesia praktis kolaps jika pemerintah tidak melakukan program rekapitalisasi perbankan. Krisis 1998 memberikan pelajaran mengenai pentingnya prudensial dan pengelolaan serta pengawasan perbankan yang profesional. Keberadaan produk-produkhybridkeuangan, dalam bentuk produk derivatif, yang tidak diikuti oleh regulasi yang mengaturnya, menyulut krisissubprime mortgagetahun 2007. Krisis global tahun 2007-2009 berakibat pada penciutan nilai aset dari lembaga keuangan global seperti Citigroup, HSBC, RBS, Goldman Sach, Morgan Stanley dan lain-lain.Pada April 2010, G20 telah mengadopsi ketentuan Basel III. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mengantisipasi ketentuan baru mengenai kecukupan permodalan dan transaksi derivatif dalam Basel III meskipun pelaksanaannya dimulai tahun 2019 sebagai kelanjutan dari Basel II. Pengawasan perbankan berbasis risiko dalam Basel II merupakan tantangan yang belum tuntas karena kompleksitas pelaksanaan.Kepercayaan terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK)Meski terdapat berbagai bentuk lembaga pengawasan, struktur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia menggunakan pendekatanintergrated approach, di mana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengawasi seluruh lembaga keuangan seperti halnya FSA (Financial Services Autority) di Inggris, di Australia dan di Korea Selatan. Sejarah menunjukkan gagalnya koordinasi dengan Bank of England dalam penanganan Northern Rock. Di Korsel, FSA saat ini sedang dalam tekanan politik yang hebat agar pengawasan dikembalikan ke bank sentral akibat maraknya kasus korupsi. Tantangan ke depan OJK adalah agar masalah yang terjadi di Inggrsi dan Kore Selatan tidak berulang di Indonesia.Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga otoritas yang dibentuk dari integrasi dua lembaga besar, yaitu Direktorat Pengatur dan Pengawas Perbankan BI dan Bapepam LK kementerian keuangan. Selain kendala kelambanan waktu efektifitas lembaga dan cakupan wilayah kerja, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghadapi permasalahan dalam mencapai model integrasi yang optimal karena peran dan kepentingan masing-masing cenderung berbeda yakni antara prinsip prudensial pada perbankan dan lembaga keuangan sertadisclosurepadapasar modal.Dalam hal koordinasi makro, penambahan lembaga baru ini akan menambah jumlah anggota dalam forum pengambil kebijakan, khususnya di saat krisis. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Komite Korrdinasi (KK) yang merupakan forum pengambilan keputusan di saat krisis yang sebelumnya hanya terdiri dari Bank Indonesia, kementrian keuangan, dan LPS akan bertambah dengan masuknya OJK hingga menjadi Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Penambahan anggota forum ini memiliki konsekuensi alotnya koordinasi di saat-saat genting, saat krisis.Penyatuan semua lembaga yang mengatur dan mengawasi lembaga keuangan dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan dapat memberikan perlakuan yang sama (the same level playing field) bagi seluruh sektor jasa keuangan. Penyatuan itu sekaligus diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan memudahkan koordinasi antar lembaga.Konstribusi dari sektor keuangan di Indonesia masih rendah dalam mendorong pertumbuhan dan pemerataan pendapatan. Dalam rangka mengejar ketertinggalan tersebut diperlukan upaya untuk melakukan pendalaman sektor keuangan (financial deepening) dengan memperluas akses, mendorongfinancial inclusion, dan mengembangkan diversifikasi produk jasa keuangan, termasuk syariah dan derivatif.Masalahnya, seperti pengalaman di negara-negara lainnya, pengembangan atau inovasi produk sektor jasa keuangan berjalan lebih cepat terjadi dari pada regulasi, sehingga sering menimbulkan gap negatif dan menimbulkan risiko bagi konsumen. Regulasi yang dikeluarkan seringkali tertinggal dengan inovasi produk yang diluncurkan oleh lembaga keuangan, baik bank maupun bukan bank. Perlu dibentuk suatu unit khusus dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai perkembangan invovasi produk, praktek-praktek kejahatan hinggainsider tradingdan masalahbest practicedalam regulasi sektor jasa keuangan.Di sisi lain, sektor keuangan di Indonesia masih rentan menghadapi risiko krisis global yang menular dengan cepat melalui sektor keuangan dantrade financing. Dalam menghadapi dampak krisis global, sektor keuangan harus memiliki struktur permodalan yang kuat dan pendanaan yang stabil pula. Untuk mengatasi risiko krisis perlu diperkuat dengan integrasi data makro dan keuangan serta membuat pemodelan pemantauan dini krisis dan simulasi perbankan yang mutakhir.Sementara itu, sangat penting bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk dapat membangun kredibilitas, integritas, independensi dan kepercayaan, mengingat hal tersebut merupakan pertaruhanan bagi keberlanjutan institusi baru seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Konsolidasi dalam masa transisi penting dilakukan untuk memastikan kredibilitas OJK terkait koordinasi dengan pihak lain.Sebagai lembaga pengatur dan pengawas jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus responsif, antisipatif dan waspada (RAW) dengan misi sebagai lembaga yang responsif pada kebutuhanstakeholder, antisipatif pada risikofinancial deepeningdan waspada pada gejolak internal dan eksternal. OJK harus memiliki rencana strategis dan rencana strategis tersebut disusun langkah aksi jangka pendek (2012) dan jangka menengah (sd 2016). Kesemuanya dimaksudkan agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat dipercaya menjadi lembaga pengatur dan pengawas jasa keuangan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan yang senantiasa mampu mengendalikan terjadi dampak negatif dari berbagai inovasi produk dan mengantisipasi terjadinya krisis global.Yang juga tidak kalah pentingya masing-masing individu dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap menjamin adanya integritas tinggi dan loyalitas kepada lembaga. Di atas semuanya, menjaga moralitas dan kejujuran setiap individu dalam lembaga ini adalah hal yang esensial demi tercapainya tujuan pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK).PENDAPAT PARA AHLI MENGENAI PEMBENTUKAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)Menurut para pakar ekonomi:1. Mentri keuangan Agus Martowardojo: Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diperlukan guna mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di Indonesia.2. Fuad Rahmany: menyatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK), fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah.3. Darmin Nasution: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah untuk mencari efisiensi di sektor perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan. Sebab, suatu perekonomian yang kuat, stabil, dan berdaya saing membutuhkan dukungan dari sektor keuangan.4. Deputi Gubernur BI Muliaman D. Hadad: terdapat empat pilar sektor keuangan global yang menjadi agenda Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pertama, kerangka kebijakan yang kuat untuk menanggulangi krisis. Kedua, persiapan resolusi terhadap lembaga-lembaga keuangan yang ditengarai bisa berdampak sistemik. Ketiga, lembaga keuangan membuat surat wasiat jika terjadi kebangkrutan sewaktu-waktu dan keempat transparansi yang harus dijaga.KESIMPULANBerdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:1. Bank sentral dalam sistem ekonomi suatu negara memiliki peran yang sangat penting, terutama dalam hubungannya dengan keuangan pasar di Indonesia. Dalam menjalankan tugas wewenangnya Bank Indonesia selaku bank sentral, mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap bank-bank yang ada di Indonesia. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, Bank Indonesia menggunakan prinsip kehatian-kehatian, yaitu prinsip independensi, transparansi, dan akuntabilitas. Namun demikian, pengawasan Bank Indonesia belum dilaksanakan secara efektif. Kasus pembobolan bank yang terjadi hingga saat ini mengindikasikan lemahnya pengawasan bank yang dilakukan Bank Indonesia. Pemberlakuan beberapa regulasi seperti peraturan Bank Indonesia tentang penerapan prisip mengenal nasabah, penerapan management resiko, undang-undang tindak pidana pencucian uang dan undang-undang anti korupsi nampaknya belum bisa menyeret aktor-aktor intelektual dalam kejahatan yang terjadi di dunia perbankan.2. Untuk itu dilakukan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berawal dari adanya kelemahan pengawasan perbankan nasional. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan merupakan amanat Pasal 34 Undang-Undang No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Pasal 34 tersebut merupakan respon dari krisis Asia yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya pada sektor perbankan. Untuk itu terbentuklah ide awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai tujuan agar keselurahan kegiatan dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Selain itu Otoritas Jasa Keungan (OJK) berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan. Dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diatur hal-hal sebagai berikut: tugas dan wewenang, struktur keorganisasian, perlindungan terhadap masyarakat, kerahasiaan informasi, rencana kerja dan anggaran, pelaporan dan akuntabilitas, hubungan kelembagaan, penyidikan, sanksi.3. Dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perbankan dilaksanakan secara terpadu, yaitu melalui Otoritas Jasa Keuangan Pengawasan (OJK) ini berbeda dengan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang hanya melakukan fungsi pengawasan terhadap dunia perbankan. Namun untuk pengawasan non bank di awasi oleh lembaga lain, seperti yang salah satunya pengawasan di dunia pasar modal adalah Bapepam-LK. Fungsi pengawasan yang terpisah itu dapat terjadinya masalah-masalah terhadap kordinasi antara lembaga pengawas di lembaga sektor keuangan. Untuk itulah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hadir dan dapat membuat pembaharuan fungsi pengawasan di dunia bank dan non bank. Setelah Rancangan Undang-Undang ini disahkan menjadi Undang-Undang, banyak tantangan yang akan dihadapi yaitu beberapa politisi menggunakan proses politik terbuka pada perubahan struktur pengawasan untuk diadakannya suatu perundingan guna mendorong perwujudan suatu peangawasan terpadu dengan cepat tidak peduli optimal atau tidak. Dalam sistem pengawasan terpadu terdapat dua persoalan penting, yaitu pertama, perubahan tata kelola yang akan dihadapi menuju system pengawasan terpadu yang di inginkan. Kedua, kegagalan dalam mengatasi persoalan tersebut, secara efektif akan mengurangi kemampuan lembaga pengawasan yang baru dalam kewenangannya melakukan pengawasan.SARANBerdasarkan kesimpulan di atas dapat dirumuskan saran, sebagai berikut:1. Dalam hal pengawasan yang dilakukan dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap lembaga keuangan harus dilakukan dengan berdasarkan dengan prinsip-prinsip independensi, transparansi dan akuntabel. Prinsip-prinsip tersebut hanya dijadikan sebagai tulisan belaka yang tidak dijalankan. Karena hingga saat ini kasus-kasus dalam fungi pengawasan masih banyak terjadi dan melibatkan pihak pemerintah dalam menentukan kebijakan. Agar tidak terjadi benturan antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam pelaksanaan pengawasan terhadap bank, maka perlulah adanya kejelasan mengenai pembagian otoritas dan koordinasi antara Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam pengawasan perbankan.Untuk itu, diperlukan adanya suatu revisi dari Undang-undang Bank Indonesia mengenai fungsi pengawasannya yang telah diambil alih oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).2. Pengisian keanggotaan Dewan Komisioner yang berasal dari Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, hendaknya tidak menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah. Intervensi dari pemerintah akan menjadi percuma dan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini adalah hanyalah menjadi boneka bagi pemerintah dalam menjalankan kepentingannya. Maka diharapkan pihak-pihak dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertindak tegas apabila ada intervensi dari pemerintah.3. Dalam rangka mewujudkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang efektif dan tidak dijadikan lahan politik untuk kepentingan pribadi atau kelompok, maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus bisa mengakomodir fungsi pengawasan di dunia bank dan non bank. Dengan demikian, dana yang dihimpun dari masyarakat tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingannya seperti pada kasus-kasus yang banyak terjadi pasca reformasi.

Page 21