program studi tafsir hadis fakultas ushuluddin...
TRANSCRIPT
BAI’AT DALAM AL-QUR’AN
(KAJIAN ATAS PEMAKNAAN LDII TERHADAP AYAT 18 SURAT AL-FATH)
SKRIPSI
Oleh:
Muamar
NIM: 105034001247
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah
Swt. atas segala rahmat, hidayah serta nikmat yang telah Allah berikan kepada
penulis sehingga dengan wasilah itu semua penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul “Bai’at Dalam Al-Qur’an “(Kajian Atas
Pemaknaan LDII Terhadap Ayat 18 Surat Al-Fath)” Shalawat dan salam
semoga selalu tercurah keharibaan Nabi Agung, Muhammad Saw., keluarga,
sahabat dan orang-orang yang memelihara hadis dan mengikuti Sunnahnya.
Sebelumnya penulis ingin mengucapkan ribuan terima kasih kepada semua
yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Penulis sadar skripsi ini tidak akan
bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari
banyak pihak. Oleh Karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, M.A., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Bustamin, M.Si., selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis.
4. Dr. Lilik Umi Kultsum, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.
5. Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA., selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingannya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini berdasarkan
cara penulisannya, tujuannya, dan manfaatnya bagi masyarakat akademik.
ii
6. KH. Aceng Karimullah, B.E., S.E. selaku ketua departemen pendidikan dan
dakwah LDII yang telah banyak memberikan informasi kepada penulis
tentang apa dan bagaimana LDII
7. Seluruh dosen dan staf pada program studi Tafsir Hadis (TH) atas segala
motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang
diberikan kepada penulis selama menempuh studi. Seluruh karyawan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua
penulis Ayahanda Sa’ad Mursyid dan Ibunda Jannatun yang telah banyak
mengorbankan tenaga, pikiran dan materi, yang tiada pernah mengeluh
merawat, membimbing dan membiayai penulis sampai sekarang, terima kasih
atas apa yang sudah diberikan untuk penulis, semoga itu semua senantiasa
mendapat balasan dari Allah Swt.
9. Terima kasih juga kepada Kakak-kakakku, Siti Mujiyati, Nurhikmah,
Muhammad Aminuddin, Abdul Kholik(alm), Abdul Hopir, dan Abdul Hakim
atas dorongan semangatnya dan keponakan-keponakanku yang selalu bisa
membuat penulis tersenyum.
10. Terima kasih tak lupa pula penulis ucapkan kepada kekasih hati Adinda
Maria Ulvha yang selalu memberi dukungan kepada penulis agar tetap
semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Seluruh teman-teman jurusan tafsir hadits angkatan 2005, khususnya Th.C.
Haji Yasir, Bang Zulkarnaen, Ust.Suryadi, Habib Muchsin al-Khader, Syahid,
Irfan, Samsul Memukau, Afifuddin, Lukman, Jazuli, Noviyanto, Tejar,
iii
Khafidz, Ust.Asep, Wasikh, Noval, Hadi, Ulfah, Sha-sha, Sri, Ummi,
Fauziyah, Hidayah, dan Bierjanah.
12. Terima kasih kepada teman-teman keluarga besar The Great (alumni Darul
Mujahadah angkatan ke-7), Ust.O-im, Geboy, Verus, Makin, Ucup-tile,
Hendy, Yitno, Acong, Ce-u, Toing, Arief, Tatang, Aip, Sundoyo, Rozikin,
Anis, Bibeh, Citra. Tieka, Isti dan Royan
13. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
FUF UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Umum Islam Iman Jama.
Akhirnya penulis pun menyadari dengan wawasan keilmuan penulis
yang masih sedikit, referensi dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca,
menjadikan penulisan skripsi ini jauh dari sempurna, Namun, penulis telah
berupaya menyelesaikan skripsi ini dengan semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuan penulis sebagai manusia. Oleh karena itu, penulis
meminta saran dan kritik yang membangun dari pembaca sebagai bahan
perbaikan penulisan ini. Penulis berharap semoga Allah Swt. memberikan balasan
yang lebih baik dari semua pihak pada umumnya.
Jakarta, 27 Desember 2010
Muamar
iv
Pedoman Transliterasi
Aksara Arab dan Padanannya dalam Aksara Latin
Huruf
Arab
Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan
B Be
T Te
Ts te dan es
J Je
H ha dengan garis di bawah
Kh ka dan ha
D De
Dz de dan zet
R Er
Z Zet
S Es
Sy es dan ye
S es dengan garis di bawah
D de dengan garis di bawah
T te dengan garis di bawah
Z zet dengan garis di bawah
Hamid Nasuhi dkk, Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif
Hidayatullah, 2005.
v
' koma terbalik di atas, menghadap ke kanan
G Ge
F Ef
Q Ki
K Ka
L El
M Em
N En
W We
H Ha ھ
' Apostrof
Y Ye
Vokal
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah
Vokal Rangkap
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
keterangan
Ai a dan i
Au a dan u
vi
Vokal Panjang (Madd)
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
 a dengan topi di atas
Î i dengan topi di atas
Û u dengan topi di atas
Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau Tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya kata: tidak ditulis
“ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.
Kata Sandang
Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf () ,
dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh al-rijâl, bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
Ta Marbūtah
No Kata Arab Alih Bahasa
1 Tarîqah
vii
2 al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3 wahdat al-wujûd
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Tinjauan Kepustakaan .............................................................. 6
C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ...................................... 7
D. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8
E. Kegunaan Penelitian ................................................................. 8
F. Metodologi Penelitian ............................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 11
BAB II SEJARAH SINGKAT LDII DAN DOKTRIN-DOKTRIN
AJARANNYA SERTA CATATAN PARA ULAMA TENTANG LDII
A. Sejarah Singkat LDII ..............................................................12
B. Doktrin-doktrin Agama Dalam LDI .......................................18
1. Doktrin manqul ..................................................................18
2. Frase “Amal Shaleh” ..........................................................22
3. Ibadah Ghairu Mahdha LDII .............................................23
ix
C. Catatan Para Ulama Tentang LDII .........................................26
1. KH. Maruf Amien .............................................................26
2. KH. Ali Yafie ....................................................................30
3. Prof. Dr. H. Utang Ranuwidjaya .......................................31
4. Prof. Dr. KH. Said Agil Siradji .........................................33
5. DR. M. Syafi’i Mufid, MA ...............................................36
6. DR. Adian Husaini, MA ...................................................38
BAB III PENGERTIAN BAI’AT
A. Pengertian Tentang Bai’at ....................................................41
1. Pengertian Bai’at Secara Bahasa........................................42
2. Pengertian Bai’at Secara Istilah .........................................43
3. Pengertian Bai’at Secara Syar’i...........................................44
B. Bai’at Dalam Lintas Sejarah ...................................................45
1. Bai’at Di Masa Rasulullah .................................................45
2. Bai’at Pada Masa Khulafaur Rasyidin ...............................53
a. Pembai’atan Abu Bakar as-Shidiq .........................54
b. Pembai’atan Umar Bin Khatab ..............................59
c. Pembai’atan Ustman Bin Affan .............................61
d. Pembai’atan Ali Bin Abi Thalib ............................62
C. Ayat-ayat Yang Terkait Tentang Bai’at .................................64
BAB IV ANALISA AYAT 18 SURAT AL-FATH
A. Pemaknaan Ayat 18 Surat al-Fath menurut LDII ...................69
B. Pendapat Para Ulama Tentang Bai’at .....................................72
x
C. Analisa Terhadap Pemaknaan Bai’at Menurut LDII .............74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................84
B. Saran-saran .............................................................................86
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................90
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tidak dapat diragukan lagi bahwa bai‟at merupakan salah satu aktivitas
politik yang paling menonjol. Bai‟at identik dengan sebuah “perjanjian” dan
sebagaimana layaknya semua ragam perjanjian. Bai‟at itu sendiri melibatkan dua
kelompok, disatu sisi pihak pemimpin dan masyarakat, disisi lain, tidak hanya
ulama yang berperan penting dalam proses konsultasi sebelum ba‟ait terwujud,
tetapi semua pihak yang bersangkutan, berbakat, berpengaruh dan mempunyai
kekuasaan juga turut terlibat dalam proses itu.1
Bai‟at merupakan perjanjian antara manusia yang melibatkan tiga unsur,
yaitu: pemimpin, orang-orang yang berbai‟at atau umat, dan apa yang dinyatakan
dalam bai‟at, yaitu syariat. Tanggung jawab umat tidak terhenti pada pelaksanaan
bai‟at, tapi terus berlanjut dengan tugas yang diemban dalam menjaga agama,
melanggar batas serta menurunkannya dari jabatan jika diperlukan.2
Umat Islam di masa-masa sebelumnya hingga masa sekarang sangat
memerlukan teladan yang baik dalam usaha menghadapi tantangan zaman yang
seringkali menawarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan akidah agamanya,
serta membutuhkan contoh akhlak mulia yang telah diajarkan dan diperaktekkan
1 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiya Tentang
Pemerintahan Islam. Terj dari judul aslinya The Islamic Theory of Goverment According to Ibn
Taymiyyah (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h.95 2 Asma‟ Muhammad Ziyadah, Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam. Terj dari judul
aslinnya, Daurul Mar’ah ash-Siyasi fi Ahdi an-Nbi wa al- Khulafa ar-Rasyidin (Jakarta: Pustaka
al-kautsar, 2001), h. 70
2
oleh Rasulullah SAW dan kemudian dikuti oleh para ulama dan pemimpin umat
dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Suatu organisasi pemerintahan yang ditegakkan disebuah negeri untuk
mengatur masalah-masalah masyarakat tidaklah berjalan secara otomatis. Selama
tidak ada individu-individu yang mampu bekerja untuk mengelolahnya, organisasi
tersebut tidak akan bisa hidup, dan masyarakat tidak akan menikmati buah
pemerintahan yang baik.
Posisi kepemimpinan dalam masalah keagamaan dan kemasyarakatan
dalam masyarakat Islam yang dikenal sebagai Imâmah. atau khilãfah.3Seperti
yang dikatakan oleh As-Syarastani, perselisihan umat Islam yang terbesar adalah
perselisihan menyangkut Imâmah.4
Seiring perjalanan sejarah keberagamaan, perbedaan pemahaman dalam
teologi seringkali melahirkan berbagai macam bentuk benturan dan konflik
internal. Aqidah atau kenyakinan terhadap doktrin-doktrin agama yang dianut
memang sudah menjadi suatu hal yang paling “sakral”, bahkan bisa lebih sakral
dari agama itu sendiri. Ketika sebuah keyakinan itu diusik atau bahkan hanya
karena ada kelompok lain yang berbeda pandangan dan pemahaman dengan kita,
maka ego lantas muncul. Ironis memang, sebuah perbedaan selalu diselesaikan
dengan kekerasan, entah itu kekerasan dalam bentuk wacana atau stuktural,
bahkan fisik. Seolah-olah itu telah mendarah daging dalam tubuh masyarakat
3 Alamah Sayyid Muhammad Husain Tabataba‟i, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh
Konsep Islam Secara Mudah (Pntj) Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Hidayah,1992),Cet.
Ke-1,h.116 4 Ali as-Salas, Imâmah dan Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i, (Jakarta: Gema Insani Press,
1997), Cet.ke-1, h. 16
3
Islam pada umumnya. Padahal ada satu sisi yang tidak bisa kita lupakan, bahwa
kita lahir di lingkungan dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang
plural.
Belakangan ini, umat Islam Indonesia disibukkan dengan fenomena
merebaknya aliran sesat, baik yang berkembang dalam batas-batas geografis
Indonesia maupun pada tingkat global. Fenomena ini menguras banyak energi dan
pikiran umat Islam, padahal sebenarnya energi itu sangat diperlukan untuk
menghadapi banyak masalah ; mulai dari bencana, kisruh politik, wabah penyakit,
pengembangan mutu pendidikan generasi Muslim, dan masalah-masalah lain yang
sangat kompleks.
Keterjebakan umat Islam dalam konflik internal menyebabkan yang
seharusnya dioptimalkan demi pengembangan umat, justru hampir terkuras habis,
dalam banyak kesempatan, umat Islam dalam hal ini ormas-ormasnya tidak
sempat merealisasikan rencana strategis organisasi yang telah dirumuskan dalam
berbagai perhelatan besar seperti kongres, muktamar, munas, atau yang
sejenisnya. Umat Islam seakan “jalan di tempat” pada saat umat lain telah meraih
capaian-capaian yang tinggi di bidang sosial, kesehatan, politik, teknologi, dan
peradaban.
Salah satu respon radikal terhadap kelompok-kelompok yang dituduh
aliran sesat adalah politik generalisasi yang cenderung dilakukan oleh sebagian
umat pada tingkat massa (grass roots) tanpa melalui proses tabayyun (klarifikasi)
terhadapnya. Salah satunya adalah terhadap Lembaga Dakwah Islam Indonesia
4
(LDII), sepanjang pengamatan kami, buku-buku yang membahas LDII hanya
mengulas sisi negatifnya saja. Sementara sisi positifnya, nyaris tak tersentuh.
Seharusnya, masyarakat diberikan informasi yang lengkap dan seimbang, agar
mereka lebih bersifat objektif, sehingga tidak terjebak dalam mengkonsumsi
informasi yang tidak berimbang. Sikap tersebut akan memunculkan respon yang
salah, seperti tindakan anarkhis terhadap LDII yang sedang dalam tahap tabayyun.
Dalam menyikapi proses tabayyun ini, masyarakat terutama tokoh-tokohnya
semestinya mampu mengambil posisi yang tepat, sehingga tidak menjadi bagian
yang justru semakin memperparah keadaan.5 Polemik ini harus segera disikapi
dengan bijaksana, baik oleh pemimpin umat dan maupun oleh umat itu sendiri.
Terlepas dari kontroversi yang terjadi, timbul pertanyaan kenapa LDII
selalu mengalami tindak kekerasan secara wacana. Sehingga muncul pertanyaan,
apakah benar LDII mempunyai doktrin-doktrin atau ajaran agama yang berbeda
dan pemahaman yang berbeda dengan umat Islam pada umumnya? Sehingga
mereka sering terpojokkan.
Hal tersebut telah mendorong penulis untuk melakukan pengkajian dan
penelusuran secara mendalam tentang permasalahan yang diperdebatkan. Secara
umum penulis ingin membahas doktrin-doktrin keagamaan LDII, dan secara
khusus penulis ingin mengungkapkan seperti apa dan Bai‟at dalam LDII yang
sebenarnya, dan bagaimana LDII mentafsirkan ayat 18 surat al-Fath. karena
memang masalah Bai‟at banyak diperbicangkan khalayak ramai. Terutama isu
5 Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII (
Jakarta: Pusat Studi Islam Madani Institute, 2008), h.iii-iv.
5
minor yang dialamatkan kepada LDII yang terletak pada otoritas mutlak yang
melekat pada imam yang dibai‟atnya. Sistem Imâmah LDII tersebut, membuat
anggota LDII dilarang untuk menerima segala penafsiran yang tidak bersumber
dari penafsiran imamnya. Tetapi ketika penulis menemui salah seorang pengurus
LDII, LDII berbeda pandangan tentang konsep Imâmah dan Bai‟at dengan apa
yang orang katakan diatas. Berkaitan dengan stigma yang dialamatkan kepada
LDII, umat Islam masih mendapatkan data yang simpang-siur. Selain itu, LDII
masih dalam proses memperoleh klarifikasi secara resmi dari MUI pusat. Dan
berkaitan dengan stigma tersebut tidak terlepas dari masalah taqiyah. Taqiyah ini
sebenarnya identik dengan konsep Syiah yaitu menyembunyikan sesuatu yang
bisa membahayakan diri sendiri, harta bendanya, dan berhati-hati dalam masalah
agama, karena adanya larangan-larangan atas kebebasan beragama dan beribadah
oleh rezim penguasa yang tiran dan dzalim. Menurut al-Thusi dalm kitab al-
Tibyan, taqiyah adalah: “...menyatakan dengan lisan yang menyalahi hati karena
takut kemudharatan diri walaupun yang disembunyikan itu perkara yang benar.”6
Konsep taqiyah ini disinyalir bersumber dari Q.s. Ali „Imran / 3 : 28 dan Q.s. an-
Nahl / 16 : 106.
6 Sebagaimana dikutip dari bahaya paham syiah: satu penjelasan, (Johor Bahru: Bahagian
Penyidikan, Jabatan Agama Johor, 2003), hal. 23
6
Artinya; Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali, dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah
kembali (mu).(Q.S. Ali- Imran: 28)
Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya
tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya azab yang besar. (Q.S. an-Nahl: 106).
Pada saat ini klarifikasi tersebut masih dalam proses. Karena permasalahan
itulah maka penulis mencoba mengangkat dalam sebuah skripsi, dengan judul: “
BAI‟AT DALAM AL-QUR‟AN “(KAJIAN ATAS PEMAKNAAN LDII
TERHADAP AYAT 18 SURAT AL-FATH)”.
B. Tinjauan Kepustakaan
Pembahasan yang terkait tentang Bai‟at sebagian memang telah dibahas
dalam bentuk tulisan-tulisan karena bahasan yang penulis angkat merupakan
kajian klasik yang sudah seringkali dibahas. Sebelumnya penulis telah melakukan
survey atau pengecekan terhadap judul-judul skripsi yang telah ada di
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan setelah penulis melakukan pengecekan
terhadap judul-judul skripsi yang telah ada, penulis setidaknya menemukan dua
judul yang membahas tentang Bai‟at. Yang pertama, skripsi dengan judul: Konsep
Bai’at dalam al-Qur’an “Studi analisa Surat al-Muntahana ayat: 12”. yang
ditulis oleh saudara, Pandapotan mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
7
Jurusan Tafsir Hadis 2002. Yang menurut penulis stressing penulisannya menitik
beratkan pada analisa surat al-Muntahana ayat: 12 Yang kedua, skripsi dengan
judul: Konsep Imâmah Menurut. Tabataba’i Yang ditulis oleh saudari Rahmah
mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 2005. Yang menurut penulis dalam
skripsi ini pula menitik beratkan pada penafsiran Tabataba‟i tentang konsep
Imâmah.
Terinspirasi dari dua skripsi di atas, penulis tertarik untuk menulis sebuah
skripsi yang berjudul: Bai’at Dalam Al-Qur’an (Kajian Atas Pemaknaan LDII
Terhadap Ayat 18 Surat al-Fath)” Karena sejauh ini penulis belum menemukan
judul yang membahas secara khusus judul tersebut.
Oleh karena itu penulis rasa, judul tersebut penting untuk dibahas dan
penulis memfokuskan penelitian pada masalah Bai‟at menurut LDII dan juga
doktrin-doktrin keagamaan yang diajarkan yang konon banyak dibicarakan
khalayak ramai bahwa LDII itu sesat bukan tanpa alasan, karena penulis merasa
bahwa penelitian ini sangat penting untuk dibahas guna memenuhi jawaban atas
signifikansi sosial yang penulis ajukan di atas, di samping untuk menambah
wawasan bagi penulis khususnya.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk menghindari kerancuan dalam pembahasan, maka dalam mengkaji
dan menganalisa suatu masalah (baik itu berupa data-data atau yang lainnya),
diperlukan adanya pembatasan dan perumusan masalah, agar lebih jelas dan
terfokus arah pembahasan yang akan diuraikan nanti.
8
Dari permasalahan yang melatarbelakangi permasalahan ini, maka penulis
akan membatasi penelitian sebagai berikut: analisa Bai‟at dalam perspektif LDII
terhadap ayat 18 surat Al-Fath.
Untuk lebih jelasnya lagi maka penulis merumuskan pokok masalah
skripsi ini, bagaimana penafsiran LDII terhadap term Bai‟at sebagaimana yang di
fahami dari ayat 18 surat al-Fath?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian (penulisan) dari skripsi ini antara lain adalah
disamping menjawab atau menyelesaikan suatu persoalan dalam ilmu
pengetahuan juga guna menambah dan mengembangkan khazanah ke-ilmuan
penulis (khususnya) dalam memahami al-Qur‟an. Dan memperkenalkan hakekat
Bai‟at yang benar dalam Islam dengan pengertiannya yang benar, dan bagaimana
penafsiran LDII terhadap term Bai‟at serta bertujuan untuk memenuhi persyaratan
mendapatkan gelar sarjana Theologi Islam (S. Th. I) pada Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Kegunaan Penelitian
Dalam menulis skripsi ini penulis berharap bahwa penelitian ini
mempunyai kegunaan:
1. Memberikan sumbangsih bagi kajian Islam terutama di bidang
tafsir al-Qur‟an
2. Memberikan kemanfaaatan, khususnya bagi penulis dan
masyarakat pada umumnya.
9
3. Berharap penelitian ini mampu memenuhi jawaban atas
signifikansi sosial yang penulis ajukan di atas.
F. Metodologi Penelitian
Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan
atau memperoleh data yang diperlukan.7 Metode yang digunakan didalam
penelitian ini adalah kualitatif. Bagdan dan Taylor (1975: 5) mendefinisikan yaitu
cara menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang diamati.8 Dalam penelitian kualitatif peneliti terjun
langsung untuk melakukan observasi atau wawancara langsung dengan objek
yang diteliti (penelitian lapangan). Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif
adalah data yang bersifat langsung dan objek penelitian dalam skripsi ini, adalah
LDII dan doktrin-doktrin yang merupakan cara pandang hidupnya.
1 Jenis data
Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah:
a. Data primer, yaitu data-data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama. Dalam hal ini, sumber utamanya adalah pengurus dan
anggota LDII dan buku-buku yang ditulis langsung oleh mereka.
b. Data sekunder, yaitu data-data yang memberikan penjelasan mengenai
data primer dan menguatkan data primer yang mencakup, buku-buku,
dokumen resmi dan hasil penelitian yang berbentuk laporan.
2 Teknik pengumpulan data
7 Irawan Soebantono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Rosda Karya, 1996). H.9
8 Lexy J, Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remadja Karya, 1989)
10
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah
sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang yang
melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari orang lain
dengan mengajukan pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu. Teknik ini
dilakukan dengan mengacu pada teknik pengumpulan data yang
berstuktur yaitu wawancara yang berbentuk pertanyaan yang terfokus
pada permasalahan yang ingin diteliti.
b. Penelitian kepustakaan
Penelitian kepustakaan yaitu sumber data yang dikumpulkan dari buku
kepustakaan yang berkaitan dengan objek yang diteliti.9 Dengan cara
membaca, memahami,dan menginterpretasikan buku-buku, dokumen-
dokumen yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.
c. Analisa data
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang data-
datanya diperoleh melalui interview (wawancara) dan studi
kepustakaan. Kemudian data yang terkumpul diolah,
disistematisasikan, dianalisis dan disajikan secara deskriptif.
Adapun penulisan skripsi ini menggunakan pedoman penulisan pada
buku “Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin Dan filsafat” yang
9 Kailan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, ( Yogyakarta: Paradigma, 2005),
hal.138.
11
disusun oleh tim penyusun UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, tahun
2005.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, penulis membagi
pembahasannya menjadi beberapa bab, dengan sistematika sebagai berikut:
Dalam bab pertama, adalah pendahuluan, dimana akan diuraikan latar
belakang masalah, tinjauan kepustakaan, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian serta sistematika
penulisan.
Bab kedua, penulis akan memaparkan sekilas tentang sejarah berdirinya
organisasi LDII, doktrin-doktrin agama LDII dalam paradigma baru, doktrin-
doktrin yang dianggap masyarakat luas doktin-doktrin tersebut sesat atau pada
masa paradigma lama, dan catatan para ulama tentang LDII.
Bab ketiga,dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian Bai‟at
menurut bahasa, istilah dan syar‟i, sejarah Bai‟at pada masa Rasulullah serta ayat-
ayat yang terkait dengan konsep Bai‟at.
Bab keempat, pada bab ini penulis menjelaskan tentang pemaknaan LDII
terhadap ayat 18 surat Al-Fath dan pendapat ulama tentang Bai‟at serta analisa
terhadap pemaknaan Bai‟at menurut LDII.
Bab kelima, merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-
saran yang disertai dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
12
BAB II
SEJARAH SINGKAT LDII DAN DOKTRIN-DOKTRIN AJARANNYA
SERTA CATATAN PARA ULAMA TENTANG LDII
A. Sejarah singkat LDII
Sebelum menerangkan sejarah singkat LDII penulis akan menerangkan
apakah LDII itu? LDII adalah singkatan dari Lembaga Dakwah Islam Indonesia,
merupakan organisasi kemasyarakatan yang resmi dan legal yang mengikuti
ketentuan UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, serta
pelaksanaannya meliputi PP No. 18 tahun 1986. LDII memiliki Anggaran Dasar
(AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), program kerja dan pengurus mulai
dari tingkat pusat sampai dengan tingkat desa. LDII sudah tercatat di Badan
Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang dan Linmas)
Departemen Dalam Negeri. 1
Nama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) selalu dikaitkan dengan
Islam Jama’ah yang didirikan oleh Nurhasan Ubaidah Lubis. Pemilik nama kecil
Madkhal2 itu, merupakan keturunan asli pribumi Jawa Timur. Ayahnya bernama
Abdul Azis bin Thahir bin Irsyad. Madkhal lahir di Desa Bangi, Purwosari, Kediri
pada tahun 1915.
1 Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Direktori LDII 2003 (Jakarta: LDII, 2003), h.
1 2 Dalam buku-buku yang ditulis oleh pihak luar LDII, nama madkhal sering ditulis
dengan ejaan Madekal atau Madigol. Tidak jelas kapan ejaan ini digunakan. Barang kalli ini
disebabkan karena lidah Jawa yang biasa”keseleo” ketika mengucapkan istilah-istilah Arab.
Wallahu a’lam
13
Keberadaan LDII selalu dikaitkan dengan nama Islam jama’ah atau Darul
Hadits yang didirikan pada tahun 1952, seiring dengan berdirinya pondok
pesantren (ponpes) Burengan di Kediri.3 Islam Jama’ah itu sendiri bukanlah
gerakan yang memproklamirkan diri, melainkan bahasa pengidentifikasian para
pihak.4 Sejak tahun 1963, Ponpes “tempat persemaian kader” tersebut telah
diserahkan kepimpinannya kepada Drs. Nurhasyim (alumni IAIN Sunan Kali
Jaga, Jogyakarta), dengan tetap menempatkan Ustadz Nurhasan sebagai guru
ngajinya. Pada masa pengelolaan pondok inilah, berbagai kekeliruan dalam
pengamalan ajaran Islam yang dikenal dengan Islam Jama’ah, didakwah banyak
terjadi kesalahan karena itulah, pada tahun 1971 Jaksa Agung Republik Indonesia
melarang Islam Jama’ah karena dianggap sebagai aliran sesat.5
Setelah pemilihan umum (pemilu) tahun 1971, Lembaga Karyawan Islam
(LEMKARI) didirikan pada tanggal 3 januari 1972 atas arahan pangdam VIII
Brawijaya, Mayjen TNI Wijoyo Suyono. Pendirian LEMKARI masih menuai
tuduhan sesat, sehubungan salah satu tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk
menampung dan mengarahkan para alumni Pondok Burengan atau para pengikut
Islam Jama’ah. Merespon tuduhan tersebut, LEMKARI mengeluarkan surat
pernyataan No. 165/A-4/VI/1979 tertanggal 20 Juni 1979 yang melarang semua
anggotanya untuk mengajarkan ajaran Islam Jama’ah atau Darul Hadits. Terhadap
anggota LEMKARI yang masih mengikuti ajaran Islam Jama’ah, Direktorium
3 Penegasan tahun ini disebutkan dalam Riwayat singkat Pondok Burengan Kediri yang
ditullis oleh Abdul Rochman selaku pimpinan pondok pada tanggal 2 September 1979. Keterangan
resmi ini membantah pernyataan banyak pihak yang menyebut pendiri Islam Jama’ah pada tahun
1951. 4 Wawancara pribadi dengan Aceng karimullah, Jakarta, tanggal 19 Pebruari 2010.
5 Sk Jaksa Agung RI No. Kep-089/D.A/10/1971 tanggal 29 oktober 1971.
14
pusat LEMKARI pada tanggal 9 September 1979 menyatakan akan memecatnya
atau menganggap si pelanggar sebagai oknum.
Pada awalnya nama LEMKARI hanyalah lembaga yang menampung eks
pengikut Islam Jama’ah di Jawa Timur. Di daerah-daerah lain, lembaga yang
menampung eks pengikut Islam Jama’ah mempunyai nama yang berbeda. Di Jawa
Tengah lembaga penampung eks pengikut Islam Jama’ah dikenal dengan Yayasan
Karyawan Indonesia (YAKARI), di Jawa Barat dikenal dengan Lembaga
Karyawan Dakwah Islam (LKDI), sedangkan di Jakarta dikenal dengan nama
Karyawan Dakwah Islam (KADIM). Untuk menyeragamkan nama berbagai
lembaga tersebut, atas arahan Amir Murtono selaku Ketua Umum DPP Golkar,
maka pada tanggal 9-10 Februari 1975 diadakan Reuni Alumni Pondok Pesantren
Burengan Banjaran kediri. Berdasarkan arahan dan petunjuk Amir Murtono dan
kesepakatan peserta reuni, dihasilkan satu nama yaitu Lembaga Karyawan Islam
yang disingkat sebagai LEMKARI.
Pada tahun 1990, atas dasar pidato pengarahan Rudini selaku Menteri
Dalam Negeri, dan Sudharmono SH selaku wakil presiden, LEMKARI mengubah
namannya menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dikarenakan nama
LEMKARI memiliki kesamaan singkatan dengan Lembaga Karatedo Indonesia.
Atas dasar yang arahan kedua pejabat pemerintah tersebut, dan berbagai masukan
yang terjadi baik pada sidang-sidang komisi, maupun sidang Paripurna dalam
Musyawarah Besar (MUBES) IV LEMKARI tahun 1990, terjadi perubahan nama
secara formal yang ditetapkan dalam keputusan MUBES IV LEMKARI
No.VI/MUBES-IV/LEMKARI/1990 pasal 3, yaitu mengubah nama organisasi
15
dari Lembaga Karyawan Dakwah Islam yang disingkat LEMKARI, menjadi
Lembaga Dakwah Islam Indonesia yang disingkat LDII.
Masa setelah ini, alumni Ponpes LDII mengalami perkembangan hingga
ke mancanegara. Lantaran jauh di negeri orang, untuk menjaga ukhuwah alumni
tersebut membentuk perwakilan di Singapura, Malaysia, Saudi Arabia (Makkah),
bahkan di Amerika Serikat, Australia, dan Eropa. Untuk mengukuhkan
akseptabilitas publik, LDII mengeluarkan konsep Paradigma Baru pada tahun
2005. Dalam Musyawarah Nasional (MUNAS)-nya pada tahun 2005, LDII
menegaskan secara mutlak untuk tidak berafiliasi dengan golongan ataupun partai
politik manapun. Konsep tersebut pula diterjemahkan sebagai sikap organisasi
yang lebih terbuka dengan pihak luar.6
Pengguliran paradigma baru, tonggak perubahan minsed LDII secara
formal terjadi pada tahun 2005,7 ketika Munas LDII pada tahun tersebut berhasil
mengeluarkan konsep paradigma baru. Konsep tersebut merupakan political will
LDII dalam merespon stigmatisasi yang menggiring LDII dalam dakwaan sebagai
aliran sesat. Menurut Aceng Karimullah, sebagai ketua departemen pendidikan
agama dan dakwah LDII, lahirrnya paradigma baru bermula pada masa
kepemimpinan pertama Prof. DR. Ir. KH Abdullah Syam, MSc. Pada tahun 1998-
2005. Kemudian pada Munas VI LDII 2005, konsep ini diperkuat kembali ketika
Abdullah Syam terpilih kembali sebagai ketua Umum LDII untuk yang kedua
kalinya. Pada Munas VI LDII 2005 ini pula LDII menegaskan sikap politiknya
6 Wawancara pribadi dengan Aceng karimullah.
7 Menurut keterangan pengurus LDII, pada tahun 1986, LDII sebagai ormas tidak
berafiliasi pada partai politik apapun (netral). Lalu netralitas ini dipertegas lagi pada Munas VII
LDII 2005.
16
yang sebelumnya berafiliasi ke Golkar menjadi menerapkan prinsip netral. Tidak
berafiliasinya LDII ke golongan dan partai politik mana pun membuat warga LDII
leluasa menyalurkan aspirasi politik sesuai dengan hati nurani masing-masing.
Aceng Karimullah mengakui, kelahiran paradigma baru juga dilatarbelakangi oleh
suasana kerukunan hidup bermasyarakat dan beragama yang semakin dinamis dan
bebas, selain juga dilatarbelakangi oleh kebebasan mengiringi Reformasi.
Salah satu persoalan yang dituduhkan kepada LDII adalah sikap
eklusifitasnya. Sikap tersebut menurut Aceng Karimullah disebabkan oleh
paradigma lama yang menerapkan prinsip “tangan kanan shodaqoh, tangan kiri
tidak mengetahui “ yang telah membuat berbagai kegiatan LDII terkesan tertutup
dan hanya untuk kalangan sendiri. Tetapi dengan paradigma baru yang
menerapkan prinsip “waamma bini’mati robbika fahaddits” 8maka kegiatan yang
dilakukan oleh warga LDII menjadi lebih terbuka. Juga berdasarkan firman Allah
dalam al-Qur’an:
“ Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 271)
Tuduhan sebagian kelompok kepada LDII yang terjadi sejak pendirian
LEMKARI bukanlah sesuatu yang dinafikan keberadaannya. Hal ini mendorong
LDII untuk mengembangkan respon yang berangkat dari prinsip9 :
8 “Terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-menyebutnya (dengan
bersyukur).” (QS. Adh-Dhuha [93]: 11) 9 “ Tolaklah (balaslah) perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. “(QS. Al-
Mukminun [23]: 96)
17
Prinsip tersebut membuat LDII cenderung defensif kedalam tanpa
berusaha mencari penjelasan dari pihak yang menuduhnya, untuk menghindari
polemik. Termasuk dalam hal ini terhadap berbagai buku yang disebarkan ke
masyarakat umum yang isinya menyebarkan dakwaan-dakwaan negatif terhadap
LDII, sikap resmi LDII sementara ini masih menghindari polemik. Namun
demikian sebagai organisasi yang harus legal, LDII merupakan suatu lembaga
yang memiliki badan Hukum.10
Dalam paradigma baru, klarifikasi LDII dikembangkan lagi dengan
prinsip tabayyun, yang membuat LDII lebih terbuka pada saat diperlukan. Prinsip
LDII lebih aktif dalam mengekspos berbagai kegiatan ibadah sosialnya
dibandingkan sebelumnya. Misalnya, LDII telah peduli untuk membantu korban
bencana alam seperti bencana tsunami di Aceh, gempa bumi di Bengkulu,
Yogyakarta, Klaten, bencana banjir dan longsor di Surakarta, serta banjir di
Lamongan. Contoh lain adalah ibadah qurban. Pada tahun 2006 digelar secara
terbuka dalam kegiatan “Tebar Qurban LDII Jakarta” yang disaksikan oleh
sekretaris MUI provinsi DKI Jakarta. Begitu pula dengan kegiatan yang sama
pada tahun 2007 yang disaksikan oleh Ketua Umum MUI provinsi DKI Jakarta.
Paradigma baru juga ditafsirkan melalui cara bersikap LDII dalam
berinteraksi dengan kelompok-kelompok Islam lain tentang “sofware” (perangkat
10
Sejak tanggal 20 pebruari 2008, sesuai dengan keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, No. AHU-18.AH.01.06.Tahun 2008-LDII secara resmi diakui
sebagai Badan Hukum
18
lunak) organisasi LDII. Sekarang, prinsip tersebut dikembangkan lagi secara lebih
proaktif dengan saling mengunjungi untuk bersilaturrahmi antara LDII dengan
tokoh masyarakat dan para ulama serta organisasi sosial kemasyarakatan lain.
Misalnya, menerima silahturrahmi dari MUI, MPU Aceh, Majelis Ugama Islam
Singapore (MUIS), NU, Muhammadiyyah, dan lain-lain untuk menyaksikan
berbagai kegiatan LDII.
B. Doktrin-Doktrin Agama LDII
Dari hasil peninjauan yang penulis lakukan penulis dapatkan pada
Anggaran Dasar Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) bab VI tentang
paradigma dakwah ayat 1 yang berbunyi “Lembaga Dakwah Islam Indonesia
memiliki paradigma dalam melaksanakan dakwahnya yang merupakan cara
pandang tentang diri dan lingkungan dalam kerangka pelaksanaan dakwah dalam
rangka mencapai tujuan nasional”11
dari Anggaran dasar ini ada beberapa doktrin
agama yang terdapat pada Lembaga Dakwah Islam Indonesia diantaranya sebagai
berikut:
1. Doktrin Manqul
Secara akademik tentang metode manqul mengundang pengujian dalam
dua hal. Pertama, boleh-tidaknya metode manqul diterapkan dalam pengajaran
suatu ilmu. Kedua, benar-tidaknya penerapan sistem manqul dilingkungan
internal LDII.
11
Lembaga Dakwah Islam Indonesia(LDII),Himpunan Keputusan Munas VI LDII
(Jakarta : LDII,2005), h. 64
19
Terhadap pengujian yang pertama, KH Alie Yafie dan KH Said Agil
Siradj membenarkan adanya penggunaan metode ini. Meski, menurut KH Alie
Yafie, lebih banyak digunakan dalam ilmu tasawuf Manqul berasal dari kata
naqala (Bahasa Arab), yang artinya adalah ”pindah.” Manqul artinya belajar
secara langsung. Metode ini dikenal dalam pembelajaran ilmu hadîts, yang
menuntut perpindahan kalimat hadîts yang sempurna dari satu perawi ke perawi
lain.
Ilmu yang manqul adalah ilmu yang dipindahkan dari guru kepada
muridnya. Dalam pelajaran ilmu tafsir, dikenal istilah tafsir bi al-ma tsur yang
berarti menafsir suatu ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an yang lainnya, para
sahabat dan tabi’in.12
Dalam ilmu hadîts , manqul berarti belajar hadîts dari guru
yang mempunyai isnad sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
12
Tafsir bi al-ma tsur adalah tafsir yang didasarkan pada riwayat manqul dengan urutan-
urutan yang telah disebutkan dimuka dalam syarat-syarat mufasir yaitu menafsirkan al-Qur’an
dengan al-Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan as-sunnah karena fungsinya sebagai
penjelas bagi ayat-ayat al-Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat yang diriwayat
dari para sahabat karena mereka adalah generasi yang paling memahami kitabullah, atau
menafsirkan dengan pendapat kibar at-tabi’in karena pada umumnya mereka mendapatkan
ilmunya langsung dari para sahabat. Untuk keterangan lebih lanjut, lihat manna’ al-Qathan,
mabahits fi ulum al-Qur’an (Riyadh: maktabah al-Ma’arif, 1981), cet. Ke-8, hal.347 tentang fafsir
bi al- ma’tsur; dan hal. 329-332 tentang syarat dan adab yang harus dimiliki seorang mufassir.
Dalam defenisi di atas, al-Qhatan menyatakan bahwa tafsir bi al-ma’tsur harus didasarkan pada
riwayat yang manqul ( yang pindah, dikutip langsung) dari Rasulullah SAW, sahabat, atau tabi’in.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir sebagaimana disebutkan al-Qhatan adalah
(1)memiliki aqidah yang shahi, (2) bersih dari hawa nafsu, sehingga pendapat-pendapatnya tidak
digunakan untuk membela kelompoknya secara membabi buta, meski kelompoknya memiliki
kesalahan dan kekurangan (3) memulai menafsirkan al-Qu’an dengan al-Qur’an, kemudian dengan sunnah, kemudian dengan pendapat para sahabat, kemudian dengan pendapat kibarat-
tabi’in. Tahap-tahap ini tidak boleh dilewatkan oleh mufassir, (4) menguasai Bahasa Arab dan
cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengannya, (5) memiliki pengetahuan yang baik tentang
dasar-dasar ilmu yang berkaitan dengan al-qur’an, (6) memiliki pemahaman yang mendalam dan
komprehensif. Yang dimaksud manqul dalam konteks ini adalah bahwa menafsirkan al-Qur’an itu
harus didasarkan pada riwayat yang dimanqulkan (dipindahkan) dari rasulullah SAW. Riwayat
yang dimanqulkan dari rasulullah ini kemudian disampaikan oleh para sahabat kepada para
muridnya (tabi’in), dan seterusnya; dari guru kemuridnya. Namun demikian, manqul tidak bisa
dipahami secara sempit, dimana seorang murid hanya mau menerima ilmu dari guru-guru yang
sekelompok dengan mangabaikan ilmu dari guru-guru lain di luar kelompoknya. Para Imam
20
Terhadap peraktek metode manqul ini, Syafi’i Mufid menyatakan bahwa
”...praktek manqul sebetulnya sudah ada dalam tradisi ulama-ulama Nusantara,
meskipun terminologi ini tidak pernah disebut demikian. Dengan bahasa
sederhana Syafi’i mencontohkan, “Saya pernah ngaji kepada seorang guru. Saya
membaca kitab Ihya’ Ulumiddin. Setelah tamat membaca Ihya’. Nah, saya bisa
membaca kitab Ihya’ seperti begini dari guru saya. Guru saya itu mendapatkan
kemampuannya itu dari gurunya. Itulah namanya silsilah. Manqul kalau dipahami
sebagai silsilah kayak begitu maka itu adalah hal yang biasa dan wajar. Persoalan
muncul jika metode manqul menyebabkan seseorang menganggap hadîts yang
diajarkan oleh gurunya itu sajalah yang benar, sementara hadîts yang lain
dianggap salah. Padahal jumlah hadîts itu kan ratusan ribu. Nah, bagaimana dia
bisa mengatakan hanya gurunya sajalah yang sah meriwayatkan hadîts ini Kan,
lagi-lagi ini namanya ekslusif dan disitu letak kekeliruannya...”
Pengujian yang kedua berkenaan dengan kebenaran penerapan metode ini
di LDII. Secara formal, LDII melalui “Direktorinya”-nya membenarkan adanya
praktek metode ini, meski tidak seperti yang dituduhkan oleh banyak pihak. Hal
itu dipertegas oleh Aceng Karimullah, beliau mengatakan “bahwa kesan ekslusif
dalam “berguru” ketika mengaji, lebih karena persoalan aksesibilitas
(kemampuan warga LDII untuk menjangkau guru-guru yang dapat mengajarkan
kepadanya). Menurutnya, warga LDII yang akan mengaji kepada guru lain harus
berpikir, karena sungkan atau karena sebab lain. Bebeda jika mereka mengaji
mazhab besar tidak membatasi sumber ilmu dari suatu mazhab tertentu, bahkan, misalnya, Imam
Syafi’i (pendiri Mazhab Syafi’i) berguru pada Imam Malik yang merupakan pendiri Mazhab
Maliki.
21
kepada ustadz dari LDII, hal ini bisa dilakukan dengan mudah, tanpa memikirkan
ongkos yang harus dikeluarkan. Hal ini sangat mepermudah bagi jama’ahnya.13
LDII juga menyusun himpunan hadîts yang ditulis lengkap dengan sanad-
sanadnya.14
Hal itu dilakukan warga LDII karena warga LDII belum semuanya
mampu memiliki kitab hadîts lengkap seperti kutubus sittah (kitab-kitab hadîts
riwayat Bukhori, Muslim, Abu Daud, Thirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Kurang intensnya pengajaran ilmu alat (Bahasa Arab) dilingkungan
Pesantren LDII, memungkinkan pelaksanaan metode manqul berjalan dengan
efektif, jika memang ada politic will dari pihak LDII untuk menerapkan metode
tersebut. Terkecuali apabila memang kran keterbukaan mengakses ilmu dari luar
juga dikembangkan. Sistem manqul juga diterapkan di Pesantren-pesantren lain
seperti NU dan mereka juga diberikan ijazah, namun kesan “menganggap
pendapat guru paling benar” jarang atau tidak mencuat di lapangan.
Sistem manqul sebenarnya memudahkan kalangan awam masyarakat
umum untuk secara praktis memahami isi kitab dengan makna gandul (sebagai
contoh: memaknai kitab kuning dalam bahasa yang dipahami pengkajinya).
Tetapi ketika sang guru mengatakan bahwa hanya pendapatnya yang paling
benar, sedangkan yang lain salah, di situlah muncul persoalan.
13
Wawancara pribadi dengan aceng Karimullah. 14
Dalam definisinya tentang hadîts shahih, Mahmud Thahhan menulis: sebuah hadîts
dikatakan sahih apabila memenuhi syarat sebagai berikut: (1) ittishal sanad, yaitu para perawinya
menukil hadîts secara langsung dari rawi di atasnya, dari awal hingga akhir sanad, (2) adalah ar-
ruwat (rawi yang adil), yaitu setiap rawi yang terrlibat dalam periwayatan hadîts haruslah seorang
muslim yang baligh, berakal, tidak fasik, dan tidak melanggar muru’ah, (3) dhabt ar-ruwah, yaitu
setiap rawi harus dhabit (teliti), baik dalam hafalan maupun tulisan, (4) hadîts tidak syadz, artinya
tidak bertentangan dengan riwayat lain yang lebih tsiqoh atau lebih kuat, (5) tidak adanya illah ,
yaitu hal-hal kecil yang tersembunyi yang “mencederai” kesahihan hadîts. Lihat Mahmud
Thahhan, taisir Mustalah al- hadîts,(Surabaya: syarikah Bengkulu Indah,t.th), cet.ke-1, hal.34-35;
lihat juga Muhammad Ajjaj al-khatib, ushul al- hadîts : Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1989/ 1409) hal. 304-305, dan kitab-kitab lain yang sejenisnya.
22
2. Frasa ” Amal Shaleh ”
Pengalaman yang menggoda warga non- LDII pada saat berinteraksi dengan
kader LDII adalah frasa “amal shaleh”. Dalam bahasa percakapan, kita akan
mendengarnya dalam contoh sebagai berikut: “Amal shaleh, dampingi si fulan ke
bandara,” atau “Amal shaleh”, jemput si fulan yang mau menemui pak Aceng di
Jakarta,” penggunaan Frasa “amal shaleh” seakan telah menjadi frasa atau
identitas yang digunakan oleh para kader LDII. Dan siapaun yang pernah
merasakan tentang bagaimana frasa “amal shaleh” menjadi suatu identitas dalam
interaksi yang unik di tubuh organisasi LDII.
Tidak diketahui pasti, kapan frasa “amal shaleh” itu mulai dipergunakan,
apakah setelah menjadi LDII atau malah sejak sejak gerakan ini bernama
LEMKARI. Dalam prakteknya, penggunaan frasa “amal shaleh” sudah hampir
merata di seluruh ranah organisasi LDII atau oleh alumni Ponpes LDII, baik di
Indonesia maupun di beberapa negara di Asia Tenggara lainnya.
Frasa “amal shaleh” bukanlah suatu yang harus dipersoalkan, karena dari segi
subtansi, frasa” amal shaleh” sama sekali tidak melanggar pakem-pakem ajaran
Islam yang lazim. Malah dalam beberapa hal, frasa “amal shaleh” mencerminkan
implementasi dari nilai-nilai Islam yang luhur. Frasa “amal shaleh” inilah yang
membuat LDII masuk dalam kategori sebagai ormas Islam yang ihsan dari sisi
pengamalan ajaran Islam pada tataran organisatoris, yang relatif membedakannya
dengan ormas-ormas Islam lainnya. Frasa “amal shaleh” dalam LDII telah
menjadi fenomena baru, yang menambah khasanah terminmolog keshalehan,
yaitu keshalehan organisasional, selain keshalehan individual dan keshalehan
23
sosial. Menurut Aceng Karimullah di LDII tidak dikenal kata “pembantu” seperti
dalam masyarakat umumnya. Mereka memanggil pembantu dengan sebutan
“tenaga amal shaleh” atau “tenaga amal shalehan” sebuah terminolog yang
menurut mereka, dimaksudkan untuk menghormati penyandang profesi ini.
3. Ibadah Ghairu Mahdha LDII
Salah satu kesan yang tidak bisa dinafikan atau diabaikan oleh para ulama
terhadap LDII adalah soal ibadah ghoiru mahdhanya.15
Kesan ini menjadi
menarik, karena pada saat yang sama, LDII masih didera isu eksklusifitasnya.
Bagaimana sebenarnya kegiatan warga LDII, pihak eksternal LDII secara terbatas
hanya dapat melihatnya di Majalah Nuansa yang menjadi “corong” LDII. Majalah
ini secara rutin memuat rubrik “Lintas Persada” yang menampilkan profil
kegiatan warga LDII di tengah-tengah masyarakat sekaligus menayangkan foto
kegiatannya.
Dari sampling kegiatan yang diambil sejak pebruari 2007 hingga Pebruari
2008, terdapat 507 kegiatan LDII di seluruh Indonesia termasuk di luar negeri
yang terpublikasikan di majalah Nuansa pada periode tersebut. Secara tematik,
kegiata LDII pada dua tahun tersebut dapat dilihat dalam lampiran tabel khusus
tentang kegiatan Inklusif LDII, (lihat lampiran dalam skripsi ini).
15
Ibadah ghairu mahdhoh disebut juga sebagai ibadah umum, yaitu semua perbuatan
yang oleh al-Qur’an dan atau hadîts dikategorikan sebagai perbuatan baik. Perbuatan baik tersebut
akan bernilai ibadah kalau dikerjakan dengan niat lillahi ta’ala. Ibadah ini lebih bersifat sosial
dalam rangka membina hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Contohnya antara lain
adalah: mencari ilmu (sekolah), mencari nafkah, berperilaku sopan, tidak merusak lingkungan, dan
justru melestarikan lingkungan.
Sebaliknya, ibadah mahdhoh disebut juga ibadah khusus, yaitu ibadah yang ketentuan
pelaksanaanya secara rinci diterangkan dalam al-Qur’an dan hadîts . ibadah lebih bersifat ritual
dalam rangka membina hubungan manusia sebagai makhluq dengan Allah sebagai al-Kholiq.
Contonya antara lain: shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji.
24
Berbagai kegiatan LDII yang terekam dalam majalah tersebut
menegasikan LDII sebagai sebuah organisasi yang ekslusif dan menegaskan
bahwa LDII telah melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya inklusif. Tetapi
mengapa label ekslusif masih tetap menempel hingga sampai sekarang? Karena
mengingat belum tentu semua kegiatan LDII terpublikasikan dalam rubrik Nuansa
Persada, gambaran berikut dapat saja merupakan gambaran minimal kegiatan
inklusif LDII.
Bardasarkan mayoritas kegiatan yang direpresentasikan dalam rubrik
“Lintas Persada” yang diasumsikan sebagai sampel terkini. Ternyata kegiatan
LDII masih didominasi oleh kegiatan-kegiatan yang sifatnya hubungan vertikal,
baik baik dengan pemerintah dan aparat (Hankam 194 kegiatan [34%]) maupun
dengan MUI (124 kegiatan [22%]). Urutan berikutnya adalah kegiatan, internal
LDII (118 kegiatan [21%]). Sedangkan hubungan LDII dengan ormas Islam lain
(35 kegiatan [6%]) dan dengan tokoh masyarakat (Tomas; 12 kegiatan [2%]),
masih relatif sedikit. Bakti sosial (Baksos) sebagaimana tercantum dalam
mukadimah AD-ART LDII sebagai ibadah ghairu mahdhoh (ibadah sosial),
memperoleh porsi 14% (81 kegiatan). Angka presentase tersebut dapat menjadi
salah satu ukuran untuk menjelaskan masih perlunya meningkatkan hubungan
horizontal warga LDII dan pada saat yang sama hubungan vertikal yang sudah
baik perlu dipertahankan.16
Namun demikian, belum semua kegiatan LDII
terpublikasikan di rubrik “Lintas Persada” sejumlah kegiatan inklusif LDII yang
16
Walaupun MUI terdiri atas berbagai ormas Islam, tetapi dalam konteks ini penulis
masih menganggap MUI masih sebagai pemegang otoritas yang mengeluarkan fatwa. Dengan
demikian hubungan LDII-MUI masih dikategorikan hubungan “vertikal”. Tidak karena LDII
dengan MUI kemudian LDII otomatis akan dekat dengan ormas-ormas konstituen MUI.
25
tidak direpresentasikan dalam majalah Nuansa Persada juga telah disosialisasikan
melalui media website LDII (www.ldii-online.com dan www.ldii.or.id).
Adapun doktrin-doktrin atau paradigma lama yang dianut oleh LDII
antara lain:
a. Doktrin Manqul
Bahwa dalam sistem manqul ini, mengharuskan warga LDII untuk
menerima transfer ilmu hanya dari kalangan internal LDII17
.
b. Doktrin Imâmah dan Bai'at
Bahwa dalam doktrin nurhasan (tokoh yang di anggap sebagai
pemimpin spiritual islam jama'ah) menganggap imam dalam
konsep imamah adalah pemimpin spiritual, dan keberadaannya
untuk mensahkan islam atau keislaman seseorang.
Sitem imamah LDII tersebut membuat semua anggota LDII
dilarang untuk menerima segala penafsiran yang tidak bersumber
dari penafsiran imamnya. Sedangkan doktrin bai'atnya sebagai
beriku: bai'at merupakan janji setia dari kader LDII kepada imam,
dalam hal ini Nurhasan; keabsahan bai'at ditentukan oleh ketaatan
kader pada imamnya18
.
c. Mengkafirkan dan Menajiskan Kelompok Lain
Doktrin ini adalah sikap sebagian kader LDII yang mudah
mengkafirkan dan menajiskan kelompok lain. Hal ini berkaitan
17
Muhamad Amin Jamaludin, Kupas Tuntas Kesesatan Dan Kebohongan LDII Jawaban
Atas Buku Direktori LDII, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), 2007), h.
25 18
Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII (
Jakarta: Pusat Studi Islam Madani Institute, 2008), h. 21.
26
dengan kedudukan golongan lain yang berada diluar garis
keamiran LDII sehingga tidak berbai'at kepada imamnya.
Sedangkan yang berkaitan dengan menajiskan orang lain, dimana
kader LDII setiap kali bersalaman harus membersihkan tangannya
dan tidak bersedia bermakmum kepada golongan lain dan mengelap
(ngepel) masjid yang sudah digunakan oleh pihak lain.19
C. Catatan Para Ulama Tentang LDII
Berikut ini, penulis akan memaparkan beberapa catatan khusus dari para ulama
tentang LDII, diantaranya sebagai berikut:
1. KH Ma’ruf Amien
(Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia)
Kita bisa mentolelir perbedaan, tetapi tidak bisa mentolelir
penyimpangan. Penyimpangan ini harus diamputasi. Kita memberikan
kesempatan kepada orang yang menyimpang itu untuk rujuk ilal haq. Kita
mengeluarkan fatwa tentang sesatnya suatu kelompok jika kita telah
melakukan investigasi secara mendalam terhadap kelompok itu.
LDII adalah suatu lembaga yang fatwa terhadapnya terikat dengan
Islam Jama’ah, karena ada prinsip-prisip Islam Jama’ah yang dianggap
menyimpang. Adapun fatwa MUI khusus tentang LDII tidak ada, namun
jika ia menggunakan ajaran-ajaran Islam jama’ah yang prisip-prinsipnya
menyimpang itu, maka ia terkait juga dengan fatwa tentang kesesatan Islam
Jama’ah. Memang ada satu keputusan Munas MUI ada yang menyinggung
19
Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h. 26.
27
nama. Dalam suatu rekomendasi dinyatakan bahwa “Aliran sesat itu seperti
Ahmadiyyah, LDII....” Kalimatnya berbunyi seperti itu. Kenapa LDII
dijadikan bagian yang sesat? Karena LDII dianggap sebagai penjelmaan
Islam Jama’ah.
Sesudah itu, LDII berusaha meninggalkan hal-hal yang menyebabkan
kesesatannya itu. Mereka meminta audiensi ke MUI Pusat untuk
mensosialisasikan apa yang disebutnya sebagai paradigma baru. Paradigma baru
ini menegaskan bahwa LDII tidak menggunakan ajaran Islam Jama'ah sebagai
satu landasan, meski dalam beberapa ajaran ada yang sama, yang berkaitan
dengan amaliah, bukan I’tiqadiyah. Mereka meninggalkan ajaran Islam Jama'ah
seperti menganggap najis kelompok lain. Mereka tidak lagi mencuci bekas
tempat shalat orang lain, tidak mengkafirkan kelompok lain. Bahkan, mereka
bersumpah di hadapan MUI Pusat bahwa, itu bukanlah taqiyah. Sesudah itu
mereka membuat pernyataan tertulis untuk menegaskan perubahan itu.
Dalam memandang LDII, MUI Pusat terbagi dalam dua pendapat,
Pertama, kita menerima, kemudian kita lakukan penyesuaian ke daerah.
Klarifikasi secara nasional diberikan, sedangkan klarifikasi di daerah diberikan
secara parsial. Kedua, ada juga kelompok yang sangat mencurigai LDII, dan
meminta klarifikasi dilakukan dari tingkat bawah (bottom up), baru klarifikasi
nasional. Dengan demikian, ar-ruju’ ilal haq dilakukan secara qaulan wa fi Ian
(dalam ucapan dan tindakan), bukan hanya statemen.
28
Ketika LDII dianggap melakukan ar-ruju’ ilal haq, LDII dianggap sebagai
entitas yang pernah melakukan penyimpangan, karena LDII dikaitkan dengan
Islam Jama'ah. Dalam perjalanannya, LDII memiliki keinginan untuk kembali
kepada kebenaran. Namun, ada kelompok-kelompok yang sangat keras,
menentang, seolah-olah LDII tidak boleh bertaubat.
LDII sekarang dalam tahap verifikasi secara kelembagaan maupun secara
grass roots. Saya melihat, secara kelembagaan mereka tidak ada masalah, dari
pengurus pusat hingga pengurus daerah memiliki satu kata. Namun di tingkat
bawah, kemungkinan masih ada masalah, karena masih ada generasi LDII yang
berpegang pada Islam Jama'ah. Namun demikian, kondisi di bawah tidak
sepenuhnya bisa kita jadikan indikasi bahwa LDII belum berubah. Kita
meminta ketegasan dari pengurus LDII dalam menyikapi kadernya yang masih
meneruskan ajaran Islam Jama'ah. Kelompok-kelompok yang tidak patuh harus
dinyatakan bukan bagian dari LDII. Sehingga LDII tidak lagi terkontaminasi
oleh kelompok-kelompok itu.
Saya melihat mereka mempunyai i'tikad baik. Karena itu, saya berpesan
kepada ustadz-ustadz kita untuk memandang masalah ini dengan hati yang jernih.
MUI 'kan mengajak yang sesat-sesat itu, seperti Ahmadiyah, untuk ruju' ilal
haq. LDII adalah organisasi lokal. Lain dengan Ahmadiyah yang merupakan
organisasi internasional. Mereka tidak mungkin melepaskan diri dengan
pimpinan tertinggi mereka. Dan, karena itu saya nyatakan bahwa pernyataan
mereka (Ahmadiyah) itu akal-akalan.
29
LDII boleh saja mengamalkan beberapa ajaran Nurhasan, sepanjang
ajaran yang diamalkan itu tidak mengandung kesesatan. Mereka sudah tidak
memegang secara penuh ajaran Nurhasan. Mungkin masih ada ajaran yang
dipertahankan, tetapi yang sifatnya amaliyah saja. Saya melihat, sudah ada
perubahan. Kita harus terus mendorong agar perubahan itu menyentuh sampai
ke simpul-simpul paling bawah.
Kalau orang mau bertaubat, jangan dilihat masa lalunya, maa madha
faata, itu sudah masa lalu. Yang jelas mereka telah berubah. Masa kita mau
membongkar Umar bin Khatab masa lalu. Sayyidina Umar masa lalunya kan
suka mabuk. Tetapi beliau menjadi sahabat utama Nabi.
Kalau anggota di simpul-simpul masih memakai pola lama, itu pasti
ada. Sekarang di dalam intern LDII ada pertarungan, antara yang ingin
berubah dengan kelompok yang ingin bertahan. Tetapi, kendali organisasi
dipegang oleh orang yang ingin berubah secara formal, dari pusat sampai ke
wilayah-wilayah. Secara formal, mereka adalah bagian yang sudah berubah.
Mereka adalah bagian yang ingin berada di lingkungan MUI. Jadi, menurut saya,
kita jangan bertumpu pada simpul-simpul. Simpul-simpul itu harus ki ta bina
supaya mereka berubah. Dan pada saatnya LDII harus berani membuat
tindakan terhadap jama'ahnya yang tidak mau melakukan perubahan itu. LDII
juga harus siap untuk menjaga kemurnian LDII dengan paradigma baru. Pada
30
saatnya, LDII harus berani menindak anggotanya yang bandel, yang masih
dalam posisi paradigma lama.20
2. KH. Ali Yafie21
(Tokoh Ulama)
Saya ingin menyampaikan bahwa memang menarik mengkaji
perkembangan Islam di Indonesia. Bagian dari perkembangan tersebut, ki ta
harus lihat LDII di situ. Jadi kita tidak boleh (menuding) sembarang, tanpa data
dan fakta dari hasil penelitian. Karena saya tidak punya data yang cukup, saya
tidak ingin memberikan vonis kepada LDII. Jadi saya anjurkan untuk melakukan
penelitian yang mendalam, secara kekerabatan, tidak seperti polisi atau jaksa yang
sedang menyelidik, Intinya secara ukuwah Islamiyah. Jadi tahu bagaimana
sejarahnya, apa faktor-faktor yang mempengaruhinya,dan lain sebagainya. Jadi,
sebagai ilmuwan, kita tidak boleh ngomong seperti orang awam. Itu harapan saya
Saya belum pernah melihat, belum pernah bersentuhan dengan tokoh
tokoh LDII. Saya berharap ada kajian yang terbuka tentang LDII, supaya ada
ruang untuk tabayyun
20Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h 73-
78.
21 Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h. 79-
80.
31
3. Prof. Dr. H. Utang Ranuwidjaya22
(Ketua Komisi Pengkajian dan Pengembangan MUI Pusat)
konsep paradigma baru LDII sudah bagus kalau dilihat dari paparan yang
mereka sampaikan. Hal itu saya kemukakan berdasarkan pemantauan saya di
beberapa tempat seperti di Jakarta, Surabaya, Lampung, dan Kediri. Sebenarnya,
dengan paradigma baru tersebut, mereka ingin meninggalkan paham-paham
yang dulu diwariskan oleh Islam Jama'ah. Bahkan sekarang, justru mereka
ingin membersihkan paham-paham Islam Jama’ah tersebut, jika memang
masih ada di dalam tubuh gerakan LDII. Paradigma baru LDII adalah suatu
cerminan bahwa mereka ingin kembali pangkuan Majelis Ulama Indonesia
untuk mendapatkan pembinaa, dan merupakan keinginan bersatu LDII
dengan segenap kekuatan Islam Indonesia.
Namun demikian, proses sosialisasi paradigma baru LDII yang mereka
lakukan baru sampai tingkat PAC, belum sampai ke grass roots. Kalau begitu
kenyataannya, sosialisasi tersebut harus terus ditingkatkan dan diupayakan
secara cepat dan maksimal. Selama ini, memang kita masih melihat dan
mendengar laporan dari para pengurus atau pimpinan Majelis Ulama
Indonesia, baik di Provinsi, Kabupaten atau Kota maupun MUI Kecamatan di
mana di beberapa tempat masih ada pola-pola lama yang mereka terapkan Tapi
pada umumnya, informasi dari MUI Provinsi dan Kabupaten atau Kota
menyatakan bahwa sudah bagus pembinaan di internal LDII. Mereka (LDII) juga
22 Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h. 81-
84.
32
sudah membuka komunikasi dengan MUI dan ormas-ormas yang lain, meski di
beberapa tempat masih terdapat kekakuan dari pihak LDII sendiri dalam berbaur
dan dalam meninggalkan kesan-kesan eksklusifnya. Inilah sosialisasi
paradigma baru LDII yang sedang dalam proses tersebut.
Pengurus LDII, baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten sudah
cukup tegas dalam menerapkan paradigma barunya. Bahkan, beberapa kali saya
mendengar ucapan dari para pimpinan LDII Provinsi yang mengatakan,
"Andaikata masih ada yang menerapkan pola lama dan menjalankan paham
paham Islam Jama'ah, maka kepada mereka diminta untuk keluar dari LDII, dan
dianggap itu bukan warga LDII. " Jadi, kalau melihat ketegasan semacam itu sih,
saya agak optimis bahwa paham-paham tentang Islam Jama'ah secara bertahap
akan ditinggalkan oleh organisasi LDII ini.
Sebenarnya, ajaran LDII itu perlu pendalaman dan penelitian lebih
lanjut, karena di lapangan yang saya temukan hanya di permukaan. Tentunya,
jawaban saya tidak begitu valid, karena belum mendalami apa yang terjadi di
lapangan. Sebatas yang saya dengar, sebatas apa yang saya lihat, dan
kesimpulan dari diskusi-diskusi dengan MUI di Provinsi dan Kabupaten,
dimana memang masih ditemukan masalah-masalah implementasi di lapangan
terkait dengan paradigma baru LDII. Ini harus terus dipantau sejauh mana
mereka jujur, ikhlas, terbuka dan bertanggungjawab untuk melaksanakan
paradigma barunya. Apakah itu menyangkut sesuatu yang sangat rahasia,
ataupun yang biasa mereka buka itu, mestinya dilakukan pemantauan dan
penelitian yang lebih lanjut di lapangan secara mendalam.
33
4. Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj23
(Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)
Aliran atau madzhab atau firaq Islamiah itu, sepanjang masa akan tetap ada.
Kajian mengenai al-Firaq al-Islamiah (firqah-firqah Islam) dan al-Firaq al-
Kharijah anil Islam (firqah-firqah yang keluar dari Islam) adalah salah satu mata
kuliah wajib di Timur Tengah, baik itu di Ummul Qura Makkah maupun di
Al-Azhar Kairo. Yang termasuk firqah Islam adalah Mutazilah, Khawarij,
Jabariah, Qadariah, Murji'ah, Jahamiah; Syi'ah, Syi’ah Itsna 'Asyariah, Imamiah,
dan Zaidiah. Sedangkan firqah yang keluar dari Islam yaitu Syiah Ismailiah,
Bahaiyah, Qadianiyah, dan Iain-lain. Kelompok kedua ini dianggap keluar dari
Islam karena mereka mengingkari prinsip-prinsip ma’ulima minaddin
bidhdharuri (prinsip yang sangat fundamental dalam Islam).
Orang atau kelompok yang mengingkari ma'ulima minaddin
bidhdharurah24
bisa dikategorikan sesat. Sedangkan kelompok atau orang yang
mengingkari ma’ulima minaddin bitta" allum (hasil pemikiran/telaah/ijtihad)
tidaklah sesat. Sampai-sampai, golongan Khawarij pun masih dianggap
sebagai bagian dari kelompok Islam (firaq Islamiah), padahal mereka telah
membunuh Sayidina Ali Karramallahu Wajhah.
23 Habib setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h. 89-
92 24
Hal-hal, prisip-prinsip pokok agama yang sudah final dan pasti, yang tidak boleh
dipertentangkan
34
Di dalam Islam terdapat beragam aliran dan golongan. Sebagian besar
golongan tersebut tidak bisa dianggap sesat, karena ada dua perbedaan, yaitu
perbedaan yang bersifat wacana dan perbedaan yang bersifat aksi/amal, Lha,
LDII ini perbedaannya amal. Mereka tidak kita anggap sesat, tetapi
mutanaththi’, tanaththu’, orang yang eksklusif, kelompok eksklusif. Namun
demikian, LDII masih dalam bagian firqah Islamiah, karena meyakini apa yang
disebut ma'ulima minaddin bidhdharurah, meski dalam beberapa hal LDII
(menurut beberapa kalangan yang mengamati organisasi ini) berbeda dengan
mayoritas ulama dalam menafsirkan ayat tertentu. Perbedaan penafsiran itu
sendiri dalam banyak kesempatan dibantah oleh pengurus LDII. Seandainya
dugaan para pengamat itu benar, perbedaan itu tidak menyebabkan LDII
menyandang label "sesat." Itu tidak sesat, hanya salah atau sempit. Itu
tanaththu, mutanatti, hatta Khawarij kita tidak mengatakan sesat. Padahal dia
yang membunuh Sayidina Ali, kita tidak mengatakan sesat, tetapi mutasyaddid,
mutatharrif.
LDII tidak bisa disamakan dengan Ahmadiyah. Ahmadiyah itu sesat
karena mengingkari ma’ulima minaddin bidhdharurah, mengakui adanya Nabi
setelah Nabi Muhammad SAW Saya menanggapi perubahan paradigma LDII
secara positif. Paradigma Baru LDII harus disikapi dengan positif. Mereka
(LDII) mengakui kesalahan, dalam tanda petik: kesalahan ajarannya atau kesalahan
doktrinnya, bukan kesalahan aqidah. Aqidah nggak salah, dari awal nggak salah.
Aqidah dia rukun iman yang enam itu. Rukun Islamnya itu sama. Ya seperti
pesantren dulu, dimana Bahasa Inggris itu haram. Sekarang, justru
35
membolehkan. NU sendiri, pada Muktamar tahun 30-an Itu mengharamkan
pakai dasi atau pakai celana. (Sekarang, tidak).
Orang yang menganggap orang lain sesat itu, juga sesat. Man kaffara
ahlal kitab (al-Qur'an) fahuwa kafir. Orang yang menganggap sesat orang lain,
yang tidak menolak hal-hal prinsip maka ia sesat juga, kecuali yang prinsip tadi.
Kita (NU), menghindari bahasa "sesat." Pleno NU di Cisalak Bogor,
menyatakan aliran Ahmadiyah adalah aliran yang ditolak oleh mayoritas umat
Islam, (tapi) tidak mengatakan sesat, karena sesat itu adalah caci-maki. Kata
syatm itu kita hindari.
Dalam menyikapi masalah-masalah yang berkaitan dengan perbedaan
dalam memahami agama, masyarakat itu tergantung dengan ulama (kyai).
Kalau masyarakat NU ya apa kata kyai-nya. Kalau kyainya tambah maju,
berkembang, terbuka, maka masyarakatnya akan mengikuti. Oleh karena itu,
para ustadz dan dai tidak boleh berhenti belajar, agar wawasan menjadi luas dan
siap menerima perbedaan. Asal mereka mau belajar, mereka akan menjadi
toleran. Orang kalau mandeg, merasa dirinya pinter, maka ia akan
berpandangan sempit. Kalau mau belajar terus, ia akan menjadi toleran,
tasamuh. Bukan berarti menghalalkan yang haram, menerima yang sesat, tidak.
Tetapi menyikapinya dengan kepala dingin, dengan argumentatif.
36
5. Dr. M. Syafi’i Mufid, MA25
(Peneliti Departemen Agama Republik Indonesia)
LDII yang saya ketahui itu kan sebuah organisasi Islam. Yang awalnya
dari LEMKARI kemudian menjadi LDII. Nah, sebelumnya ada yang namanya
Islam Jama'ah. Sebelum Islam Jama'ah, ada yang namanya Darul Hadits. Jadi,
itu proses dimulainya sebuah tafsir terhadap ajaran-ajaran Islam tentang imȃ mah
(tentang jama'ah) kemudian implementasinya dalam bentuk gerakan, yang
namanya gerakan Islam Jama'ah atau Darul Hadits.
Sebetulnya, ajaran inti dari yang kita kenal Islam Jama'ah itu adalah
mengenai kejama'ahan dan keimâmahan. Apa yang dipahami dari kawan-kawan
Islam Jama'ah itu adalah atsar-nya dari Sayidina Umar yaitu la islama illa bil
jama'ah walajamaata illa bil imamah wala imamata illa bithoah wala thoata illa
bil bai'at. Kemudian mamata laisa lahu biatun mata mitatan jahiliyatan,
haditsnya maupun atsarya. itu, lazim di kalangan umat Islam. Tidak merupakan
sesuatu yang aneh, artinya masyhur (umum, dikenal). Yang menjadi aneh pada
waktu itu adalah, kalau orang tidak masuk jama'ah, mereka itu dianggap bukan
Islam. Itu masalahnya. Nah, ini kekeliruan penafsiran yang banyak dilakukan
oleh kelompok-kelompok. Kemudian oleh Majelis Ulama Indonesia dikatakan
sebagai kelompok sesat. Itu adalah klaim kebenaran yang hanya ada pada
mereka. La islama illa bil jama'ah. Kata-kata jama'ah itu hanya untuk Darul
Hadits, Islam Jama'ah. Kan begitu awalnya. Mestinya tidak begitu. Jadi, Islam
Jama'ah adalah Al jama'ah min jamaatul muslimin. Jadi, satu jama'ah dari
25 Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h. 97.
37
jama'ah-jama'ahnya umat Islam. Umat Islam itu banyak jama'ahnya. Tidak satu-
satunya. Nah, disini yang menjadi krusial itu.
Kalau ada orang mengatakan bahwa LDII itu eksklusif, dimana dia
menganggap paling benar sendiri, yang kalau ada yang shalat di masjidnya, dia
cuci, itu kita kan mengecek, "Apa benar perkataan orang itu." Orang yang
ngomong pada kita, yang menyampaikan kepada kita tentang hal-hal yang tidak
benar, kita perlu tabayyun. Tabayyun inilah pekerjaan ulama yang mesti
dilakukan. Tabayyun, apakah LDII itu sudah berubah, atau masih seperti Islam
Jama'ah. Ini soal tabayyun. Jadi, mereka berupaya untuk melakukan
perubahan, kita pun mengamatinya, berubah apa belum. Kan begitu
tabayyunnya.
Kalau sudah paradigma baru seperti itu, mana lagi yang sesat, ya
nggak ada. Sepuluh kriteria kesesatan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama
Indonesia, tidak bisa diterapkan untuk LDII, kalau seperti yang dinyatakan dari
hasil Rakernasnya. Nah, kalau mengenai praktek ini, kan manusia sekian ratus
ribu atau sekian juta itu, untuk melakukan perubahan paradigma itu
memerlukan waktu. Jadi kalau masih ada sisa-sisa Islam Jama'ah atau Darul
Hadits yang dititipkan untuk dibina di LDII belum lurus benar, itu proseslah.
Menurut saya LDII itu sebuah organisasi Islam yang bagus, dan itu
organisasi Islam yang lahir pasca kemerdekaan. Ormas-ormas Islam ini, yang
lahir sebelum kemerdekaan itu sudah berjasa, berjasa mendorong mewujudkan
proklamasi kemerdekaan RI, sekaligus mempertahankannya. Itu seperti
38
Syarikat Islam, NU, Muhammadiyah, Persis, Perti, Al Irsyad. Semua itu lahir
sebelum Indonesia merdeka, dan itu berhasil menjadikan Indonesia merdeka.
Mereka juga berhasil mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Nah LDII dan
organisasi Islam yang lahir setelah kemerdekaan, mestinya mengisi
kemerdekaan ini dengan karya nyata, karya nyata yang persis dengan tujuan
kemerdekaan itu. Apa tujuan kemerdekaan itu., ya memakmurkan rakyat
Indonesia. Kata-kata memakmurkan Indonesia ini, mesti menjadi orientasi
ormas-ormas Islam yang baru, termasuk LDII. Nah, yang saya lihat nyatanya
LDII cukup bagus dalam membina ekonomi umat di kalangan warganya.
Anggotanya itu tertib teratur. Nah, ini mudah-mudahan ke depan kalau asumsi
saya ini benar, ormas-ormas seperti LDII itu bisa memposisikan diri sebagai
agent of change dalam kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Maka umat Islam
di Indonesia ini akan punya kelanjutan yang bagus. Tapi kalau masih bangga
dengan romantika masa lalu, ya ketinggalan kereta.
6 .Dr. Adian Husaini, MA26
(Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)
Sejauh yang saya ketahui, MUI saat ini sedang melakukan penelitian dan
harus dichek tentang persoalan inti LDII itu. Karena dulu, mereka dikenal
(dituduh) dengan (isu-isu) doktrin-doktrinnya seperti ajaran manqul. Mereka
(diisukan) mempunyai sanad sendiri dan merasa orang Islam yang lain bukan
saudaranya. Bahkan, misalnya, dahulu jika kita menduduki kursi di rumahnya,
lalu kursi itu dilap (dibersihkan) lagi. Orang Islam lain dianggap najis dan lain
26 Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h.
109-112.
39
sebagainya. Mereka memakai Hadits tentang bai'at. Menurut mereka, kalau
seseorang tidak berbai'at, maka orang itu akan mati seperti matinya orang
jahiliyah. Yang mereka maksud dengan bai'at di sini adalah harus bai'at kepada
imamnya. Nab, karena hal inilah kemudian, umat Islam yang lain menganggap
mereka berada di kelompok yang sesat.
Jika sekarang mereka mengatakan ada paradigma baru, menurut saya hal
itu perlu ditelaah. Apakah mereka betul serius? Apakah benar mereka sudah
merevisi ajaran-ajarannya? Apakah benar mereka sudah menganggap se-Islam
ini saudara se-Islamnya, dan mereka boleh menikah dengan orang Islam yang
lain, dan mereka boleh bermakmum di belakang orang Islam yang lain. Apakah
sudah seperti itu? Sebab sejauh ini, meskipun ada banyak perbedaan di antara
ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya, tetapi
perbedaan itu tidak ada masalah. Termasuk menikah dengan ormas lain juga
boleh, tidak menimbulkan masalah. Hal-hal semacam itu, saya kira perlu
dievaluasi.
Paradigma baru LDII itu perlu dicocokkan. Masalahnya, sekarang ini
buku-buku yang beredar di jama'ah-jama'ah LDII itu adalah buku-buku yang
lama. Apakah buku-buku dan ajaran-ajaran itu sudah direvisi? Jadi tidak cukup
hanya dengan menyatakan bahwa mereka sudah berubah, tetapi kemudian ke
dalamnya bagaimana? Sama dengan Ahmadiyah kan? Dalam melihat
Ahmadiyah, pemerintah tidak cukup hanya dengan mendengarkan pernyataan
mereka, tetapi harus melihat realita di lapangan. Itu yang lebih penting, karena
masyarakat melihat sendiri kenyataan di lapangan. Misalnya, masyarakat melihat
40
ada masjid LDII, apakah jama'ah masjid itu sudah berbaur dengan jama'ah
yang lain? Kalau dulu mereka tidak mau shalat Jum'at dengan yang lain,
mereka membuat jama'ah Jum'at sendiri. Nah, sekarang semua itu sudah
berubah atau belum? Jadi, lebih penting praktek di lapangan, dan literatur lama
itu harus ada revisi.
Saya tidak pernah mendalami LDII, makanya saya tidak mengungkapkan
lebih jauh. Meski demikian, kita tidak apriori. Okelah sekarang ada statement
seperti itu, kita sambut dengan baik. Menurut saya, di samping menggunakan
pendekatan yang tegas seperti fatwa, MUI perlu juga menggunakan
pendekatan yang lebih aktif dan persuasif terhadap mereka. Inilah yang disebut
dengan dakwah. Barangkali mereka belum tahu, bahwa ada sebagian yang salah
dari ajaran mereka. Nah, kita tunjukkan kepada mereka dimana letak
kekeliruannya. Di sinilah perlunya MUI berperan lebih aktif.
41
BAB III
PENGERTIAN BAI’AT
A. Pengertian Bai’at
setiap orang hampir tidak bisa membayangkan tentang adanya sistem
politik yang sehat dan negara yang kuat dan stabil, serta jamaah yang sempurna
tanpa adanya keadilan para pemimpin dan kepatuhan rakyatnya. Sedangkan
jamaah tidak ada harganya apabila individu-individu mereka tidak diikat oleh
sistem (Islam), dan tidak dipersatukan oleh pemimpin yang mengatur urusan
mereka. Sementara pemimpin tidak mempunyai bobot dan eksistensinya, apabila
ia direndahkan oleh jamaahnya, tidak didengar, dan ditaati. Oleh karena itu Islam
menekankan akan urgensi loyalitas kepada jamaah muslim dan ketaatannya
kepada imam mereka, serta tidak keluar dari jamaah, kecuali dalam keadaan yang
sangat mendesak.1
Ada beberapa pengertian tentang bai'at dan dalam hal ini bahwa bai'at jika
dilihat dari fiqih siyasah di kalangan kaum muslimin setelah pengajuan calon
khalifah dan pemilihan dari pihak ahl al-hill wa al-aqd, atau setelah penggantian
dari khalifah sebelumnya kaum muslimin diajak untuk memberikan bai'at kepada
khalifah. Dalam hal ini akan dibahas sekitar pengertian bai'at.
1 Ramli Kabi‟ Ahmad Shiddiq Abdurrahman, Bai’at Suatu Prinsip Gerakan Islam,
“Telaah Bai’at dalam Khalifah dan Jamaah”. Terj dari judul aslinya Al-Bai’ah Fi’n- Nizhami as
siyasi al- Islami wa Thathabiqatuha fi Hayati as-Siyasiyah al-Muashirah (Jakarta: el-Fawaz Press,
1993), h. 35
42
1. Pengertian Bai'at Secara Bahasa
Arti bai'at dilihat dari segi etimologis (lughot) adalah berasal dari bahasa
Arab, dengan bentuk kata pokok: b, y dan a atau .2 Di dalam kamus
bahasa Arab karangan Prof Dr. H. Mahmud Yunus adalah artinya bersetia,
berjanji dan juga ، yang artinya palantikan khalifah.3
Sedangkan dari
kamus al-Munawwar karangan A.W. Munawwar kata bai'at adalah عملية بيع: البيعة
artinya transaksi penjualan dan ( .artinya: ikatan janji عقد البيعة (التو لية4
Dalam asal kata bai‟at terkandung makna:
a. Adanya dua pihak yang asaling ber akad secara damai
b. Adanya dua barang atau sarana yang saling dipertukarkan oleh dua pihak
dalam akad.
c. Adanya kerelaan yang sempurna dari dua belah pihak yang berakal,
dimana masing-masing mereka mengambil sesuatu yang lebih berharga,
sementara yang lainnya mengambil harga5
2 Ramli kabi‟ Ahmad Shiddiq Abdurrahman, Bai’at Suatu Prinsip Gerakan Islam, “
Telaah Bai’at Dalam Khilafah Dan Jamaah”. Terj dari judul Aslinya Al-Bai’ah Fi’n-Nizhami As
Siyasi Al-Islami Wa Thathbiqatuha Fil Hayati As-Siyasiya Al-Muashirah, h. 36 3 Muhammad Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidayah Karya
Agung, 1997) cet. ke-1, hal. 75 4 A. W. Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984) cet. ke-1,
hal. 135 5 Ramli kabi‟ Ahmad Shiddiq Abdurrahman, Bai’at Suatu Prinsip Gerakan Islam, “
Telaah Bai’at Dalam Khilafah Dan Jamaah”. Terj dari judul Aslinya Al-Bai’ah Fi’n-Nizhami As
Siyasi Al-Islami Wa Thathbiqatuha Fil Hayati As-Siyasiya Al-Muashirah, h. 40
43
2. Pengertian Bai’at Secara Istilah
Pengertian bai'at secara terminologi (istilah) banyak sekali pengertian
mengenai bai'at diantaranya adalah: bai'at diambil dari kata ba'a yang berarti
membeli sesuatu dengan harga dan kesepakatan dua orang yang sedang
melakukan transaksi dagang dengan cara memukulkan tangan yang satu ke
tangan yang lainnya sebagai tanda setuju. Bai'at seperti ini telah berjalan
bertahun-tahun dalam tradisi Arab klasik. Bai'at juga memberikan arti
kesepakatan kewajiban menjual (ba'i) dan janji setia. Jadi bai'at berarti pemberian
janji orang yang membai'at untuk patuh dan taat kepada pemimpin dalam
keadaan susah dan lapang, yang disukai dan yang tidak disukai, tidak
menentangnya dan menyerahkan urusan kepadanya.6
Ibnu Khaldun mendefinisikan. “... bai'at adalah janji setia, seorang pemberi
bai'at tidak akan menentang sedikitpun mentaati dan mematuhi perintah dan tugas
yang diberikan kepadanya dalam hal yang disukai maupun yang tidak disukai.
Mereka apabila membai'at amir dan memberi ikatan sumpah setia kepadanya
mengulurkan tangan ke dalam tangannya sebagai penguat sumpah setia. Yang
demikian itu mirip dengan apa yang dilakukan oleh pembeli dan penjual. Bai'at
menjadi jabat tangan karena bai'at merupakan bentuk kata benda (masdar) dari
kata ba'a....”7
6 Muhammad Abdul Qadir Abu fariz, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Rabani Press, 1987),
cet. ke-1, h. 205 7 Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, “Sistem Politik Islam” hal. 205
44
Menurut Dr. Muhamad Abdul Qadir Abu Faris: “... Bai‟at adalah
menyatakan janji dari orang yang berbai‟at untuk mendengar, taat kepada
pemimpin, baik dalam hal yang menyenangkan maupun pada hal yang tidak di
sukai, kesulitan kemudahan loyal kepada pemimpin dan mempercayakan segala
urusan kepadanya...”8
Sedangkan menurut T.M. Hasbie Ash-Shiddieqy. “... Bai‟at ialah
pengakuan Ummat untuk mematuhi dan mentaati imam yang dilakukan oleh ahlu
hilli wal aqdi dan dilaksanakan sesudah permusyawaratan...”9
3. Pengertian Bai'at Secara Syar'i
Adapun pengertian bai‟at menurut syar’i adalah dimana bai‟at tersebut
dialamatkan kepada khalifah, jika masih ada di muka bumi. Sehingga maksud
bai‟at adalah perjanjian untuk taat, bersumpah setia kepada khalifahnya untuk
mendengar dan taat kepadanya, baik dalam hal yang menyenangkan maupun tidak
menyenangkan, dalam keadaan mudah maupun sulit. Rasulullah SAW bersabda:
“Maka apabila engkau melihat adanya khilafah, menyatulah padanya,
meskipun ia memukul punggungmu. Dan jika khalifah tidak ada, maka
menghindar.” (HR. Thabrani dari Khalid bin Sabi‟).
Ḫadîts tersebut ditafsirkan bahwa wajibnya bai‟at adalah kepada khalifah.
Thabrani mengatakan bahwa yang di maksud “menghindar” dalam hadîts tersebut
8 Ramli Kabi‟ Ahmad Shiddiq Abdurrahman, Bai’at Suatu Prinsip Gerakan Islam, “
Telaah Bai’at Dalam Khilafah Dan Jamaah”. Terj dari judul aslinya Al-Bai’ah Fi’n-Nizhami As
Siyasi Al-Islami Wa Thathbiqatuha Fil Hayati As-Siyasiya Al-Muashirah. h. 45 9 T.M. Habsi Ash Shidieqy, Asas-asas Hukum Tata Negara Menurut Syariat Islam,
(Yogyakarta: Matahari Masa, 1969), h. 66
45
adalah menghindar dari kelompok-kelompok partai manusia (golongan atau
firqoh-firqoh), yang tidak mengikuti seorang pun dalam firqoh yang ada. Dengan
kata lain, apabila khlifah atau kekhalifahan sedang vakum maka wajib bai‟at pun
tidak ada.
B. Bai'at Dalam Lintas Sejarah
1. Bai'at di Masa Rasulullah
Sejarah tidak dapat diperlakukan sebagai rentetan kejadian tanpa
pelaku. la tak dapat mengabaikan peranan tokoh agama seperti Nabi
Muhammad Saw. Fakta membuktikan bahwa bangkitnya agama, sekte, atau
kultus modern lain baik di pelosok desa maupun di pusat metropolitan selalu
bersumber dan bergerak dari satu pribadi tokohnya.
Dalam al-Qur'an Allah menegaskan bahwa Muhammad Saw adalah
seorang Rasul (dan tidaklah Muhammad itu kecuali seorang
Rasul). Sebagai Rasul beliau bertugas menyampaikan dan pensarah
keseluruhan wahyu yang diterimanya kepada manusia sebagaimana Allah
berfirman:
46
Artinya "Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan”.(Q.s. al-Nahl [16]: 44)
Dan Nabi Muhammad sebagai pembuat hukum sebagaimana Allah berfirman:
Artinya "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu”.(Q.s. Al-Nisa [4]: 105)
Serta Rasul pun sebagai suri tauladan bagi umat manusia sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah di dalam al-Qur'an:
Artinya "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.s. al-Ahzab [33]: 21)
Ayat-ayat di atas menerangkan bahwa Muhammad Saw sebagai Rasul,
bukan hanya sebagai penyampai dan penjelas keseluruhan wahyu Allah tetapi
juga diberi hak legistatif atau hak menetapkan hukum bagi manusia dan hak
menertibkan kehidupan masyarakat.
Pernyataan tersebut sesuai dengan bukti-bukti sejarah tentang tugas-
tugas yang beliau lakukan setelah di Madinah, peranan luas bukan hanya sebagai
Rasul dan pendakwah yang mengajak manusia beriman pada Allah dan sebagai
pembimbing spiritual belaka melainkan juga melakukan tugas-tugas dan peran
sosial politik serta memegang kekuasaan politik.
47
Muhammad Rasulullah untuk pertama kali mendapat pengakuan sebagai
pemimpin dari kelompok Madinah pada bai'at Aqobah I (62I M) dan bai'at
Aqobah II (622 M).10
"Pengangkatan" pemimpin negara Islam pertama melalui
proses yang unik. Yang d ip i l i h memang rnempunyai kwalitas yang unik, yaitu
memegang risalah di samping pemimpin masyarakat politik Islam
mengajarkan syahadat dan membenarkan eksistensi bai'at. Syahadat bersifat
religius sedangkan bai'at bersifat keduniaan. la merupakan lembaga perjanjian
antara sesama manusia. Isinya biasa berupa kemauan timbal balik dan
kesepakatan politik.
Bai'at pada masa Rasulullah Saw bagi laki-laki adalah berbentuk kata-kata
disertai jabat tangan, yang intinya adalah ikrar janji setia kepada pemimpin.
Sedangkan bai'at yang dilakukan antara kaum wanita dengan Rasulullah
adalah dengan kata-kata tanpa disertai dengan jabat tangan. Pada musim haji tahun
ke-12 H sesudah kenabian (ba'da bi'tsah) dua belas laki-laki dan seorang wanita
penduduk Yatsrib menemui Rasulullah secara rahasia di Aqobah.11
Mereka
mengatakan keinginannya untuk masuk Islam sekaligus mengajak Nabi untuk ke
Yatsrib guna menyelamatkan negeri mereka dari kemelut perpecahan dan
pertumpahan darah yang telah berlangsung selama 40 tahun. Rasulullah kemudian
10
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintah Dalam Piagam Madinah Ditinjau
dari Sudut Pandang al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), cet. II, hal. 70 11
Keduabelas anggota ini dikenal sebagai penelong (Anshor) adalah anggota dua suku
besar yang mendominasi Yastrib. Yaitu Aws dan Kharaj. Masing-masing suku ini bercabang
dalam klan yang lalu datang. Awf dan Muadz, keduanya putra „Afra;mKlan Zurayq: Rafi bin
Malik dan Dakhwan bin Abdul Qoys. Klan Salimah: Uqbah bin Amir. Klan Sawad: Qutbah bin
Amir. Klan Salim: abbas bin Ubadah. Klan Awwf: Ubadah bin Samit dan Yazid bin Tsa‟labah
alias Abu Abdurrahman. Klan amr bin awf: Umyam bin Sa‟idah, banu Aws diwakili Abul haytsam
bin Tayyihan, alias Malik, yang berasal dari klan Abdul asyhal.
48
menyampaikan dasar-dasar agama Islam dan mengajak mereka berbai'at untuk
mengukuhkan keimanan mereka, dengan jalan saling memegang tangan erat-erat
dan tangan Nabi berada di atas tangan mereka. Adapun materi bai'at (seperti
dituturkan oleh 'Ubadah ibn Shamit, salah seorang peserta bai'at) sebagai
berikut:
"Kami berbai'at dengan Rasulullah di malam Aqobah yang pertama:
Bahwa kami tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun; tidak
akan mencuri (korupsi), tidak akan berzinah (prostitusi) tidak akan membunuh
anak-anak (aborsi), tidak akan rnenyiarkan kabar bohong di antara sesama
kami dan tidak akan mendurhakainya (Rasul) dalam hal yang ma'ruf."
Isi bai'at Aqobah I bersifat religius dan akhlaqi, ikrar ini hanya semacam
tuntutan moral, tidak melibatkan kewajiban mereka terhadap Muhammad kalau
keselamatannya terancam. Tidak dicantumankannya ajakan perang dan
penggunaan kekerasan membelanya. Kemudian Nabi mengutus Mushab ibn
Umayr menyertai mereka untuk mengajarkan ajaran Islam di Madinah. Mushab
berhasil melapangkan jalan bagi hijrah kaum muslimin dan Nabi serta
perkembangan Islam berikutnya. Dengan usahanya dua tokoh kafilah Aws
masuk Islam, yaitu Sa'ad ibn Mu'az dan Asid ibn Hudayr, yang kemudian
menjadi pembela Nabi dan Islam dengan gigih dan penuh keikhlasan.12
Bai'at
Aqobah I ini disebut juga bai'at an-Nisa (perjanjian wanita) karena dalam bai'at itu
ikut seorang wanita bernama Afra binti 'Abid ibn Tsa'labah. Di samping itu pula
12
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, Kajian Perbandingan Tentang
Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995), cet. I, hal. 85
49
mungkin juga karena tidak ada acara "jabat tangan" sebagaimana dalam ikrar
Aqobah II nanti, ketika Muhammad tidak menjabat tangan dua pengikut wanita.
Tahun berikutnya pada musim haji rombongan kaum muslimin
Madinah terdiri dari 73 pria dan 2 wanita bertemu dengan Nabi di Aqobah,
diantar oleh Mushab bin Umayr. Saat janji itu tiba, mereka menuju ke lembah
sempit antara dua bukit. Seorang wajah baru adalah Abdullah bin Amir, ia diajak
masuk Islam demi mengubah nasib dan diminta merahasiakan hal ini dari
rombongan kafir. Ada dua wanita di antara Anshar ini, yang satu bernama
Nusaybah, dan wanita yang satu lagi bernama Asma' alias Umm Mani. Kedua
wanita itu ikut berikrar, tetapi tidak menjabat tangan Muhammad, karena
Muhammad tidak menjabat tangan wanita. Atau mungkin karena menyangkut
urusan kekerasan dan peperangan. la hanya menyatakan syarat dan kewajiban
kedua pihak, menanyakan apakah setuju, dan kalau ya. Lalu mengatakan:
"teruskan, kami telah berikrar dengan anda. Banyak tokoh kabilah Aws dan
Khazraj di dalam rombongan besar i tu mengucapkan bai'at yang kemudian
dikenal sebagai bai'at Aqobah II. Isinya sebagai berikut:
"Kami akan melindungimu sebagaimana kami melindungi wanita kami.
Kami adalah tukang perang dan selalu bertengkar. Jika kami memutuskan
hubungan dengan kaum Yahudi, sudikah anda membela kaumku?" Jawab Nabi:
"Darahmu darahku, perlindunganmu perlindunganku. Kalian bagian jiwaku. Aku
akan memerangi musuh kalian dan aku akan berdamai dengan siapa saja yang
berdamai dengan kalian."
50
Bai'at Aqobah II ini juga dinamai bai'at Aqobah besar dan bai'at
perang (bay'ah al'Aqobah al-Kubra aw bay'ah al-Harb).
Salah satu isi penting dari ikrar Aqobah II ini adalah dicantumkannya
ketentuan mengenai perang. Jadi, pihak Anshor berjanji akan membela
Muhammad, sekalipun perlu berperang dan berkorban jiwa. Dan Muhammad
juga berjanji setia tanpa pamrih menurut ajaran Tuhan.
Dalam bulan Dzulqo'dah tahun ke-6 H Rasulullah Saw bersama
rombongan muslimin sebanyak 1500 orang berangkat ke Mekkah dengan
maksud hendak berumrah, tidak berniat hendak berperang. Setibanya sampai ke
tempat bernama Hudaibiyyah mereka berihram umrah, agar orang-orang Mekkah
mengetahui bahwa kedatangan beliau ke Mekkah bersama rombongan muslimin
tidak bermaksud lain kecuali hendak berziarah ke Baitullah al-Haram sebagai
penghormatan.
Orang-orang Mekkah yang dari kejauhan melihat Rasulullah Saw bersama
rombongannya turun di tempat i tu merasa khawatir akan serangan yang hendak
dilakukan kaum muslimin. Mereka bertekad hendak mencegah masuknya kaum
muslimin ke kota Mekkah dengan segenap kekuatan yang ada pada mereka.
Rasulullah Saw mengutus seseorang untuk memberitahu mereka tentang maksud
kedatangannya ke Mekkah bersama kaum muslimin. Untuk i tu beliau
memanggil Umar bin Khattab ra, tetapi Umar menjawab: "Ya Rasulullah, di
Mekkah tidak ada seorang pun dari Bani 'Adiy bin Ka'ab (kabilahnya Umar) yang
akan marah dan membelaku jika aku diserang. Sebaiknya anda mengutus
51
Utsman bin Affan ra. Di sana ia mempunyai banyak kerabat yang akan
melindunginya." Berdasarkan usul Umar kemudian Rasulullah rnemanggil
Utsman dan mengutusnya berangkat menemui orang-orang Quraisy di Mekkah.
Perundingan antara Utsman dan para pemimpin orang Quraisy
memakan waktu yang sangat lama, sehingga Utsman dikabarkan telah terbunuh.
Mereka gelisah menantikan Utsman yang tidak kembali juga, dugaan tersebut
menjadi kuat bahwa utusan Rasulullah Saw telah terbunuh oleh kaum musyrikin
di Mekkah. Kemudian para sahabat telah bertekad tidak akan meninggalkan
Hudaibiyyah sebelum mereka menghukum penghianatan orang-orang Mekkah.
Sambil berdiri di bawah pohon "Samurah" Rasulullah Saw mengajak semua
sahabatnya untuk membulatkan tekad dan bersiap-siap menghadapi kaum
musyrikin. Para sahabat pun semuanya menyatakan janji setia (bai'at) kepada
Rasulullah mereka mengikrarkan sumpah setia akan tetap membela Allah dan
Rasul-Nya dalam keadaan bagaimanapun juga dan seorang pun yang akan lari
mengingkari sumpah setia (bai'at) tersebut.
Bai'at yang ketiga ini dikenal dengan "Bai'atur-Ridhwan," yang artinya:
pernyataan dan janji setia yang diridhoi Allah, peristiwa ini diabadikan di dalam
al-Quran surat al-Fath: ayat 18 :
52
Artinya . “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika
mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa
yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan
memberi Balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”.
(Q.s. al-Fath [48]: 18).
Peristiwa Hudaibiyyah ini terjadi dengan adanya perjanjian dari kedua pihak
meskipun proses penulisan naskah perjanjian itu tersendat-sendat, namun
akhirnya dapat disepakati juga perjanjian tersebut dan ditandatangani oleh
kedua pihak. Perjanjian terkenal juga dengan nama, "Perjanjian Perdamaian
Hudaibiyyah" (Shudhul-Hudaibiyyah). Perjanjian itu berisi pokok-pokoknya
sebagai berikut:
1. Kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun.
2. Jika kaum Quraisy yang tidak seizin walinya memasuki ke pihak
Rasulullah maka ia harus dikembalikan kepada kaum Quraiys.
3. Jika ada seorang muslim pengikut Rasulullah masuk ke pihak kaum
Musyrikin Quraisy ia tidak akan dikembalikan kepada Rasulullah.
4. Orang-orang Arab atau kabilah yang ada di luar perjanjian itu dibolehkan
bersekutu dengan salah satu pihak dalam perjanjian menurut keinginanya.
5. Untuk tahun ini Rasulullah Saw dan kaum muslimin harus kembali ke
Madinah, dengan ketentuan akan dibolehkan memasuki Mekkah tahun
akan datang dengan syarat:
53
a. Kaum muslimin tidak boleh tinggal di Mekkah lebih dari 3
(tiga) hari.
b. Kaum muslimin tidak akan membawa senjata selain pedang
dalam sarung.13
Setelah beberapa hari tinggal di Hudaibiyyah Rasulullah Saw bersama
kaum muslimin kembali ke Madinah, dengan harapan akan kembali ke
Mekkah tahun depan. Diantara mereka masih banyak yang kecewa, karena
ketidak adilan yang diterima oleh kaum muslimin dalam perjanjian Shulhul
Hudaibiyyah tersebut. Hanya keimanan dan kepercayaan mereka kepada Allah
dan Rasul-Nya yang dapat menentramkan mereka.
2. Bai'at di Masa Khulafaur Rasyidin
Nabi Muhammad Saw tidak menunjuk siapa yang akan menggantikan
sepeninggalnya dalam memimpin umat yang baru terbentuk. Memang
wafatnya beliau mengejutkan, tetapi sesungguhnya dalam sakitnya yang terakhir
ketika beliau mengalami gangguan kesehatan sekurang-kurangnya selama 3
(tiga) bulan, Muhammad telah merasakan bahwa ajalnya akan segera tiba.
Masalah suksesi mengakibatkan keadaan politik umat Islam menjadi
sangat tegang. Keadaan itu demikian kritis, pedang hampir saja terhunus dari
sarungnya. Masing-masing golongan merasa paling berhak menjadi penerus Nabi.
13
Muhammad al-Hamidi al-Husaini, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad Saw,
(Jakarta: Yayasan al-Hamidi, 1996), cet. ke-6, hal. 667
54
Dalam sejarah Islam 4 (empat) orang pengganti Nabi dan meneruskan misinya,
mereka adalah pemimpin yang adil dan benar, setelah keempat pemimpin itu
dibai‟at oleh kaum muslimin.
a. Pembai'atan Abu Bakar as-Siddiq ra
Ketika Rasulullah wafat, kaum Anshor berkumpul mengelilingi Sa‟ad
bin Ubadah di Saqifah Bani Saidah.14
All bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam
dan Thalhah bin 'Ubaidillah memisahkan diri di rumah Fatimah. Kaum
Muhajirin yang lain berkumpul mengelilingi Abu Bakar dan Umar bersama
Usaid bin Hudhair dari Banu Abdul Asyhal. Kemudian seseorang datang kepada
Abu Bakar dan Umar, mengatakan bahwa kaum Anshor telah berkumpul di
Saqifah Bani Saidah mengelilingi Sa‟ad bin 'Ubadah.
Sejarah mencatat 6 (enam) orang Mekkah yang memasuki pertemuan
kaum Anshor di Saqifah pada sore hari Senin 12 Rabiul Awwal 11 H, pada
saat Rasul belum dimakamkan, mereka itu adalah Abu Bakar, Umar, Abu
'Ubaidah, Mughirah bin Syu'bah, Abdurrahman bin Auf dan Salim Maula Abu
Khuzaifah.15
Dalam pidatonya, Abu Bakar mengatakan: "Kami adalah orang yang
pertama masuk Islam. Dan di antara kaum muslim, kedudukan kami di
14
Saqifah adalah nama lembaga permusyawaratan masyarakat Madinah. Saqifah atau
bailairung bertempat di suatu tcrnpat selatan 500 m sebelah barat masjid Nabi. Disini terdapat sebuah
sumber air yang bernama Bi'r Budha'ah dan sebuah masjid. Marga Sa'idah yang mendiami "desa"
ini memiliki semua bailairung (Saqifah) tempat musyawarah yang terkenal dengan nama Saqifah
Bani Sa'idah. Disinilah kaum Anshor berkumpul pada saat Rasulullah wafat, untuk mengangkat
Sa'id bin Ubadah pemimpin kaum Anshor menjadi pemimpin umat. 15
O. Hashem, Saqifah, suksesi Sepeninggalan Rasulullah, Awal Perselisihan Umat,
(Depok: Penerbit Yafi, 1989), cet. ke-2, h. 209
55
tengah-tengah, keturunan kami yang mulia, dan kami adalah saudara Rasul
yang paling dekat, sedang kamu, kaum Anshor adalah saudara-saudara kami
dalam Islam, dan kawan-kawan kami dalam agama. Kalian menolong kami,
melindungi kami dan menunjang kami: mudah-mudahan Allah membalas
kebaikan kalian. Maka kami adalah pemimpin (umara') sedang kalian adalah
pembantu (wuzara), menteri. Orang Arab tidak akan tunduk kecuali kepada
orang Quraisy. Tentu sebagian dari kamu mengetahui betul: para pemimpin
adalah dari orang Quraisy, (al-a'immah min Quraisy), maka janganlah kalian
bersaing dengan saudara-saudara kalian kaum Quraisy yang telah mendapatkan
anugrah dari Allah. Dan ketahuilah bahwa kami adalah sahabat Rasul yang
pertama, keluarga dan para walinya."16
Dari argumen Abu Bakar ini diketahui "bahwa", Abu Bakar, Umar dan Abu
Ubadah adalah kerabat Rasul, dan ketika disampaikan argumen tersebut, kepada
Ali, Ali pun berkata: "Bila anda berargumentasi kepada kaum muslimin dengan
dekatnya kekerabatan kepada Rasul, bukankah yang lebih dekat lagi kepada beliau
lebih berhak dari diri anda sendiri?. Dari argumen Abu Bakar ini diketahui
"bahwa", Abu Bakar, Umar dan Abu Ubadah adalah kerabat Rasul, dan ketika
disampaikan argumen tersebut, kepada- Ali, Ali pun berkata: "Bila anda
berargumentasi kepada kaum muslimin dengan dekatnya kekerabatan kepada
Rasul, bukankah yang lebih dekat lagi kepada beliau lebih berhak dari diri anda
sendiri?
16
O. Hashem, Saqifah, suksesi Sepeninggalan Rasulullah, Awal Perselisihan Umat, hal.
210
56
Dalam pidatonya Abu Bakar yang dilengkapi oleh Ya'kub, Abu
Bakar berkata: "Kaum Quraisy lebih dekat kepada Rasul dari pada kalian.
Maka inilah Umar b in Khattab kepada siapa Nabi berdo'a Ya Allah kuatkan
imannya (Umar)17
dan yang lain adalah Abu Ubadah, yang oleh Rasul disebut
sebagai orang terpercaya dari umat ini; pilihlah orang yang kalian kehendaki
dari mereka, dan bai'atlah kepadanya. "Tapi keduanya menolak dengan
mengatakan," Kami tidak menyukai diri kami melebihi anda. Anda adalah
sahabat Nabi, dan orang kedua dari yang dua (dalam gua pada waktu hijrah).18
Dan ketika Abu Bakar mencalonkan dirinya, Umar berkata, "Sementara anda masih
hidup? Siapakah yang dapat menggeser kedudukan anda yang telah ditentukan
oleh Rasul?"
Ya'kub juga menceritakan bahwa Abu Ubadah berkata, "Kawan-
kawan Anshor, kalian adalah yang pertama membela Islam, maka janganlah
kamu menjadi orang yang pertarna memisahkan diri dan berubah." Kemudaian
Abdurrahman bin Auf berdiri dan berkala: "Kalian memang berjasa tetapi kalian
tidak memiliki orang-orang seperti Abu Bakar, Umar dan Ali." Sampai di sini,
seorang Anshor yang bernama al-Mundzir bin Arqom menjawab: "Kami tidak
17As-Syaikhani meriwayatkan dengan sanad keduanya dari Abdullah bin umar ra, dia
berkata: dikatakan kepada Umar, "tidakkah anda mengangkat seorang khalifah?" Umar berkata,
"kalau aku mengangkat seorang khalifah, maka sungguh ada yang lebih baik dariku yang
megangkat seorang khalifah, yaitu Abu Bakar, dan kalau aku membiarkannya, maka telah ada
orang yang lebih baik dariku yang membiarkannya, yaitu RasuluIIah saw. Maka orang-orang
pun memujinya lantas ia berkata, "dengan harap dan cemas aku mengharapkan andaikan aku
selamat darinya dengan keadaan nihil, tidak ada pahala dan tidak ada dosa. Aku tak sanggup
menanggungnya baik ketika hidup maupun sesudah mati."
18 O. Hashem, Saqifah, suksesi Sepeninggalan Rasulullah, Awal Perselisihan Umat,
hal.212
57
menolak kebajikan-kebajikan yang kalian sebutkan, tetapi sesungguhnya ada
seorang di antara kalian yang tidak akan ada seorang pun menolak, apabila ia
menginginkan kepemimpinan ini; orang itu adalah Ali bin Abi Thalib.
Suasana semakin tegang, perdebatan semakin hangat di pertemuan
Bard Saqifah dan ketiaka Abu Bakar akan memenangkan perdebatan itu
dengan argumennya, maka Ali adalah orang yang paling tepat memenuhi
argumen itu, lalu mereka berteriak: "Kami tidak akan membai'at yang lain kecuali
Ali" Bahkan suara-suara itu masih terdengar di saat pembai'atan Abu Bakar
berlangsung.
Dalam keadaan yang tegang itu dan teriakan-teriakan semakin keras yang
mendukung Ali kemudian Umar mengambil tindakan dengan berkata kepada
Abu Bakar, "Buka tangan anda wahai Abu Bakar", Umar pun membai'at Abu Bakar
yang sebelumnya didahului oleh Basyir bin Saad.
Bai'at orang-orang yang ada di Saqifah adalah bai'at khusus, yang
tidak berbeda secara substansial dengan pencalonan Abu Bakar. Ketika Abu
Bakar dibai'at di Saqifah keesokan harinya ia duduk di atas mimbar, dan Umar
pun berdiri berbicara sebelum Abu Bakar berbicara, "Dan sekalian manusia,
sesungguhnya aku telah mengatakan kepada kalian kemarin dengan perkataan
yang tidak aku temukan di dalam kitab Allah dan tidak pula ada janji
pencalonan seseorang kepada Rasulullah Saw. Akan tetapi aku telah melihat
bahwa Rasulullah Saw akan mengurusi urusan kita. Sesungguhnya Allah
telah mengabadikan kitab-Nya yang dengan kitab-Nya itu memberi petunjuk
58
kepada Rasulullah Saw. Apabila kalian berpegang teguh dengannya, maka
Allah akan memberi petunjuk kepada kalian. Allah telah memberikan urusan
kalian kepada orang yang berhak dan terbaik diantara kalian, sahabat
Rasulullah Saw, orang kedua diantara dua orang ketika mereka berdua di
dalam gua. Maka berdirilah kalian dan bai‟atlah Abu Bakar.” Kemudian
orang-orang pun memberi bai‟at kepada Abu Bakar secara umum setelah
bai‟at di Saqifah.19
Setelah itu banyak kabilah-kabilah Arab yang datang ke Madinah
untuk membeli keperluan sehari-hari di pasar Madinah yang dibuka pada hari
kamis, Umar pun telah menyuruh mereka dari anggota-anggota klan Aslam
untuk membai‟at Abu Bakar. Tetapi banyak juga yang tidak membai‟at Abu
Bakar dan malah menolak menyerahkan zakat kepadanya.
Kaum Khazaj dan Aws sebenarnya membai‟at Abu Bakar dengan
segala alasan untuk kelangsungan hidup suku mereka masing-masing dan
sebutir alasan untuk memuliakan Abu Bakar. Bagi kaum Muhajirin
pembai‟atan ini dijadikan bukti sebagai segala keutamaan Abu bakar .
Sedangkan Ali setelah 6 bulan kemudian, sesudah wafatnya Fatimah yaitu 75
hari setelah Rasulullah wafat. Ali tidak membai‟at Abu Bakar bukan karena
mengingkari keutamaan Abu Bakar melainkan Ali benar-benar yakin bahwa
kekhalifahan itu adalah hak Ali dan Abu Bakar telah merampas darinya.
Pembai‟atan Ali terhadap Abu Bakar juga dikarenakan untuk membesarkan
19
Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, hal. 160
59
hati kaum muslimin dan menyelesaikan keresahan kaum muslimin yang
sedang menghadapi musibah murtadnya sebagian kabilah Arab.
b. Pembai'atan Umar bin Khattab
la bernama Umar ibn Khattab ibn Nufail keturunan Abdul 'Uzza al-
Quraesy dari Suku „Adi; salah satu suku yang mulia.20
Umar masuk Islam pada
tahun kelima setelah kenabian, salah satu sahabat Nabi yang terdekat. Umar bin
Khattab adalah seorang yang dapat memecahkan masalah yang rumit tentang
siapa yang berhak mengganti Rasulullah dalam memimpin umat setelah
wafatnya Rasulullah Saw. dengan memilih dan membai'at Abu Bakar sebagai
khalifah Rasulullah sehingga ia mendapat penghormatan yang tinggi dan dimintai
nasehatnya serta menjadi tangan kanan Abu Bakar.
Setelah Abu Bakar menjabat khalifah selama dua tahun, Abu Bakar
jatuh sakit. Dalam keadaan sakitnya itu, Abu Bakar berinisiatif untuk mengangkat
Umar sebagai khalifah, namun sebagian para sahabat khawatir terhadap karakter
Umar, karena ia dikenal di kalangan para sahabat sebagai orang yang memiliki
temperamen keras, tegas dan pemberani.21
Kemudian Abu Bakar menyuruh
orang untuk memanggil Abdurahman bin Auf dan Usman bin Affan. Untuk
menuliskan wasiatnya dengan menunjukkan Umar sebagai penggantinya. Surat
wasiat Abu Bakar ditulis oleh Usman bin Affan yang bertuliskan sebagai bertkut:
20
Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2000), cet. ke-1, h. 52 21
Ali Ahmad As-Syalus, Ensiklopedia Sunnah-Syi’ah; Study Perbandingan Aqidah dan
Tafsir, (Jakarta, al- Kautsar, 2001), cet. ke-1, h. 20
60
"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang" ini
adalah wasiat kepada kaum mukminin dari saya, Abu Bakar bin Abi
Quhafa. Saya telah mengangkat Umar sebagai khalifah untuk kalian,
maka dengarkanlah dan turutilah dia, saya membuat dia jadi penguasa
semata-mata untuk kebaikan kalian.22
Setelah wasiat itu tertulis, Umar telah berpakaian rapih dikelilingi oleh
teman-temannya di rumahnya sambil menunggu budak Abu Bakar datang
membawa surat wasiat tersebut yang kemudian dibacakan secara resmi. Dan
ketika Abu Bakar meninggal dunia Umar pergi ke masjid dan menyampaikan
pidatonya di hadapan kaum muslimin kemudian mereka membai'at Umar,
tidak seorangpun terlambat dalam pembai'atan Umar kecuali Sa'ad bin Ubadah.
Kekhalifahan Umar berlangsung dengan lancar dan baik hingga masa akhir.
c. Pembai'atan Utsman bin Affan
Umar menduduki kekhalifahan selama sepuluh tahun ketika menjelang
kematiannya, roda kepemimpinan Umar diserahkan kepada enam orang sahabat.
23Dalam pemilihan khalifah ini Umar membuat tata tertib sebagai berikut:
1. Khalifah yang dipilih haruslah anggota dari badan tersebut
2. Bila dua calon yang mendapat dukungan yang sama besar, maka
calon yang didukung oleh Abdurrahman bin Auf yang di anggap
22
O. Hashem, Saqifah, suksesi Sepeninggalan Rasulullah, Awal Perselisihan Umat,
hal.290 23
Keenam Sahabat tersebut adalah: Ustman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Saad bin
Abi Waqqosh, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalha bin Ubaidillah serta Abdullah bin
Umar
61
menang.
3. Bila ada anggota dari badan ini yang tidak mau mengambil bagian
dalam pemilihan maka anggota tersebut harus segera dipenggal
kepalanya.
4. Apabila seorang telah d ip i l ih dan minoritas (salah satu atau dua
orang) tidak mengakuinya, maka yang tidak mengakuinya
kepalanya harus dipenggal, apabila dua calon didukung oleh
jumlah anggota yang sama besar, maka anggota yang menolak
terhadap pilihan Abdurrahman bin Auf harus dipenggal kepalanya.
5. Apabila dalam waktu tiga hari tidak berhasil memilih khalifah
maka keenam anggota itu harus dipenggal kepalanya, dan
menyerahkan kepada rakyat untuk mengambil keputusan.
Abdurrahman berkata kepada mereka, "Aku bukanlah orang yang patut
yang bersaing dalam masalah ini . Akan tetapi jika kalian berkenan aku akan
memilih untuk kalian di antara kalian." Tetapi mereka justru memberi
dukungan kepada Abdurrahman bin Auf dan khalayak cenderung kepadanya
sehingga tampak tidak seorangpun di antara orang-orang yang disebutkan oleh
Umar i tu menyamainya. Mereka mengajak berembuk dengan Abdurrahman
malam itu hingga pagi harinya, lalu membai'at Utsman. Orang-orang yang
berembuk itu, setelah berkumpul di dekat mimbar. Masyarakat luas dari berbagai
lapisan diminta hadir. Pada saat mereka telah berkumpul kemudian Abdurrahman
menyampaikan pidatonya," Amma' ba'du, wahai kaum muslimin, aku telah
mengamati terhadap urusan kalian, dan aku lihat mereka cenderung kepada
62
Utsman. Maka janganlah menjadikan dirimu jalan." Abdurrahman lalu berkata,"
Aku membai'atmu (wahai Utsman) atas sunnah Allah dan Rasul-Nya serta dua
khalifah setelah beliau," Setelah Abdurrahman memberi bai'at kepada Utsman
disusul kemudian dengan pemberian bai'at kepada Utsman oleh khalayak umum,
kaum Muhajirin dan Anshor, para komandan militer dan kaum muslimin pada
umumnya.
d. Pembai'atan Ali bin Abi Thalib
Pada tahun-tahun kekhalifahan Utsman bin 'Affan, pemerintahannya
sarat dengan kemakmuran dan keberkahan. Khalifah Utsman adalah khalifah yang
sangat lama masanya dibandingkan khalifah yang lainnya yaitu selama 12 tahun.
Dalam pemerintahan Utsman telah terjadi fitnah yang mengakibatkan Utsman
terbunuh. Utsman selalu berusaha memadamkan fitnah tersebut, namun tidak
berhasil.
Pada saat Utsman meninggal dunia, Sjadzali menerangkan bahwa
Madinah saat itu sedang kosong, para sahabat banyak yang berkunjung ke
wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan. Para sahabat hanya sedikit yang
berada di Madinah, antara lain Thalhah bin 'Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam.
24Kedua sahabat itu menemui Ali dan berkata, "Umat ini harus mempunyai imam."
Ali menjawab, "Aku tidak perlu dalam urusan kalian ini. Siapapun yang akan
24
O. Hashem, Saqifah, suksesi Sepeninggalan Rasulullah, Awal Perselisihan Umat, hal.
64
63
dipilih aku akan menerimanya. Mereka berkata lagi, "Kami tidak memilih
siapapun selain engkau." Mereka berulang-ulang mendesak kepada Ali agar
bersedia menjadi imam, hingga akhirnya mereka mengatakan," Sesungguhnya
kami tidak mengetahui apakah ada seseorang yang berhak daripada engkau
yang lebih dahulu masuk Islam dan lebih dekat kekerabatannya dengan
Rasulullah Saw." Ali masih saja menjawab, "Menjadi wazir itu lebih baik
daripada menjadi 'amir." Mereka menjawab, "Demi Allah kami tidak melakukan
apapun hingga kami membai'at engkau." Ali berkata," Jika demikian maka
bai'atku di masjid, tidak secara rahasia melainkan secara terbuka di masjid."
Di saat kaum muslimin telah berkumpul dan berdatangan ke masjid.
Ali datang dan naik ke mimbar dan berpidato," Hai, sekalian manusia,
sesungguhnya ini urusan kalian yang tidak seorangpun mempunyai hak di
dalamnya selain orang yang kalian angkat. Kami kemarin telah berbeda. dalam
suatu masalah dan aku tidak suka pada urusan kalian ini kecuali aku diberi
amanat atas kalian. Ketahuilah bahwa aku hanya membawa kunci-kunci harta
kalian. Aku tidak berhak mengambil satu dirhampun milik kalian itu. Jika
kalian mau, aku berikan kepada kalian. Jika tidak, maka aku tidak menjanjikan
kepada siapapun." Mereka berkata, "Kami menyepakati atas apa yang kalian
perselisihkan kemarin."Allahumma saksikanlah! Zubair dan Thalhah
rnembai'atnya. Ali berkata. "Jika kalian ingin membai'atku dan jika tidak aku
akan membai'at kalian." Mereka menjawab, "Tidak, melainkan kami
membai'at engkau." Keduanya membai'at Ali, yang kemudian diikuti oleh kaum
muslimin.
64
Dalam proses pembai'atan Ali sedang terlaksana, api fitnah tetap
berkorbar, bahkan bertambah parah dengan jatuhnya korban dari orang-orang
yang tidak bersalah oleh pedang saudaranya sendiri di wilayah kaum muslimin.
C. Ayat-Ayat Yang Terkait Tentang Bai'at
Berbicara tentang ayat-ayat Ba‟at, telah penulis lakukan penelusuran ayat-
ayat al-qur'an tentang Bai'at. Bahwa kata bai ( ) adalah bentuk masdar dari
kata bâ’a – yabî’u – bai’an dan mabî’an ( ). Dalam al-
Qur‟an, bai‟ dan kata keturunannya tersebut 15 kali, tersebar dalam delapan
surah dan sebelas ayat.
Dalam hal ini apabila kata itu dirubah wazan (bentuk)-nya menjadi bâya’a
– yubâyi’u – muubâya’atan ( ) atau al-bai’ah (Indonesia: bai‟at)
maka pengertiannya menjadi naû’un minal mîtsâqi bi badzlith thâ’ah (
salah satu dari bentuk perjanjian yang pada intinya
menyataka kesediaan untuk berlaku patuh dan setia), demikian Ath-
Thabathabai merumuskan di dalam tafsirnya Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an.
Namun, dilihat dari bentuk katanya, yang di dalam hal ini menggunakan
wazan (pola) mufa’al ) maka kata mengandung pengertian saling
sehingga baik yang membai‟at maupun yang dibai‟at harus secara timbal balik
berjanji setia untuk melakukan kewajiban masing-masing.25
. Adapuun ayat-
ayat tersebut sebagai berikut:
25 M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an Kajian Kosa Kata, (Jakarta: Lentera Hati,
2007), hal. 123-124
65
1. Surat Al-Fath
Ayat 10
Artinya: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu
Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan
mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia
melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.
Ayat 18
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin
ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah
mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan
atas mereka dan memberi Balasan kepada mereka dengan kemenangan yang
dekat (waktunya)”.
Dari kedua ayat pada surat al-Fath ini kami menerangkan bahwa Pada
bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad Saw. Beserta
pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan 'umrah
dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai
di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke
Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin.
mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena
Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa
Utsman telah dibunuh. karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin
66
melakukan bai'ah (janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan janji
setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi
sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah
sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai'atur
Ridwan. Bai'atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka
melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk Mengadakan Perjanjian damai
dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.
Yang dimaksud dengan kemenangan yang dekat ialah kemenangan Orang
yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan
Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu.
Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa
berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-
akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. hendaklah
diperhatikan bahwa Allah Maha suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai
makhluknya.
2. Surat al-Mumtahanah
Ayat 12
67
Artinya: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan
menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan
membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan
antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan
yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan
kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Dari ayat 12 surat al-Mumtahanah di atas penulis menjelaskan bahwa ayat
ini adalah tentang bai‟at terhadap kaum wanita yang datang kepada Nabi
Muhammad Saw, dan Nabi Saw menguji mereka dengan syarat-syarat yang
tertera di dalam surat tersebut, dan dalam bai‟at tidak ada anjuran untuk
berperang, hanya bersifat ketaatan dan kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka itu.
Maksudnya ialah Mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai
hubungan antara pria dan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak
si Fulan bukan anak suaminya dan sebagainya.
3. Surat al-Ahzab
Ayat 15
Artinya: “Dan Sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada
Allah: "Mereka tidak akan berbalik ke belakang (mundur)". dan adalah
Perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggungan jawabnya”.
Ayat 23
68
Artinya: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara
mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-
nunggudan mereka tidak merubah (janjinya)”.
Sedangkan penjelasan pada ayat 15 dan 23 surat al-Ahzab ialah bai‟at
yang menjeaskan tentang keteguhan dalam bai‟at kepada Allah karena
keteguhan dan sikap yang kokoh merupakan inti kekuatan Islam dan kaum
muslimin. Maksudnya dari menunggu apa yang telah Allah janjikan
kepadanya yaitu sikap keteguhan ummat untuk selalu taat kepada Allah agar
lebih dekat kepada Allah, walaupun dalam hal itu mereka akan menemui
banyak masalah ataupun rintangan tetapi mereka memegang teguh akan
janjinya bahkan walau harus mengorbankan nyawanya sekalipun.
69
BAB IV
ANALISA AYAT 18 SURAT Al-FATH
Bai’at merupakan sisi kegiatan politik yang paling jelas yang dilakukan
oleh umat. Dalam pandangan Islam, ba’iat merupakan tiang pancang bagi
sistem hukum dan bahkan dalam sejarah Islam pada zaman Rasulullah Saw,
bai’at mendahului pendirian suatu negara. Bai’at merupakan dasar masyarakat
politik Islam dan perangkat untuk menyatakan kelaziman kepada jalan dan
syariat Islam.
Ketika Rasulullah Saw menjelang wafatnya, kaum muslimin akan
merasakan kekosongan kepemimpinan dan terlihat begitu banyak di hadapan
mereka masalah-masalah dan tanggung jawab akibat dari kekosongan itu.
Peristiwa Saqifah merupakan awal terbentuknya sistem kekhalifahan dan
kepemimpinan pasca Rasulullah. Ada kemiripan pertemuan Saqifah dengan
pertemuan nasional atau muktamar luar biasa yang membicarakan nasib umat
dalam perjalanannya pada masa yang akan datang. Hasil yang terbesar dalam
pertemuan adalah berdirinya institusi kekhalifahan yang sejak saat itu menjadi
model pemerintahan Islam atau negara Islam.1
A. Pemaknaan Ayat 18 Surat al-Fath Menurut LDII
Artinya :”Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu
Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah tangan Allah di atas tangan
mereka. Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia
1 M. Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Rabbani Press), cet. ke-1, h.
157
70
melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar”. (Q.S.
al-Fath: 10)
Dakwaan penyimpangan tentang bai’at terhadap LDII, sebagai berikut: Bai’at
merupakan janji setia dari kader LDII kepada imam, dalam hal ini Nurhasan;
Keabsahan bai’at ditentukan oleh ketaatan kader kepada imamnya. Pemahaman
tersebut dipersoalkan karena bertentangan dengan pekem-pakem bai’at yang
dipahami dalam syari’at, seperti apa yang penulis jelaskan pada bab sebelumnya,
dimana bai’at tersebut dialamatkan kepada khalifah, jika masih ada di muka bumi.
Sehingga maksud bai’at adalah perjanjian untuk taat, bersumpah setia kepada
khalifahnya untuk mendengar dan taat kepadanya, baik dalam hal yang
menyenangkan maupun tidak menyenangkan, dalam keadaan mudah maupun sulit.
Rasulullah SAW bersabda:
“Maka apabila engkau melihat adanya khilafah, menyatulah padanya,
meskipun ia memukul punggungmu. Dan jika khalifah tidak ada, maka
menghindar.” (HR. Thabrani dari Khalid bin Sabi’).
Ḫadîts tersebut ditafsirkan bahwa wajibnya bai’at adalah kepada khalifah.
Thabrani mengatakan bahwa yang di maksud “menghindar” dalam hadîts tersebut
adalah menghindar dari kelompok-kelompok partai manusia (golongan atau
firqoh-firqoh), yang tidak mengikuti seorang pun dalam firqoh yang ada. Dengan
kata lain, apabila khlifah atau kekhalifahan sedang vakum maka wajib bai’at pun
tidak ada.
Sedangkan menurut LDII konsep bai’at tidak berbeda dengan konsep
khalifah. Kajian tentang Ba’iat dalam LDII, tidak diarahkan sebagai wacana
memilih pemimpin untuk mendirikan negara tersendiri, tetapi sebatas keilmuan
saja. Hal ini sama dengan yang berlaku dalam pemahaman umum orang-orang
71
Islam baik di Indonesia, Malaysia, ataupun beberapa negara berpenduduk Islam
lainnya, sehubungan dengan historis, Islam tertampilkan dalam wajahnya yang
demikian untuk difahami oleh para penganut agama Islam.
Dakwaan tersebut mengundang pertanyaan atas kebenaran pemberlakuan
konsep tersebut pada tingkat praktis, Aceng Karimullah misalnya, menyatakan
wallahu a‟lam pada saat dipertanyakan bai’at dan karena selama bergabung di
LDII fenomena yang didakwakan tersebut tidak dialaminya. Beliau menyatakan
bahwa LDII tidak menggunakan atau menganut sistem keamiran yang harus di
bai’at. Yang ada hanya keberadaan ketua umum di tingkat DPP dan berbagai
tingkat pengurus dibawahnya (ketua DPD Provinsi, Kabupaten atau kota, PC, dan
PAC). Masalah keamiran tersebut sebatas masalah keilmuan saja dan nilai-nilainya
diperaktekkan di dalam kehidupan bermasyarakat, diperaktekkan di dalam
organisasi, di pekerjaan dan diperaktekkan dalam pondok pesantren. Imam juga
bukan istilah yang menyeramkan karena kenyataanya sudah lumrah di jumpai
dalam kehidupan kita sehari-hari dengan sebutan lain seperti manager, ketua atau
kepala bahkan dalam hadîts ada istilah lain lagi untuk pemimpin ini, yaitu roo‟in
(penggembala) kepemimpinan inilah yang dikembangkan di LDII, bahwa pada
hakekatnya setiap orang adalah roo‟in sebagaimana diriwayatkan dalam shahih al-
Bukhari:
رعيته عن مسئول وكلكم راع كلكم“Setiap kamu sekalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanya dari
yang dipimpin”( Ḫadîts Riwayat Bukhari)
Demikian pula dengan bai’at kata ini juga bukan istilah yang menyeramkan
bahkan kata-kata ini juga terdapat di dalam al-Qur’an seperti dalam surat al-Fath
ayat 10 atau Mumtahanah ayat 12 yang berbunyi sebagai berikut:2
2 Wawancara pribadi dengan Aceng Karimullah, Jakarta, tanggal 19 Pebruari 2010
72
Artinya :”Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu
Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah tangan Allah di atas tangan
mereka. Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia
melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar”. (Q.S.
al-Fath: 10)
Artinya: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan
Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-
anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan
kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka
terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q.S. al-
Mumtahanah: 12)
B. Pendapat Para Ulama Tentang Bai’at
Bai’at sebagaimana yang telah dijelaskan merupakan janji setia terhadap
sistem politik Islam atau kekhalifahan, serta kesetian dan kepatuhan kepada
pemimpin. Bai’at erat sekali hubungannya dengan imâmah (kepemimpinan) dalam
menjaga agama untuk mengurusi urusan-urusan duniawi. Ada beberapa pendapat-
pendapat ulama mengenai bai’at yang erat hubungannya dengan imâmah.
1. Pendapat Jumhur Ulama (Sunnah wal-Jama‟ah)
Mereka para jumhur ulama (Sunnah wal-Jama‟ah) mengambil
kesimpulan bahwa urusan-urusan umat tidak akan berjalan dengan
lancar dan mulus tanpa adanya seorang pemimpin atau imâmah. Dan
tidak akan sah seorang menjadi imam (khalifah) kecuali melalui proses
73
bai’at. Dan selama setia terhadap bai’at maka hukumnya wajib, tidak
ada bai’at kecuali setelah bermusyawarah dengan kaum muslimin.
Jumhur ulama juga mensyaratkan pengangkatan khalifah, yaitu
sebagai pengganti Rasulullah SAW harus berasal dari suku Quraisy
yang bersifat adil dengan cara bai’at dan musyawarah dengan ada
perselisihan dalam beberapa hal, seperti penentuan siapa orang yang sah
dibai’at.3
2. Pendapat Ulama Syi’ah
Ulama syi’ah dengan berbagai aliran berpandangan bahwa
mengangkat seorang imam hukumnya wajib. Tetapi pendapat mereka
dengan imâmah bertolak belakang dengan pendapat Jumhur Ulama
kaum muslimin.
Ulama sekte Zaidiyyah, berpendapat bahwa imâmah tidak diduduki
kecuali oleh anak-anak keturunan Fatimah serta anak-anak keturunan
Hasan dan Husen. Sebab mereka berpandangan keturunan Fatimah
layak menjadi pemimpin dan membawa kepemimpinan yang wajib
ditaati. Dan pengangkatan pemimpin ini melalui peroses bai’at seperti
dilakukan ketika zaid bin Ali di masa pemerintahan Hisyam bin Abdul
Malik, golongan ini segera membai’atnya.4
Sedangkan menurut ulama sekte Ismailiyyah jabatan imâmah
adalah suatu jabatan “ketuhanan” yang dipilih oleh Allah swt. Menurut
sekte ini bahwa yang berhak menjadi imâmah setelah wafatnya
Rasulullah adalah Ali bukan Abu Bakar, Umar dan Ustman. Mereka
3 Ali Ahmad as-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah, Study Banding Aqidah dan Tafsir,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), jilid 1, cet. ke-1, hal. 17. 4 As-salus, Esiklopedi Sunnah-Syiah, h. 25.
74
beranggapan kaum muslimin pada saat itu telah meninggalkan salah
satu rukun iman,5 karena tidak mengankat Ali sebagai Imam.
3. Pendapat Ulama Ahli Fiqih
Berbeda dengan ulam ahli fiqih dari mazhab apapun, yang
meletakkan bai’at sebagai bagian hukum Islam yang prinsipil. Tidak
terdapat dalam satu bab fiqih pun yang bernama bai’at misalnya.
Ulama-ulama fiqih berpendapat bahhwa hukum bai’at tidak pernah ada
dalam agama Islam. Bai’at merupakan sebuah tradisi Arab yang
sifatnya tidak mengikat.6 Dengan demikian apapun bentuk bai’at yang
diberikan kepada seorang imam atau pemimpin apa saja, maka bai’at itu
tidak memiliki ikatan yang religius yang suci.
C. Analisa Terhadap Pemaknaan Bai’at Menurut LDII
Era hijrah Rasulullah merupakan pencerahan atau era baru dalam usaha
beliau dalam mengefektifkan dakwah Islam, karena di kota Madinah itu Rasulullah
Saw telah mendapatkan dukungan yang kuat dari kalangan umat Islam.
Sebagaimana telah diterangkan pada bab sebelumnya bahwa rasulullah Saw untuk
pertama kalinya mendapatkan pengakuan sebagai pemimpin dari kelompaok
madinah pada bai’at Aqobah I (621 M) dan bai’at Aqobah II (622 M)7. Dengan
bsahan (legitimasi) sebagai pemimpin masyarakat Madinah.
Walaupun dalam bai’at Aqobah hanya hadir sekelompok orang-orang Arab
Madinah, dan perjanjian tertulis hanya dikuti beberapa orang-orang pemimpin atau
pemuka setiap suku dari kalangan orang-orang muslim dan non muslim yang
5 As-salus,Esiklopedi Sunnah-Syiah, h. 27.
6 Husein Shihab, al-Huda Jurnal kajian Ilmu-ilmu Islam; Bai‟at dalam al-Qur‟an dan
Sunnah, (Jakarta: Pusat Penelitian Islam, 2002), h. 26.
7 J. Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerinyahan dalam Piagam Madinah Di Tinjau
dari Pandangan Al-Qur‟an, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), cet. ke-2, h.70
75
memiliki warga dan sukunya, namun dapat dikatakan bahwa mereka telah
membawa aspirasi segenap penduduk Madinah, yang dalam teknisnya disebut
“kehendak rakyat”. Dalam negara demokratis sudah pasti ada, dan mungkin juga
tidak dalam negara terbentuk apapun, pemerintah yang sedang berkuasa
merupakan “pilihan semua warga negara” artinya, walaupun seluruh rakyat tidak
terlibat langsung dalam proses pemilihan pemerintah yang berkuasa sering diklaim
sebagai “kehendak rakyat”.
Dalam hal ini seluruh rakyat telah memberikan pengakuan terhadap
keabsahan Rasulullah Saw sebagai pemimpin umat dalam membangun negara
Islam dan mengembangkan kekuatan untuk menduduki kota Makkah yang
dikuasai oleh orang-orang Quraisy.
Wacana sirah Nabi Saw yang menjelaskan bahwa ada 2 macam bai’at
yaitu:
1. Bai’at wajib Ain (Bay‟ah ayniyyah wajibah) atas setiap orang Islam lelaki
dan perempuan. Bai’at wajib ain adalah meliputi aqidah dan akhlaq sosial
Islam.
2. Bai’at wajib kifayah (Bay‟ah kifayyah wajibah) atas sebagian orang tanpa
melibatkan orang lain. Bai’at ini adalah yang berkaitan dengan perkara-
perkara yang fardlu kifayah, sperti bai’at untuk melakukan jihad.
Melihat dari penjelasan ayat 18 surat al-Fath penulis mencoba untuk
menyimpulkan, bahwa bai’at dalam ayat tersebut merupakan bai’at yang terjadi
di bawah pohon kayu (Samurah) yang dinamai “Bai’atur Ridhwan”, yaitu bai’at
yang telah dilakukan dengan suka rela, dengan kemauan tiap-tiap orang-orang
dan dengan kebulatan tekad, sedia berperang dan sedia mati untuk membela Nabi
Muhammad Saw dan memperjuangkan Islam. Ini disebabkan karena mendengar
76
kabar bahwa Ustman Bin Affan r.a telah dibunuh oleh orang-orang kafir Quraisy.
Yang mana dalam peristiwa kelak akan terjadi perjanjian Hudaibiyyah yaitu
perjanjian antara Nabi Saw dengan kaum musyrikiin Quraisy.
Umat adalah pemilik yang sah dalam memilih khalifah yang diangkat untuk
menjadi pemimpin mereka. bentuk pemilihan dan pencalonan berbeda dan
beragam. Dalam memilih pemimpin atau imam, umat kadang-kadang
menggunakan haknya secara langsung dalam memilih pemimpin, atau m,emilih
wakil-wakil mereka untuk diserahi imam dan membai’at kepadanya. Para wakil-
wakil itu assalah oarang pilihan, tokoh pemikir, praktisi dan para pemuka yang
diistilahkan dalam fiqih siyasah dengan a-hill wa al-aqd; atau dengan cara
pencalonan seseorang yang diajukan oleh khalifah yang terdahulu untuk menjadi
khalifah mendatangkan dan berdasarkan musyawarah dengan ahl a-hill wa al-„aqd
terlebih daahulu. Sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar yang mana juga
bermusyawarah dengan sejumlah ahl al-hill wa al-„aqd; atau dengan bentuk
apapun dengan cara lain yang mungkin terjadi di masa mendatangdengan syarat
berdasarkan pada musyawarah serta melibatkan umat.8
Dengan terpilihnya imam atau khalifah sebagai penerus Nabi maka
terbentuklah pemerintahan Islam. Nabi Muhammmad Saw adalah seorang
pemimpin pertama umat Islam, itu terbukti oleh sejarah dengan terjadinya bai’at
terhadap beliau baik di Aqobah ataupun di bawah pohon Samurah. Langkah inilah
yang membawa kepada terbentuknya komunitas atau negara Islam yang pertama
kali. Pada saat itu unsur-unsur negara telah terpenuhi, yaitu ada teritorial
(Madinah), kekuasaan (pemerintah), yang ditaati dan ada rakyat.9
8 M. Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, cet. ke-1, h. 159
9 Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, (Bandung: Mizan, 1994), cet.
ke-2, h. 50
77
Untuk memperluas wawasan umat Islam tentang ketaatan, khususnya
ketaatan kepada khalifah atau ulil amri, penulis mencoba mengajukan beberapa
pendapat ahli pikir dan cendikiawan muslim, antara lain:
1. Imam Ath-Thabary dalam tafsirnya Jâm‟iul Bayân menjelaskan bahwa ulil
al-amri itu ialah para raja dan kepala pemerintahan, yang perintahnya
untuk taat kepada Allah dan untuk kemaslahatan kaum muslimin.10
2. Imam Baidhawy dalam tafsirnya Anwârut Tanzil menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan ulil amri adalah para amir (pemimpin) kaum muslimin
pada zaman Rasulullah Saw. Peninggalan para ulil amri itu dipindahkan
kepada para khalifah, qâdi, dan kepala para pasukan tentara yang
memerintahkan kepada orang banyak supaya menaati mereka. mereka
wajib ditaati oleh kaum muslimin selama mereka itu di dalam kebenaran.11
3. Imam Ar-Razy dalam tafsirnya Mafhatihul ghaib menjelaskan bahwa ulil
amri yang wajib ditaati oleh kaum muslimin itu ialah ahli ijmak menurut
yang telah ditetapkan dalam ushul fiqh. Mereka itu adalah ahli ijtihad
tentang hukum keagamaan pada masa itu. Ulil amri juga berarti segolongan
umat ahlul halli wal aqdi (kelompok yang ahli dalam mengambil keputusan
dan memberi pertimbangan yang sehat demi kepentingan umat). Jadi , yang
dimaksud ulil amri itu ialah ahli ijmak dan ahlul halli wal aqdi.12
4. Al-Ashfani mengemukakan empat makna ulil amri, yakni (1) para Nabi
yang mengatur kehidupan masyarakat; (2) para amir atau pejabat
pemerintahan yang menguasai kehidupan lahiriyah masyarakat; (3) para
10
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1995), h. 98.
11
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, h. 98. 12
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, h. 98.
78
filosof yang menguasai kehidupan batin orang-orang tertentu; dan (4) para
Nabi yang menguasai kehidupan batin masyarakat umum.
5. Muhammad Abduh juga bependapat bahwa ulil amri adalah sebuah
lembaga yang terdiri dari para amir, hakim, ulama, kepala pasukan militer,
serta seluruh ketua dan pemimpin masyarakat yang menjadi rujukan dalam
masalah kebutuhan dan kemaslahatan umum.
Dari beberapa pendapat ini tampak jelas menghimpun unsur-unsur ketua,
pemimpin, dan tokoh-tokoh yang memiliki keahlian khusus yang relevan dengan
kehidupan ummat. Mereka ini apabila telah bersepakat dalam menetapkan sebuah
urusan atau hukum, maka wajib ditaati.13
Para ulama tafsir dan fiqih siyasi membuat empat definisi ulil amri, yaitu:
(1) raja dan kepala pemerintahan yang patuh dan taat kepada Allah Swt dan
Rasulullah Saw, (2) raja dan ulama, (3) amir di zaman Rasulullah Saw. Setelah
Rasulullah wafat jabatan itu berpindah kepada qâdi (hakim), komandan militer,
dan mereka yang meminta anggota masyarakat untuk taat atas dasar kebenaran, (4)
mujahid atau yang dikenal dengan sebutan ahlul halli wal aqdi (yang memiliki
otoritas dalam menetapkan hukum).14
Ketaatan kepada ulil amri secara pasti telah diperintahkan oleh Allah
sebagai rangkaian ketaatan kepada dzat-Nya dan Rasulullah Saw, mereka itu meski
terdiri dari orang-orang yang memiliki sifat terbebas dari semua kotoran kesalahan
dan dosa, karena sifat mulia ini juga menjadi karekter Nabi sendiri.15
13
Sihabudin, Ensiklopedi al-Qur‟an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h.
1030. 14
Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), jilid 2,h. 246. 15
Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw Tinjauan Historis
Teologis dan Filosofis, (Jakarta: Lentera, 2004), cet. pertama, h.146.
79
LDII mengemukakan bahwa ulil amri adalah ahlul ilmi wal fiqhi yang
mana LDII memaparkan bahwa kita harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya kita
juga harus taat kepada ulama yang mana ketaatan tersebut harus dibarengi dengan
penyembahan, adapun ketaatan kepada Rasulullah tidak disertai dengan
penyembahan dan ketaatan kepada ulil amri itu tidak boleh disertai dengan
penyembahan dan selama penafsirannya tidak ma’shiat (tidak ada ketaatan kepada
makhluk yang bertentangan dengan sang Khaliq).16
Apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an dengan ulil amri. Bisakah orang
yang menduduki jabatan kepala pemerintahan Islam dengan cara merebut
kekuasaan dari masyarakat sebagai ulil amri, dengan pengertian bahwa rakyat
diwajibkan untuk menaati siapa saja yang menetapkan bagi dirinya sendiri hak
untuk berkuasa, sekalipun ia menghabiskan seluruh hidupnya dalam lumuran dosa
dan tidak tahu akan kebodohannya? (Bisakah hal itu diterapkan pada orang ) yang
sepenuhnya kosong dari kelebihan spritual; yang samasekali tidak menyadari
hukum-hukum dan perintah-perintah kepada Allah, merampas hak-hak rakyat demi
kepentingan tirani dan hawa nafsu, dan melindungi para penindas dan para pelaku
korupsi untuk duduk dalam kekuasaan, sehingga tangisan orang-orang yang
tertindas tak berdaya lagi dan mayoritas masyarakat Islam terpenjara dalam borgol
kehinaan.17
Jika pernyataan ulil amri diinterpretasikan dengan pengertian seperti itu,
maka hal itu akan jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, karena jika
penguasa melaksanakan perintah berbeda dengan hukum-hukum Allah dan hukum-
hukum itu mesti diimplementasikan dan diprioritaskan dari pada hukum-hukum
yang lain. Namun juga menyatakan bahwa perintah-perintah para pemegang
16
Wawancara Pribadi dengan Aceng karimullah. 17
Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw Tinjauan Historis
Teologi dan Filosofis, cet. pertama
80
kekuasaan juga harus ditaati. Meskipun nyata bahwa al-Quran tidak mungkin
mensejajarkan dua hal yang bertentangan ditempat yang sama, atau memerintah
dan melarang sesuatu yang sama secara beriringan.18
Di samping itu, kearifan dan akal tidak bisa menerima ide bahwa wajib
untuk tunduk kepada penguasa apa saja secara absolute, sekalipun ia melanggar
hukum-hukum Allah dan berusaha untuk menghapuskan aturan-aturan Allah
dari rnasyarakat. Akankah kebahagiaan dan keselamatan masyarakat bisa diraih
dengan mengikuti pemerintahan seperti itu? Apakah pemerintahan seperti itu bisa
mendorong kaum muslimin untuk meraih kekuasaan dan harga diri? Apakah
orang bisa menisbahkan kepada Allah pandangan yang tidak berdasar dan bodoh
sehingga penguasa seperti itu berhak untuk ditaati?
Tentu saja sangat dimungkinkan membatasi ketaatan kepada ulil amri
hanya kepada orang-orang yang maklumat dan perintahnya sesuai dengan
kriteria hukum Allah dengan mewajibkan kepada kaum Muslim untuk
menentang mereka kapan saja jika tindakan-tindakan mereka bertentangan
dengannya (dengan hukum Allah).
Meskipun demikian, berkaitan dengan pandangan ini, ada beberapa
kesulitan yang tidak bisa diabaikan atau dilupakan. Jelas bahwa tidak semua
orang memahami detail hukum-hukum Allah sehingga ketika mereka
menemui tindakan para penguasa bertentangan dengan agama, maka mereka
akan menentangnya. Ketika masa tidak dilengkapi dengan prasyarat
pengetahuan keagamaan, bagaimana mereka bisa mengambil sikap yang
proporsional berhadapan dengan ketetapan-ketetapan penguasa, dengan
18
Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw Tinjauan Historis
Teologi dan Filosofis, cet. pertama
81
menaatinya ketika sesuai dengan kriteria agama dan menentangnya kapan saja
ia bertentangan dengan aturan Allah.
Lebih jauh lagi, jika seorang muslim menerima hipotesis seperti itu, ketika
menaati ketetapan-ketetapan penguasa yang sesuai dengan hukum Allah, maka
pada kenyataannya sudah menaati perintah-perintah Allah (dan bukannya
mematuhi penguasa itu), maka ketaatan kepada ulil amri berubah menjadi
kategori ketaatan yang berbeda.19
Taat kepada penguasa muslim yang menerapkan hukum-hukum Islam di
dalam pemerintahannya, sekalipun dzalim dan merampas hak-hak rakyat, selama
tidak memerintah untuk melakukan kemaksiatan dan tidak menampakkan
kekufuran yang nyata. hukumnya tetap fardhu bagi seluruh kaum muslimin.
Sebagairnana Allah Swt berfirman dalarn surah an-Nisa ayat 59, dan juga Sabda
Nabi Muhammad Saw:
"Siapa saja yang menaati aku, maka dia telah menaati Allah, dan barangsiapa yang berbuat maksiat kepadaku, maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah. Dan siapa saja telah menaati pemimpinku, maka dia telah mena'ati aku. sedangkan siapa saja yang tidak taat pada pemimpinku, maka dia telah berbuat maksiat kepadakku." (H.R. Bukhari)
20
Dalil tersebut menunjukkan dengan tegas, bahwa ketaatan tersebut
hukumnya wajib. Karena Allah Swt telah memerintahkan ketaatan kepada
penguasa, amir atau imam. Perintah i tu disertai dengan sebuah indikasi yang
menunjukan adanya suatu keharusan yaitu Rasulullah menjadikan ketidaktaatan
kepada pemimpin itu sebagai sebuah kemaksiatan kepada Allah dan Rasul. Serta
dengan adanya penegasan dalam perintah ketaatan tersebut, sekalipun yang
menjadi penguasa adalah budak hitam legam, semuanya itu merupakan indikasi
19
Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw Tinjauan Historis
Teologi dan Filosofis, cet. pertama, h. 142-144.
20
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.
82
yang menunjukan bahwa perintah itu menuntut dengan tegas agar dilaksanakan,
rmaka taat kepada seorang penguasa itu hukumnya fardhu.21
Kata ulil amri yang berarti orang yang memegang kekuasaan ini
mempunyai arti yang luas, sehingga perkara apa saja yang bertalian dengan
Kehidupan manusia, mempunyai ulil amri sendiri-sendiri. Hal inilah senada dengan
yang LDII kemukakan bahwa Komandan militerpun harus dianggap sebagai ulil
amri. Dalam urusan duniawi, para penguasa dunia harus ditaati, sedangkan
penguasa dalam bidang agama harus ditaati dalam soal keagamaan. Peristiwa
dalam keagamaan seringkali timbul perselisihan. Dalam hal ini, umat Islam wajib
menyerahkan perkaranya kepada Allah dan utusan-Nya. Umat Islam harus
mengembalikannya kepada al-Qur’an dan hadîts.22
Karena itu, ulil amri ditaati karena ia menaati Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa diantara ulil amri itu menyuruh dengan apa yang sesuai dengan yang
diturunkan Allah atau Rasul-Nya, wajiblah umat menaatinya. Tetapi barangsiapa
yang menyuruh (memerintah) dengan menyalahi apa yang dibawa oleh Rasulullah
Saw, perintah itu tidak boleh didengar dan ditaati. Sebab, ketentuan sunah telah
mengatur tentang batas-batas ketaatan terhadap ulil amri dan melarang rakyat
untuk menaatinya, jika ulil amri menyalahi hukum yang telah diatur oleh Allah
dan Rasul-Nya.23
Berkenaan dengan masalah dan bai'at dan pengaturan masalah-masalah kaum
muslimin setelah Nabi wafat, Rasulullah Saw tidak merasa puas dengan pembicaraan
umum saja. Beliau langsung berbicara tentang masalah tersebut sejak hari pertama
21
Taqiyudin An-Nabani, Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah dan Realitas
Empirik, (Bangil Jatim:Al-Izzah, 1997), h.335-336. 22
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1995), h. 95-96.
23
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, h. 101.
83
kerasulannya, bersamaan dengan pembicaraan masalah hakikat tauhid dan kenabian,
yang dilakukan nabi pada saat itu adalah mengumumkan Ali as sebagai wali, masalah-
masalah agama dan kemasyarakatan, dan pengganti beliau dalam mengurus masalah
kaum muslimin. Menurut riwayat-riwayat yang diterima, pada hari ketika Rasulullah
Saw. Mula-mula diperintah untuk berdakwah secara terbuka kepada masyarakat, beliau
memanggil sanak keluarga serta mengumpulkannya. Dalam pertemuan itu beliau
mengungkapkan, menegaskan dan mengukuhkan kedudukan Amirul mukminin Ali
sebagai pengganti beliau. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Nabi Muhammad Saw:
“Barang siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah
pemimpinnya juga.”
48
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari semua penjelasan tentang konsep imâmah dan bai‟at dalam al-Qur‟an
pemaknaan LDII terhadap ayat 18 surat Al-Fath yang penulis paparkan di atas
yang terdiri darri bab terdahulu dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa implementasi dan bai‟at dalam kehidupan umat Islam sangatlah
dibutuhkan, sebagai wujud dari kesetian umat muslim dan kesetiaan itu
bukan saja hanya patuh atau taat terhadap seorang pemimpin, akan tetapi
kesetiaan terhadap syari‟at Islam dan tuntutan-tuntutan moral dalam Islam
yang ditekankan kepada seluruh kaum muslimin.
2. Dalam ajaran Islam, mengurusi umat itu tergolong kewajiban yang bernilai
besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakkan kecuali dengannya, oleh
karena itu pengangkatan seorang pemimpin merupakan hal yang wajib dan
harus dilakukan oleh kaum muslimin dalam setiap perkumpulan atau
dalam mengurusi umat sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-
Nya.
3. Paparan diatas tidak menyimpulkan bagaimana wajah LDII yang
sebenarnya pada masa kini. Paparan diatas juga mengajak kita untuk
membandingkan antara permasalahan yang didakwakan kepada LDII
dengan jawaban yang dikemukakan oleh LDII. Dari sekian banyak ajaran
85
yang dianggap berbeda dari kaum Salafi adalah tuduhan atas praktek
konsep kejama'ahan dan keimâmahan LDII. Hal tersebut bermuara dari
pernyataan (atsar) Sayidina Umar RA:
إل
"Tidak ada Islam tanpa jama'ah, dan tidak ada jama'ah tanpa imarah, dan
tidak ada imarah tanpa ketaatan."
Dalam kalangan umat Islam, atsar ini bukanlah suatu yang asing. Hal ini
menjadi persoalan ketika orang yang tidak masuk ke dalam jama'ah itu
dianggap bukan Islam, alias kafir. Ketika tuduhan kafir (takfir)
dimunculkan, resistensi muncul dari kalangan Islam lainnya. Ketika itu
pula, kelompok lain melontarkan serangan balasan kepada LDII dengan
menuduh bahwa organisasi tersebut merupakan reinkarnasi dari kelompok
Khawarij.
Namun, Syafii Mufid, peneliti yang pernah mengkaji LDII menegaskan
bahwa “...sebenarnya kekhasan dalam berkonsep tidak hanya ada pada
LDII, melainkan juga ada dalam kelompok-kelompok Islam lain di
Indonesia, bahkan di dunia. Menurutnya, yang menjadi persoalan adalah
apabila kelompok tersebut mengembangkan klaim kebenaran dalam
konsepsi keber-Islam-annya, yang kemudian dapat memicu perpecahan...”
Dalam kerangka pikir Syafii Mufid itulah, LDII sebenarnya sedang
menjadi bagian organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia, yang
86
kekhasannya dalam berkonsep telah memunculkan resistensi pihak luar
terhadap LDII.
Dalam dinamikanya, LDII termasuk ormas yang cepat merespon resistensi
tersebut. Organisasi yang berawal dari nama LEMKARI tersebut secara
perlahan telah berusaha melakukan perubahan. Kemudian pada tahun
1990, terjadi perubahan artifisial dari LEMKARI ke LDII. Perubahan
radikal dari sisi mindset terjadi pada saat Munas VI LDII tahun 2005.
Tahun tersebut telah menjadi tonggak berdirinya "LDII Baru" dengan
"Paradigma Barunya, yang membuat wajah LDII lebih toleran dan lebih
inklusif. Namun demikian, khas "ke-Salafi-an" yang dipertahankan LDII
dalam praktek keagamaannya, masih membuat ormas Islam yang satu ini,
berada dalam posisi yang masih tercurigai. Dalam posisi konstelatif yang
dilematis tersebut itulah, kajian atas berbagai permasalahan LDII yang
masih tercurigai, memiliki signifikansi sosial yang tinggi.
B. Saran-saran
Melihat dari fenomena kehidupan manusia terutama umat Islam yang selalu
berkembang dan mengalami perubahan-perubahan secara terus-menerus sesuai
dengan perubahan zaman dan berusaha untuk mencapai kehidupan yang Islami,
maka penulis menyarankan sebagai berikut:
1. Melihat dari kenyataan sejarah, bahwa Islam adalah agama wahyu
yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Kepada manusia, namun bagi
umat manusia terutama umat Islam masih mengalami kemunduran
87
dalam mengimplementasikan wacana tentang persoalan agama
baik berupa ibadah maupun muamalah. Ini disebabkan umat Islam
tidak istiqomah dalam memegang komitmen untuk selalu
berpegang teguh pada syariat Islam dan mengkristalisasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penulis menyarankan
kepada umat Islam supaya lebih mendalami, memahami, dan
mengkaji lebih luas lagi serta mengamalkannya nilai-nilai yang
terkandung dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah, baik melalui studi-
studi penafsiran para mufasir maupun literatur-literatur sejarah
yang lain mengenai persoalan kehidupan umat Islam. Sehingga
umat Islam mencapai kehidupan yang Islami seperti yang telah
terjadi pada pada zaman Rasululah.
2. Bai‟at dalam Islam mungkin masih dipandang oleh sebagian umat
Islam hanya merupakan sejarah belaka yang terjadi pada masa
Rasulullah atau sahabat. Dan tidak perlu lagi digunakan pada masa
sekarang bahkan bai‟at dalam Islam sama sekali sudah hilang dan
tidak lagi menjadi persoalan yang penting dalam kehidupan umat
Islam untuk mengangkat pemimpin, untuk itulah, kajian ilmiah
yang penulis uraikan ini, diharapkan dapat memberikan sedikit
masukan terhadap umat Islam untuk lebih memahami lagi tentang
makna bai‟at dalam Islam dan merealisasikannya dalam kehidupan.
3. Berkaitan dengan stigma yang dialamatkan kepada LDII, umat
Islam saat ini masih mendapatkan data yang simpang siur, selain
88
itu, LDII juga masih dalam proses memperoleh klarifikasi dari
MUI pusat. Saat ini klarifikasi tersebut masih dalam proses.
Paparan diatas tidak menyimpulkan bagaimana wajah LDII yang
sebenarnya pada masa kini. Paparan diatas juga mengajak kita
untuk membandingkan antara permasalahan yang didakwakan
kepada LDII dengan jawaban yang dikemukakan oleh LDII,
Dalam hal ini penulis menyarankan kepada seluruh umat Islam,
hendaknya tidak secara terburu-buru dalam menyimpulkan suatu
kasus yang menyangkut kekurangan suatu kelompok, apalagi data
yang dijadikan untuk menilainya masih simpang-siur (al-qil wa al-
qal) atau belum jelas sehingga vonis hukuman yang dijatuhkan
dkhawatirkan akan salah. Berkaitan dengan ini, riwayat berikut ini
patut kita renungkan:
“Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) apabila salah dalam
memberikan ampunan, itu lebih baik daripada jika ia salah dalam
memberikan hukuman.” (Dikeluarkan oleh al-Turmudzi, al-hakim,
dan al-Baihaqi dari hadîts dari Aisya)
Wallahu a’lam bissowab
90
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Ramli Kabi Ahmad Sidiq. Bai’at Suatu Prisip Gerakan Islam. El-
Fawazz, 1993, Cet. Ke-1.
Abu Fariz, Muhammad Abdul Qadir. Sistem Politik Islam. Jakarta: Rabbani Press,
tt, Cet. Ke-1.
Aceh, Abu Bakar. Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. Solo: CV. Ramadhani, 1998,
Cet. ke-1.
Al-Bukhârî, Abî Abdillah Muhammad bin Ismâ‟îl. Sahîh Bukhâri, Al-Azhar: Dâr
al-Bayân al-„Arabî, 2005.
Al-Qur‟an al- Karim dan Terjemahannya. Semarang CV. Toha Putra.
Basyir, Ahmad Azhar, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, Bandung: Mizan, 1994,
cet. ke-1.
Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam. Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1995.
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarief Hidayatullah Jakarta. Pedoman
Akademik Tahun 2005/2006. Jakarta: 2005
Hashem, D. Saqifah, Suksesi Sepeninggalan Rasulullah, Awal Perselisihan Umat.
Depok: PenerbitYafi, 1989, Cet. ke-2.
Hasjmi, A. Dimana letaknya Negara Islam. Surabaya: Bina Ilmu Surabaya, 1984,
Cet.ke-1.
Husaini, H. M. H. Al- Hamidi. Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad Saw.
Jakarta: Yayasan al-Hamidi, 1996, Cet. Ke-6.
Hassem, Fuad, Sirah Muhammad Rasulullah Suatu Penafsiran Baru, Bandung:
Mizan, 1997, cet. ke-2
Islam Syi‟ah. “Leksikon Islam”. Jakarta: PT Pustazet Perkasa,vol. 1.
Jabatan Agama Johor. Bahaya faham Syi’ah: Satu Penjelasan. Johor Baru:
Penyelidikan, Jabatan Agama Johor, 2003.
Jafri, S.Muhammad. Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah dari Syaqifah
Sampai Imȃmah. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995, Cet. ke-1.
91
Jamaluddin, M. Amin. Kupas Tuntas kesesatan dan Kebohongan LDII Jawaban
Atas Buku Direktori LDII. Jakarta: LPPI, 2007.
Jindan Khalid Ibrahim, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyya tentang
Pemerintahan Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1999
Kailan. Metode Penelitian Kualitatif Filsafat. Yogyakarta: Paradigma, 2005.
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Direktori LDII 2003. Jakarta: LDII,
2003.
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Himpunan Keputusan Munas VI LDII.
Jakarta: LDII, 2005.
Moleong, J. Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya,
1989.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: logos Wacana Ilmu,
2000, Cet. Ke-1.
Munawir, A.W. Kamus al-Munawir. Yogyakarta: Pustaka Progresi, 1984,
Cet. ke- 1.
Musawi, Lari Sayid Mustajab. Imam Penerus Nabi Muhammad Saw, Tinjauan
Historis, Teologis, dan Filosofis. Jakarta: Lentera, 2004, Cet. ke-1.
Nabani, Faqiyudin. Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah Dan Realitas
Empirik. Bangil Jatim: al-Izzah, 1997.
Pulungan, J. Suyuti. Prinsip-prinsip Pemerintah Dalam Piagam Madinah di
Tinjau Dari Pandangan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1996, Cet ke-2.
Qathan, Manna „al. Mabahits fi ulum al-Qur’an. Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif,
1981.
Raharjo,M. Dawam. Ensiklopedi al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. ke-1.
Salas, Ali. Imâmah dan khilâfah Dalam Tinjauan Syar’i. Jakarta: Gema Insani
Press, 1997, Cet. Ke-1.
Salus, Ali Ahmad. “Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir”. Ensiklopedi Sunnah
Syi‟ah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, vol.1.
Setiawan, Habib. dkk. After New Paradigm Catatan Para Ulama Tentang LDII.
Jakarta: Pusat Studi Islam Madani Institute, 2008.
92
Setiawan, Habib. Dialog Ulama dan Ormas Islam Dengan Lembaga Islam
Indonesia (LDII)” Apa dan Bagaimana LDII Paradigma Baru”. Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia provinsi Jakarta, 2008.
Shihab, Husaen. Al-Huda Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, Bai’at dalam al-Qur’an
dan Sunnah. Jakarta: Pusat Penelitian Islam, 2002.
Sihabudin. Ensiklopedi al-Qur’an: kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Shihab, M. Qurash. Ensiklopedi al-Qur’an Kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera
Hati, 2007.
Soebantono, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Rosda Karya, 1989.
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan UUD 1945, Kajian Perbandingan Aqidah
Dan Tafsir. Jakarta: al-Kautsar, 2001, Cet. Ke-1.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta: al-Husna Zikra, 1995,
Cet. Ke-1.
Syari‟ati, Ali.Ummah dan Imâmah. Bandar Lampung: YAPI, 1990, Cet. Ke-1.
Tabataba‟i, Alamah Sayyid Muhammad Husain., Inilah Islam; Upaya Memahami
Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, (Pntj) Ahsin Mohammad, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1992, Cet. Ke-1
Wawancara Pribadi dengan KH. Aceng karimullah. Jakarta, tanggal 19 februari
2010.
Wawancara pribadi dengan KH. Aceng karimullah. Jakarta, tanggal 5 juli 2010.
Yunus, Muhammad. Kamus Bahasa Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidayah Karya
Agung, 1997. Cet. ke-1.
Ziyadah, Asma‟ Muhammmad. Peran Politik Wanita dalam Sejarah Islam.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
87
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Ramli Kabi Ahmad Sidiq. Bai’at Suatu Prisip Gerakan Islam. El-
Fawazz, 1993, Cet. Ke-1.
Abu Fariz, Muhammad Abdul Qadir. Sistem Politik Islam. Jakarta: Rabbani Press,
tt, Cet. Ke-1.
Aceh, Abu Bakar. Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. Solo: CV. Ramadhani, 1998,
Cet. ke-1.
Al-Bukhârî, Abî Abdillah Muhammad bin Ismâ‟îl. Sahîh Bukhâri, Al-Azhar: Dâr
al-Bayân al-„Arabî, 2005.
Al-Qur‟an al- Karim dan Terjemahannya. Semarang CV. Toha Putra.
Basyir, Ahmad Azhar, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, Bandung: Mizan, 1994,
cet. ke-1.
Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam. Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1995.
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarief Hidayatullah Jakarta. Pedoman
Akademik Tahun 2005/2006. Jakarta: 2005
Hashem, D. Saqifah, Suksesi Sepeninggalan Rasulullah, Awal Perselisihan Umat.
Depok: PenerbitYafi, 1989, Cet. ke-2.
Hasjmi, A. Dimana letaknya Negara Islam. Surabaya: Bina Ilmu Surabaya, 1984,
Cet.ke-1.
Husaini, H. M. H. Al- Hamidi. Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad Saw.
Jakarta: Yayasan al-Hamidi, 1996, Cet. Ke-6.
Hassem, Fuad, Sirah Muhammad Rasulullah Suatu Penafsiran Baru, Bandung:
Mizan, 1997, cet. ke-2
Islam Syi‟ah. “Leksikon Islam”. Jakarta: PT Pustazet Perkasa,vol. 1.
Jabatan Agama Johor. Bahaya faham Syi’ah: Satu Penjelasan. Johor Baru:
Penyelidikan, Jabatan Agama Johor, 2003.
Jafri, S.Muhammad. Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah dari Syaqifah
Sampai Imȃmah. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995, Cet. ke-1.
88
Jamaluddin, M. Amin. Kupas Tuntas kesesatan dan Kebohongan LDII Jawaban
Atas Buku Direktori LDII. Jakarta: LPPI, 2007.
Jindan Khalid Ibrahim, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyya tentang
Pemerintahan Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1999
Kailan. Metode Penelitian Kualitatif Filsafat. Yogyakarta: Paradigma, 2005.
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Direktori LDII 2003. Jakarta: LDII,
2003.
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Himpunan Keputusan Munas VI LDII.
Jakarta: LDII, 2005.
Moleong, J. Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya,
1989.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: logos Wacana Ilmu,
2000, Cet. Ke-1.
Munawir, A.W. Kamus al-Munawir. Yogyakarta: Pustaka Progresi, 1984,
Cet. ke- 1.
Musawi, Lari Sayid Mustajab. Imam Penerus Nabi Muhammad Saw, Tinjauan
Historis, Teologis, dan Filosofis. Jakarta: Lentera, 2004, Cet. ke-1.
Nabani, Faqiyudin. Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah Dan Realitas
Empirik. Bangil Jatim: al-Izzah, 1997.
Pulungan, J. Suyuti. Prinsip-prinsip Pemerintah Dalam Piagam Madinah di
Tinjau Dari Pandangan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1996, Cet ke-2.
Qathan, Manna „al. Mabahits fi ulum al-Qur’an. Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif,
1981.
Raharjo,M. Dawam. Ensiklopedi al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. ke-1.
Salas, Ali. Imâmah dan khilâfah Dalam Tinjauan Syar’i. Jakarta: Gema Insani
Press, 1997, Cet. Ke-1.
Salus, Ali Ahmad. “Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir”. Ensiklopedi Sunnah
Syi‟ah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, vol.1.
Setiawan, Habib. dkk. After New Paradigm Catatan Para Ulama Tentang LDII.
Jakarta: Pusat Studi Islam Madani Institute, 2008.
89
Setiawan, Habib. Dialog Ulama dan Ormas Islam Dengan Lembaga Islam
Indonesia (LDII)” Apa dan Bagaimana LDII Paradigma Baru”. Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia provinsi Jakarta, 2008.
Shihab, Husaen. Al-Huda Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, Bai’at dalam al-Qur’an
dan Sunnah. Jakarta: Pusat Penelitian Islam, 2002.
Sihabudin. Ensiklopedi al-Qur’an: kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Shihab, M. Qurash. Ensiklopedi al-Qur’an Kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera
Hati, 2007.
Soebantono, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Rosda Karya, 1989.
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan UUD 1945, Kajian Perbandingan Aqidah
Dan Tafsir. Jakarta: al-Kautsar, 2001, Cet. Ke-1.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta: al-Husna Zikra, 1995,
Cet. Ke-1.
Syari‟ati, Ali.Ummah dan Imâmah. Bandar Lampung: YAPI, 1990, Cet. Ke-1.
Tabataba‟i, Alamah Sayyid Muhammad Husain., Inilah Islam; Upaya Memahami
Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, (Pntj) Ahsin Mohammad, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1992, Cet. Ke-1
Wawancara Pribadi dengan KH. Aceng karimullah. Jakarta, tanggal 19 februari
2010.
Wawancara pribadi dengan KH. Aceng karimullah. Jakarta, tanggal 5 juli 2010.
Yunus, Muhammad. Kamus Bahasa Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidayah Karya
Agung, 1997. Cet. ke-1.
Ziyadah, Asma‟ Muhammmad. Peran Politik Wanita dalam Sejarah Islam.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
90