program studi agama-agama fakultas ushuluddin universitas islam negeri...
TRANSCRIPT
DOKTRIN SHINTO TENTANG KONSERVASI LINGKUNGAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
MEI MARLINA
1113032100054
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M.
v
ABSTRAK
Mei Marlina
Doktrin Shinto Tentang Konservasi Lingkungan
Studi ini membahas pandangan Shinto tentang konservasi lingkungan di
Jepang. Shinto merupakan salah satu agama yang tumbuh dan berkembang di
dalam kehidupan rakyat Jepang, serta mempengaruhi cara hidup orang Jepang dari
masa sejarah kemunculan bangsa Jepang hingga sekarang. Permasalahan yang
diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana pandangan Shintoisme tentang
lingkungan dan implementasinnya dalam kehidupan masyarakat Jepang. Dalam
menjawab permasalahan penelitian kepustakaan ini, peneliti menggunakan
pendekatan fenomenologis dengan cara melihat fenomena yang nampak dan
berusaha memahami agama tersebut dengan menanggalkan dan meluruhkan
segala asumsi, praduga, penilaian dan pengetahuan sebelumnya, dan membiarkan
objek berbicara tentang dirinya sendiri hingga dapat diketahui dengan benar dan
jelas inti sari objek tersebut.
Sepanjang penelusuran dan pembahasan data dan fakta yang didapat,
penelitian ini menemukan bahwa sikap peduli lingkungan yang dilakukan oleh
masyarakat Jepang dibangun atas dasar kepercayaan yang ada dalam Shintoisme.
Agama tersebut meyakini banyaknya dewa atau Kami yang mendiami setiap
makhluk baik yang bernyawa ataupun tidak bernyawa, sehingga masyarakat
Jepang selalu bersikap hormat terhadap apapun karena dikhawatirkan Kami yang
mendiami benda atau tempat tertentu akan marah apabila diperlakukan dengan
tidak baik dan tidak menciptakan kesejahteraan bagi kehidupan di bumi.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah semata yang semoga
senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis. Segala syukur
harus senantiasa penulis panjatkan atas segala nikmat sehat dan beragam nikmat
lainnya. Dengan syukur kepada Yang Maha Esa maka nikmat sekecil apapun akan
manis dirasa. Salah satu nikmat yang tak boleh penulis ingkari adalah dapat
menyelesaikan skripsi yang masih jauh dari kesempurnaan. Tanpa izin-Nya maka
apalah arti langkah, mungkin tak akan terarah.
Shalawat beriring salām pun semoga senantiasa tercurah kepada Nabi
Agung Muhammad SAW yang telah dianugerahkan agama rahmatan li-al-
‘ālamīn ini. Semoga penulis senantiasa dapat mempelajari akan arti agama yang
diajarkannya dengan bijaksana. Karena sungguh hal yang tak mungkin jika
seorang utusan mengajarkan kepada umatnya berupa keburukan yang akan
menjerumuskannya ke dalam lembah hitam nan kelam.
Hal yang harus penulis lakukan pula adalah ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang senantiasa membimbing dan mendoakan penulis sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Terima kasih penulis haturkan
kepada :
1. Kedua orangtua yang senantiasa mendoakan kesuksesan penulis dalam
tiap detiknya, terima kasih penulis ucapkan atas bimbingan dan
kesabarannya dalam mendidik putrinya, seorang Ibu yang luar biasa dan
terima kasih pula kepada Ayah penulis, yang dengan sabar dan tabahnya
vii
mencari nafkah untuk putrinya. Terima kasih kepada kedua pahlawanku
ini yang atas kuasa-Nya telah menghantarkan penulis pada bangku
kuliah. Semoga kesehatan senantiasa atas mereka.
2. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Media Zainul Bahri, MA selaku Ketua Jurusan Studi Agama-agama,
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Dra. Halimah SM, M.Ag Selaku Sekretaris Jurusan Studi Agama-
agama, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing skripsi.
6. Prof. Ridwan Lubis, selaku dosen penasehat akademik.
7. Siti Nadroh MA., dosen yang selalu memberi semangat dan selalu jadi
tempat untuk curhat.
8. Seluruh dosen diprogram Studi Agama-agama yang telah mendidik
penulis dan mencurahkan segala ilmunya.
9. Seluruh staff di Jurusan Studi Agama-agama, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
10. Himpunan Mahasiswa Islam dan Korps HMI-Wati di Cabang Ciputat
2014.
11. Himpunan Mahasiswa Jurusan Studi Agama-agama 2015/2016.
viii
12. Teman-teman Studi Agama-Agama kelas A dan B angkatan 2013.
13. Untuk sahabat Penulis Anifah Ayu Fitriyah, Heni Aulia, Oktavia
Damayanti, Respita Prameswari, Desti Karmawan dan Sadawi yang
telah membantu proses penyusunan skripsi.
14. Perpustakaan Japan Foundation Jakarta, yang buku-bukunya menjadi
inspirasi dan referensi penulis.
15. Teman-teman di kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) Edelweis 2016.
16. Dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Jakarta, 23 Oktober 2017
Mei Marlina
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. i
LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………………. iii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat .......................................................................... 6
D. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 7
E. Kerangka Teori .................................................................................. 8
F. Metodologi Penelitian ....................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 12
BAB II SHINTO: AJARAN DAN PERKEMBANGANNYA
A. Pengertian Shinto ............................................................................... 14
B. Ajaran-Ajaran Shinto ........................................................................ 15
1. Ajaran Tentang Tuhan ................................................................ 17
2. Ajaran Tentang Manusia ............................................................. 17
C. Asal-Usul dan Perkembangan Shinto di Jepang ............................ 19
BAB III DOKTRIN SHINTO TENTANG PENTINGNYA MENJAGA
LINGKUNGAN
A. Kepercayaan Terhadap Kami .......................................................... 30
B. Peran Shinto Terhadap Lingkungan ................................................ 34
1. Perwujudan Dewa-Dewa Pada Setiap Makhluk ....................... 39
x
2. Menjaga Lingkungan Sama Dengan Menghormati Tuhan .... 41
C. Menjalani Kehidupan di Dunia Dengan Sebaik-baiknya ............. 48
BAB IV IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PEDULI LINGKUNGAN
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JEPANG
A. Gaya Hidup Masyarakat Jepang Dalam Upaya Menjaga
Lingkungan ......................................................................................... 52
B. Manfaat Mengaplikasikan Ajaran Shinto Tentang Menjaga
Lingkungan ......................................................................................... 55
C. Masa Depan Ajaran Shinto di Jepang ............................................. 61
D. Catatan Kritis ..................................................................................... 63
1. Ayat-Ayat Shinto dan Islam Yang Berkaitan Tentang
Konservasi Lingkungan ............................................................... 63
2. Perbedaan Pengaplikasian Dalam Kehidupan Masyarakat
Jepang Dengan Masyarakat Indonesia ...................................... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 83
B. Harapan Penulis ................................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini manusia sedang mengalami krisis lingkungan yang
mengakibatkan kerusakan pada alam, masalah lingkungan hidup ini telah
menjadi isu global karena menyangkut berbagai sektor dan kepentingan umat
manusia. Hal ini terbukti dengan munculnya isu-isu kerusakan lingkungan
yang semakin hari semakin krusial, diantaranya efek rumah kaca, lapisan ozon
yang terus menipis, kenaikan suhu udara, mencairnya es di kutub, dan lain
sebagainya. Tentu saja krisis lingkungan ini menjadi ancaman yang sangat
besar, serius dan nyata bagi kehidupan sekarang ini yang akan berdampak bagi
kelangsungan hidup manusia maupun makhluk hidup lainnya yang ada di
bumi.
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menguraikan
bukti-bukti bahwa perubahan iklim memang sudah terjadi. Suhu bumi
meningkat sekitar 0,8°C selama abad terakhir. Tiga dekade terakhir ini secara
berturut-turut kondisinya lebih hangat daripada dekade sebelumnya.
Berdasarkan skenario pemodelan, diperkirakan pada akhir 2100, suhu global
akan lebih hangat 1.8-4°C dibandingkan rata-rata suhu pada 1980-1999. Jika
dibandingkan periode pra-industri (1750), kenaikan suhu global ini setara
dengan 2.5-4.7°C. Proses pemanasan global terutama disebabkan oleh
2
masuknya energi panas ke lautan (kurang lebih 90% dari total pemanasan),
dan terdapat bukti bahwa laut terus menghangat selama periode ini.1
Dampak perubahan iklim secara global telah menjadi perhatian
masyarakat dunia dan bangsa-bangsa, termasuk Indonesia. Indonesia sebagai
negara kepulauan yang memiliki berbagai sumber daya alam dan
keanekaragaman yang tinggi, memiliki potensi yang besar terkena dampak
negatif perubahan iklim. Banjir dan longsor yang terjadi terus menerus setiap
tahun dengan korban jiwa ribuan orang adalah peristiwa yang nyata terjadi.
Kerusakan yang terjadi pada alam bisa diakibatkan dari gejolak alam
itu sendiri atau dari tingkah laku buruk manusia. Kerusakan alam yang berasal
dari pergeseran alam dengan relung waktu yang lama itu akibat dari kehendak
alam itu sendiri,2 seperti fenomena alam yang tidak dapat di terka dan
seringkali di luar logika kita. Peristiwa yang terjadi sangat beragam,
diantaranya tsunami, gempa bumi, petir dan letusan gunung berapi. Selain itu,
bencana alam juga bisa terjadi karena adanya perubahan iklim yang
disebabkan oleh aktivitas manusia seperti banjir, kekeringan yang dapat
mengancam kelangsungan hidup manusia, ekonomi, sosial, dan ekosistem.
Keserakahan manusia yang mengeksploitasi alam secara terus menerus juga
dapat mengakibatkan bencana tanah longsor, pencemaran udara, pencemaran
air yang mengakibatkan berkurangnya produksi air bersih. Manusia
seharusnya dapat berperilaku lebih bijak terhadap alam karena manusia hidup
1Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Perubahan Iklim, Perjanjian Paris dan
Nationally Determined Contribution (Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016), h. 1. 2Ulfa Utami, Konservasi Sumber Daya Alam (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 25.
3
bergantung pada keadaan lingkungan sekitarnya yaitu berupa sumber daya
alam yang dapat menunjang kehidupan sehari-hari.
Kerusakan dan pencemaran lingkungan terjadi karena disebabkan
kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem
lingkungannya.3 Hal ini senada dengan salah satu paham yang dikemukakan
oleh Sonny Keraf tentang etika lingkungan hidup yang sekaligus menentukan
pola perilaku manusia dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yaitu paham
antroposentrisme, paham yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem
alam semesta. Sikap manusia yang menganggap bahwa hanya dirinya yang
mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Manusia dan kepentingannya di
anggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan
yang diambil dalam kaitannya dengan alam, baik secara langsung maupun
tidak langsung, sehingga segala sesuatu yang ada di alam semesta hanya akan
mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan
manusia. Alam hanya di anggap sebagai alat bagi pencapaian tujuan manusia,
sehingga tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.4 Pandangan
antroposentrisme ini menimbulkan sikap rakus dan menghantarkan manusia
untuk suka mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan sehingga
terjadilah kerusakan dan pencemaran.5
3Soedarto Kartodihardjo, Model Eco-Pesantren Dalam Perspektif Konservasi Hutan
(Serang: A-Empat, 2005), h. 61. 4Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h.
47. 5Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif Al-Quran (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 150.
4
Manusia sejatinya memiliki kewajiban moral terhadap alam tidak
hanya terhadap sesama manusia, lingkungan yang sehat dan terjaga akan
terwujud apabila hubungan manusia dan lingkungannya dalam kondisi
harmonis. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin
modern menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesalahan cara pandang
manusia tentang dirinya, alam, dan hubungan manusia dengan alam, sekaligus
menyebabkan sikap eksploitasi dan tidak peduli terhadap alam. Disinilah
peran agama menjadi penting agar perbuatan manusia tidak melawati batas
wajar dan menyalahi aturan.
Upaya pengembangan kesadaran lingkungan sebetulnya sudah
dilakukan dengan berbagai pendekatan, baik pendekatan ilmiah yang
dirumuskan dalam ilmu ekologi, pendekatan politis yang mengukir sejarah
Konferensi Lingkungan Internasionl tahun 1972, pendekatan budaya yang
mengembangkan budaya-budaya ramah lingkungan, pendekatan sosial yang
berusaha membangun masyarakat sadar lingkungan oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) lingkungan, dan sebagainya. Demikian pula dengan
pendekatan teknologi yang berusaha mengembangkan teknologi ramah
lingkungan. Namun pendekatan-pendekatan tersebut tampaknya belum
menyentuh hati dan keyakinan.6
Dalam skripsi ini, pendekatan keagamaan sebagai upaya peduli
lingkungan merupakan salah satu strategi untuk memberikan pengertian
tentang pentingnya lingkungan hidup dengan mudah karena dalam agama
6Mujiyono Abdillah, Fikih Lingkungan; Panduan Spiritual Hidup Berwawasan Lingkungan
(Yogyakarta: UPP Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2005), h. 4.
5
apapun mengajarkan prinsip-prinsip yang mengatur keselarasan hidup
manusia dengan alam bahkan larangan dan peringatan pun telah disampaikan
oleh Allah SWT yang tertuang dalam Kitab Suci Al-Qur’an, sehingga sebagai
umat beragama, sebenarnya telah diajarkan hal-hal yang harus dipelihara
terhadap alam, termasuk larangan untuk tidak melakukan perusakan terhadap
alam semesta.
Dari sini penulis merasakan kegelisahan terhadap kelangsungan hidup
manusia yang sudah terancam akibat ulah manusia itu sendiri. Penulis
mengambil contoh negara Jepang, dimana rakyatnya sangat menjaga
kebersihan lingkungan dan kelestarian alam. Selain kekaguman penulis
terhadap negara Jepang yang begitu bersih dan masyarakatnya yang beretika
baik terhadap lingkungan, penulis juga melihat bahwa agama Shinto memiliki
peranan dan pengaruh yang besar di dalam kehidupan masyarakat Jepang.
Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk membahas bagaimana
kepercayaan Shinto sebagai agama asli Jepang yang sangat fokus terhadap
kehidupan duniawi, namun mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat
Jepang yang sangat menghormati alam dan lingkungan sekitarnya. Shinto
hidup dalam masyarakat yang maju, namun ajarannya tidak begitu saja
ditinggalkan meskipun orang Jepang sudah banyak yang menganut agama
selain Shinto seperti agama Buddha dan Kristen. Kepercayaan yang ada dalam
agama Shinto tetap dijalani, terutama yang berhubungan dengan alam,
khususnya keselarasan antara manusia dengan alam. Oleh karena itu, dalam
penulisan ini membahas bagaimana peran agama Shinto dalam menjaga
6
kelestarian lingkungan di Jepang, melalui skripsi yang berjudul, “Doktrin
Shinto Tentang Konservasi Lingkungan”.
B. Pembatasan Dan Rumusan Masalah
Kajian dan penjelasan dalam skripsi ini dibatasi agar tidak meluas
pembahasannya, hanya mengenai penelitian tentang peran agama Shinto
terhadap budaya masyarakat Jepang yang sangat menghormati alam dan
lingkungan hidup. Karena itu penulis memberikan rumusan masalah dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut:
Bagaimana pandangan Shintoisme tentang lingkungan dan Bagaimana
implementasi nilai-nilai peduli lingkungan dalam kehidupan masyarakat
Jepang?
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah
di uraikan di atas, dapat diketahui tujuan dan manfaat penulisan.
Tujuan dari penulisan yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Shintoisme tentang lingkungan
2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi nilai-nilai peduli lingkungan
dalam kehidupan masyarakat Jepang
Adapun manfaat dari penulisan ini antara lain adalah:
1. Manfaat teoritis, memberikan sumbangan nilai-nilai eco-spiritual dalam
Shintoisme bagi lingkungan.
7
2. Manfaat praktis, menjadi cerminan bagi masyarakat Indonesia untuk
meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan.
3. Manfaat akademis, sebagai salah satu persyaratan guna mendapatkan
gelar Sarjana Strata 1 (S1).
D. Tinjauan Pustaka
Tujuan adanya tinjauan pustaka yaitu untuk membuktikan orisinalitas
penelitian dan menguraikan penelitian sebelumnya yang memiliki objek
penelitian dan kajian yang relevan dengan penelitian ini.
Selama penulis melacak karya ilmiah sebelumnya, penulis tidak
menemukan pembahasan yang fokus mengkaji ajaran agama Shinto mengenai
konservasi lingkungan di Jepang.
Adapun karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini, di
antaranya yaitu sebagai berikut:
Pertama, yaitu Skripsi yang berjudul Peran Manusia Terhadap
Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Agama Islam dan Hindu karya Herman
Teguh Irawan, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Program Studi
Perbandingan Agama tahun 2016. Meskipun sama-sama membahas tentang
peranan manusia terhadap lingkungan hidup, namun yang membedakan antara
karya tersebut dengan karya penulis yaitu penulis tidak hanya menyajikan
teori-teori tentang anjuran untuk melestarikan alam dan kewajiban manusia
menjaga lingkungan hidup sebagaimana yang di ajarkan oleh setiap agama,
tetapi penulis lebih memberikan bukti konkrit bagaimana ajaran suatu agama
8
berhasil membuat penganutnya mencintai lingkungannya yang tercermin
dalam kehidupan masyarakat Jepang.
Kedua, yaitu tesis yang berjudul “Wacana Konflik Lingkungan Dalam
Teks Film Animasi Mononoke Hime Karya Hayao Miyazaki” karya Ida Ayu
Widiastuti, mahasiswi pascasarjana Program Studi Linguistik Universitas
Udayana. Tesis ini membahas tentang konflik lingkungan dimana dalam film
animasi Mononoke Hime tersebut terdapat dua kelompok yang berlawanan
yaitu kelompok manusia yang merusak lingkungan dengan kelompok Kami
yang menjaga lingkungan.
Di samping itu buku yang digunakan penulis sebagai buku primer
yaitu, Dr. Sokyo Ono dengan bukunya yang berjudul Shinto the Kami Way dan
Stuart D.B. Picken dengan buku yang berjudul Essentials of Shinto. Selain itu
masih banyak lagi buku-buku lainnya yang digunakan untuk mendukung
penulisan skripsi ini.
E. Kerangka Teori
Dalam skripsi ini penulis menyebut Shinto sebagai agama alamiyah
atau agama pribumi yang terbentuk dari kebudayaan sekelompok manusia
yang khusus di anut oleh masyarakat Jepang. Penulis mendefinisikan agama
berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, antara lain:
Harun Naustion, yang mengatakan agama adalah suatu sistem kepercayaan
9
dan tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan yang ghaib.7 Sedangkan
Prof. Dr. Bouquet mendefinisikan agama adalah hubungan yang tetap antara
diri manusia dengan yang bukan manusia yang bersifat suci dan supranatural,
dan yang bersifat berada dengan sendirinya dan yang mempunyai kekuasaan
absolute yang disebut Tuhan.8
Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa Shinto bisa dikatakan
sebagai agama karena Shinto juga memiliki kepercayaan pada hal ghaib
seperti kepercayaan terhadap Kami yang memiliki kekuatan lebih daripada
manusia dan adanya hubungan antara manusia dengan sesuatu yang di
anggap supernatural tersebut.
Adapun pengertian lingkungan hidup yaitu kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.9
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian pustaka
(Library Research), yaitu penelitian yang besumber dari data kepustakaan
7Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Universitas Indonesia,
1985), Cet V, h. 16. 8Abu Ahmadi, Sejarah Agama (Solo: CV. Ramadhani, 1984), h. 14.
9Karden Eddy Sontang Manik, Pengelolaan Lingkungan Hidup (Jakarta: Djambatan, 2009),
Cet. III, h. 31.
10
berupa buku, jurnal, ebook dan sebagainya yang berisi tentang persoalan
kepedulian lingkungan dalam agama Shinto.
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang dapat
memberikan data penelitian secara langsung.10
Sumber data primer ini
merupakan sumber utama, berupa karya yang di tulis langsung oleh
orang Jepang atau penganut Shintoisme itu sendiri maupun yang di
tulis oleh orang yang ahli dalam bidangnya.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang materinya secara tidak
langsung berhubungan dengan masalah yang diungkapkan.11
Sumber
data ini digunakan sebagai pelengkap dari sumber data primer yang
berisi tentang kajian-kajian pokok yang relevan atau yang
berhubungan dengan tema yang di angkat. Data sekunder ini berupa
buku, artikel atau jurnal ilmiah, majalah atau media lain yang
mendukung.
10
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h. 117. 11
Hadari Nawawi & Martini Hadari, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1996), h. 217.
11
3. Teknik Pengumpulan Data
Studi Kepustakaan
Penulis menggunakan buku-buku pustaka yang berisi teori-
teori tentang agama Shinto yang terkait dengan permasalahan yang
dibahas. Buku-buku tersebut merupakan buku yang di tulis oleh orang
Jepang atau penganut Shinto sebagai sumber primer, dan juga buku-
buku yang di tulis oleh orang lain yang bukan orang Jepang maupun
penganut Shinto tetapi ia memiliki pengetahuan tentang agama
tersebut sebagai sumber sekunder. Adapun penulis mengumpulkan
data baik dari perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Japan Foundation Jakarta dan
sumber yang lainnya.
4. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan
fenomenologi. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang
apa yang tampak (phainomenon).12
Pendekatan fenomenologi berusaha memahami agama orang lain,
dengan cara masuk ke dalam, menanggalkan dan meluruhkan segala
asumsi, praduga, penilaian dan pengetahuan sebelumnya mengenai agama
yang hendak dipahami, dan membiarkan objek berbicara tentang dirinya
sendiri hingga dapat diketahui dengan benar dan jelas inti sari objek.13
12
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2015), h.
23. 13
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, h. 25.
12
5. Analisis Data
Setelah data penelitian terkumpul, maka langkah selanjutnya
penulis melakukan analisis data. Analisis data adalah proses penyusunan
data agar data tersebut dapat ditafsirkan.14
Metode analisis yang digunakan
ialah Content Analysis (analisis isi), yaitu upaya menafsirkan ide atau
gagasan tentang “kepedulian lingkungan” dalam masyarakat Shinto,
kemudian ide-ide tersebut dianalisis secara mendalam dan seksama guna
menjawab permasalahan krisis lingkungan yang terjadi saat ini.
6. Teknik Penulisan
Mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada
standar penulisan skripsi yang bersandarkan pada buku “Pedoman
Akademik” yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan pada penelitian ini di susun secara
sistematis dan terperinci, terdiri dari beberapa bab sebagai berikut:
Bab I, yaitu terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, yaitu berisi pengertian Shinto, ajaran-ajaran Shinto, serta asal-
usul dan sejarah perkembangan agama Shinto.
14
H. Dadang Rahmad, Metode Penelitian Agama (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h.
102.
13
Bab III, yaitu doktrin Shintoisme tentang pentingnya menjaga
lingkungan. Dalam bab ini akan menjelaskan tentang kepercayaan terhadap
Kami, penghormatan Shinto terhadap lingkungan yang mencakup perwujudan
dewa-dewa pada setiap makhluk serta menjaga lingkungan sama dengan
menghormati Tuhan/dewa, dan menjalani kehidupan di dunia dengan sebaik-
baiknya.
Bab IV, yaitu implementasi nilai-nilai peduli lingkungan dalam
kehidupan masyarakat Jepang. Dalam bab ini akan menjelaskan gaya hidup
masyarakat Jepang dalam upaya menjaga lingkungan, manfaat
mengaplikasikan ajaran Shinto tentang menjaga lingkungan, masa depan
ajaran Shinto di Jepang dalam menjaga pelestarian lingkungan, dan catatan
kritis mengenai ayat-ayat Shinto dan Islam serta praktiknya dalam kehidupan.
Bab V, yaitu penutup yang berisi kesimpulan dan harapan penulis.
14
BAB II
SHINTO
AJARAN DAN PERKEMBANGANNYA
A. Pengertian Shinto
Shinto merupakan kepercayaan asli masyarakat Jepang yang tumbuh
secara alami dan telah menyatu dengan budaya. Shinto diyakini lebih dari
sekedar agama, melainkan gabungan antara sikap, gagasan dan cara
melakukan sesuatu yang telah menjadi bagian integral dari cara hidup orang
Jepang. Shinto dianggap sebagai kepercayaan pribadi terhadap Kami1 dan
cara hidup bersama menurut pikiran Kami.2
Dasar pokok agama rakyat adalah agama asli Jepang yang mempercayai
adanya kekuatan-kekuatan dalam berbagai gejala alam, binatang, benda dan
manusia yang dianggap mempunyai sifat-sifat istimewa. Kekuatan-kekuatan
tersebut disebut dengan Kami dan diyakini dapat mempengaruhi kehidupan
manusia, mendatangkan keuntungan atau menyebabkan timbulnya
kesengsaraan. Pada angin dan hujan, api dan air, guntur dan kilat, batu-batu,
hutan-hutan, gunung-gunung, dan gejala alam lainnya, dirasa ada suatu
kekuatan spiritual yang menumbuhkan perasaan segan dan takut dan secara
1Kami adalah istilah asli Jepang yang digunakan untuk menyebut “sebuah kekuatan” yang
ada dibalik segala sesuatu seperti angin, petir, gunung, pohon, sungai, kesuburan tanah, binatang
dan sebagainya. Juga biasa diartikan sebagai „Tuhan‟ atau „Dewa‟. Digambarkan dengan kanji 神
yang dibaca kami jika berdiri sendiri namun dapat berubah menjadi shin atau jin jika
dikombinasikan dengan kata yang lain semisal Shinto (jalan kami) atau jinja (tempat tinggal kami).
Lihat Sokyo Ono, Shinto : The Kami Way (Tokyo : Charles E. Tuttle Comp., 1999), h. 6. 2Sokyo ono, Shinto The Kami Way (Tokyo: Charles E Tuttle Company, 1962), h. 3.
15
langsung atau tidak langsung memaksa seseorang untuk memujanya baik
karena mengharapkan rahmatnya ataupun karena takut dan menghindarkan
diri dari hukumannya.3
B. Ajaran-Ajaran Shinto
Shinto pada dasarnya tidak memiliki kitab suci, seperti yang ditemukan
di agama-agama lain, misalnya, Islam yang memiliki kitab suci Al-Qur‟an,
Kristen yang memiliki kitab suci Bibble. Shinto hanya memiliki beberapa
catatan kuno yang dianggap berwibawa dan memberikan dasar historis dan
spiritual. Ada dua kitab utama yang tertua disusun sepuluh abad sepeninggal
Jimmu Tenno (660 SM), pertama yaitu Kojiki (catatan sejarah kuno)
merupakan catatan sejarah Jepang tertua yang disusun oleh tatanan kekaisaran
pada tahun 712 M4 yang menguraikan tentang alam kayangan tempat
kehidupan para dewa dewi sampai kepada Amaterasu Omi Kami (Dewi
Matahari) Tsuki Yomi (Dewa Bulan) yang diangkat menguasai Langit dan
puteranya Jimmu Tenno (660 SM) yang diangkat menguasai “tanah yang
indah dan subur” (Jepang) di Bumi, juga silsilah keturunan Kaisar Jepang dan
riwayat hidup orang Jepang.5 Kedua, yaitu Nihongi atau Nihon Shoki (kronik
Jepang), yang muncul delapan tahun kemudian setelah Kojiki. Nihongi lebih
rinci daripada Kojiki; karena beberapa mitologi atau versi disajikan dalam
bentuk beberapa kejadian dan memiliki nilai khusus yang kurang dimiliki
3Djam‟annuri, Agama Jepang, h. 121.
4Sokyo ono, Shinto The Kami Way, h. 10.
5Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar di Dunia, h. 210.
16
oleh Kojiki.6 Kedua kitab tersebut menggambarkan dua buah pemikiran
keagamaan yang sangat penting: pertama, asal-usul kedewaan atau semi
dewa, Jepang dan rakyatnya; kedua, perkembangbiakan Kami yang berkaitan
dengan negeri dan orang-orang Jepang.7
Selain kedua kitab diatas, ada juga kitab Yengishiki dan Manyoshiu yang
berisikan doa-doa keagamaan yang dibutuhkan dalam upacara-upacara
keagamaan, kisah-kisah legendaris, nyanyian-nyanyian kepahlawanan,
beserta sajak-sajak tentang asal-usul kedewaan, asal-usul kepulauan Jepang
dan Kerajaan Jepang. Ragam hal-hal kisah yang berkaitan tentang kehidupan
para dewa dewi dalam kayangan di langit.8
Tulisan-tulisan dari kitab yang dimiliki Shinto tidak ada satu pun yang
dianggap sebagai tulisan suci sebagaimana kitab suci Al-Qur‟an yang
digunakan dalam agama Islam dan Bibble yang digunakan dalam agama
Kristen. Catatan sejarah tersebut digunakan selain untuk kepentingan politik
atau dinasti orang Jepang, juga untuk mewujudkan bentuk kuno iman kepada
Kami.9 Meskipun Shinto tidak memiliki kitab yang disucikan, namun kitab
Nihongi dan Kojiki merupakan sumber utama pemikiran keagamaan yang
terdapat dalam kepercayaan Shinto sejak dahulu hingga sekarang.10
Adapun
ajaran Shinto mengenai Tuhan, manusia dan alam yaitu sebagai berikut:
6Sokyo ono, Shinto The Kami Way, h. 10.
7Djam‟annuri, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h.
239. 8Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013) h.
65. 9Sokyo ono, Shinto The Kami Way, h. 11.
10Djam‟annuri, Agama Jepang (Yogyakarta: PT Bagus Arafah, 1981), h. 61.
17
1. Ajaran Tentang Tuhan
Shinto bukanlah suatu kepercayaan yang hanya memiliki satu
objek Tuhan yang harus disembah, melainkan Tuhan atau yang disebut
dengan Kami diyakini berada disetiap makhluk hidup yang bernyawa
ataupun makhluk yang tidak bernyawa, sehingga banyak sekali dewa-
dewa dalam agama Shinto yang merupakan manifestasi dari kekuatan
Kami tersebut.
Menurut orang yang menganut agama monotheisme, kepercayaan
kepada kekuatan ghaib di luar kekuatan Tuhan sebagai bentuk
keagamaan dianggap bertentangan karena hanya Tuhan lah yang
memiliki kekuasaan dan kekuatan yang mutlak, tapi sebaliknya bagi
orang Jepang, mereka menganggap bahwa penganut monotheisme
yang tidak mengakui kekuatan-kekuatan lain dalam alam semesta
berpandangan sempit.11
2. Ajaran Tentang Manusia
Kehidupan manusia bermula dengan penerimaan tama yaitu jiwa
atau ruh, tama tersebut diterima pada saat kelahiran, dan kematian
adalah disebabkan oleh berpisahnya tama dari badan manusia. Ruh
orang yang masih hidup disebut dengan seirei yang berarti “ruh yang
hidup”, dan jiwa orang yang sudah meninggal dunia disebut dengan
11
Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang
Dalam Perjuangan Hidup, h. 198.
18
shirei atau “ruh yang mati”. Agar ruh orang yang sudah mati ini
memperoleh ketentraman maka sanak keluarga yang ditinggalkannya
harus menyelenggarakan upacara-upacara kematian dan upacara-
upacara peringatan kematiannya pada masa-masa yang sudah
ditentukan.
Dalam bahasa Jepang kata tama tersebut memiliki dua pengertian
yaitu:
1. Suatu permata yang indah, atau suatu batu yang misterius. Dalam
arti yang demikian ini, pagar suci yang mengelilingi sebuah jinja
disebut dengan tama-gaki; batu ajaib yang menambah daya
kekuatan hidup disebut dengan iku-tama; dan permata ajaib yang
dapat mendatangkan keuntungan berlimpah-limpah disebut dengan
taru-tama.
2. Ruh atau jiwa, terutama ruh atau jiwa yang suci, baik yang terdapat
pada dewa, manusia, tanah dan lain sebagainya.
Dalam pengertian yang kedua ini, ada yang disebut dengan shikon
yang berarti “empat ruh”, yaitu:
1. Ara-mi-tama, yaitu ruh atau spirit yang memiliki kekuasaan untuk
memerintah.
2. Nigi-mi-tama, yakni ruh yang membawa menuju kepada kesatuan
dan keharmonisan.
3. Kushi-mi-tama, yaitu ruh yang menyebabkan terjadinya berbagai
macam perbuatan yang misterius, dan
19
4. Saki-mi-tama, yaitu ruh atau spirit yang bertugas memberikan
rahmat dan karunia.
Hubungan antara Tuhan dan manusia seperti hubungan antara
orangtua dan anak, atau antara nenek moyang dengan keturunannya.
Dengan demikian manusia adalah putra Tuhan/Kami. Ungkapan ini
memiliki dua macam arti yaitu pertama, kehidupan manusia berasal
dari Kami, sehingga dianggap suci, kedua kehidupan sehari-hari adalah
pemberian dari Kami.
C. Asal-Usul dan Perkembangan Shinto di Jepang
Asal usul kemunculan Shinto berjalan secara beriringan dengan latar
belakang sejarah munculnya negara dan bangsa Jepang, hal tersebut
didasarkan atas penemuan benda-benda kuno dan legenda kuno. Pada awalnya
masyarakat Jepang tidak menyebut kepercayaan mereka dengan sebutan
Shinto sebagaimana yang dikenal saat ini. Shinto pada mulanya adalah
kepercayaan alam yang merupakan perpaduan antara paham animisme dengan
pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Dengan cara yang sangat sederhana,
masyarakat Jepang kuno menganggap semua benda, baik benda yang hidup
atau mati, dianggap memiliki ruh atau spirit. Semua ruh atau spirit tersebut
dianggap memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan
mereka. Daya tersebutlah yang akhirnya disebut Kami.12
12
Ninian Smart, The Religious Experience of Mankind (New York: Charles Scribner‟s
Sons, 1977), Cet. III, h. 211.
20
Kata Shinto merupakan istilah modern yang digunakan untuk
kepercayaan terhadap Kami. Kepercayaan asli masyarakat Jepang pada
awalnya disebut dengan nama Kami no Michi, yang berarti Jalan Para Dewa,
yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam lingkungan penduduk masyarakat
Jepang, bukan datang ataupun pengaruh dari luar.13
Sekitar abad ke-13, Buddhisme dan Konfusianisme mulai menyebar di
Jepang, pada saat itu penamaan Kami no Michi di ubah menjadi Shinto yang
bertujuan untuk membedakan antara kepercayaan tradisional Jepang dengan
kepercayaan Buddhisme dan Konfusianisme. Kata Shinto sendiri terdiri dari
dua ideograf yaitu shin (神), yang disamakan dengan istilah asli Kami yang
berarti dewa, dan do atau to (道), yang disamakan dengan istilah michi, yang
berarti "jalan".14
Dalam literatur lain juga disebutkan bahwa nama Shinto
merupakan perubahan dari kata Tien-Tao yang bermakna Jalan Langit ketika
terjadi benturan dengan kebudayaan Tiongkok yang sudah memiliki
kepercayaan terorganisir seperti agama Tao, Konfusius, dan Buddha,15
sampai
saat ini kata tersebut masih digunakan
Pemberian nama Shinto tidak menjadikan kepercayaan tersebut bersifat
tertutup dan menolak pengaruh ajaran yang datang dari luar, tetapi
menerimanya untuk memperkaya kehidupan kultural dan spiritual tanpa
menghilangkan tradisi asli Jepang. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara
tradisi asli dan kepercayaan dari luar telah membawa kelahiran suatu
13
Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar di Dunia (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1996), Cet.
III, h. 208. 14
Sokyo ono, Shinto The Kami Way, h. 2. 15
Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar di Dunia, h. 208.
21
kepercayaan baru yang disebut Shinto, meskipun namanya baru dikenal
pertama kali setelah agama Konfusius dan Buddhisme memasuki Jepang pada
abad ke-6, menurut tradisi, Shinto adalah kepercayaan asli Jepang yang
usianya telah mencapai lebih dari 2000 tahun.16
Selain itu, Shintoisme juga
dipandang oleh rakyat Jepang sebagai suatu kepercayaan tradisional warisan
nenek moyang, yang telah berabad-abad hidup di Jepang, ajarannya berakar
dalam masyarakat, sehingga tidak mudah ditumbangkan oleh agama-agama
lain yang datang dari luar.17
Sejarah perkembangan Shinto di Jepang dapat dibagi dalam beberapa
masa. Pertama, masa perkembangannya dengan pengaruh yang mutlak
sepenuhnya di Jepang, yaitu dari tahun 660 SM sampai tahun 552 M, di
dalam masa dua belas abad lamanya.18
Dengan kemenangan yang diperoleh suku Yamato pada abad ketiga
atau keempat Masehi, legenda-legenda dan dewa-dewanya juga dianggap
lebih unggul dibandingkan dengan legenda dan dewa suku-suku lainnya.
Kepala suku Yamato tidak saja bertindak sebagai pemimpin sebuah negara
tetapi juga sebagai pendeta utama bagi seluruh bangsa. Legenda suku Yamato
lambat laun menjadi dasar utama adanya kepercayaan terhadap asal-usul
kedewaan dan kelebihan bangsa Jepang. Demikian, sekitar abad kelima
Masehi, kultus dan tradisi keagamaan yang beranekaragam itu sedikit demi
sedikit dipersatukan dan diorganisasikan ke dalam suatu bentuk pemerintahan
16
Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar di Dunia, h. 208. 17
HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar (Jakarta: PT GoldenTeravon
Press, 1997), h. 7. 18
Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar di Dunia, h. 209.
22
agama dengan suatu sistem peribadatan yang dipusatkan pada Dewi
Matahari.19
Kedua, masa agama Buddha dan ajaran Kongfutzu dan ajaran Tao
masuk ke Jepang, yaitu dari tahun 552 M sampai tahun 800 M, yang dalam
masa dua setengah abad itu Shinto mendapat saingan berat. “Pada tahun 645
M Kaisar Kotoku merestui agama Buddha dan mengenyampingkan Kami No
Michi”, (Nihonji, 2:195), “Pada tahun 671 M sang Kaisar membelakangi
dunia dan megenakan pakaian rahib.” (Nihonji, 2:302).20
Sebenarnya di kalangan para pemimpin dan rakyat umum ada yang
menentang terhadap masuknya agama Buddha ini. Mereka tidak setuju jika
kaisar memeluk agama tersebut sebab khawatir hal itu akan menyebabkan
timbulnya kemurkaan dari para dewa. Akan tetapi kalangan orang-orang
Jepang yang berfikiran liberal merasa tertarik oleh kelebihan agama baru itu
dibandingkan dengan agama bangsa sendiri. Perbedaan sikap ini
menimbulkan konflik yang berkepanjangan yang diakhiri dengan
kemenangan pihak liberal.21
Persaingan antar agama terus berlanjut, ketika di masa Tokugawa ada
penolakan dan larangan penyebaran agama Kristen tampaknya agama Buddha
lebih diperhatikan oleh Shogun, sedangkan Shinto oleh lingkungan Tenno
Heika karena ia merupakan pendeta tertinggi dan sebagai keturunan langsung
dari Dewi Matahari Amaterasu Omikami. Ketika itu kekuasaan (termasuk
kekuatan keuangan) ada di tangan Shogun, maka agama Buddha lebih
19
Djam‟annuri, Agama Jepang, h. 20. 20
Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar di Dunia, h. 209. 21
Djam‟annuri, Agama Jepang, h. 23.
23
menonjol pada periode tersebut, kemudian Restorasi Meiji yang
menempatkan Tenno Heika kembali sebagai penguasa utama dan
menghilangkan kekuasaan Shogun, dan mengunggulkan agama Shinto. Sejak
restorasi Meiji hingga Jepang ditaklukkan pada akhir Perang Dunia II, Shinto
menjadi agama negara.22
Ketika agama Buddha masuk ke Jepang dan terjadi persaingan dengan
kepercayaan Shinto, perkembangan agama Buddha sangat ditentukan oleh
sikap penguasa terhadapnya, sehingga pada akhirnya rakyat Jepang dapat
menggunakan kepercayaan Shinto dan Buddha sekaligus sebagai keperluan
yang sama pentingnya.23
Pada masa Buddhisme dan Kongfusianisme memasuki Jepang,
pemimpin Shinto tidak membiarkan begitu saja upaya agama asing ini untuk
menyerap kepercayaan asli, sehingga pada saat bersamaan pada abad ke-13
dan 14 sebuah reaksi terbentuk, yang menghasilkan beberapa gerakan kontra
yang bertujuan menempatkan Shinto dalam posisi tertinggi. Salah satunya
adalah Yui-Itsu atau Yoshida Shinto, yang pertama kali muncul pada awal
abad ke-13, namun belum sepenuhnya berkembang sampai abad ke-15 ketika
Kanetomo Yoshida menjadi pendukungnya dan membuat slogannya: "Kami,
primer, Buddha sekunder". Selain itu, kuil Ise Shinto yang juga dikenal
sebagai Watarai Shinto menekankan kemurnian dan ketulusan sebagai
kebajikan tertinggi, dengan setia menjaga kemurnian tradisinya, dan dengan
22
Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang
Dalam Perjuangan Hidup (Jakarta: UI-Press, 1987), Cet.II, h. 196. 23
Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang
Dalam Perjuangan Hidup, h. 12.
24
tegas menolak gagasan bahwa dewa-dewa Buddhis adalah manifestasi utama
dari Tuhan.24
Ketiga, masa sinkronisasi secara berangsur antara agama Shinto dengan
Tiga ajaran lainnya, yaitu dari tahun 800 M sampai 1700 M, yang dalam
masa sembilan abad itu pada akhirnya lahir Ryobu Shinto (Shinto-Paduan).
Dibangun oleh Kobo Daishi (774-835 M) dan Kitabatake Chikafuza (1293-
1354 M) dan Ichijo Kanoyoshi (1465-1500 M) dan lainnya.25
Pada masa sebelumnya terjadi ketegangan antara Buddhism dan Shinto,
baik karena alasan politis maupun doktrinisasi, kemudian pada masa dinasti
Heian (794-1160) ini muncul berbagai usaha untuk merukunkan kedua agama
tersebut, antara lain melalui dua tokoh terkenal yaitu Saicho (767-822) yang
mendirikan sekte Tendai pada tahun 805 dan Kukai (774-835) yang
mendirikan sekte Shingon pada tahun 809. Ajaran kedua sekte tersebut sangat
berpengaruh terhadap kehidupan spiritual bangsa Jepang selama berabad-
abad, bukan hanya mengemukakan konsep baru yang mudah dimengerti oleh
masyarakat awam dan lebih dapat diterima oleh mereka yang hendak tetap
memegang teguh tradisi asli, namun juga karena bangunan filsafatnya cukup
luas dan luwes, berusaha memadukan ajaran dan pemikiran keagamaan yang
beranekaragam. Misalnya, kedua tokoh tadi berusaha memunculkan dewa-
dewa yang terdapat dalam Shinto berdampingan dengan dewa-dewa agama
Buddha. Usaha semacam ini sebetulnya telah ada pada masa Nara, namun
24
Sokyo ono, Shinto The Kami Way, h. 87. 25
Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar di Dunia, h. 209.
25
baru berhasil pada masa Heian. Setelah meninggal dunia masing-masing dari
kedua tokoh tadi terkenal dengan sebutan Dengyo Daishi dan Kobo Daishi.26
Pada abad ke delapan tercapai sebuah kompromi yang menghasilkan
pengajaran bahwa Kami senang menerima sutra para Buddha sehingga
banyak kuil Buddhis yang didirikan di samping tempat-tempat suci Shinto,
seolah-olah untuk memuaskan Kami.27
Saicho, sebagai tokoh pendiri sekte Tendai mengajarkan bahwa dewa-
dewa agama Buddha sebenarnya sama dengan dewa-dewa dalam Shinto. Para
dewa tersebut bersama-sama mengembangkan kedua agama tadi. Ajaran
semacam ini juga diajarkan oleh aliran Tendai Shinto, suatu cabang dari
kepercayaan Shinto yang didirikan atas dasar pengajaran Saicho. Kukai
mengetengahkan suatu teori inkarnasi baru yang mengajarkan bahwa untuk
menyelamatkan umat manusia Buddha selalu muncul dalam aneka kewujudan
di berbagai tempat yang berbeda-beda. Menurut teori ini, dewa-dewa Shinto
pada hakikatnya adalah penjelmaan dari para Buddha tersebut. Oleh karena
itu tidak ada perbedaan antara pemujaan terhadap dewa-dewa Buddha dengan
pemujaan terhadap dewa-dewa Shinto. Lebih lanjut dikatakan bahwa Buddha
Gautama adalah sama dengan Dewi Matahari, sementara para dewa Buddha
yang lebih rendah tingkatannya adalah sama dengan dewa-dewa Shinto yang
tingkatannya juga lebih rendah. Kombinasi atau sinkretisme antara paham
Buddhisme dan Shinto ini dikenal dengan istilah Ryobu Shinto, yang berarti
26
Djam‟annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 241. 27
Sokyo ono, Shinto The Kami Way, h. 85.
26
Shinto yang beraspek ganda. Kukai biasanya dianggap penemu atau
pendirinya.28
Sinkretisme tersebut bukan dalam bentuk peleburan dua buah
organisasi keagamaan menjadi satu buah sekte tersendiri, tetapi merupakan
perpaduan antara dua macam pemikiran keagamaan, sehingga memungkinkan
keduanya tetap hidup berdampingan tanpa mengorbankan salah satunya.
Shinto menerima agama Buddha dengan cara menambahkan dewa-dewa
agama ini ke dalam panteon dewanya sendiri; dan agama Buddha menyatakan
bahwa dewa-dewa Shinto sebenarnya adalah penjelmaan dari dewa-dewa
dalam agama Buddha. Lambat laun para dewa itu dianggap sama saja
sehingga segala macam perbedaan akhirnya dihilangkan.29
Sebagai akibat
dari perpaduan tersebut, perbedaan antara Shinto dan agama Buddha hampir
tidak tampak lagi, orang Jepang sendiri mengakui bahwa agama Buddha telah
memperdalam dan memperhalus Shinto.30
Para pendeta agama Buddha kemudian juga memperoleh keleluasaan
dalam jinja-jinja31
Shinto. Bahkan pengaruh agama Buddha juga semakin
bertambah kuat, sehingga upacara-upacara dan perayaan keagamaan Shinto,
juga hiasan dalam jinja dan patung-patung dewa agama tersebut banyak
ditentukan berdasarkan keinginan para pendeta agama Buddha. Walaupun
demikian, percampuran antara kedua kepercayaan tersebut tidak sempurna
28
Joseph M Kitagawa, Religion in Japanese History (New York: Columbia University
Press, 1966), h. 68. 29
Djam‟annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 242. 30
Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang
Dalam Perjuangan Hidup, h. 197. 31
Jinja adalah kata yang digunakan untuk menyebut kuil, dalam bahasa Inggris diartikan
sebagai Shrine yang memiliki symbol berupa gerbang kayu yang dinamai dengan torii.
27
betul. Di kalangan rakyat umum tetap ada semacam pembagian tugas dan
fungsi antara keduanya, yang masih tetap berlanjut hingga sekarang. Shinto
membimbing urusan keduniaan, sementara agama Buddha bertanggungjawab
dalam persoalan kematian. Oleh karena itu agama Buddha di Jepang sering
disebut dengan “agama orang yang sudah mati.”32
Pada tahun 1484, dibawah dinasti Ashikaga muncul suatu aliran dalam
Shinto yang mengajarkan kesatuan antara Shinto, Buddhisme dan
Konfusianisme.33
Aliran ini disebut Yoshida Shinto, yang didirikan oleh
Yoshida Kanetomo (1435-1511). Kesatuan antara ketiga agama tersebut
digambarkan sebagai: “Agama Buddha dianggap sebagai bunga dan buah dari
semua prinsip aturan (Dharma) yang ada di alam ini; agama Konfusius
sebagai cabang dan rantingnya; dan Shinto sebagai akar dan batangnya.”
Aliran ini, di samping menganggap Kami sebagai kewujudan yang berada di
luar manusia, juga menganggapnya menempati dalam jiwa seseorang.34
Pada akhir kekuasaan dinasti Tokugawa muncul ketidakpuasan
masyarakat terhadap pemerintah. Agama Buddha, yang sudah menjadi agama
negara, memperoleh kesan buruk, sementara perhatian umum terhadap agama
asli semakin meningkat. Pada penghujung masa Tokugawa, perasaan anti
Buddha ini tumbuh meluas di kalangan masyarakat, yang mengakibatkan
banyak kelenteng ditutup dan para pendetanya meninggalkan pos-pos mereka.
Di lain pihak, berbagai macam kelompok agama baru yang mulai banyak
32
Djam‟annuri, Agama-Agama Di Dunia, h. 243. 33
Di Jepang, Konfusianisme, juga Taoisme, tidak pernah membentuk suatu organisasi
keagamaan yang formal seperti yang dilakukan oleh Shinto dan Buddhisme. 34
Djam‟annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 244.
28
bermunculan. Misalnya, Kurozumi Munetada (1780-1850) mendirikan sekte
Kurozumikyo. Ia adalah seorang pendeta Shinto. Pada usianya yang ke-33,
kedua orangtuanya meninggal dunia akibat penyakit menular. Peristiwa ini
memberikan pukulan batin yang menyebabkannya jatuh sakit selama lebih
kurang tiga tahun. Suatu ketika ia sedang memuja dewi matahari, tiba-tiba ia
merasa mendapatkan pengetahuan bahwa dewa dan manusia pada hakikatnya
adalah satu. Dalam kesatuan ini, tidak ada kelahiran atau kematian melainkan
semata-mata kehidupan yang abadi. Para pengikut sekte yang didirikannya
percaya bahwa spirit dewi matahari merasuki seluruh alam, dan orang harus
berusaha untuk menyatukan diri dengan spirit dewi ini agar dapat merasakan
dan menghayati kesatuan antara dewa dan manusia yang menjadi sumber
utama kebahagiaan hidupnya.35
Usaha untuk menghidupkan kembali Shinto "murni" hanya sebagian
berhasil. Dalam seribu tahun sinkretisme, hubungan Shinto dengan
Buddhisme menjadi sangat dekat. Pengaruh Buddhisme pada arsitektur
Shinto tentu saja tidak dapat diatasi., namun sebagian besar elemen Buddhis
seperti patung-patung berhasil disingkirkan dari kuil Shinto.36
Setelah masuknya agama Buddha melalui Cina dan Korea yang terjadi
pada abad ke-enam, saat ini kehidupan keagamaan orang Jepang pada
umumnya tidak hanya beragama Shinto atau Budha saja, melainkan
menganut keduanya, bahkan sering ditambah lagi dengan agama Kristen
terutama sejak selesainya Perang Dunia II. Contoh kehidupan beragama
35
Djam‟annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 245. 36
Sokyo ono, Shinto The Kami Way, h. 87.
29
orang Jepang saat ini yaitu seperti, perkawinan dilakukan dalam cara Shinto,
tetapi kemudian ada upacara seperti Kristen, sedangkan upacara pemakaman
dilakukan menurut agama Buddha. Di rumah-rumah daerah pedesaan bisa
saja terdapat altar Shinto dan Buddha sekaligus, atau orang yang pergi ke
kuil Shinto mungkin juga akan pergi ke kuil Buddha atau ke gereja.37
Shinto, meski telah mengalami banyak persaingan dengan masuknya
agama lain ke Jepang namun pada akhirnya Shinto tetap menjadi kepercayaan
yang paling diminati oleh kalangan masyarakat Jepang. Berdasarkan info dari
Kementerian Pendidikan Jepang, jumlah penganut Shinto sekitar 107 juta
orang, agama Buddha sekitar 89 juta orang, Kristen dan Katolik sekitar 3 juta
orang, serta agama lain-lain sekitar 10 juta orang, dengan total seluruh
penganut agama yaitu 290 juta orang.38
37
Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang
Dalam Perjuangan Hidup, h. 196. 38
The Daily Japan, https://thedailyjapan.com/pandangan-masyarakat-jepang-terhadap-
agama/, di akses pada 23/10/2017, pukul 11:59 WIB.
30
BAB III
DOKTRIN SHINTO TENTANG PENTINGNYA
MENJAGA LINGKUNGAN
A. Kepercayaan Terhadap Kami
Shinto adalah sebuah kepercayaan yang memuja daya-daya kekuatan
yang disebut dengan Kami. Arti dari Kami ini sulit ditentukan, namun
memiliki maksud dengan “dewa”, Tuhan dan sebagainya. Kami memiliki
pengertian yang jauh berbeda dari pengertian objek-objek pemujaan yang
terdapat dalam agama-agama lain. Istilah ini dapat merujuk pada sesuatu yang
tunggal dan jamak sekaligus. Meskipun jumlah dewa dalam kepercayaan
Shinto tidak terbatas, sebagaimana diungkapkan dalam istilah “yaoyarozu no
kami” yang berarti delapan juta dewa, Shinto justru memandang positif
terhadap kepercayaan tentang banyaknya dewa. Menurut para pemeluknya,
sebuah angka besar menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang
agung, maha sempurna, maha suci, maha murah, dan sebagainya.1
Sebagaimana jumlah bilangan yang besar, maka bilangan itu sendiri
menunjukkan sifat kebesaran dan keagungan dewa.2
Kami adalah obyek pemujaan dalam Shinto. Istilah Kami merupakan
kehormatan bagi roh mulia dan suci, yang menyiratkan rasa hormat atas
kebajikan dan otoritas mereka. Semua makhluk memiliki semangat seperti
Kami, jadi dalam arti semua makhluk bisa disebut Kami atau dianggap
1Rahmat Fajri dkk, Agama-Agama Dunia (Jogjakarta: Belukar, 2012) h. 331.
2Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 254.
31
berpotensi menjadi Kami. Namun, karena istilah itu bersifat kehormatan,
tidak bisa diterapkan pada individu atau makhluk biasa.3 Yang dijadikan
objek sebagai Kami adalah kualitas pertumbuhan, kesuburan, dan produksi;
Fenomena alam, seperti angin dan guntur; benda alam, seperti matahari,
gunung, sungai, pepohonan dan bebatuan; beberapa hewan; dan roh leluhur.
Dalam kategori terakhir adalah roh nenek moyang kekaisaran, nenek moyang
keluarga bangsawan, dan dalam arti semua roh leluhur. Selain mereka, yang
juga dianggap sebagai Kami adalah roh penjaga tanah, pekerjaan, dan
keterampilan; Semangat pahlawan nasional, orang-orang yang memiliki
prestasi atau kebajikan yang baik, dan orang-orang yang telah berkontribusi
pada peradaban, budaya, dan kesejahteraan manusia; mereka yang telah
meninggal untuk negara atau masyarakat dianggap telah menjadi Kami.4
Istilah Kami diterapkan terhadap kekuatan-kekuatan dan objek-objek
kepercayaan tertentu, tanpa membeda-bedakan apakah objek tersebut
merupakan benda hidup atau mati, bersifat baik atau buruk. Apapun yang di
anggap luar biasa, memiliki kekuatan superior atau yang menakjubkan
disebut Kami. Keunggulan di sini tidak hanya mengacu pada superioritas
kemuliaan, kebaikan atau perbuatan baik. Hal-hal yang jahat dan misterius,
jika mereka luar biasa dan mengerikan, juga disebut Kami.5
Motoori norinaga, seorang sarjana dan pembaharu Shinto di zaman
modern, memberikan penjelasan dan maksud istilah Kami dalam kalimat
3Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 6.
4Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 7.
5Ian Reader, Esben Andreasen & Finn Stefansson, Japanese Religion Past and Present
(Honolulu: University of Hawaii Press, 1993), h. 77.
32
sebagai berikut: “Pada mulanya istilah Kami diterapkan terhadap dewa-dewa
langit dan bumi yang disebutkan dalam dokumen-dokumen kuno tertulis, dan
terhadap spirit-spirit (mitama) yang mendiami tempat-tempat suci tempat
mereka dipuja. Di samping itu, bukan hanya manusia, tetapi burung-burung,
binatang-binatang, tetumbuhan dan pohon-pohon, laut dan gunung-gunung,
dan semua benda langit, apapun bentuknya, yang patut ditakuti dan dipuja
karena memiliki kekuasaan yang tinggi dan luar biasa, semuanya disebut
Kami. Kami juga tidak memerlukan sifat-sifat istimewa karena memiliki
kemuliaan, kebaikan, atau kegunaan yang khusus. Segala kewujudan yang
jahat dan mengerikan juga disebut Kami apabila merupakan objek-objek yang
pada umumnya ditakuti”.
Dari kutipan di atas dapat diketahui adanya empat hal yang mendasari
konsep kedewaan dalam Shinto, yaitu: dewa-dewa tersebut pada umumnya
merupakan personifikasi gejala-gejala alam; dewa-dewa tersebut dapat pula
berupa manusia; dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit yang
mendiami tempat-tempat di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia; dan
pendekatan manusia terhadap dewa-dewa tersebut bertitik tolak dari perasaan
segan dan takut.6 Oleh karena itu, bagi pemeluk Shinto sangat menghormati
apapun yang ada di bumi termasuk benda-benda atau makhluk bernyawa
maupun tidak bernyawa di sekitar lingkungannya karena mereka takut Kami
yang berada ditempat tersebut akan marah dan memberikan pengaruh buruk
yang mengakibatkan kesengsaraan bagi hidup manusia dan bumi.
6Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 255.
33
Konsep Kami saat ini mencakup gagasan tentang keadilan, ketertiban,
dan nikmat Ilahi (blessing), dan menyiratkan prinsip dasar bahwa Kami
berfungsi secara harmonis dalam kerja sama satu sama lain dan bersukacita
atas bukti harmoni dan kerjasama di dunia ini.7
Jumlah dewa yang sangat banyak dan beranekaragam, semuanya
dianggap hidup damai bersatu dalam sebuah panteon kedewaan. Di antara
dewa-dewa ini ada Dewi Matahari. Nama Jepang untuk dewi ini adalah
Amaterasu omi-Kami, yang berarti “dewi langit yang agung dan bersinar”
atau Amaterasuhi-Rume “putri langit matahari bersinar” atau Amaterasumi-
Oya, “ibu langit yang agung dan bersinar”. Dewi ini memperoleh perhatian
yang paling banyak dari penganut Shinto karena dapat memberikan cahaya
kehidupan di bumi dan membantu proses penyuburan di bidang pertanian.
Meskipun demikian, ia bukanlah yang tertinggi, karena persoalan-persoalan
penting tidak ditentukan oleh dewi tersebut, melainkan oleh keputusan majlis
dewa. Pemikiran tentang dewa tertinggi tidak dikenal dalam Shinto. Bahkan,
antara dewa, manusia dan alam terdapat hubungan yang sangat dekat.
Ketiganya membentuk suatu segitiga hubungan yang setiap sudutnya saling
menentukan.8 Bahkan segala kewujudan yang menimbulkan perasaan segan
dianggap mengandung kekuasaan Ilahy. Berbagai gejala alam terutama
pohon-pohon, gunung-gunung dan gejala alam lainnya yang membangkitkan
rasa takut dijadikan objek pemujaan. Semuanya itu diberi nama Kami.9
7Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 7.
8Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 255.
9Djam’annuri, Agama Jepang, h. 20.
34
Dewi matahari sangat dihormati terutama karena diyakini sebagai
leluhur kaisar Jepang. Ia memiliki simbol berupa sebuah cermin, disebut
Yatakagami, yang berarti “cermin-tangan-delapan,” atau Higata no Kagami,
“cermin berbentuk matahari,” yang disimpan dalam sebuah kotak di jinja
utama Ise. Simbol tersebut dipuja sedemikian rupa, dan sering disebut dengan
“dewa ise yang agung.”10
Karena perhatian masyarakat Jepang kuno terhadap kesuburan tanah
dan hasil-hasilnya sangat besar, maka dewa-dewa yang ada hubungannya
dengan hasil produksi atau makanan menempati kedudukan yang sangat
penting setelah dewi matahari. Dewi Inari, misalnya, adalah satu di antara
dewa-dewa makanan, yang jumlahnya tidak sedikit. Hampir setiap desa dan
keluarga mempunyai tempat untuk memuja dewi Inari, yang dianggap pula
sebagai dewa yang memberikan kesuburan kepada lahan-lahan pertanian.11
Orang Jepang tidak pernah menyia-nyiakan makanan bahkan satu butir nasi
pun ia hormati dan tidak boleh disisakan, kesuburan tanah juga menjadi hal
penting sehingga masyarakat Jepang senantiasa menjaga kebersihan agar
tidak terjadi pencemaran air dan kerusakan tanah yang mengakibatkan hasil
produksi makanan menjadi buruk.
B. Peran Shinto Terhadap Lingkungan
Berbeda dengan agama lain seperti Islam dan Kristen yang memiliki
kitab suci dan Tuhan yang harus di sembah. Kepercayaan ini hanya
10
Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 255. 11
Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 255.
35
mengajarkan manusia untuk lebih menyatu dengan dunia, dengan alam, dan
lingkungan sekitar agar tercipta kehidupan yang harmonis. Ajaran Shinto
menjadi pedoman bagi orang Jepang dalam menjalankan kehidupan sehari-
harinya, bahkan dari sebelum diberi nama, Shinto sudah menjadi kultus
masyarakat Jepang sebagai kegiatan ritual sehari-hari sebagai bagian dari
hidup mereka.12
Peran Shinto di Jepang bukan hanya sebagai suatu kepercayaan,
namun juga sebagai panduan hidup yang selaras dengan alam. Sebagai
keyakinan yang dimiliki orang Jepang, Shinto telah mengakar dan menjadi
budaya dalam kehidupan sehari-hari, seperti hal nya dalam menjaga
lingkungan sekitar. Hampir tidak ada sampah yang berserakan di jalan atau di
sekitar lingkungan tempat tinggal.13
Motoori Norinaga berpendapat bahwa Shinto telah menjadi elemen
penting yang membawa pengaruh besar antara agama dan ritual yang diserap
oleh orang-orang Jepang ke dalam koeksistensi dan menjadi karakter bangsa
Jepang.14
Disamping menjaga lingkungan sekitar, masyarakat Jepang juga
sangat menghargai dan memanfaatkan dengan baik sumber daya alam yang
ada, seperti mengelola air dengan benar agar tidak tercemar, dan menebang
pohon seperlunya agar tidak terjadi bencana alam. Di Jepang, 71%
12
Paula R. Hartz, World Religions: Shinto (New York: Chelsea House, 2009), Cet.III, h.
10. 13
Syahbuddin Mangandaralam, Mengenal Dari Dekat Jepang, Negara Matahari Terbit
(Bandung: Remadja Karya CV Bandung, 1985), h. 9. 14
George J. Tanabe (Ed), Religion Of Japan In Practice (Princeton University Press,
1999), h. 453.
36
daratannya tertutup oleh pegunungan, lebih dari 532 di antara gunung-gunung
tersebut memiliki ketinggian di atas 2.000 meter, tidak kurang dari 67 buah
gunung api yang masih aktif, selain mengakibatkan munculnya bahaya-
bahaya, juga memberi manfaat. Diantaranya dengan banyaknya ditemui
sumber-sumber air panas diberbagai tempat. Mata air panas tersebut, di
samping dimanfaatkan untuk pengobatan, juga merupakan daya tarik bagi
para wisatawan, baik dalam negeri sendiri maupun wisatawan asing.15
Pemujaan gunung adalah salah satu pemujaan Shinto di zaman kuno,
banyak gunung Jepang yang dianggap sakral salah satunya yang paling
terkenal yaitu gunung fuji, namun saat ini kebanyakan mereka bukan lagi
sebagai obyek pemujaan khusus. Gunung tersebut tidak disembah sebagai
Kami, namun dianggap sebagai tempat suci yang layak untuk menyembah
Kami atau untuk melakukan perenungan rohani.16
Lingkungan juga berkaitan dengan keindahan alam, karena kecintaan
orang Jepang terhadap alam, tempat suci atau kuilnya selalu berkaitan dengan
keindahan alam. Peribadatan di kuil berhubungan erat dengan perasaan yang
tajam akan keindahan, rasa mistik alam yang memainkan peran penting dalam
memimpin pikiran manusia dari duniawi ke dunia Ilahi yang lebih tinggi dan
lebih dalam dan menjadikan sebuah pengalaman hidup. Tidak ada keindahan
buatan yang mampu menggantikan keindahan alam.17
Bagi orang Jepang, kuil
suci tempat beribadah tidak seperti tempat-tempat ibadah dalam agama lain
15
Syahbuddin Mangandaralam, Mengenal Dari Dekat Jepang, Negara Matahari Terbit, h.
10. 16
Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 100. 17
Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 97.
37
yang terletak di sekitar lingkungan tempat tinggal umatnya, kuil Shinto bisa
ditemukan di seluruh pelosok tempat terpencil, di puncak bukit, gunung,
bahkan di gua atau tengah hutan. Konsep pendirian kuil Shinto tidak hanya
untuk berdoa tetapi juga menunjukkan rasa hormat dan kecintaannya pada
apa yang di puja atau dikagumi, bisa Tuhan atau keindahan alam. Shinto
merupakan Jalan Kami yang artinya banyak jalan menuju Kami atau Tuhan,
jadi dimanapun manusia berada disitu terdapat Kami.
Keindahan alam dianggap sebagai elemen penting untuk tempat-
tempat suci. Meski terdapat juga beberapa kuil di kota, tidak mengubah fakta
fundamental yang idealnya tempat pemujaan harus berada di tempat yang
bisa membuat manusia mendekatkan diri dengan alam. Oleh karena itu, untuk
melakukan pemujaan di kuil, perlu mempertimbangkan lokasi yang berada di
tengah hutan, yang tidak terpengaruh oleh kota modern.18
Selain kuil, Pemujaan pohon juga sangat umum dilakukan di Shinto,
baik tempat suci yang ada di tengah hutan kecil pinggir jalan atau di dalam
batas-batas kota, atau desa yang ramai, pemuja akan menemukan adanya
pohon sebagai perantara pendekatannya kepada Kami. Hubungan erat antara
pohon dan tempat suci ini dapat dilihat dalam penggunaan kata kuno yang
berarti "hutan" (mori) untuk menunjuk sebuah tempat suci, dan kata yang
berarti "tempat tinggal Kami" (kannabi) untuk hutan sekitarnya.19
Gunung-
18
Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 97. 19
Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 98.
38
gunung yang lebat, seperti rumpun dan hutan, juga berperan penting dalam
menciptakan suasana bermartabat bagi tempat-tempat suci.20
Benda alam lainnya, seperti batu dan gua, juga dihormati sebagai
tempat tinggal Kami. Misalnya, gua di pulau Enoshima dekat Kamakura di
anggap sakral, disana memuja Kami dengan cara membungkuk. Gua suci
terbesar dan paling terkenal di Jepang ada di prefektur Miyazaki dimana
tempat suci kuil Udo berdiri di dalam gua tersebut. Objek pemujaan ditujukan
kepada Jimmu Tenno, kaisar pertama Jepang yang konon telah lahir di gua
ini. Tempat suci Suwa di prefektur Nagano memiliki batu karang sebagai
objek pemujaannya; Kuil Theukushima di prefektur Hiroshima memuja pulau
tersebut tempat Miya Jima berada; Dan kuil Kumano di prefektur Wakayama
didedikasikan untuk menyembah air terjun Nachi.21
Shinto telah lama dianggap sebagai elemen penting dalam agama
Jepang yang memberinya kekhasan dan individualitas. Pandangan umum
tentang Shinto biasanya mencakup asumsi berikut: Shinto mengandung
karakteristik yang jelas dari agama primitif, termasuk penyembahan alam dan
tabu terhadap kagare (kotoran), namun tidak memiliki sistem doktrin; hal
tersebut ada dalam bentuk beragam sebagai kepercayaan rakyat namun pada
saat yang sama memiliki ciri-ciri tertentu dari agama terorganisir, misalnya,
ritual dan intitusi seperti kuil; Ini juga memainkan peran penting dalam
mitologi kuno Jepang dan memberikan dasar bagi pemujaan leluhur dan
20
Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 99. 21
Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 101.
39
kaisar. Singkatnya, Shinto dipandang sebagai agama asli Jepang, berlanjut
dalam garis yang tidak terputus dari masa prasejarah hingga saat ini.22
Shinto pada dasarnya adalah agama syukur dan cinta23
. Oleh karena
itu, Shinto sangat berperan bagi kehidupan masyarakat Jepang dalam menjaga
kebersihan lingkungan dan pelestarian alam sekitar sebagaimana terlihat dari
cara penghormatan mereka terhadap sesuatu.
1. Perwujudan Dewa-Dewa Pada Setiap Makhluk
Dalam Shinto semua gelaja alam di anggap sebagai perwujudan
dewa-dewa. Semua benda baik yang hidup atau yang mati dianggap
memiliki ruh atau spirit bahkan kadang-kadang dianggap pula
berkemampuan untuk berbicara. Semua ruh atau spirit itu dianggap
memiliki daya-daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan
mereka.24
Dewa-dewa tersebut dikelompokkan menjadi; Dewa-Tanah, yaitu
dewa yang dianggap memiliki kekuasaan atas tanah, baik yang berupa
tanah-tanah pertanian ataupun tanah-tanah lainnya, dan biasanya dipuja
secara langsung. Ta-no-Kami yang berarti “dewa ladang-ladang padi”
adalah dewa yang memberikan perlindungan terhadap hasil panen padi.
Dewa tersebut turun dari gunung-gunung atau langit pada musim semi
dan berubah menjadi dewa ladang, dan kembali lagi ke tempatnya semula
pada musim gugur.
22
George J. Tanabe (Ed), Religion Of Japan In Practice, h. 452. 23
William George Aston, Shinto The Way of The God (New York: Longmans Green,
1905), h. 6. 24
Djam’annuri, Agama Jepang, h. 56.
40
Dewa Gunung, hampir setiap gunung dianggap sebagai dewa
yang disebut dengan Yama-no-Kami “dewa-dewa gunung”. Dewa
gunung terbagi menjadi dua macam, pertama adalah dewa yang
memerintah gunung-gunung; dan kedua, dewa gunung yang ada
hubungannya dengan tanah-tanah pertanian. Jenis pertama dipuja oleh
para pemburu, pembuat arang, dan para penebang pohon. Adapun jenis
yang kedua dipuja oleh para petani.
Dewa Laut, dewa laut disebut dengan Umi-no-Kami dan
memegang kekuasaan atas lautan. Dewa laut dipuja untuk memperoleh
keselamatan dalam pelayaran.
Dewa Air, dewa air disebut dengan Suijin dan dipuja di tempat-
tempat aliran irigasi, danau-danau, kolam-kolam, mata air, sumber air
minum dan sebagainya.
Dewa Api, di Jepang api itu sendiri sebenarnya tidak dipuja,
tetapi berbagai macam dewa yang memiliki kekuasaan atas api dipuja
dan disebut dengan Hino-Kami.
Dewa Pohon, pohon-pohon yang memiliki usia dan ukuran yang
luar biasa pada umumnya dijadikan objek pemujaan. Di antara dewa-
dewa pohon ini ialah Kukunochi yang berarti “ayah pohon”, dan dewa
yang menguasai rerumputan dan dedaunan yang dipergunakan untuk
obat-obatan yang disebut Kaya-no-Hime. Dewa-dewa ini dipuja sebelum
menebang pohon yang akan dipergunakan untuk mendirikan bangunan
atau ilalang yang dipergunakan untuk membuat atap.
41
Dewa Manusia, Di antara dewa-dewa Shinto yang jumlahnya tak
terbatas terdapat pula dewa-dewa yang semula adalah manusia. Alasan
utama mengapa manusia juga didewakan adalah karena, dalam
pandangan agama shinto, jiwa (mi-tama) manusia yang sudah mati dan
dipuja itu akan dapat meningkat menjadi Kami. Arwah para raja dan para
anggota keluarganya, arwah para pahlawan bangsa, dan arwah orang-
orang yang dianggap telah berjasa untuk kepentingan negara dan bangsa,
semuanya dianggap sebagai Kami.25
2. Menjaga Lingkungan Sama Dengan Menghormati Tuhan
Berbeda dengan agama-agama monoteistik, Shinto tidak
menekankan pada kepercayaan terhadap adanya satu Tuhan yang mutlak
dan tidak pula menerapkan perbedaan antara dewa dan manusia. Bagi
kepercayaan tersebut, manusia, dewa dan alam membentuk suatu segitiga
yang saling berhubungan secara harmonis.26
Jika ketiganya bisa saling
menghormati dan berhubungan baik maka akan menciptakan kehidupan
yang sejahtera. Shinto mempercayai bahwa Kami memancarkan spirit
pada setiap makhluk sehingga orang Jepang berlomba untuk menjaga
kebersihan lingkungan dan keberlangsungan hidup makhluk lainnya serta
menciptakan harmonisasi sebagai tanda rasa hormat dan segan terhadap
Kami tersebut. Bagi Shinto alam merupakan sesuatu yang disucikan,
untuk dapat berhubungan dengan alam maka manusia harus dapat
25
Djam’annuri, Agama Jepang, h. 59-60. 26
Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015),
h. 307.
42
berdekatan dengan Tuhan, itulah sebabnya objek alam dipuja sebagai roh
suci.
Ise Teijo (1714-1784) dan Amano Nobukage (1660-1733)
mengatakan bahwa Shinto merupakan sebuah cara untuk melayani Kami
dari langit dan bumi. Sedangkan ulama Confucian-Shinto
menganggapnya sebagai jalan sehari-hari atau jalan yang benar yang
harus diikuti oleh semua manusia.27
Dalam mitologi Jepang, dewa Izanagi dan Izanami yang sangat
dihormati, turun dari alam kayangan, menciptakan langit dan bumi,
kemudian kepulauan yang indah dan cantik di lautan, beserta ragam
tumbuh-tumbuhan dan ragam makhluk untuk hidup di dalamnya.
Kemudian Izanagi dan Izanami naik kembali ke dalam kayangan dan
pasangan itu melahirkan seorang puteri, yaitu Amaterasu Omi Kami, dan
dua putera yaitu Tsuki Yomi dan Ssusa no Wo. Majlis para Dewa yang
dihadiri oleh para murid memutuskan dan mengangkat Amaterasu Omi
Kami (Dewi Matahari) untuk menguasai Langit pada siang hari (Kojiki,
43; Nihonji, 1:32); dan mengangkat Tsuki Yomi (Dewa Bulan) untuk
menguasai Langit pada malam hari (Kojiki, 43-44); Nihonji, 1:32); dan
mengangkat Ssusa no Wo (Dewa Topan) untuk menguasai angin ribut.
Perkawinan Amaterasu Omi Kami dengan Tsuki Yomi, (Nihonji,
1:19) melahirkan putera bernama Jimmu Teno, dan sidang majlis para
dewa dalam alam kayangan memutuskan mengangkatnya untuk
27
Stuart, D.B. Picken, Essentials of Shinto (USA: Greenwood Press, 1994), h. xxiv.
43
menguasai Bumi dengan berdiam pada kepulauan yang indah dan cantik,
(Kojiki, 106-107) dan ia pun turun pada puncak gunung Takachi di
Tsukushi, (Kojiki, 5:111-112; Nihonji, 1:78-79).
Dari kutipan ayat tersebut, orang Jepang senantiasa menjalankan
kehidupannya untuk menghormati dewa-dewa atau Kami pada setiap
benda baik bernyawa maupun tidak dengan selalu menjaga bumi Jepang
yang telah diwariskan kepada Jimmu Tenno, menghargai setiap makhluk,
tidak merusak tumbuhan, menyakiti hewan, mengeksploitasi hutan secara
masiv demi kepuasan pribadi, serta selalu menjaga kebersihan
lingkungan tempat tinggal sebagai upaya yang paling sederhana.
Dari sikap cinta terhadap lingkungan, rakyat Jepang melakukannya
sebagai upaya perilaku religius dengan melakukan apapun yang
menyenangkan kekuatan superior, dan menahan diri dari tindakan yang
dianggap menyinggung perasaan mereka.28
Oleh sebab itu, manusia
dengan keimanannya dan rasa hormat kepada Kami harus dapat
berinteraksi secara seimbang dan harmonis dengan alam semesta dan
lingkungan sekitarnya.
Sebagai paham politeistik yang benar-benar murni, yang
didasarkan pada pemujaan terhadap personifikasi gejala-gejala dan
benda-benda alam. Orang Jepang menghormati Kami dikarenakan
adanya garis kesinambungan antara Kami dan manusia, yang
diungkapkan melalui istilah oyaka. Maksud istilah ini ialah, bahwa antara
28
William George Aston, Shinto The Way of The God, h. 5.
44
Kami dan manusia terjalin suatu hubungan seperti hubungan antara
orangtua dan anak, atau antara nenekmoyang dan keturunannya. Dengan
demikian “manusia adalah putra Kami.” Ungkapan ini memiliki dua
macam arti; pertama, hidup manusia berasal dari Kami, sehingga
dianggap suci; dan kedua, kehidupan sehari-hari adalah pemberian dari
Kami, oleh karena itu, kehidupan selayaknya harus dihormati dan
dihargai. Manusia sering pula disebut dengan hito, yang berarti “tempat
tinggal spirit”, dan dalam bahasa Jepang kuno, disebut aohito-gusa,
“manusia-rumput hijau”, karena diibaratkan dengan rumput hijau yang
tumbuh subur. Selain itu, manusia dapat disebut pula ame no masu-jito,
“manusia langit yang berkembang”, yang maksudnya adalah makhluk
suci yang memiliki kemampuan tidak terbatas. Setiap pemeluk Shinto,
idealnya wajib menyadari bahwa ia memiliki asal-usul yang suci, jiwa
yang suci, jasmani yang suci, dan tugas yang suci, dan harus hidup
bekerjasama untuk membangun sebuah dunia yang sejahtera.29
Dunia Shinto mencakup semua hal, baik manusia, binatang,
gunung, sungai, tumbuh-tumbuhan dan pepohonan muncul berdasarkan
keberadaan Kami, dan berkat keberadaan Kami tersebut, makhluk-
makhluk yang ada di bumi harus berkontribusi pada kesejahteraan dunia
karena hal itu dipenuhi dengan berkah dari Kami dan dapat berkembang
melalui kekuatan harmoni dan kerjasama.30
Antara manusia dengan alam
merupakan makhluk yang saling membutuhkan dan saling bekerjasama
29
Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 256. 30
Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 103.
45
menciptakan kedamaian di dunia, alam memberikan kebutuhan hidup
untuk manusia, maka manusia harus bersikap bijak dalam
memperlakukan alam.
Di Jepang, meski kita hampir tidak menemukan orang yang
mengatakan “agama saya Shinto” atau “agama orang itu adalah Shinto”.
Artinya, tidak ada kesan bahwa orang Jepang adalah penganut agama
Shinto. Tetapi banyak dari mereka yang lebih mempercayai Tuhan
sebagai bentuk penghormatan. Orang Jepang sejak dahulu kala takut
pada gunung, hutan, danau, batu, dan pohon yang dianggap sebagai hal
yang suci, dan jika ada hal baik yang terjadi, mereka akan berterima
kasih pada benda-benda itu. Jepang juga banyak terkena gempa bumi,
topan, dan gunung berapi. Mereka sadar bahwa ada kekuatan yang lebih
besar daripada manusia, karena itu setiap komponen alam jadi terlihat
sebagai Tuhan/dewa.31
Dan sejak dahulu kala, orang Jepang (Shinto)
takut akan kemarahan alam, maka mereka selalu menjaga kelestarian
alam yang sudah ada.32
Ajaran Shinto menjadi cara pikir yang umum,
dan menjadi adat istiadat, yang disebarkan lewat pergaulan ataupun
ajaran orangtua. Dalam pemikiran Shinto, manusia dan kehidupan harus
berjalan beriringan.33
Menurut penganut Shinto, alam semesta secara bertahap diciptakan
melalui pekerjaan Kami dan persatuan di antara mereka, dan mereka
31
Yusuke Shindo, Mengenal Jepang, h. 154. 32
Yusuke Shindo, Mengenal Jepang, h. 155. 33
Yusuke Shindo, Mengenal Jepang, h. 156.
46
meyakini bahwa semua unsur-unsur alam seperti batu, sungai, binatang,
pohon, bahkan manusia sekalipun dianugerahi aura keIlahian.34
Orang
Jepang beranggapan bahwa Tuhan/dewa ada di mana-mana dan dalam
“benda” apapun. Di dalam rumah juga ada. Di dapur ada dewa dapur,
bahkan di toilet juga ada Tuhan yang disebut Tuhan toilet.35
Jika
melakukan hal yang buruk, karena Tuhan selalu memperhatikan, orang
Jepang selalu merasa yakin bahwa akan menerima hukuman.36
Karena rakyat Jepang hidup dalam lingkungan alam berupa
kepulauan dan pegunungan yang masing-masing tidak menunjukkan
kekuatan di satu pihak, tetapi juga keindahan di lain pihak, maka rakyat
Jepang dibawa kepada keharusan untuk memperhatikan harmoni dalam
kehidupan. Harmoni disini tidak terbatas antara sesama manusia, tetapi
juga harmoni dengan alam sekelilingnya. Sebab itu, sekalipun dibelakang
tiap-tiap benda alam, seperti batu, gunung dan lain-lain kelihatannya ada
kekuatan yang diberi nama “Kami” atau dewa, tetapi rakyat Jepang
merasa bahwa dengan mempersatukan diri dengan kekuatan tersebut,
kehidupan akan selamat dari kekuatan itu.37
Bagi Shinto, alam merupakan suatu yang disucikan. Untuk dapat
berhubungan dengan alam maka manusia harus dapat berdekatan dengan
34
Stuart, D.B. Picken, Essentials of Shinto, h. 61. 35
Yusuke Shindo, Mengenal Jepang, h. 159. 36
Yusuke Shindo, Mengenal Jepang, h. 161. 37
Sayidiman Suryohadiprojo, Belajar Dari Jepang: Manusia dan Masyarakat Jepang
Dalam Perjuangan Hidup, h. 207.
47
Tuhan. Itulah sebabnya, objek alam dipuja sebagai roh suci.38
Manusia
bergantung pada keberadaannya yang terus berlanjut baik pada alam dan
masyarakat. Sebagai makhluk social, manusia tidak bisa hidup dalam
isolasi. Manusia berutang terima kasih kepada Kami dan nenek
moyangnya atas hidupnya, dan untuk cinta mereka yang menyeluruh.
Hidupnya penuh berkat dan karenanya dia harus menerima kewajibannya
kepada masyarakat dan berkontribusi pada perkembangan semua hal
yang dipercayakan kepadanya.39
Penghormatan terhadap Kami juga dilakukan dengan cara matsuri
atau festival keagamaan. Jumlah matsuri sangat banyak, secara garis
besar dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: festival musim semi (haru-
matsuri), yaitu saat-saat menikmati keindahan bunga sakura yang
bermekaran, tujuannya adalah untuk memohon rahmat dewa agar diberi
panen yang melimpah; festival musim gugur (aki-matsuri), sebagai
pernyataan terimakasih kepada dewa atas hasil panen yang diperoleh;
festival tahunan (reisai) yang diselenggarakan pada bulan-bulan tertentu;
dan festival arak-arakan dewa (shinko-shiki) yaitu untuk memuja dewa
tertentu agar memperoleh keselamatan dari berbagai macam penyakit.40
Setelah selesai melaksanakan upacara keagamaan, orang Jepang
langsung membersihkan sisa-sisa sampah yang berserakan, karena tidak
38
Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia, h. 341. 39
Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 103. 40
Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 259.
48
etis bagi mereka setelah meminta rahmat kepada dewa kemudian
meninggalkan tempat tersebut dalam keadaan kotor.
C. Menjalani Kehidupan di Dunia Dengan Sebaik-baiknya
Bagi pemeluk Shinto, tujuan utama adalah kebahagiaan dalam
kehidupan dunia. Selain itu, mereka percaya bahwa orang yang sudah
meninggal dapat membantu mereka dalam menjalankan hidup ini dari abad
ke abad.41
Menurut pandangan seorang ahli Shinto, agama Shinto termasuk tipe
agama “lahir satu kali”, dalam arti memandang dunia ini sebagai satu-satunya
tempat kehidupan bagi manusia. Meski demikian, dalam pemikiran Shinto
ada tiga macam dunia, yaitu:
1. Takamano-hara, berarti “tanah langit yang tinggi”, yaitu dunia suci yang
menjadi tempat tinggal para dewa langit.
2. Yomino-kuni, yakni tempat orang-orang yang sudah meninggal dunia,
yang dibayangkan sebagai dunia yang gelap, kotor, jelek dan
menyengsarakan.
3. Tokoyono-kuni “kehidupan yang abadi”, “negeri yang jauh di seberang
lautan”, atau “kegelapan yang abadi”, yaitu sebuah dunia yang dianggap
penuh dengan kenikmatan dan kedamaian, tempat tinggal arwah orang-
orang yang meninggal dunia dalam keadaan suci.
41
Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia, h. 312.
49
Ketiga dunia tersebut sering pula disebut dengan Kakuriyo, yang
berarti dunia yang tersembunyi, sementara dunia tempat tinggal manusia
hidup disebut Utsushio, yang berarti dunia yang terlihat atau dunia yang
terbuka.42
Dalam mite disebutkan bahwa, ketika penciptaan sedang
berlangsung, unsur-unsur alam yang halus dan ringan berubah menjadi langit,
dan unsur-unsur yang berat dan kasar menjadi bumi. Di samping itu, langit
dianggap suci. Oleh karena itu, Takamano-Hara dianggap sebagai sebuah
dunia yang suci dan cemerlang yang segala sesuatunya lebih baik daripada
dunia ini, dan menjadi tempat tinggal para dewa langit. Bertitik tolak dari
pemikiran mitologis semacam ini, maka bangsa Jepang percaya bahwa para
dewa turun dari langit untuk menciptakan kesejahteraan dan kedamaian di
atas bumi ini. Akan tetapi, dikatakan pula bahwa hal tersebut bukan berarti
bahwa dunia langit secara esensial berbeda dari dunia bumi, tetapi dunia
langit hanya merupakan sebuah dunia yang lebih baik dari dunia manusia
ini.43
Menurut Motoori Norinaga, dalam mite terdapat ketentuan dari Dewi
Matahari mengenai suatu keabadian sejarah. Norinaga juga mengatakan
bahwa dunia manusia ini akan senantiasa tumbuh dan berkembang serta
berubah terus-menerus. Oleh sebab itu, Shinto tidak memiliki ajaran tentang
hidup di hari kemudian, atau hidup setelah mati, meskipun percaya tentang
adanya suatu dunia yang penuh kenikmatan dan kedamaian tempat tinggal
arwah orang-orang yang hidupnya suci. Agama tersebut lebih menekankan
42
Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 258. 43
Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 258.
50
pada pandangan yang lebih berorientasi kekinian dan keduniaan, apalagi
dunia dianggap sebagai tempat tinggal manusia yang tidak akan pernah
musnah. Berdasarkan pandangan semacam ini, maka saat-saat kehidupan
manusia sekarang ini merupakan saat-saat yang penuh dengan nilai. Setiap
pemeluk Shinto diharuskan untuk berperan aktif secara langsung dalam
perkembangan dunia yang abadi itu, dan harus memanfaatkan setiap saat
dalam kehidupannya semaksimal mungkin. Mental seperti ini, merupakan
salah satu faktor yang telah membawa bangsa Jepang menuju tingkat
kesejahteraan dan kemakmuran hidup di dunia.44
Dalam Shinto kuno, gagasan tentang dunia lain diungkapkan oleh
konsep seperti dataran tinggi surga (takama-ga-hara), tempat tinggal Kami
yang paling mulia, negara yang berlimpah, hidup yang kekal (tokoyo-no-kuni
), dan dunia hantu, roh jahat (magatsuhi) dan polusi, yaitu dunia kegelapan
(yomi-no-kuni). Konsep metafisik semacam itu tidak secara langsung
berhubungan dengan manusia, untuk memandang roh dunia lain dianggap
tabu. Alih-alih mengembangkan penjelasan teoretis tentang dunia yang tak
terlihat, tempat suci didirikan sebagai tempat dimana Kami dapat diundang
dan manusia dapat merasakan kehadirannya.45
Dunia di mana kita hidup ini berkembang dari kekacauan ke
ketertiban, dari kebingungan kontradiksi dengan keadaan harmonis dan
kesatuan. Sehingga dalam masyarakat yang menciptakan tatanan baik akan
berkembang sebagai hasil gotong royong dan kerja sama. Shinto percaya
44
Djam’annuri, Agama-Agama di Dunia, h. 258. 45
Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 102.
51
bahwa dunia ini menjanjikan pengembangan kekuatan hidup yang tak
terbatas.46
46
Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 102.
52
BAB IV
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PEDULI LINGKUNGAN
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JEPANG
A. Gaya Hidup Masyarakat Jepang Dalam Upaya Menjaga Lingkungan
Jepang merupakan salah satu negara terbersih di dunia. Perilaku
kebiasaan orang Jepang dalam menjaga kebersihan lingkungan di dasarkan
atas beberapa alasan:
Pertama, tidak adanya tempat sampah di area publik. Dengan tidak
adanya tempat sampah di area publik bukan berarti mereka membuang
sampah di sembarang tempat, melainkan menyimpannya dan membawanya
ke tempat sampah terdekat atau membawanya pulang. Di Jepang, anak-anak
di didik dari kecil untuk bertanggung jawab akan sampahnya. Membuang
sampah di tempat sampah adalah perilaku yang baik, tetapi membawa sampah
saat tidak ada tempat sampah akan jauh lebih baik.
Kedua, disetiap kursi pada bus untuk rute-rute jauh di Jepang selalu
disediakan kantong plastik kecil untuk menyimpan botol bekas minuman dan
dibawa untuk dibuang ke tempat sampah agar tidak sembarangan
meninggalkannya di pojok kursi.
Ketiga, lingkungan sekitar bukan hanya tanggung jawab petugas
kebersihan kota melainkan menjadi tanggung jawab masing-masing penghuni
rumah, gedung, perkantoran dan sebagainya.
53
Keempat, membedakan jenis sampah. Setiap rumah di Jepang
diharuskan membedakan jenis sampah mereka, mana sampah yang bisa di
daur ulang dan yang tidak bisa.
Kelima, lembaga kebersihan membantu kesadaran masyarakat akan
sampah. Greenbird adalah sebuah organisasi yang menyebar di seluruh
prefektur di Jepang, bertugas untuk mengajak warga menjaga kebersihan di
area publik seperti di stasiun kereta api. Petugas ini juga membersihkan
sampah di area-area yang tersembunyi dari pandangan mata, seperti misalnya
puntung rokok di semak-semak, kertas-kertas kecil yang berserakan, dimana
orang-orang dengan sengaja menyembunyikannya agar tidak terlihat.
Keenam, kebersihan dan kerapian area transportasi umum adalah
keharusan.
Ketujuh, kebersihan jalan raya, setiap alat transportasi di Jepang terlihat
sangat bersih, termasuk truk pengangkut sampah. Petugas kebersihan akan
bergantian mencuci truk mereka setelah bertugas agar tidak mengotori
jalanan.
Kedelapan, komunitas kebersihan, ketika seseorang hidup
bermasyarakat di Jepang, maka ia diharuskan masuk ke komunitas kebersihan
yang ada di lingkungan masyarakat. Seperti gotong royong di lingkungan RW
di Indonesia, berkumpul sepekan sekali untuk membersihkan lingkungan
sekitar.1
1Annonym, 8 Reasons Japan Is So Clean: The Wa Of Cleanliness,
http://en.rocketnews24.com/2016/09/19/8-reasons-japan-is-so-clean-the-wa-of-cleanliness/, di
akses pada 08/07/2017, pukul 18.55 WIB.
54
Kondisi lingkungan yang bersih membuat Jepang menyandang gelar
sebagai negara dengan tingkat kebersihan terbaik di dunia. Gelar ini tidak
serta merta Jepang dapatkan dengan singkat, mengingat Jepang juga pernah
berada pada posisi seperti Indonesia yang kotor dan kumuh di beberapa
kotanya.
Warga Jepang sangat menghargai kebersihan sebagaimana yang telah
diajarkan salah satu agama mayoritas di Jepang, yaitu Shinto. Ajaran Shinto
beranggapan bahwa kebersihan adalah cara untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan, sehingga mereka penganut Shinto berlomba-lomba menjaga
kebersihan dan menjadikan hal tersebut sebagai budaya untuk mendekatkan
diri pada Tuhan.
Hal lain, selain faktor ajaran Shinto, kebersihan di Jepang juga
merupakan kesadaran masing-masing masyarakatnya yang diperoleh dari
didikan sejak kecil untuk berbudaya bersih dan memikirkan kenyamanan
orang lain. Hal ini lambat laun menjadi kepribadian yang mengakar kuat dan
cermin masyarakat Jepang di mata dunia sebagai negara dengan tingkat
kebersihan paling baik.
Budaya bersih masyarakat Jepang sudah mendarah daging sehingga
sulit dihilangkan karena masing-masing individu telah menyadari betapa
pentingnya kebersihan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.2 Hal tersebut
juga menjadi cara berkomunikasi dengan Kami secara langsung tanpa
membentuk ide Kami secara konseptual atau teologis, karena mereka sendiri
2Ajeng Endah Adriana, Budaya Bersih di Jepang, http://www.denpasar.id.emb-
japan.go.jp/indonesia/.konnichiwa%2014/.konnichiwa14_041.html, di akses pada 08/07/2017
pukul 19.15 WIB.
55
tidak memiliki gagasan yang jelas mengenai Kami. Mereka hanya menyadari
secara intuitif tentang Kami ke dalam kesadaran mereka.3
Orang Jepang memiliki pola perilaku, pola pikir dan sikap mental yang
baik. Pola perilaku merupakan perilaku yang sudah tersusun atau terpola yang
dilakukan berulang kali. Demikian juga pola pikir atau mindset merupakan
cara berpikir yang sudah tersusun atau terpola akibat perilaku yang sudah
dilakukan berulang kali. Sedangkan sikap mental adalah cara
mengomunikasikan atau mengekspresikan suasana hati atau watak kepada
orang lain. Apabila hal tersebut dilakukan berulang kali oleh seseorang, akan
menjadi kebiasaan orang tersebut. Namun, bila kebiasaan tersebut dilakukan
oleh sebagian besar orang atau kelompok akan menjadi suatu budaya.4 Inilah
yang dimiliki orang Jepang, disiplin pribadi, atau sikap mental mereka dalam
menjalankan kehidupan pribadi maupun sosial sudah menjadi budaya, semua
itu dilakukan tanpa paksaan, hukuman atau teguran, tetapi dengan kesadaran
diri.
B. Manfaat Mengaplikasikan Ajaran Shinto Tentang Menjaga Lingkungan
Manusia seringkali mengabaikan peran penting kebersihan serta tidak
peduli terhadap hak makhluk hidup lainnya. Masyarakat Jepang melestarikan
budaya bersih tidak hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap Kami yang
ada di tempat-tempat sekitar, tetapi juga demi menjaga kesehatan dan
kelangsungan hidup manusia.
3Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 8.
4Artomo apt. MBA, Halaman Hijau: Cara Bijak dan Cerdas Mengelola Lingkungan dari
Rumah (Jakarta: AgroMedia Pustaka, 2015), h. 1.
56
Shinto mengajarkan tentang keharmonisasian antara manusia dengan
alam dan lingkungannya, sehingga dengan mengaplikasikan ajaran-ajaran
Shinto khususnya mengenai kepedulian lingkungan, masyarakat Jepang bisa
berkontribusi dalam mengatasi krisis lingkungan yang di alami oleh berbagai
belahan dunia.
Ada beberapa manfaat yang bisa dilihat dari keberhasilan orang Jepang
dalam upaya mencegah pencemaran lingkungan yang dilakukan berdasarkan
latar belakang ajaran Shinto. Seperti, dalam menangani pencemaran air, yang
disebabkan oleh masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas
air turun sampai ke tingkat tertentu, yang menyebabkan air tidak berfungsi
lagi sesuai dengan peruntukannya.5
Pencemaran air merupakan sebuah krisis lingkungan hidup global yang
sangat serius. Pencemaran air ini terjadi baik karena pembuangan limbah,
termasuk limbah yang masuk kategori limbah berbahaya dan beracun (B3),
maupun karena erosi dan pendangkalan sungai dan danau yang terjadi akibat
kerusakan hutan.6
Di Jepang, khususnya area Meiho, sembilan puluh lima persen masih
terdiri dari hutan dan pertanian. Di daerah pertanian dan pegunungan tentu
saja air berperan besar. Namun yang menarik adalah kesadaran masyarakat
dalam mengelola air. Mengelola air tidak hanya sekedar memanfaatkan, tetapi
juga memikirkan lingkungan agar air tidak tercemar, merencanakan fasilitas
5Karden Eddy Sontang Manik, Pengelolaan Lingkungan Hidup, h. 145.
6Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global (Yogyakarta: Kanisius,
2010), h. 40.
57
bagi publik agar bisa mendapatkan air dengan mudah. Selain itu juga
membangun kesadaran masyarakat bahwa air perlu dikelola dengan baik dan
dimanfaatkan dengan benar untuk kehidupan manusia. Semua ini akan
bermuara pada kesadaran bahwa kehidupan manusia tidak bisa lepas dari
alam. Kebudayaan Jepang tumbuh dari agama yang mentradisi serta
kesadaran untuk hidup selaras dengan alam. Kesadaran masyarakat terhadap
alam, hubungan sosial dan semua kehidupan sehari-hari mereka merupakan
cerminan moral yang telah mentradisi.7
Dengan tidak memperhatikan masalah air dan tidak menggunakannya
secara bijak, maka akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Air
adalah sumber kehidupan baik untuk minum maupun untuk aktivitas
produktif pertanian dan industri dan juga untuk kepentingan sanitasi dan
kesehatan. Tanpa air tidak akan ada kehidupan, sebagaimana Bank Dunia
memperkirakan pada tahun 2025 dua pertiga penduduk dunia akan kesulitan
memperoleh air bersih dan air minum.8 Hilangnya sumber mata air ini terjadi
terutama karena kerusakan hutan sebagai tempat penyimpanan air.
Sanitasi dan perilaku kebersihan yang buruk serta air minum yang tidak
aman berkonstribusi terhadap 88 persen kematian anak akibat diare di seluruh
dunia. Bagi anak-anak yang masih bertahan hidup dengan minimnya air
bersih, sering menderita diare yang berkonstribusi terhadap masalah gizi,
sehingga manghalangi anak-anak untuk mencapai potensi maksimal mereka.
Kondisi ini selanjutnya menimbulkan implikasi serius terhadap kualitas
7FX Harsono, Image Jepang: Jepang di Mata Orang Indoneisa ( Jakarta: The Japan
Foundation, 2005), h. 119. 8Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, h. 49.
58
sumber daya manusia dan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang
akan datang.
Di Indonesia, diare masih merupakan penyebab utama kematian anak
berusia di bawah lima tahun. Laporan Riskesdas 2007 menunjukkan diare
sebagai penyebab 31 persen penyebab kematian anak usia antara 1 bulan
hingga satu tahun, dan 25 persen kematian anak usia antara satu sampai
empat tahun.9
Krisis air pada gilirannya juga akan bermuara pada krisis pangan. Ini
terjadi karena semakin banyak areal pertanian yang tidak mendapat pasokan
air yang memadai. Dan ini pun akan memicu konflik baik di antara para
petani, petani dan peternak, maupun di antara petani dan dunia industri yang
sama-sama membutuhkan air untuk kegiatan produktifnya.10
Krisis air baik karena kekurangan sumber mata air, pencemaran,
kekeringan, dan banjir diprediksi akan menjadi salah satu sumber pertikaian
dan konflik sosial di masa yang akan datang, bukan hanya di antara satu
kelompok masyarakat setempat dengan kelompok masyarakat setempat
lainnya, melainkan juga di antara satu negara dengan negara lainnya.11
Setelah masalah pencemaran air, pencemaran udara juga menjadi krisis
lingkungan yang tidak kalah penting. Pencemaran udara terjadi baik dari
sumber tidak bergerak maupun dari sumber bergerak. Sumber tidak bergerak
terutama berasal dari aktivitas industri, kebakaran hutan dan sampah.
9UNICEF Indonesia, Air Bersih, Sanitasi & Kebersihan,
https://www.unicef.org/indonesia/id/A8_-_B_Ringkasan_Kajian_Air_Bersih.pdf, di akses pada
09/07/2017, pukul 13.14 WIB. 10
Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, h. 51. 11
Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, h. 50.
59
Sedangkan sumber bergerak terutama berasal dari pencemaran udara yang
dihasilkan oleh berbagai moda transportasi, khususnya kendaraan pribadi
yang menggunakan sumber energi berbahan bakar fosil. Pencemaran udara
ini mengakibatkan berbagai jenis penyakit yang kronis, seperti infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA), asma, penurunan IQ dan gangguan saraf, serta
impotensi.12
Dari masalah tersebut, kita dapat mengambil contoh dari kebiasaan
orang Jepang yang tidak sembarangan menebang pohon dan membakar hutan,
tidak sembarangan membuang sampah hingga menumpuk yang bisa
menimbulkan bau tak sedap, juga kebiasaan mereka yang lebih senang
menggunakan transportasi umum daripada membawa kendaraan pribadi, hal
tersebut tentunya dapat meminimalisir terjadinya polusi udara yang
disebabkan oleh perilaku manusia.
Jika udara tercemar dan air tercemar atau langka, ini sudah menjadi
persoalan terancamnya kehidupan. Udara dan air adalah hal vital bagi
kehidupan yang sekaligus merupakan simbol kehidupan. Apabila air dan
udara tercemar berarti kehidupan telah terancam. Bisa dikatakan bahwa krisis
lingkungan hidup merupakan krisis kehidupan. Ini soal to be or not to be.
Soal Hidup atau mati. Ini soal bagaimana kita harus bertindak nyata untuk
menyelamatkan kehidupan bersama atau kita musnah bersama ditelan banjir,
12
Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, h. 38.
60
longsor, terserang penyakit aneh atau mati terpanggang kepanasan dan
kelaparan karena gagal panen atau diterjang badai.13
Segala upaya dilakukan manusia untuk menjaga lingkungan dan alam
sekitarnya agar mendapatkan keselamatan di dunia. Bagi Shinto, dunia Tuhan
(Kami) tidak melampaui dunia manusia, dan manusia tidak perlu berusaha
memasuki dunia Ilahi yang transendental untuk mencapai keselamatan, cukup
mencari keselamatan dengan membawa Kami ke dunia manusia, memasuki
kehidupan sehari-hari seperti di rumah, pasar, dan kerja sama manusia.
Manusia dapat memperoleh keselamatan dengan senantiasa menghadirkan
Kami dalam hidupnya dan menciptakan dunia yang harmonis.14
Shinto memang memiliki sesuatu yang penting untuk berkontribusi
pada pemahaman manusia modern tentang dirinya dan tempatnya di alam
semesta. Dalam dialog dengan sains dan agama-agama lain dan dalam
menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh mesin dan urbanisasi, Shinto
juga harus didengar. Di dunia modern manusia bisa belajar apa saja yang bisa
dia lakukan serta menggabungkan keterampilan pikiran dan tangannya
dengan kekuatan mesin. Dia bisa mengubah dunianya untuk kebaikan
bersama atau untuk kehancuran total.15
Berbeda dengan masyarakat tradisional yang berkeyakinan bahwa pada
kenyataannya manusia selalu tunduk, dikuasai dan dibelenggu oleh kekuasaan
dan kekuatan lingkungan. Oleh sebab itu, kalaupun masyarakat tradisional
mendayagunakan lingkungan, mereka tetap menjaga harmoni dengan
13
Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, h. 74. 14
Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, h. 107. 15
Floyd Hiatt Ross, Shinto The Way of Japan, (Boston Beacon Press, 1965), h. 166.
61
lingkungannya. Sehingga masyarakat tradisional cenderung bersahabat
bahkan sangat hormat terhadap lingkungan dengan selalu menjaga
keselarasan dan hidup berkeseimbangan dengan lingkungan. Sedangkan yang
terjadi saat ini, masyarakat modern yang berbasis iptek berkeyakinan bahwa
jika manusia ingin maju dan sejahtera, mereka harus mampu membebaskan
dirinya dari keyakinan tradisional yakni tunduk dan dikuasai oleh alam. Alam
harus dikuasai dan ditaklukkan guna memenuhi kebutuhan dan kebahagiaan
serta kesejahteraan manusia.16
Tantangan paling penting yang dihadapi manusia saat ini adalah tugas
menggabungkan nilai-nilai masa lalu yang layak diselamatkan dengan
pengetahuan dan teknik baru sedemikian rupa untuk meningkatkan semangat
manusia. Dalam menghadapi masalah ini, Shinto tentu saja berada dalam
posisi yang penting.17
Shinto mungkin bisa memberikan sesuatu yang korektif
dengan perasaan yang harmoni dan kesatuan yang penting dengan kosmos,
fokusnya bisa mengajarkan agar hidup harmonis dengan alam.18
C. Masa Depan Ajaran Shinto di Jepang
Jepang adalah sebuah negara dimana semua serba maju dari segi
ekonomi, politik, pendidikan, terknologi, parawisata dan negara yang sangat
menjaga ekologi lingkungan. Namun semua itu tidak serta merta
meninggalkan agama dan menganggap bahwa agama adalah sesuatu yang
irasional dan kuno justru Shinto berada dibalik semua kegiatan masyarakat
16
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, h. 32. 17
Floyd Hiatt Ross, Shinto The Way of Japan, h. 166-167. 18
Floyd Hiatt Ross, Shinto The Way of Japan, h. 170.
62
Jepang. Hal ini menjadi sebuah keunikan tersendiri bagi negara maju dan
memiliki religiousitas yang tinggi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap kepercayaan tradisional
dan tempat agama rakyat dalam kehidupan masyarakat Jepang modern yang
termuat dalam laporan hasil penelitian yang diberi judul Nihonjin-no-
kokuminsei (Sifat Nasional Jepang), maka pemujaan terhadap arwah
nenekmoyang menempati kedudukan utama dalam kehidupan rakyat Jepang.
Menurut laporan tersebut, 77% di antara 2.254 orang yang diteliti yang
tersebar di seluruh penjuru negeri Jepang menyatakan bahwa mereka sangat
menghormati para leluhur mereka, 15% di antaranya sedikit menghormati,
5% merasa tidak perduli, 2% memberikan jawaban tidak tahu, dan sisanya
mengemukakan jawaban yang lain. Juga menurut laporan hasil sebuah
penelitian yang berjudul Seikatsu Kanshu to Meishin (Takhayul dan
Kebiasaan Hidup Sehari-hari) yang disusun oleh Lembaga Penelitian
Takhayul pada Kementerian Pendidikan pada tahun 1950, 42,56% di antara
orang-orang yang diteliti memberikan jawaban bahwa mereka percaya
sepenuhnya akan hidupnya arwah orang-orang yang telah meninggal dunia.
Dari kedua hasil penelitian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa secara
kwantitatif pemujaan nenekmoyang tetap berakar kuat dalam kehidupan
masyarakat Jepang hari ini.19
Jepang adalah suatu bangsa yang sangat disiplin terhadap janji atau
sumpah, maka kesetiaan terhadap agama, negara, kaisar dan tradisinya
19
Djam’annuri, Agama Jepang, h. 134.
63
merupakan suatu kewajiban yang suci bagi mereka. Seorang ahli sejarah
Jepang, D.C. Holten menyatakan bahwa orang-orang Jepang dilahirkan dalam
ajaran Shinto. Kesetiaannya terhadap kepercayaan dan pengamalan ajarannya
adalah menjadi kualifikasi pertama sebagai “Orang Jepang yang baik”.
Meskipun mereka memeluk agama universal seperti Buddhisme atau Kristen,
faham lama (Shinto) tetap merupakan pengaruh vital dan luas, yang secara
fundamental faham lama tersebut membentuk pula mentalitas dan perilaku
serta memberikan pola dasar yang menjadi wadah dari segala sesuatu yang
lain.20
Tidak ada alasan bahwa Shinto tidak dapat menghasilkan orang-orang
yang dapat menghargai masa lalu tanpa berpegang teguh pada ajarannya,
sebagaimana menggabungkan apa yang terbaik dari masa lalu dengan apa
yang berharga di masa sekarang, dan bekerja untuk masa depan yang lebih
baik dengan percaya diri.21
D. Catatan Kritis
1. Ayat-Ayat Shinto dan Islam Yang Berkaitan Dengan Konservasi
Lingkungan
Setiap agama sudah pasti mengajarkan pada kebaikan, keadilan,
dan kesejahteraan pada kehidupan umatnya. Dalam hal ini juga termasuk
anjuran untuk hidup sejahtera di bumi tempat manusia berpijak dengan
20
HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, h. 47. 21
Floyd Hiatt Ross, Shinto The Way Of Japan, h. 169.
64
membentuk kehidupan yang selaras dengan alam dan makhluk hidup
lainnya.
Berdasarkan hukum kodrat yang menyatakan bahwa manusia
merupakan bagian integral dari alam. Manusia merupakan bagian dari
tatanan kosmis. Sebagai bagian dari tatanan kosmis manusia tunduk
kepada hukum alam yakni hukum yang menetapkan peran fungsional
setiap bagian alam. Oleh karena itu, perintah moral yang tertinggi adalah
hidup sesuai dan selaras dengan alam.22
Shinto, meski hanya sebuah kepercayaan alam yang berpangkal
pada kepercayaan nenek moyang berbeda jauh jika dibandingkan dengan
Islam agama yang telah sempurna dan memiliki ajaran-ajaran yang
lengkap, namun Shinto juga mengajarkan kesejahteraan dan
keharmonisasian kehidupan penganutnya.
Adapun kisah penciptaan yang terkandung dalam kitab Nihongi
yaitu:
“Pada mulanya, langit dan bumi masih dalam keadaan menyatu
dan keduanya belum terpisah. Kemudian mulailah pemisahan antara
keduanya, unsur-unsur ringan membentuk langit sementara unsur-unsur
yang berat membentuk bumi. Oleh karena itu, langit terbentuk lebih
dahulu setelahnya dibentuklah bumi. Kemudian diciptakan makhluk-
makhluk Ilahi di antara mereka.”(Nihongi, 1:2)
22
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, h. 166.
65
Dalam mite tersebut, ketika penciptaan sedang berlangsung,
unsur-unsur alam yang halus dan ringan berubah menjadi langit, dan
unsur-unsur yang berat dan kasar menjadi bumi. Disamping itu, langit
dianggap suci dan cemerlang yang menjadi tempat tinggal para dewa
langit. Dari pemikiran mitologi semacam ini maka bangsa Jepang
percaya bahwa para dewa turun dari langit untuk menciptakan
kesejahteraan dan kedamaian diatas bumi ini.
"Ketika langit dan bumi berada dalam keadaan kacau, hanya ada
dewa yang bernama Umashi-ashi-kabi-hiko-ji no mikoto dan Kuni-soko-
tachi no mikoto, mereka bersama-sama menciptakan dewa, yang
pertama, Kuni-no-toko-tachi no mikoto, dan Kuni no sa-tsuchi no mikoto.
Hingga muncul dewa Izanagi no mikoto dan Izanami no mikoto.
(Nihongi, 1:6)
“Izanagi no mikoto dan Izanami no mikoto berdiri di atas
jembatan terapung di langit, kemudian mereka terjun dan menusukan
tombak permata, mencari tanah, mengayuh samudera, hingga air garam
yang menetes dari titik tombak terkoordinasi dan menjadi sebuah pulau,
yang disebut Ono-goro-jima23
. Kedua dewa tersebut turun dari langit
dan tinggal di pulau itu, kemudian menjadi sepasang suami istri untuk
menciptakan sebuah negara. (Nihongi, 1:12) Selanjutnya mereka
menciptakan laut, sungai, dan pegunungan, serta nenek moyang pohon
dan tumbuhan.” (Nihongi, 1:14).
23
Ono-goro-jima merupakan sebutan bagi pulau Jepang.
66
Dewa Izanagi dan Izanami adalah dua dewa yang memperoleh
perhatian dan tempat istimewa dalam kalangan penganut Shinto.
Keduanya menciptakan kepulauan Jepang lengkap dengan dewanya
masing-masing, seperti dewa air, dewa gunung, dewa tumbuh-tumbuhan
dan sebagainya.
Dalam Islam juga banyak sekali ayat al-Qur’an tentang
penciptaan, sekaligus menganjurkan bahkan mewajibkan setiap manusia
untuk menjaga kelangsungan kehidupannya dan kehidupan makhluk lain
di bumi, walaupun dalam situasi yang sudah kritis. Ayat yang berkaitan
dengan alam dan lingkungan (fisik dan sosial) ini dalam al-Qur’an
bahkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat yang berkaitan
dengan ibadah khusus (mahdhoh).24
Adapun ayatnya yaitu:
QS. Fushilat: 10
“Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di
atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya
kadar makanan-makanan penghuninya dalam empat hari.
(Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang
bertanya.”
Q.S. Al Rum 41-42
24
Muhjiddin Mawardi dkk, Akhlaq Lingkungan: Panduan Berperilaku Ramah
Lingkungan, h. 13.
67
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka
merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar).” (41) “Katakanlah (Muhammad),
“Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-
orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang
mempersekutukan (Allah)."(42)
Q.S. Al A’ raf 56-58
"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah
(diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa
takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat
kepada orang yang berbuat kebaikan.(56) Dialah yang meniupkan
angina sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan
rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan
mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami
turunkan hujan di daerah itu. Kemudian kami tumbuhkan dengan
68
hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami
membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu
mengambil pelajaran.”(57) Dan tanah yang baik, tanaman-
tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhan, dan tanah yang
buruk, tanaman-tanamannya tumbuh merana. Demikianlah Kami
menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi
orang-orang yang bersyukur."(58)
Dalam khazanah ekoteologi Islam, meyakini bahwa hubungan
Tuhan dengan lingkungan cukup akrab. Hubungan antara Tuhan dengan
lingkungan terjalin secara harmonis dan berkesinambungan dalam waktu
serta ruang yang tidak terbatas. Artinya, Islam memiliki teologi sistemik
tentang hubungan Tuhan dengan lingkungan. Hubungan Tuhan dengan
lingkungan mengacu pada hubungan struktural yaitu Tuhan sebagai
pencipta lingkungan dan Tuhan sebagai pemilik lingkungan serta
hubungan fungsional Tuhan sebagai pemelihara lingkungan.25
Islam mengajarkan bahwa manusia harus bertanggung jawab
terhadap alam semesta yang dihadiahkan kepadanya untuk menjamin
kelangsungan hidupnya. Dengan demikian Islam tidak membenarkan
manusia merusak lingkungan sebagaimana Allah berfirman dalam surat
al-qasshas ayat 77. Tersimpul disini keharusan untuk mengusahakan
keseimbangan antara kebahagiaan hidup akhirat dengan kebahagiaan
hidup di dunia. Melakukan perbuatan baik untuk diri sendiri dan untuk
orang lain, dan kewajiban memelihara keseimbangan alam dan mencegah
kerusakan di muka bumi.26
25
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, h. 105. 26
Daud Effendy, Manusia, Lingkungan dan Pembangunan (Perspektif Islam) (Jakarta:
Lembaga Penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2008), h. 83.
69
Fungsi penting yang harus dijalankan oleh manusia sebagai
khalifah di muka bumi, salah satunya adalah berkewajiban menjaga
keseimbangan lingkungan hidup. Dalam keterkaitan dengan tugas ini
sebagaimana Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu di alam raya
ini dengan perhitungan tertentu.27
Islam menuntut kepada manusia untuk menyelidiki dan
memahami pola-pola Tuhan dalam alam. Termasuk dalam hal ini adalah
pola perawatan dengan penuh kasih sayang, bersahabat dan sekaligus
membuatnya menjadi indah. Tuhan berulang kali menyampaikan hal ini
dalam Alquran, antara lain: (QS. Al Ghasyiyah, 88:17-21). Maka menjadi
tugas dan kewajiban manusia untuk merawat alam, entah sebagai taman,
hutan, sungai atau gunung tersebut. Lebih dari itu Islam juga menuntut
manusia untuk menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif (ihya al
mawat) dengan menanaminya pohon-pohon atau tanaman-tanaman,
bukan hanya untuk kepentingan manusia hari ini tetapi juga untuk
generasi manusia masa depan.28
2. Perbedaan Pengaplikasian Dalam Kehidupan Masyarakat Jepang
Dengan Masyarakat Indonesia.
Kesulitan utama dalam membuat perbandingan budaya antara
Indonesia dan Jepang disebabkan perbedaan karakteristik kedua bangsa
tersebut. Bangsa Jepang relatif homogen, dan hanya memiliki sekitar 15
27
Daud Effendy, Manusia, Lingkungan dan Pembangunan (Perspektif Islam), h. 127. 28
Husein Muhammad, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan Gerakan
Lingkungan Hidup (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 7.
70
bahasa, dan telah memiliki sejarah yang jauh lebih panjang, sehingga
nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Sedangkan bangsa Indonesia
berciri heterogen, multi etnik, memiliki lebih dari 700 bahasa, sehingga
tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang mewakili
Indonesia secara nasional. Perlu dipisahkan nilai-nilai mana yang
diterima secara nasional di Indonesia, dan mana yang merupakan
karakter yang unik disalah satu suku. Namun, bahasan dalam hal ini
hanya mengenai perbandingan budaya Indonesia dan Jepang dari segi-
segi cara menjaga kebersihan lingkungan.
Jepang adalah sebuah negara yang penuh disiplin dan sangat
menghargai lingkungan hidup, sungai-sungai yang jernih, udara yang
bersih dan juga lingkungan yang tertata rapi tanpa sampah sudah menjadi
pemandangan umum kota-kota di Jepang.
Budaya kebersihan di Jepang sangat berkaitan dengan aspek
spiritual. Menurut penganut Shintoisme Jepang, kebersihan merupakan
salah satu bentuk ibadah, bahkan pada era modern sekarang, ritual
kebersihan pun masih rutin diterapkan. Keindahan alam selalu dipelihara
rakyat dengan keyakinan bahwa Jepang adalah tanah yang suci dan yang
di diami oleh banyak Kami, atau roh-roh Ilahi.29
Dalam kepercayaan Shinto, Kami hidup dan berada di bawah
gunung, hutan, laut, atau di tengah perkampungan penduduk. Jadi,
konsep Tuhan di atas atau langit dan manusia di bumi kurang tepat untuk
29
Joseph M. Kitagawa, On Understanding Japanese Religion (United Kingdom:
Princeton University Press, 1987), h. 274.
71
menggambarkan kepercayaan Shinto.30
Oleh sebab itu, orang Jepang
tidak ada yang membuang sampah sembarangan, mencemari tanah, laut,
sungai, atau mengeksploitasi hutan melebihi kebutuhan manusia.
Terdapat tiga rahasia sukses Jepang dalam penanganan sampah
rumah tangga:
Pertama, tingginya prioritas masyarakat pada program daur
ulang. Hampir semua orang Jepang paham mengenai pentingnya
pengelolaan sampah daur ulang. Untuk membangun kesadaran itu,
kelompok masyarakat seperti “chonaikai” melakukan aksi-aksi
kampanye kepedulian lingkungan di berbagai lapisan masyarakat.
Beberapa sukarelawan ada yang secara aktif turun ke perumahan untuk
memonitor pembuangan sampah, dan berdialog dengan warga tentang
cara penanganan sampah.
Kedua, munculnya tekanan sosial dari masyarakat Jepang apabila
kita tidak membuang sampah pada tempat dan jenisnya. Rasa malu
menjadi kunci efektivitas penanganan sampah di Jepang. Bahkan orang
Jepang yang sedang dalam keadaan mabuk masih membuang sampah,
bukan hanya di tempatnya, namun bisa memilih tempat sampah daur
ulang khusus botol dan kaleng. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kebiasaan membuang sampah, selain juga karena dibangun rasa malu dan
menghargai Kami yang mendiami tempat tertentu, juga telah masuk ke
alam bawah sadar mereka.
30
Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia, h. 326.
72
Ketiga, program edukasi yang masif dan agresif dilakukan sejak
dini. Anak-anak di Jepang, sejak kelas 3 SD sudah dilatih cara
membuang sampah sesuai dengan jenisnya. Hal tersebut membangun
kultur buang sampah yang mampu tertanam di alam bawah sadar.
Membuang sampah sesuai jenis sudah menjadi “habit”.
Orang Jepang juga memiliki budaya mottanai.31
Dalam tradisi
Jepang, dikenal istilah “manfaatkan kembali sesuatu dengan daur ulang”,
“selama masih ada harganya jangan dibuang/disia-siakan” yang artinya
“tidak boleh melakukan hal yang sia-sia”.32
Hal ini didasari bahwa
mereka sangat menghargai sesuatu secara tradisional karena tradisi
Jepang yang mempercayai bahwa sesuatu mempunyai nyawa atau roh.
Orang Jepang memiliki rasa cinta terhadap sesuatu. Orang merangkul
berbagai perasaan seperti perasaan terima kasih dan lain sebagainya
kepada orang yang telah membuat sesuatu untuk kita.33
Selain menciptakan lingkungan yang bersih, sampah yang
dikelola dengan baik juga dapat menghindari manusia dari bencana alam
seperti banjir, dan penyakit berbahaya yang dapat membunuh manusia.
Bahkan, di Jepang terdapat selokan kecil dan dangkal yang mengalir di
samping jalur pejalan kaki, yang terbuat dari batu alam. Air selokan
mengalir dengan lancar dan terdapat ikan-ikan nampak berenang di air
yang bening. Tak ada satupun sampah di selokan.
31
Dalam bahasa Jepang mottanai berarti “menyia-nyiakan sesuatu”, “tidak
mengoptimalkan fungsi/nilai dari sesuatu sehingga terbuang percuma”. Lihat Yusuke Shindo,
Mengenal Jepang (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2015), h. 245. 32
Yusuke Shindo, Mengenal Jepang, h. 245. 33
Yusuke Shindo, Mengenal Jepang, h. 245.
73
Orang Jepang juga tidak sembarangan menebang pohon dan
membakar hutan dikarenakan mereka meyakini bahwa di tempat-tempat
tersebut banyak Kami yang mendiaminya, sehingga jika hal tersebut
dilakukan akan mengganggu Kami. Sungai dan laut pun juga di hormati
agar terhindar dari pencemaran, karena diyakini bahwa dewa matahari
dan bulan tercipta di laut. Hal ini berdasarkan kisah ketika Izanagi pergi
mengunjungi istrinya Izanami yang sudah mati, ia melanggar suatu
pantangan sehingga menjadi kotor dan berdosa, oleh karena itu kemudian
ia pergi ke laut untuk melakukan upacara pensucian, ketika Izanagi
sedang membersihkan diri di air, dari matanya sebelah kiri terjadi dewi
matahari, Amaterasu, dan dari air matanya sebelah kanan terjadi dewi
bulan, Tsukiyomi, sementara dari yang dipergunakan untuk
membersihkan hidungnya terjadi dewa laut dan gelombang.(Nihongi,
1:28)
Di negri Jepang selalu di kampanyeka slogan utsukushi kuni
(Negara Jepang yang cantik), meskipun disetiap sudut tempat sudah
kelihatan bersih selogan itu tetap digunakan. Kebersihan merupakan ciri
utama dari Jepang, disiplin membuang sampah pada tempatnya yang
sangat membudidaya pada kehidupan masyarakat Jepang yang sangat
sulit dihilangkan sehingga upaya pelestarian lingkungan di Jepang
sangat lah bagus.
Berbeda dengan Jepang, mayoritas masyarakat Indonesia banyak
yang tidak mengaplikasikan ajaran agama mengenai lingkungan. Di
74
Indonesia, terutama di kota-kota besar masih sering terlihat masyarakat
yang membuang sampah sembarangan dan banyak sekali sampah yang
menumpuk di pinggir-pinggir jalan bahkan di selokan. Mereka tidak
memperdulikan akibat yang akan terjadi. Indonesia adalah negara yang
sangat sulit menerapkan slogan kebersihan yang dibuat oleh Jepang. Di
Indonesia masih bersifat slogan-slogan saja sehingga perilaku
masyarakatnya tetap tidak peduli lingkungan.
Sampah merupakan problem lingkungan yang mungkin akan
terus berlangsung di tengah masyarakat dalam kesehariannya. Budaya
tertib sampah yang dicanangkan pemerintah ternyata belum mampu
menanggulangi secara tuntas. Selain menimbulkan gangguan bau tidak
sedap, beragam penyakit juga mungkin timbul akibat penumpukan
sampah yang akhirnya menjadi sarang nyamuk. Di daerah perkotaan,
selain lokasi pembuangan yang sulit didapatkan, minimnya daerah
resapan air membuat sampah-sampah menggunung menyumbat saluran-
saluran air hingga mengakibatkan genangan air atau bahkan banjir.34
Sampah jelas menjadi persoalan besar bagi kota-kota besar di
dunia. Selain membutuhkan areal pengolahan yang cukup luas dan
karena itu sulit diperoleh, sampah juga menimbulkan berbagai
pencemaran udara, air, dan membutuhkan teknologi yang mahal karena
pengelolaan dan pengolahan sampah semakin membutuhkan biaya besar.
34
An’im Falahuddin Mahrus, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan Gerakan
Lingkungan Hidup, h. 11.
75
Budaya masyarakat yang membuang sampah sembarangan menjadi
faktor tambahan yang semakin memperparah pencemaran sampah ini.35
Beberapa dekade terakhir ini, terutama di daerah perkotaan,
masyarakat Indonesia lebih mendahulukan kepentingan pribadi
dibandingkan kepentingan orang lain. Sikap gotong royong dan menjaga
kebersihan lambat laun makin menipis, baik dari sudut pandang lingkup
aktivitas maupun jumlah orang yang terlibat. Kedisiplinanpun semakin
tergerus. Orang hanya ingin mengerjakan peraturan jika ada ancaman
hukuman atau iming-iming saja. Misalnya, membuang sampah ke sungai
tanpa rasa takut akan dampak yang dirasakan nantinya.36
Hal lain yang menjadi masalah adalah pembakaran dan kebakaran
hutan yang menyebabkan pencemaran udara yang sangat mengganggu.
Kebakaran hutan tidak hanya mengganggu kehidupan ekonomi, sosial,
dan budaya manusia tetapi juga mengancam kehidupan berbagai fauna
dan flora yang sangat berharga. Gangguan aktivitas ekonomi terjadi
karena terganggunya transportasi darat, sungai dan udara akibat asap
kebakaran hutan. Gangguan kesehatan jelas terjadi karena asap dari
kebakaran hutan menimbulkan infeksi saluran pernapasan. Demikian
pula, api kebakaran hutan dan asap yang ditimbulkannya membawa
malapetaka kematian bagi banyak tanaman dan binatang yang tidak
berdaya menyelamatkan dirinya.37
35
Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, h. 46. 36
H. Artomo apt. MBA, Halaman Hijau: Cara Bijak dan Cerdas Mengelola Lingkungan
dari Rumah, h. 4. 37
Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, h. 39.
76
Wilayah hutan di Indonesia menurut perkiraan tahun 1990 masih
lebih dari 68% dari seluruh wilayah daratan. Karena penjarahan hutan
alam oleh berbagai kegiatan manusia pada tahun 2003 luas hutan tinggal
57%. Jadi selama 13 tahun terjadi pengurangan hutan sebanyak
20.592.000 ha. Hal tersebut terjadi untuk pertambahan ruang untuk
hunian manusia, untuk dijual sebagai kayu gelondongan yang diekspor,
untuk pemekaran perkebunan, pertanian, penambangan batu bara dan
sebagainya.38
Dalam kurun waktu 15 tahun, dari tahun 1990 hingga 2005,
kerusakan hutan di Indonesia mencapai 28 juta hektar, terbesar kedua di
dunia setelah Brazil yang mengalami kerusakan hutan 48 juta hektar.
Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Muchlis, dewan pakar Pusat Studi
Alquran (PSQ) bahwa kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia, sangat
mengancam kehidupan umat manusia. Hilangnya hutan maka ekosistem
akan rusak dan sumber air bersih akan hilang, kerusakan ekosistem sudah
kita rasakan dampaknya berupa ancaman perubahan iklim dengan suhu
bumi semakin panas dan naiknya permukaan laut.
Kondisi ini, menjadi ancaman terhadap kehidupan flora dan
fauna. Kemarau panjang terjadi di mana-mana. Dampaknya masih kita
rasakan saat ini. Kebakaran hutan, konversi lahan, polusi dan banyaknya
eksploitasi sumber daya alam semakin mengancam keanekaragaman
hayati. Hingga 23 Oktober 2015, hanya dalam waktu antara 2-3 bulan,
38
Mohamad Soerjani MD, Konsep Dasar Lingkungan Hidup Untuk Pengelolaan
Ekosistem Bagi Kelangsungan Kehidupan (Jakarta: Institut Pendidikan dan Pengembangan
Lingkungan, 2008), h. 29.
77
kebakaran hutan di Indonesia menghasilkan emisi karbondioksida yang
melebihi rata-rata emisi karbon yang dihasilkan industri Jerman dalam
setahun. Tentu, angka ini menyumbang secara signifikan bagi
pemanasan global. Seperti tahun-tahun sebelumnya, hujanlah yang
menjadi pahlawan. Tetapi curah hujan yang turun di banyak wilayah, dan
intensitasnya semakin meningkat pada bulan-bulan mendatang,
membayangi ancaman baru, yaitu banjir. Baru saja kita lepas dari
musibah kebakaran hutan, kita sudah dibayang-bayangi musibah banjir.
Itulah dampak kerusakan lingkungan yang terjadi. Kerusakan itu bermula
dari ulah tangan manusia. Keserakahan manusia dalam mengeksploitasi
alam tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan berbuah duka dan
derita. Maha benar Allah dalam firman-Nya, 'Timbulnya kerusakan di
muka bumi akibat ulah tangan manusia.39
Indonesia telah lama dikenal sebagai negara yang kaya akan
sumber daya alam. Akan tetapi, akibat dari salah kelola dan salah
kebijakan pembangunan di masa lalu, sumber daya alam Indonesia
mengalami penurunan yang sangat berarti dan terancam punah.
Terjadinya pengrusakan keseimbangan alam lingkungan di jagad raya
dan kehidupan, lebih disebabkan karena manusia yang tidak lagi mampu
memelihara keimanannya dan oleh karena itu tindakannya menjadi tidak
terkontrol atau terkendali dan keluar dari ketentuan-ketentuan dasar yang
ada. Selain itu, pengrusakan tersebut juga disebabkan oleh usahanya
39
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/11/23/ny91g2301-
kerusakan-alam-akibat-ulah-manusia, di akses pada 10 agustus 2017, pukul 15:39 WIB.
78
untuk mengubah fitrah Allah yang telah ditetapkan pada diri dan alam
sekitarnya dalam hal ini termasuk pula perbuatannya yang melampaui
batas-batas toleransi dalam berinteraksi dengan makhluk-makhluk yang
lain di dalam biosfer.40
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang paling baik dan
paling istimewa, sehingga Tuhan memberikan kepercayaan (amanat)
kepada manusia sebagai wakil-Nya (khalifah) di muka bumi. Sebagai
khalifah, Tuhan memberinya kebebasan untuk mengelola alam yang
sudah dirancang dengan segenap potensi dan ketersediaan bahan-bahan
yang diperlukan bagi kehidupan sampai hari kiamat. Namun, dalam
sejumlah ayat al-qur’an, Tuhan menyatakan bahwa seluruh alam semesta
adalah milik-Nya (QS. Al Baqarah, 2:284). Ini adalah prinsip sosio-
ekonomi dalam Islam. Manusia diberi izin tinggal di dalamnya untuk
sementara dalam rangka memenuhi tujuan yang telah direncanakan dan
ditetapkan Tuhan (QS. Al Ahqaf, 46:3). Dengan begitu alam bukanlah
milik hakiki manusia. Kepemilikan manusia hanyalah amanat, titipan
atau pinjaman yang pada saatnya harus dikembalikan dalam keadaannya
seperti semula. Bahkan manusia yang baik justru akan mengembalikan
titipan tersebut dalam keadaan yang lebih baik dari ketika dia
menerimanya.41
Menurut M. Quraish Shihab, memang dalam sejarah, terdapat
khalifah-khalifah yang berlaku sewenang-wenang dengan alasan bahwa
40
Daud Effendy, Manusia, Lingkungan dan Pembangunan (Perspektif Islam), h. 132. 41
Husein Muhammad, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan Gerakan
Lingkungan Hidup, h. 4.
79
ia adalah wakil Tuhan di bumi. Namun, di sini ia sangat keliru dalam
memahami dan mempraktikkan kekhalifahan itu. Dalam kejadian yang
demikian ini manusia sering meligitimasi tindakannya atas nama Tuhan
padahal tindakan tersebut bertentangan dengan kehendak Tuhan itu
sendiri.42
Jika manusia diberi hak atau izin memanfaatkan alam bagi
kebaikan dan kebahagiaan dirinya, maka untuk ini manusia diperintahkan
agar bertindak sesuai dengan aturan moral kemanusiaan. Moral atau
akhlak adalah inti dan tujuan agama. Dengan begitu kebebasan yang
diberikan Tuhan kepada manusia untuk mengelola alam dibatasi dan
terikat dengan aturan-aturan moral dan etika kemanusiaan. Tidak
mungkin manusia dapat hidup dengan baik dan sejahtera tanpa adanya
perlindungan terhadap lingkungan alamnya. Manusia dan lingkungan
alam sesungguhnya memiliki hubungan simbiosis mutualistik, hubungan
saling ketergantungan dan saling memberi.43
Hak manusia untuk memanfaatkan alam tidak berarti
membolehkannya mengganggu, merusak, dan bahkan menghancurkan
keseimbangan ekologinya yang memang sudah ditetapkan-Nya dalam
pola yang demikian indah dan harmonis. Eksploitasi tanah dan
penebangan pohon-pohon dan hutan secara liar dan tidak bertanggung
jawab, akan menimbulkan bahaya besar bagi keseimbangan ekologi, dan
dalam waktu berikutnya akan membunuh manusia baik secara pelan
42
Daud Effendy, Manusia, Lingkungan dan Pembangunan (Perspektif Islam), h. 113. 43
Husein Muhammad, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan Gerakan
Lingkungan Hidup, h. 5.
80
maupun cepat. Penyalahgunaan alam seperti itu benar-benar bertentangan
dengan etika ketuhanan dan dikutuk dengan keras. Tuhan sangat tidak
menyukai orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi.
Tindakan merusak alam merupakan bentuk kezaliman dan kebodohan
manusia. Semua perbuatan manusia yang dapat merugikan kehidupan
manusia merupakan perbuatan dosa dan kemungkaran.44
Pada kasus di atas, tidak hanya dilakukan oleh orang awam atau
orang yang tidak paham perintah Tuhan, seorang ustadz sekalipun yang
memiliki pengetahuan bahwa Islam mempunyai konsep kepedulian
terhadap lingkungan hidup, ternyata masih ada yang tidak
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Agaknya, teori hanyalah
untuk diketahui (aspek kognitif) saja, tidak ada hubungannya dengan
afektif dan psikomotoriknya. Bahkan orang kaya bermobil yang mungkin
memiliki tingkat pendidikan tinggi juga seringkali terlihat membuang
sampah bekas makanan di jalan dengan seenaknya. Peristiwa singkat ini
kita pahami sebagai gambaran bahwa tidak ada hubungannya antara
pengetahuan (ilmu) dengan perilaku. Tentu pernyataan ini tidak bisa
dipukul rata untuk seluruh penduduk Indonesia.
Asisten Deputi Komunikasi Kementerian Lingkungan Hidup, Siti
Aini Hanun menyatakan tingkat pemahaman masyarakat menjaga
lingkungan sebenarnya relatif baik. Dari survei Perilaku Peduli
Lingkungan (PPL) diketahui 61,8% responden tahu program menjaga
44
Husein Muhammad, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan Gerakan
Lingkungan Hidup, h. 6.
81
lingkungan seperti penghijauan, normalisasi sungai, pengelolaan air, dan
konversi hutan. Hanya saja perilaku peduli lingkungan yang masih
rendah.45
Jika tingkat peduli masyarakat rendah terhadap lingkungan hidup,
bagaimana mungkin kita bisa mendidik anak-anak di rumah agar peduli
terhadap lingkungan hidup. Para orang tua tentu senang jika anak-
anaknya peduli terhadap lingkungan hidup. Tetapi, hal itu tidak mungkin
terwujud jika di rumah mereka tidak mendapatkan teladan yang benar.
Agaknya para orang tua hanya menyerahkan sepenuhnya ke sekolah
untuk dididik dengan benar, sedangkan orang tuanya tidak
mengimbanginya dengan memberi contoh yang selaras. Kurikulum
sekolah, secara khusus, belum menyediakan menu pelajaran tentang
lingkungan hidup ini, melainkan masih berupa bahasan kecil saja yang
menempel pada mata pelajaran lainnya.
Tidak ada salahnya jika kita mencontoh perilaku masyarakat
Jepang. Sekalipun kita banyak mengambil contoh-contoh kebiasaan
dalam masyarakat Jepang, bukan berarti kita harus mencontoh budaya
Jepang secara utuh, tetapi yang lebih penting adalah merenungkan
mengapa mereka bisa berlaku demikian dan mencontoh hal baik dari
mereka. Bila kita ingin mengubah sesuatu, mulailah dari diri kita sendiri
dan diikuti oleh setiap orang yang ada di dalam kelompok kita, kemudian
45
Muhammad Yasir, Sikap Peduli Lingkungan,
https://www.google.co.id/amp/aceh.tribunnews.com/amp/2013/06/12/sikap-peduli-lingkungan-
awak-geutanyoe, di akses pada 23/10/2017, pukul 13:14 WIB.
82
diteruskan oleh kelompok lain. Demikian seterusnya sampai meluas ke
daerah lain.
Persoalan lingkungan hidup menuntut tanggung jawab kita
bersama. Pemerintah, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat,
masyarakat sipil, kelompok masyarakat dan individu. Kebijakan
pemerintah harus memperlihatkan adanya urgensi krisis lingkungan
hidup sebagai ancaman kehidupan, harus memperlihatkan komitmen
untuk menyelamatkan kehidupan. Demikian pula, dunia usaha jangan
hanya mencari untung tetapi mengabaikan lingkungan hidup.46
46
Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, h. 74.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang sudah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa
Shinto memandang alam dan lingkungan hidup sebagai makhluk yang
mempunyai nilai pada dirinya sendiri dan di anggap berharga. Setiap benda
alam yang ada di lingkungan tempat tinggal manusia, baik benda alam yang
hidup seperti pohon, tumbuh-tumbuhan, rumput, hewan, maupun benda alam
yang tidak hidup seperti batu, air, kursi dan sebagainya di anggap memiliki
jiwa Kami yang harus di hormati. Oleh karena itu, orang Jepang khususnya
penganut Shinto merasa mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral
untuk menjaga alam dan lingkungan hidup mereka. Terlepas dari ajaran nenek
moyang (Shinto), sikap menghargai lingkungan hidup, juga memberikan
banyak keuntungan bagi kehidupan manusia, seperti terhindar dari penyakit
yang disebabkan lingkungan yang tidak bersih, lingkungan menjadi indah
sehingga memberikan kenyamanan dalam menjalankan aktivitas, terbebas dari
pencemaran air dan udara, meminimalisir terjadinya bencana alam yang
diakibatkan perbuatan manusia dan sebagainya.
Implementasi nilai-nilai peduli lingkungan yang dilakukan oleh
masyarakat Jepang dalam upaya menjaga lingkungan yang bersih dapat
dijadikan contoh khususnya bagi masyarakat Indonesia agar bisa menciptakan
lingkungan yang bebas dari sampah, juga kesadaran akan pentingnya sumber
84
daya alam. Sadar saja belum cukup, perlu keberanian untuk melawan arus
modernisasi yang belum tentu bisa mensejahterakan masyarakat. Orang
Jepang melakukannya secara sadar dan berani untuk melindungi dan
memelihara kearifan lokal dan tradisional untuk kesejahteraan masyarakatnya
sebagaimana yang diajarkan dalam Shinto. Ajakan untuk membuang sampah
pada tempatnya, menggunakan dan mengelola air dengan bijak sesuai
kebutuhan, tidak bersikap rakus dan merusak sumber daya alam lainnya dan
sebagainya terus dilakukan dan diajarkan kepada anak-anak sejak kecil,
sehingga hal tersebut tidak hanya sebagai semboyan tetapi dilakukan secara
nyata.
.
B. Harapan Penulis
Dengan kondisi lingkungan yang semakin parah, penulis sangat
berharap semakin banyak orang yang peduli pada lingkungannya. Orang yang
peduli akan mempengaruhi cara pikir serta perilakunya, dan pada akhirnya
mengajak orang lain juga untuk peduli. Kondisi lingkungan akan lebih baik
bila banyak orang yang peduli. Penulis juga berharap skripsi ini tidak hanya
menjadi pengetahuan pada masyarakat tetapi juga dapat menggerakkan hati
pembaca agar dapat merealisasikan dalam bentuk tindakan, karena masalah
lingkungan ini bukan lagi persoalan hari esok, bukan yang nanti saja akan kita
selesaikan pada urutan prioritas kesekian dari segala persoalan hidup, tetapi
ini adalah persoalan mendesak dan karena itu kita semua, khususnya
pemerintah untuk bertindak nyata sekarang juga.
85
Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa setiap pembahasan
dalam skripsi ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, karena penelitian
yang penulis lakukan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, sangat
diharapkan adanya penelitian-penelitian lanjutan yang peduli akan kelestarian
lingkungan yang diajukan oleh hampir setiap agama. Pengkajian dan
pendalaman lebih lanjut guna meluruskan kesalahan sekaligus menambah
kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Mujiyono. 2005. Fikih Lingkungan; Panduan Spiritual Hidup
Berwawasan Lingkungan. Yogyakarta: UPP Akademi Manajemen
Perusahaan YKPN.
________________. 2001. Agama Ramah Lingkungan: Perspektif Al-Quran.
Jakarta: Paramadina.
Adriana, Ajeng Endah. Budaya Bersih di Jepang, http://www.denpasar.id.emb
japan.go.jp/indonesia/.konnichiwa%2014/.konnichiwa14_041.html, di
akses pada 08/07/2017 pukul 19.15 WIB.
Ahmadi, Abu. 1984. Sejarah Agama. Solo: CV. Ramadhani.
Annonym. 8 Reason Japan Is So Clean: The Wa Of Cleanliness,
http://en.rocketnews24.com/2016/09/19/8-reasons-japan-is-soclean-thewa
ofcleanliness/, di akses pada 08/07/2017, pukul 18.55 WIB.
__________. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam
nusantara/15/11/23/ny91g2301-kerusakan-alam-akibat-ulah-manusia, di
akses pada 10 agustus 2017, pukul 15:39 WIB.
Arifin, HM. 1997. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: PT
Golden Teravon Press.
Arikunto, Suharsini. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Artomo. 2015. Halaman Hijau: Cara Bijak dan Cerdas Mengelola Lingkungan
dari Rumah. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Aston, William George. 1905. Shinto The Way Of The God. New York:
Longmans Green.
Bahri, Media Zainul. 2015. Wajah Studi Agama-Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bakhtiar, Amsal. 1999. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Basahona, Ato Basahona. Pengertian Lingkungan Hidup Menurut Pakar/Ahli,
http://www.atobasahona.com/2016/08/pengertian-lingkungan-hidup-
menurut.html, di akses pada kamis, 02 Maret 2017 pukul 14.45
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. 2016. Perubahan Iklim,
Perjanjian Paris dan Nationally Determined Contribution. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Djam’annuri. 1988. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Press.
__________. 1981. Agama Jepang. Yogyakarta: PT Bagus Arafah.
Effendy, Daud. 2008. Manusia, Lingkungan dan Pembangunan (Perspektif
Islam). Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.
Fajri, Rahmat dkk. 2012. Agama-Agama Dunia. Jogjakarta: Belukar.
Harsono, FX. 2005. Image Jepang: Jepang di Mata Orang Indonesia. Jakarta:
The Japan Foundation.
Hartz, Paula R. 2009. World Religions: Shinto. New York: Chelsea House.
Indonesia, UNICEF. Air Bersih, Sanitasi & Kebersihan,
https://www.unicef.org/indonesia/id/A8_B_Ringkasan_Kajian_Air_Bersih
.pdf, di akses pada 09/07/2017, pukul 13.14 WIB.
Imran, Ali. 2015. Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta:
IRCiSoD.
Kartodihardjo, Soedarto. 2005. Model Eco-Pesantren Dalam Perspektif
Konservasi Hutan. Serang: A-Empat.
Keraf, Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara.
___________. 2010. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global.
Yogyakarta: Kanisius.
Kitagawa, Joseph M. 1966. Religion In Japanese History. New York: Columbia
University Press.
________________. 1987. On Understanding Japanese Religion. United
Kingdom: Princeton University Press.
Mangandaralam, Syahbuddin. 1985. Mengenal Dari Dekat Jepang, Negara
Matahari Terbit. Bandung: Remadja Karya CV Bandung.
Manik, Karden Eddy Sontang. 2009. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta:
Djambatan.
Muhammad, Husein. 2007. Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan
Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nadroh, Siti dan Syaiful Azmi. 2013. Agama-Agama Minor. Jakarta: UIN Jakarta
Press.
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Nawawi, Hadari & Martini Hadari. 1996. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Ono, Sokyo. 1962. Shinto The Kami Way. Tokyo: Charles E Tuttle Company.
Picken, Stuart D.B. 1994. Essentials Of Shinto. USA: Greenwood Press.
Rahmad, Dadang. 2000. Metode Penelitian Agama. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Reader, Ian, Esben Andreasen & Finn Stefansson. 1993. Japanese Religion Past
and Present. Honolulu: University of Hawaii Press.
Ross, Floyd Hiatt. 1965. Shinto The Way of Japan. Boston Beacon Press.
Shindo, Yusuke. 2015. Mengenal Jepang. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Smart, Ninian. 1977. The Religious Experience Of Mankind. New York: Charles
Scribner’s Sons.
Soerjani, Mohamad. 2008. Konsep Dasar Lingkungan Hidup Untuk Pengelolaan
Ekosistem Bagi Kelangsungan Kehidupan. Jakarta: Institut Pendidikan dan
Pengembangan Lingkungan.
Sou’yb Joesoef. 1996. Agama-Agama Besar di Dunia. Jakarta: PT. Al Husna
Zikra.
Suryohadiprojo, Sayidiman. 1987. Belajar Dari Jepang: Manusia dan
Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan Hidup. Jakarta: UI-Press.
Sutaryono. 2008. Pemberdayaan Setengah Hati: Subordinasi Masyarakat Lokal
Dalam Pengelolaan Hutan. Yogyakarta: STPN & Lapera Pustaka Utama.
Tanabe, George J. 1999. Religion Of Japan In Practice. Princeton University
Press.
The Daily Japan, https://thedailyjapan.com/pandangan-masyarakat-jepang-terhadap
agama/, di akses pada 23/10/2017, pukul 11:59 WIB
Utami, Ulfa. 2008. Konservasi Sumber Daya Alam. Malang: UIN Malang Press.
Yasir, Muhammad. Sikap Peduli Lingkungan,
https://www.google.co.id/amp/aceh.tribunnews.com/amp/2013/06/12/sika
p-peduli-lingkungan-awak-geutanyoe, di akses pada 23/10/2017, pukul
13:14 WIB.