keuangan negara dan pemeriksaan keuangan negara
TRANSCRIPT
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
1/24
Page 1of 24
KEUANGAN NEGARA DAN PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARAAhmad Yusuf
Ari Budiono
Doni Katra Lubis
Yunan Awaludin Jarir
Mahasiswa Program D-IV Akuntansi Kurikulum Khusus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
ABSTRAKTulisan ini bertujuan untuk menyajikan konsep keuangan negara dan pemeriksaan keuangan negara serta
beberapa isu terkait seperti wewenang audit BPK terhadap BUMN, kerugian keuangan negara dan publikasi
hasil audit BPK sehubungan dengan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, kewenangan audit BPK
terhadap pajak dan biaya sengketa di pengadilan.
Keywords: Keuangan Negara, Audit, BPK, BUMN, Kerugian Keuangan Negara
A. PendahuluanReformasi keuangan Indonesia ditandai dengan diterbitkannya paket Undang-undang
Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU KN), Undang-undang Nomor 1 tahun 2004
tentang Perbedaharaan Negara dan Undang-undang No 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keungan Negara. Selain itu, diterbitkan pula Undang-undang
Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK merupakan lembaga
yang berwenang melakukan audit atau pemeriksaan keuangan negara yang meliputi audit
keuangan, kinerja dan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDDT). Hal ini sesuai amanat
Undang-undang Dasar 1945.
Menariknya adalah konsep keuangan negara yang didefiniskan di UU KN memasukkan
kekayaaan yang dipisahkan sebagai bagian dari keuangan negara. Hal ini menimbulkan
pertanyaan apakah BPK juga akan mengaudit BUMN. Dilain sisi, BUMN mengikuti hukum
perseroan sesuai Undang-undang Nomor 40 tahun 2007. Terkait hal itu pula, apakah kerugian
BUMN juga termasuk dalah ranah kerugian negara yang dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 stdd UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal-hal
tersebut dan beberapa isu lainnya yang dirasa relevan akan dibahas di paper ini.
B. Pembahasan
1. Keuangan Negara
Sebagai amanat Pasal 23 C Bab VIII UUD 1945, keuangan negara harus diatur dalam undang-
undang terkait dengan pengelolaan hak dan kewajiban negara. Amanat ini dituangkan dalamUndang-Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara. Dalam diktum menimbang
undang-undang no 17 tahun 2003 juga disebutkan latar belakang penyelenggaraan
pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yang menimbulkan hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang.Pengertian keuangan negara dalam perspektif
Undang-undang No 17 tahun 2003 dituangkan dalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 angka (1)
yaitu:
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut
Peraturan-peraturan yang mendasari pengelolaan keuangan negara dan apa yangdimaksudkan dengan keuangannegara adalah :
1. Amandemen ketiga Undang-undang Dasar 1945 pasal 23
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
2/24
Page 2of 24
2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
4. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara
Undang-undang Nomor 17/2003 merupakan undang-undang keuangan pertama yangdimiliki Indonesia untuk melaksanakan amanat pasal 23 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
hal-hal lain mengenai keuangan negara yang tidak diatur dalam UUD 1945 akan diatur dalam
undang-undang tersendiri. Sebelum terbitnya Undang-undang no 17 tahun 2003, Indonesia
masih menganut pengaturan keuangan yang diwariskan oleh penjajah Belanda yang berlaku
berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yakni:
1. Indische Comptabiliteitswet (ICW) tahun 1864 Stbl. 1925 No. 448 selanjutnya diubah dan
diundangkan dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 6, 1955 Nomor 49, dan terakhir
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968;
2.
Indische Bedrijvenwet (IBW) tahun 1864 Stbl. 1927 No 419 jo. Stbl. 1936 No. 445; dan3. Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) tahun 1864 Stbl. 1933 No. 381;
4. Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No.
320 terkait dengan pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek,
subyek, proses, dantujuan.
Obyek : semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara.
Subyek : Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan
badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Proses: seluruh rangkaian mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
Tujuan : dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Lebih jelasnya mengenai ruang lingkup keuangan negara dijabarkan dalam pasal 2 yang
memberi cakupan Keuangan Negara terdiri dari:
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan
pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintaha negara dan
membayar tagihan pihak ketiga;c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat
berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas
pemerintah dan/atau kepentingan umum;
i.
Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikanpemerintah.
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
3/24
Page 3of 24
Selain melihat definisi keuangan negara pada Undang-Undang Keuangan Negara, sebagian
ahli juga mengaitkan bagaimana Undang-Undang Dasar 1945 mengatur tentang keuangan
negara. Pada dasarnya UUD 1945 tidaklah secara tersurat mendefinisikan apa yang
dimaksudkan dengan Keuangan Negara sehingga memerlukan penafsiran lebih lanjut dari para
ahli untuk dapat memahaminya. Keuangan Negara jika dikaitkan dengan Amandemen III UUD
1945 pengertian keuangan negara tidak hanya sebatas pada APBN tetapi juga termasuk APBD
Daerah (Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum; Teori, Praktik, dan
Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005). Ini terkait dengan
perubahan struktur organisasi dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), di mana
dalam Pasal 23 UUD 1945 hasil pemeriksaan keuangan oleh BPK diserahkan kepada DPR, DPD,
DPRD sesuai dengan kewenangannya.
Jika kita kaitkan batasan mengenai keuangan negara pada Undang-Undang Nomor 17 tahun
2003 dengan Pasal 23 UUD 1945, maka definisi dalam UU 17/2003 menjadi kurang tepat.
Karena Pasal 23 UUD 1945 mendefinisikan keuangan negara hanyalah sebatas APBN dan
APBD, sedangkan menurut UU 17/2003 juga meliputi BUMN dan BUMD.
Siklus APBN
Bentuk pengelolaan keuangan negara yang tercantum pada UU No 17/2003
terimplementasikan dalam bentuk pelaksanaan program dan kegiatan yang tercantum dalam
APBN dan APBD setiap tahunnya. Siklus APBN dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan
yang berawal dari perencanaan dan penganggaran sampai dengan pertanggungjawaban
APBN yang berulang dengan tetap dan teratur setiap tahun anggaran.
Siklus APBN
Sumber: Pokok-Pokok Siklus APBN di Indonesia Penyusunan Konsep Kebijakan dan Kapasitas Fiskal SebagaiLangkah Awal
Perencanaan dan Penganggaran
Siklus APBN diawali dengan tahapan kegiatan perencanaan kegiatan (Perencanaan) dan
perencanaan anggaran (Penganggaran) APBN yang saling terintegrasi satu sama lain. Sebelum
penyusunan rencana anggaran, Pemerintah BPS, dan Bank Indonesia menyiapkan asumsi dasar
ekonomi makro yang akan digunakan sebagai acuan penyusunan kapasitas fiscal Pemerintah.
Program yang akan dilaksanakan haruslah tercantum dalam suatu rencana kerja. Kementerian
Negara/Lembaga (K/L) berperan untuk menyiapkan Renstra untuk rencana jangka menengah
dan RKA-KL untuk rencana tahunan. RKA-KL haruslah mencerminkan prioritas pembangunan
yang telah ditetapkan oleh Presiden dan mendapat persetujuan DPR. Setelah melalui
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
4/24
Page 4of 24
pembahasan antara K/L selaku chief of operation officer (COO) dengan Menteri Keuangan
selaku chief financial officer (CFO) dan Menteri Perencanaan, dihasilkan Rancangan Undang-
Undang APBN (RAPBN) yang bersama Nota Keuangan kemudian disampaikan kepada DPR
pada bulan Agustus dengan disertai Nota Keuangan.
Pembahasan APBN
Pembahasan RAPBN di DPR dilakukan dari bulan Agustus Oktober. Selama proses
pembahasan bisa saja terjadi perubahan RAPBN oleh Pemerintahn atas dasar masukan DPR
tapi perlu diingat bahwa DPR tidak memiliki wewenang untuk mengubah dan mengusulkan
RAPBN. Hak yang dimiliki DPR hanya sebatas menyetujui, mengajukan usulan perubahan, atau
menolak RAPBN.
Penetapan APBN
Setelah melalui proses pembahasan dan mungkin saja pengubahan atas RAPBN, serta DPR
menyetujui RAPBN tersebut kemudian tahap selanjutnya adalah proses penetapan RAPBN
menjadi Undang-undangAPBN.
Pelaksanaan APBN
Tahapan pelaksanaan APBN dilakukan oleh K/L dan Bendahara Umum Negara dengan
mengacu pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sebagai alat pelaksanaan APBN. Akan
tetapi azas anggaran yang dikenal dengan azas flexibilitas tetap berlaku. Hal ini bertujuan
untuk menghadapi kondisi riil yang tidak selalu sama dengan asumsi yang digunakan dalam
penyusunan anggaran.
Setiap tengah tahun berjalan akan dilakukan revisi APBN atau APBN-Perubahan (APBN-P).
Penyusunan PBN-P diawali dengan penyampaian realisasi anggaran semester I dan prognosis
penerimaan dan pengeluaran semester II.
Dalam kondisi tertentu, Pemerintah boleh saja melakukan pengeluaran yang tidak tersedia
dalam anggaran. Pengeluaran ini nantinya akandicantumkan dalam APBN-P jika pengeluaran
dilakukan sebelum APBN-P disusun dan dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran disertai
penjelasan.
Pelaporan dan Pencatatan APBN
Pemerintah memiliki kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban berupa akuntabilitas
keuangan dan akuntabilitas kinerja kepada masyarakat. Oleh karena itu selama proses
pelaksanaan APBN, K/L dan BUN wajib melakukan pelaporan dan pencatatan sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) sehingga menghasilkan Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP) yang terdiri atas Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca,
Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK). Ini merupakan
wujud akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
Pemeriksaan APBN dan Pertanggungjawaban APBN
Laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan seperti yang telah disebutkan di
atas disampaikan oleh K/L kepada Presiden sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban dan
juga sebagai komponen dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
Kementerian/Lembaga merupaka entitas pelaporan sehingga terhadap laporan keuangannya
juga harus dilakukan pemeriksaan oleh BPK untuk diberikan opini atas kewajaran penyajian
laporan keuangannya.
Laporan Keuangan yang disampaikan dalam RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan
APBN adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK RI. Pemeriksaan dilakukan selama
dua bulan setelah laporan keuangan selesai disusun. Laporan keuangan ini paling lambat
diserahkan kepada DPR pada akhir bulan Juni tahun berikutnya. Laporan Keuangan dilampiri
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
5/24
Page 5of 24
dengan Laporan Kinerja dan Laporan keuangan BUMN dan badan lainnya, dan juga disertai
dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab.
Ketentuan pemeriksaan oleh BPK diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004
tentang Pemeriksaan Tanggung Jawab dan Pengelolaan Keuangan Negara. Selain itu dalam
UUD RI Tahun 1945, pemeriksaan atas pengelolaan pertanggungjawaban keuangan negara dan
pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dilaksanakan oleh BPK. Dalam hal ini BPK
memiliki kewenangan untuk melakukan tiga jenis pemeriksaan yakni:
a. Pemeriksaan keuangan
b. Pemeriksaan Kinerja
c. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Siklus APBN tahun tertentu tidak hanya meliputi waktu satu tahun tetapi akan saling
beririsan dengan APBN tahun sebelum dan sesudahnya. Contohnya, 2014, ditangani kegiatan
atau tahapan dari siklus APBN untuk tiga tahun anggaran yang berbeda: tahapan pemeriksaan
dan pertanggungjawaban tahun anggaran sebelumnya (2013), tahapan pelaksanaan APBN
tahun berjalan (2014), dan tahapan perencanaan dan penganggaran serta penetapan APBNtahun anggaran berikutnya (2015) termasuk MTBF 2016 2018.
2. Pemeriksaan Keuangan Negara
Beberapa definisi terkait pemeriksaan keuangan negara yang teradapat pada UU nomor 15
tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keungan Negara
a. Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan
secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk
menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
b.
Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disebut BPK, adalah Badan PemeriksaKeuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. BPK adalah pihak yang ditugaskan untuk menjadi pelaksana
pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
c. Pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK
d. Pejabat yang diperiksa dan/atau yang bertanggung jawab, yang selanjutnya disebut
pejabat, adalah satu orang atau lebih yang diserahi tugas untuk mengelola keuangan
negara.
e. Lembagaperwakilan adalah DPR, DPD, DPRD Provinsi dan/atau DPRD Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Pemeriksaan keuangan negara bertujuan untuk :
Pemeriksaan atas keu negara semakin penting karena adanya tuntutan pengelolaan
keuangan negara yg transparan & akuntabel
meningkatkan akuntabilitas guna mewujudkan good governance
A. Ruang lingkup pemeriksaan
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pemeriksaan yang menjadi tugas BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan
tanggung jawab mengenai keuangan negara. Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur
keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 tahun 2003
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
6/24
Page 6of 24
tentang Keuangan Negara. Sehubungan dengan itu, kepada BPK diberi kewenangan untuk
melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan, akni:
1. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka
memberikan pernyataan opini entang tingkat kewajaran informasi yang disajikan
dalam laporan keuangan pemerintah.
2. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta
pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen
oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan BPK untuk melaksanakan
pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah
untuk mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan.
Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang
dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien
serta memenuhi sasarannya secara efektif.
3.
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan
tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk
dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang
berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pelaksanaan pemeriksaan
sebagaimana dimaksudkan di atas didasarkan pada suatu standar pemeriksaan. Standar
dimaksud disusun oleh BPK dengan mempertimbangkan standar di lingkungan profesi
audit secara internasional. Sebelum standar dimaksud ditetapkan, BPK perlu
mengkonsultasikannya dengan pihak pemerintah serta dengan organisasi profesi di
bidang pemeriksaan.
Hasil pemeriksaanSetelah pemeriksaan selesai dilakukan, pemeriksa harus menyusun Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP). Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan,
kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, juga dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil
pemeriksaan.
Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini.
Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.
Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.
Bila diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim pemeriksaan. Laporan interim
pemeriksaan diterbitkan sebelum suatu pemeriksaan selesai secara keseluruhan dengan
tujuan untuk segera dilakukan tindakan pengamanan dan/atau pencegahan bertambahnyakerugian. laporan hasil pemeriksaan diserahkan kepada lembaga perwakilan, entitas yang
diperiksa, pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengatur entitas yang diperiksa, pihak
yang bertanggung jawab untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan, dan kepada pihak
lain yang diberi wewenang untuk menerima laporan hasil pemeriksaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Laporan hasil pemeriksaan harus didistribusikan tepat waktu kepada pihak yang
berkepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun dalam hal
yang diperiksa merupakan rahasia negara maka untuk tujuan keamanan atau dilarang
disampaikan kepada pihak-pihak tertentu atas dasar ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, pemeriksa dapat membatasi pendistribusian laporan tersebut.1. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan oleh
BPK kepada DPR, DPD, Presiden/gubernur/bupati/walikota(sesuai kewenangannya)
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
7/24
Page 7of 24
selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah
pusat.
2. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh
BPK kepada DPRD, Presiden/gubernur/bupati/walikota(sesuai kewenangannya)
selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah
daerah.
3. Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/ DPD/ DPRD, Presiden/
gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.
4. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/ DPD/
DPRD Presiden/ gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (disingkat LKPP) adalah laporan pertanggung-
jawaban pelaksanaanAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang terdiri dari Laporan
Realisasi Anggaran,Neraca,Laporan Arus Kas DanCatatan Atas Laporan Keuangan yang
disusun sesuai denganStandar Akuntansi Pemerintah. LKPP Merupakan konsolidasi laporan
keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang disusun dengan berdasarkan praktik terbaik
internasional (best practice) dalam pengelolaan keuangan Negara. LKPP diterbitkan setiap
tahun, dan pertama kali diterbitkan pada tahun 2004 sejak Indonesia merdeka sebagai bentuk
pertanggungjawaban keuangan pemerintah. LKPP disusun olehDirektorat Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan Kementerian Keuangan Indonesia.
Komponen LKPP
Saat ini laporan keuangan pemerintah pusat disusun berdasarkan penerapan akuntansi
basis kas menuju akrual. Pada tahun 2015 penerapan basis akrual akan diberlakukan di
Indonesia sehingga laporan keuangan yang diberi opini olehBadan Pemeriksa
Keuangan adalah yang berbasis akrual.
Komponen laporan keuangan pemerintah berbasis akrual terdiri dari:
1. Laporan Pelaksanaan Anggaran, yang terdiri dariLaporan Realisasi
Anggaran danLaporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih
2. Laporan Finansial, yang terdiri dariNeraca,Laporan Operasional,Laporan Perubahan
Ekuitas danLaporan Arus Kas. Adapun Laporan Operasional (LO) disusun untuk
melengkapi pelaporan dan siklus akuntansi berbasis akrual sehingga penyusunan LO,
Laporan Perubahan Ekuitas dan Neraca mempunyai keterkaitan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Catatan Atas Laporan Keuangan
Laporan Realisasi Anggaran
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) merupakan salah satu komponen laporan keuangan
pemerintah yang menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan pemakaian sumber daya keuangan
yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan perbandingan antara
anggaran dan realisasinya dalam suatu periode tertentu.
Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih
Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (SAL) menyajikan informasi kenaikan atau
penurunan SAL tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan hanya disajikan
oleh Bendahara Umum Negara dan entitas pelaporan yang menyusun laporan keuangan
konsolidasi.
Neraca
http://id.wikipedia.org/wiki/APBNhttp://id.wikipedia.org/wiki/Neracahttp://id.wikipedia.org/wiki/Laporan_arus_kashttp://id.wikipedia.org/wiki/Catatan_atas_laporan_keuanganhttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Standar_Akuntansi_Pemerintah&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Direktorat_Akuntansi_dan_Pelaporan_Keuangan_Kementerian_Keuangan_Indonesia&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Direktorat_Akuntansi_dan_Pelaporan_Keuangan_Kementerian_Keuangan_Indonesia&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pemeriksa_Keuanganhttp://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pemeriksa_Keuanganhttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Realisasi_Anggaran&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Realisasi_Anggaran&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Perubahan_Saldo_Anggaran_Lebih&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Neracahttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Operasional&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Perubahan_Ekuitas&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Perubahan_Ekuitas&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Arus_Kas&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Catatan_Atas_Laporan_Keuangan&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Catatan_Atas_Laporan_Keuangan&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Arus_Kas&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Perubahan_Ekuitas&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Perubahan_Ekuitas&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Operasional&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Neracahttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Perubahan_Saldo_Anggaran_Lebih&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Realisasi_Anggaran&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Realisasi_Anggaran&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pemeriksa_Keuanganhttp://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pemeriksa_Keuanganhttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Direktorat_Akuntansi_dan_Pelaporan_Keuangan_Kementerian_Keuangan_Indonesia&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Direktorat_Akuntansi_dan_Pelaporan_Keuangan_Kementerian_Keuangan_Indonesia&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Standar_Akuntansi_Pemerintah&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Catatan_atas_laporan_keuanganhttp://id.wikipedia.org/wiki/Laporan_arus_kashttp://id.wikipedia.org/wiki/Neracahttp://id.wikipedia.org/wiki/APBN -
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
8/24
Page 8of 24
Neraca merupakan laporan keuangan yang menggambarkan posisi keuangan suatu entitas
pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu.
Laporan Operasional
Laporan Operasional (LO) disusun untuk melengkapi pelaporan dari siklus akuntansi
berbasis akrual (full accrual accounting cycle) sehingga penyusunan Laporan Operasional,
Laporan Perubahan Ekuitas, dan Neraca mempunyai keterkaitan yang dapat
dipertanggungjawabkan. LO menyediakan informasi mengenai seluruh kegiatan operasional
keuangan entitas pelaporan yang tercerminkan dalam pendapatan-LO, beban, dan
surplus/defisit operasional dari suatu entitas pelaporan yang penyajiannya disandingkan
dengan periode sebelumnya.
Laporan Arus Kas
Laporan Arus Kas (LAK) adalah bagian dari laporan finansial yang menyajikan informasi
penerimaan dan pengeluaran kas selama periode tertentu yang diklasifikasikan berdasarkan
aktivitas operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris. Tujuan LAK untuk memberikan
informasi mengenai sumber, penggunaan, perubahan kas dan setara kas selama suatu periode
akuntansi serta saldo kas dan setara kas pada tanggal pelaporan. LAK wajib disusun dan
disajikan hanya oleh unit organisasi yang mempunyai fungsi perbendaharaan umum.
Laporan Perubahan Ekuitas
Laporan Perubahan Ekuitas (LPE) menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas
tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. LPE menyediakan informasi
mengenai perubahan posisi keuangan entitas pelaporan, apakah mengalami kenaikan atau
penurunan sebagai akibat kegiatan yang dilakukan selama periode pelaporan.
Catatan Atas Laporan Keuangan
Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
Laporan Keuangan dan oleh karenanya setiap entitas pelaporan diharuskan untuk menyajikan
Catatan atas Laporan Keuangan. CaLK meliputi penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas
nilai suatu pos yang disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan Saldo
Anggaran Lebih, Neraca, Laporan Operasional, Laporan Arus Kas, dan Laporan Perubahan
Ekuitas. Termasuk pula dalam Catatan atas Laporan Keuangan adalah penyajian informasi
yang diharuskan dan dianjurkan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan serta
pengungkapan-pengungkapan lainnya yang diperlukan untuk penyajian yang wajar atas
laporan keuangan, seperti kewajiban kontinjensi dan komitmen-komitmen lainnya. CaLK
bertujuan untuk meningkatkan transparansi laporan keuangan dan penyediaan pemahaman
yang lebih baik atas informasi keuangan pemerintah
Pengawasan Intern Oleh APIP
Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan
kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka
memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok
ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam
mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.
Dasar Hukum:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara
c.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
9/24
Page 9of 24
d. Permenpan Nomor 03 tahun 2008 tentang Standar Audit APIP
e. Permenpan Nomor 04 tahun 2008 tentang Kode Etik APIP
Perwujudan Peran APIP yang Efektif:
Memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas
pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Pemerintah
Memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan
penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah; dan
Memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi
instansi pemerintah.
Penguatan Efektivitas Penyelenggaraan SPIP:
Menteri/ pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota bertanggung jawab atas
efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern di Lingkungan masing-masing.
Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas Sistem Pengendalian Intern dilakukan:
o pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi Pemerintah
termasuk akuntabilitas keuangan negara
o pembinaan penyelenggaraan SPIP
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah terdiri dari:
1. BPKP
Melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan
tertentu yang meliputi:
a. Kegiatan yang bersifat lintas sektoral;
b. Kegiatan kebendaharaan umum negara
c. Berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara; dan
d.
Kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden
3. Inspektorat Jendral : melakukan pengawasan seluruh kegiatan dalam rangka
penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang didanai dengan
APBN
4. Inspektorat provinsi : melakukan pengawasan seluruh kegiatan satuan kerja perangkat
daerah provinsi yang didanai dengan APBD Provinsi
5. Inspektorat Kabupaten/Kota: melakukan pengawasan seluruh kegiatan satuan kerja
perangkat daerah kab/kota yang didanai dengan APBD kab/kota
Bentuk Pengawasan oleh APIP:
Audit : adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi bukti yang dilakukan
secara independen, obyektif dan profesional berdasarkan standar audit, untuk menilai
kebenaran, kecermatan, kredibilitas, efektivitas, efisiensi, dan keandalan informasi
pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah.
Reviu : adalah penelaahan ulang bukti-bukti suatu kegiatan untuk memastikan bahwa
kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, standar, rencana, atau
norma yang telah ditetapkan
Evaluasi: adalah rangkaian kegiatan membandingkan hasil atau prestasi suatu kegiatan
dengan standar rencana, atau norma yang telah ditetapkan, dan menentukan faktor-
faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan dalam mencapai
tujuan
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
10/24
Page 10of 24
Pemantauan: adalah proses penilaian kemajuan suatu program atau kegiatan dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan
Kegiatan pengawasan lainnya:antara lain berupa sosialisasi mengenai pengawasan,
pendidikan dan pelatihan pengawasan, pembimbingan dan konsultasi, pengelolaan hasil
pengawasan, dan pemaparan hasil pengawasan.
Tujuan Standar Audit APIP
1. Menetapkan prinsip-prinsip dasar
2. Menyediakan kerangka kerja
3. Menetapkan dasar pengukuran kinerja audit
4. Mempercepat perbaikan kegiatan operasi
5. Mendorong auditor untuk mencapai tujuan audit
6. Pedoman dalam pekerjaan audit
7. Dasar penilaian keberhasilan
Kewajiban APIP
1.
Menyusun Rencana Pengawasan
2. Mengkomunikasikan dan Meminta Persetujuan Rencana Pengawasan Tahunan
3. Mengelola Sumber Daya
4. Menetapkan Kebijakan dan Prosedur
5. Melakukan Koordinasi
6. Menyampaikan Laporan Berkala
7. Melakukan Pengendalian Kualitas dan Program Pengembangan
8. Menindaklanjuti Pengaduan dari Masyarakat
6. Isu isu terkait Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
a.
Kewenangan BPK dalam mengaudit BUMN terkait Keuangan Negara
Kewenangan BPK dalam mengaudit BUMN sesuai amanat UUD, UU Keuangan Negara, UU
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keungan Negara pernah diajukan uji materi
kepada Mahkamah Konstitusi. Berikut ini merupakan petikan pokok perkara serta putusan Mk
tersebut.
Putusan MK nomor 62/PUU-XI/2013terkait permohonan uji materi
UU No 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara pasal 2
Menurut pemohon:
Pemohon (Forum Hukum BUMN) meminta MK mengeluarkan kekayaan negara atau daerahyang dikelola BUMN/BUMD serta kekayaan lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas
yang diberikan pemerintah. Mereka meminta agar BPK tak bisa lagi memeriksa pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan di BUMN dan BUMD, meminta keterangan atau dokumen terkait
pemeriksaan, serta memberikan pendapat kepada DPR atau instansi lain terkait hasil
pemeriksaannya. Dalam permohonannya, mereka memohon pengujian konstitisionalitas Pasal
2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal
10 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 11 huruf a UU BPK. Pemohon menilai pengertian keuangan
negara dan kekayaan negara dalam Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara
menyebabkan disharmonisasi antara UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas.
Pihak pemohon memandang bahwa pengkategorian kekayaan BUMN dan BUMD sebagai
kekayaan negara telah menimbulkan ketidakpastian dan benturan hukum. Sebab, tidak
dibedakannya keuangan BUMN dan BUMD dengan keuangan negara tersebut telah
mengakibatkan disparitas dan disharmoni pengertian terkait dengan definisi dan lingkup
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
11/24
Page 11of 24
keuangan negara. Termasuk menjadikan BUMN sebagai salah satu objek pemeriksaan BPK.
Menurut mereka, sebagai badan hukum privat yang berbentuk perseroan, BUMN seharusnya
tidak dikategorikan dalam cakupan pengaturan keuangan negara yang termasuk menjadi objek
pemeriksaan BPK. Karena secara hukum BUMN tunduk kepada UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Akibatnya, merugikan kedudukan BUMN selaku badan hukum perdata. Sebab, tidak adaperbedaan yang tegas saat kapan menjadi badan hukum publik dan badan hukum perdata,
yang menjadi lingkup kewenangan BPK mengaudit pengelolaan keuangan BUMN. Terlebih,
secara regulasi, tata kelola, dan risiko BUMN/BUMD tidak diwujudkan (masuk) dalam UU
APBN.
Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara
bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa termasuk kekayaan yangdipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah dan frasa kekayaan pihak lain yang
diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Berikut kutipan permohonan dari Alasan mengajukan uji materi dalam amar putusan MK:
1. Pasal 2 Ayai (1) huruf B Undang undang no 19 tahun 2003 tentang BUMN menyatakan
tujuan BUMN salah satunya adalah menghasilkan laba. Oleh karena itu, BUMNmelakukan usaha yang tentu saja menghadapi risiko.
2. Ketentuan pasal 2 huruf g dan huruf I UU Keuangan negara, dimana definisi keuangan
negara mencakup kekayaan lain yang dipisahkan pada perusahaan negara termasuk
BUMN dan juga kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan fasilitas yang diberi oleh
pemerintah.
3. Implikasi negatifnya adalah pemohon mendapat kendala dalam melaksanakan fungsi
terkait adanya ketidakjelasan ketentuan yang mengatur BUMN, termasuk dalam UU
BPK pasal 6, pasal 9, dan pasal 10.
4. Bahwa BUMN sebagai badan hukum privat tidak dikategorikan sebagai cakupan
keuangan negara, namun hanya tunduk pada UU BUMN dan UU perseroan terbatas.
Dengan demikian, pemohon merasa ada kerugian dengan tidak adanya jaminan kepastian
hukum yang adil dan kesamaan dimata hukum. Menurut pemohon, dalam UU APBN tiap
tahunnya mengatur dua hal yang terkait dengan BUMN:
1. Dana APBN yang dialokasikan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan untuk
menjadi modal BUMN yang harusnya bukan lagi domain dari kekayaan negara
2. PNBP berupa bagian pemerintah atas laba BUMN (dividen) yang dinyatakan dalam
RUPS yang menjadi bagian dari keuangan negara.
Putusan MK:
Dalam pertimbangan putusan MK yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi, Aswanto
memandang, BUMN atau BUMD adalah perusahaan milik negara. Walaupun kekayaan negara
yang diberikan kepada BUMN untuk dijadikan modal usaha BUMN atau BUMD tersebut
kemudian dipisah dari kekayaan negara, pemisahan tersebut semata hanyalah untuk
memudahkan pengelolaan usaha.
Menurut Mahkamah, justru timbul ketidakpastian hukum apabila Pasal 2 huruf g dan huruf i
dihapus karena ada ketidakjelasan status keuangan negara yang digunakan oleh BHMN
Perseroan Terbatas dalam menyelenggarakan fungsi negara.
Menurut Mahkamah, pemisahan kekayaan negara dilihat dari perspektif transaksi bukanlah
transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak
dari negara kepada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Dengan demikian kekayaan
negara yang dipisahkan tersebut masih tetap menjadi kekayaan negara.
Sementara objek pemeriksaan BPK yang diatur Pasal 6 ayat (1) UU BPK adalah keuangan
negara yang dikelola oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya,Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau
badan lain yang mengelola keuangan negara. Norma tersebut adalah tindak lanjut Pasal 23E
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
12/24
Page 12of 24
ayat (1) dan Pasal 23G ayat (2) UUD 1945 yang merupakan kebijakan hukum terbuka (opened
legal policy) yang diberikan UUD 1945 kepada pembentuk Undang-Undang sepanjang
berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara.
Terkait kewenangan BPK, menurut Mahkamah, oleh karena masih tetap sebagai keuangan
negara dan BUMN atau BUMD juga kepanjangan negara yang sesungguhnya milik negara dan,
tidak terdapat alasan BPK tidak berwenang lagi memeriksanya. Atas dasar itu, Pasal 6 ayat (1),Pasal 9 ayat (1) huruf b, dan Pasal 10 ayat (1), (3), Pasal 11 huruf a khususnya sepanjang frasa
Badan Usaha Milik Negara UU BPK tidak beralasan menurut hukum.
Selain itu, ada pula putusan MK terhadap uji materi terkait piutang bank BUMN. Berikut
merupakan isi putusan MK tersebut.
Putusan MK terkait uji materi piutang bank BUMN
Latar belakang:Berdasarkan ketentuan Undang undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN pengurusan
piutang Negara/Lembaga Pemerintah Non Kementerian Negara/Lembaga Negara, piutang
Daerah, piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau
seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN)/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Sesuai dengan amanat yang terdapat
dalam pasal 8 dan pasal 12 Nomor 49 Prp. Tahun 1960, piutang instansi pemerintah dan
badan-badan tersebut di atasinstansi wajib diserahkan piutangnya kepada PUPN.
Penyerahan pengurusan PUPN/DJKN dilakukan setelah instansi pemerintah dan badan-badan
tersebut di atas yang memiliki piutang melakukan upaya penagihan akan tetapi debitor belum
melunasi hutangnya, dan instansi pemerintah dan badan badan tersebut di atas yang memiliki
piutang dapat menyampaikan dokumen yang menunjukkan adanya dan besarnya piutang.
Pemohon:
Permohonan ini diajukan Direktur Utama PT Lamindo Group Syaiful yang menaungi tujuh
perusahaan, salah satunya PT Sarana Aspalindo Padang Dkk. Para pemohon menilai
berlakunya pasal-pasal itu menimbulkan ketidakadilan, dan ketidakpastian hukum bagi
debitur yang mengalami kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI). Hal ini bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Sejak berlakunya UU PUPN ini pemerintah (bank pemerintah, red) masih belum bisa
melakukan pemotongan utang (hair cut) kepada debitur yang mengalami kredit macet di bank
pemerintah karena terikat dengan kewenangan PUPN. Jika pemotongan hutang dilakukan
berdasarkan struktur keuangan negara dinilai sebagai kerugian negara yang dianggap sebagai
korupsi.Sementara kalau di bank swasta pemotongan utang berdasarkan aturan bisa dilakukan. Hal ini
menimbulkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif yang dialami pemohon. Karena itu, para
pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu dengan menyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Kuasa hukum pemohon, Gradios Nyoman Tio Rae menyambut baik putusan MK ini. Dengan
adanya putusan MK ini semua debitur bank BUMN akan mendapatkan perlakuan yang adil.
Putusan ini memberi arahan kepada bank BUMN untuk melaksanakan tugasnya secara
profesiomal berdasarkan RUPS.
Keputusan MK:
Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Pasal 4,
Pasal 8, dan Pasal 12 ayat (1) UU No 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan PiutangNegara (PUPN). Mahkamah membatalkan frasa badan-badan negara dalam pasal-pasal itu.
Artinya, secara tersirat MK menyatakan piutang badan usaha yang dikuasai negara (bank
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
13/24
Page 13of 24
BUMN) tidak perlu menyerahkan piutang (tagihan) kepada PUPN lagi.
Menurut Ketua Majelis MK saat itu, Moh Mahfud MD, Frasa atau Badan-badan yang baik secara
langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara dalam Pasal 8 UU PUPN bertentangan
dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusannya, melalui
Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menuturkan terdapat dua jenis piutang negara sesuai UU
PUPN yaitu:1. piutang negara dan
2. piutang badan yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara.
Dalam hal ini, termasuk piutang bank-bank BUMN yang langsung atau tidak langsung
dikuasai negara.
Dalam pengertian ini, piutang-piutang bank BUMN yang ada dan jumlahnya telah pasti
dilimpahkan penyelesaiannya kepada PUPN, yang tidak memiliki kebebasan melakukan
restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut. Di sisi lain, kenyataannya debitur pada
Bank non-BUMN mendapatkan fasilitas restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut
kepada debiturnya oleh masing-masing manajemen bank yang bersangkutan.
Mengacu Pasal 1 angka 6 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, piutang
negara hanyalah tagihan sejumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah pusat dan/atau
pemerintah daerah. Jadi, tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atautidak langsung dikuasai negara termasuk dalam hal ini piutang Bank BUMN.
Pendapat ahli pemerintah, Mariam Darus, berpendapat dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 2004
telah terjadi perubahan pengertian tentang piutang negara yang intinya piutang badan atau
BUMN telah dikeluarkan dari lingkup piutang negara. Menurut ahli lainnya, Darminto Hartono
piutang BUMN yang dalam hal ini BNI adalah piutang perseroan terbatas, sehingga mekanisme
penyelesaian dapat melakukan restrukturisasi baik dalam bentuk hair cut, konversi, maupun
rescheduling.
Menurut Mahkamah, penyelesaian piutang Bank BUMN masih terdapat dua aturan yang
berlaku yakni UU PUPN dan UU Perbendaharaan Negara jo UU BUMN, UU Perseroan Terbatas,
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
konstitusi. Hal ini menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitur bank BUMN dan bankswasta, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Karena itu, piutang bank BUMN setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 2004, UU BUMN, dan serta
UU Perseroan Terbatas bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke
PUPN. Piutang bank-bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing
bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat.
Menurut Mahkamah Pasal II ayat (1) huruf b PP No. 36 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP
No 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah tidak sejalan
dengan UU 1/2004, UU BUMN, dan UU PT. Dengan demikian, piutang negara yang berkaitan
dengan piutang badan-badan usaha baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara
dalam UU No. 49 Tahun 1960 adalah beralasan menurut hukum.
Di lain pihak, Mahkamah Agung pernah mengeluarkan fatwa atas permintaan Menteri
Keuangan mengenai tagihan bank-bank BUMN. MA menyatakan bahwa tagihan bank BUMN
bukan tagihan negara karena bank BUMN Persero tunduk pada UU No.1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas (PT). Fatwa Mahkamah Agung (MA) Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006
tanggal 16 Agustus 2006. Fatwa MA tersebut menyatakan bahwa UU No. 19/2003 merupakan UU
khusus (lex spesialis) dan Modal BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN dan
selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan
pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.
Jika bisa ditarik simpulan dari putusan MK menyatakan bahwa BPK tetap berwenang
mengaudit BUMN sebagai bagian dari Keuangan Negara. Di sisi lain, piutang BUMN tidakdimasukkan sebagai piutang negara yang diperkuat dengan fatwa MA. Hal ini menunjukkan
ada dua sudut pandang yaitu yuridis terkait wewenang BPK yang tetap dapat mengaudit BUMN
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
14/24
Page 14of 24
sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dan sisi bisnis terkait putusan piutang BUMN
yang tidak termasuk piutang negara.
b. Kerugian BUMN terkait Keuangan Negara
Saat ini, terdapat dua pendekatan tentang kerugian BUMN Persero dan kerugian negara,
yaitu pendekatan hukum (legal judgement) dan pendekatan bisnis (business judgement)yang
menghasilkan dua pengertian berbeda.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara (UU BUMN), Badan Usaha Milik Negara atau BUMN adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
BUMN sendiri terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) dan
Perusahaan Umum (Perum). Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang
modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen)
sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar
keuntungan. Sedangkan, Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak
terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan perusahaan.
Terhadap BUMN yang berbentuk Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip
yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 11
UU BUMN jo. Pasal 3 UU BUMN beserta penjelasannya. Dengan demikian, segala peraturan
yang berlaku terhadap perseroan terbatas berlaku juga untuk BUMN yang berbentuk Persero
selama tidak diatur oleh UU BUMN.
Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPT, perseroan terbatas merupakan
badan hukum yang merupakan persekutuan modal. Dengan demikian Persero yang dalam
pengaturannya merujuk pada UUPT, juga merupakan badan hukum. Dalam buku Prof. Subekti,
S.H. 1yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata pada hal. 21 dijelaskan antara lain, badan
hukum merupakan subyek hukum layaknya perorangan yang dapat memiliki hak-hak dan
melakukan perbuatan-perbuatan hukum layaknya manusia. Badan hukum tersebut juga
memiliki kekayaan sendiri, dapat bertindak dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan
pengurusnya, serta dapat digugat dan juga menggugat di muka Hakim. Dengan memiliki
kekayaan sendiri, maka kekayaan badan hukum terpisah dari kekayaan pendirinya yang
melakukan penyertaan di dalam badan hukum tersebut.
Ini berarti bahwa berdasarkan pengertian BUMN itu sendiri dan ketentuan dalam UUPT,
yang mana BUMN yang berbentuk Persero merupakan badan hukum, maka kekayaan Persero
dan kekayaan negara merupakan hal yang terpisah. Dengan adanya pemisahan kekayaan, ini
berarti kerugian yang dialami oleh BUMN tidak dapat disamakan dengan kerugian negara.
Kerugian BUMN hanyalah akan menjadi kerugian dari BUMN itu sendiri.
Hal tersebut juga berlaku dalam BUMN yang berbentuk Perum, yang berdasarkan Pasal 35
UU BUMN Perum mempunyai status sebagai badan hukum sejak diundangkannya tentang
pendirian Perum tersebut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 35 ayat (2) UU BUMN:
Perum yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh status badan
hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.
1Hukum online
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
15/24
Page 15of 24
Oleh karena Perum juga merupakan badan hukum, maka uraian di atas mengenai kekayaan
badan hukum yang terpisah dari pendirinya juga berlaku untuk Perum. Selain itu, menteri
sebagai salah satu organ Perum, tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai
kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum (dengan beberapa pengecualian)
sebagaimana terdapat dalam Pasal 39 UU BUMN:
Pasal 39 UU BUMN:
Menteri tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat Perum dan tidak
bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam
Perum, kecuali apabila Menteri:
a. baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perum semata-mata
untuk kepentingan pribadi;
b. terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau
c. langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perum.
Maka apabila kerugian tersebut diakibatkan oleh Perum itu sendiri, maka kerugian tersebut
tidak dapat dibebankan kepada negara atau Menteri dan kerugian tersebut bukan merupakantanggung jawab negara atau Menteri. Dengan begitu jelas bahwa negara yang melakukan
penyertaan dalam BUMN tidak mengalami kerugian dengan adanya kerugian dalam BUMN
dalam menjalankan usahanya.
Meski demikian, terdapat ketentuan yang berbeda terkait kekayaan BUMN sebagaimana
diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara). Pasal
2 huruf g UU Keuangan Negara yang menyatakan bahwa keuangan negara meliputi:
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat
berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
Dalam Pasal 1 UU Keuangan Negara juga ditegaskan bahwa perusahaan negara adalahbadan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Ini berarti
kekayaan BUMN termasuk ke dalam kekayaan negara.
Permasalahan ini timbul setelah adanya Undang-undang Keuangan Negara dan Undang-
Undang Dasar 1945 pasca perubahan, BUMN Persero menjadi tidak jelas karena BUMN Persero
masuk dalam tataran hukum publik, padahal berdasarkan Pasal 11 Undang-undang BUMN,
pengelolaan BUMN Persero dilakukan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya. Ditambah lagi dengan keluarnya Fatwa
Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tentang pemisahan kekayaan BUMN dari
kekayaan negara yang menimbulkan kontroversi dan diprotes dari banyak pihak karena
dianggap menghalangi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
selama ini menunjukkan bahwa pengelolaan kekayaan BUMN Persero, tidak terdapat
pemisahan antara status negara sebagai penyelenggara pemerintahan dengan status sebagai
pelaku usaha (investor); investasi negara pada BUMN Persero tersebut belum diperlakukan
sama sebagaimana halnya investasi swasta pada sebuah Perseroan Terbatas. Mengakibatkan
permasalahan yang krusial melanda dikalangan perusahaan swasta maupun BUMN Persero
salah satunya adalah kualifikasi kerugian keuangan negara yang tidak jelas, apakah kesalahan
dalam pengambilan keputusan ataupun akibat resiko bisnis yang menyebabkan perusahaan
BUMN Persero mengalami kerugian termasuk kategori kerugian keuangan negara.
Permasalahan ini mengakibatkan sebagian direksi BUMN Persero takut mengambil keputusan
bisnis karena mereka selalu dihadapkan kepada ancaman resiko kerugian keuangan negara
dan ancaman tindak pidana korupsi.
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
16/24
Page 16of 24
Dalam masalah ini, diperlukan adanya pemisahan yang jelas mengenai status negara sebagai
pelaku usaha dengan status negara sebagai penyelenggara pemerintah. Dengan adanya
pemisahan tersebut maka terdapat kejelasan mengenai konsep kerugian keuangan negara.
BUMN Persero sebagai salah satu bentuk badan usaha yang tujuannya mencari untung adalah
badan hukum yang terpisah dan memiliki tangung jawab yang terpisah pula, walaupun
dibentuk dan modalnya berasal dari keuangan negara dan kerugian satu transaksi atau
kerugian dalam badan hukum tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan
negara karena negara telah berfungsi sebagai badan hukum privat dan terhadap badan hukum
tersebut berlaku juga ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas.
kerugian yang terjadi di suatu BUMN Persero, belum tentu kerugian tersebut
mengakibatkan kerugian negara melainkan kerugian tersebut bisa juga merupakan kerugian
perusahaan (resiko bisnis) sebagai badan hukum privat. Mengenai pertanggungjawaban atas
kerugian perusahaan tersebut seharusnya menggunakan doktrin Business Judgement Rule.
Menurut http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/ ,
Business Judgement Rules is a legal principle that makes officers, directors, managers, and other agents
of a corporation immune from liability to the corporation for loss incurred in corporate transactions that
are within their authority and power to make when sufficient evidence demonstrates that the transactions
were made in Good Faith.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) belum
mengatur secara rinci mengenai konsep Business Judgment Rule. Pasal 85 ayat 1 dari UUPT
hanya menyebutkan secara umum mengenai prinsip itikad baik dan tanggung jawab dari
direksi dalam menjalankan perseroan. Namun dalam rancangan UUPT yang baru, konsep
Business Judgment Rule telah dipertegas dalam Pasal 95 ayat (5) dan Pasal 102 ayat (4),
dimana anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian bila dapat
membuktikan bahwa:
1.
Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan
dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Jadi dalam hal direksi dapat membuktikan keempat unsur diatas maka atas kerugian
tersebut direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena kerugian itu merupakan kerugian
akibat resiko bisnis.
Undang-undang no 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi , yang berlaku mulaitanggal 16 Agustus 1999 dan telah direvisi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas UU nomor 31 Tahun 1999 dimaksudkan untuk menggantikan undang-undang
no 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun tujuan yang diemban
dalam pengundangan UU TP Korupsi ini adalah harapan untuk dapat memenuhi dan
mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka
mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat
merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan masyarakat pada umumnya.
Disamping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas
sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengancara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
17/24
Page 17of 24
dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian
yang dibebankan kepada terdakwa.
Kerugian Keuangan Negara dari Sudut UU Tipikor
Istilah keuangan negara dalam undang-undang ini tercantum dalam pasal 2 yang berbunyi:
(ayat 1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit RP.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan pasal 3 yang berbunyi:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukannya yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20
(duapuluh) tahun dan denda paling sedikit RP.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
.Dalam ayat di atas dapat dicermati lebih lanjut yaitu bahwa terdapat 3 pengertian yaitu
kegiatan tindak pidana korupsi, pengertian keuangan negara dan perekonomian
negara. Lebih lanjut pengertian keuangan negara disebutkan dalam bagian penjelasan umum
undang-undang tindak pidana korupsi yaitu bahwa:
keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang
tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban
yang timbul karena:
b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik
tingkat pusat maupun di daerahc. berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjan dengan negara.
Pada bagian yang sama yaitu penjelasan umum undang-undang no 31 Tahun 1999
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun
usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah baik di
tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang beralku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan masyarakat.
Pengertian terakhir adalah tindak pidana korupsi dimana disampaikan bahwa tindak pidana
korupsi adalah:
a. setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa undang-undang ini bermaksud mengantisipasi
penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
18/24
Page 18of 24
rumit. Oleh karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dirumuskan seluas-luasnya sehingga
meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
secara melawan hukum. Dalam rumusan diatas pengertian melawan hukum dalam tindak
pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan
keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Sedangkan yang dimaksud dengan
merugikan adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan
demikian yang dimaksud dengan unsur merugikan keuangan negara adalah sama artinya
dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara.
Dalam hal terjadi kerugian pada BUMN Persero, para penegak hukum dan aparat negara,
masih berpegang pada Pasal 2 huruf g Undang-undang Keuangan Negara dan Penjelasan
Umum Undang-undang Tipikor yang menyatakan bahwa Penyertaan Negara yang
dipisahkan merupakan kekayaan negara, sifatnya tetap berada di wilayah hukum publik,
sehingga kalau uang negara berkurang satu sen pun, maka bisa dianggap merugikan negara.
Padahal kerugian dalam suatu perusahaan tidak dihitung berdasarkan kerugian dari satu
transaksi semata melainkan sebagaimana dalam pasal 60 Undang-Undang No. 1 tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas, bahwa RUPS tahunan menyetujui laporan tahunan dan
pengesahan perhitungan tahunan, jadi jelas bahwa kerugian tidak dihitung berdasarkan satu
transaksi melainkan seluruh transaksi dalam tahun tersebut. Karena bisa saja satu transaksi
rugi tapi transaksi lain untung dan kerugian tersebut dapat ditutupi dengan dana cadangan
perusahaan. Dengan demikian kerugian suatu BUMN Persero belum tentu merupakan kerugian
negara.
Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hasan Bisri mengaku khawatir praktek manipulasi
dan rekayasa yang dilakukan sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) pada periode 1998-
1999 bakal terulang. Perkiraan ini timbul terutama bila uji materi terhadap Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan terkait dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.2 Menurutnya BPK sudah dengan jelas membedakan
kerugian akibat risiko bisnis atau kesalahan managemen BUMN. 3Misalnya kerugian Garuda
yang dipengaruhi oleh kurs rupiah. Dalam hal seperti ini maka tidak ada unsur kerugian negara
yang dikenakan. Akan tetapi, hal ini belum memiliki payung hukum yang jelas sehingga masih
perlu ditindaklanjuti untuk membuat payung hukum demi kepastian hukum.
Dalam Undang-undang Perseroan Terbatas mengatur juga dalam hal pemegang saham yang
merasa dirugikan akibat tindakan direksi, komisaris atau keputusan RUPS yang menyebabkan
perusahaan rugi setelah direksi atau komisaris diberikan kesempatan sebagaimana ketentuan
Business Judgment Rule, maka berdasarkan pasal 97 ayat 6 UU No. 40 tahun 2007, pemegang
saham dapat mengajukan gugatan terhadap perseroan. Selain itu, dalam hal pemegang saham
melihat adanya indikasi pidana dari tindakan direksi atau komisaris yang menyebabkan
kerugian tersebut, tahap pertama yang harus dilakukan adalah tahapan sebagaimana tertuang
dalam ketentuan Pasal 110 Undang-undang Perseroan Terbatas. Kemudian penyelesaiannya
akan menempuh jalur pidana sebagaimana tertuang dalam ketentuan KUHP.
c. Publikasi laporan audit BPK terkait keterbukaan informasi kepada publik
UU no. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberi hak kepada
masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai hail audit BPK. Informasi dapat diperoleh
melalui web maupun meminta kepada Pusat Informasi dan Komunikasi (PIK) BPK.
2Tempo
3BUMN Track
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
19/24
Page 19of 24
Dalam dokumen berjudul Pemuatan Dan Batas Waktu Pemuatan Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) BPK dalam Website, dijelaskan bahwa:
dalam rangka pelaksanaan transparansi dan untuk mendorong terlaksananya
pemerintahan yang baik, BPK RI telah memuat dan mempublikasikan hasil pemeriksaan dalam
website BPK RI setelah hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada lembaga perwakilan.
Sejalan dengan pasal 19 UU no. 15 tahun 2004, pasal 7 UU no. 15 tahun 2006 dan pasal 9 UU no.
14 tahun 2008.
Jadi, dasar hukum pemuatan dan publikasi LHP di situs BPK adalah pasal 19 UU no. 15
tahun 2004, pasal 7 UU BPK dan pasal 9 UU no. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik. Mengenai muatan hasil pemeriksaan yang dapat atau tidak dapat disampaikan kepada
publik, dalam dokumen yang sama dijelaskan:
dengan demikian, BPK dapat membuat suatu aturan mengenai jangka waktu publikasi
dalam website dengan mencontoh pada anao (the australian national audit office), termasuk
kebijakan atau aturan menetapkan adanya hasil pemeriksaan yang masuk dalam kategori
rahasia negara, serta yang tidak bisa disampaikan kepada publik, dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengenai publikasi laporan audit BPK diatur lebih lanjut dalam Peraturan BPK Nomor 3
tahun 2011 Pengelolaan Informasi Publik Pada Badan Pemeriksa Keuangan. Di Pasal 11
peraturan ini mengatur mengenai informasi publik yang dikecualikan untuk dipublikasi
meliputi:
a. informasi terkait dengan proses pemeriksaan atau proses evaluasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b;
b. Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b yang
memuat:
1. rahasia negara;
2.
hasil pemeriksaan investjgatif dan pemeriksaan Fraud Forensic; dan
3. informasi publik yang menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik
dikecualikan untuk dipublikasikan;
c. informasi publik yang dimuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada huruf b angka 3 meliputi:
1. informasi publik yang apabila dibuka dapat menghambat proses penegakan hukum;
2. informasi publik yang dapat mengganggu kepentingan perlindungan atas hak kekayaan
intelektual atau persaingan usaha tidak sehat;
3. informasi publik yang terkait dengan strategi, intelijen, dan sistem pertahanan dan
keamanan negara;
4.
informasi publik yang mengungkapkan kekayaan alam negara Indonesia;
5. informasi publik yang apabila dibuka dapat merugikan ketahanan ekonomi
nasional,antara lain pengawasan terhadap perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan
lainnya;
6. informasi publik yang apabila dibuka dapat mengganggu hubungan luar negeri; dan
7. informasi yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang;
dan/atau informasi yang menurut undang-undang tidak boleh diungkapkan;
d. pedoman pemeriksaan yang meliputi pedoman, standar, panduan, petunjuk pelaksanaan,
petunjuk teknis, prosedur operasional standar, dan seri panduan yang berlaku di
lingkungan BPK;
e.
memorandum atau surat-surat antara BPK dengan Badan Publik lainnya atau disposisi dan
nota dinas internal BPK yang menurut sifatnya dirahasiakan;
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
20/24
Page 20of 24
f. data pribadi pejabat dan pegawai di lingkungan BPK; dan
g. informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.
d. Kewenangan Audit BPK Sehubungan Dengan Kerahasiaan Pajak
Latar belakang BPK mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas Undang Undang
No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan karena dalam pasal tersebut ada pasal tentang prosedur yang
membatasi BPK untuk memperoleh data dan informasi perpajakan. Pasal yang dimaksud adalah
pasal 34 ayat 2a (huruf b) yang berbunyi dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) adalah: pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri
Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi
Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
539/KMK.04/2000 tentang Pihak Lain yang Dapat Diberikan Keterangan oleh Pajabat dan
Tenaga Ahli yang Ditunjuk mengenai Segala Sesuatu yang Diketahui atau Diberitahukan
Kepadanya oleh Wajib Pajak dalam Rangka Jabatan atau Pekerjaannya untuk Menjalankan
Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan, yang ketentuannnya memuat syarat-
syarat bagaimana pihak lain tersebut dapat meminta data Wajib Pajak, antara lain: (1) Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP); (2)
menyampaikan Surat Tugas yang harus menyebutkan nama Wajib Pajak dan keterangan yang
ingin diketahui tentang Wajib Pajak yang bersangkutan; dan (3) Keterangan yang dapat
diberitahukan adalah keterangan yang bersifat umum mengenai perpajakan yang menyangkut
Wajib Pajak dan pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
BPK mempunyai mandat sesuai pasal 23 E ayat 1 UUD 1945 untuk melaksanakan
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang diterjemahkan dalam UU
No 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dan
UU No.15 tahun 2006 tentang BPK. Menurut undang-undang tersebut BPK diberikan
kewenangan untuk mengakses data dan informasi terkait dengan pengelolaan keuangan negara.
Sedangkan dalam pasal 34 UU No. 28/2007 ada pembatasan yaitu hanya pejabat dan tenaga ahli
yang ditetapkan Menkeu yang boleh memberikan keterangan tersebut. BPK meminta frasa
ditetapkan oleh Menkeu tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga BPK dapat meminta
data/informasi kepada aparat dan pejabat pajak dimana pun terkait pemeriksaan BPK.
Selain pembatasan prosedur, BPK menilai ada yang lebih menghambat lagi bagi BPK yaitu
seperti yang tertera dalam penjelasan pasal 34 ayat 2a. Pasal tersebut mengatur secara limitatif
tentang jenis-jenis data/dokumen yang boleh diberikan kepada BPK. Data dan informasi yang
ada dalam penjelasan pasal 34 ayat 2a tidak cukup memadai bagi BPK untuk melakukan audit.
Penjelasan tersebut berisi pembatasan informasi yang bisa diberikan kepada BPK itu
bertentangan dengan Pasal 9 UU No15 Tahun 2006 tentang BPK. Isi pasal 9 UU BPK itu adalah
kewenangan BPK secara keseluruhan. Pasal 9 huruf a menegaskan kewenangan BPK untuk:
...menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan
metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan. Huruf b nya adalah
...meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara.
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
21/24
Page 21of 24
Karena itu, pembatasan informasi yang boleh diberikan kepada BPK jelas-jelas
bertentangan dengan Pasal 9 UU BPK ini. Padahal, Pasal 9 itu merupakan atribusi dari Pasal 23E
UUD' 45 yang merupakan legal standingpemohon.
Informasi yang Diperlukan untuk Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan Penerimaan Pajak
Penjelasan Pasal 34
ayat 2A UU KUP
Versi Pemerintah Versi BPK
Identitas Wajib Pajak
a. Nama
b. NPWP
c. Alamat
d.
Alamat kegiatan
usaha
e. Merek usaha:
dan/atau
f. Kegiatan usaha
Dokumen yang digunakan sebagai
dasar pencatatan, yaitu dokumen
berupa penerimaan pajak berdasarkan
hasil rekonsiliasi antara Ditjen
Perbendaharaan dengan bank persepsi
yang didukung dengan:
a. Surat Setoran Pajak (SSP)
b. Surat Setoran Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan
(SSBPHTB)
c. Surat Tanda Terima Setoran (STTS)
d. Surat Setoran Pabean, Cukai dan
Pajak (SSPCP)
e. Bukti Pemindahbukuan
Dokumen minimal yang harus
diperoleh:
a. Laporan Penerimaan
Pajak oleh DJP
b.
Surat Setoran Pajak (SSP)
sebagai bukti transaksi
penerimaan pajak.
c. Akses data penerimaan
pajak pada sistem
informasi komputer
Hasil Putusan Judicial Review adalah Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan
untuk menolak gugatan "judicial review" BPK karena dianggap tidak memiliki kedudukan
hukum atau "legal standing" sehubungan tidak ada kewenangan konstitusional BPK yang
dirugikan.
e. Kewenangan Audit BPK Sehubungan Biaya Perkara
Untuk memahami terminologi biaya perkara dapat kita rujuk pada (pasal 121 ayat (4) HIR
/ pasal 145 (4) RBg, yang menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan biaya perkara adalah
biaya yang terlebih dahulu harus dibayar oleh penggugat ketika memasukan gugatan perkaraperdata, sesuai dengan asas tidak ada biaya, tidak ada perkara; Biaya perkara pada saat
putusan akhir dibebankan kepada pihak yang kalah
Pasca perseteruan antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) RI
puncaknya BPK melaporkan Mahkamah Agung (MA) ke Kepolisian tgl 13 September 2007
karena pencegahan terhadap pemeriksaan biaya perkara thn 2005-2006. Menurut MA biaya
perkara bukan merupakan keuangan Negara melainkan uang titipan pihak ke-3 (pihak yang
berperkara) sehingga cukup dipertanggungjawabkan secara intern (kepada para pihak)
sehingga tidak termasuk dalam obyek audit oleh BPK, ditambah lagi belum ada aturan yang
mengatur teknis terkait pemeriksaan dan pengelolaan dana pihak-3 (Biaya Perkara) dimaksud
pada saat itu, sehingga bukan merupakan obyek pemeriksaan BPK. Sedangkan BPKberpendapat bahwa Biaya Perkara merupakan lingkup keuangan Negara sehingga merupakan
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
22/24
Page 22of 24
obyek pemerikasaan (UU No. 15 Thn 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara Psl 3 menyebutkan bahwa
Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi
seluruh unsur keuangan negara
unsur keuangan Negara yang dimaksud merujuk pada pengertian keuangan Negara dalam
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 2 yang menyatakan,ruang lingkup keuangan negara termasuk kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam
rangka penyelesaian tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
Pemungutan biaya perkara yang dilakukan MA kepada pihak berperkara adalah atas nama
negara, sehingga harus dianggap sebagai lingkup keuangan Negara. Oleh karena itu sesuai
dengan Pasal 24 ayat 2 UU No.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara yang pada intinya menyatakan bahwa
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi dan atau menggagalkan pemeriksaan
diancam dengan pidana dan atau denda
atas dasar inilah kemudian BPK beranggapan MA tidak kooperatif dan bahkan mencegah
dilakukannya pemeriksaan atas biaya perkara dimaksud.Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008 yang ditandatangani oleh Presiden
tanggal 23 Juli 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
berlaku Pada MA dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya sebagai pelaksanaan dari UU
No. 20 tahun 2007 tentang PNBP, sekaligus menjadi dasar (payung hukum) pemungutan PNBP
yang berasal dari biaya perkara. PP ini terdiri dari 4 pasal dilengkapi dengan lampiran berupa
rincian jenis dan tarif PNBP atas biaya perkara.
Macam Biaya Perkara
Yang dimaksud dengan biaya perkara menurut pasal 121 HIR dan 145 R.Bg adalah :
1. Biaya Kepaniteraan(Griffier Kosten)/Hak-hak kepaniteraan yang merupakan pungutan
sebagai pelayanan/jasa pengadilan yang disetor ke kas Negara, jenis dan tarifnya telahdiatur dalam PP No. 53 Thn 2008, yang secara umum dikelompokan dalam 5 jenis (pasal 1)
yaitu :
a. Hak Kepaniteraan Mahkamah Agung
b. Hak Kepaniteraan Peradilan Umum
c. Hak Kepaniteraan Peradilan Agama
d. Hak Kepaniteraan Tata Usaha Negara
e. Hak Kepaniteraan lainnya.
2. Ongkos/Biaya Proses, biaya yang merupakan biaya pelaksanaan peradilan yang
digunakan untuk penyelesaian perkara perdata pada Pengadilan diluar biaya yang
disebut pada point 1 (hak-hak kepaniteraan yang merupakan PNBP)
C. SimpulanKeuangan negara dan pemeriksaan keuangan negara merupakan dua hal yang saling terkait.
Pemeriksaan merupakan langkah dalam siklus anggaran dimana anggaran merupakan bagian
dari keuangan negara. Kewenangan audit berada di tangan BPK termasuk kepada BUMN sesuai
dengan amanat peraturan perundang-undangan dan diperkuat dengan putusan MK. Namun, di
lain pihak MK juga memutus pada uji materi tentang piutang BUMN yang dipisahkan dari
piutang negara. Hal ini berarti masih ada dua sudut pandang dalam menilai posisi BUMN
terhadap keuangan negara yaitu sisi yuridis dan ekonomi/ bisnis. Hal yang sama juga berlaku
saat membahas mengenai kerugian BUMN. Sudut pandang yuridis dan bisnis menghasilkanpendapat yang berbeda beda pula.
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
23/24
Page 23of 24
Diperlukan suatu formulasi hukum yang baru bagi penegak hukum, khususnya hukum
pidana korupsi di Indonesia berkaitan dengan aspek kerugian negara. Penerapan asas-asas
hukum pidana korupsi yang demikian mengaburkan dan tidak membedakan bentuk kerugian
negara seperti dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi merupakan penyimpangan hukum. Sebagai bukti terpisahnya negara sebagai
badan hukum publik dengan keuangannya dalam bentuk saham dalam PERSERO, akan jelas
terlihat bilamana PERSERO tersebut mengalami kerugian dan dinyatakan pailit maka
pernyataan pailit tersebut tidak mengakibatkan negara pailit juga. Perlu juga dilakukan
pemisahan antara negara berdasarkan peranan dan statusnya sebagai badan hukum publik
dan badan hukum perdata.
LHP BPK dapat dipublikasikan sesuai dengan UU tentang Keterbukaan Informsi Publik
tetapi dengan batasan-batasan tertentu.
Ada area yang masih diperdebatkan sehubungan kewenangan audit BPK yang diantaranya
adalah pajak dan biaya perkara di pengadilan.
D.
Daftar PustakaAmandemen ketiga Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbedaharaan Negara
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keungan Negara
Undang-undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroaan Terbatas
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentangPemberantasan Korupsi
Peraturan BPK RI Nomor 01 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
Peraturan BPK RI Nomor 3 tahun 2011 Pengelolaan Informasi Publik Pada Badan Pemeriksa
Keuangan.
Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran. 2014. Pokok-Pokok Siklus
APBN Di Indonesia Penyusunan Konsep Kebijakan dan Kapasitas Fiskal Sebagai
Langkah Awal. Jakarta
Tim Penyusun Modul Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPKAP).
2012. Modul Keuangan Negara. 2012.
Soepomo. Pemahaman Keuangan Negara. http://sikad.bpk.go.id/nw_detail.php?n_id=31Diakses 22 Oktober 2014
SIKAD BPK. Suatu Tinjauan Yuridis : Kerugian Negara Vs Kerugian Persero.
http://sikad.BPK.go.id/nw_detail.php?n_id=54 Diakses 21 Oktober 2014
Hukum Online. Apakah Kerugian BUMN Merupakan Kerugian Negara?.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50650f6510f7d/apakah-kerugian-
bumn-merupakan-kerugian-negara? Diakses 21 Oktober 2014
---. Publikasi Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Atas Audit Bank BUMN/BUMD Versus
Rahasia Bank.
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c33e1f043510/node/lt4a0a533e
31979/publikasi-laporan-hasil-pemeriksaan-(lhp)-bpk-atas-audit-bank-bumn_bumd-versus-rahasia-bank- Diakses 21 Oktober 2014
-
8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara
24/24
Business Judgment Rule. http://legal-
dictionary.thefreedictionary.com/Business+Judgment+Rule Diakses 21 Oktober 2014
Gatot S Piartono Supiartono. Pemeriksaan Atas Keuangan Negara.
http://kpu.go.id/dmdocuments/BPK1.pdf diakses pada tanggal 21 Oktober 2014
Sulaiman, Alfin, S.H., M.H. . 2011. Definisi Keuangan Negara Menurut Konstitusi dan Undang-
undang. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e666e195d202/definisi-
keuangan-negara-menurut-konstitusi-dan-undang-undang , diakses 21 Oktober 2014
Pengawasan Intern Oleh APIP. http://stdln.blogspot.com/2011/07/pengawasan-intern-
oleh-apip_1229.html. diakses 24 Oktober 2014
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
http://id.wikipedia.org/wiki/Laporan_Keuangan_Pemerintah_Pusat diakses 24
Oktober 2014
Apa yang disebut sebagai Biaya Perkara. http://anisauditor.blogspot.com/2011/12/apa-
yang-disebut-sebagai-biaya.html diakses 25 Oktober 2014
Memupus Polemik Keuangan Negara.
http://bumntrack.co.id/?ForceFlash=true#/blog/Laporan-Khusus-Memupus-
Polemik-Kerugian-Negara.html diakses 25 Oktober 2014
Martha Thertina dan Rr Ariyani. BPK Khawatir Manipulasi BUMN Terulang.
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/05/087510492/BPK-Khawatir-
Manipulasi-BUMN-Terulang diakses 25 Oktober 2014
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/