hubungan antara islam
TRANSCRIPT
Hubungan Antara Islam, Iman Dan Ihsan Adapun kaitan antara ketiga hal tersebut yaitu Iman berkaitan dengan aqidah, Islam
berkaitan dengan syariah, dan Ihsan berkaitan dengan khuluqiya. Dari ketiga hal diatas maka
dalam perkembangan ilmu keislaman, ilmu terkelompokan menjadi Aqidah, fiqih, dan
Akhlaq.
Diantara pengelompokan kata dalam agama islam ialah iman, islam dan ihsan.
Berdasarkan sebuah hadist yang terkenal, ketiga istilah itu memberikan umat ide tentang
rukun iman, rukun islam dan penghayatan terhadap tuhan yang maha Hadir dalam hidup.
Setiap pemeluk islam mengetahui dengan pasti bahwa islam tidak absah tanpa iman,
dan iman tidak sempurna tanpa ihsan. Dari pengertian tersebut memiliki arti masing-masing
istilah terkait satu denga yang lain. Bahkan tumpang tindih sehingga satu dari ketiga istilah
tersebut mengandung makna dua istilah yang lainnya. Dari pengertian inilah kita mengerti
bahwa islam, iman dan ihsan adalah trilogy ajaran Ilahi
Hubungan Iman, Islam, dan Ihsan
A. PENGERTIAN IMAN Iman berarti percaya, rukun iman itu ada enam, yaitu percaya kepada Allah,
kepada Malaikat-malaikat-Nya, kepada Kitab-kitab-Nya, kepada Rasu-rasul-Nya,
kepada Hari Akhir/Akhirat dan percaya kepada qadha dan qadar dari Allah.
Menurut Imam Al Ghazali, yang dimaksud dengan pokok agama (iman) adalah
sebagai berikut:
1. Iman kepada Allah yang Maha Esa.
2. Iman kepada utusan-utusan-Nya.
3. Iman kepada Hari Akhirat.
Iman kepada Allah ialah kepercayaan yang mutlak mengakui adanya Allah yang
telah mengutus Utusan-utusan-Nya. Dalam kepercayaan ini harus mengandung tiga
unsur, yaitu:
1. Diikrarkan/dinyatakan dengan lisan.
2. Mengakui kebenaran di dalam hati, dan
3. Dilaksanakan dengan perbuatan anggota badan.
Iman adalah kepercayaan yang meresap ke dalam hati dengan penuh
keyakinan, tidak bercampur ragu, serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup,
tingkah laku dan perbuatan pemiliknya sehari-hari (Yusuf Qardlawi, 1977:25).
Iman terletak didalam hati sanubari. Iman adalah segala yang dibenarkan dalam
hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan itu sudah barang tentu adalah seluruh
ajaran islam. Jika seseorang sudah mengimani sluruh ajaran islam, maka orang
tersebut sudah dapat dikatakan mukmin.
Iman itu terdiri atas tiga tingkatan :
1. Tingkatan mengenal. Pada tingkatan pertama ini seseorang baru mengenalssuatu
yang diimani.
2. Tingkat kesadaran. Pada tingkat kedua ini iman seseorang sudah lebih tinggi,
karena sesuatu yang diimani disadari oeh alasan-alasan tertentu.
3. Tingkat haqqul yaqin. Tingkat ini adalah tingkatan iman yang tertinggi. Sseorang
mengimani sesuatu tidak hanya mengetahui dengan alasan-alasan tertentu, tetapi
dibarengi dengan ketaatan dan berserah diri kepada Allah
Hal yang paling pokok dalam iman ialah percaya kepada Allah Yang Maha Esa
dan percaya kepada para Utusan-Nya yang membawa ajaran-ajaran, wahyu dan
berita dari Allah. Ini tercermin dalam lafaz syahadat yang pertama harus diucapkan
atau dinyatakan oleh seseorang yang masuk Islam. Hal ini pun sesuai dengan
Firman Allah sebagai berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya
(beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka
Itulah orang-orang yang benar (QS. Al Hujuraat: 15).
B. PENGERTIAN ISLAM
Arti kata islam itu ialah “tunduk” dan patuh kepada perintah orang yang memberi
perintah dan kepada larangannya tanpa membantah”. Agama kita telah diberi nama
Islam, karena ia berarti taat kepada Allah dan tunduk kepada perintah-Nya tanpa
membantah. Islam adalah agama yang mengajarkan agar manusia berserah diri dan
tunduk sepenuhnya kepada Allah.
Nabi Muhammad saw bersabda :
Islam itu ialah engkau menyembah Allah (menghambakan diri kepada-Nya, Dia
sendiri saja), tiada engkau persekutukan Dia dengan suatu yang lain, engkau dirikan
sembahyang, engkau keluarkan zakat yang difardukan, engkau berpuasa dibulan
Ramadhan, dan engkau tunaikan ibadah haji jika engkau sanggup pergi ke Baitullah.
(H.R. Bukhari)
Ajaran islam memang harus diyakini kebenaranya. Allah swt. telah menjamin
kebenaran tersebut sebagaimana firman-Nya :
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam……(Q.S. Ali
Imran : 19)
Segala sesuatu yang ada di dalam alam ini, tunduk kepada suatu peraturan
tertentu dan kepada undang-undang tertentu. Matahari, bulan dan bintang-bintang
semua tunduk kepada suatu peraturan yang tetap, tidak dapat bergeser atau
menyeleweng dari padanya meskipun seujung rambut.
C. PENGERTIAN IHSAN
Ihsan artinya berbuat baik. Ihsan adalah berbakti dan mengabdikan diri kepada
Allah swt. Dengan dilandasi kesadaran dan keikhlasan. Berbakti kepada Allah yakni
berbuat sesuatu yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri, sesama manusia, maupun
untuk makhluk lain. Semua perbuatan itu dilakukan semata-mata karena Allah swt,
seolah-olah orang yang melakukan perbuatan itu sedang berhadapan dengan Allah.
Ihsan ada empat macam, yaitu :
1. Ihsan terhadap Allah, yakni menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya
2. Ihsan terhadap diri sendiri, yakni mengerjakan segala sesuatu yang mendatangkan
kebaikan bagi diri sndiri dan menghindari semua perbuatan yang mendatangkan
kecelakaan atau kerugian kepada diri sendiri
3. Ihsan terhadap sesama manusia, yakni berbuat baik kepada saudara, tetangga,
kerabat, maupun seagama
4. Ihsan terhadap makhluk lain (alam lingkungan), yakni berbuat baik atau
memelihara alam lingkungan agar tetap lestari dan tidak punah.
Iman yang kuat, akan mengokohkan islam yang ada dijiwa dan akan melahirkan
perbuatan ihsan yang langsung terpancar dari Nur Ilahi.
D. HUBUNGAN IMAN, ISLAM, DAN IHSAN
Hubungan iman, islam, dan ihsan bagaikan segitiga sama sisi. Hubungan antara
sisi yang satu dengan sisi yang lainnya sangat erat. Jadi orang yang taqwa ibarat
segitiga sama sisi, yang sisi-sisinya adalah iman, islam, dan ihsan. Segitiga tersebut
tidak akan terbentuk jika ketiga sisinya tidak saling mengait.
Iman itu membentuk jiwa dan watak manusia menjadi kuat dan positif, yang
akan mengejawantah dan diwujudkan dalam bentuk perbuatan dan tingkah laku
akhlakiah manusia sehari-hari adalah didasari/diwarnai oleh apa yang
dipercayainya. Kalau kepercayaannya benar dan baik pula perbuatannya, dan begitu
pula sebaliknya.
Iman yang tertanam di dada memberi inspirasi positif kepada seseorang untuk
berlaku dan beramal shaleh. Iman yang benar membawa pribadi ke arah perubahan
jiwa dan cara berpikir positif. Perubahan jiwa tersebut merupakan suatu revolusi dan
pembeharuan tentang tujuan hidup, pandangan hidup, cita-cita, keinginan-keinginan
dan kebiasaan (Yusuf Qadlawi, 1977: 251).
Melakukan pembaruan jiwa, mengubah pandangan dan semangat adalah hal
yang berat dan sulit, karena di dalam diri manusia terdapat berbagai keadaan dan
sifat. Nafsu dan syahwat adalah dua kekuatan yang cendrung mendorong ke arah
perbuatan negatif, menyimpang dari akal sehat dan syari’at agama. Al-Qur’an
membenarkan hal itu.[1]
Keimanan kepada keesaan Allah itu merupakan hubungan yang semulia-
mulianya antara manusia dengan penciptanya. Oleh karena itu, mendapatkan
petunjuk sehingga menjadi orang yang beriman, adalah kenikmatan terbesar yang
dimiliki oleh seseorang. Keimanan itu bukanlah semata-mata ucapan yang keluar
dari bibir dan lidah saja atau semacam keyakinan dalam hati saja. Tetapi keimanan
yang sebenar-benarnya adalah merupakan suatu akidah atau kepercayaan yang
memenuhi seluruh isi hati nurani, dari situ timbul bekas-bekas atau kesan-kesannya,
seperti cahaya yang disorotkan oleh matahari.
[
Salah satu kesan dari iman ialah apabila Allah dan Rasul-Nya dirasakan lebih
dicintai olehnya dari segala sesuatu yang ada. Hal ini wajib ditampakkan, baik dalam
ucapan, perbuatan dan segala gerak-geriknya dalam pergaulan maupun sewaktu
sendirian.
Dalam Al Qur’an, iman itu selalu dikaitkan dengan amal perbuatan baik sebagai
syarat bahwa iman yang disempurnakan dengan amal baik berupa pelaksanaan
rukun-rukun Islam, akan menyebabkan manusia hidup berbahagia di dunia dan di
akhiratnya. Di antaranya dalam Al Qur’an Allah berfirman sebagai berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka
adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, Mereka kekal di dalamnya, mereka
tidak ingin berpindah dari padanya (QS. Al kahfi: 107-108)
Dari ayat ini nampak jelas bahwa iman yang dapat membawa ke arah
kebahagian adalah yang disertai dengan amal perbuatan yang baik.[2]
Iman adalah landasan tempat berpijak atau sebagai tali yang menjadi tempat
bergantungnya dalam kehidupan ini. Lebih jelas lagi adalah ibarat yang diberikan
oleh S. Abul ‘Ala Al Maududi tentang iman, bahwa iman itu laksana/ibarat urat (akar)
dalam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Dia menyatakan: “Hubungan antara Islam
dengan iman adalah laksana hubungan antara pohon dengan uratnya, demikian
pulalah, mustahil seseorang bisa menjadi muslim tanpa mempunyai iman.
Disamping adanya hubungan antara iman, islam, dan ihsan, juga terdapat
perbedaan antara ketiganya sekaligus merupakan ciri masing-masing. Iman lebih
menekankan pada segi keyakinan didalam hati, islam merupakan sikap untuk
berbuat atau beramal. Sedangka ihsan merupakan pernyataan dalam bentuk
tindakan nyata. Ihsan merupakan ukuran tipis tebalnya iman dan islam seseorang.[3]
E. NALURI BERAGAMA
Islam adalah Agama alam semesta, karena Islam maknanya ialah berserah diri
dan patuh kepada perintah yang memberi perintah dan larangannya tanpa
membantah. Jadi, matahari, bulan dan bumi adalah Muslim. Udara, air, cahaya,
gelap dan panas adalah Muslim. Pohon, kayu, batu dan binatang adalah Muslim.
Bahkan manusia yang tidak mengenal Tuhannya, ingkar kepada-Nya, menolak ayat-
ayat-Nya, atau menyembah yang lain dari pada-Nya dan menyekutukan-Nya Dia
[
[
dengan sesuatu, adalah Muslim karena fitrahnya yang ia diciptakan menurut fitrah
itu.
Yang demikian itu adalah karena ia tidak dilahirkan, tidak hidup dan tidak mati
kecuali menurut undang-undang yang diciptakan Allah untuk kelahirannya, hidupnya
dan matinya. Begitu juga seluruh anggota badannya semata-mata tunduk kepada
Agama Islam, karena ia tidak tumbuh, tidak menjadi besar dan tidak bergerak
kecuali menurut undang-undang Allah ini sendiri.
Bahkan pada hakikatnya lidahnya yang dipergunakan untuk melahirkan faham-
faham syirik dan kufurnya, karena kebodohannya dan kedangkalan pikirannya, tidak
tunduk kecuali kepada Agama Islam. Begitu juga kepalanya yang memaksanya
untuk membungkuk di hadapan yang lain dari pada Allah, tidaklah tunduk kecuali
kepada agama Islam, dengan kemudi fitrahnya yang ia telah diciptakan menurut
fitrah itu. Begitu juga hatinya yang menyuruhnya untuk mencintai yang lain dari pada
Allah dan memujanya karena kebodohannya dan kedangkalan pikirannya, semata-
mata adalah Muslim juga, karena fitrahnya dan nalurinya. Semua mereka telah
berserah diri kepada Allah dan patuh kepada undang-undang-Nya.
Dalam surat al-a’raf ayat 172 Allah berfirman :
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban
kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Dalam ayat tersebut telah diinformasikan bahwa manusia telah berikrar kepada
Allah sebelum ia dilahirkan. Dari sini kita ketahui bahwa manusia yang lahir telah
dibekali tauhid kepada Allah Sang Pencipta.
Setelah lahir keadaan sekitar sang bayilah yang kemudian mempunyai pengaruh
besar terhadap akidah sang anak, secara umum lingkungan sang anak, dan
orangtua bayi khususnya. Nabi Muhammad saw bersabda “ Setiap manusia
dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu
menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.[4]
Manusia di dalam kehidupannya mempunyai dua segi yang berlain-lainan:
[
1. Pertama, ia tunduk kepada undang-undang fitrah dan mematuhinya karena
nalurinya. Ia adalah seorang Muslim yang telah dicetak menurut Islam dan
diciptakan untuk memikul tanggung jawab terhadapnya, sebagaimana makhluk-
makhluk yang lain di dalam alam ini.
2. Kedua, ia telah dikaruniai akal, daya untuk memahami, memperhatikan dan
menentukan pendapat. Maka ia dapat menerima sesuatu dan menolak yang lain,
menyukai sesuatu jalan dan membenci yang lain dan menciptakan dari dirinya
sendiri sesuatu kaedah untuk berbagai-bagai segi kehidupan atau menerima
sesuatu sistem kehidupan yang diciptakan oleh orang lain. Jadi ia tidak terikat oleh
dunia ini, tetapi ia telah diberi kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan menentukan
pilihannya mengenai pendiriannya dan perbuatannya. Ia adalah bebas untuk
menentukan pilihannya, apakah ia hendak menjadi seorang Muslim atau bukan
Muslim.
Salah satu fitrah manusia, ialah taat kepada-Nya seperti alam yang lain. Maka
anda lihat ia taat kepada-Nya siang dan malam tanpa disadarinya. Yang demikian itu
adalah karena mustahil bagi manusia akan tetap tinggal hidup, apabila ia menyalahi
undang-undang alam.
Manusia tidak dipaksa untuk mengikuti suatu jalan yang tertentu di dalam ujian
ini. Jika kiranya ia dipaksa, niscaya batallah tujuan dari ujian itu. Yang demikian itu
adalah suatu perkara yang terang tidak ada keragu-raguan dalam memahaminya.
Ada seorang yang tidak mengetahui fitrah dirinya sendiri dan fitrah alam ini,
yang salah dalam mengenal khaliknya dan sifat-sifat yang dimiliki-Nya, yang memilih
jalan maksiat dan khianat dan yang tidak pandai mengambil mamfaat dari
kemerdekaan yang diberikan kepadanya di dalam kehendaknya. Maka adalah ia
seorang gagal senyata-nyatanya di dalam ujian ilmunya dan akalnya, kekuatannya
dalam memperbedakan antara yang buruk dan yang baik dan kesadarannya akan
rasa tanggung jawabnya. Ia menjadi saksi terhadap dirinya sendiri, bahwa ia adalah
salah seorang di antara orang-orang yang paling rendah di dalam segala segi.
Dan ada seseorang yang lain telah lulus dalam ujian ini. Ia telah
memperkerjakan pikirannya dan mengambil manfaat dari ilmu dan akal yang ada
padanya sebesar-besarnya. Ia mengenal khaliknya dan beriman kepada-Nya,
meskipun ia tidak dipaksa untuk yang demikian itu. Begitu juga ia tidak keliru dalam
membedakan antara yang buruk dan yang baik, dan memilih yang baik dengan
pikirannya yang bebas. Yang demikian itu adalah karena ia telah mempergunakan
akalnya dengan baik.
Manusia itu terbagi menjadi empat golongan dipandang dari segi kedua dasar
ini: Iman dan Islam:
a. Orang-orang yang beriman kepada Allah dengan iman yang menjadikan mereka
taat kepada Allah, patuh kepada hukum-hukum-Nya dengan sepenuhnya, berhati-
hati terhadap apa yang dilarang oleh Allah seperti orang berhati-hati memegang
bara yang menyala di tangannya dan bersegera mengerjakan amal yang diridhoi
Allah sebagaimana orang bersegera mencari harta. Mereka itulah orang-orang
Mu’minin yang sejati.
b. Orang-orang yang beriman kepada Allah, tetapi iman mereka tidak menjadikan
mereka taat kepada-Nya, patuh kepada hukum-hukum-Nya dengan sepenuhnya.
Meskipun iman mereka belum mencapai derajat kesempurnaan, tetapi
bagaimanapun juga mereka adalah orang-orang Muslimin.
c. Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, tetapi mereka melakukan
pekerjaan-pekerjaan orang-orang Islam. Mereka pada hakikatnya adalah kaum
pendurhaka. Adapun perbuatan-perbuatan mereka yang terlihat baik pada lahirnya
bukanlah suatu ketaatan kepada Allah dan bukan pula suatu kepatuhan kepada
undang-undang-Nya.
d. Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, dan juga melakukan perbuatan-
perbuatan yang buruk yang bertentangan dengan hukum-hukum dan undang-
undang-Nya.
Ternyata dari pembagian ini, bahwa keberuntungan (sukses) manusia dan
kebahagiannya di dunia dan di akhirat tergantung kepada iman. Islam tidak lahir
dengan sempurna atau kurang sempurna kecuali dari benih iman. Di mana tidak ada
iman di sana ada kufur. Kufur itu adalah lawan Islam, yakni pembangkangan
terhadap perintah Allah Swt, dengan berbagai-bagai tingkatannya.[5]
[