documentht
DESCRIPTION
hipertensiTRANSCRIPT
HIPERTENSI
Pengertian hipertensi secara umum dapat didefinisikan sebagai tekanan sistolik lebih
dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan darah manusia secara
alami berfluktuasi sepanjang hari. Tekanan darah tinggi menjadi masalah hanya bila tekanan
darah tersebut persisten. Tekanan darah tersebut membuat sistem sirkulasi dan organ yang
mendapat suplai darah (termasuk jantung dan otak) menjadi tegang.
Menurut WHO batas normal tekanan darah adalah 120–140 mmHg tekanan sistolik
dan 80–90 mmHg tekanan diastolik. Seseorang dinyatakan mengidap hipertensi bila tekanan
darahnya >140/90 mmHg. Sedangkan menurut JNC VII 2003 (The seventh report of the joint
National on Prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure) tekanan
darah pada orang dewasa dengan usia diatas 18 tahun diklasifikasikan menderita hipertensi
stadium I apabila tekanan sistoliknya 140–159 mmHg dan tekanan diastoliknya 90–99
mmHg. Diklasifikasikan menderita hipertensi stadium II apabila tekanan sistoliknya lebih
160 mmHg dan diastoliknya lebih dari 100 mmHg sedangakan hipertensi stadium III apabila
tekanan sistoliknya lebih dari 180 mmHg dan tekanan diastoliknya lebih dari 116 mmHg.
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg. Hipertensi populasi
lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistoliknya di atas 160 mmHg dan tekanan
diastoliknya di atas 90 mmHg.
Hipertensi menurut Adip (2009) dapat dibedakan menjadi empat stadium sesuai
dengan tabel klasifikasi tekanan darah orang dewasa berusia 18 tahun keatas yaitu sebagai
berikut:
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa Berusia 18 Tahun Keatas
Kategori Sistolik, mmHg Diastolik,
mmHg
Normal < 130 < 85
Normal Tinggi 130 – 139 85 – 89
Stadium 1 (ringan) 140 – 159 90 – 99
Stadium 2 (sedang) 160 – 179 100 – 109
Stadium 3 (berat) 180 – 209 110 - 119
Sangat berat > 210 >120
Sumber : Adib (2009)
Apabila tekanan diastolik dan sistolik pada kelompok yang berbeda, maka harus dipilih
kategori yang tertinggi untuk mengklasifikasikan status tekanan darah seseorang. Misalnya
160/90 mmHg harus diklasifikasikan stadium 2 dan 180/120 mmHg harus diklasifikasikan
stadium 4. hipertensi sistolik mandiri dinyatakan sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg
atau lebih tinggi dan tekanan diastoliknya kurang dari 90 mmHg dan diklasifikasikan pada
stadium yang sesuai (misal 170/85 mmHg dianggap sebagai hipertensi sistolik mandiri).
Bila tekanan darah tinggi tidak terkontrol dengan baik, maka dapat terjadi serangkaian
komplikasi serius dan penyakit kardiovaskuler, sperti angina dan serangan jantung, strol dan
stroke ringan, gagal jantung, kerusakan ginjal dan masalah mata.
Jenis Hipertensi
Jenis tekanan darah tinggi terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
Hipertensi esensial (primer) --- Tipe ini terjadi pada sebagian besar kasus tekanan darah
tinggi, sekitar 95%. Penyebabnya tidak diketahui dengan jelas, walaupun dikaitkan dengan
kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak dan pola makan.
Hipertensi sekunder --- Tipe ini lebih jarang terjadi, hanya sekitar 5% dari seluruh kasus
tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi tipe ini disebabkan oleh kondisi medis lain
(misalnya penyakit ginjal) atau reaksi terhadap obat-obatan tertentu (misalnya pil KB).
Penyebab hipertensi
Penyebab tekanan darah tinggi sebagian besar tidak diketahui terutama yang esensial, namun
demikian terdapat beberapa faktor resiko terkena darah tinggi, misalnya kelebihan berat
badan, kurang berolahraga, mengkonsumsi makanan berkadar garam tinggi, kurang
mengkonsumsi buah dan sayuran segar dan terlalu banyak minum alkohol
DIABETES
Diabetes atau Diabetes Mellitus (DM), dalam bahasa Yunani memiliki arti tembus
atau pancuran air, dan dari bahasa latin memiliki arti rasa manis, sedang di Indonesia DM
lebih dikenal dengan penyakit kencing manis, di mana kadar glukosa (gula sederhana) di
dalam darah menjadi tinggi karena tubuh tidak dapat memproduksi atau mengeluarkan
insulin secara cukup. Dan dari beberapa tes secara langsung, pada umumnya air seni
pengidap diabetes rasanya manis karena mengandung banyak gula.
Setiap makanan yang kita santap akan diubah menjadi energi oleh tubuh. Dalam
lambung dan usus, makanan diuraikan menjadi beberapa elemen dasarnya, termasuk salah
satu jenis gula, yaitu glukosa. Jika terdapat gula, maka pankreas menghasilkan insulin, yang
membantu mengalirkan gula ke dalam sel-sel tubuh. Kemudian, gula tersebut dapat diserap
dengan baik dalam tubuh dan dibakar untuk menghasilkan energi.
Ketika seseorang menderita diabetes maka pankreas orang tersebut tidak dapat
menghasilkan cukup insulin untuk menyerap gula yang diperoleh dari makanan. Itu yang
menyebabkan kadar gula dalam darah menjadi tinggi akibat timbunan gula dari makanan
yang tidak dapat diserap dengan baik dan dibakar menjadi energi. Penyebab lain adalah
insulin yang cacat atau tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin dengan baik.
Insulin adalah hormon yang dihasilkan pankreas, sebuah organ di samping lambung.
Hormon ini melekatkan dirinya pada reseptor-reseptor yang ada pada dinding sel. Insulin
bertugas untuk membuka reseptor pada dinding sel agar glukosa memasuki sel. Lalu sel-sel
tersebut mengubah glukosa menjadi energi yang diperlukan tubuh untuk melakukan aktivitas.
Dengan kata lain, insulin membantu menyalurkan gula ke dalam sel agar diubah menjadi
energi. Jika jumlah insulin tidak cukup, maka terjadi penimbunan gula dalam darah sehingga
menyebabkan diabetes.
Penyebab penyakit kencing manis atau diabetes tergantung pada jenis diabetes yang
diderita. Ada 2 jenis diabetes yang umum terjadi dan diderita banyak orang yaitu diabetes
tipe 1 dan diabetes tipe 2.
Perbedaannya adalah jika diabetes tipe 1 karena masalah fungsi organ pankreas tidak
dapat menghasilkan insulin, sedangkan diabetes tipe 2 karena masalah jumlah insulin yang
kurang bukan karena pankreas tidak bisa berfungsi baik. Untuk melihat perbedaan lebih detil,
silahkan lanjutkan membaca.
HUBUNGAN DIABETES DENGAN HIPERTENSI
Hubungan antara hipertensi dengan diabetes mellitus sangat kuat karena
beberapa kriteria yang sering ada pada pasien hipertensi yaitu peningkatan tekanan
darah, obesitas, dislipidemia dan peningkatan glukosa darah. Hipertensi adalah suatu faktor
resiko yang utama untuk penyakit kardiovaskular dan komplikasi mikrovaskular seperti
nefropati dan retinopati. Prevalensi populasi hipertensi pada diabetes adalah 1,5-3 kali lebih
tinggi daripada kelompok pada non diabetes. Diagnosis dan terapi hipertensi sangat
penting untuk mencegah penyakit kardiovaskular pada individu dengan diabetes. Pada
diabetes tipe 1, adanya hipertensi sering diindikasikan adanya diabetes nefropati. Pada
kelompok ini, penurunan tekanan darah dan angiotensin converting enzym menghambat
kemunduran pada fungsi ginjal. Pada diabetes tipe 2, hipertensi disajikan sebagai sindrom
metabolit (yaitu obesitas, hiperglikemia, dyslipidemia) yang disertai oleh tingginya angka
penyakit kardiovaskular.
a. Patofisiologi
Pada orang dengan diabetes mellitus, hipertensi berhubungan dengan
resistensi insulin dan abnormalitas pada sistem renin-angiotensin dan konsekuensi
metabolik yang meningkatkan morbiditas. Abnormalitas metabolik berhubungan
dengan peningkatan diabetes mellitus pada kelainan fungsi tubuh/ disfungsi
endotelial. Sel endotelial mensintesis beberapa substansi bioaktif kuat yang mengatur
struktur fungsi pembuluh darah. Substansi ini termasuk nitrit oksida, spesies reaktif
lain, prostaglandin, endothelin, dan angiotensin II.
Pada individu tanpa diabetes, nitrit oksida membantu menghambat
atherogenesis dan melindungi pembuluh darah. Namun bioavailabilitas pada
endothelium yang diperoleh dari nitrit oksida diturunkan pada individu dengan
diabetes mellitus.
Hiperglikemia menghambat produksi endothelium, mesintesis aktivasi dan
meningkatkan produksi superoksid anion yaitu sebuah spesies oksigen reaktif yang
merusak formasi nitrit oksida. Produksi nitrit oksida dihambat lebih lanjut oleh
resistensi insulin, yang menyebabkan pelepasan asam lemak berlebih dari jaringan
adipose. Asam lemak bebas, aktivasi protein kinase C, menghambat
phosphatidylinositol-3 dan meningkatkan produksi spesies oksigen reaktif.
Semua mekanisme ini secara langsung mengurangi bioavailabilitas.
b. Sasaran
1. Pasien dengan diabetes perlu diperlakukan pada tekanan darah sistolik <130
mmHg.
2. Pasien dengan diabetes perlu diperlakukan pada tekanan darah diastolik <80
mmHg.
c. Terapi hipertensi dengan diabetes mellitus
1. Terapi non-farmakologis
Pengobatan non farmakologis berupa pengurangan asupan garam, penurunan
berat badan bagi pasien gemuk dan olahraga.
2. Terapi farmakologis
Menurut JNC VII, pengobatan dengan diuretik, ACE inhibitor, beta blocker,
angiotensin reseptor bloker, dan calcium antagonist mempunyai manfaat pada
terapi hipertensi pada diabetes tipe 1 dan tipe 2. Obat
antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus sebaiknya
memenuhi syarat-syarat:
- Efektif menurunkan tekanan darah
- Tidak menganggu toleransi glukosa atau menganggu respons terhadap
hipohiperglikemia
- Tidak mempengaruhi fraksi lipid
- Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai,
tidak meningkatkan risiko impotensi
- Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif.
Patogenesis hipertensi
Pada umumnya pada diabetes melitus menderita juga hipertensi. Hipertensi yang tidak
dikelola dengan baik akan mempercepat kerusakan pada ginjal dan kelainan kardiovaskuler.
Sebaliknya apabila tekanan darah dapat dikontrol maka akan memproteksi terhadap
komplikasi mikro dan makrovaskuler yang disertai pengelolaan hiperglikemia yang
terkontrol. Sedangkan patogenesis hipertensi pada penderita DMT2 sangat kompleks, banyak
faktor berpengaruh pada peningkatan tekanan darah. Pada diabetes faktor tersebut adalah:
resistensi insulin, kadar gula darah plasma, obesitas selain faktor lain pada sistem otoregulasi
pengaturan tekanan darah.
Penderita diabetes tipe II pada umumnya memiliki kondisi yang disebut dengan
resistensi insulin. Resistensi insulin adalah kondisi dimana seseorang memiliki jumlah insulin
yang cukup untuk merombak glukosa, namun tidak bekerja sebagaimana mestinya. Insulin
yang ada tidak digunakan untuk merombak glukosa, yang mengakibatkan kadar glukosa
dalam darah naik, yang mengakibatkan diabetes. Insulin yang tidak bekerja ini tidak akan
dirombak menjadi apapun, dia akan tetap berada dalam bentuk insulin. Insulin berlebih ini
lah yang menyebabkan terjadinya hipertensi pada pasien diabetes. Mengapa?
Insulin, selain bekerja untuk merubah glukosa menjadi glikogen (yang nantinya akan
disimpan di jaringan perifer tubuh) dapat mengakibatkan peningkatan retensi natrium di
ginjal dan meningkatkan aktivitas sistem syaraf simpatik. Retensi natrium dan meningkatnya
aktivitas sistem syaraf simpatik merupakan dua hal yang berpengaruh terhadap meningkatnya
tekanan darah. Lebih lanjut, insulin juga dapat meningkatkan konsentrasi kalium di dalam
sel, yang mengakibatkan naiknya resistensi pembuluh, yang merupakan salah satu faktor
naiknya tekanan darah.
Pemilihan Anti hipertensi pada Diabetes mellitus tipe 2
Hipertensi berpengaruh pada penyakit vaskuler antara lain pada organ otak (stroke,
demensia), jantung (Infark miokard, gagal jantung, kematian mendadak), atau ginjal (gagal
ginjal terminal). Dengan demikian secara patofisiologis dasarnya adalah kelainan pada
dinding pembuluh darah merupakan awal kelainan pada organ organ tersebut. Prevalensi
hipertensi pada penderita Diabetes mellitus secara keseluruhan adalah 70 %, pada laki laki 32
%, wanita 45 %. Pada masyarakat India Puma sebesar 49%, pada kulit putih sebanyak 37 %
dan pada orang asia sebesar 35%. Hal ini menggambarkan bahwa hipertensi pada DM akan
sering ditemukan dibandingkan pada individu tanpa diabetes. Terkadang muncul suatu
petanyaan apakah diabetes yang mendahului hipertensi atau sebaliknya atau bersama-sama?
Secara fisiologis sistem Renin angiotensin melibatkan hormon hormon seperti
Angiotensinogen, yang akan berubah menjadi Angiotensin I dengan bantuan Renin.
Angiotensin I ini dengan adanya enzim ACE berubah menjadi Angiotensin II. ACE ini selain
berperan dalam perubahan tersebut juga berperan dalam metabolisme bradikinin. Angiotensin
II aktif setelah tertangkap oleh reseptor reseptornya antara lain AT1 dan AT2. Sampai saat ini
reseptor yang paling banyak ditemukan adalah AT1. Setelah Angiotensin II pada reseptor
AT1, maka akan terjadi proses yang sangat komplek pada organ-organ seperti otak,
pembuluh darah, Jantung, dan ginjal. Pada otak akan terjadi stoke, sedangkan pada dinding
pembuluh darah akan terjadi aterosklerosis, vasokontriksi, hipertrofi vaskuler, serta disfungsi
endotel, selanjutnya mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Pada organ jantung akan
terjadi hipertrofi ventrikel kiri, fibrosis, serta proses remodeling terganggu sehingga terjadi
gagal jantung ataupun infark miokard. Reseptor AT1 yang menangkap Angiotensin II pada
organ ginjal akan mempengaruhi Laju Filtrasi Ginjal menurun, terjadi proteinuria, pelepasan
aldosteron, serta sklerosis glomerular. Keadaan ini akan terus berlangsung sehingga
menimbulkan gagal ginjal terminal. Terdapat hal yang menarik tentang aksi ACE maupun
ACE inhibitor. Dengan adanya penghambat ACE maka Angiotensin II akan menurun,
Bradikinin meningkat yang selanjutnya akan meningkatkan Nitrit oxide. Adanya peningkatan
Nitrit oxide ini maka terjadi peningkatan vasodilatasi serta peningkatan transport glukosa
pada sel sel otot. Dengan demikian Penghambat ACE mempengaruhi resistensi insulin
melalui dua proses yaitu pada hemodinamik dan metabolisme glukosa. Adanya mekanisme
tersebut, penghambat ACE dapat menjadi pilihan utama pada penderita dengan keadaan
resistensi insulin. Mekanisme kimiawi aksi angiotensin II sangat kompleks baik melalui efek
endokrin (efek sistemik) maupun efek pada jaringan yang spesifik. Kedua efek ini akan
meningkatkan tekanan darah, meningkatan tekanan intraglomerular dan peningkatan ekskresi
albumin. Hal ini terjadi akibat efek endokrin berupa vasokontriksi, steroidogenic
(aldosteron), dipsogenic (efek SSP), dan Supresi Renin (negative feedback), serta efek pada
jaringan spesifik melalui Tropic/ mitogenic (Cardiac dan vascular myocytes), Chronotropic/
Arrythmogenic (Cardiomyocyte), Thrombogenic (plasminogen Activator inhibitor),
Oxidative (Reactive Oxygen Species), Ion transport channel (myocytes), Neuroexcitation
(Sympathetic nerve terminals), serta Endothelin stimulation (endothelial cells). Obat anti
hipertensi yang ideal diharapkan adalah yang dapat mengontrol tekanan darah, tidak
mengganggu terhadap metabolisme baik glukosa maupun lipid, bahkan lebih
menguntungkan, dapat berperan sebagi renoprotektif, serta dapat menguntungkan secara
maksimal adalah respon terhadap kematian akibat kardiovaskuler. Target tekanan darah yang
diharapkan tercapai pada penderita tekanan darah yang direkomendasikan oleh ADA
( American Diabetes Asscociated ) adalah seperti pada bagan dibawah ini: Indikasi terapi
inisial dan target tekanan darah penderita hipertensi pada penderita diabetes melitus. Sistolik
Diastolik Target (mmHg) <130 <80 Perubahan gaya hidup Selama 3 bulan 130-139 80-89
Perubahan gaya hidup + Terapi farmakologis ≥ 140 ≥ 90.
Tujuan pengelolaan
Dari hasil penelitian UKPDS, dengan penurunan rata-rata 10 mmHg tekanan sistolik dapat
menurunkan resiko komplikasi sebesar 12%, kematian 15%, infark miokard 11% dan
komplikasi mikrovaskuler 13%. Strategi management dalam upaya pencegahan terhadap
progresivitas kelainan ginjal pada penderita diabetes adalah: mengelola terhadap proteinuri,
hipertensi, hiperglikemia, faktor resiko lain: dislipidemia, dan perubahan gaya hidup. Obat
hipertensi bersifat renoprotektif, seperti penghambat ACE dan ARB akan menurunkan
tekanan darah serta penurunkan ekskresi protein. Keadaan ini akan menurunkan resiko
terjadinya gagal ginjal terminal, dan memperbaiki harapan hidup. Penghambat ACE dan
ARB menurunkan tekanan darah melalui mekanisme tidak terjadinnya vasokontriksi.
Penghambat ACE menghambat pembentukan Angiotensin II yang bersifat vasokontriktor,
sedangkan ARB bertindak sebagai antagonis reseptor AT1. Perbedaannya terletak pada
pembentukan bradikin yang tetap berlangsung pada penghambat ACE. Antagonis reseptor
AT1 seperti Vasartan, Telmisartan, Ibesartan, ataupun Losartan akan memblokade secara
komplet pada reseptor sistem renin angiotensinogen. Efek ini sangat menguntungkan pada
sistem kardiovaskuler. Dengan demikian antagonis reseptor AT1 selain bersifat nefroprotektif
juga bersifat kardioprotektif. Renoprotektif ini dapat tercapai dengan baik pada penderita
diabetes selain kontrol gula darah yang baik dan dengan diet rendah protein juga pengelolaan
hipertensi yang mencapai target tekanan darah kurang 135/80 mmHg dengan menggunakan
penghambat ACE ataupun antagonis reseptor AT1. Antagonis reseptor AT1 bersifat
renoprektif ini dibuktikan pada banyak penelitian. Losartan lebih besar pengaruhnya dalam
penurunan ekskresi mikroalbuminuria dibandingkan dengan Calsium antagonis, demikian
juga Ibesartan yang dibandingkan dengan amlodipin.