hiv toxo
DESCRIPTION
LPTRANSCRIPT
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
RENCANA KEGIATAN MINGGUAN
Departemen : Medikal Persepti : Gadis Mutiara P.I
Periode : 16 – 21 Maret 2015 Preseptor : Endang Arliani S.Kep, Ners
Ruang : 29 Minggu ke : 5
A. Target yang ingin dicapai
Dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan HIV dengan komplikasi
toxoplasmosis (16 – 21 Maret 2015)
1. Mampu melakukan pengkajian data dasar pada pasien dengan HIV dengan komplikasi
toxoplasmosis
2. Mampu melakukan analisa data dari hasil pengkajian pada pasien dengan HIV dengan
komplikasi toxoplasmosis
3. Mampu menetapkan diagnosa keperawatan pada pasien pada pasien dengan HIV
dengan komplikasi toxoplasmosis
4. Mampu membuat prioritas masalah pada pasien pada pasien dengan HIV dengan
komplikasi toxoplasmosis
5. Mampu menentukan tujuan dan kriteria hasil dari prioritas masalah pada pasien dengan
HIV dengan komplikasi toxoplasmosis
6. Mampu menetapkan intervensi sesuai diagnose pada pasien dengan HIV dengan
komplikasi toxoplasmosis
7. Mampu menetapkan implementasi sesuai dengan intervensi pada pasien dengan HIV
dengan komplikasi toxoplasmosis
8. Mampu menetapkan evaluasi dan mendokumentasikan semua proses keperawatan
pada pasien pada pasien dengan HIV dengan komplikasi toxoplasmosis
9. Mampu melakukan skill/keterampilan sesuai dengan SOP
B. Rencana kegiatan
TIK Jenis Kegiatan Waktu Kriteria hasil
1 Komunikasi terapeutik
Pengkajian
(anamnesa,pengkajian
fisik,data penunjang)
16 – 21 Maret
2015
BHSP
Data yang
dikumpulkan dapat
mewakili kondisi
klien yang
sesungguhnya
2 Menganalisa data dari hasil
pengkajian
16 – 21 Maret
2015
Data dianalisis
menjadi diagnose
keperawatan
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
3 Menetapkan diagnose dan
prioritas masalah keperawatan
16 – 21 Maret
2015
Diagnose sesuai
dengan kondisi
actual klien
4 Menetapkan tujuan sesuai criteria
hasil
16 – 21 Maret
2015
Tujuan dan criteria
hasil sesuai
dengan kondisi
klien
5 Mencari literature untuk membuat
intervensi keperawatan
16 – 21 Maret
2015
Literature mewakili
informasi yang
ingin dicapai
6 Melakukan implementasi dan
skill/keterampilan sebagai
berikut :
a. Memasang infuse
b. Mengambil darah vena dan
arteri
c. Memberikan terapi relaksasi
napas dalam untuk meredakan
nyeri
d. Memberikan latihan drainage
postural, batuk efektif, dan
perkusi dada
e. Mengenali suara jantung
normal
f. Mengenali suara paru normal
g. Melakukan transfusi
h. Memberikan posisi yang
nyamna untuk pasien sesak
napas
i. Melakukan keterampilan dan
prosedur pada pasien dengan
masalah transportasi gas
(melalui nasal kanul, RBM,
NRBM)
j. Melakukan kateterisasi
k. Memasang kateter NGT
l. Melakukan monitoring
16 – 21 Maret
2015
Dapat melakukan
prosedur sesuai
dengan SOP
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
pemberian obat kemoterapi
menyiapkan pasien untuk tes
kulit (alergi)
m.Melakukan personal hygiene
n. Memberikan pendidikan
kesehatan pada pasien
o. Melakukan monitoring
kecukupan nutrisi dan kalori
p. Melakukan injeksi
(SC,IV,IM,IC)
q. Melakukan nebulizer
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
C. Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan
D. Evaluasi Diri Praktikan
E. Rencana Tindak Lanjut
Mengetahui Malang, 16 Maret 2015
Perceptor Klinik Ruang 29, Mahasiswa,
Endang Arliani S.Kep, Ners Gadis Mutiara Puspita Ika
NIM. 0910723026
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
LAPORAN PENDAHULUAN
HIV/AIDS DENGAN TOXOPLASMOSIS
HIV/AIDS
A. Definisi
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah sekumpulan gejala penyakit karena
penurunan sistem kekebalan tubuh (Samsuridjal Djauzi, 2004). Centers for Disease Control
(CDC) merekomendasikan bahwa diagnosa AIDS ditujukan pada individu yang mengalami
infeksi oportunistik, dimana individu tersebut mengalami penurunan sistem imun yang
mendasar (sel T berjumlah 200 atau kurang) dan memiliki antibodi positif terhadap HIV. Kondisi
lain yang sering muncul antara lain demensia progresif, “wasting syndrome”, atau sarkoma
kaposi (pada pasien berusia lebih dari 60 tahun), kanker-kanker khusus lainnya (yaitu kanker
serviks invasif) atau diseminasi dari penyakit yang umumnya mengalami lokalisasi (misalnya,
TB) (Doengoes, 2000).
B. Klasifikasi
Stadium 1 : Periode Jendela
HIV masuk ke dalam tubuh, sampai terbentuknya antibodi terhadap HIV dalam darah
Tidak ada tanda2 khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
Test HIV belum dapat mendeteksi keberadaan virus ini
Tahap ini disebut periode jendela, umumnya berkisar 1-6 bulan.
Stadium 2 : HIV Positif (tanpa gejala) rata-rata selama 5-10 tahun:
HIV berkembang biak dalam tubuh
Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
Test HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang, karena telah terbentuk antibodi
terhadap HIV
Umumnya tetap tampak sehat selama 5-10 tahun, tergantung daya tahan tubuhnya (rata-
rata 8 tahun (di negara berkembang lebih pendek).
Stadium 3 : HIV Positif (muncul gejala)
Sistem kekebalan tubuh semakin turun
Mulai muncul gejala infeksi opportunistik, misalnya: pembengkakan kelenjar limfa di seluruh
tubuh, diare terus menerus, flu, dll
Umumnya berlangsung selama lebih dari 1 bulan, tergantung daya tahan tubuhnya
Stadium 4 : AIDS
Kondisi sistem kekebalan tubuh sangat lemah
Berbagai penyakit lain (infeksi opportunistik) semakin parah
Wasting (kehilangan berat badan secara drastis)
Diare kronis.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
C. Etiologi
Penyebabnya adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus
(HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada
tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap
sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan
keduanya disebut HIV.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang
termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
1. Lelaki homoseksual atau biseks.
2. Partner seks dari penderita HIV/AIDS.
3. Penerima darah atau produk darah (transfusi) yang tercemar HIV.
4. Penggunaan jarum suntik, tindik, tattoo, pisau cukur, dll yang dapat menimbulkan luka
yang tidak disterilkan secara bersama-sama dipergunakan dan sebelumnya telah
dipakai orang yang terinfeksi HIV. Cara-cara tersebut dapat menularkan HIV karena
terjadi kontak darah.
5. Ibu positif HIV kepada bayi yang dikandungnya. Cara penularan ini dapat terjadi saat:
a. Antenatal, yaitu melalui plasenta selama bayi dalam kandungan.
b. Intranatal, yaitu saat proses persalinan, dimana bayi terpapar oleh darah ibu atau
cairan vagina
c. Postnatal, yaitu melalui air susu ibu.
Agen penyebab AIDS yaitu HIV (human immunodeficiency virus). HIV merupakan
retrovirus yang menginfeksi sel-sel dalam sistem imun, terutama sel limfosit T CD4+, dan
menyebabkan kerusakan progresif pada sel-sel tersebut. Partikel infeksius HIV terdiri dari 2
rantai RNA dengan 1 protein inti, dikelilingi oleh selaput lemak (lipid envelope) yang didapat dari
sel host namun mengandung protein virus.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
Siklus hidup HIV terdiri dari beberapa tahap yang saling berkesinambungan, yaitu infeksi
sel, produksi DNA virus dan integrasi DNA virus ke dalam genome host, ekspresi gen virus, dan
produksi partikel virus. HIV menginfeksi sel dengan selubung glikoproteinnya yang disebut
gp120, berikatan dengan CD4 dan reseptor kemokin khusus (CXCR5 dan CCR5) pada sel-sel
manusia. Dengan demikian, virus ini dapat menginfeksi sel-sel yang mengekspresikan CD4 dan
reseptor kemokin tersebut. Tipe sel utama yang dapat diinfeksi oleh HIV yaitu sel T CD4+,
tetapi sel ini juga dapat menginfeksi makrofag dan sel dendritik. Setelah berikatan dengan
reseptor seluler, terjadi perubahan konformasi gp41 yang melepas fusion peptide, yang masuk
ke dalam membran sel dan memungkinkan membran bergabung (fusi) dengan membran sel
host dan virus dapat memasuki sitoplasma sel host.
Dalam sitoplasma sel host, virus ini dapat melepas RNA. Kopi DNA dari RNA disintesis
oleh enzim reverse transcriptase yang dimiliki oleh virus, dan DNA berintegrasi ke dalam DNA
sel host karena kerja dari enzim integrase. Virus DNA yang telah berintegrasi disebut dengan
provirus. Jika sel T, makrofag, dan dendritik yang terinfeksi mengalami aktivasi oleh stimulus
ekstrinsik, seperti infeksi mikroba lain, sel-sel ini akan berespon dengan mengaktifkan
transkripsi gennya dan memproduksi sitokin. Efek merugikan dari respon normal ini yaitu
akticasi seluler dan produksi sitokin dapat mengaktifkan provirus dan menyebabkan produksi
RNA dan protein virus. Dengan demikian, virus dapat membentuk struktur inti, yang akan
bermigrasi ke membran sel, mendapatkan selaput lemak (lipid envelope) dari sel host, dan
terlepas menjadi partikel virus yang infeksius dan dapat menginfeksi sel-sel lain.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
D. Patogenesis HIV/AIDS
HIV menimbulkan infeksi laten pada sel-sel imun dan dapat mengalami reaktivasi untuk
memproduksi virus yang infeksius. Produksi virus menyebabkan kematian sel yang terinfeksi
dan limfosit yang tidak terinfeksi, defisiensi imun, dan manifestasi klinis AIDS. Infeksi HIV
didapatkan dari hubungan seksual, jarum yang terkontaminasi yang digunakan pengguna obat
intravena, transplacental transfer, atau transfuse darah atau produk darah yang terinfeksi.
Setelah terjadi infeksi, mungkin terdapat viremia akut ketika virus terdeteksi dalam darah, dan
host akan merespon sebagai infeksi virus ringan. HIV menginfeksi sel T CD4+, makrofag, dan
sel dendritik dalam darah, port de entry melalui epithelia, dan organ limfoid, seperti nodus limfe.
Perjalanan penyakit yang disebabkan infeksi HIV dimulai dengan infeksi akut, yang
dikontrol oleh respon imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi kronik dari jaringan limfosit
perifer (gambar 2). Virus ini biasanya masuk melalui epitel mukosa. Beberapa efek selanjutnya
dapat dibagi dalam beberapa fase. Infeksi akut (early infection) dikarakteristikkan dengan
infeksi pada sel T CD4 memori (yang mengekspresikan CCR5) pada mukosa jaringan limfoid,
dan kematian sejumlah besar sel-sel yang terinfeksi. Karena jaringan mukosa merupakan
tempat penyimpanan sel T terbesar dalam tubuh, dan tempat penyimpanan sel T memori,
kehilangan sel T ini sering disebut deplesi limfosit. Dalam 2 minggu terjadinya infeksi, mayoritas
sel T CD4 dapat mengalami kerusakan.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
Deplesi sel T CD4 setelah infeksi HIV merupakan efek sitopatik dari virus, terjadi akibat
produksi partikel virus dan kematian sel-sel yang tidak terinfeksi. Ekspresi gen virus yang aktif
dan produksi protein mungkin dapat mengganggu sintesis sel T. dengan demikian, sel T yang
terinfeksi akan mati selama proses ini. Kematian sel T selama perkembangan AIDS
berlangsung jauh lebih banyak daripada jumlah sel yang terinfeksi dengan mekanisme yang
masih belum diketahui dengan jelas. Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi yaitu sel T
teraktivasi secara kronik, mungkin oleh infeksi mikroba lain, dan stimulasi apoptosis yang
kronik, karena AICD. Sel-sel lain yang terinfeksi, seperti sel dendritik dan makrofag, juga dapat
mengalami kematian, menyebabkan kerusakan bentuk organ limfoid.
Transisi dari fase akut menjadi fase kronik dikarakteristikkan dengan penyebaran virus,
viremia, dan pembentukan respon imun host. Sel dendritik yang ada pada mukosa tempat entry
virus dapat menangkap virus ini dan akan mengangkutnya ke organ limfoid perifer, dimana
virus ini akan menginfeksi sel T. Ketika telah berada di jaringan limfoid, sel dendritik dapat
menyampaikan HIV pada sel T CD4+ melalui kontak sel ke sel secara langsung. Dalam
beberapa hari setelah terpapar dengan HIV, replikasi virus dapat dideteksi pada nodus limfa.
Replikasi ini dapat menyebabkan viremia, selama sejumlah besar partikel HIV terdapat dalam
darah pasien, disertai dengan sindrom HIV akut yang meliputi berbagai tanda dan gejala
nonspesifik dari viral disease. Viremia yang terjadi memungkinkan penyebaran virus ke seluruh
tubuh dan menginfeksi sel T helper, makrofag, dan sel denditik pada jaringan limfoid perifer.
Karena terjadi penyebaran infeksi, sistem imun adaptif membentuk respon imun humoral dan
seluler yang ditujukan untuk melawan antigen virus. Respon imun ini mengontrol infeksi dan
produksi virus secara parsial. Mekanisme control ini detunjukkan dengan penurunan viremia
namun masih dapat dideteksi kurang lebih 12 minggu setelah paparan pertama (primer).
Fase selanjutnya yaitu fase infeksi kronik dimana terjadi replikasi HIV terus menerus
dalam nodus limfe dan limpa, serta terjadi kerusakan sel (gambar 3). Selama periode ini, sistem
imun masih mampu melawan sebagian besar infeksi dengan mikroba oportunistik, dan terdapat
sebagian kecil manifestasi klinik infeksi HIV. Oleh karena itu, fase ini juga disebut clinical
latency period. Walaupun sebagian besar sel T yang terdapat dalam darah perifer tidak
terinfeksi HIV, pada jaringan limfoid terjadi kerusakan sel T CD4+ yang terus berlangsung
sehingga jumlah sel T CD4+ dalam sirkulasi mengalami penurunan. Pada awal terjadinya
penyakit, tubuh masih mampu memproduksi sel T CD4+ baru sehingga jumlah sel T CD4+
dalam sirkulasi dapat dikembalikan secepat kerusakan yang terjadi. Pada fase ini, sekitar 10%
sel T CD4+ dalam organ limfoid mungkin telah terinfeksi HIV, namun jumlah sel T CD4+ dalam
sirkulasi yang terinfeksi sebesar < 0,1% dari total sel T CD4+ dalam tubuh. Namun, setelah
beberapa tahun, siklus infeksi virus yang terus berlangsung, kematian sel T, dan infeksi baru
menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ dalam sirkulasi dan organ limfoid.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik infeksi HIV dikarakteristikkan dalam beberapa fase, yang berujung pada
defisiensi imun.
1) Acute HIV disease
Segera setelah infeksi HIV, pasien mungkin dapat mengalami:
demam dan malaise yang berhubungan dengan viremia
sakit tenggorokan dengan faringitis
limfadenopati general (pembengkakan kelenjar limfe di leher, ketiak, inguinal, keringat
pada waktu malam atau kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas dan
sariawan oleh jamur kandida di mulut)
ruam kulit (rashes)
Gejala-gejala ini berkurang dalam beberapa hari dan selanjutnya memasuki periode clinical
latency.
2) Periode clinical latency
Selama periode ini, biasa terjadi penurunan sel T CD4+ yang progresif pada jaringan limfoid
dan kerusakan struktur jaringan limfoid. Selanjutnya mulai terjadi penurunan jumlah sel T
CD4+.
3) AIDS
Ketika hitung sel T CD4+ mencapai 200 sel/mm3 (nilai normal: 1500 sel/mm3) pasien
memiliki risiko infeksi dan telah mengalami AIDS. Manifestasi klinik dan patologis dari AIDS
terutama disebabkan peningkatan risiko terjadinya infeksi dan kanker karena defisiensi imun
yang terjadi.
a) Infeksi
Beberapa infeksi oportunistik yang dapat terjadi yaitu:
Protozoa (Toxoplasma, Cryptosporidium)
Bacteria (Mycobacteruim avium, Nocardia, Salmonella)
Fungi (Candida, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, Histoplasma
capsulatum, Pneumocystis)
Viruses (cytomegalovirus, herpes simplex, varicella-zoster)
Pasien dengan AIDS menunjukkan defisiensi respon sel T sitolitik (CTL) terhadap
virus, walaupun HIV tidak menginfeksi sel T CD8+.
b) Tumor
Lymphomas (including EBV- associated B cell lymphomas)
Kaposi's sarcoma
Cervical carcinoma
c) Encephalopathy
d) Wasting syndrome
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
Sedangkan dari kriteria mayor dan minor, manifestasi HIV adalah sebagai berikut:
Gejala mayor :
Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.
Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan.
Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.
Demensia/ensefalopati HIV.
Gejala minor:
Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
Dermatitis generalisata yang gatal.
Herpes Zoster multisegmental dan atau berulang.
Kandidiasis orofaringeal.
Herpes simpleks kronis progresif.
Limfadenopati generalisata.
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
F. Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human
Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan,
keletihan dan cacat.
2. Neurologik
a. Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus
(HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik,
kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial.
b. Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan
elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise,
total / parsial.
c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik
endokarditis.
d. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus
(HIV).
3. Gastrointestinal
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai
akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.
4. Respirasi
a. Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi opportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-paru
PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
b. Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat
menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30%
penderita AIDS.
c. Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.
d. Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ
lain diluar paru.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi
otot, lesi scabies, dan dekubitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan
sepsis.
6. Sensorik
Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan
efek nyeri.
G. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis infeksi HIV tergantung pada adanya antibodi HIV dan/atau deteksi langsung
HIV, atau salah satu dari metode tersebut.
1) Pemeriksaan antibody HIV
Ketika seseorang terinfeksi HIV, tubuh akan merespon dengan memproduksi antibody
spesifik untuk antigen HIV. Antibodi ini secara umum terdapat dalam sirkulasi dalam 2-12
minggu setelah infeksi. Terdapat dua metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya
antibody dalam darah pasien, yaitu ELISA dan Western blot.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
Algoritma penggunaan pemeriksaan serologis untuk mendeteksi infeksi HIV-1 dan HIV-2
Interpretasi hasil pemeriksaan ini yaitu:
a. Interpretasi hasil pemeriksaan positif
Terdapat antibody HIV pada darah pasien (pasien terinfeksi HIV, dan tubuh telah
memproduksi antibody)
HIV aktif dalam tubuh dan pasien dapat menularkannya pada orang lain
Selain infeksi HIV, pasien belum tentu menderita AIDS
Pasien tidak kebal terhadap AIDS (antibody tidak mengindikasikan kekebalan)
b. Interpretasi hasil pemeriksaan negatif
Antibody HIV tidak terdapat dalam darah pasien saat ini. Terdapat dua
kemungkinan:
o Pasien tidak terinfeksi HIV
o Pasien terinfeksi, namun tubuh belum membentuk antibody terhadap HIV
Pasien harus terus melakukan tindakan pencegahan. Hasil pemeriksaan ini tidak
menunjukkan pasien kebal terhadap HIV atau pasien terinfeksi HIV, tetapi hanya
tubuh belum memproduksi antibody terhadap HIV.
2) Viral Load
Menghitung level atau kadar RNA atau DNA dari HIV. Metode ini meliputi PCR (polymerase
chain reaction), RT-PCR (reverse transcriptase polymerase chain reaction), dan NASBA
(nucleic acid sequence based amplification). Viral load tes yang banyak digunakan yaitu
untuk menghitung kadar RNA HIV dalam plasma. Saat ini viral load test banyak digunakan
untuk mengetahui respon terhadap terapi infeksi HIV. RT-PCR juga digunakan untuk
mendeteksi HIV pada individu dengan risiko tinggi infeksi HIV sebelum pembentukan
antibody, untuk konfirmasi EIA positif, dan untuk skrining neonates.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
Hitung sel T CD4+
Hitung sel T CD4+ merupakan pemeriksaan laboratorium sebagai indikator status
imunologi pasien dengan infeksi HIV. Pengukuran ini, yang dapat dilakukan secara langsung
ataudihitung sebagai produk % sel T CD4+ (dengan metode flow cytometry) dan hitung total
limfosit (ditentukan dengan WBC dan persen diferensial) telah diketahui berhubungan dengan
status imunologi. Pasien dengan hitung sel T CD4+ <200/L berisiko tinggi terhadap infeksi P.
jiroveci, sedangkan pasien dengan hitung sel T CD4+ <50/L berisiko tinggi terhadap infeksi
CMV, mycobacteria M. avium complex, dan/atau T. gondii. Pasien dengan infeksi HIV harus
melakukan pengukuran sel T CD4+ pada saat didiagnosis dan setiap 3-6 bulan setelahnya.
Hasil hitung sel T CD4+ <350/L merupakan indikasi untuk terapi ARV, dan penurunan
hitung sel T CD4+ >25% merupakan indikasi untuk perubahan terapi. Jika hitung sel T CD4+
<200/L, pasien harus menerima regimen terapi profilaksis P.jiroveci, dan jika <50/L, profilaksis
untuk MAC.
H. Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada obat-obatan yang dapat menghilangkan HIV dari dalam
tubuh individu. Ada beberapa kasus yang menyatakan bahwa HIV/AIDS dapat disembuhkan.
Setelah diteliti lebih lanjut, pengobatannya tidak dilakukan dengan standar medis, tetapi dengan
pengobatan alternatif atau pengobatan lainnya. Obat-obat yang digunakan adalah untuk
menahan penyebaran HIV dalam tubuh tetapi tidak menghilangkan HIV dari dalam tubuh.
Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat yang ada adalah
antiretroviral dan infeksi opportunistik.
a. Obat antiretroviral adalah obat yang dipergunakan untuk retrovirus seperti HIV guna
menghambat perkembangbiakan virus. Obat-obat antiretrovirus yang diunakan adalah:
1) Golongan obat anti-HIV pertama adalah nucleoside reverse transcriptase inhibitor atau
NRTI, juga disebut analog nukleosida. Obat golongan ini menghambat bahan genetik
HIV dipakai untuk membuat DNA dari RNA. Obat dalam golongan ini yang disetujui di
AS dan masih dibuat adalah:
3TC (lamivudine)
Abacavir (ABC)
AZT (ZDV, zidovudine)
d4T (stavudine)
ddI (didanosine)
Emtricitabine (FTC)
Tenofovir (TDF; analog nukleotida)
2) Golongan obat lain menghambat langkah yang sama dalam siklus hidup HIV, tetapi
dengan cara lain. Obat ini disebut non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor atau
NNRTI. Empat NNRTI disetujui di AS:
Delavirdine (DLV)
Efavirenz (EFV)
Etravirine (ETV)
Nevirapine (NVP)
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
3) Golongan ketiga ARV adalah protease inhibitor (PI). Obat golongan ini
menghambat langkah kesepuluh, yaitu virus baru dipotong menjadi potongan
khusus. Sembilan PI disetujui dan masih dibuat di AS:
Atazanavir (ATV)
Darunavir (DRV)
Fosamprenavir (FPV)
Indinavir (IDV)
Lopinavir (LPV)
Nelfinavir (NFV)
Ritonavir (RTV)
Saquinavir (SQV)
Tipranavir (TPV)
4) Golongan ARV keempat adalah entry inhibitor. Obat golongan ini mencegah
pemasukan HIV ke dalam sel dengan menghambat langkah kedua dari
siklus hidupnya. Dua obat golongan ini sudah disetujui di AS:
Enfuvirtide (T-20)
Maraviroc (MVC)
5) Golongan ARV terbaru adalah integrase inhibitor (INI). Obat golongan ini
mencegah pemaduan kode genetik HIV dengan kode genetik sel dengan
menghambat langkah kelima dari siklus hidupnya. Obat INI pertama adalah:
Raltegravir (RGV)
b. Obat infeksi opportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang
mungkin didapat karena sistem kekebalan tubuh sudah rusak atau lemah.
Sedangkan obat yang bersifat infeksi opportunistik adalah Aerosol Pentamidine,
Ganciclovir, Foscamet.
I. Pencegahan
Untuk mencegah penularan HIV/AIDS, dapat diingat menggunakan ABCDE, yang
terdiri dari:
1. Abstinence, yaitu tidak melakukan hubungan seksual di luar pernikahan
(abstinansia).
2. Be faithful, yaitu tetap setia pada pasangannya, untuk yang sudah menikah.
3. Condom, gunakan kondom saat melakukan hubungan seksual (melindungi
diri).
4. Don't do drugs, tidak melakukan penyalahgunaan Napza sama sekali.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
5. Equipment, berhati-hati terhadap peralatan yang beresiko membuat luka dan
digunakan secara bergantian (bersamaan), misalnya jarum suntik, pisau
cukur, dll.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
TOXOPLASMOSIS
A. Definisi
Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan yang
dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh sporozoa yang dikenal
dengan nama Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit intraselluler yang banyak
menginfeksi manusia dan hewan peliharaan. Toxoplasma adalah parasit protozoa
dengan sifat alami dengan perjalanannya dapat akut atau menahun, simtomatik
maupun asimtomatik.
B. Etiologi
Toksoplasmosis disebabkan oleh agen infeksi Toxoplasma gondii, suatu
protozoa intraseluler coccidian pada kucing, masuk dalam famili Sarcocystidae dan
kelas Sporozoa. Parasit ini terdiri dari empat bentuk yaitu Tachyzoid yang secara
cepat memperbanyak diri pada jaringan organisme, Bradyzoit yang memperbanyak
diri secara lambat pada jaringan, Pseudocyst, dan Oocyst (Knapen, 2008).
Siklus hidup Toxoplasma gondii :
a. Fase seksual
berlangsung pada Hospes definitif dari T. Gondii (kucing) dan jenis Feliidae.
Siklus seksual berlansung dalam epitel usus kucing yang kemudian berakhir
dengan pembentukan Oocyst yang dikeluarkan bersama tinja (10-20 hari atau
bisa lebih lama). Oocyst berbentuk oval dengan diameter 10-20 dan berisi 8
sporozoit di dalam 2 sporokista.
b. Fase aseksual
T. gondii mengalami siklus reproduksi aseksual di semua spesies. Kista jaringan
atau oocyst larut selama digesti, menghasilkan bradizoit atau sporozoit, yang
masuk ke lamina propria pada usus kecil dan mulai untuk memperbanyak diri
sebagai takizoid. Takizoid dapat menyebar pada jarinngan eksternal dengan
waktu singkat melalui limfe dan darah. Mereka dapat masuk pada beberapa sel
dan memperbanyak diri. Sel dari host akhirnya pecah dan menghasilkan takizoid
masuk ke sel yang baru. Ketika host berkembang menjadi resisten, kira-kira 3
minggu setelah infeksi, takizoid mulai menghilang dari dalam jaringan dan
menjadi bentuk resting bradizoid dalam kista jaringan (Knapen, 2008).
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
C. Patofisiologi
Toxoplasma gondii yang tertelan melalui makanan akan menembus epitel
usus dan difagositosis oleh makrofag atau masuk ke dalam limfosit akibatnya terjadi
penyebaran limfogen. Toxoplasma gondii akan menyerang seluruh sel berinti,
membelah diri dan menimbulkan lisis, destruksi sel tersebut akan berhenti bila tubuh
telah membentuk antibodi. Pada organ tubuh, seperti susunan saraf dan mata,
antibodi tidak dapat masuk karena ada sawar (barier) sehingga destruksi akan terus
berjalan. Oocysts memiliki daya tahan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan dan
dapat tetap infeksius selama 18 bulan pada air, cuaca panas, dan tanah yang
basah. Mereka tidak dapat bertahan dengan baik pada tanah yang gersang dan
iklim dingin. Kista jaringan dapat infeksius selama berminggu-minggu pada darah di
suhu kamar, dan pada daging selama daging tersebut dapat dimakan dan kurang
matang. Takizoid lebih rentan dan dapat bertahan pada tubuh selama berhari-hari
dan di seluruh aliran darah selama 50 hari pada suhu 400 C. Pada manusia, periode
inkubasi terjadi selama 10 sampai 23 hari setelah mengkonsumsi daging yang
terkontaminasi dan 5 sampai 20 hari setelah terpapar kucing yang terinfeksi. Infeksi
dapat diperoleh dari makan makanan mentah atau kurang matang yang terinfeksi
(daging babi atau domba,dan lebih jarang pada daging sapi) yang mengandung
kista jaringan, atau ingesti dari infeksi oocysts pada makanan atau minuman yang
terkontaminasi feces kucing. Infeksi dapat terjadi pada tranfusi darah atau
transplantasi organ dari pendonor yang terinfeksi. Selama invasi akut parasit
Toxoplasma (proliferatif fase, takizoit), ada kerusakan ringan jaringan utama
(Nekrosis) (Knapen, 2008).
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
Sarang-sarang nekrosa dapat ditemukan di dalam paru, hati, limpa, anak
ginjal, dan sel-sel disekitar. Sarang-sarang ini mengandung toxoplasmosis yang
tergabung dalam kolonikoloni terminal (Pseudo-cysts) atau parasit-parasit itu
terletak bebas dalam jaringan-jaringan. Toxoplasma banyak dijumpai didalam sel-
sel pada tepi ulkus-ulkus usus.
Didalam otak parasit ini terlihat didalam sel-sel glia atau neuron sebagai
parasit intra selluler atau sebagai koloni-koloni terminal (pseudocysts). Protozoa ini
juga berada bebas dalam jaringan. Reaksi radang umumnya jelas terlihat, sebagai
gliosis, mikroglia, atau astrosit-astrosit. Penyerbukan limfosit-limfosit dalam ruang
virchow robin, disamping nekrosa lokal jaringan otak. Juga terjadi proliferasi sel-sel
adventisia, disamping nekrosa lokal jaringan otak. Perubahan-perubahan itu paling
banyak terdapat dalam cortex cerebralis. Parasit itu juga bisa dijumpai pada selaput
otak.
Hati memperlihatkan perdarahan local, yaitu gambaran degenerasi dan reaksi
seluler disamping sarang-sarang nekrosa tersebut di atas. Parasit dapat ditemukan
di dalam makrofag atau di dalam sel-sel hati. Di dalam limpa kadang-kadang di
jumpai sel-sel reticulum dan makrofag. Parasit-parasit terlihat di dalam miokard
yakni didalam makrofag atau didalam miofibril.
D. Manifestasi Klinik
Umumnya infeksi Toxoplasma gondii ditandai dengan gejala seperti infeksi
lainnya yaitu demam, malaise, nyeri sendi, pembengkakan kelenjar getah bening
(toxoplasmosis limfonodosa acuta). Gejala mirip dengan mononukleosis infeksiosa.
Infeksi yang mengenai susunan syaraf pusat menyebabkan encephalitis
(toxoplasma cerebralis acuta). Parasit yang masuk ke dalam otot jantung
menyebabkan peradangan. Lesi pada mata akan mengenai khorion dan rentina
menimbulkan irridosklitis dan khorioditis (toxoplasmosis ophithal mica akuta). Bayi
dengan toxoplamosis kongenital akan lahir sehat tetapi dapat pula timbul gambaran
eritroblastosis foetalis, hidrop foetalis (Institute for International Cooperation in
Animal Biologics, 2005).
Tanda-tanda yang terkait dengan toksoplasmosis yaitu (Medows, 2005):
1) Toxoplasma pada orang yang imunokompeten
Biasanya terdapat pembengkakan kelenjar getah bening (sering di leher). Gejala
lain bisa termasuk demam, malaise, keringat malam, nyeri otot, ruam
makulopapular dan sakit tenggorokan.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
2) Toxoplasmosis pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah
Toxoplasmosis pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah misalnya,
pasien dengan AIDS dan kanker. Pada pasien ini, infeksi mungkin melibatkan
otak dan sistem syaraf, menyebabkan ensefalitis dengan gejala termasuk
demam, sakit kepala, kejang-kejang dan masalah penglihatan, ucapan, gerakan
atau pemikiran. Manifestasi lain dari penyakit ini termasuk penyakit paru-paru,
menyebabkan demam, batuk atau sesak nafas dan miokarditis dapat
menyebabkan gejala penyakit jantung, dan aritmia.
3) Toxoplasma Okular
Toksoplasmosis okular oleh uveitis, sering unilateral, dapat dilihat pada remaja
dan dewasa muda, sindrom ini sering merupakan akibat dari infeksi kongenital
tanpa gejala atau menunda hasil infeksi postnatal. Infeksi diperoleh pada saat
atau sebelum kehamilan sehingga menyebabkan bayi toksoplasmosis bawaan.
Banyak bayi yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala saat lahir, namun sebagian
besar akan mengembangkan pembelajaran dan cacat visual atau bahkan yang
parah.
4) Toksoplasmosis pada wanita hamil
Pada kondisi tertentu, infeksi pada wanita selama kehamilan menyebabkan
abortus spontan, lahir mati, dan kelahiran prematur. Aborsi dan stillbirths juga
dapat dipertimbangkan, terutama bila infeksi terjadi pada trimester pertama.
Tanda dan gejalanya yaitu penglihatan kabur, rasa sakit, fotofobia, dan
kehilangan sebagian atau seluruh keseimbangan tubuh.
5) Toxoplasmosis congenital
Bayi yang terinfeksi selama kehamilan trimester pertama atau kedua yang paling
mungkin untuk menunjukkan gejala parah setelah lahir. Tanda-tandanya yaitu
demam, pembengkakan kelenjar getah bening, sakit kuning (menguningnya kulit
dan mata), sebuah kepala yang sangat besar atau bahkan sangat kecil, ruam,
memar, pendarahan, anemia, dan pembesaran hati atau limpa. Mereka yang
terinfeksi selama trimester terakhir biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda
infeksi pada kelahiran, tetapi mungkin menunjukkan tanda-tanda toksoplasmosis
okular atau penundaan perkembangan di kemudian hari.
E. Diagnosa
Uji laboratorium biasanya digunakan untuk diagnosis. Beberapa pemeriksaan
diagnostik yang biasanya dilakukan diantaranya :
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
a) Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan antibodi spesifik toksoplasma,
yaitu IgG, IgM dan IgG affinity.
IgM adalah antibodi yang pertama kali meningkat di darah bila terjadi infeksi
toksoplasma.
IgG adalah antibodi yang muncul setelah IgM dan biasanya akan menetap
seumur hidup pada orang yang terinfeksi atau pernah terinfeksi.
IgG affinity adalah kekuatan ikatan antara antibodi IgG dengan organisme
penyebab infeksi. Manfaat IgG affinity yang dilakukan pada wanita yang
hamil atau akan hamil karena pada keadaan IgG dan IgM positif diperlukan
pemeriksaan IgG affinity untuk memperkirakan kapan infeksi terjadi, apakah
sebelum atau pada saat hamil. Infeksi yang terjadi sebelum kehamilan tidak
perlu dirisaukan, hanya infeksi primer yang terjadi pada saat ibu hamil yang
berbahaya, khususnya pada trimester I.
o Bila IgG (-) dan IgM (+)
Kasus ini jarang terjadi, kemungkinan merupakan awal infeksi. Harus
diperiksa kembali 3 minggu kemudian dilihat apakah IgG berubah
jadi (+). Bila tidak berubah, maka IgM tidak spesifik, yang
bersangkutan tidak terinfeksi toksoplasma.
o Bila IgG (-) dan IgM (-)
Belum pernah terinfeksi dan beresiko untuk terinfeksi. Bila sedang
hamil, perlu dipantau setiap 3 bulan pada sisa kehamilan (dokter
mengetahui kondisi dan kebutuhan pemeriksaan anda). Lakukan
tindakan pencegahan agar tidak terjadi infeksi.
o Bila IgG (+) dan IgM (+)
Kemungkinan mengalami infeksi primer baru atau mungkin juga
infeksi lampau tapi IgM nya masih terdeteksi. Oleh sebab itu perlu
dilakukan tes IgG affinity langsung pada serum yang sama untuk
memperkirakan kapan infeksinya terjadi, apakah sebelum atau
sesudah hamil.
o Bila IgG (+) dan IgM (-)
Pernah terinfeksi sebelumnya. Bila pemeriksaan dilakukan pada awal
kehamilan, berarti infeksinya terjadi sudah lama (sebelum hamil) dan
sekarang telah memiliki kekebalan, untuk selanjutnya tidak perlu
diperiksa lagi.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
b) Pemeriksaan cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan
elevasi protein.
c) Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk Toxoplasmosis gondii dapat juga positif pada cairan
bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita
toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak
tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada
di otak setelah infeksi akut.
d) CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple dan
biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan
disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma
jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.
e) Biopsi otak
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
F. Penatalaksanaan
Obat-obat yang dipakai sampai saat ini hanya membunuh bentuk takizoid T.
gondii dan tidak membasmi bentuk kistanya, sehingga obat-obat ini dapat
memberantas infeksi akut, tetapi tidak dapat menghilangkan infeksi menahun, yang
dapat menjadi aktif kembali. Obat-obatan yang biasanya dipakai :
Spiramisin
antibiotik makrolida yang dihasilkan oleh Streptomyces ambofaciens yang
bekerja dengan cara menghambat sintesa protein bakteri. Spiramisin efektif
terhadap kuman Stafilokokus, Streptokokus, Pneumokokus, Bordetella pertusis.
Obat ini dapat diberikan pada wanita hamil yang mendapat infeksi primer,
sebagai obat profilaksis untuk mencegah transmisi T. gondii ke janin dalam
kandungannya. Dewasa : 500 mg, 3 x sehari selama 5 hari. Pada infeksi berat,
dosis dapat ditingkatkan sampai maksimal 3000 mg/hari. Anak-anak : sehari
50-100 mg/kg berat badan terbagi dalam 2-3 dosis. Efek samping yang serius
dari spiramisin namun sangat jarang seperti mual, muntah, diare, nyeri
epigastrik, ruam kulit dan urtikari.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
Kombinasi pirimetamin dan sulfadiazine
Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak. Parasit Toxoplasma gondii
membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin menghambat pemerolehan
vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat penggunaannya. Dosis normal
obat ini adalah 50-75mg pirimetamin dan 2-4g sulfadiazin per hari. Kedua obat
ini mengganggu ketersediaan vitamin B dan dapat mengakibatkan anemia.
Orang dengan tokso biasanya memakai kalsium folinat (semacam vitamin B)
untuk mencegah anemia.
Pengobatan pada ibu hamil (Gnansia, 2003) :
Sebelum 30 minggu
o jika toxoplasma tidak terdeteksi dengan cairan amniotik dan jika test
ultrasonografi normal, maka menggunakan spiramycin dengan 9 juta UI per
hari sampai persalinan
o jika toxoplasma terdeteksi pada cairan amniotik fluid dan jika test ultrasound
normal, maka menggunakan pyrimethamine dan sulfonamides, bersama
dengan folic acid. Pada kasus cerebral microcalcifications atau hydrocephaly
didiagnosis dengan ultrasound, seebuah penghentian kehamilan dapat
diajukan ke orangtua
Setelah 30 minggu, resiko transmisi transplasenta tinggi, maka pengobatan
menggunakan pyrimethamine dan sulfonamides
Ketika lahir, meskipun tidak ada bukti transmisi toxoplasma melalui placenta,
infeksi congenital tidak dapat dihilangkan. Hal tersebut kemudian dipastikan
untuk menguji kelahiran baru dengan transfontanellar ultrasonography dan
ophthalmologic surveillance. Jika uji klinik dan serologi negatif, tidak ada
pengobatan. Infeksi pada anak harus diobati dengan pyrimethamine and
sulfonamides selama 12 bulan
Pengobatan pada bayi
Pirimetamin 2 mg/kg selama dua hari, kemudian 1 mg/kg/hari selama 2-6 bulan,
di ikuti dengan 1 mg/kg/hari 3 kali seminggu, ditambah
Sulfadiazin atau trisulfa 100 mg/kg/hari yang terbagi dalam dua dosis,ditambah
lagi
Asam folinat 5 mg/dua hari, atau dengan pengobatan kombinasi
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
Spiramisin dosis 100 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, selang-seling setiap bulan
dengan pirimetamin
Prednison 1 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis sampai ada perbaikan korio-
retinitis. Perlu dilakukan pemeriksaan serologis ulangan untuk menentukan
apakah pengobatan masih perlu diteruskan
G. Pencegahan
Terdapat beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari
penyakit toksoplasmosis, antara lain (Chin, 2000):
1) Mendidik ibu hamil tentang langkah-langkah pencegahan:
Gunakan iradiasi daging atau memasak daging pada suhu 1500F (660C)
sebelum dimakan. Pembekuan daging tidak efektif untuk menghilangkan
Toxoplasma gondii.
Ibu hamil sebaiknya menghindari pembersihan sampah panci dan kontak
dengan kucing. Memakai sarung tangan saat berkebun dan mencuci tangan
setelah kerja dan sebelum makan
2) Makanan kucing sebaiknya kering, kalengan atau rebus dan mencegah kucing
tersebut berburu (menjaga mereka sebagai hewan peliharaan dalam ruangan)
3) Menghilangkan feses kucing (sebelum sporocyst menjadi infektif). Feses kucing
dapat dibakar atau dikubur. Mencuci tangan dengan bersih setelah memegang
material yang berpotensial terdapat Toxoplasma gondii.
4) Cuci tangan sebelum makan dan setelah menangani daging mentah atau setelah
kontak dengan tanah yang mungkin terkontaminasi kotoran kucing.
5) Control kucing liar dan mencegah mereka kontak dengan pasir yan digunakan
anak-anak untuk bermain.
6) Penderita AIDS yang telah toxoplasmosis dengan gejala yang parah harus
menerima pengobatan profilaksis sepanjang hidup dengan pirimetamin,
sulfadiazine dan asam folinic.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
TOXOPLASMOSIS SEBAGAI KOMPLIKASI HIV/AIDS
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada
penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang
membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf.
Setelah infeksi oral, bentuk tachyzoite atau invasif parasit dari Toxoplasma
gondii menyebar ke seluruh tubuh. Takizoit menginfeksi setiap sel berinti, di mana
mereka berkembang biak dan menyebabkan kerusakan. Permulaan diperantarai sel
imun terhadap T gondii disertai dengan transformasi parasit ke dalam jaringan kista
yang menyebabkan infeksi kronis seumur hidup.
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan
produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas sitokin yang dihasilkan
limfosit T. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi
IL-12 dan IFN-gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai
respon terhadap Toxoplasma gondii. Hal ini berperan penting dalam perkembangan
toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV. Pada pasien yang terinfeksi HIV,
jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor untuk validasi kemungkinanan
adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200sel/mL kemungkinan
untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Aktivitas/istirahat
o Gejala : mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktifitas, kelelahan.
o Tanda : kelemahan otot, nyeri otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi
terhadap aktifitas.
Sirkulasi
o Gejala : demam, proses penyembuhan luka yang lambat, perdarahan lama
bila cedera
o Tanda : suhu tubuh meningkat, berkeringat, takikardia, mata cekung, anemis,
perubahan tekanan darah postural, volume nadi perifer menurun, pengisian
kapiler memanjang.
Integritas ego
o Gejala : merasa tidak berdaya, putus asa, rasa bersalah, kehilangan kontrol
diri, dan depresi
o Tanda : mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah, menangis,
kontak mata kurang.
Eliminasi
o Gejala : diare, nyeri pinggul, rasa terbakar saat berkemih.
o Tanda : feces encer disertai mucus atau darah, nyeri tekan abdominal, lesi
pada rectal, ikterus, perubahan dalam jumlah warna urin.
Makanan/cairan
o Gejala : tidak ada nafsu makan, mual, muntah, sakit tenggorokan.
o Tanda : penurunan BB yang cepat, bising usus yang hiperaktif, turgor kulit
jelek, lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih/perubahan warna mukosa
mulut
Hygiene
o Tanda : tidak dapat menyelesaikan ADL, mempeliahtkan penampilan yang
tidak rapi.
Neurosensorik
o Gejala : pusing, sakit kepala, photofobia.
o Tanda : perubahan status mental, kerusakan mental, kerusakan sensasi,
kelemahan otot, tremor, penurunan visus, bebal, kesemutan pada ekstrimitas.
Nyeri/kenyamanan
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
o Gejala : nyeri umum atau lokal, sakit, nyeri otot, sakit tenggorokan, sakit
kepala, nyeri dada pleuritis, nyeri abdomen.
o Tanda : pembengkakan pada sendi, hepatomegali, nyeri tekan, penurunan
ROM, pincang.
Pernapasan
o Tanda : terjadi ISPA, napas pendek yang progresif, batuk produktif/non, sesak
pada dada, takipneu, bunyi napas tambahan, sputum kuning.
Keamanan
o Gejala : riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka lambat proses penyembuhan.
o Tanda : demam berulang
Seksualitas
o Tanda : riwayat perilaku seksual resiko tinggi, penurunan libido, penggunaan
kondom yang tdk konsisten, lesi pada genitalia, keputihan.
Interaksi social
o Tanda : isolasi, kesepian, perubahan interaksi keluarga, aktifitas yang tidak
terorganisir
DIAGNOSA
1) Resiko infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan gangguan
integritas kulit.
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolik, dan menurunnya absorbsi
zat gizi.
3) Kurang volume cairan tubuh berhubungan dengan kurangnya intake cairan
dan dehidrasi.
4) Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi dan gangguan saraf
sensori.
5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kemampuan
motorik.
6) Kelemahan berhubungan dengan penurunan kemampuan motorik dan intake
nutrisi kurang.
7) Diare berhubungan dengan proses infeksi GI.
8) Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterik dan gangguan
jaringan kulit.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
9) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gangguan pada kulit dan sakit
kepala.
10) Nyeri akut berhubungan dengan nyeri abdomen.
11) Harga diri rendah berhubungan dengan gangguan penampilan fisik.
12) Gangguan body image berhubungan dengan gangguan penampilan fisik.
13) Risiko jatuh berhubungan dengan gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran, dan penurunan kemampuan motorik.
14) Gangguan pola napas berhubungan dengan sesak napas dan batuk.
15) Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan
orang yang dicintai.
Teori Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan criteria hasil
Intervensi Rasional
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan gangguan integritas kulit.
Tujuan :
- Mengurangi resiko terjadinya infeksi
- Mempertahankan daya tahan tubuh
Kriteria hasil:
- Infeksi berkurang- Daya tahan tubuh
tidak menurun
Mandiri
1. Pantau adanya infeksi : demam, mengigil, diaforesis, batuk, nafas pendek, nyeri oral atau nyeri menelan.
2. Ajarkan pasien atau memberi perawatan tentang perlunya melaporkan kemungkinan infeksi.
3. Pantau jumlah sel darah putih dan diferensial
4. Pantau tanda-tanda vital termasuk suhu.
5. Awasi pembuangan jarum suntik dan mata pisau secara ketat dengan menggunakan wadah tersendiri.
Kolaborasi
6. Berkan antibiotik atau agen antimikroba, misal : trimetroprim (bactrim atau septra), nistasin, pentamidin atau retrovir.
1. Deteksi dini terhadap infeksi penting untuk melakukan tindakan segera. Infeksi lama dan berulang memperberat kelemahan pasien.
2. Berikan deteksi dini terhadap infeksi.
3. Peningkatan SDP dikaitkan dengan infeksi
4. Memberikan informasi data dasar, peningkatan suhu secara berulang-ulang dari demam yang terjadi untuk menunjukkan bahwa tubuh bereaksi pada proses infeksi ang baru dimana obat tidak lagi dapat secara efektif mengontrol infeksi yang tidak dapat disembuhkan.
5. Mencegah inokulasi yang tak disengaja dari pemberi perawatan.
6. Menghambat proses infeksi. Beberapa obat-obatan ditargetkan untuk organisme tertentu, obat-obatan lainya ditargetkan untuk meningkatkan fungsi imun
Kelemahan berhubungan
Pasien berpartisipasi dalam kegiatan,
1. Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas2. Berikan bantuan perawatan yang pasien
1. Respon bervariasi dari hari ke hari2. Mengurangi kebutuhan energi
dengan penurunan kemampuan motorik dan intake nutrisi kurang.
dengan kriteria bebas dyspnea dan takikardi selama aktivitas.
sendiri tidak mampu3. Jadwalkan perawatan pasien sehingga
tidak mengganggu isitirahat. 3. Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolik
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah dikontrol, pasien makan TKTP, serum albumin dan protein dalam batas n ormal, BB mendekati seperti sebelum sakit.
1. Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2. Monitor BB, intake dan ouput3. Atur antiemetik sesuai order
1. Intake menurun dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan mulut
2. Menentukan data dasar3. Mengurangi muntah
Diare berhubungan dengan infeksi GI
Pasien merasa nyaman dan mengnontrol diare, komplikasi minimal dengan kriteria perut lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna normal, kram perut hilang,
1. Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2. Auskultasi bunyi usus3. Atur agen antimotilitas dan psilium
(Metamucil) sesuai order4. Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc
oside
1. Mendeteksi adanya darah dalam feses
2. Hipermotiliti mumnya dengan diare3. Mengurangi motilitas usus, yang pelan,
emperburuk perforasi pada intestinal4. Untuk menghilangkan distensi
Kurang volume cairan tubuh berhubungan dengan kurangnya intake cairan dan dehidrasi.
Tujuan :
Mempertahankan hidrasi cairan yang dibuktikan oleh normalnya kadar elektrolit
Mandiri
1. Kaji turgor kulit,membran mukosa, dan rasa haus
2. Pantau masukan oral dan memasukkan cairan sedikitnya 2500 ml/hari
3. Hilangkan makanan yang potensial menyebabkan diare, yakni yang pedas/
1. Indikator tidak langsung dari status cairan.
2. Mempertahankan keseimbangan cairan, mengurangi rasa haus, melembabkan mukosa.
3. Mungkin dapat mengurangi diare.
Kriteria hasil:
- Terpenuhinya kebutuhan cairan secara adekuat
- Defekasi kembali normal, maksimal 2x sehari
makanan berkadar lemak tinggi, kacang, kubis, susu.
4. Berikan makanan yang membuat pasien berselera.
Kolaborasi
5. Berikan obat-obatan sesuai indikasi : antiemetikum, antidiare atau antispasmodik.
6. Pantau hasil pemeriksaan laboratorium.
7. Berikan cairan/elektrolit melalui selang makanan atau IV.
4. Meningkatkan asupan nutrisi secara adekuat.
5. Mengurangi insiden muntah, menurunkan jumlah keenceran feses mengurangi kejang usus dan peristaltik.
6. Mewaspadai adanya gangguan elektrolit dan menentukan kebutuhan elektrolit.
7. Diperlukan untuk mendukung volume sirkulasi, terutama jika pemasukan oral tidak adekuat.
Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan kecemasan mengenai keadaan orang yang dicintai.
Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan adaptasi terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan keluarga berinteraksi dengan cara yang konstruktif
1. Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2. Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3. Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
1. Memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan keluarga.
2. Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas
3. Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana.
Gadis Mutiara Puspita Ika / 0910723026
Daftar Pustaka
Christine L. Mudge-Grout, 2005, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.
Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta
Grimes, E.D, Grimes, R.M, and Hamelik, M, 2006, Infectious Diseases, Mosby Year Book, Toronto.
Herdiana. 2008. How to Diagnose HIV Infection. http://danieher.multiply.com/journal/item/20/How_to_diagnose_HIV_Infection.
Jelsoft Enterprises Ltd. 2009. Informasi Dasar HIV dan AIDS. http://www.perawan.us/archive/index.php/t-2677.html.
Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 2010, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo Surabaya..
Phipps, Wilma. et al, 2006, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th edition, Mosby Year Book, Toronto
Rampengan dan Laurentz, 2005, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua, EGC, Jakarta.
Sualman Kamisah. 2009. HIV/AIDS. http://yayanakhyar.wordpress.com/2009/08/28/hivaids/.
Yayasan Spirita. 2010. Terapi Antiretroviral (ART). http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=403.