hipotiroidsme pasca tiroidektomy

26
BAB I PENDAHULUAN Hipokalsemia didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana konsentrasi ion kalsium serum atau kalsium serum total setelah dikoreksi oleh nilai albumin serum di bawah normal. Secara umum, kalsium berperan penting dalam mempertahankan fungsi normal sel, khususnya pada transmisi impuls saraf, stabilitas membran sel dan intracellular signaling, mempertahankan struktur jaringan tulang serta pembekuan darah. Hipokalsemia diperkirakan terjadi pada 1-2% paska tiroidektomi dan sekitar 15-50% kasus perawatan intensif yang meliputi semua kelompok umur dan jenis kelamin. Keseimbangan kalsium dipertahankan oleh interaksi antara hormon paratiroid (PTH), vitamin D dan kalsitonin melalui mekanisme complex feedback loops yang bekerja di tulang, ginjal dan usus, dimana PTH bertanggung jawab sebagai pengendali utama. Dalam klasifikasinya, hipokalsemia dibagi menjadi dua kriteria. Berdasarkan onsetnya, hipokalsemia dibedakan menjadi hipokalsemia akut atau kronik sedangkan berdasar peranan PTH di dalamnya, hipokalsemia dikelompokkan sebagai hipokalsemia dengan kadar PTH rendah, PTH tak efektif, atau PTH-overwhelmed. Hipokalsemia kronik umumnya bersifat ringan sehingga jarang memerlukan koreksi. Hipokalsemia akut dapat menyebabkan gejala klinis yang berat seperti kejang, hipotensi refrakter, aritmia, gagal jantung, spasme laring dan saluran napas yang dapat menyebabkan kematian. Kegagalan dalam menegakkan diagnosis dan menangani hipokalsemia berat dapat menyebabkan morbiditas dan kematian. 1

Upload: wonder-kid58

Post on 12-Feb-2016

35 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bedah umum

TRANSCRIPT

Page 1: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

BAB I

PENDAHULUAN

Hipokalsemia didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana konsentrasi ion kalsium

serum atau kalsium serum total setelah dikoreksi oleh nilai albumin serum di bawah normal.

Secara umum, kalsium berperan penting dalam mempertahankan fungsi normal sel,

khususnya pada transmisi impuls saraf, stabilitas membran sel dan intracellular signaling,

mempertahankan struktur jaringan tulang serta pembekuan darah. Hipokalsemia diperkirakan

terjadi pada 1-2% paska tiroidektomi dan sekitar 15-50% kasus perawatan intensif yang

meliputi semua kelompok umur dan jenis kelamin. Keseimbangan kalsium dipertahankan oleh

interaksi antara hormon paratiroid (PTH), vitamin D dan kalsitonin melalui mekanisme

complex feedback loops yang bekerja di tulang, ginjal dan usus, dimana PTH bertanggung

jawab sebagai pengendali utama. Dalam klasifikasinya, hipokalsemia dibagi menjadi dua

kriteria. Berdasarkan onsetnya, hipokalsemia dibedakan menjadi hipokalsemia akut atau

kronik sedangkan berdasar peranan PTH di dalamnya, hipokalsemia dikelompokkan sebagai

hipokalsemia dengan kadar PTH rendah, PTH tak efektif, atau PTH-overwhelmed.

Hipokalsemia kronik umumnya bersifat ringan sehingga jarang memerlukan koreksi.

Hipokalsemia akut dapat menyebabkan gejala klinis yang berat seperti kejang, hipotensi

refrakter, aritmia, gagal jantung, spasme laring dan saluran napas yang dapat menyebabkan

kematian. Kegagalan dalam menegakkan diagnosis dan menangani hipokalsemia berat dapat

menyebabkan morbiditas dan kematian.

1.1 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan Laporan kasus ini untuk mengetahui faktor penyebab dan

penatalaksanaan yang terbaik untuk pasien hipokalsemia paska tiroidektomy.

1

Page 2: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien

Nama : Ny. Tasofa

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 41 Tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Lekok Pasuruan Jawatimur

Tgl Pemeriksaan : 25 Juni 2015

2.2 ANAMNESA

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke Poli Bedah dengan tujuan kontrol paska operasi tiroid. Sebelumnya

pasien didiagnosa struma dan disarankan untuk operasi pada tanggal 16 Juni 2015 karena

benjolannya semakin membesar 1 tahun ini. 4 hari seteah operasi pasien mengeluh tangan dan

kaki kesemutan. Selain kesemutan 1 minggu kemudian pasien merasa tangan dan kaki sering

kram.

Riwayat penyakit dahulu

Benjolan sudah ada sejak 1 tahun yang lalu dan semakin membesar.

Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit seperti ini

Riwayat pengobatan

Pengobatan pasca operasi :

Glibotik 2x 500mg

Santagesik 3 x 500mg

Dexamethasone 2x 1 tab

Kalnex 2x 500mg

2.3 Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : sedang

Kesadaran : compos mentis

GCS : 4-5-6

Vital sign

o RR : 21 x/menit2

Page 3: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

o HR : 88x / menit

o Suhu : 36,5 ºC

o Tekanan darah : 120/90 mmHg

Kepala :

Anemis : -

Icterus : -

Cyanosis : -

Dypsnea : -

Leher : PKGB -, PJVP -,

Thorax

1.1 Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Teraba ictus cordis pada ICS 5

Perkusi : Tidak ada pembesaran jantung

Auskultasi : S1, S2 tunggal

Murmur-, gallop-

2.1 Paru-paru

Inspeksi : Bentuk dada simetris

Palpasi : Pergerakan dada simetris

Perkusi : Redup/sonor

Redup /Sonor

Sonor/Sonor

Auskultasi : Rhonki Wheezing

Abdomen

Inspeksi : Flat

Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, meteorismus -

Perkusi : Tympani

Auskultasi : Bising usus + normal

Genetalia : Dalam Batas Normal

Ekstremitas : Akral dingin : Odem :

3

Page 4: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

Reflek patologis

Cvostek’s sign : - / -

Trousseau’s sign : + / +

Gambar 2.1 Reflek sebelum dan sesudah dilakukan Trousseau’s sign

2.4 Pemeriksaan Laboratorium

Darah lengkap 1 hari setelah operasi

Gambar 2.2 Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap 1 Hari Paska Tiroidektomy

Serum elektrolit 1 hari setelah operasi

4

Page 5: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

Gambar 2.3 Hasil Pemeriksaan Serum Elektrolit 1 Hari Paska Tiroidektom

Serum elektrolit 1 minggu setelah operasi

Gambar 2.3 Hasil Pemeriksaan Serum Elektrolit 1 minggu Paska Tiroidektom

2.5 Diagnosis

Hipokalsemi Pasca Tiroidektomy

2.6 Terapi

Infus RL 14 TPM

PO:

Ca Gluconas 1x100mg

Asam mefenamat 3x 500mg

CDR Fortos 2x 15

Page 6: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

Extra Pisang

BAB III

Tinjauan Pustaka6

Page 7: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

3.1 Definisi

Pembesaran pada kelenjar tiroid biasa disebut sebagai struma nodosa atau struma.

Pembesaran pada tiroid yang disebabkan akibat adanya nodul, disebut struma nodosa

(Tonacchera, Pinchera & Vitty, 2009). Biasanya dianggap membesar bila kelenjar tiroid

lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran ini dapat terjadi pada kelenjar yang normal

(eutirodisme), pasien yang kekurangan hormon tiroid (hipotiroidisme) atau kelebihan

produksi hormon (hipertiroidisme) (Black and Hawks, 2009).

Menurut Penelitian Framingham, setiap orang berisiko 5-10% untuk menderita

struma nodosa dan perempuan berisiko 4 kali lipat disbanding laki-laki (Incidence and

Prevalence Data, 2012). Kebutuhan hormon tiroid meningkat pada masa pertumbuhan,

masa kehamilan dan menyusui. Pada umumnya struma nodosa banyak terjadi pada

remaja, wanita hamil dan ibu menyusui.

Struma nodosa terdapat dua jenis, toxic dan non toxic. Struma nodusa non toxic

merupakan struma nodusa tanpa disertai tanda- tanda hipertiroidisme. Pada penyakit

struma nodusa non toxic tiroid membesar dengan lambat. Struma nodosa toxic ialah

keadaan dimana kelenjar tiroid yang mengandung nodul tiroid yang mempunyai fungsi

yang otonomik, yang menghasilkan suatu keadaan hipertiroid.

Dampak struma nodosa terhadap tubuh dapat mempengaruhi kedudukan organ-

organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan

esophagus. Struma nodosa dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea,

esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia (Rehman, dkk

2006). Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta

cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang

besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.

Struma nodosa memiliki beberapa stadium, yaitu (Lewinski, 2002) :

a. Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan

b. Derajat I : teraba pada pemeriksaan, terlihat jika kepala ditegakkan

c. Derajat II : mudah terlihat pada posisi kepala normal

d. Derajat III : terlihat pada jarak jauh.

3.2 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan struma dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

A. Penatalaksanaan konservatif

Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid.

Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa

pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk 7

Page 8: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

menekan TSH serendah mungkin diberikan hormone tiroksin (T4) ini juga diberikan

untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar

tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil

(PTU) dan metimasol/karbimasol.

Terapi Yodium Radioaktif .

Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar tiroid

sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka

pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium

radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil

penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko

kanker, leukimia, atau kelainan genetik. Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk

kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya

diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.

B. Penatalaksanaan Operatif

Tiroidektomi

Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat kelenjar tiroid adalah

tiroidektomi, meliputi subtotal ataupun total. Tiroidektomi subtotal akan menyisakan

jaringan atau pengangkatan 5/6 kelenjar tiroid, sedangkan tiroidektomi total, yaitu

pengangkatan jaringan seluruh lobus termasuk istmus (Sudoyo, A., dkk., 2009).

Tiroidektomi merupakan prosedur bedah yang relative aman dengan morbiditas

kurang dari 5 %. Menurut Lang (2010), terdapat 6 jenis tiroidektomi, yaitu :

o Lobektomi tiroid parsial, yaitu pengangkatan bagian atas atau bawah satu lobus

o Lobektomi tiroid, yaitu pengangkatan seluruh lobus

o Lobektomi tiroid dengan isthmusectomy, yaitu pengangkatan satu lobus dan

istmus

o Subtotal tiroidektomi, yaitu pengangkatan satu lobus, istmus dan sebagian besar

lobus lainnya.

o Total tiroidektomi, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar.

o Tiroidektomi total radikal, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar dan kelenjar

limfatik servikal.

3.3 Komplikasi Tiroidektomi

8

Page 9: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

Setiap pembedahan dapat menimbulkan komplikasi, termasuk tiroidektomi.

Komplikasi pasca operasi utama yang berhubungan dengan cedera berulang pada saraf

laring superior dan kelenjar paratiroid. Devaskularisasi, trauma, dan eksisi sengaja dari

satu atau lebih kelenjar paratiroid dapat menyebabkan hipoparatiroidisme dan

hipokalsemia, yang dapat bersifat sementara atau permanen. Pemeriksaan yang teliti

tentang anatomi dan suplai darah ke kelenjar paratiroid yang adekuat sangat penting

untuk menghindari komplikasi ini. Namun, prosedur ini umumnya dapat ditoleransi

dengan baik dan dapat dilakukan dengan cacat minimal (Bliss et al, 2000). Komplikasi

lain yang dapat timbul pasca tiroidektomi adalah perdarahan, thyrotoxic strom, edema

pada laring, pneumothoraks, hipokalsemia, hematoma, kelumpuhan syaraf laringeus

reccurens, dan hipotiroidisme (Grace & Borley, 2007).

Tindakan tiroidektomi dapat menyebabkan keadaan hipotiroidisme, yaitu suatu

keadaan terjadinya kegagalan kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon dalam jumlah

adekuat, keadaan ini ditandai dengan adanya lesu, cepat lelah, kulit kering dan kasar,

produksi keringat berkurang, serta kulit terlihat pucat. Tanda-tanda yang harus

diobservasi pasca tiroidektomi adalah hipokalsemia yang ditandai dengan adanya rasa

kebas, kesemutan pada bibir, jari-jari tangan dan kaki, dan kedutan otot pada area wajah.

Keadaan hipolakalsemia menunjukkan perlunya penggantian kalsium dalam tubuh.

Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah kelumpuhan nervus laringeus reccurens

yang menyebabkan suara serak. Jika dilakukan tiroidektomi total, pasien perlu diberikan

informasi mengenai obat pengganti hormon tiroid, seperti natrium levotiroksin

(Synthroid), natrium liotironin (Cytomel) dan obat-obatan ini harus diminum selamanya.

3.4 HIPOKALSEMIA

Hipokalsemia didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana konsentrasi ion kalsium

serum atau kalsium serum total setelah dikoreksi oleh nilai albumin serum di bawah

normal. Secara umum, kalsium berperan penting dalam mempertahankan fungsi normal

sel, khususnya pada transmisi impuls saraf, stabilitas membran sel dan intracellular

signaling, mempertahankan struktur jaringan tulang serta pembekuan darah.

Hipokalsemia diperkirakan terjadi pada 1-2% paska tiroidektomi dan sekitar 15-50%

kasus perawatan intensif yang meliputi semua kelompok umur dan jenis kelamin.

Keseimbangan kalsium dipertahankan oleh interaksi antara hormon paratiroid (PTH),

vitamin D dan kalsitonin melalui mekanisme complex feedback loops yang bekerja di

tulang, ginjal dan usus, dimana PTH bertanggung jawab sebagai pengendali utama.

Dalam klasifikasinya, hipokalsemia dibagi menjadi dua kriteria. Berdasarkan onsetnya, 9

Page 10: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

hipokalsemia dibedakan menjadi hipokalsemia akut atau kronik sedangkan berdasar

peranan PTH di dalamnya, hipokalsemia dikelompokkan sebagai hipokalsemia dengan

kadar PTH rendah, PTH tak efektif, atau PTH-overwhelmed. Hipokalsemia kronik

umumnya bersifat ringan sehingga jarang memerlukan koreksi. Hipokalsemia akut dapat

menyebabkan gejala klinis yang berat seperti kejang, hipotensi refrakter, aritmia, gagal

jantung, spasme laring dan saluran napas yang dapat menyebabkan kematian. Kegagalan

dalam menegakkan diagnosis dan menangani hipokalsemia berat dapat menyebabkan

morbiditas dan kematian (Brody T. 2002., Shoback D. 2008)

3.5 Metabolism Kalsium

Dasar fisiologi metabolisme kalsium harus dipahami sebelum menentukan

diagnosis dan penatalaksanaan hipokalsemia. Secara umum, keseimbangan kalsium

dipertahankan oleh interaksi antara hormon paratiroid (PTH), vitamin D dan kalsitonin

melalui mekanisme complex feedback loops yang bekerja di tulang, ginjal dan usus.

Komposisi kalsium di dalam tubuh adalah sebagai berikut: kira-kira 99% ditemukan di

jaringan tulang, dan 1% di cairan ekstraseluler. Dari bagian 1% ini, 50% terdapat dalam

bentuk bebas (1-1,15 mmol/L), 40% terikat oleh protein (pada umumnya albumin) dan

10% sisanya terdapat dalam bentuk kompleks dengan anion tertentu, sebagai contoh:

sitrat (Beach C. 2010)

Gambar 3.1. Skema keseimbangan kalsium, yang melibatkan kelenjar paratiroid, ginjal, tulang

dan usus halus

Kelenjar paratiroid, yang terletak di bagian posterior kelenjar tiroid, bertanggung

jawab mempertahankan konsentrasi kalsium serum dalam kisaran normalnya. Kelenjar

ini menghasilkan hormone paratiroid (PTH) yang selanjutnya bekerja di tulang, ginjal

dan usus. PTH adalah pengendali utama keseimbangan kalsium. Bila konsentrasi kalsium

10

Page 11: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

serum turun di bawah nilai 8,8 mg/dL (kalsium serum total) atau 2,2 mg/dL (ion

kalsium), maka sekresi PTH akan meningkatkan reabsorbsi dan mengurangi kapasitas

bersihan kalsium serta sebaliknya meningkatkan ekskresi fosfat di tubulus ginjal. Di

jaringan tulang, PTH merangsang aktivitas osteoklastik, sehingga memobilisasi kalsium

dan fosfat dari tulang ke dalam peredaran darah, yang akan meningkatkan konsentrasi

kalsium serum. Sementara itu, PTH meningkatkan kapasitas absorbsi kalsium dan fosfat

di usus halus melalui stimulasi produksi vitamin D3 (1,25-dihidroksicholeciferol,

kalsitriol) dari 25-hidroksi-D di ginjal. Kalsitriol yang terbentuk juga menurunkan

reabsorbsi kalsium di ginjal itu sendiri. Secara umum, terdapat hubungan linear dan

inversi antara kadar kalsium serum dan PTH sebagai berikut: bila konsentrasi kalsium

serum turun, maka sekresi PTH akan meningkat dengan tujuan normalisasi kadar kalsium

serum, sebaliknya bila konsentrasi kalsium serum meningkat di atas ambang normal,

maka melalui suatu mekanisme umpan balik negatif yang bekerja akibat konsentrasi

kalsium serum dan vitamin D3, maka sintesis serta sekresi PTH akan terhenti, kalsitonin

disekresikan dari kelenjar tiroid untuk mengembalikan keseimbangan kalsium. Kalsium

dikeluarkan dari plasma melalui saluran cerna (100-200mg/hari), urin (50-300 mg/hari)

serta sisanya disimpan kembali ke dalam tulang (100 mg/hari) (Fitzpatrick L. 2011).

3.6 Klasifikasi Hipokalsemi Berdasar Status Hormone Tiroid

Berdasarkan status hormon PTH, hipokalsemia dapat dibagi menjadi 3 kelompok,

dimana masing kelompok terdiri dari beberapa jenis etiologi penyebab hipokalsemia.

Dasar pemikiran klasifikasi ini adalah, hormon PTH bertanggung jawab secara dominan,

terus menerus dalam mempertahankan keseimbangan kalsium serum ini, sehingga sedikit

saja gangguan pada PTH, baik gangguan sekresi atau fungsionalnya akan mengakibatkan

kondisi hipokalsemia (Potts J. 2005).

Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut: (Potts J. 2005)

Status PTH EtiologiPTH rendah/tidak ada Hipoparatiroidism herediter atau didapat,

HipomagnesemiaPTH tidak efektif Gagal Ginjal Kronik

Defisiensi Vitamin D Kekurangan diet dan cahaya matahari Gangguan metabolisme:

antikonvulsi, Vitamin D dependent Ricket tipe I

Vitamin D-aktif tidak efektif malabsorbtion Vitamin D-dependent-Ricket tipe IIPseudohipoparatiroidism

11

Page 12: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

PTH overwhelmed Hiperfosfatemia akut dan berat Tumor lisis Cedera Ginjal Akut RhabdomyolisisOsteitis fibrosa paska paratiroidektomi

Tabel 3.1 Klasifikasi Hipokalsemi Berdasar Status Hormone Tiroid

Hipokalsemia dapat terjadi paska tindakan pembedahan, diantaranya adalah paska

tindakan paratirodektomi, tiroidektomi, hungry bone syndrome. Hipokalsemia paska

paratiroidektomi dapat bersifat permanen, dengan faktor risiko terjadinya hipokalsemia

sebagai berikut: tingginya osteocalcin dan fosfat serum prabedah, penyakit jantung,

tindakan uni atau bilateral, serta luas tindakan itu sendiri, contohnya pada penambahan

diseksi kelenjar. Dalam sebuah studi di Prancis, frekuensi hiporatiroidism temporer dan

permanen setelah tiroidektomi adalah 20% dan 4%. Dalam sebuah studi lain, frekuensi

hipoparatiroidism temporer asimtomatik adalah 25% dan 29% paska tiroidektomi subtotal

dan total, sedangkan hipoparatiroidism temporer simtomatik terjadi pada 1,8% dan 2,9%

paska subtotal dan tiroidektomi total. Frekuensi tersebut meningkat menjadi 14% setelah

tindakan ulangan. Beberapa faktor risiko penyebab hipokalsemia adalah: kondisi

tirotoksikosis prabedah, jenis tindakan (tiroidektomi total), tiroidektomi ulangan, serta

ketrampilan operator, dimana faktor operator menduduki posisi paling dominan dalam

sebuah studi kohort retrospektif di Italia. Hipotesis hipokalsemia paska tiroidektomi

adalah gangguan vaskularisasi dan ekstirpasi kelenjar Paratiroid itu sendiri, tetapi tidak

boleh melupakan peran faktor-faktor lain seperti surgical stress, sekresi kalsitonin selama

manipulasi, hungry bone syndrome, serta hipomagnesemia (Sciume C, et al. 2006)

3.7 Manifestasi Hipokalsemia

Di dalam kepustakaan, gejala hipokalsemia berat adalah kontraksi otot saluran

napas dan laring berkepanjangan yang menyebabkan gagal napas, gagal jantung,

hipotensi refrakter, aritmia biasanya terjadi pada kondisi penurunan serum kalsium akut

dan berulang, kalsium ion serum <1,1. Kejang (hypocalcemic seizure) dikategorikan

sebagai hipokalsemia berat. Gejala klinis hipokalsemia yang lebih ringan yakni kram dan

kedutan otot, perasaan kesemutan di sekitar mulut, tangan dan kaki bagian distal,

manifestasi ini dapat di stimulasi dengan melakukan pemeriksaan Trousseau’s sign dan

Chvostek’s sign. Semua gejala tersebut membaik dengan restorasi konsentrasi kalsium

serum. Manifestasi kronis hipokalsemia diantaranya adalah katarak lentis subkapsular,

12

Page 13: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

kulit kering, dermatitis eksfoliatif, impetigo herpetiformis, psoriasis, alopesia (khususnya

pada kasus paska tindakan bedah), rambut kasar, kuku mudah patah, pruritus kronis,

osifikasi ligamen paravertebra serta poor dentition yang berisiko karies dan hipoplasia

enamel gigi. Perbaikan konsentrasi kalsium memperbaiki kelainan kulit yang terjadi.

Secara khusus, hipokalsemia dapat menyebabkan kalsifikasi basal ganglia, cerebellum

atau cerebrum yang bersifat ireversibel, grand mal, petit mal, kejang lokal atau bahkan

peningkatan tekanan intra-kranial. Bila seseorang telah mempunyai riwayat epilepsi

sebelumnya, maka hipokalsemia akan menurunkan ambang rangsang kejang. Kelainan

lain yang dapat terjadi adalah gangguan gerak seperti parkinsonism, hemibalismus dan

koreoatetosis, serta iritabilitas, confusion, halusinasi, dementia. Pada beberapa kasus

kronis, hipokalsemia dapat timbul gejala psikosis, psikoneurosis dan penurunan tingkat

intelegensia (subnormal) sedangkan pada usia lanjut dapat bermanifestasi sebagai

disorientasi atau confusion. Penurunan intelegensia tersebut dapat diperbaiki dengan

restorasi konsentrasi kalsium (Hardy R. 2008).

Manifestasi hipokalsemiGejala berat Gejala ringan Gejala kronis

Kontraksi otot saluran napas dan laring

Gagal jantung, Hipotensi refrakter, Aritmia Kejang

(hypocalcemic seizure)

Kram dan kedutan otot,

Kesemutan di sekitar mulut, tangan dan kaki bagian distal

(Trousseau’s sign dan Chvostek’s sign)

Katarak lentis subkapsular, Kulit kering, Dermatitis eksfoliatif Impetigo herpetiformis psoriasis Alopesia Rambut kasar, Kuku mudah patah,

Tabel 3.2 manifestasi hipokalsemia (Hardy R. 2008).

3.7.1 Trousseau’s sign

Trousseau’s sign merupakan kejang yang disebabkan oklusi pada arterial dengan

manset tekanan darah. Mekanisme Trousseau’s sign adalah meningkatkan rangsangan

saraf di tangan dan lengan, yang pada akhirnya menyebabkan kontraksi otot. Kondisi ini

diperparah dengan iskemia yang dihasilkan oleh sphygmomanometer, sehingga terjadi

kedutan/kejang.

Trousseau’s sign dilakukan dengan mengkompresi lengan atas dengan manset

tensimeter, kembangkan manset tekanan darah sampai sekitar 20 mmHg di atas tekanan

sistolik dan tahan 2 – 5 menit, dimana mula-mula timbul rasa kesemutan pada ujung

ekstremitas, lalu timbul kejang pada jari-jari dan tangan (spasme carpopedal).

13

Page 14: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

Trousseau’s sign dianggap positif apabila terjadi spasme karpopedal yang ditimbulkan

akibat penyumbatan aliran darah jke lengan selama 3 menit dengan manset tensi meter

(Frank L. Urbano, M. 2000).

Gambar 3.2. Pemeriksaan Trousseau’s sign

3.7.2 Chvostek’s sign

Ketokan ringan pada nervus fasialis (didepan telinga tempat keluarnya dari foramen

sylomastoideus) menyebabkan kontraksi dari otot-otot wajah. Chvostek's sign mendeteksi

laten tetanus, penyadapan dari saraf wajah kelima di depan telinga dengan mulut pasien

yang sedikit terbuka menyebabkan kontraksi dari otot-otot wajah. Menunjukkan hasil

positif apabila pengetukan yang dilakukan secara tiba-tiba di daerah nervus fasialis tepat

di depan kelenjar parotis dan disebelah anterior telinga menyebabkan spasme atau

gerakan kedutan  pada mulut, hidung, dan mata. Chvostek’s sign memiliki beberapa

tingkat, yaitu : (Frank L. Urbano, M. 2000)

Grade 1: kedutan di sudut bibir

Grade 2: kedutan di hidung

Grade 3: kedutan di mata

Grade 4: kedutan di otot-otot wajah.

Gambar 3.3. Pemeriksaan Chvostek’s sign

3.8 PENATALAKSANAAN HIPOKALSEMIA

14

Page 15: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

Penatalaksanaan hipokalsemia dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu penatalaksanaan

pada kondisi akut dan kronis. Pada kondisi akut, dimana pasien datang dengan kejang,

penurunan kesadaran, spasme otot, kegawatan sistim pernapasan dan kardiovaskular,

walaupun hipokalsemia yang terjadi bersifat ringan (7- 8 mg/dL) maka penatalaksanaan

hipokalsemia harus dilakukan secara agresif dengan kalsium glukonas intravena. Kalsium

glukonas intravena diberikan sebagai berikut, 1 sampai 2 ampul (90-180 elemental

calcium) dilarutkan dalam 50-100 mL larutan dextrose-5%, yang kemudian diberikan

dalam 10 menit. Larutan kalsium tidak boleh mengandung bikarbonat atau fosfat, karena

dapat membentuk garam kalsium yang tidak mudah larut. Sediaan ini dapat diulang

sampai gejala klinis membaik. Pada keadaan hipokalsemia persisten, pemberian kalsium

glukonas dalam waktu yang lebih lama dimungkinkan. Target koreksi kalsium di sini

adalah untuk meningkatkan konsentrasi kalsium serum 2-3 mg/dL dengan pemberian 15

mg/kg elemental calcium dalam waktu 4-6 jam. Kalsium serum selanjutnya harus

dipertahankan dalam batas normalnya, dengan infus 0,5-1,5 mg/kg berat badan/jam

selama 24-48 jam dan diikuti oleh suplementasi kalsium per oral, dimulai dari 1-2 gram

elemental calcium dan bila memungkinkan, bersama 1,25-OH2 D3. Preparat oral sebagai

terapi awal diindikasikan pada hipokalsemia ringan (7,5-8 mg/dL dengan gejala ringan)

(Sciume C, et al. 2006).

Dalam pemberian kalsium intravena, beberapa efek samping dapat terjadi sebagai

berikut, pemberian terlalu cepat dapat menyebabkan aritmia, terutama pada pasien

dengan terapi digitalis sebelumnya, sebagai akibat peningkatan sensitivitas terhadap

kalsium. Iritasi local pada vena dapat pula terjadi akibat pemberian elemental calcium

dengan konsentrasi lebih dari 200 mg/100 mL, tetapi risiko nekrosis jaringan lebih rendah

pada kalsium glukonat. Deposisi kristal kalsium fosfat dapat timbul karena ekstrapolasi

lokal ke jaringan lunak di sekitar tempat pemberian dan rasio kalsium-fosfat melampaui

solubilitas produknya. Deposisi tersebut terutama terjadi pada paru dan ginjal. Sebagai

bagian penatalaksanaan hipokalsemia akut, penentuan konsentrasi magnesium serum

adalah penting, karena koreksi hipomagnesemia akan memperbaiki resistensi PTH

sebelum kalsium serum kembali normal (Potts J. 2005).

Pada kondisi hipokalsemia kronik, dimana pasien hanya mengeluhkan gejala ringan

atau bahkan tanpa gejala klinis, dapat diberikan preparat kalsium dan vitamin D per oral.

Beberapa jenis preparat kalsium terdapat di pasaran, dimana kalsium karbonat paling

banyak digunakan. Preparat kalsium karbonat mengandung 40% elemental calcium

dengan harga relatif murah, sedangkan kalsium sitrat mengandung 21% kalsium laktat,

13% kalsium glukonat, 9% elemental calcium. Selain preparat tablet juga terdapat 15

Page 16: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

preparat cair, seperti kalsium glubionat yang mengandung 230 mg elemental calcium

dalam 10 mL serta kalsium karbonat cair. Dosis preparat kalsium dimulai dari 1-3 gram

elemental calcium yang terbagi dalam 3-4 dosis bersama makan.

Target koreksi hipokalsemia di sini adalah:

1. Terkontrolnya gejala klinis

2. Mempertahankan konsentrasi kalsium serum pada sekitar batas bawah kisaran

normalnya (8-8,5 mg/dL).

3. Jumlah kalsium urin dalam 24 jam dibawah 300 mg/24 jam.

4. Produk kalsium-fosfat dibawah 55.

Konsentrasi kalsium serum, fosfat, kreatinin sebaiknya dimonitor setiap 3-6 bulan,

ekskresi kalsium urin selam 24 jam dipantau setiap tahunnya, demikian pula pemeriksaan

mata untuk mendeteksi terjadinya katarak. Efek samping yang mungkin terjadi adalah

hiperkalsiuria yang disertai nefrokalsinosis dan atau nefrolitiasis akibat berkurangnya

efek PTH di tubulus ginjal. Pemantauan ini dilakukan setelah stabilitas kalsium serum.

Konsentrasi kalsium serum sendiri adalah modulator lemah terhadap hiperkalsiuria dan

nefrokalsinosis. Dalam sebuah studi potong lintang terhadap penderita hipoparatiroidism

paska operasi, 2/25 pasien mengalami nefrolitiasis dan katarak disbanding kontrol.

Penatalaksanaan hipoparatiroidism Secara khusus pada hipoparatiroidism dibutuhkan

pemberian vitamin D atau analog vitamin D. Kalsitriol, sebuah vitamin D dalam bentuk

aktif dan kerja cepat sehingga digunakan sebagai terapi inisial. Pada umumnya

dibutuhkan 0,25 mg dua kali sehari sampai 0,5 mg empat kali sehari secara titrasi. Pilihan

lain yang lebih praktis adalah Egocalciferol, sebuah preparat kerja panjang, 50.000-

100.000 IU/hari. Kalsitriol harus diberikan sejak 3 minggu pertama untuk kemudian

ditapering off dan overlapping dengan ergocalciferol (vitamin D2). Diuretik thiazide

dapat digunakan untuk meningkatkan absorbsi kalsium ginjal pada kasus

hipoparatiroidism dengan hiperkalsiuria, berguna untuk mengurangi ekskresi kalsium

urin menjadi kurang dari 4 mg/kg berat badan/hari. Beberapa obat yang harus dihindari

diantaranya furosemide dan loop diuretics yang lain serta glukokortikoid karena

menyebabkan hipokalsemia (Cole, et al. 2011).

Pada kondisi hipoparatiroidism, terapi ideal adalah mengganti hormon tersebut.

Auto dan xenotransplantasi jaringan kelenjar paratiroid telah dikerjakan pada saat

paratiroidektomi untuk mempertahankan fungsinya. Kedua metode tersebut memberikan

tingkat kesuksesan yang bervariasi. Marwah et al dalam sebuah studi kohort prospektif

menyimpulkan bahwa autotransplantasi minimal 1 kelenjar paratiroid secara rutin secara 16

Page 17: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

bermakna mengurangi insiden hipoparatiroidism dibanding kontrol (preservasi in situ).

Preparat hormone PTH (1-34 PTH, teriparatide) juga telah dicoba sebagai terapi

pengganti. Dalam beberapa penelitian termasuk uji klinis terbatas selam 3 tahun, dosis

PTH sekali sampai dua kali sehari subkutan mampu menormalkan konsentrasi kalsium

serum setara kalsitriol, tetapi mempunyai kelebihan ekskresi kalsium urin normal.

Preparat PTH ini masih belum disahkan oleh FDA (Marwah S, et al. 2007).

17

Page 18: hipotiroidsme pasca tiroidektomy

BAB III

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini, Pasien datang gejala klinis suatu hipokalsemi ringan, yakni

kesemutan tangan dan kaki bagian distal serta merasa tangan dan kaki sering kram.

Gejala hipokalsemi berat tidak ditemukan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda kelainan neuromuskular yaitu

Trousseau’s sign. Namun pada pemeriksaan Chvostek’s sign tidak terdapat tanda positif.

Hasil negative pada pemeriksaan Chvostek’s sign dapat dipengaruhi oleh beberapa hal.

Kesalahan pemeriksa pada pemeriksaan yang seharusnya Trousseau’s sign dilakukan

setelah Chvostek’s sign. Pemeriksaan Trousseau’s sign terjadi kontraksi pada otot-otot

lengan yang dapat menurunkan kadar kalsium dalam darah. Konsentrasi kalsium yang

semakin menurun ini menjadi penyebab pada pemeriksaan Chvostek’s sign menjadi

negative. Tingkat kesadaran compos mentis tidak ditemukan tanda-tanda hipokalsemi

kronis.

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membuktikan adanya hipokalsemia adalah

kalsium ion. Pada pasien ini didapatkan nilai kalsium ion di bawah nilai normal (1,1-1,3

mmol/L) yakni 0,9 mmol/L. pemeriksaan penunjang ini dilakukan 1 minggu paska

operasi tiroidektomy.

Secara keseluruhan, berdasarkan data-data anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil-

hasil pemeriksaan penunjang, diagnosis akhir pasien adalah hipokalsemia paska

tiroidektomy. Manifestasi ringan, kesemutan dan kedutan pada pasien ini disebabkan oleh

kegagalan kelenjar paratiroid dalam menghasilkan hormone paratiroid.

18