hhj mn

15
TINJAUAN TEORI 2.1 Pengertian Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Brunner dan Sudarth, 2002). Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).

Upload: uphie-luphy

Post on 11-Nov-2015

233 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

ngbfbghkjl

TRANSCRIPT

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian

Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Brunner dan Sudarth, 2002). Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).

Gambar 1. Appendik

Gambar 2. Apendiktomi

2.2 Epidemiologi

Apendiks merupakan suatu emergensi bedah abdomen yang umumnya terjadi dan mengenai tujuh sampai dua belas persen dari populasi. Kelompok usia umumnya mengalami apendiks yaitu antara 20 sampai 30 tahu, namun penyakit ini juga terjadi pada segala usia. Apendiks merupakan penyakit urutan ke empat terbanyak di Indonesia pada tahun 2006. Jumlah pasien rawat inap karena penyakit apendiks pada tahun tersebut mencapai 38.949 pasien, berada di urutan keempat setelah dyspepsia (34.029 pasien rawat inap), gastritis dan duodenitis (33.035 pasien rawat inap), dan penyakit sistem cerna lain (31.450 pasien rawat inap). Pada rawat jalan, kasus apendiks menduduki urutan kelima (34.386 pasien rawat jalan), setelah penyakit sistem cerna lain (434.917 pasien rawat jalan), dyspepsia (136.296 pasien rawat jalan), gastriti, dan duodenitis (127.918 pasien rawat jalan), serta karies gigi ( 86.006 pasien rawat jalan. Satu orang dari 15 orang pernah menderita apendiksitis dalam hidupnya. Insidens tertinggi terdapat pada laki-laki usia 10 sampai 14 tahun, dan wanita yang berusia 15 sampai 19 tahun. Laki-laki lebih banyak menderita apendisitis daripada wanita pada usia pubertas dan pada usia 25 tahun. Apendiksitis ini jarang terjadi pada bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun.

2.3 Etiologi

Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi yaitu:

1. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena:a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.b. Adanya faekolit dalam lumen appendiksc. Adanya benda asing seperti biji-bijiand. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.

2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus3. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.4. Tergantung pada bentuk apendiks:a. Appendik yang terlalu panjangb. Massa appendiks yang pendekc. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiksd. Kelainan katup di pangkal appendiks

(Nuzulul, 2009)2.4 Patofisiologi

Apendisitis ini terjadi disebabkan karena adanya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur, atau neoplasma. Apendiks pada keadaan normal akan mengeluarkan mukus 1-2 ml per hari. Namun apabila seseorang mengalami apendisitis ini, mukus dari apendiks ini akan terbendung. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Lama-kelamaan apendiks ini semakin banyak menampung mukus, sedangkan elastisitas dinding apendiks memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini menyebabkan peningkatan tekanan intralumen di apendiks. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang dewasa, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah.Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi empat yaitu, apendisitis akut, kronik, perforata, dan apendisitis rekurens.

1. Apendisitis akut.Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat

2. Apendisitis kronik.Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.

3. Apendisitis Perforata

Perforasi apendiks mengakibatkan peritonitis yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri semakin hebat yang meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung.

4. Apendisitis RekurensDiagnosis apendisitis dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi dan hasil patologi menunjukkan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan apendektomi akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena fibrosis dan jaringan parut pertama.

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan terapi bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko operasi yang tinggi. Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi awal berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi. Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis dengan perforasi.

1. Cairan intravena

Cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik. Darah di berikan bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara bersamaan.

2. Antibiotik

Pemberian antibiotik intraven diberikan untuk antisipasi bakteri patogen, antibiotik initial diberikan termasuk generasi ke 3 cephalosporins, ampicillin-sulbaktam dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian antibiotik postops harus di ubah berdasarkan kulture dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit. Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari appendisitis perforasi.

Perlu dilakukan insisi yang panjang supaya mudah dilakukan pencucian rongga peritonium untuk mengangkat material seperti darah, fibrin serta dilusi dari bakteria. Pencucian cukup dengan larutan kristaloid isotonis yang hangat, penambahan antiseptik dan antibiotik untuk irigasi cenderung tidak berguna bahkan malah berbahaya karena menimbulkan adhesive (misal tetrasiklin atau provine iodine), anti biotik yang diberikan secara parenteral dapat mencapai rongga peritonium dalam kadar bakterisid.

Para ahli berpendapat bahwa dengan penambahan tetrasiklin 1 mg dalam 1 ml larutan garam dapat mengendalikan sepsis dan bisul residual, pada kadar ini antibiotik bersifat bakterisid terhadap kebanyakan organisme. Walaupun sedikit membuat kerusakan pada permungkaan peritonial tapi tidak ada bukti bahwa menimbulkan resiko perlengketan. Setelah pencucian seluruh cairan di rongga peritonium seluruh cairan harus diaspirasi.

Terapi bedah meliputi apendiktomi dan laparoskopik apendiktomi. Apendiktomi terbuka merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks. Mencakup Mc Burney, Rocke-Davis atau Fowler-Weir insisi. Dilakukan diseksi melalui oblique eksterna, oblique interna dan transversal untuk membuat suatu muscle spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum apendiks dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang terkena dicauter untuk mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan inversi pada ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup.

Prosedurnya, port placement terdiri dari pertama menempatkan port kamera di daerah umbilikus, kemudian melihat langsung ke dalam melalui 2 buah port yang berukuran 5 mm. Ada beberapa pilihan operasi, pertama apakah 1 port diletakkan di kuadran kanan bawah dan yang lainnya di kuadran kiri bawah atau keduanya diletakkan di kuadran kiri bawah. Sekum dan apendiks kemudian dipindahkan dari lateral ke medial. Berbagai macam metode tersedia untuk pengangkatan apendiks, seperti dectrocauter, endoloops, stapling devices. Mengenai pemilihan metode tergantung pada ahli bedahnya. Apendiks kemudian diangkat dari abdomen menggunakan sebuah endobag. Laparoskopik apendiktomi mempunyai beberapa keuntungan antara lain bekas operasinya lebih bagus dari segi kosmetik dan mengurangi infeksi pascabedah.2.7 Komplikasi

Pada kebanyakan kasus, peradangan dan infeksi apendiks mungkin didahului oleh adanya penyumbatan di dalam apendiks. Bila peradangan berlanjut tanpa pengobatan, apendiks bisa pecah. Apendiks yang pecah bisa menyebabkan:

1. Perforasi dengan pembentukan abses.2. Peritonitis generalisata, masuknya kuman usus ke dalam perut, menyebabkan peritonitis, yang bisa berakibat fatal.3. Masuknya kuman ke dalam pembuluh darah (septikemia), yang bisa berakibat fatal.4. Pada wanita, indung telur dan salurannya bisa terinfeksi dan menyebabkan penyumbatan pada saluran indung telur yang bisa menyebabkan kemandulan.5. Pieloflebitis dan abses hati, tapi jarang terjadi.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Fisik a. Inspeksi, pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.b. Palpasi, pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign). c. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika. d. Pemeriksaan colok dubur, pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.2. Pemeriksaan Laboratoriuma. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.b. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.2.9 Prognosis

Mortalitas adalah 0.1% jika appendicitis akut tidak pecah dan 15% jika pecah pada atau emboli paru orangtua. Kematian biasanya berasal dari sepsis aspirasi; prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum rupture dan antibiotic yang lebih baik.

Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah sepsis. Infeksi luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan predisposisi terjadinya robekan. Abses intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari jahitan kantong. Obstruksi usus dapat terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut meliputi pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis dan hernia. Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada