herpes zooster

21

Click here to load reader

Upload: alfiankusumawan

Post on 08-Nov-2015

19 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Kesehatan

TRANSCRIPT

I. SINONIMShingles, dompo, cacar ular 1-5

II. DEFINISIHerpes zoster adalah radang kulit akut, mempunyai sifat khas yaitu vesikel-vesikel yang tersusun berkelompok sepanjang persarafan sensorik kulit sesuai dermatom.5 Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela-zoster dari infeksi endogen yang telah menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus.6Setelah infeksi primer oleh virus varisela zoster atau setelah mendapatkan vaksinasi dengan virus varisela zoster yang dilemahkan, virus ini akan berdiam di sel ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis. Virus dalam keadaan dormansi atau laten. Pada suatu ketika, virus dapat bereplikasi dan berjalan turun menyusuri saraf sensoris menuju ke kulit dan menimbulkan manifestasi berupa herpes zoster. 7III. EPIDEMIOLOGIPenyebaran penyakit herpes zoster sama seperti varicella. Penyakit ini, merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah penderita mengalami varicella. Kadang-kadang aricella ini bersifat subklinis. Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan usia dan biasanya jarang mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan usia yaitu sejak lahir- 9 tahun : 0,74/1000 ; usia 10-19 tahun: 1,38/ 1000 ; usia 20-29 tahun 2,58/ 1000. Lebih dari 66% kasus herpes zoster terjadi pada usia lebih dari 50 tahun, dan hanya 5% kasus terjadi pada usia kurang dari 15 tahun. Di antara pasien-pasien yang telah terpapar chickenpox, kejadian herpes zoster pada ras kulit hitam lebih rendah daripada ras kulit putih. Insiden pada pria dan wanita sama banyaknya. Hampir 50 % penduduk berusia 80 tahun mengalami herpes zoster. Zoster jarang terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, kecuali pada penderita AIDS, limfoma, keganasan, defisiensi imun dan orang yang menerima transplantasi ginjal dan sumsum tulang belakang. Pasien-pasien tersebut mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami zoster, terlepas dari faktor usia.6-12Lebih dari satu juta kasus herpes zoster ditemukan di Amerika Serikat setiap tahunnya, dengan rata-rata 3-4 kasus per 1000 orang. Beberapa penelitian menunjukan bahwa insidensi penyakit herpes zoster terus meningkat. Pasien dengan usia hingga 85 tahun yang tidak divaksin memiliki risiko 50% terkena herpes zoster. Kurang lebih 3% pasien memerlukan tindakan hospitalisasi.13

IV. ETIOLOGIHerpes Zoster disebabkan oleh virus yang sama yang menyebabkan chickenpox atau varisela dan disebut varicella zoster virus (VZV). Varicella zoster virus merupakan kelompok virus herpes yang berukuran 140-200 nm dan berinti DNA. Varicella zoster virus ini termasuk kelompok human alphaherpesvirus yang termasuk golongan genus Varicellovirus. Varicella zoster virus dapat menjadi laten di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis tanpa menimbulkan gejala. Beberapa tahun atau dekade setelah infeksi primer jika terjadi reaktivasi dari virus ini akan menyebabkan erupsi yang terlokalisir pada kulit yaitu herpes zoster.6,7,9,11VZV mempunyai kapsid yang tersusun dari 162 subunit protein dan berbentuk simetri ikosehedral dengan diameter 100 nm. Virion lengkapnya berdiameter 150-200 nm dan hanya virion yang berselubung yang bersifat infeksius.2

V. PATOGENESISHerpes Zoster disebabkan oleh VZV, virus yang juga dapat menyebabkan varicella (chickenpox). VZV masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran pernafasan bagian atas, orofaring ataupun konjungtiva. Virus kemudian mengalami replikasi hingga menyebabkan viremia primer hingga sekunder yang akhirnya menunjukan manifestasi dari penyakit varicella. Setelah infeksi varicella, virus ini berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung syaraf sensoris dan ditransportasikan secara centripetal melalui serabut syaraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus tidak lagi menular dan tidak dapat bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus5. Virus dalam keadaan dorman di cabang ganglion dorsal sampai reaktivasi fokal sepanjang distribusi ganglion menyebabkan herpes zoster (shingles). Badan sel saraf pada cabang dorsal, saraf kranialis atau ganglion otonom dapat mengandung virus VZV laten.7 Terjadinya reaktivasi biasanya tidak diketahui, namun kemungkinan dapat dihubungkan dengan penuaan, stres, dan sistem imun yang rusak. Bila terjadi penurunan imunokompeten, bertahun-tahun kemudian, virus dapat keluar dari badan sel saraf kemudian berjalan sepanjang akson saraf sehingga dapat menyebabkan infeksi viral pada kulit sepanjang saraf yang terkena. Virus ini dapat menyebar dari satu atau lebih ganglion sepanjang saraf yang terkena dan menginfeksi dermatom yang berhubungan dengan saraf tersebut kemudian menyebabkan kelainan pada kulit. Walaupun biasanya kelainan kulit ini dapat sembuh dalam 2 sampai 4 minggu, beberapa pasien mengalami nyeri saraf dalam waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, kondisi seperti ini disebut neuralgia posherpetika.5-7Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan daerah persarafan ganglion tersebut. Kadang-kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis sehingga memberikan gejala-gejala gangguan motorik. 2

VI. GEJALA KLINISSebelum timbul gejala kulit terdapat, gejala prodromal baik sistemik (demam, pusing, malaise), maupun gejala prodromal lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal, dan sebagainya).12 Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena. Gejala prodormal biasanya terjadi 1-3 minggu sebelum timbul ruam kulit. Pada fase prodormal, keluhan nyeri dan paraestesi berlangsung 2-3 minggu (pada 84% dari kasus)7. Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan hampir selalu unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensorik.1Erupsi mulai dengan makulopapula eritematous (24 jam pertama). Dua belas hingga 48 jam kemudian terbentuk vesikula berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu) yang dapat berubah menjadi pustula pada hari ke-4. Kadang-kadang vesikel mengandung darah dan disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Dapat pula timbul infeksi sekunder sehingga menimbulkan ulkus dengan penyembuhan berupa sikatriks. Seminggu sampai 10 hari kemudian, lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap selama 2-3 minggu.6-7Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru yang tetap timbul belangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Di samping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf pusat kelainan ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis memungkinkan hal tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas. Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada nervus trigeminus (dengan ganglion gaseri) atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion genikulatum).2Keluhan yang berat biasanya terjadi pada penderita usia tua. Pada anak-anak (jarang), hanya timbul keluhan ringan dan erupsinya cepat menyembuh. Rasa sakit segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap, walaupun krustanya sudah menghilang.1 Daerah yang paling sering terkena infeksi adalah daerah torakal yaitu lebih dari 50% kasus, daerah trigeminal 10-20% kasus, dan daerah lumbosakral dan servikal 10-20% kasus, walaupun daerah-daerah lain tidak jarang.1,7Menurut daerah penyerangannya dikenal :1. Herpes zoster oftalmika: menyerang dahi dan sekitar mata.2. Herpes zoster servikalis: menyerang pundak dan lengan.3. Herpes zoster torakalis : menyerang dada dan perut.4. Herpes zoster lumbalis: menyerang bokong dan paha.5. Hepes zoster sakralis: menyerang sekitar anus dan genitalis6. Herpes zoster otikum: menyerang telinga.Jika menyerang nervus fasialis dan nervus auditoris dapat menimbulkan Sindrom Ramsay-Hunt dengan gejala paralysis fasialis (Bell`s Palsy), tinnitus, vertigo, gangguan lakrimasi, gangguan pendengaran, nistagmus, dan nausea.1Bentuk-bentuk lain herpes zoster:1. Herpes zoster hemoragika : vesikula-vesikulanya tampak berwarna merah kehitaman karena berisi darah.2. Herpes zoster abortivum : penyakit berlangsung ringan dalam waktu yang singkat dan erupsinya hanya berupa eritema dan papula kecil.3. Herpes zoster generalisata : kelainan kulit yang unilateral dan segmental disertai kelainan kulit yang menyebar secara generalisata berupa vesikula dengan umbilikasi. Kasus ini tertutama terjadi pada orang tua atau pada orang yang kondisi fisiknya sangat lemah, misalnya pada penderita limfoma maligna.1

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANGKebanyakan kasus dari herpes zoster dapat didiagnosis hanya dengan pemeriksaan klinis, namun beberapa lesi menunjukan gambaran yang tidak khas sehingga membutuhkan adanya meneriksaan penunjang lain. Pemeriksaan penunjang dilakukan jika terdapat gambaran klinis yang meragukan.1. Tzanck Smear atau tes TzanckDengan menemukan sel datia berinti banyak (multinucleated giant cell).1,22. HistopatologisTampak gambaran vesikula yang bersifat unilokuler, biasanya pada stratum granulosum, kadang-kadang subepidermal. Terdapat temuan sel balon yaitu stratum spinosum yang mengalami degenerasi dan membesar, juga ada badan inklusi (lipscutz) yang tersebar pada inti sel epidermis, dalam jaringan ikat dan endotel pembuluh darah.11 Pada dermis terdapat dilatasi pembuluh darah dan sebukan limfosit.2 Ditemukan juga nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi bungkus ganglion.9, 113. PCRpemeriksaan ini digunakan untuk menilai adanya VZV DNA pada sel yang berasal dari dasar lesi. Pemeriksaan dengan menggunakan PCR ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas sebesar 95% dan 100%.13

4. Biopsi kulitTampak vesikel intraepidermal dengan degenerasi sel epidermal dan achantolysis. Pada dermis bagian atas dijumpai adanya lymphocitic infiltrate.125. Direct Fluorescent AssayPemeriksaan ini dilakukan untuk membedakan antara VZV dengan herpes simplex virus6. Pemeriksaan antibodi spesifik (immunoglobulin) menunjukkan peningkatan antibodi varicella. 5,10

VIII. DIAGNOSISDiagnosis didasarkan atas gejala dan temuan klinis yang khas, yaitu lesi kulit berupa gerombolan vesikula di atas kulit yang eritematosa, terlokalisir sesuai dermatom yang diinervasi oleh satu ganglion sensoris. Kulit di antara gerombolan normal. Pada lesi yang agak lama, vesikel dapat telah berubah menjadi pustula, atau bula, atau telah mengalami ulserasi meninggalkan krusta. Usia lesi dalam satu gerombolan adalah sama dan berbeda dengan gerombolan yang lain. Lesi ini biasanya didahului dengan rasa nyeri atau panas yang terbatas pada dermatom ganglion sensoris yang terkena. Dari anamnesa mengenai riwayat penyakit dahulu didapatkan bahwa penderita pernah mengalami infeksi varisela sebelumnya. Namun terkadang infeksi varisela ini sifatnya subklinis sehingga tidak disadari oleh pasien.2,5,7 Secara laboratorik diagnosis dapat ditunjang dengan test Tzanck, pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop electron, serta tes serologik.1

IX. DIAGNOSIS BANDING1. Herpes simpleks dan herpes zoster sulit dibedakan bila lesi yang terjadi linear, atau bila lesi zoster kecil dan terlokalisasi pada 1 tempat saja (tidak sesuai dengan dermatom).2,4,102. Varisela (chickenpox)103. Impetigo vesikobulosa, lebih sering pada anak-anak, dengan gambaran vesikel dan bula yang lebih cepat pecah.104. Pada nyeri yang merupakan gejala prodromal lokal sering salah diagnosis dengan penyakit reumatik maupun dengan angina pektoris, jika terdapat di daerah setinggi jantung.2 Selain itu, rasa nyeri dalam stadium pra-erupsi ini juga seringkali dirancukan dengan penyebab rasa nyeri lainnya seperti pleuritis, kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan sebagainya. 1

X. KOMPLIKASIPenyakit herpes zoster dapat menyebabkan beberapa komplikasi berupa infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri. Komplikasi dari herpes zoster yang bersifat cutaneus antara lain superinfeksi bacterial, skar, zoster gangrenosum. 6 Komplikasi neurologis yang paling seriang adalah neuralgia pascaherpetik yaitu rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakitnya sembuh.2 Bila daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan, akan terjadi reaktivasi virus. Virus mengalami multiplikasi dan menyebar di dalam ganglion. Ini menyebabkan nekrosis pada saraf serta terjadi inflamasi yang berat, dan biasanya disertai neuralgia yang hebat.1 Nyeri ini dapat berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan ini dijumpai pada orang yang mendapat herpes zoster di atas usia 40 tahun.2 Sindrom ramsay hunt diakibatkan oleh gangguan nervus fasialis dan otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea, juga terdapat gangguan pengecapan.2Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.2Pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi berbagai komplikasi, di antaranya ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioretinitis, dan neuritis optik.2Paralisis motorik terdapat pada 1-5 % kasus, yang terjadi akibat penjalaran virus secara per kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis biasanya timbul dalam 2 minggu sejak awitan munculnya lesi.2 Melalui cabang-cabang intrakranial nervus trigeminus, VZV dapat masuk ke sistem susunan saraf pusat dan menginfeksi arteri cerebal, sehingga pasien dapat mengalami sakit kepala dan hemiplegia. Dengan adanya invasi viral melalui pembuluh darah, maka terapi antiviral sistemik dapat berguna.7

XI. PENCEGAHANPencegahan penyakit herpes zoster seharusnya mencakup pencegahan infeksi laten dan pencegahan reaktivasi virus yang laten tersebut. Tetapi sampai sekarang belum ditemukan cara untuk pencegahan tersebut.1Hindari kontak lesi pada kulit penderita yang terinfeksi herpes zoster bila belum pernah menderita varisela atau vaksin varisela. Walaupun penyebaran melalui kontak dari penyakit herpes zoster memiliki kemungkinan lebih kecil dibandingkan dengan varicella namun dapat dihindari kontak dengan pasien suspek herpes zoster. Vaksin varisela adalah vaksin yang direkomendasikan untuk anak-anak. Vaksin juga dapat direkomendasikan untuk remaja atatu dewasa yang belum pernah terkena varisela.Vaksinasi pada usia lebih dari 55 tahun terbukti menurunkan kejadian herpes zoster dan post herpetic neuralgia.sehingga vaksin herpes zoster disarankan pada dewasa usia lebih dari 60 tahun, serta pada individu tertentu seperti wanita hamil, orang dengan kelainan imun, dan bayi kurang dari 12 bulan. 4,6 Hasil dari vaksin VZV ini juga dapat mencegah kejadian post-herpetic neuralgia hingga 66% pada pasien udia 60-69 tahun dan 67% pada pasien yang berusia 70 tahun atau lebih. Selain itu, beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa pemberian vaksin dapat mempersingkat durasi timbulnya maifestasi klinis dari herpes zoster dibandingkan tanpa diberikan vaksin.13

XII. TERAPITerapi padap penyakit herpes zoster diutamakan pada pemberian antiviral. Terapi antiviral direkomendasikan untuk penyakit herpes zoster baik dengan kelainan imunitas maupun tanpa kelainan imunitas. Terapi antiviral merupakan dasar penatalaksanaan herpes zoster. Obat antiviral menginhibisi replikasi VZV dan mengurangi berat dan durasi herpes zoster dengan efek samping minimal tetapi tidak dapat mencegah neuralgia posherpetika.4 Pengobatan dengan menggunakan antiviral direkomendasikan pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun, mengalami nyeri yang sedang hingga berat, terdapat lesi yang luas, mengenai wajah atau mata, dengan komplikasi lain, dan pasien dngan imunocompromised.13 Obat yang biasa digunakan adalah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir dan famciclovir. Sebaiknya diberikan dalam 3 hari pertama sejak lesi muncul.2 Pemberian asiklofir dimulai 72 jam semenjak onset awal munculnya lesi. Penggunaan antiviral ini lebih direkomendasikan untuk dimulai lebih awal sejak timbulnya lesi. Dosis asiklovir yang dianjurkan adalah 5 x 800 mg sehari dan biasanya diberikan 7 hari, sedangkan valasiklovir cukup 3 x 1000 mg sehari karena konsentrasi dalam plasma lebih tinggi. Jika lesi baru masih tetap timbul obat tersebut masih dapat diteruskan dan dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi.2 Pemberian acycovir intravena juga dianjurkan pada pasien yang mengalami imunocompromised yang membutuhkan hospitalisasi dan disertai komplikasi berat neurologik. Foscarnet juga dapat digunakan pada pasien dengan imunocompromised dan resisren terhadap acyclovir VZV.13Penggunaan glukokortikoid dengan kombinasi antivirus masih kontroversial untuk digunakan pada herpes zoster. Namun beberapa studi menjelaskan bahwa pemberian prednison atau prednisolon dapat mengurangi nyeri akut pada herpes zoster. Penambahan glukokortikoid dengan antiviral pada terapi herpes zoster belum dapat dijelaskan bisa mengurangi insidensi postherpetic neuralgia.13 Penatalaksanaan post-herpetic neuralgia bersifat kompleks, seringkali membutuhkan pendekatan multidisiplin. Penelitian-penelitian klinik menunjukkan bahwa opioid, antidepresan trisiklik, dan gabapentin dapat mengurangi beratnya nyeri dan mempercepat penyembuhan post-herpetic neuralgia, baik digunakan sebagai obat tunggal maupun dalam kombinasi dengan obat lain. Penggunaan lidokain topikal atau capsaicin krim trebukti bermanfaat pada beberapa pasien. 4,7Amitriptyline adalah obat terpilih untuk post-herpetic neuralgia. Jika obat-obatan golongan antidepresan trisiklik seperti amitriptyline digunakan untuk tujuan analgesik, dosis yang digunakan lebih kecil dari dosis yang diperlukan untuk efek antidepresan. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan post-herpetic neuralgia, amitriptyline digunakan dalam dosis 25-75mg, diberikan malam hari sebelum tidur. Penggunaan obat ini harus hati-hati karena dapat menimbulkan sedasi dan efek antikolinergik dan -adrenergik yang kurang baik pada jantung, termasuk dapat menimbulkan hipotensi ortostatik, yang biasanya terjadi pada pasien dengan usia lanjut. Efek samping yang kurang baik ini dapat dikurangi dengan penggunaan dosis yang minimal. Penggunaan kortikosteroid sistemik dan capsaicin krim dapat dipertimbangkan.3,7 Indikasi pemberian kortikosteroid adalah untuk Sindrom Ramsay Hunt. Pemberian harus sedini-dininya untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa kami berikan adalah prednison dengan dosis 3x20 mg sehari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obat antiviral. Dikatakan kegunaannya untuk mencegah fibrosis ganglion.2Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka, Kalau terjadi ulserasi diberikan salep antibiotik.2

XIII. PROGNOSISPrognosis herpes zoster secara umum adalah baik.11 Kelainan pada kulit sembuh dalam waktu 14-21 hari. Neuralgia posherpetika dapat menetap selama bertahun-tahun pada 50 % pasien herpes zoster di atas usia 60 tahun, bila nervus trigeminus terkena.4 Pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada tindakan perawatan secara dini.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Hartadi, Sumaryo S. 2000. Infeksi Virus. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit. Editor: Marwali Harahap. Cet 1. Hipokrates:Jakarta.Pp:92-94.2. Handoko, R. P. 2007. Penyakit Virus. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Editor: Adhi wijaya. Edisi 5. cetakan 2. Balai Penerbit FK UI:Jakarta.Pp:110-112.3. Wehrhahn, MC. 2012. Herpes Zoster: epidemiology, clinical features, treatment and prevention. Aust Prescr; 35: 143-1474. Jessie McCary, MD. Herpes Zoster (Shingles)5. Siregar RS. Penyakit Virus. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-2. Jakarta: ECG, 2005; 84-76. Deshmukh et all. 2012. Herpes Zoster (HZ): A Fatal Viral Disease: A Comprahensive Review. Pp: 138-1457. Straus, S. E., Schmader, K. E., Oxman, M. N. 2008 . Varicella and Herpes Zoster. In: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine Seventh Edition. Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen KF . United States: The McGraw-Hill Companies. pp: 1885-1898.8. Klaus Wolff and Ricard allen Johnson. 2009. Viral infections of skin and mucosa. In:F I Tzpatricks Color Atlas And Synopsis Of Clinical Dermatology Sixth Edition. United States: The McGraw-Hill Companies. pp :837-849.9. Vineet, D et all. 2013. Oro-Facial Herpes Zoster: A Case Report with a Detailed Review of Literature10. Hiroshi Shimizu. 2007. Shimizus Textbook of Dermatology. Japan. : Nakayama Shoten Publisers pp: 122-12511. Cuningharn, Anthonio L et all. 2008. The Prevention and Management Of Herpes Zoster. Pp : 171 17612. Eastern, Joseph. 2009. Herpes Zoster.http://emedicine.medscape.com/article/78831013. Cohen J. 2013. Herpes Zoster14. Schmader, K. 2008. The Epidemiological, Clinical, and Pathological Rationale for the Herpes Zoster Vaccine .i

11