yayan akhyar israr, s.ked riri julianti, s · pdf file- morbus hansen - herpes zooster -...
TRANSCRIPT
0
Author s:
Yayan Akhyar Israr, S.Ked
Riri Julianti, S.Ked
Faculty of Medicine – University of Riau
Pekanbaru, Riau 2009
© Files of DrsMed – FK UNRI (http://www.Files-of-DrsMed.tk
1
PENDAHULUAN
Uveitis adalah peradangan pada jaringan uvea akibat infeksi, trauma,
neoplasia, atau proses autoimun.1 Insiden uveitis di Amerika Serikat dan di
seluruh dunia diperkirakan sebesar 15 kasus/100.000 penduduk dengan
perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan.2,3
Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan.1 Morbiditas akibat uveitis
terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga menimbulkan peningkatan
tekanan intra okuler dan gangguan pada nervus optikus. Selain itu, dapat timbul
katarak akibat penggunaan steroid.2 Oleh karena itu, diperlukan penanganan
uveitis yang meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan
oftalmologis yang menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan yang
tepat.1
2
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI UVEA
Uvea terdiri dari tiga bagian, iris, badan siliaris, dan koroid. Bagian ini
adalah lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera, bagian
ini mensuplai darah keretina 4. Uvea dibagi menjadi 3 bagian : Iris dibagian
anterior , badan silier di tengah dan koroid diposterior 5
Gamabar 1. Anatomi uvea
(Dikutip dari kepustakaan 7)
3
Gambar 2. Histologi dari uvea (Dikutip dari kepustakaan 8)
Iris terdiri dari 3 lapisan yaitu :
a) Lapisan anterior iris terdiri dari fibroblast, melanosit, dan kolagen
b) Lapisan tengah iris (stroma) merupakan bagian paling besar dari iris terdiri
dari sel berpigmen dan non pigmen, matrik kolagen, mukopolisakarida,
pembuluh darah, saraf, otot spingter pupil
c) Bagian posterior : otot dilatator pupil dan sel berpigmen 6
Gambar 3. Histologi iris secara umum (Dikutip dari kepustakaan no. 10)
4
Badan Silier terletak anta iris pada bagian anterior dan oraserata pada
bagian posterior. Bagian anterior sekitar 25 mm dari dari pars plica ( corona
siliaris) yang terdiri dari 70- -80 bagian badan yang memproduksi aquos humor.
Pada corpus siliaris terdapat otot soliarui yang yang terdiri dari 3 bagian porsi
longitudinal , obliq dan sirkular yang mengatur akomodasi dengan mengatur
ketegangan dari zonular dan outflow cairan aquos dengan mengatur tegangan
antara trabekula dan skleral spur 6.
Gambar. 4 Makroskopik dari badan silier (1) dan zonula lensa (2) ( Dikutip dari kepustakaan nomor 10)
Koroid merupakan bagian posterior dari uvea yang terletak antara retina
dan sklera. Terdapat tiga lapisan vaskuler koroid, yaitu vaskuler besar, sedang,
dan kecil. Pada bagian interna koroid dibatasi oleh membran Bruch, sedangkan di
bagian luar terdapat suprakoroidal 6. (Gambar 5)
5
Gambar 5. Lapisan koroid
(Dikutip dari kepustakaan 6 )
2. UVEITIS
a. Definisi
Uveitis merupakan peradangan pada jaringan uvea (iris, badan silisr dan
koroid) akibat infeksi, trauma, neoplasia atau proses autoimmun1
b. Epidemiologi
Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70 tahun,
angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya
uveitis diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan afakia. Bentuk uveitis
pada laki-laki umumnya oftalmia simpatika akibat tingginya angka trauma tembus
dan uveitis non-granulomatosa anterior akut. Sedangkan pada wanita umumnya
berupa uveitis anterior kronik idiopatik dan toksoplasmosis. 11
c. Klasifikasi
Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu
klasifikasi secara anatomis, klinis, etiologis, dan patologis. 12
1) Klasifikasi anatomis (Gambar 6) 12
a) Uveitis anterior
- Iritis : inflamasi yang dominan pada iris
- Iridosiklitis : inflamasi pada iris dan pars plicata
Bruch’s membrane
Pigment Epitelium
Suprachoroid
Smaller choroidal Vessels
Larger choroidal Vessels
6
b) Uveitis intermediet : inflamasi dominan pada posterior dan retina
perifer
c) Uveitis posterior : inflamasi bagian uvea di belakang batas
basis vitreus
d) Panuveitis : inflamasi pada seluruh uvea
Gambar 6. Klasifikasi uveitis secara anatomis (Dikutip dari kepustakaan 4)
2) Klasifikasi klinis 12
a) Uveitis akut : onset simtomatik terjadi tiba-tiba dan
berlangsung selama < 6 minggu
b) Uveitis kronik : uveitis yang berlangsung selama berbulan-
bulan atau bertahun-tahun, seringkali onset
tidak jelas dan bersifat asimtomatik
3) Klasifikasi etiologis 12
a) Uveitis eksogen : trauma, invasi mikroorganisme atau agen lain
dari luar tubuh
b) Uveitis endogen : mikroorganisme atau agen lain dari dalam
tubuh
- Berhubungan dengan penyakit sistemik, contoh: ankylosing
spondylitis
- Infeksi yaitu infeksi bakteri (tuberkulosis), jamur (kandidiasis),
virus (herpes zoster), protozoa (toksoplasmosis), atau roundworm
(toksokariasis)
7
- Uveitis spesifik idiopatik yaitu uveitis yang tidak berhubungan
dengan penyakit sistemik, tetapi memiliki karakteristik khusus
yang membedakannya dari bentuk lain (sindrom uveitis Fuch)
- Uveitis non-spesifik idiopatik yaitu uveitis yang tidak termasuk ke
dalam kelompok di atas.
4) Klasifikasi patologis 12
a) Uveitis non-granulomatosa : infiltrasi dominan limfosit pada
koroid
b) Uveitis granulomatosa : koroid dominan sel epiteloid dan
sel-sel raksasa multinukleus
(Gambar 7)
Gambar 7. Klasifikasi patologis uveitis: (a) non-granulomatosa; (b) granulomatosa (Dikutip dari kepustakaan 13)
Tabel 1. Perbedaan uveitis granulomatosa dan non granulomatosa
Non Granulomatosa Granulomatosa
Onset Akut Tersembunyi Sakit Nyata Tidak ada atau ringan Fotofobia Nyata Ringan Penglihatan kabur Sedang Nyata Merah sirkumkorneal Nyata Ringan Persipitat keratik Putih halus Kelabu besar Pupil Kecil dan tak teratur Kecil dan tak teratur
(bervariasi) Synechia posterior Kadang-kadang Kadang-kadang Nodul iris Kadang-kadang Kadang-kadang Tempat Uvea anterior Uvea posterior Perjalanan Akut Menahun Rekurens Sering Kadang-kadang Sumber : General ophthamology , vaughan’s asbury’s
8
d. Etiologi
Etiologi dari uveitis diterangkan pada tabel berikut :
Tabel 2. Etiologi uveitis anterior antara lain 4
Autoimun Infeksi Keganasan Lain-lain
- Artritis juvenile idiopatik
- Sindroma Reiter - Kolitis ulserativa - Uveitis yang dicetus
oleh lensa - Sarkoidosis - Penyakit Crohn - Psoriasis
- Sifilis - Tuberkulosis - Morbus Hansen - Herpes zooster - Herpes simplek - Onkosersiasis - Leptospirosis
- Sindroma masquarade
- Retinoblastoma - Leukimia - Limfoma - Melanoma
maligna
- Idiopatik - Trauma - Sindroma Posner-
Schlossman - Iridosiklitis
heterokrom Fuch - Retinal detachment
Tabel 3. Etiologi uveitis Posterior 4
Autoimun Infeksi Keganasan
- Penyakit Behcet - Sindroma Vogt-Koyanagi-
Harada - SLE - Granulomatosis Wegener - Ophtalmia simpatika - Vaskulitis retina
- Virus : CMV, Herpes, rubella, robeola
- Bakteri : Tuberkulosis, sifilis, borellia, bakteri gram (+)/(-) patogen
- Jamur : Candida, Histoplasma, kriptokokus, aspergilus
- Parasit : toxoplasma, toxocara, sistiserkus, onkoserka
- Limfoma intaokuler
- Melanoma maligna
- Leukimia - Lesi metastasis
Tabel 4. Etiologi Panuveitis 4
Autoimun Infeksi Keganasan Lain-lain
- Penyakit Behcet - Ophtalmia simpatika - Sindroma Vogt-
Koyanagi-Harada - Sarkaidosis
- Tuberkulosis - Sifilis - Onkoserkiasis - Leptospirosis - Sistiserkosis
- Sindroma Masquerade : retinoblastoma, leukemia
- Multiple sklerosis
- Retinal intraocular foreign body
9
e. Gambaran Klinis
1) Uveitis anterior
Gejala utama uveitis anterior akut adalah fotofobia, nyeri, merah,
penglihatan menurun, dan lakrimasi. Sedangkan pada uveitis anterior kronik mata
terlihat putih dan gejala minimal meskipun telah terjadi inflamasi yang berat. 15
Tanda-tanda objektif adanya uveitis anterior adalah injeksi silier, keratic
precipitate (KP), nodul iris, sel-sel akuos, flare, sinekia posterior, dan sel vitreus
anterior. 15 (Gambar 8)
(a) (b)
Gambar 8. (a) Uveitis anterior atau iritis dengan injeksi silier tetapi tanpa
adanya sinekia (b) Uveitis anterior atau iritis dengan injeksi
silier dan irregular pupil (dikutip dari kepustakaan no. 10)
Kadangkala mata akan tampak putih dan sedikit nyeri. Pemeriksaan COA
dengan mikoroskop slitlamp menampakkan white cells dan flare. Kumpulan dari
white cells yang kecil pada endotel kornea disebut sebagai keratik presipitat.
Kumpulan dari sel mononuklear akan membentuk nodul pada iris . Pupil yang
irregular menunjukkan adanya perlengketan antara tepi iris dan permukaan
anterior dari lensa (sinekia posterior).Sinekia anterior atau posterior pada uveitis
akan menjadi predisposisi dari glaukoma. Sel-sel ini kadang kala akan berada di
vitreus dan kadang kala akan menimbulkan edema pada retina (disebut juga
udema makular).14, 4
10
(a) (b)
Gambar 9. Uveitis anterior : (a) mutton-fat keratic precipitates, nodul
Koeppe dan Busacca; (b) nodul Busacca pada iris dan mutton-fat KP di
bagian inferior (dikutip dari kepustakaan no. 11)
(a) (b) (c)
Gambar 10. (a) Iris normal (b) iris dengan sinekia anterior (c) Sinekia posterior (dikutip dari kepustakan no. 4)
2) Uveitis intermediet
Gejala uveitis intermediet biasanya berupa floater, meskipun kadang-kadang
penderita mengeluhkan gangguan penglihatan akibat edema makular sistoid
kronik. Tanda dari uveitis intermediet adalah infiltrasi seluler pada vitreus
(vitritis) dengan beberapa sel di COA dan tanpa lesi inflamasi fundus. (Gambar
11)
11
Gambar 11. Gambaran pars planitis (Dikutip dari kepustakaan 8)
3) Uveitis posterior
Dua gejala utama uveitis posterior adalah floater dan gangguan penglihatan.
Keluhan floater terjadi jika terdapat lesi inflamasi perifer. Sedangkan koroiditis
aktif pada makula atau papillomacular bundle menyebabkan kehilangan
penglihatan sentral.
Tanda-tanda adanya uveitis posterior adalah perubahan pada vitreus (seperti
sel, flare, opasitas, dan seringkali posterior vitreus detachment), koroditis,
retinitis, dan vaskulitis.
4) Panuveitis
Panuveitis merupakan kondisi terdapat infiltrasi sel kurang lebih merata di
semua unsur di traktus uvealis. Ciri morfologi khas seperti infiltrat geografik
secara khas tidak ada.5
a. Sindroma Behcet
Sindroma Behcet merupakan vaskulitis obliteran sistemik yang penyebabnya
tidak diketahui. Penyakit ini lebih banyak ditemui pada daerah mediterania, timur
tengah, dan asia (terutama Jepang) dibandingkan dengan wilayah Amerika dan
Eropa.
Kriteria mayor dan minor untuk menengakkan diagnosis sindroma Behcet
dapat dilihat pada tabel 5. Empat kriteria mayor meliputi trias klasik (ulkus
aphtosa rekuren, ulserasi genital, dan uveitis rekuren) ditambah dengan lesi-lesi
kulit. Tampilan komplit dari sindroma Behcet bila semua kriteria mayor tersebut
12
ditemukan selama munculnya sindroma ini. Penyakit ini dikatakan inkomplit
apabila hanya 3 gejala yang ditemukan atau apabila uveitis ditemukan dengan
salah satu dari ke empat gejala mayor di atas.
Tabel 5. Kriteria diagnosis sindroma Behcet
Kriteria Mayor Kriteria Minor
1. Ulkus Aphtosa rekuren pada mulut
2. Lesi kulit
a. Erupsi mirip eritema nodosum
b. Tromboflebitis subkutan
c. Hiepriritabilitas
3. Lesi mata
a. Iritis hipopion rekuren atau
iridosiklitis
b. Korioretinitis
4. Ulkus genital
1. Gejala artritis
2. Lesi gastrointestinal
3. Epididimitis
4. Lesi vaskular
5. Gangguan sistem saraf pusat
a. Sindroma Brainstem
b. Meningoenchepalitis
c. Confusional type
Tipe dari sindroma Behcet :
1. Tipe komplit : keempat kriteria mayor
2. Tipe inkomplit :
a. Tiga dari empat kriteria mayor
b. Hipopion iritis rekuren atau korioretinitis tipikal dan salah satu dari
kriteria mayor lain.
3. Suspect : ditemukan 2 kriteria mayor
4. Kemungkinan : ditemukan 1 kriteria mayor
Penyakit ini terutama ditemukan pada usia 20-40 tahun, dan lebih banyak
mengenai pria dibanding wanita. Ulkus aphtosa rekuren merupakan gejala mayor
yang paling sering ditemukan, yang didapatkan pada 98% kasus dalam penelitian
yang dilakukan di Jepang. Manifestasi pada mata ditemukan pada lebih dari 79%
pasien, namun hanya 25% yang menimbulkan keluahan. Temuan klasik pada
kasus ini adalah uveitis hipopion. Hipopion ini ikut bergerak mengikuti
pergerakan/posisi kepala. Ini menandakan periode akut, akan berakhir dalam
13
beberapa minggu. Keterlibatan segmen posterior paling sering ditemukan,
biasanya pada pria, dan pada kasus berat dapat mengakibatkan kebutaan.
Keterlibatan retina diakibatkan oleh terjadinya vaskulitis oklusif, biasanya
berhubungan dengan perdarahan retina, eksudat, atau vitritis. Serangan berulang
dapat mengakibatkan membesarnya daerah nonperfusi pada retina.
Berbagai jenis obat telah dipakai untuk pengobatan manifestasi okuler dari
sindroma Behcet. Kortikosteroid topikal dan midriatikum diindikasikan untuk
kasus uveitis anterior. Pemberian kortikosteroid sistemik diperlukan pada kasus
inflamasi berat pada segmen posterior, namun efektifitasnya terus menurun
sejalan dengan waktu. Colchicine (0,6 mg PO) mungkin membantu saat terjadinya
serangan akut. Mayoritas pasien akan membutuhkan terapi imunosupresif.
Clorambucil (dosis 6-12 mg/ hari) dan azathioprine (2,5 mg/kg/hari) dalam
kombinasi dengan kortikosteroid sistemik dosis rendah terbukti efektif dalam
mengontrol progresifitas dari sindroma Brehcet, terutama kasus dengan
manifestasi okuler. Efek terapi mungkin belum akan tampat sebelum 4-6 minggu
setelah terapi dimulai. Monitoring hematologi ketat dibutuhkan selama pasien
menjalani terapi. Cyclosporin juga dilaporkan efektif pada pasien-pasien ini
Jika tidak ditangani, sindroma Behcet dapat menimbulkan kebutaan. Uveitis
anterior yang rekuren dapat mengakibatkan glaukoma atau katarak, sementara
uvetis pada segmen posterior dapat mengakibatkan iskemia pada retina dan
neovaskularisasi sekunder retina atau iris, atopi optik, perdarahan vitreous
rekuren, kontraksi vitreous dan lepasnya retina.
b. Opthalmia Simpatika
Adalah uveitis granulomatosa bilateral yang menghancurkan, yang timbul
sepuluh hari sampa beberapa tahun setelah cedera mata tembus di daerah korpus
siliare, atau setelah kemasukan benda asing. 90% kasus terjadi dalam satu tahun
setelah cedara. Penyebabnya tidak diketahui, namun penyakitnya diduga berkaitan
dengan hipersensitifitas terhadap beberapa unsur berpigmen di uvea. Kondisi ini
sangat jarang terjadi setelah bedah intra okuler tanpa komplikasi terhadap katarak
atau glaukoma. 5
14
Mata yang cedera (terangsang) mula-mula meradang dan mata sebelahnya
(yang simpatik) meradang kemudian. Secara patologik terdapat uveitis
granulomatosa difus. Sesl-sel epiteloid, bersama sel raksasa dan limfosit,
membentuk tuberkel tanpa perkijauan. Dari traktus uvealis proses radsang itu
menyebar ke nervus optikus dan ke pia dan arachnoid sekitar nervus optikus. 5
Pasien mengeluh tentang fotopobia, kemerahan, dan kaburnya penglihatan.
Jika ada riwayat trauma, cari parut tempat masuk ke mata. Dengan slit lamp atau
kaca pembesar tampak KP dan kilauan dalam kamera anterior kedua mata.
Mungkin ada nodul iris. Sel-sel vitreous dan eksudat putih-kekuningan dilapis
dalam dari retina (nodul dalen fuchs) tampak di segmen posterior.
Opthalmia simpatika dapat dibedakan dari uveitis granulomatosa lain
karena riwayat trauma atau bedah okuler dan lesinya bilateral, difus, dan
(umumnya) akut, bukannya unilateral, setempat, dan menahun.
Pengobatan yang dianjurkan untuk mata yang cedera berat (misal : luka
tembus melalui sklera, korpus siliaris, lensa dan vitreous hilang) adalah enukleasi
segera untuk mencegah ophtalmia simpatika. Jika enukleasi dapat terlaksanan
dalam 10 hari setelah cedera hampir tidak kemungkinan timbul opthalmia
simpatika, meskipun begitu bila radang dalam mata itu telah lanjut biasanya
kurang bijaksana mengeluarkan mata yang cedera, karena mungkin pada akhirnya
mata itulah yang lebih baik dari kedua mata yang sudah sangat buruk itu. 5
c. Uveitis Tuberkulosis
Uveitis tuberkulosis mungkin difus namun khas terlokalisir dalam bentuk
korioretinitis granulomatosa nekrotikan berat. Tuberkel itu sendiri atas sel-sel
raksasa dan sel-sel epiteloid sehingga sering terjadi nekrosis perkijauan. 5
Pasien mengeluh tentang penglihatan kabur, mata merah, jika segmen
anterior terkena ditemukan nodul iris, dan KP “Mutton fat” pada pemeriksaan slit
lamp. Jika yang terkena adalah koroid dan retina maka akan tamapak masa
setempat yang menutupi vitreous seperti berkabut. 5
Sifat terlokalisir dari uveitis tuberkulosis membantu membedakan dengan
opthalmia simpatika. Secara patologik dibedakan dengan nekrosis perkijauan.
Pupil dilebarkan dengan atrofin 1% (1 tetes 2-3 kali perhari), dan obat anti
15
tuberkulosis diberikan secara sistemik jika cukup yakin setelah beberapa bulan
penyembuhan penyakit ini akan meninggalkan jaringan rusak permanen dan
penglihatan kabur karna parut pada retina. 5
Penatalaksanaan
Tujuan terapi uveitis adalah mencegah komplikasi yang mengancam
penglihatan, menghilangkan keluhan pasien, dan jika mungkin mengobati
penyebabnya. Ada empat kelompok obat yang digunakan dalam terapi uveitis,
yaitu midriatikum, steroid, sitotoksik, dan siklosporin. Sedangkan uveitis akibat
infeksi harus diterapi dengan antibakteri atau antivirus yang sesuai.
Penatalaksanaan uveitis meliputi pemberian obat-obatan dan terapi operatif,
yaitu
1) Kortikosteroid topikal, periokuler, sistemik (oral, subtenon, intravitreal) dan
sikloplegia
2) Pemberian antiinflamasi non steroid
3) Pemberian obat jenis sitotoksik seperti ankylating agent (siklofosfamid,
klorambusil), antimetabolit (azatrioprin, metotrexat) dan sel T supresor
(siklosporin)
4) Terapi operatif untuk evaluasi diagnostik (parasentesis, vitreus tap dan
biopsi korioretinal untuk menyingkirkan neoplasma atau proses infeksi) bila
diperlukan.
5) Terapi untuk memperbaiki dan mengatasi komplikasi seperti katarak,
mengontrol glaukoma dan vitrektomi.
Midriatikum berfungsi untuk memberikan kenyamanan pada pasien,
mencegah pembentukan sinekia posterior, dan menghancurkan sinekia.
Memberikan kenyamanan dengan mengurangi spasme muskulus siliaris dan
sfingter pupil dengan menggunakan atropin. Atropin tidak diberikan lebih dari 1-2
minggu.
Steroid topikal hanya digunakan pada uveitis anterior dengan pemberian
steroid kuat, seperti dexametason, betametason, dan prednisolon. Komplikasi
pemakaian steroid adalah glaukoma, posterior subcapsular cataract, komplikasi
kornea, dan efek samping sistemik.
16
Komplikasi
Komplikasi terpeting yaitu terjadinya peningkatan tekanan intraokuler (TIO)
akut yang terjadi sekunder akibat blok pupil (sinekia posterior), inflamasi, atau
penggunaan kortikosteroid topikal. Peningkatan TIO dapat menyebabkan atrofi
nervus optikus dan kehilangan penglihatan permanen. Komplikasi lain meliputi
corneal band-shape keratopathy, katarak, pengerutan permukaan makula, edema
diskus optikus dan makula, edema kornea, dan retinal detachment.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Gondhowiardjo TD, Simanjuntak GWS. Panduan Manajemen Klinis
PERDAMI. Jakarta: PP PERDAMI, 2006. 34. 2. WebMD. Iritis and Uveitis 2005; http://www.emedicine.com. [diakses tanggal
29 Maret 2009] 3. Schlaegel TF, Pavan-Langston D. Uveal Tract: Iris, Ciliary Body, and Choroid
In: Pavan-Langston D, editors. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. 2nd Edition, Boston: Little, Brown and Company, 1980. 143-144.
4. Roque MR. Uveitis 2007; http://www.uveitis.com/ph.images.uveitis/jpg/files [diakses tanggal 29 Maret 2009]
5. Emmett T. Cunningham. Uveal tract In: Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors. General Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw Hill, 2007
6. Rao NA, Forster DJ. Basic Principles In: Berliner N, editors. The Uvea Uveitis and Intraocular Neoplasms Volume 2. New York: Gower Medical Publishing, 1992. 1.1
7. __________. http://www.uveitis.org/images/ED1uveitis.pdf [diakses tanggal 29 Maret 2009]
8. __________. http://biology.clc.uc.edu/.JPG [diakses tanggal 29 Maret 2009] 9. __________. http://www.siumed.edu..htm [diakses tanggal 29 Maret 2009] 10. Kuehnel wolfgang.sensory organ in Color Atlas of Cytology, Histology, and
Microscopic Anatomy.germany. 2003. 470-472 11. WebMD. Uveitis, Anterior, Nongranulomatous 2005;
http://www.emedicine.com. [diakses tanggal 29 Maret 2009] 12. Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan-Eva P,
Whitcher JP, editors. General Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw Hill, 2007.
13. El-Asrar AMA, Struyf S, Van den Broeck C, et al. 2007. Expression of chemokines and gelatinase B in sympathetic ophthalmia. http://www.nature.com/.../ fig_tab/6702342f1.html [diakses tanggal 29 Maret 2009]
14. ________. http://medweb.bham.ac.uk/easdec/eyetextbook/Uveitis/uveitis.htm. [diakses tanggal 29 Maret 2009]
15. Kanski JJ. Retinal Vascular Disorders in Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 3rdEdition. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd, 1994. 152-200.
© Files of DrsMed – FK UNRI (http://www.Files-of-DrsMed.tk