hasil sambung samping gernas kakao di kab

81
HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB. MAMUJU MEWUJUDKAN MIMPI PETANI Thursday, 19 August 2010 10:25 | MAMUJU- Provinsi Sulawesi Barat merupakan salah satu provinsi penghasil komoditas kakao di tanah air, bahkan diperkirakan 20% dari produksi kakao nasional berasal dari provinsi ini. Kakao telah menjadi pendapatan utama sebagian besar masyarakat tani dan telah menyentuh ke sendi kehidupan petani bahkan dapat dikatakan kesejahteraan petani didominasi oleh komoditas kakao. Kakao merupakan komoditas perkebunan yang memegang peranan penting dalam perekonomian di wilayah Sulawesi Barat pada umumnya dan kabupaten Mamuju khususnya. Pengembangan kakao di wilayah ini pada waktu lalu masih bersifat partial dan belum dilaksanakan secara intensif sehingga dampaknya belum menyentuh pada sisi kehidupan langsung petani apalagi pada perekonomian daerah dan nasional. Pada tahun 2009 pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkebunan mulai melakukan pengembangan kakao ke wilayah sentra kakao nasional termasuk di Sulawesi Barat termasuk di kabupaten Mamuju, program ini dikenal dengan Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu (Gernas) Kakao. Pada tahun 2009 kabupaten Mamuju mendapatkan alokasi gerakan ini meliputi Peremajaan 1.250 ha, Rehabilitasi 8.000 ha dan Intensifikasi 5.000 ha. Rehabilitasi

Upload: darma1987

Post on 29-Jun-2015

2.313 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB. MAMUJU MEWUJUDKAN MIMPI PETANI

Thursday, 19 August 2010 10:25 |    

MAMUJU- Provinsi Sulawesi Barat merupakan salah satu

provinsi penghasil komoditas kakao di tanah air, bahkan

diperkirakan 20% dari produksi kakao nasional berasal dari

provinsi ini. Kakao telah menjadi pendapatan utama

sebagian besar masyarakat tani dan telah menyentuh ke

sendi kehidupan petani bahkan dapat dikatakan

kesejahteraan petani didominasi oleh komoditas kakao.

Kakao merupakan komoditas perkebunan yang memegang

peranan penting dalam perekonomian di wilayah Sulawesi Barat pada umumnya dan

kabupaten Mamuju khususnya. Pengembangan kakao di wilayah ini pada waktu lalu

masih bersifat partial dan belum dilaksanakan secara intensif sehingga dampaknya

belum menyentuh pada sisi kehidupan langsung petani apalagi pada perekonomian

daerah dan nasional.

Pada tahun 2009 pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkebunan mulai melakukan

pengembangan kakao ke wilayah sentra kakao nasional termasuk di Sulawesi Barat

termasuk di kabupaten Mamuju, program ini dikenal dengan  Gerakan Nasional

Peningkatan Produksi dan Mutu (Gernas) Kakao.  Pada tahun 2009 kabupaten Mamuju

mendapatkan alokasi gerakan ini  meliputi Peremajaan 1.250 ha, Rehabilitasi 8.000 ha

dan Intensifikasi 5.000 ha. Rehabilitasi tanaman kakao yang dilaksanakan melalui

kegiatan sambung samping ini merupakan kegiatan yang sangat strategis bagi

kebupaten ini terkait dengan pengembangan kakao. Gerakan ini dapat menghantarkan

kesejahteraan petani kakao bila gerakan ini di laksanakan secara profesional dan

sesuai dengan aturan teknis.  Pada saat kunjungan lapangan oleh Tim Pembinaan dan

Pengawalan Ditjen Perkebunan ke Kecamatan Kaluku Desa Sinyonyoi, tanaman yang

telah disambung samping menunjukkan hasil yang memuaskan. Pada tanaman

sambung samping tahun 2009 yang telah dilakukan pemangkasan batang utama

Page 2: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

menunjukan tanamannya telah berbuah.  Tanaman yang telah berhasil dalam

sambung samping menghasilkan buah yang cukup banyak atau sekitar 50% lebih

tinggi pada tanaman yang belum dilakukan sambing samping. Sebaliknya pada

tanaman yang telah dilaksanakan sambung samping tetapi belum dilakukan

pemotongan batang utama, tanaman nya belum berkembang sebagaimana mestinya.     

Peranan kakao, sangat penting dalam meningkatkan

kesejahteraan masyarakat/petani kakao dan devisa bagi daerah

dan nasional, pemerintah Kabupaten Mamuju sudah seharusnya

mendukung gerakan ini dan tidak sekedar tergantung pada bantuan

pemerintah Pusat. Peluang ini sangat besar dan didukung dengan potensi geografis

serta budaya masyarakatnya yang sudah familiar terhadap komoditas ini.  

Berdasarkan peninjauan lapangan di Kabupaten Mamuju, dalam pengembangan kakao

menghadapi handicap yang sifatnya non teknis budidaya yaitu biji kakao yang

dihasilkan sebagian besar merupakan biji kakao non fermentasi, sebagai akibat

kecilnya margin harga yang dibeli pedagang antara non fermentasi dengan fermentasi.

Tata niaga kakao khususnya biji fermentasi akan menjadi lebih baik bila campur tangan

pemerintah kabupaten Mamuju terlihat nyata, barometer keberhasilan intervensi

pemeritah kabupaten ini dapat diukur dari peningkatan pendapatan petani kakao

setelah tata niaganya di diperbaiki.    

 

 

 

Last Updated ( Tuesday, 26 October 2010 09:35 )

SAMBUNG SAMPING YANG BENAR DAPAT MENINGKATKANPRODUKSI KAKAO DAN MENINGKATKAN PENDAPATAN

Page 3: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

PETANIPelatihan AMARTA memperkenalkankepada petani dan pihak terkait tentangteknik evaluasi dan pembedahan kebununtuk mengetahui permasalahan yangada, dilanjutkan dengan mencari solusiguna mendapatkan rekomendasitindak lanjut perbaikan kebun kakao.Photo: AMARTA Staff

“Saya dipersilahkan untuk menguji kekuatan sambungsamping yang diajarkan dan ternyata memang sangatkuat dan saya tidak berhasil mencabutnya.Saya akanmencoba teknik ini pada 500 pohon coklat yang sayamiliki karena saya sudah memiliki keyakinan dansudah membuktikannya langsung.Terima kasih USAID/AMARTA, semoga kamimendapat manfaat atas kehadiran AMARTA di desakami sehingga produksi kakao kami kedepan semakinmeningkat dan memiliki masa depan yang cerah..”Bapak Ibrahim Pagiling, Petani KakaoKolaka Utara merupakan sentra penghasil kakao terbesar di ProvinsiSulawesi Tenggara. Kali ini AMARTA melanjutkan Programnya denganmelatih sebanyak 2.500 petani yang tergabung dalam 100 kelompok tanialumni dan kelompok tani baru yang tersebar di 9 kecamatan dari 15kecamatan. AMARTA terus melakukan pendampingan teknis bagi petanikakao untuk meningkatkan produksi, kualitas, pengendalian hama penyakitdan pengenalan akses pasar yang baik dan trasparan.Saat ini, hampir semua petani kakao terfokus pada rehabilitasi, penanamankembali serta intensifikasi tanaman kakaonya. Sejalan dengan aktivitas petani,program pelatihan AMARTA memperkenalkan kepada petani dan berbagaipihak terkait tentang teknik evaluasi dan pembedahan kebun untukmengetahui permasalahan yang ada, dan dilanjutkan dengan mencari solusiguna mendapatkan rekomendasi yang mendasar bagi tindak lanjut perbaikankebun kakao.Teknik sambung samping dan penanaman kembali sangatlah penting. Banyakpetani yang kecewa dengan rebah/robohnya sambungan yang kurang tepatketika tanaman kakao mereka berbuah lebat. Pelatihan AMARTAmemberikan keyakinan kepada petani untuk tetap melakukan sambungsamping dengan teknik yang benar.Dengan keyakinan yang tinggi serta penggunaan teknik sambung sampingdengan tepat ini diharapkan bisa meningkatkan produksi kakao petanisekaligus meningkatkan penghasilan mereka. “Selama ini saya selalu kecewadan hampir putus asa karena teknik sambung samping saya sering gagal. Sayaberuntung karena diajari teknik yang benar oleh staf AMARTA yang langsungmasuk ke kebun dan melakukan praktek langsung di lapangan. Sayadipersilahkan untuk menguji kekuatan sambung samping yang diajarkan danternyata memang sangat kuat dan saya tidak berhasil mencabutnya.Saya akanmencoba teknik ini pada 500 pohon coklat yang saya miliki karena saya sudahmemiliki keyakinan dan sudah membuktikannya langsung.Terima kasih USAID/AMARTA, semoga kami mendapat manfaat atas kehadiranAMARTA di desa kami sehingga produksi kakao kami kedepan semakinmeningkat dan memiliki masa depan yang cerah.” tutur Pak Ibrahim DgPagiling, Kepala Desa Alipato Kecamatan Ngapa Kabupaten Kolaka Utara

Page 4: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

http://www.amarta.net/amarta/successstory/ID/AMARTA%20success%20story%20Dec%2009%20-%20Cocoa%20-%20Side%20grafting%20Indon.pdf

Tingkatkan Produktivitas Kakao dengan Teknologi Sambung Samping

LAST_UPDATED2 Jumat, 26 Maret 2010 10:00

SURAT KABAR BERKAHEdisi 257, tahun Kesepuluh, 16-22 Maret 2010Oleh : Kardiyono, STP.MSi

     Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan di Provinsi Banten. Luasnya areal kakao di Provinsi Banten mencapai lebih dari 29.278 ha dan diperkirakan setiap tahun akan mengalami peningkatan terus. Minat petani untuk mengembangkan tanaman ini cukup tinggi karena beberapa alasan antara lain harga biji kakao yang cukup tinggi dan mudahnya cara perawatan tanaman. Namun demikian disayangkan dengan harga jual biji kakao yang tinggi produktivitas tanaman kakao rakyat masih sangat rendah. Akibatnya pendapatan yang diperoleh petani belum optimal. Produktivitas tanaman kakao rata-rata baru mencapai 591,18 kg / ha sedangkan potensi produktivitas dapat mencapai 1,5 – 3 ton/ha.       Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas kakao tersebut adalah bibit yang digunakan tidak bermutu. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh petani untuk meningkatkan produktivitas tanaman kakao adalah dengan melakukan merehabilitasi tanaman melalui teknologi sambung samping. Teknologi sambung-samping merupakan teknik perbaikan tanaman kakao yang dilakukan

dengan cara menyisipkan batang atas klon-klon unggul yang dikehendaki sifat baiknya pada sisi batang bawah. Secara garis besar, tujuan perbaikan tanaman adalah untuk meningkatkan produktivitas dan mutu biji yang dihasilkan. Selain iitu, teknologi sambung-samping dapat juga digunakan untuk memperbaiki tanaman yang rusak secara fisik, menambah jumlah klon dalam populasi tanaman, mengganti klon, dan pemendekan tajuk tanaman. Beberapa keuntungan sambung-samping adalah tanaman baru lebih cepat berbuah, pelaksanaannya lebih mudah dibandingkan dengan okulasi, batang bawah dapat berfungsi sebagai penaung sementara bagi batang atas yang baru tumbuh, dan kekosongan produksi dapat diminimalkan dengan cara mengatur saat pemotongan batang bawah.

Page 5: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

      Petani kakao di Provinsi Banten belum banyak mengetahui tentang teknologi sambung samping meskipun teknologi tersebut telah lama dihasilkan dan diterapkan oleh petani pada sentra produksi kakao di Indonesia seperti di Sulawesi Tenggara. Teknologi ini dapat digunakan untuk menanggulangi hama penggerek buah kakao ( PBK) dengan cara mengganti klon-klon yang ada dengan klon-klon yang potensi produksinya tinggi, baik pada tanaman muda maupun tua. Hasilnya menunjukkan bahwa produktivitas kakao meningkat 2-4 kali dibandingkan dengan produktivitas sebelumnya. Mengingat keunggulan teknologi sambung samping dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi petani di Kecamatan Anyer maka Kepala UPTD Tatang Sukanta berinisiatif untuk melakukan pertemuan dengan mensosialisasi teknologi tersebut. Pada acara tersebut diundang Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten, Dinas Pertanian Kab. Serang, BPKP Kab. Serang dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten.       Kardiyono, STP,MSi sebagai narasumber dari BPTP Banten menyampaikan bahwa teknologi sambung samping adalah teknologi yang mudah dan murah serta tidak memerlukan ketrampilan khusus. Bahan dan alat yang diperlukan antara lain entres, pisau, tali rafia dan plastik. Jika dikawasan kebun kakao tidak tersedia kebun entres petani dapat menseleksi tanaman yang memiliki produktivitas tinggi untuk diambil cabang sebagai entres atau calon tanaman pengganti. Keunggulan lain dari teknologi tersebut adalah petani masih dapat memanen dan memperoeh hasil kakao seperti biasanya karena tanaman tidak ditebang melainkan dilakukan pemangkasan secara bertahap. Setelah tanaman pengganti sudah besar atau berbuah dan siap menggantikan tanaman asli sekitar umur 7 bulan maka dapat dilakukan penebangan tanaman asli. Setelah memperoleh informasi teknologi sambung samping petani yang berada pada kawasan kampung kakao memberikan respon yang cukup tinggi mereka akan mencoba dan menerapkan teknologi pada tanaman yang dimiliki khususnya pada pada tanaman yang produktivitasnya rendah.

Gernas Pro Kakao di Mamuju dinilai gagal

Oleh Antara on Monday, 24 January 2011 Share on Facebook Twitter Delicious Digg

MAMUJU: Gerakan nasional peningkatan mutu dan produksi kakao (Gernas Pro Kakao) di Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat, dinilai gagal total. Anggota DPRD Mamuju Ahmad Iksan Syarif mengatakan indikator kegagalan terlihat dari pengakuan petani di empat Kecamatan, yakni Tapalang, Tapalang Barat, Simboro Kepulauan, dan Mamuju bahwa kakao mereka telah banyak rusak dan tidak berproduksi akibat diserang hama penggerek batang tanpa mampu diantisipasi.

“Tanaman kakao petani di empat kecamatan itu telah banyak yang rusak dan petani di wilayah itu sudah tidak memanfaatkan lahan pertanian kakaonya untuk berproduksi, menambah pendapatan untuk kesejahteraan mereka karena rusak dihantam hama dan penyakit,” katanya, hari ini.

Page 6: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Dia mengatakan program gernas gagal karena terbukti tidak bisa meningkatkan produksi kakao petani melalui program intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan kakao. Sebaliknya, petani justru gagal panen karena kakao tidak mampu menahan serangan hama.

Menurut dia, sejumlah kelompok tani di empat Kecamatan itu sudah mengajukan proposal kepada pemerintah di Mamuju untuk dibantu menanam dan diberikan bibit tanaman jahe karena kakao mereka sudah rusak. Namun, niat mereka tidak digubris pemerintah di Mamuju.

Dia mengaku prihatin dengan kondisi itu karena gernas kakao di Mamuju menelan anggaran sekitar Rp51 miliar pada 2009 dan sekitar Rp22 miliar tahun lalu melalui APBN.

“Habis sudah anggaran negara yang begitu besar untuk program gernas kakao karena tidak dimanfaatkan pemerintah di Mamuju dengan baik, justru laporan masyarakat yang muncul adalah pemotongan bantuan dalam program itu,” katanya.

Basri, salah seorang petani di Kecamatan Tapalang, mengatakan gernas kakao di Kecamatan Tapalang gagal karena bantuan perawatan tanaman dari pemerintah pusat diduga disunat pemerintah di Mamuju.

Dia mengatakan pada 2009 bantuan gernas pro kakao untuk 29 kelompok petani yang besarnya sekitar Rp13,5 juta per kelompok tani disunat oknum tenaga teknis kantor perkebunan Kecamatan Tapalang, bernama Anto, dan besar dana yang disunat sekitar Rp2,5 juta per kelompok tani. Menurutnya, setelah biaya perawatan proyek sambung samping kakao yang jumlahnya sekitar Rp13,5 per kelompok tani disunat sekitar Rp2,5 juta, upah kerja untuk petani yang berhasil melakukan proyek sambung samping juga disunat.

“Petugas tersebut memotong bantuan upah kerja petani Rp100 per pohon dari seluruh total bantuan yang diterima petani sekitar Rp1.000 per pohon, sehingga petani hanya memperoleh bantuan sekitar Rp900 per pohon dari bantuan itu,” katanya. (kmy)

Beri Komentar

Name (required)

Mail (will not be published) (required)

Website

Page 7: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

1STUDI EVALUASI GERAKAN NASIONAL PENINGKATAN PRODUKSI DANMUTU KAKAO (GERNAS KAKAO) DI KABUPATENAnalysis of Socio-Economic Impacts “Penyakit Gugur Daun Cengkeh” in BontomanaiSubdistrict, Kepulauan Selayar DistrictARMAN AMRANABSTRAKPenelitian ini bertujuan mengkaji (1) potensi pengembangan kakao melalui program Gernas Kakaotahun2009 di Kabupaten Bantaeng pada kegiatan intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan tanamankakao, (2) permasalahan utama yang dihadapi petani peserta Gernas Kakao tahun 2009 di KabupatenBantaeng pada kegiatan intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan tanaman kakao (3) permasalahan sosialekonomi dan kelembagaan petani peserta Gernas Kakao tahun 2009 di Kabupaten Bantaeng.Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tompobulu dan Gantarangkeke Kabupaten Bantaeng. Metodeyang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dan Fokus Group Discussion (FGD).Pengambilan sampel dilakukan secara acak maksimal sepuluh responden dari setiap desa yang mewakiliwilayah penelitian dengan jumlah responden seratus tujuh puluh lima petani kakao peserta Gernas Kakaotahun 2009 di Kabupaten Bantaeng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kegiatan intensifikasi daritarget areal 5.000 hektar hanya terealisasi 3.741 hektar (74,82%), kegiatan rehabilitasi dari target 500hektar terealisasi 500 hektar (100,00%) dan rehabilitasi tanaman kakao dari target 200 hektar terealisasi53 hektar (26,50%). Permasalahan utama pada kegiatan intensifikasi adalah masih kurangnya kesadaranpetani untuk melakukan pemupukan sesuai anjuran dan pemangkasan yang tidak terjadwal sesuai tahapperkembangan tanaman. Masalah utama pada kegiatan rehabilitasi adalah kurangnya kesadaran petaniuntuk memotong batang atas tanaman yang disambung samping karena masih berproduksi yangsemestinya harus cepat dipotong untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan tanaman kakao hasilsambung samping. Sedangkan masalah utama pada kegiatan peremajaan tanaman kakao adalah tingkatkeberhasilan kegiatan peremajaan hanya 70% karena bibit kakao jenis Somatic Embryogenesis masihbanyak yang tidak sesuai standar yang tiba di tingkat petani. Masalah sosial ekonomi yang utamadihadapi petani adalah keterbatasan modal usahatani dan kelembagaan petani kakao masih kurangberfungsi sebagai penyanggah agribisnis kakao di desa. Hasil penelitian di atas mengimplikasikanperlunya pengkajian potensi pengembangan kakao di Kabupaten Bantaeng dan program kemitraan kakaodi tiap kecamatan.ABSTRACTThe research objectives are: (1) to analyze the farmers’ perception on clover leaf fall disease, (2) to assessocial impact of clover leaf fall disease, and (3) to analyze economic impact of clover leaf fall disease.The research was conducted in Bontomanai Subdistrict, Kepulauan Selayar District byusing a mixedmethod approach, (combining quantitative and qualitative research design). The primary data wascollected byconducting a household survey. Sampling was conducted randomly in three villagesrepresenting the farming area in that region with total respondents of 91 clover farmers. Data wereanalyzed by structural equation modelling (SEM) using Amos 4 software and SPSS 13. The results showthat the farmers’ perception on clover cultivation was still low. The clover leaf fall disease had asignificant social impacts including employment availability, function changes of land, cloverdevelopment interest, and social conflict. Clover leaf fall disease had a significant economic impacts

4111 0

Page 8: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

including the clover production per household, production per hectare and the income of clover farmers.Among these two impacts, economic variable was predominant compared to the social variable. Thisindicates that, these economic variabel should have more attention to develop in the policy formulation.2I. PENDAHULUANTanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan yangmemiliki nilai ekonomis cukup baik dan peluang pasarnya masih cukup besar. Hal ini dapatdilihat dari kecenderungan permintaan pasar dunia yang semakin meningkat dengan rata-rata1.500.000 ton per tahun. Peluang pasar bagi komoditas ini juga semakin terbuka seiring denganadanya kemunduran produksi yang dialami oleh negara-negara penghasil kakao lainnya.Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga setelah Pantai gading dan Ghana(ICCO, 2008) dengan produksi mencapai 779 ribu ton dan luas areal mencapai 1.44 juta hektaryang tersebar di seluruh propinsi, kecuali DKI Jakarta (Dirjen Perkebunan, 2007). Petani kakaodi Indonesia sekarang diperkirakan berjumlah 1.4 juta rumah tangga, dan umumnya berskalakecil dengan areal berkisar 2 hektar atau kurang, sekalipun di luar Jawa (Anonim, 2008).Kenaikan harga kakao yang sangat tinggi pada saat terjadinya krisis ekonomi pada akhir 1990anbenar-benar telah membawa berkah tersendiri bagi petani kakao, terutama kawasani Indonesiabagian Timur. Hal ini membuktikan bahwa kakao di Indonesia telah berkontribusi signifikanpada pengentasan kemiskinan, terutama di kawasan pedesaan.Meskipun demikian, permasalahan yang menimpa usahatani, sistem produksi danindustri kakao secara umum juga mulai bermunculan, terindikasi dari fluktuasi dan bahkanstagnansi produksi dan ekspor kakao pada dekade sekarang ini setelah 20 tahun terjadinyapeningkatan. Masalah yang dihadapi petani kakao Indonesia adalah: i) serangan OrganismePengganggu Tanaman (OPT); ii) penurunan tingkat produktivitas; iii) rendahnya kualitas bijikakao yang dihasilkan karena praktek pengelolaan usahatani yang kurang baik maupun sinyalpasar dari rantai tataniaga yang kurang menghargai biji bermutu; iv) tanaman sudah tua; dan v)pengelolaan sumber daya tanah yang kurang tepat.Dalam penataan perekonomian wilayah, Provinsi Sulawesi Selatan banyak bertumpupada komoditas hasil pertanian, terutama komoditas kakao. Komoditas kakao telah dijadikansebagai “komoditas-citra-unggulan” di wilayah ini, karena selain memberi kontribusi yang besardalam struktur perekonomian daerah, juga telah berperan sebagai penyedia lapangan kerja bagisebagian besar penduduk di daerah ini. Luas areal pertanaman kakao di Propinsi SulawesiSelatan mencapai 257.313,20 ha dengan total produksi sebesar 110.009,45 ton biji kering pertahun (Disbun Sulsel, 2009). Kakao dibudidayakan petani dan tersebar di berbagai kabupaten diwilayah Provinsi Sulawesi Selatan saat ini, salah satunya adalah Kabupaten Bantaeng.Kabupaten Bantaeng, sebagai salah satu penghasil kakao di Indonesia mempunyaipotensi untuk menghasilkan kakao dengan kualitas yang sangat baik. Hal ini ditunjang olehkondisi iklim seperti curah hujan tahunan dan suhu harian rata-rata yang sangat ideal bagipertumbuhan tanaman dan perkembangan biji kakao. Potensi ini hendaknya dimanfaatkansebaik-baiknya sehingga perekonomian daerah dapat berkembang serta kesejahteraan petanidapat meningkat.Luas pertanaman kakao di kabupaten Bantaeng 5.372,84 ha dengan total produksi 1.583ton dari potensi lahan 20.000 ha. (Disbun Kabupaten Bantaeng, 2009). Masalah perkakaoan diKabupaten Bantaeng adalah serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) seperti hamaPenggerek Buah Kakao (PBK) dan penyakit VSD serta penyakit busuk buah, penurunan tingkatproduktifitas, rendahnya kualitas biji kakao (fermentasi) dan tanaman kakao yang sudah tuaserta pengelolaan sumber daya tanah yang kurang tepat.Diharapkan melalui program Gernas Kakao tahun 2009 di Kabupaten Bantaeng dapatmeningkatkan minat petani untuk memperbaiki teknis budidaya dan kelemagaan petani kakao diKabupaten Bantaeng melalui kegiatan intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan tanaman kakao.3A. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat

Page 9: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

dirumuskan sebagai berikut :1. Bagaimana profil petani peserta Gernas Kakao dan kondisi teknis budidaya kakao danpermasalahan sosial ekonomi yang dihadapi petani peserta program Gernas Kakao tahun2009 di Kabupaten Bantaeng.2. Bagaimana pelaksanaan kegiatan intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan pada programGernas Kakao tahun 2009 di kabupaten Bantaeng.B. Tujuan Penelitian1. Mengkaji potensi pengembangan kakao di Kabupaten Bantaeng melalui program GernasKakao tahun 2009 tentang kegiatan intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan tanamankakao.2. Mengkaji permasalahan utama yang dihadapi petani peserta Gernas Kakao tahun 2009 diKabupaten Bantaeng pada kegiatan intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan tanamankakao.3. Mengkaji masalah sosial ekonomi dan kelembagaan petani peserta Gernas Kakao tahun2009 di Kabupaten Bantaeng.II. METODOLOGI PENELITIANPenelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tompobulu dan Gantarangkeke pada wilayahprogram Gernas Kakao tahun 2009 di Kabupaten Bantaeng selama 2 (dua) bulan dari bulanSeptember sampai Oktober 2010. Pemilihan lokasi ini di dasarkan pertimbangan bahwaKecamatan Tompobulu dan Gantarangkeke merupakan wilayah potensil pengembangan kakaodan pada program Gernas Kakao tahun 2009 hanya wilayah ini yang terdapat kegiatan utamaGernas Kakao yaitu intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan tanaman kakao.(i) Pengumpulan DataData yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Dataprimer dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan kuisioneryang telah disiapkan dan diadaptasikan sebelumnya.(ii) Editing/Tabulasi DataData primer yang dikumpulkan diedit untuk menjaga konsisten dan akurasi data yangtelah dikumpulkan. Kemudian data-data yang telah diverifikasi akurasinya ditabulasidengan menggunakan MS-EXCEL.(iii) Analisis DataData hasil tabulasi ditabelkan dan dianalisis dengan menggunakan Analisis DeskriptifKualitatif,4III. HASIL DAN PEMBAHASAN1. INTENSIFIKASITARGET : 5000,00 HaREALISASI : 3.741 HaTabel 1. Wilayah pengembangan kakao pada kegiatan Intensifikasi program Gernas Kakao diKabupaten Bantaeng, 2009.NO KECAMATAN DESA/KEL. Ha Pohon KK Jml Kel1 2 3 4 5 6 71 TOMPOBULUERENG – ERENG 72,00 71.995 119 6BANYORANG 72,96 72.964 70 3CAMPAGA 146, 91 146.922 140 6LB. GTR KEKE 270,38 270.380 320 8PATTALLASSANG 299,26 299.265 377 14BONTO-BONTOA 24,07 24.072 28 1BALUMBUNG 19,40 19.400 30 2JUMLAH 758,07 904.998 1.084 401 2 3 4 5 6 72 GANTARANGKEKETANAH LOE 394,56 394.557 416 8TOMBOLO 154,00 153.997 143 5

Page 10: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

GANTARANGKEKE 282,92 282.928 266 9KALOLING 501,40 501.408 422 15BAJIMINASA 477.91 477.914 481 17LAYOA 15,45 15.450 45 1JUMLAH 1348,33 1.826.254 1.773 551 2 3 4 5 6 73 PA’JUKUKANG BIANG LOE 163,01 163.027 338 7JUMLAH 163,01 163.027 338 71 2 3 4 5 6 74 BANTAENGKARATUANG 28,38 28.380 32 2ONTO 193,55 193.548 264 8JUMLAH 221,93 221.928 296 101 2 3 4 5 6 75 EREMERASALONRONG 40,58 40.763 61 4BARUA 71,73 71.742 93 4PA’BUMBUNGAN 79,88 79.887 60 2KAMPALA 65,03 65.154 46 2PARANG LOE 35,40 35.400 22 1JUMLAH 292,62 292.946 282 131 2 3 4 5 6 76 BISSAPPUBONTO RITA 6,00 6.000 10 1BONTO SALLUANG 41,79 41.795 30 1BONTO CINDE 8,69 8.692 15 1JUMLAH 56,48 56.487 55 351 2 3 4 5 6 77 SINOABONTO TIRO 55,24 55.245 65 3BONTO BULAENG 89,45 89.445 115 3BONTO MATE’NE 50,08 50.075 75 3JUMLAH 194,77 194.765 255 91 2 3 4 5 6 78 ULU EREBONTO RANNU 36,75 36.750 50 4BONTO TALLASA 44,24 44.244 56 4JUMLAH 80,99 80.994 106 8JUMLAH 3.741 3.741.339 4.189 145Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa wilayah kegiatan intensifikasi Gernas Kakao tahun 2009 diKabupaten menyebar di seluruh kecamatan berdasarkan urutan luas wilayah pengembangan,yaitu kecamatan Gantarangkeke, Tompobulu, Eremerasa, Bantaeng, Pa’jukukang, Sinoa, Ulueredan Bissappu.Dari target areal intensifikasi kakao 5000 hektar, hanya terealisasi 3741 hektar atau 74,82persen dari target lahan intensifikasi. Hal ini dipengaruhi oleh pesyaratan yang harus dipenuhibagi kebun kakao untuk kegiatan intensifikasi pada kegiatan Gernas Kakao berdasarkanPedoman Tehnis Daerah Gernas Kakao yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan,antara lain :- Tanamannya masih muda (<10 tahun) tetapi kurang terpelihara- Jumlah tegakan/populasi tanaman >70% dari jumlah standar (1.000 pohon/Ha)- Produktivitas tanaman rendah (<500 kg/ha/tahun) dan masih mungkin untuk ditingkatkan.- Pohon pelindung >20% dari standar.- Terserang OPT (Organisme Penggangu Tanaman) utama (PBK, Helopeltis spp., penyakitVSD dan busuk buah)- Lahan memenuhi persyaratan kesesuaian, meliputi : Curah hujan 1500 – 2500 mm (sangatsesuai) dan 1250 – 1500 mm atau 2500 – 3000 mm (sesuai); Lereng 0 – 8% (sangat sesuai)

Page 11: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

dan 8 – 15% (sesuai).Persyaratan di atas memberikan petunjuk bahwa dalam menyeleksi Calon Petani dan CalonLahan (CPCL) harus mengacu pada aturan yang ada sehingga untuk memenuhi target arealdengan keterbatasan waktu dan petugas lapangan perkebunan sangat sulit. Disamping ituSumber Daya Manusia (SDM) petani peserta Gernas Kakao tahun 2009 masih terbatas dimanaberdasarkan profil tingakat pendidikan petani peserta Gernas Kakao tahun 2009 rata-rata hanyatamat SLTP (24,57%) sehingga memerlukan waktu untuk meyakinkan petani kakao untukmengikuti kegiatan intensifikasi pada Gernas Kakao di Kabupaten Bantaeng. Hal lain yangmempengaruhi tida terpenuhinya target areal intensifikasi adalah semakin berkembangnyatanaman jagung di kabupaten Bantaeng yang merupakan salah satu komoditi andalan KabupatenBantaeng selain padi dan rumput laut yang berakibat tergesernya lahan untuk kakao untukpengembangan jagung kuning.Pada tahun 2010 dari target areal intensifikasi 200 hektar, terealisasi 200 hektar (100 %) yangmenyebar pada 4 (empat) Kecamatan, yaitu Eremerasa (84,60 Ha), Sinoa (45,50 Ha),Gantarangkeke (36,50 Ha) dan Tompobulu (33,90 Ha). Hal ini menggambarkan bahwa tingkatkesadaran petani kakao untuk mengikuti kegiatan intensifikasi program Gernas Kakao diKabupaten Bantaeng semakin meningkat. Kondisi ini tidak terlepas dari dukungan PemerintahKabupaten Bantaeng melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan, khususnya bidang budidayaperkebunan, dukungan camat dan kepala desa/lurah serta implikasi dari pelatihan motivasi diridari Tim Ahli Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar yang telah meluangkanwaktunya untuk memberikan bimbingan tehnis dan motivasi untuk kesuksesan program Gernas6Kakao di Kabupaten Bantaeng. Peranan penyuluh perkebunan, PPL dan Tenaga Pendampingtentunya tatkala pentingnya karena peranannya sebagai ujung tombak di lapangan.Pada kegiatan intensifikasi ini pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Perkebunanmemberikan bantuan berupa :a. Pupuk majemuk non subsidi berupa briket (tablet) warna coklat muda sebanyak 200 kg/Hadengan dosis spesifik lokasi 200 gram/pohon yang diaplikasikan pada awal musim hujanb. Peralatan hand sprayer 1 (satu) buah tiap 5 hektarc. Gunting galah 1 (satu) buah tiap hektar lahan kakao peserta Gernas Kakao untukmemotong batang atau cabang kakao.d. Pestisida, berupa insektisida merek Matador 1 (satu) liter/ Ha, herbisida merek Toupan 1(satu) liter/Ha dan fungisida merek Nordox 1 (satu) liter/Ha.Implikasi dari kondisi di atas memberikan isyarat bahwa kedepan petani kakao akandiperkenalkan bentuk pupuk majemuk non subsidi bentuk briket yang selama ini pupuk ureajenis briket justru kurang diminati petani karena merasa kurang efisien karena kebiasaan petanimengaplikasikan dengan cara menghambur pupuk ke sekitar tanaman. Hal lain darirekomendasi dosis pemupukan spesifik lokasi semestinya tiap kecamatan memiliki perbedaandosis pemupukan karena kondisi tanah berbeda-beda.Sekiranya dosis 200 kg/Ha pupuk majemuk jenis briket merupakan hasil analisis tanah,semestinya jenis pupuk majemuk ini sudah didahului data adaptasi untuk tanaman kakao dikabupaten Bantaeng.Kendala bagi petani kakao pada masa yang akan datang adalah kemampuan modal petani kakaountuk membeli pupuk majemuk non subsidi, untuk kondisi sekarang petani kakao masihmemiliki keterbatasan membeli pupuk berimbang yang bersubsidi apalagi membeli pupukmajemuk non subsidi.Jika pupuk majemuk ini memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan produksi kakao diKabupaten Bantaeng sebaiknya pemerintah mesubsidi harganya agar terjangkau oleh petanikakao dan dapat mempengaruhi minat petani kakao untuk menggunakan pupuk berimbangseperti yang terkandung dalam pupuk majemuk.Bantuan pemerintah pada kegiatan intensifikasi yang berupa hand sprayer dan gunting galahmerupakan kebijakan yang berpihak kepada petani kakao. Akan tetapi kalau kita melihatkondisi peralatan petani yang ada rata-rata setiap petani memiliki hand sprayer karena petani

Page 12: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

sudah terbiasa mengaplikasikan pestisida pada berbagai jenis tanamannya. Sebaiknya kedepanperlu dikaji ulang tentang asas manfaat bantuan peralatan. Disamping itu bantuan hand sprayer1 (satu) buah tiap 5 hektar dimana setiap kelompok tani rata-rata memiliki 25 petani atau sekitar30 hektar yang berarti tiap kelompok tani mendapat jatah bantuan hand sprayer sebanyak 6(enam) buah dengan anggaran Rp 450.000,- per buah setara dengan bantuan modal sebesar Rp2.700.000,-. Kemungkinan lain yang akan muncul diantara petani adalah rasa saling iri dalampemanfaatannya. Perawatan hand sprayer pun akan saling mengharapkan jika kelembagaankelompok tani khususnya seksi alsintan tidak dapat berfungsi dengan baik. Sebaiknya handspayer yang ada diinventariskan oleh seksi alsintan dan pemanfaatannya dipungut biaya untukperawatan berdasarkan keputusan bersama dalam musyawarah kelompok tani.Demikian pula halnya dengan bantuan gunting galah yang sangat bermanfaat untukpemangkasan sebanyak 1 (satu) buah tiap hektar. Jika pengelolaannya tidak ditangani denganbaik oleh pengurus kelompok tani akan menimbulkan kecemburuan karena rata-ratakepemilikan lahan sekitar 0,5 hektar yang berate tiap gunting galah dimanfaatkan oleh 2(dua)orang petani kakao. Kedepan sebaiknya petani dibekali keterampilan pembuatan gunting galahdengan teknologi sederhana.Bantuan pestisida perlu dibarengi dengan konsep pengendalian hama terpadu untukmenghindari penggunaan pestisida yang berlebihan. Kedepan sebaiknya penggunaan pestisidadikurangi dengan memberikan bantuan paket pestisida nabati atau pelatihan pembuatanpestisida nabati dari limbah kakao seperti yang dilaksanakan oleh kelompok tani Sinar Ujung7kelurahan Gantarangkeke, kecamatan Gantarangkeke, kabupaten Bantaeng yang dibina olehTim Ahli Gernas Kakao dari Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar.a. Sanitasi LingkunganSanitasi adalah kegiatan pembersihan kebun terutama kulit-kulit buah kakao yang terinfeksioleh hama dan penyakit tanaman kakao, khususnya hama PBK. Sanitasi lingkungan merupakankegiatan intensifikasi pada program Gernas Kakao tahun 2009 di kabupaten Bantaeng. MenurutDjafruddin (2000), sanitasi termasuk semua tindakan yang ditujukan untuk mengeliminir ataumeniadakan serta mengurangi jumlah pathogen (populasinya) yang ada dalam suatu lapanganpertanaman. Jadi pembuangan atau pengamanan cabang-cabang tanaman yang terserang atausisa-sisa yang mengandung pathogen dapat mengurangi penyebaran pathogen dan jumlahpenyakit yang akan timbul berikutnya.Pada tingkat petani kakao, upaya sanitasi lingkungan dilakukan dengan cara yang sangatberagam. Namun demikian, cara yang paling banyak ditemukan seperti yang dapat dilihat padaTabel 10 adalah sanitasi yang dilakukan hanya sebatas pada sampah daun saja, kulit buahditumpuk disekitar tanaman (34,28%) serta sanitasi sampah daun dan kulit buah dilakukandengan ditimbun (21.71%).Tabel 2. Sanitasi Lingkungan Pada Tanaman Kakao di Wilayah Pengembangan ProgramGernas Kakao Kab. Bantaeng, 2009.No Kegiatan Sanitasi Total Persentase1 Membenamkan kulit buah sehabis panen danmemetik buah yang terserang OPT10258.29%2Sampah Daun dan kulit buah dikumpulkan dandibakar 4 2.29%3 Sampah daun dan kulit buah dibiarkan saja, kulitbuah dibuang158.57%4Sampah daun dan kulit buah dikumpulkan dan

Page 13: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

dibuang 3 1.71%5Sampah daun dan kulit buah dikumpulkan di sekitarpohon kakao 9 5.14%6 Sampah daun dan kulit buah ditimbun 17 9.71%7 Sampah daun dan kulit buah sebagian ditimbunsebagian ditumpuk begitu saja116.29%8Sanitasi dilakukan hanya pada sampah daun saja,kulit buah ditumpuk di lahan 14 8.00%Total 175 100.00%Sumber : Data primer setelah diolah, 2010.Berdasarkan Pedoman Teknis Gernas Kakao tahun 2009, bahwa sanitasi dilakukakan untukmenekan populasi hama PBK dengan memutus siklus serangga hama dan memetik buah-buahyang terserang hama dan penyakit dengan cara membenamkan kulit buah sehabis panen danbuah-buah yang terserang penyakit busuk buah.Pada Tabel 22 di atas menunjukkan bahwa semua petani responden telah melakukan sanitasikebun, namun yang melaksanakan sesuai anjuran hanya 58,29 persen dari petani sampelresponden. Hal ini disebabkan tingkat pengetahuan petani tentang sanitasi yang sesuai anjuranbelum optimal karena keterbatasan sumber daya manusia yang rata-rata hanya tamat SLTP.Tabel 3 di bawah ini menyajikan kegiatan sanitasi yang dilakukan petani sampel respondensebelum Gernas Kakao di Kabupaten Bantaeng.8Tabel 3. Sanitasi Lingkungan Pada Tanaman Kakao sebelum Program Gernas Kakao diKab. Bantaeng.No Kegiatan Sanitasi Total Persentase1 Membenamkan kulit buah sehabis panen danmemetik buah yang terserang OPT3620.57%2Sampah Daun dan kulit buah dikumpulkan dandibakar 44 25.14%3 Sampah daun dan kulit buah dibiarkan saja, kulitbuah dibuang5632.00%4Sampah daun dan kulit buah dikumpulkan dandibuang 13 7.43%5 Sampah daun dan kulit buah dikumpulkan di sekitarpohon kakao63.43%6 Sampah daun dan kulit buah ditimbun 4 2.29%7 Sampah daun dan kulit buah sebagian ditimbunsebagian ditumpuk begitu saja74.00%8Sanitasi dilakukan hanya pada sampah daun saja,

Page 14: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

kulit buah ditumpuk di lahan95.14%Total 175 100.00%Sumber : Data primer setelah diolah, 2010.Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa kegiatan sanitasi yang dilakukan petani responden sebelumprogram Gernas Kakao di kabupaten Bantaeng umumnya sampah daun dibiarkan dan kulit buahdibuang (32,00%), sampah daun dan kulit buah dibakar (25,14%). Kegiatan sanitasi yangsesuai anjuran dengan membenamkan kulit buah sehabis panen dan buah yang terserangpenyakit busuk buah hanya 20,57 persen dari petani responden.Jika dibandingkan dengan perlakuan sanitasi sesuai anjuran sebelum dan setelah programGernas Kakao di kabupaten Bantaeng mengalami peningkatan dari 20,57 persen menjadi 58,29persen.Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya program Gernas yang didampingi oleh sarjanapendamping yang telah direkrut dan dilatih tentang teknis dan kelembagaan kakao secaraperlahan kesadaran petani kakao untuk melakukan sanitasi sesuai anjuran. Meskipun targetsanitasi yang dianjurkan belum optimal tetapi kesadaran petani kakao untuk melakukan sanitasisesuai anjuran masih perlu ditingkatkan.Implikasi dari kondisi sanitasi kebun di atas diharapkan kepada Dinas Kehutanan danPerkebunan kabupaten Bantaeng khususnya bidang perkebunan yang menangani Gernas Kakaodi kabupaten Bantaeng membuat program Lomba Sanitasi Kebun Kakao dari tingkat desa,kecamatan sampai tingkat kabupaten melalui dana pendampingan dari APBD untuk merangsangminat petani kakao lebih meningkatkan perlakuan sanitasi kebun yang sesuai anjuran yangpenilaiannya diserahkan oleh tim independen seperti tim ahli Gernas Kakao dari Unhas dandiprogramkan secara rutin sampai 2011. Dimana sanitasi kebun merupakan salah satu faktoryang menentukan penyebaran hama dan penyakit di kebun kakao sehingga perlu mendapatperhatian serius.b. PemupukanPada program Gernas Kakao tahun 2009 untuk kegiatan intensifikasi, petani peserta GernasKakao diberikan bantuan 200 kg/Ha pupuk majemuk non subsidi bentuk briket (tablet).Pengaplikasiannya secara melingkar dari ujung daun terluar dengan dosis 200 gram/Ha. Petaniresponden mengaplikasikan dengan menggunakan sisa air mineral bekas yang berisi 220 gramsehingga dosisnya dikurangi dari isi penuh air mineral bentuk gelas untuk lebih memudahkan9pengaplikasiannya. Sesuai petunjuk dibuatkan lingkaran lubang dan ditimbun setelah aplikasipupuk majemuk. Dari 175 responden hanya 101 petani responden (57,71%) yangmengaplikasikan pupuk majemuk sesuai anjuran, sisanya sebanyak 74 orang (42,29%) hanyamenebar dan menimbun seadanya.c. PemangkasanPemangkasan merupakan perlakuan yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangandan produksi kakao. Pemangkasan tanaman kakao adalah tindakan pembuangan ataupengurangan sebagian dari organ tanaman yang berupa cabang, ranting, dan daun. Jenispemangkasan yang dilakukan petani kakao di Wilayah Pengembangan Program Gernas KakaoKabupaten Bantaeng Propinsi Sulawesi Selatan meliputi pemangkasan pemeliharaan,pemangkasan produksi serta kombinasi keduanya (pemangkasan pemeliharaan dan produksi).Tabel 17 menunjukkan bahwa jenis pemangkasan pemangkasan pemeliharaan merupakankegiatan yang paling banyak dilakukan (39,43%), sedangkan dengan pemangkasan produksi danpemeliharaan saja sekitar 34,86 persen dan pemangkasan produksi saja sekitar 25.71 persen.Tabel 4. Jenis Pemangkasan Pada Tanaman Kakao di Wilayah Pengembangan ProgramGernas Kakao Kab. Bantaeng, 2009.No Jenis Pemangkasan Total Persentase1Pemangkasan Produksi dan Pemangkasan

Page 15: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Pemeliharaan 61 34.86%2 Pemangkasan Produksi 45 25.71%3 Pemangkasan Pemeliharaan 69 39.43%Total 175 100.00%Sumber : Data primer setelah diolah, 2010.Pemangkasan produksi umumnya dilakukan 1 – 2 kali setahun setelah panen raya, sedangkanpemangkasan pemeliharaan yang dilakukan dengan membuang cabang-cabang liar atau tunastunasair dilakukan umunya 1 kali sebulan atau bahkan tidak rutin tergantung waktu dankesempatan serta kemauan petani.Jika dibandingkan dengan kondisi pemangkasan petani responden dari 175 responden hanya 76(43,43%) petani responden yang melakukan pemangkasan rutin, pemangkasan sekali setahunsebesar 25,71 persen dan petani responden yang sama sekali tidak melakukan pemangkasanberjumlah 54 petani (30,86%) sebagaimana yang terlihat pada Tabel 25 di bawah ini.Tabel 5. Pemangkasan Pada Tanaman Kakao sebelum Program Gernas Kakao Kab.Bantaeng, 2009.No Jenis Pemangkasan Total Persentase1 Pemangkasan rutin 76 43.43%2 Pemangkasan sekali setahun 45 25.71%3 Tidak melakukan pemangkasan 54 30.86%Total 175 100.00%Sumber : Data primer setelah diolah, 2010.Berdasarkan tabel 5 di atas nampak perbandingan kegiatan pemangkasan pada tanaman kakaosebelum dan setelah berlangsungnya Gernas Kakao tahun 2009 di kabupaten Bantaeng. Dimanapetani responden yang sebelum Gernas Kakao masih terdapat 54 petani dari 175 petaniresponden (30,86%) yang sama sekali tidak melakukan pemangkasan, setelah program Gernas10Kakao tahun 2009 petani kakao sudah mulai melakukan pemangkasan pada tanaman kakaonya.Hal ini tidak terlepas dari kerja keras PPL, petugas perkebunan dan sarjana pendamping dalammemberikan pemahaman tentang pentingnya pemangkasan untuk memperbaiki iklim mikro dankelembaban pada tanaman kakao yang dapat mengurangi penyebaran OPT dan meningkatkankualitas buah kakao karena sinar matahari dapat terdistribusi dengan baik ke seluruh jaringantanaman sehingga unsure haradapat tertranslokasi dengan seimbang ke jaringan tanaman.Implikasi dari kondisi di atas melalui program Gernas Kakao di Kabupaten Bantaeng,Pemerintah Kabupaten Bantaeng melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan menggalakkanGerakan Jumat Memangkas Kakao dan diperlukan Laboratorium Lapangan tiap kecamatanuntuk memberikan contoh teknik budidaya kakao yang sesuai anjuran sekaligus berfungsisebagai sarana belajar bersama bagi PPL, petugas perkebunan dan petani kakao di kabupatenBantaeng.3. REHABILITASITARGET : 500,00 HaREALISASI : 500,00 HaTabel 6. Wilayah pengembangan kakao pada kegiatan Rehabilitasi program Gernas Kakao diKabupaten Bantaeng, 2009.NO KECAMATAN DESA/KELLUAS(Ha)JUMLAHTEGAKANJMLKKJMLKT1. TOMPOBULU

Page 16: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

BALUMBUNG 145,42 145.423 171 10ERENG-ERENG 25,47 25.470 31 3BONTOBONTOA154,83 154.712 182 9BANYORANG 80,65 80.645 98 5CAMPAGA 40,39 40.389 41 2PATTALASSANG 36,04 36.040 50 2BT.TAPPALANG 16,60 16.600 25 12. GANTARANGKEKEBAJIMINASA0,60 600 1 1Jumlah 8 500,00 499.879 599 33Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa wilayah kegiatan rehabilitasi Gernas Kakao tahun 2009 diKabupaten yang hanya tersebar di kecamatan Tompobulu dan Gantarangkeke.Dari target areal rehabilitasi kakao 500 hektar, terealisasi 500 hektar atau 100,00 persen daritarget lahan rehabilitasi. Hal ini dipengaruhi oleh pesyaratan yang harus dipenuhi bagi kebunkakao untuk kegiatan rehabilitasi pada kegiatan Gernas Kakao berdasarkan Pedoman TehnisDaerah Gernas Kakao yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, antara lain :- Tanamannya masih umur produktif (<15 tahun) dan secara teknis dapat dilakukansambung samping- Jumlah tegakan/populasi tanaman antara 70% - 90% dari jumlah standar (1.000pohon/Ha)- Produktivitas tanaman rendah (<500 kg/ha/tahun) dan masih mungkin untukditingkatkan.- Jumlah pohon pelindung >70% dari standar.11- Terserang OPT (Organisme Penggangu Tanaman) utama (PBK, Helopeltis spp.,penyakit VSD dan busuk buah)- Lahan memenuhi persyaratan kesesuaian, meliputi : Curah hujan 1500 – 2500 mm(sangat sesuai) dan 1250 – 1500 mm atau 2500 – 3000 mm (sesuai); Lereng 0 – 8%(sangat sesuai) dan 8 – 15% (sesuai).Pada tahun 2010 dari target areal rehabilitasi 100 hektar, terealisasi 100 hektar (100 %) yangmenyebar pada 2 (dua) Kecam atan, yaitu Gantarangkeke (57,21 Ha) dan Tompobulu (42,79Ha). Hal ini menggambarkan bahwa tingkat kesadaran petani kakao untuk mengikuti kegiatanrehabilitasi program Gernas Kakao di Kabupaten Bantaeng semakin meningkat. Kondisi initidak terlepas dari dukungan Pemerintah Kabupaten Bantaeng melalui Dinas Kehutanan danPerkebunan, khususnya bidang budidaya perkebunan, dukungan camat dan kepala desa/lurahserta implikasi dari pelatihan motivasi diri dari Tim Ahli Fakultas Pertanian UniversitasHasanuddin Makassar yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan tehnisdan motivasi untuk kesuksesan program Gernas Kakao di Kabupaten Bantaeng. Perananpenyuluh perkebunan, PPL dan Tenaga Pendamping tentunya tatkala pentingnya karenaperanannya sebagai ujung tombak di lapangan.Pada kegiatan rehabilitasi ini pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Perkebunanmemberikan bantuan berupa :- Pupuk majemuk non subsidi berupa briket (tablet) warna coklat muda sebanyak 200kg/Ha dengan dosis spesifik lokasi 200 gram/pohon yang diaplikasikan pada awalmusim hujan- Peralatan hand sprayer 1 (satu) buah tiap 5 hektar- Pestisida, berupa insektisida merek Matador 1 (satu) liter/ Ha, herbisida merek Toupan1 (satu) liter/Ha dan fungisida merek Amystartop 1 (satu) liter/Ha.

Page 17: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Kegiatan utama pada program rehabilitasi tanaman adalah sambung samping pada tanamankakao dimana pengadaan entres dan okulator di pihak ketigakan. Pemenang tender sambungsamping Gernas Kakao tahun 2009 di Kabupaten Bantaeng adalah CV. Sylva Mandiri dariMakassar dimana entresnya di datangkan dari sumber kebun entres kabupaten Luwu Utara danokulatornya petani terlatih dari kabupaten Luwu Utara.Berdasarkan studi lapangan masih ada petani responden yang tidak memelihara tanaman hasilsambung samping karena petani merasa kurang dilibatkan dalam proses sambung sampingtanamannya, dimana pada saat pelaksanaan sambung samping kurang koordinasi denganpemilik lahan dimana okulator dituntut untuk menyelesaikan sambung samping dalam waktuyang terbatas. Kondisi ini berkaitan erat dengan kelembagaan kelompok tani yang masihkurang optimal. Semestinya didahului musyawarah dan penjadwalan pelaksanaan sambungsamping tiap kebun kakao.Implikasi dari kondisi di atas untuk kegiatan sambung samping pada tahun berikutnya tidakperlu dipihak ketigakan, cukup swakelola oleh kelompok tani sehingga anggota kelompok taniyang telah terlatih untuk sambung samping dapat berfungsi sebagai okulator di kelompoktaninya agar lebih mudah komunikasi dengan petani yang bersangkutan.Kekhawatiran lain dari sumber entres yang berasal dari Luwu Utara yang selama ini dikenalsebagai endemik penyakit VSD dikhawatirkan secara perlahan akan menyebar di kabupatenBantaeng. Hal ini diperkuat oleh hasil investigasi tim ahli Gernas Kakao dari FakultasPertanian Unhas yang telah menemukan batang kakao yang hasil sambung sampingmenunjukkan gejala serangan VSD.Implikasi dari kondisi di atas untuk tahun berikutnya seharusnya dicantumkan dalam dokumenlelang daerah sumber entres yang betul-betul bebas dari penyebaran VSD, bukan kontraktorpelaksana yang menentukan lokasi sumber entres.Masalah lain dari kegiatan rehabilitasi adalah keenggangan petani untuk memotong batang atassetelah sambung samping berhasil. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhan danperkembangan tanaman hasil sambung samping karena distribusi hara tidak terfokus ke tanamanhasil sambung samping. Alasan klasik dari petani masih menyayangkan untuk ditebang batang12atas karena masih menghasilkan buah. Disamping itu gergaji mesin (chainsaw) bantuanpemerintah 1 (satu) unit tiap 100 hektar tidak mencukupi untuk mempercepat pekerjaan.Sebaiknya untuk tahun berikutnya Pemkab Bantaeng memprogramkan pengadaan gergaji mesinuntuk tiap kelompok tani sehingga petani lebih bergairah untuk memotong batang atas tanamankakao yang disambung samping.3. PEREMAJAANTARGET : 200,00 HaREALISASI : 53,00 HaTabel 7. Wilayah pengembangan kakao pada kegiatan Peremajaan program Gernas Kakao diKabupaten Bantaeng, 2009.NO KECAMATAN DESA/KELLUAS(Ha)JUMLAHTEGAKANJMLKKJMLKT1. TOMPOBULUERENG-ERENG 46,21 46.325 55 5BANYORANG 3,80 3.800 5 1PATTALASSANG 2,49 2.490 2 22. GANTARANGKEKE BAJIMINASA 0,50 400 1 1

Page 18: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Jumlah 4 53,00 53,015 65 9Tabel 7 di atas menggambarkan bahwa dari target peremajaan 200 hektar pada tahun 2009,hanya terealisasi 53 hektar atau 26,50 persen. Sementara pada tahun 2010 kegiatan peremajaantidak terealisasi. Hal ini disebabkan karena tanaman kakao yang berumur di atas 25 tahunberdasarkan data Dinas Perkebunan Bantaeng hanya 53 hektar. Kondisi ini sejalan dengansejarah perkakaoan di kabupaten Bantaeng yang secara umum pengembangannya pada awaltahun 1980-an yang berarti tahun 2010 ini tanaman kakao yang ada berumur rata-rata 20 tahun.Tanaman tua yang telah berusia di atas 25 tahun umumnya dijumpai di kelurahan Ereng-erengkecamatan Tompobulu.Pada kegiatan rehabilitasi ini, tanaman kakao yang sudah berusia di atas 25 tahun dibongkar danditanami bibit Somatic Embryogenesis (SE) dari Puslit Koka Jember Jawa Timur yangpengadaannya di pihak ketigakan melalui Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan.Sebagai tanaman pengganti diberikan bantuan benih jagung hibrida Bisi-2 sebanyak 15 kg perhektar untuk dikembangkan sampai tanaman SE berproduksi selama kurang lebih 3 (tiga) tahun.Berdasarkan studi lapangan bibit kakao jenis SE sekitar 30% tidak tumbuh normal di lapanganmeskipun sudah dilakukan uji adaptasi di lapangan. Bibit kakao jenis SE yang tiba di lokasiterlambat sampai bulan Februari 2010 dalam kondisi kerdil yang semestinya sesuai aturanminimal tinggi tanaman 30 cm dan memiliki 6 helai daun. Tanaman yang tiba tingginya hanya20 cm dan pertumbuhannya kerdil. Pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan KabupatenBantaeng melalui bidang Perkebunan telah mengkonfirmasi ke Dinas Propinsi Sulawesi Selatantetapi hanya menyarankan untuk ditanam saja sesuai target areal. Hal ini mengindikasikanketidaksiapan Puslitkoka Jember menyiapkan bibit SE yang bermutu atau pihak pelaksana yangmengadakan bibit SE tidak profesional atau hanya dijadikan alat oleh oknum pejabat di DinasPerkebunan Propinsi Sulawesi Selatan. Terbukti ketika kami konfirmasi tentang keterlambatanbibit SE dan kondisinya yang tidak sesuai aturan malah disuruh tanam saja untuk menghindaritemuan pemeriksa dengan alasan kondisi alam yang ekstrim.Implikasi dari fenomena di atas adalah sebaiknya pengadaan bibit SE diberikan kesempatanyang sama ke Fakultas Pertanian Unhas Makassar untuk menghindari monopoli dagang sesuaiKepres 80/2003. Keuntungan lain jika perbanyakannya di Unhas akan lebih mudah koordinasidan pendistribusiannya akan lebih cepat sampai ke lokasi sasaran. Hal lain yang menarik daristudi lapang dimana kelompok tani sudah diberikan berita acara serah terima barang jenis bibitkakao SE pada akhir Desember 2009 dengan alasan untuk mempercepat pencairan dana,13sementara bibit SE nya baru tiba pada bulan Februari 2010 dan nanti ditanam pada awal April2010 pada karena curah hujan baru teratur.Tabel berikut ini memberikan gambaran pelaksanaan Gernas Kakao tahun 2009 di KabupatenBantaeng.Tabel 8 . Kondisi Pelaksanaan Gernas Kakao di Kabupaten Bantaeng Tahun 2009.KEGIATAN TARGET(Ha)REALISASI(Ha)KECAMATAN DESA JMLKTJMLKKINTENSIFIKASI 5.000 3.741 8 29 145 4.189REHABILITASI 500 500 2 8 33 599PEREMAJAAN 200 53 2 4 9 65T O T A L 5.700 4.294 8 30 179 4.853Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2010.Tabel 8 di atas menunjukkan target dan realisasi program Gernas Kakao tahun 2009 diKabupaten Bantaeng yang meliputi ; intensifikasi 74,82 persen, rehabilitasi 100,00 persen dan

Page 19: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

peremajaan 26,50 persen.Berdasarkan data potensi pengembangan kakao Kabupaten Bantaeng luas pertanaman kakao diKabupaten Bantaeng 5.372,84 hektar dari potensi lahan 20.000 hektar. Dengan demikian masihada sekitar 1.078,84 hektar kakao di Kabupaten Bantaeng yang belum masuk program GernasKakao, sementara pada tahun 2010 ini terealisasi 300 hektar untuk kegiatan intensifikasi danrehabilitasi. Berarti sisa 778,84 hektar tanaman kakao yang belum masuk program GernasKakao sampai tahun 2010 di Kabupaten Bantaeng. Sedangkan dari potensi lahan kakao 20.000hektar baru tertanami kakao seluas 5.372,84 (26,86%) yang berarti masih ada sekitar 14.627,16hektar lahan yang berpotensi untuk ditanami kakao.IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASIKESIMPULANBerdasarkan hasil studi evaluasi Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao(Gernas Kakao) di Kabupaten Bantaeng Propinsi Sulawesi Selatan tahun 2009 diperolehbeberapa kesimpulan antara lain:1. Target dan realisasi program Gernas Kakao tahun 2009 di Kabupaten Bantaeng meliputi ;kegiatan Intensifikasi dari target 5000 hektar terealisasi 3741 hektar (74,82%), kegiatanRehabilitasi dari target 500 hektar terealisasi 500 hektar (100,00%) dan untuk kegiatanPeremajaan dari target 200 hektar terealisasi 53 hektar (26,50%).2. Sistem budidaya pada program Intensifikasi dan rehabilitasi umumnya masihmenggunakan bibit lokal, kecuali pada program peremajaan karena menggunakan bibitkakao jenis Somatic Embryogenesis (SE). Pemupukan sebelum Gernas Kakao umumnyahanya menggunakan pupuk Urea dan ZA dan setelah program Gernas Kakao mendapatbantuan pupuk majemuk 200 kg/Ha namun dalam pelaksanaanya dari 175 petani respondenhanya 101 petani responden (57,71%) yang mengaplikasikannya sesuai anjuran denganmembuat lubang lingkaran dan menimbunnya kembali , pemangkasan sebelum GernasKakao hanya bersifat upaya pembersihan kebun sebagai upaya sanitasi kebun bahkan dari175 responden terdapat 54 petani (30,86%) yang sama sekali tidak melakukanpemangkasan, sedangkan pada program Gernas Kakao tahun 2009 semua petani respondentelah melakukan pemangkasan minimal sekali setahun.3. Masalah utama pada kegiatan rehabilitasi melalui sambung samping adalah masihkurangnya kesadaran petani untuk memotong batang atas tanaman kakao yang telahdisambung samping dan adaptasi okulator dari luar Bantaeng dengan petani setempat.Disamping itu masalah penyebaran VSD yang selama ini masih aman di Bantaengdikhawatirkan akan terinfeksi karena sumber entres didatangkan dari kabupaten LuwuUtara yang dikenal sebagai endemik penyakit VSD.144. Tingkat keberhasilan kegiatan peremajaan kakao tahun 2009 hanya mencapai 70% karenabanyaknya bibit kakao jenis Somatic Embryogenesis (SE) yang tidak sesuai standar tinggiminimal 30 cm, jumlah daun minimal 6 helai, pertumbuhan normal serta iklim yang kurangmendukung.5. Umumnya petani peserta Gernas Kakao tahun 2009 di Kabupaten Bantaeng memasarkankakaonya tanpa melalui fermentasi. Bantuan alat pengolahan kakao dari pusat di 3Gapoktan belum termanfaatkan dengan baik hanya dipakai pedagang pengecer untukmengeringkan biji kakaonya sebelum diangkut ke Makassar.6. Kelembagaan petani peserta Gernas Kakao Kabupaten Bantaeng tahun 2009 sekitar 75%masih kelompok tani pemula yang cenderung pembentukannya hanya mengandalkanbantuan proyek pemerintah. Modal usahatani kakao menjadi masalah sosial ekonomiutama dimana dari 175 responden terdapat 122 (69,71%) yang menyatakan kendala modalusahatani yang membuat produktifitas kakao tidak mengalami peningkatan.REKOMENDASIHasil studi kondisi dan permasalahan pada program Gernas Kakao tahun 2009 di KabupatenBantaeng Propinsi Sulawesi Selatan memberikan rekomendasi :1. Untuk mengoptimalkan potensi pengembangan kakao di kabupaten Bantaeng yang

Page 20: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

mencapai 20.000 hektar sebaiknya dilakukan kajian khusus kawasan pengembangan kakaotiap kecamatan dengan melibatkan perguruan tinggi yang kapabel di bidang pengembangankakao.2. Untuk merangsang minat petani melakukan pemangkasan pada kegiatan intensifikasi pascaprogram Gernas Kakao perlu diprogramkan Gerakan Jumat Memangkas Kakao mengingatkedepan di Bantaeng akan hadir industri pengolahan biji kakao yang tentunya memerlukankakao berkualitas.3. Pada kegiatan rehabilitasi melalui sambung samping sebaiknya pelaksanaan sambungsamping diswakelolakan saja sehingga okulator direkrut dari anggota kelompok tani yangsudah terlatih untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi.4. Pengadaan bibit kakao jenis Somatic Embryogenesis (SE) sebaiknya melibatkan FakultasPertanian Unhas yang memiliki tenaga ahli dan laboratorium yang memadai untukmenjamin kualitas dan kuantitas bibit kakao jenis SE sampai ke lapangan.5. Menyikapi kendala modal usahatani dan minimnya petani yang melakukan fermentasiperlu disikapi dengan melakukan pertemuan stakeholder mulai kelompok tani, pedagang,ekportir, perbankan dan perguruan tinggi yang dimediasi Pemkab Bantaeng untukmerumuskan pola kemitraan yang ideal bagi kelompok tani khususnya kelompok tanipeserta Gernas Kakao dengan jaminan harga bagi kakao fermentasi sehingga petani lebihbergairah melakukan fermentasi pada biji kakaonya yang pada akhirnya akanmeningkatkan nilai jual dan pendapatan petani peserta Gernas Kakao di kabupatenBantaeng.DAFTAR PUSTAKAAnonim, 2008. Pedoman Umum Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional2009-2011. Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Jakarta.Anonim, 2008. Program Gerakan Nasional Percepatan Revitalisasi Kakao Nasional (GERNAS)Masukan strategis dari Forum Kemitraan Kakao Berkelanjutan (Cocoa SustainabilityPartnership). Disunting oleh Jeff Neilson (atas permintaan dari ACIAR). KemitraanAustralia Indonesia.Anonim, 2009. Pedoman Teknis Daerah Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu KakaoNasional 2009-2011. Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Jakarta.Anonim, 2009. Panduan Teknis Budidaya Tanaman Kakao pada Gerakan PeningkatanProduksi dan Mutu Kakao Nasional. Direktorat Jenderal Perkebunan DepartemenPertanian, Jakarta.15Budianto, J. 2002. Penggunaan pupuk berimbang untuk meningkatkan produksi pertanian danpendapatan petani di Indonesia. Dalam Prosiding Lokakarya Pemupukan Berimbang.Lembaga Pupuk Indonesia (LPI). Jakarta, 25 Juni 2002.Deptan, 2005. Kebijakan dan Strategi dalam Pengembangan Industri Kakao Dalam Negeri.Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Makassar 29 Desember2005.Dirjen Perkebunan, 2007. Statistik Perkebunan Indonesia. Direktorat Jenderal PerkebunanIndonesia. Jakarta.Disbun Sulsel, 2009. Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu kakao Nasional Sulawesiselatan Tahun 2009 -2011. Disampaikan pada Acara Diskusi dengan Komisi PengawasPersaingan Usaha Republik Indonesia Kantor Perwakilan daerah Makassar, 27 Agustus2009.Djafaruddin., 2000. Dasar-Dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. Bumi Aksara.Gomez, F. C. 1995. Manajemen Sumberdaya Manusia. Andi Offset. Yogyakarta.Jumin, HB. 1994. Dasar-Dasar Agronomi. Raja Grafindo Perkasa. Jakarta.Mubyarto. 1987. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta.Mustari, K., 2004. Penggunaan pupuk bokashi pada tanaman jagung dalam rangkamengembangkan usahatani ramah lingkungan. Jurnal Agrivigor 4 (1): 74-81.Notoatmojo, S. 1998. Pengembangan Sumberdaya Manusia. Rineka Cipta. Jakarta.

Page 21: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Puslitkoka Indonesia, 2006. Teknik Budidaya Tanaman Kakao.

Sosialisasi Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional

Ditulis oleh Web Master

Sunday, 08 March 2009

MAKASSAR-Mulai tahun 2009 pemerintah akan melaksanakan Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional di 9 provinsi dan di 40 kabupaten. Gerakan yang dilaksanakan sampai tahun 2011 ini bertujuan untuk mempercepat peningkatan produktivitas dan mutu kakao nasional dengan memberdayakan/melibatkan secara optimal seluruh potensi pemangku kepentingan (stakeholder)

perkakoan nasional.

Indonesia adalah negara produsen kakao terbesar kedua di dunia setelah Pantai Gading, dengan luas areal 1.563.423 ha dan produksi 795.581 ton. Sungguhpun Indonesia dikenal sebagai negara produsen kakao terbesar di dunia, tapi produktivitas dan mutunya masih sangat rendah. Rata-rata produktivitasnya hanya 660 kg/ha, sedangkan Pantai Gading produktivitasnya sudah mencapai 1,5 ton/ha. Sehingga hal ini menyebabkan citra kakao Indonesia dinilai kurang baik di pasaran internasional. Rendahnya citra dan mutu kakao Indonesia tidak saja menimbulkan kerugian yang cukup besar di pasaran dunia terutama Amerika Serikat, tapi juga berdampak terhadap pendapatan petani dan produsen kakao. Potensi kerugian harga biji kakao Indonesia ke Amerika Serikat akibat mutu rendah sekitar US$ 301,5/ton. Jika ekspor biji kakao Indonesia ke Amerika rata-rata 130.000 ton/tahun, maka terdapat potensi kehilangan devisa sebesar US$ 39.195 juta/th atau setara dengan Rp 360,6 milyar/th. 

Sementara itu, kerugian yang diakibatkan oleh rendahnya tingkat produktivitas sekitar Rp 3,96 triliyun/th.  Tingkat produktivitas saat ini 660 kg/ha atau turun sekitar 40% dari produktivitas yang pernah dicapai yaitu sebesar 1.100 kg/ha/th. Hal ini berarti ada kehilangan hasil sebesar 198.000 ton/th atau setara dengan Rp 3,96 triliyun. Penyebab utama rendahnya produktivitas dan mutu adalah karena serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) dan penyakit Vascular Streak Dieback (VSD). Pemerintah sebenarnya sudah berupaya pengendalikan PBK dan VSD, namun karena pelaksanaannya masih bersifat parsial, maka hasilnya belum optimal. Hama PBK dan VSD masih terus berkembang di sentra-sentra produksi

kakao.  

Atas dasar itu, pemerintah mulai tahun 2009 sampai dengan 2011 akan melancarkan Gerkan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional. Pemerintah pusat, dalam hal ini Dep. Pertanian sangat serius melaksanakan gerakan ini. Kesungguhan pemerintah pusat untuk melaksanakan gerakan ini terlihat dari persiapan-persiapan dan anggaran yang disediakan. Pemerintah pusat dalam hal ini Ditjen Perkebunan bulan Desember tahun lalu telah selesai menyiapkan berbagai pedoman dan peraturan –peraturan tentang pelaksanaan gerakan. Pemerintah pusat tahun 2009 juga sudah mengalokasikan anggaran APBN senilai Rp 1 triliun. Demikian dijelaskan Dirjen Perkebunan Achmad Mangga Barani  pada acara Sosialisasi  Gerakan Peningkatan Produksi dan Whokshop kakao di Hotel Singgasana Makassar-Susel (9 /1). Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Gubernur Sulawesi Selatan, Komisi IV DPR RI, Sekmentan, Kepala Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan, Puslitkoka Jember dan stake holder kakao

Sesulawesi Selatan.

Oleh sebab itu, untuk mensukseskan Gerakan ini agar mencapai sasaran, Dirjen Perkebunan

Page 22: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

mengharapkan dukungan dan kesungguhan Pemerintah Daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten lokasi

gerakan agar serius merealisasikan mempersiapkan dan merealisasikan anggaran APBDnya..

Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasim Limpo, pada acara tersebut menyatakan akan berupaya menganggarkan dana pendamping Rp. 135 miliar yang dibutuhkan pada 2009. Pendapatan devisa Sulsel terbesar bersumber dari nikel dan kakao. Total kebutuhan anggaran rehabilitas kakao Sulsel mencapai Rp. 960 miliar dan tahun ini menerima bantuan Rp. 310 miliar dari pemerintah melalui Ditjen Perkebunan, rehabilitas kakao di Sulawesi pada tahun 2009 ditargetkan seluas 20.900 ha, peremajaan 4.300 ha,

intensifikasi 23.700 ha di 10 kabupaten se Sulsel, ‘tegas Gubernur.

Dirjen perkebunan mengatakan program Gerakan Peningkatan produksi dan mutu kakao selama 3 tahun (2009-2013) debngan total pembiayaan Rp. 13,7 triliun secara rinci seperti tabel berikut ini :

Tabel rekapitulasi pembiayaan gerakan selama 3 tahun (2009-2011) antara lain :

No. Sumber Pembiayaan Nilai

1. Pemerintah Pusat (APBN) Rp. 2.521.634,7   juta 2. Pemerintah Provinsi (APBD I)      Rp.   257.594,5   juta 3. Pemerintah Kabupaten/Kota (APBD II)     Rp.   786.482,2   juta 4. Perbankan (Revitalisasi Perkebunan) Rp.  6.716.289,3  juta     5. Swasta (sosialisasi standar mutu) Rp.        2.500    juta 6. Petani (tenaga kerja)       Rp.  3.464.989,8  juta   Total pembiayaan Rp. 13.749.490,5 juta

                                  

Dirjen mengharapkan dengan Gerakan tersebut akan diperoleh manfaat sebagai berikut :

   Meningkatkan produktivitas kakao di lokasi gerakan dari rata-rata 650kg/ha/tahun pada tahun 2009 menjadi 1.500 kg/ha/tahun;

   Meningkatkan produksi kakao di lokasi gerakan dari 297 ribu ton/tahun menjadi 675 ribu ton/tahun;

   Meningkatkan pendapatan petani di lokasi gerakan dari Rp.22.600/ha/tahun pada tahun 2009 termasuk penghasilan dari jagung menjadi Rp. 30.000/ha/tahun pada tahun 2013;

   Meningkatkan penerimaan devisa di lokasi gerakan dari US$ 494 juta pada tahun 2009 menjadi US$1.485 juta pada tahun 2013;

   Meningkatkan mutu kakao sesuai SNI sebanyak 675 ribu ton/tahun pada tahun 2013;

   Terpenuhinya kebutuhan bahan baku industry dalam negeri. Terakhir Diperbaharui ( Sunday, 08 March 2009 )

< Sebelumnya

Page 23: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

[ Kembali ]

Brosur Kaptan

Spesifikasi Kaptan

PDF

 

Kadar CaCO3 + MgCO3        91. 53 % Kadar CaO     + MgO               50. 23 %Kadar Air Saat dikemas         1.00    %Mesh 40 - 100                          82. 01 %  Berat bersih perkemasan      50      Kg

Mengapa tanah masam harus di kapur

 

Page 24: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Pada umumnya pada lahan lahan pertanian, pengukuran pH tanah secara rutin dilakukan untuk memonitor pengaruh praktek pengelolaan pertanian terhadap efisiensi penggunaan N, kelarutan Al, dan hubungannya…

Baca lebih lanjut...

Pencarian google

Statistik Pengunjung

Hari ini 60

Kemarin 131

Minggu ini 350

Bulan ini 2540

Total pengunjung 59598

Visitors Counter 1.0.2

Linkswww.Pupukdsp.com www.Pupukkaltim.com www.Luwuutara.go.id www.Pusri.co.id www.Deptan.go.id

Berita

Sekilas Pertanian

Berita Terbaru

com_googlesearc

pub-noaccount 1 GALT:#008000;G

Page 25: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Program Pembangunan Pertanian Berbasis Aspirasi Masyarakat Petani

Sekilas Perkebunan

Berita Terbaru

Indonesia bertekad tingkatkan kualitas kakao :

30/11/2010

Badan Standardisasi Nasional menyelenggarakan workshop “Meningkatkan Kualitas Ekspor Kakao dengan menggunakan Standar Nasional Indonesia” yang berlangsung di Hotel J.W. Marriot Surabaya, Selasa (30/11/2010). Acara yang dibuka oleh Kepala Badan Standardisasi Nasional, Dr. Bambang

Page 26: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Setiadi, dihadiri oleh lebih dari 120 orang peserta dari berbagai daerah di Indonesia yang merupakan pemangku kepentingan dalam komoditi kakao antara lain dari Asosiasi Kakao Indonesia, Pusat Penelitian Kakao, Pemerintah Daerah Tk. I Jawa Timur, Laboratorium Penguji serta Asosiasi Eksportir Kakao Indonesia. Sebagai pembicara tamu, hadir perwakilan dari Negara Pantai Gading, Mrs. Assovie Olga Pulchere Kouassi, untuk berbagi pengalaman tentang penanganan kakao di Pantai Gading.

Pembicara lain yang hadir dalam workshop ini adalah para pakar yang menggeluti bidang kakao yaitu: Halim, dari Asosiasi Kakao Indonesia, Dr. Soetanto Abdullah dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Syamsu Hudi, dari BPSMB Disperindag Jawa Timur, Faiz Achmad dari Direktorat Makanan, Hasil Laut dan Perikanan serta Ade Prasetyo dari PT. Perkebunan Nusantara XII. Workhop ini terbagi menjadi dua sesi dengan masing-masing moderator adalah T.A.R. Hanafiah, Deputi Bidang Penelitian dan Kerjasama Standardisasi BSN dan I Nyoman Supriyatna, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Standardisasi BSN.

Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sesuai untuk perkebunan rakyat, karena tanaman ini dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan harian atau mingguan bagi petani. Sentra penanaman budidaya kakao di Indonesia dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan Negara (PTPN) dan Swasta serta Perkebunan Rakyat. Lokasi

Page 27: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

PTPN skala besar yang diusahakan negara terletak di Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan Perkebunan rakyat terdapat terutama di Maluku, Irian Jaya, Sulawesi Utara, Sulawesi

Page 28: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Selatan, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Timur.

Page 29: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Badan Standardisasi NasionalGedung Manggala Wanabakti, Blok IV lantai 3-4. Jl. Gatot Subroto. Senayan - Jakarta 10270 - Indonesia.Telp : 021-5747043 Fax : 021-5747045. email : [email protected], website: www.bsn.go.id

Copyright © BSN 2011. All Rights Reserved.

http://www.bsn.go.id/news_detail.php?news_id=2498

Gerakan Nasional Kakao

Salam Tribun

Sabtu, 9 Januari 2010 | 22:16 WITA

GERAKAN Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional atau Gernas Pro Kakao, sejak dicanangkan pada April 2009, tidak tercapai penuh. Persentase pencapaian pada akhir tahun 2009 tercatat sebesar 86,77 persen. Target itu hanya untuk kegiatan utama program ini, yakni intensifikasi, peremajaan lahan, dan rehabilitasi.

Direktur Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Achmad Mangga Barani, mrngungkapkan di Jakarta, pekan lalu, evaluasi penyelesaian program Gernas Pro Kakao 2009 akan dilakukan pada 10 Januari 2010. Evaluasi mencakup peremajaan lahan kakao petani yang tua dan tidak produktif seluas 20.000 hektare. Untuk program itu, pemerintah telah menyediakan 20 juta benih yang berasal dari hasil pengembangan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) di Jember, Jawa Timur.Evaluasi juga menyangkut intensifikasi lahan kebun kakao 65.000 hektare. Program rehabilitasi melalui sistem sambung samping dengan klon unggul mencapai 60.000 hektare. Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi diserahkan kepada perusahaan penyedia bibit, bekerja sama dengan Puslitkoka. Sistem pendistribusian dilakukan perusahaan penyalur bibit dengan penjualan ke dinas-dinas perkebunan di daerah.Gerakan nasional tersebut dilaksanakan pada 40 kabupaten di sembilan provinsi wilayah timur Indonesia. Provinsi itu adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Untuk itu, dianggarkan dana lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 sebesar Rp 500 miliar.Pada tahun 2010, pemerintah menyiapkan tambahan dana sebesar Rp 500 miliar dalam APBN untuk melanjutkan program tersebut. Target areal diperluas di 57 kabupaten pada 15 provinsi sentra produksi kakao. Jumlah di provinsi bertambah, yakni Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat.Indonesia berpeluang merebut pasar kakao dunia. Persoalannya, hampir semua negara produsen kakao mempunyai masalah yang sama, yakni menurunnya produktivitas. Kondisi itu disebabkan oleh semakin tipisnya unsur hara tanah, serangan hama, dan turunnya kualitas lingkungan perkebunan. Pemerintah Indonesia tidak ingin kehilangan momentum dari kondisi produksi kakao dunia yang sedang menurun.

Page 30: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Untuk itu, pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp 1 triliun untuk program revitalisasi kakao pada tahun 2009. Departemen pertanian segera memulai program pengembangan perkebunan kakao rakyat berkelanjutan dan ramah lingkungan. Program tersebut akan merebut simpati konsumen dunia terhadap kakao Indonesia.Produksi kakao di Indonesia, sejak tahun 2005, meningkat rata-rata 1,37 persen. Pada tahun 2009, diperkirakan naik di atas 800.000 ton. Kebun kakao didominasi perkebunan rakyat 92 persen. Harga kakao juga menggiurkan, di atas  2.000 dolar AS per ton. Sedangkan harga di tingkat petani berkisar Rp 15.000 per kilogram.Sayang, realisasi Gernas Pro Kakao di Sulawesi Selatan tahun 2009 masih terkendala ketersediaan pupuk. Produsen tidak memproduksi pupuk berbentuk tablet dan briket. Padahal, untuk efisiensi penggunaan pupuk, diputuskan penggunaan pupuk tablet dan briket. Masalah lain yang  juga sering dikeluhkan petani adalah sertifikasi lahan.Dalam kaitan dengan berlanjutnya gerakan nasional yang  meningkatkan kesejahteraan petani, kendala di lapangan hendaknya mendapat antisipasi secepatnya. ***

Tribun Timur, Selalu yang Pertama

Ada peristiwa menarik?SMS www.tribun-timur.com di 081.625.2233email: [email protected]

Hotline SMS untuk berlangganan koran TribunTimur, Makassar (edisi cetak) : 081.625.2266.Telepon: 0411 (8115555)

(Syamsul)

Sosialisasi Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional

Written by Administrator    Monday, 12 January 2009

MAKASSAR-Mulai tahun 2009 pemerintah akan melaksanakan Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional di 9 provinsi dan di 40 kabupaten. Gerakan yang dilaksanakan sampai tahun 2011 ini bertujuan untuk mempercepat peningkatan produktivitas dan mutu kakao nasional dengan memberdayakan/melibatkan secara optimal seluruh potensi pemangku kepentingan (stakeholder) perkakoan nasional.

Page 31: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Indonesia adalah negara produsen kakao terbesar kedua di dunia setelah Pantai Gading, dengan luas areal 1.563.423 ha dan produksi 795.581 ton. Sungguhpun Indonesia dikenal sebagai negara produsen kakao terbesar di dunia, tapi produktivitas dan mutunya masih sangat rendah. Rata-rata produktivitasnya hanya 660 kg/ha, sedangkan Pantai Gading produktivitasnya sudah mencapai 1,5 ton/ha. Sehingga hal ini menyebabkan citra kakao Indonesia dinilai kurang baik di pasaran internasional. Rendahnya citra dan mutu kakao Indonesia tidak saja menimbulkan kerugian yang cukup besar di pasaran dunia terutama Amerika Serikat, tapi juga berdampak terhadap pendapatan petani dan produsen kakao. Potensi kerugian harga biji kakao Indonesia ke Amerika Serikat akibat mutu rendah sekitar US$ 301,5/ton. Jika ekspor biji kakao Indonesia ke Amerika rata-rata 130.000 ton/tahun, maka terdapat potensi kehilangan devisa sebesar US$ 39.195 juta/th atau setara dengan Rp 360,6 milyar/th. 

Sementara itu, kerugian yang diakibatkan oleh rendahnya tingkat produktivitas sekitar Rp 3,96 triliyun/th.  Tingkat produktivitas saat ini 660 kg/ha atau turun sekitar 40% dari produktivitas yang pernah dicapai yaitu sebesar 1.100 kg/ha/th. Hal ini berarti ada kehilangan hasil sebesar 198.000 ton/th atau setara dengan Rp 3,96 triliyun. Penyebab utama rendahnya produktivitas dan mutu adalah karena serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) dan penyakit Vascular Streak Dieback (VSD). Pemerintah sebenarnya sudah berupaya pengendalikan PBK dan VSD, namun karena pelaksanaannya masih bersifat parsial, maka hasilnya belum optimal. Hama PBK dan VSD masih terus berkembang di sentra-sentra produksi kakao.  

Page 32: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Atas dasar itu, pemerintah mulai tahun 2009 sampai dengan 2011 akan melancarkan Gerkan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional. Pemerintah pusat, dalam hal ini Dep. Pertanian sangat serius melaksanakan gerakan ini. Kesungguhan pemerintah pusat untuk melaksanakan gerakan ini terlihat dari persiapan-persiapan dan anggaran yang disediakan. Pemerintah pusat dalam hal ini Ditjen Perkebunan bulan Desember tahun lalu telah selesai menyiapkan berbagai pedoman dan peraturan –peraturan tentang pelaksanaan gerakan. Pemerintah pusat tahun 2009 juga sudah mengalokasikan anggaran APBN senilai Rp 1 triliun. Demikian dijelaskan Dirjen Perkebunan Achmad Mangga Barani  pada acara Sosialisasi  Gerakan Peningkatan Produksi dan Whokshop kakao di Hotel Singgasana Makassar-Susel (9 /1). Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Gubernur Sulawesi Selatan, Komisi IV DPR RI, Sekmentan, Kepala Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan, Puslitkoka Jember dan stake holder kakao Sesulawesi Selatan.

Oleh sebab itu, untuk mensukseskan Gerakan ini agar mencapai sasaran, Dirjen Perkebunan mengharapkan dukungan dan kesungguhan Pemerintah Daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten lokasi gerakan agar serius merealisasikan mempersiapkan dan merealisasikan anggaran APBDnya..

Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasim Limpo, pada acara tersebut menyatakan akan berupaya menganggarkan dana pendamping Rp. 135 miliar yang dibutuhkan pada 2009. Pendapatan devisa Sulsel terbesar bersumber dari nikel dan kakao. Total kebutuhan anggaran rehabilitas kakao Sulsel mencapai Rp. 960 miliar dan tahun ini menerima bantuan Rp. 310 miliar dari pemerintah melalui Ditjen Perkebunan, rehabilitas kakao di Sulawesi pada tahun 2009 ditargetkan seluas 20.900 ha, peremajaan 4.300 ha, intensifikasi 23.700 ha di 10 kabupaten se Sulsel, ‘tegas Gubernur.

Dirjen perkebunan mengatakan program Gerakan Peningkatan produksi dan mutu kakao selama 3 tahun (2009-2013) debngan total pembiayaan Rp. 13,7 triliun secara rinci seperti tabel berikut ini :

Tabel rekapitulasi pembiayaan gerakan selama 3 tahun (2009-2011) antara lain :

No. Sumber Pembiayaan Nilai

1. Pemerintah Pusat (APBN) Rp. 2.521.634,7   juta 2. Pemerintah Provinsi (APBD I)      Rp.   257.594,5   juta 3. Pemerintah Kabupaten/Kota (APBD II)     Rp.   786.482,2   juta 4. Perbankan (Revitalisasi Perkebunan) Rp.  6.716.289,3  juta     5. Swasta (sosialisasi standar mutu) Rp.        2.500    juta 6. Petani (tenaga kerja)       Rp.  3.464.989,8  juta

Page 33: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

  Total pembiayaan Rp. 13.749.490,5 juta                                   

Dirjen mengharapkan dengan Gerakan tersebut akan diperoleh manfaat sebagai berikut :

   Meningkatkan produktivitas kakao di lokasi gerakan dari rata-rata 650kg/ha/tahun pada tahun 2009 menjadi 1.500 kg/ha/tahun;

   Meningkatkan produksi kakao di lokasi gerakan dari 297 ribu ton/tahun menjadi 675 ribu ton/tahun;

   Meningkatkan pendapatan petani di lokasi gerakan dari Rp.22.600/ha/tahun pada tahun 2009 termasuk penghasilan dari jagung menjadi Rp. 30.000/ha/tahun pada tahun 2013;

   Meningkatkan penerimaan devisa di lokasi gerakan dari US$ 494 juta pada tahun 2009 menjadi US$1.485 juta pada tahun 2013;

   Meningkatkan mutu kakao sesuai SNI sebanyak 675 ribu ton/tahun pada tahun 2013;

   Terpenuhinya kebutuhan bahan baku industry dalam negeri.  

10 DESEMBER, HARI PERKEBUNAN Written by Administrator    Wednesday, 31 December 2008

Sebagai hasil dari Seminar Perkebunan Menjawab Tantangan Global dan Soft Lounching Buku Perkebunan Dalam Lintasan Zaman yang diselenggarakan di LPP Yogyakarta tanggal 9 Desember 2009, disepakati tanggal 10 Desember 1957 merupakan periode yang sangat penting sebagai titik berpijak berkembangnya perkebunan di Indonesia. Untuk itulah pada tanggal 10 Desember 2008 pada rangkaian Dies Natalis "INSTIPER" Yogyakarta telah dicanangkan oleh Dirjen Perkebunan Ir. Achmad Mangga Barani MM, tanggal 10 Desember sebagai "HARI PERKEBUNAN". Hari Perkebunan ini kiranya dapat diperingati setiap tahunnya oleh seluruh pemangku kepentingan perkebunan di Indonesia. Hari Perkebunan merupakan Hari Bersyukur atas limpahan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Hari Berbangga Hati atas kemampuan kinerja yang mampu dicapai, Hari Berbakti yaitu pemberian kepedulian seluruh pemangku kepentingan perkebunan kepada masyarakat Indonesia.

 

Kakao

Page 34: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Cocoa from

1981 Kakao dari

tahun 1981

Cocoa Stocks to

Use Saham Kakao

Menggunakan

Cocoa Futures Kakao Futures

Cocoa Warehouse

stocks Kakao Gudang

saham

Cocoa Recent

Spot Kakao

Terbaru Spot

Cocoa Point &

Figure Kakao Point

& Gambar

Notes & Links Catatan & Link

More Futures Lebih Futures

Cocoa from 1981 (200 day exponential average red )and Stock to Use Ratio % Kakao dari 1981 (hari rata-rata eksponensial merah 200) dan Bursa Efek Gunakan% Rasio

Page 35: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Cocoa stocks to use ratio % saham Kakao untuk menggunakan% rasio

Page 36: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Cocoa Recent (Spot) (200 day exponential average red, 50 day xaverage yellow ) 200 day ROC (rate of change) green . Recent Kakao (Spot) (200 hari rata-rata eksponensial merah, kuning xaverage 50 hari) 200 hari ROC (laju perubahan) hijau.

Page 37: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Coacoa Futures - The Blue line is a Donchian channel, red line is a 5 day exponential average, green line is a 20 day exponential

average. Coacoa Futures - Garis Biru adalah saluran Donchian, garis merah adalah rata-rata eksponensial 5 hari, jalur hijau adalah

eksponensial rata-rata 20 hari. Vertical green bars MACD (Moving average convergence divergence) 5 and 20. Vertikal bar hijau MACD (bergerak konvergensi divergensi rata-rata) 5 dan 20.

Page 38: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Cocoa Point & Figure (spot) Box = 3 Reversal = 3 Kakao Point &

Gambar (spot) Kotak = 3 Pembalikan = 3

Page 39: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Cocoa (ICE) WAREHOUSE Stocks Kakao (ICE) GUDANG Saham

Page 40: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Cocoa Notes & Links: Kakao Catatan & Link:

Page 41: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

International Cocoa Organization Organisasi Kakao Internasional

Cocoa Prices (Reuters ) Harga Kakao (Reuters )

11/08/03 Cup of cocoa may keep doctor away 11/08/03 Piala kakao dapat menyimpan dokter pergi

02/19/07 Feeding your brain: new benefits found in chocolate 02/19/07 Feeding otak Anda: manfaat baru yang ditemukan dalam coklat

________________________________________

________________________________________

9/27/10 The roots of thousands of cocoa trees in Cameroon's chief cocoa-growing locality of the South-West Region are being attacked and killed by a strange, unidentified disease, farmers in the area told Dow Jones

Newswires Sunday. 9/27/10 Akar ribuan pohon kakao di kepala kakao yang tumbuh dengan lokalitas Kamerun dari Wilayah Barat-Selatan sedang diserang dan dibunuh oleh seorang tak dikenal, penyakit aneh, petani di daerah itu

kepada Dow Jones Newswires Minggu. 9/9/10 MoM US cocoa bean imports rose 90.9% in July, but fell 13.9% YoY. 9/9/10 MoM impor biji kakao AS naik 90,9% di bulan Juli, namun turun 13,9%

YoY.

9/1/10 Kingsman cut by 32% to 3.52m tonnes its forecast for the global

sugar surplus in 2010-11. 9/1/10 Kingsman dipotong sebesar 32% menjadi 3.52m ton perkiraan untuk surplus gula global di 2010-11.

8/27/10 According to the international Cocoa organization the cocoa market faces a growing deficit as rising demand for the beans outpaces world

production. 8/27/10 Menurut organisasi Kakao pasar kakao internasional menghadapi defisit tumbuh sebagai permintaan untuk produksi kacang

outpaces dunia. World grindings are expected to increase by 143,000 to 3.632 million tons in the 2009-10 crop year. grindings Dunia diperkirakan meningkat dengan 143.000 menjadi 3.632.000 ton pada tahun panen 2009-10. This is a 3,000 ton increase on its previous quarterly forecast. Ini adalah peningkatan 3.000 ton pada kuartal perkiraan sebelumnya.

7/15/10 YoY the US cocoa grind rose 12% in Q2 to 117,657 MT 7/15/10 YoY menggiling kakao AS naik 12% di Q2 menjadi 117.657 MT

7/14/10 Cocoa hits its highest since September 1977 after data show

Page 42: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

PRODUKSI KAKAO SULTRA DITARGETKAN NAIK 35 PERSEN

Kendari, 21/4 (ANTARA) - Program gerakan nasional (Gernas) Kakao di Sulawesi Tenggara (Sultra) pada tahun 2010 direncanakan akan meningkatkan produksi kakao menjadi 180 ribu ton atau meningkat 25-35 persen dibanding produksi 2009 sebanyak 139 ribu ton.

"Peningkatan produksi kakao tersebut bisa tercapai asalkan, tiga cakupan program tersebut bisa terwujud yakni luas areal tanam, peremajaan dan rehabilitasi serta intensifikasi," kata Kadis Perkebunan dan Hortikultura Sultra, A Chaedir Nurdin di Kendari, Rabu.

Menurut Chaedir, program nasional itu bisa dicapai dengan harapan pola pembinaan dan pengembangan kepada petani kakao tetap diperhatikan terutama bantuan dana untuk program peremajaan dan intensifikasi itu sesuai dengan harapan.

Pada tahun 2009, Program Gernas Sultra mendapatkan dana sebesar Rp199 miliar atau jauh lebih kecil dibanding dengan beberapa daerah di Tanah Air seperti Sulsel dan Sulbar yang nilainya tiga kali lipat lebih besar di banding Sultra.

"Kita harapkan pada tahun 2010 ini, kucuran dana program Gernas kakao di Sultra lebih besar dari tahun sebelumnya," kata Chaedir seraya menambahkan bahwa program Gernas kakao dengan jangka waktu tiga tahun (2009-2011).

Ia mengatakan, sasaran Gernas kakao Sultra pada tahun 2009, meliputi lima kabupaten yakni Kolaka, Kolaka Utara, Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Muna. Sementara untuk 2010 dan 2011 diusulkan tambahan dua kabupaten yakni Bombana dan Konawe Utara.

Chaidir menambahkan, program Gernas yang mencakup tiga program tersebut dengan luas areal 99.900 ha yang mencakup peremajaan seluas 12.000 ha, rehabilitasi 50.000 ha dan intensifikasi seluas 37.000 ha.

Sultra sebagai salah satu penghasil kakao di tanah air hingga saat ini baru menyumbang sekitar 18-19 persen kakao dari luas areal perkebunan milik petani di daerah ini mencapai 200.043 ha.

Sementara, total produksi kakao nasional hingga saat ini mencapai 779.186 ton dari areal tanaman seluruhnya yang mencapai 1.461.889 ha atau sekitar 64 persen produksi kakao nasional atau 508.135 ton dari total produksi itu dihasilkan petani di Sulawesi.

"Memang, wilayah Sulawesi Selatan merupakan peringkat terbesar di daratan Sulawesi, kemudian Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan beberapa daerah lainnya.

Peningkatan produksi dan produktivitas kakao Sultra untuk tahun-tahun mendatang cukup

Page 43: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

berpeluang besar dengan upaya melalui perbaikan budidaya tanaman dengan tiga program yang tengah dilaksanakan yakni peremajaan tanaman tua/rusak, rehabilitasi (sambung samping) dan program intensifikasi (pemupukan dan pemeliharaan) secara berkesinambungan.

Selama ini, produktivitas kakao petani Sultra baru mencapai rata-rata 600-800 kg/ha/tahun, maka dengan program Gernas diharapkan mencapai produksi 1.500-2.000 kg/ha/tahun.

"Saya kira, dengan cakupan tiga program melalui gerakan nasional (Gernas) kakao tersebut, produktivitas kakao petani di Sultra akan bisa meningkat dua kali lipat dari yang ada saat ini," katanya.

(U.A056)LAPORAN MARKET INTELLIGENCE

PERKEMBANGAN AGRIBISNIS KAKAO DI INDONESIA 

Mei 2010

Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia hingga saat ini. Tahun 2009 produksi biji kakao mencapai 849.875 ton per tahun. Produsen terbesar kakao di dunia ditempati Pantai Gading sebesar 1,3 juta ton sementara Ghana sebanyak 750.000 ton.

Produksi ini dihasilkan dari perkebunan rakyat, perkebunan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perkebunan swasta, serta perkebunan rakyat. Luas perkebunan kakao yang dimiliki masyarakat sekitar 92,7 persen dari luas total perkebunan kakao di Indonesia pada tahun 2009 yang mencapai 1.592.982 Ha.

Sebagian besar produksi kakao dari Indonesia diekspor. Kondisi ini terjadi karena industri pengolahan kakao kurang berkembang di Indonesia. Petani kakao yang sebagian besar merupakan petani rakyat juga lebih memilih menjual kepada eksportir karena pembayarannya lebih cepat.

Biji kakao yang diekspor sebagian besar merupakan kakao yang diolah tanpa difermentasikan. Harga biji kakao tanpa fermentasi di pasar internasional jauh lebih rendah dari harga biji kakao yang difermentasikan. Selisih harga diantara keduanya sekitar Rp.2000 – 2.900 per kg.

Pemerintah pada bulan Maret 2010 mengeluarkan kebijakan tariff ekspor untuk mengurasi arus ekspor kakao dalam rangka pengembangan industi pengolahan di dalam negeri.

Page 44: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Kebijakan lainnya adalah penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI untuk biji kakao dan kakao bubuk yang juga dikeluarkan pada tahun 2010 ini.

Produk

Kakao merupakan salah satu komoditi perkebunan yang dihasilkan Indonesia. Produk-produk kakao meliputi biji kakao, kulit sekam dan sisa, pasta kakao, lemak kakao dan bubuk kakao atau dalam kode HS mulai dari 1801.00.00.00 sampai 1505.00.00.00.

Biji kakao merupakan produk hulu yang dihasilkan oleh perkebunan kakao di Indonesia. Sementara itu, liquor, mentega, butter, serta bubuk kakao merupakan produk antara atau setengah jadi yang digunakan sebagai bahan baku oleh industri hilir seperti cokelat makanan, permen yang mengandung cokelat, susu cokelat, dsb.

Cocoa liquor merupakan biji kakao yang telah digiling halus dan hasilnya seperti bubur halus dari biji cokelat yang bercampur dengan lemak cokelat. Adapun cocoa liquor yang dipres hingga kering dan mampu memisahkan kandungan lemaknya, lalu dikeringkan dan digiling kembali hingga menghasilkan bubuk cokelat (cocoa powder). 

Sementara cocoa butter yang berharga paling mahal merupakan lemak cokelat hasil ekstraksi cocoa liquor dari pembentukan bubuk cokelat. Cocoa butter sering kali digunakan sebagai campuran pembuatan permen cokelat dan bahan baku kosmetik seperti lipstik.

Pertumbuhan  luas lahan lambat 

Luas perkebunan kakao di Indonesia terus meningkat sepanjang 5 tahun terakhir.  Pada tahun 2007 luas perkebunan kakao di Indonesia mencapai 1379279 Ha. Luas perkebunan ini mengalami pertumbuhan sebesar 6.8 persen menjadi 1473259 Ha. Luas perkebunan kakao kembali bertambah menjadi 1592982 Ha atau tumbuh 8.1 persen pada tahun berikutnya. Secara rata-rata pertumbuhan luas perkebunan kakao di Indonesia dari tahun 2006 hingga tahun 2009 adalah 8.1 persen.

Perkebunan kakao di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat yakni perkebunan yang dimiliki masyarakat. Kepemilikan perkebunan ini rata-rata per petani sangat kecil yakni 1 Ha per petani. Luas perkebunan kakao yang dimiliki masyarakat sekitar 92,7 persen dari luas total perkebunan kakao di Indonesia pada tahun 2009 yang mencapai 1.592.982 Ha.

Page 45: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Beberapa wilayah pengembangan lahan perkebunan kakao di Indonesia yang potensial adalah di Kaltim, Sulteng, Sultra, Maluku, dan Papua dengan luas sekitar 6 juta Ha.

Jenis tanaman kakao yang diusahakan di Indonesia sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Disamping itu, juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar milik negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Beberapa program terkait pengembangan perkebunan kakao yang dicananangkan pemerintah adalah peremajaan perkebunan seluas 70 ribu Ha, rehabilitasi 235 ribu hektare lahan kakao, intensifikasi pada 145 ribu hektare lahan, serta dan pengendalian hama pada 450 ribu hektare lahan kakao dalam tiga tahun sejak 2009 hingga 2011. Pemerintah menitikberatkan peningkatan kapasitas produksi kakao di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Bali, Maluku dan Papua.

Sulawesi miliki perkebunan terluas

Perkebunan kakao di Indonesia sebagian besar terletak di Pulau Sulawesi. Luas perkebunan ini sekitar 953691 Ha atau 60 persen dari seluruh perkebunan kakao di Indonesia. Wilayah terbesar kedua adalah di Pulau Sumatera yakni sekitar 18 persen dengan luas mencapai 300461 Ha. 

Pulau Jawa dan Maluku& Papua masing-masing memiliki sekitar 6 persen perkebunan kakao. Sementara sisanya terletak di Nusa Tenggara sekitar 5 persen dan Kalimantan sekitar 3,5 persen.

Produksi biji cenderung meningkat

Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di samping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Karakter kakao produksi Indonesia adalah tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending dan bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana.

Namun sebagaian besar biji kakao yang diproduksi Indonesia merupakan biji kakao yang diproses tanpa fermentasi. Baru sekitar 10 persen saja jumlah produksi kakao yang melalui proses fermentasi.

Keengganan petani melakukan fermentasi pada biji kakao ini disebabkan kesulitan yang dialami pada saat akan menjual biji kakao tersebut.

Page 46: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Pengumpul kakao selama ini lebih senang membeli kakao tanpa fermentasi. Para peungumpul ini bahkan berani membayar kakao sebelum masa panen (sistem ijon). Para petani yang sebagian besar merupakan petani subsisten menyukai metode ini karena mampu memberikan arus kas yang cepat.

Tren produksi sejak tahun 2005 meningkat. Peningkatan produksi terjadi hampir pada setiap tahun sejak tahun 2005 hingga 2009. Secara rata-rata pertumbuhan produksi kakao adalah sebesar 3,3 persen. Tercatat hanya pada tahun 2007 saja yang mengalami penurunan. Produksi tahun 2007 sebesar 740006 ton melemah 3,8 persen dari tahun 2006 yang mencapai 769386 ton. 

Penurunan produksi ini salah satunya disebabkan melemahnya produksi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang menyumbang hingga 60 persen produksi nasional. ....

Minggu, 11 Oktober 2009

Transisi Kapital Di Sulawesi Tengah (1) : Pengalaman Industri Perkebunan Kelapa SawitPengalaman Industri Perkebunan Kelapa SawitArianto Sangaji

artikel Bagian 2, bagian 3

sebelumnya telah diterbitkan di indoprogress.blogspot.com

INFORMASI tentang pola-pola ekonomi di wilayah Sulawesi Tengah dalam beberapa abad terakhir dapat diperoleh dari buku geographer David Henley (2005), Fertility, Food, and Fever: Population, economy and environment in North and Central Sulawesi, 1600 – 1930. Dari sini bisa dilihat bagaimana sistem pertanian subsisten berbasis perladangan (swidden-farming) ditemukan di hampir semua wilayah Sulawesi Tengah, dengan tanaman utama padi ladang dan jagung. Tidak diketahui, sejak kapan padi mulai diintroduksi di Sulawesi Tengah, tetapi tanaman padi dalam skala besar telah dilakukan oleh To Bungku (di Kabupaten Morowali saat ini) pada 1540an. Di luar jagung dan beras, sagu adalah makanan pokok di wilayah ini. Sebuah laporan Belanda (1670) menyebut bahwa Orang Tolitoli dan Buol adalah pemakan sagu dan tidak memiliki padi. Selain kedua daerah itu, penduduk di kepulauan Togean dan sebagian To Bungku menjadikan sagu sebagai makanan pokok (Henley, 2005:54-62).

Seperti disimpulkan Henley (2005) meskipun kegiatan-kegiatan ekonomi itu bersifat pemenuhan kebutuhan subsisten, tetapi juga ditemukan penduduk memproduksi aneka barang pada masa-masa senggang. Barang-barang itu seperti tekstil, bahan galian, dan hasil hutan bahkan diperdagangkan, tetapi umumnya melalui barter, atau dengan tingkat monetisasi yang sangat rendah dan pasar yang kurang teratur.

Page 47: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Di tengah kekosongan studi tentang pertumbuhan kapitalisme dengan skala regional di daerah ini, dua buah studi dari dua antropolog ekonomi menyumbang sangat penting mengenai bagaimana hubungan-hubungan produksi kapitalis mulai menemukan bentuknya dalam sistem pertanian dan perkebunan berbasis rakyat. Yang pertama, studi Schrauwers (1998, 2000), yang memperlihatkan sebuah sistem ekonomi berwatak komunal berbasis perladangan oleh suku-suku bangsa pribumi pengayau di dataran tinggi Sulawesi Tengah mulai mengalami perubahan ketika di bawah Politik Etis, Belanda menancapkan kakinya di daerah ini (1905), didahului dengan ekspedisi militer yang mematikan dan berdarah-darah di wilayah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali (Schrauwers, 2000; Henley, 2005). Belanda memaksa penduduk setempat untuk mengadopsi sistem pertanian menetap berbasis padi sawah sejak 1908 di sekitar Danau Poso, termasuk dengan mengirim sejumlah petani untuk mempelajari teknologi pembajakan sawah dari orang Bali di Parigi (saat ini Kabupaten Parimo) pada tahun 1920an, lokasi di mana komunitas buangan politik asal Bali berada (Davis, 1976:111-121). Proses ini menyumbang dua hal penting, yakni tumbuhnya gagasan tentang hak milik individu (individual property right) dan tersedianya surplus produksi (beras) untuk diperjualbelikan oleh petani produsen. Dalam studinya di sebuah desa, yang pernah menjadi Desa Teladan tingkat Propinsi Sulawesi Tengah di masa Orde Baru, di sekitar Danau Poso, Tentena, Schrauwers (1998) melihat transformasi tersebut berlangsung tidak diikuti dengan komoditisasi tenaga kerja yang mencolok. Di masa itu (Belanda) pengenalan sistem pertanian baru padi sawah tetap menggunakan model penggunaan tenaga kerja tanpa upah di bawah prinsip saling membantu (labour exchange) secara bergilir yang diadopsi dari sistem perladangan. Sistem itu terus-menerus mengalami perubahan hingga masa Orde baru, ketika pemerintah memperkenalkan revolusi hijau (green revolution), tetapi prinsip dasar labour exchange tetap saja bekerja dengan tingkat artikulasi yang berbeda dari masa ke masa. Meskipun demikian, komoditisasi tenaga kerja di dalam pertanian berbasis padi sawah juga mulai tumbuh, terutama sejak diperkenalkan oleh pedagang-pedagang keturunan China sejak 1930s (Schrauwers, 2000:111).

Sulawesi Tengah, daerah di mana program transmigrasi berlangsung besar-besaran, dengan penempatan sebanyak 84.071 KK transmigran (umum dan swakarsa) sejak pra Pelita hingga 2004 (BPS Sulteng, 2004), sukses pertanian berbasis sawah menjadi contoh menonjol bagaimana proses-proses pembentukan kelas di pedesaaan berlangsung. Tolai di Kabupaten Parigi Moutong dan Toili di Kabupaten Banggai adalah contoh itu, di mana sukses sebagai lumbung padi di propinsi Sulawesi Tengah juga berjalan seiring dengan proses proletarisasi, di mana akumulasi tanah di sebagian petani melalui mekanisme jual beli dan praktik tengkulak telah melahirkan sejumlah petani tak bertanah, yang kemudian masuk ke dalam pasar tenaga kerja dalam ekonomi pertanian pedesaan. Sebagian memilih bermigrasi ke daerah-daerah baru di mana informasi tentang potensi pertanian masih tersedia luas. Desa Meko di Kecamatan Pamona Barat Kabupaten Poso adalah salah satu contoh, di mana para petani eks transmigran Tolai asal Bali yang tidak memiliki lahan berpindah untuk perburuan lahan sejak pertengahan 1990an. Desa Meko sendiri, yang merupakan salah satu lumbung beras dan kakao di sekitar Danau Poso, adalah contoh nyata dari lapangan bagaimana proses-proses pembentukan kelas sedang berlangsung, di mana terjadi akumulasi lahan di tangan segelintir orang di tengah sekitar 200 KK tidak punya lahan pertanian. Keadaan ini merupakan kombinasi yang kompleks antara pengungsian penduduk karena konflik kekerasan Poso, praktek-praktek tengkulak, dan pencaplokan-pencaplokan tanah oleh tuan-tuan tanah atau kekuatan yang berpengaruh di desa.

Page 48: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Sebuah pemandangan yang kurang lebih sama dapat dilihat dalam perekonomian berbasis tanaman kakao. Tanaman ini adalah contoh lain bagaimana sifat-sifat kapitalisme dalam ekonomi pedesaan berbasis perkebunan rakyat yang meluas tengah mencari bentuk, terutama dalam belasan tahun terakhir ini, ketika kebutuhan pasar global atas komoditi ini meningkat pesat. Penanaman kakao mengalami ekspansi yang luar biasa di mana tanah-tanah pertanian berbasis sawah dan ladang serta hutan-hutan sekunder telah dikonversi secara besar-besaran untuk tanaman ini, dipicu lonjakan tajam harga kakao terutama sejak krisis moneter 1997/98. Statistik resmi pemerintah menunjuk produksi kakao di propinsi ini lompat jauh dari 177 ton (1988) menjadi 99.857 ton (2000) dan 128.324 ton (2004) (Kantor Statistik Provinsi Sulawesi Tengah 1987:295;BPS Propinsi Sulawesi Tengah 2005:263). Pada tahun 2002, realisasi ekspor kakao Sulawesi Tengah mencapai 88.270 ton dengan perolehan devisa USD 119,21 juta atau 89,06 persen dari total perolehan devisa ekspor Sulawesi Tengah dalam tahun yang sama, yakni senilai USD 133,84 juta (Radar Sulteng, 30 Januari 2003). Dalam sensus pertanian 2003, banyaknya rumah tangga usaha perkebunan (terpilih) dalam perkebunan kakao di propinsi ini mencapai 184.733 KK (Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah, 2005:63). Apa yang terjadi dengan signifikansi perkembangan ini adalah semakin menguatnya hak-hak kepemilikan individual atas tanah ketika bekas-bekas ladang yang diolah secara bergilir dan hutan-hutan alam di mana terdapat beragam klaim adat dikonversi menjadi kebun-kebun kakao. Proses ini, yang digarisbawahi oleh antropolog ekonomi, Li (2007:103-9), telah mendorong proses komoditisasi tanah berjalan kencang, di mana praktek-praktek jual beli tanah marak terjadi, yang kemudian di antaranya menimbulkan akumulasi tanah di tangan segelintir orang dan mendepak sebagian lain menjadi petani tidak bertanah. Seperti juga dalam pertanian berbasis sawah, pertumbuhan perkebunan rakyat kakao untuk pasar global memicu pasar tanah tumbuh laju, tetapi ini tidak diikuti dengan semakin mendalamnya hubungan-hubungan produksi kapitalis, di mana kelas buruh tani yang terbentuk mengalami tingkat komoditisasi yang rendah. Seperti juga dalam pertanian berbasis sawah, ruang lingkup ekonomi berskala kecil dalam perkebunan rakyat kakao, menjadi salah satu faktor penghambat tumbuhnya lapisan buruh upahan yang menonjol dan berarti.

Situasi ini jauh berbeda ketika industrialisasi di sektor pertanian/perkebunan yang merambah wilayah ini sejak sekitar 20 tahun lalu. Pertumbuhan industri berskala besar dalam perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah menimbulkan dampak yang tidak pernah terjadi sebelumnya di wilayah ini dilihat dari proses-proses pembentukan kelas, di mana pemisahan penduduk dari alat produksi, proses pembentukan tenaga kerja, dan konsentrasi kepemilikan tanah terjadi. Pertumbuhan industri kelapa sawit menandakan suatu era paling maju dari transisi kapitalisme berbasis sumber daya alam di wilayah pedesaan Sulawesi Tengah, di mana tanah dan buruh mengalami komoditisasi sedemikian maju dibanding masa-masa sebelumnya terhitung sejak sekitar 100 tahun lalu, ketika Belanda mulai mengontrol wilayah ini secara langsung.

Industri Perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah

Konteks

Indonesia saat ini menjadi negeri kunci dalam industri perkebunan kelapa sawit di dunia. Bersama-sama dengan Malaysia, Indonesia menjadi penyumbang terbesar, yakni 85 % dari total out put minyak kelapa sawit secara global (Carter, et.al., 2007). Tentu saja hal ini dicapai setelah

Page 49: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

luas areal perkebunan kelapa sawit di negeri ini meningkat pesat dari 600.000 hektar pada tahun 1985 menjadi 7,9 juta hektar pada tahun 2008 dan berambisi untuk mencapai 10 juta hektar pada tahun 2020 (Gelder, 20004; The Star, 2009). Pada tahun 2007, Indonesia adalah negara paling luas areal perkebunan kelapa sawit yang sudah dewasa (mature) di dunia, yakni mencapai 4,87 juta hektar atau hampir 45 persen dari keseluruhan dunia. Sementara produksi crude palm oil (CPO) meningkat dari 167.669 ton (1967) menjadi 18,8 juta ton (2008) dan berambisi mencapai 40 juta ton (2020) (The Star, 2009). Sebagian besar dari produksi CPO Indonesia adalah untuk pasar internasional, di mana pada tahun 2008, volume ekspornya 12, 5 juta ton (menurun dibanding 13, 4 juta ton pada tahun 2007). Tahun 2008, ekspor dengan tujuan Uni Eropa mencapai 3 juta ton dan India sebagai pasar terbesar lebih dari 5 juta ton (Indonesian Commercial Newsletter, 2008; Bisnis Indonesia, 2009; Kontan, 2009).

Kemajuan tersebut merupakan buah dari proses evolusi pertumbuhan industri perkebunan kelapa sawit sejak masa Orde Baru dari industri yang berbasis pada perusahaan-perusahaan milik negara menuju industri yang sepenuhnya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta. Seperti ditunjukkan oleh Larson (1996), sampai dengan tahun 1992, produksi kelapa sawit didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik negara. Tetapi, seperti yang kita lihat hari ini, pemain utama dalam industri ini adalah perusahaan-perusahaan swasta. Angka statistik BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1980, ketika luas perkebunan rakyat seluas 6.370 hektar dan perkebunan besar swasta 83.963 hektar, luas perkebunan kelapa sawit yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan besar negara mencapai 199.194 hektar. Tetapi, lebih dari 20 tahun kemudian, yakni pada tahun 2006, ketika luas perkebunan rakyat mencapai 2.120.338 hektar dan perkebunan besar swasta 3.141.802 hektar, justru luas perkebunan besar milik negara hanya 696.699 hektar (dikutip oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, N.D.). Itu setelah kebijakan-kebijakan berwatak neoliberal yang diperkenalkan oleh pemerintah melalui konsep ‘kebun inti dan plasma’ (nucleus estate and smallholder), subsidi suku bunga yang rendah dari bank-bank pemerintah kepada perusahaan-perusahaan swasta, pengurangan pajak-pajak ekspor secara progresif terhadap CPO dan produk lainnya, alokasi lahan yang luas untuk perusahaan perkebunan, dan membuka pintu selebar-lebarnya investasi asing di sektor ini (Casson, 2002:244-6; Larson, 1996; Colchester, et.al., N.D.).

Perkembangan yang luar biasa ini juga sangat terkait dengan sukses minyak kelapa sawit dalam perdagangan secara global. Menurut Carter, et.al., (2007) ada dua faktor di balik sukses perdagangan minyak sawit di tingkat global, yakni, minyak kelapa sawit memiliki harga yang lebih rendah dibanding produk minyak nabati lain dan minyak kelapa sawit cenderung dapat diproduksi dengan biaya murah dibanding minyak yang lain. Khusus dari sisi produksi, pada tahun 2004/2005, biaya produksi minyak kelapa sawit adalah paling kompetitif, yakni rata-rata adalah $ 100 per ton lebih rendah dari pada minyak nabati lainnya. Dan kunci yang menentukan di balik biaya produksi yang kompetitif dalam industri perkebunan kelapa sawit adalah ongkos buruh yang murah dan akses terhadap lahan yang mudah. Sumber buruh murah adalah buah dari kebijakan pemerintah di bidang transmigrasi – termasuk model PIR-Trans, sebuah proyek transmigrasi semi swasta (Levang, 2003:229-233) – yang menyediakan tenaga kerja yang melimpah ruah. Sumber lain, tentu saja, bekas-bekas petani yang masuk dalam pasar tenaga kerja baik karena kehilangan tanah menyusul kehadiran industri ini maupun transfer kepemilikan tanah dengan alasan-alasan lain beragam.

Page 50: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Tetapi, industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia bersifat oligopoli. Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (N.D.), sifat ini terlihat struktur pasarnya, yang dikuasai oleh perusahaan swasta besar, dengan penguasaan 52,73 persen total lahan yang diusahakan untuk perkebunan, di mana 5 pelaku swasta utama, yakni Raja Garuda Mas, Wilmar Group, Guthrie Group, Sinar Mas, dan Astra Agro Lestari. Struktur pasar yang oligopolistik juga terjadi dalam usaha pengolahan hasil perekebunan sawit (tandan buah segar [TBS] kelapa sawit), di mana 75 persen (18.268 ton TBS/jam) dari total kapasitas produksi pengolahan CPO (24.268 ton TBS/jam) terkonsentrasi di tangan perusahaan perkebunan swasta besar dan perkebunan negara. Kendati perkebunan rakyat menyumbang cukup besar terhadap perkebunan sawit secara nasional seperti telah ditunjukkan, struktur oligopolistik di industri pengolahan kelapa sawit menyebabkan tingkat ketergantungan mereka terhadap industri pengolahan sawit sangat tinggi, di mana keseimbangan pasar dikendalikan oleh permintaan (pengusaha pengolahan TBS sawit) dari pada sisi penawaran (pekebun sebagai produsen TBS).

Sejak 1980an, pemerintah telah menerapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat saling menguntungkan antara perusahaan besar swasta dan negara dengan para petani. Salah satu di antaranya adalah model perkebunan inti rakyat-transmigrasi (PIR-Trans) diperkenalkan oleh pemerintah di bawah dukungan Bank Dunia sejak 1980an. Dasar legal pola ini adalah Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan Dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan Dengan Program Transmigrasi. Dalam model ini perusahaan inti punya keharusan menyiapkan lahan kebun sawit bagi rakyat atau (petani) plasma. Setelah sekitar 4 tahun sejak penanaman (awal produksi), perusahaan mengalihkan pengelolaan kepada para petani tetapi tetap di bawah pengawasan perusahaan, dan para petani plasma punya keharusan menjual hasil produksi kepada perusahaan. Yang kedua adalah model Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA), di mana fihak perbankan memberikan kredit modal kerja (KMK) kepada para petani sawit melalui koperasi primer KUD. Dalam pola ini perusahaan inti selain membangun kebun inti juga membangun kebun milik petani di atas tanah-tanah milik para petani. Skema KKPA ini didasarkan kepada keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil nomor 73/Kpts/OT.210/2/98 01/SKB/M/II/1998. Perkembangan terbaru setelah keluarnya UU No.18/2004, perusahaan perkebunan punya keharusan mengembangkan kemitraan termasuk dengan masyarakat sekitar. Secara tehnisnya, seperti tertuang dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Pertanian No.26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan menyebutkan bahwa perusahaan perkebunan dengan luas areal lebih dari 25 hektar memiliki kewajiban membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal perkebunan yang diusahakan oleh perusahaan, baik melalui pola kredit, hibah atau bagi hasil yang dilakukan bersamaan dengan pembangunan kebun yang diusahakan oleh perusahaan.

Kendati terdapat berbagai model praktik yang bersifat kemitraan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat sekitar, tetapi masyarakat atau petani selalu saja dirugikan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (N.D.) menyimpulkan bahwa kemitraan dengan pola PIR yang selama ini terjadi menunjukkan posisi tawar pekebun (petani) tidak sebanding dengan perusahaan inti. Pekebun plasma selalu dirugikan dalam hal timbangan, rendemen, dan atau harga. Pola kemitraan yang demikian berpotensi mengakibatkan praktik monopsoni dan atau perjanjian tertutup yang dilarang UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Page 51: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Perkembangan investasi swasta dalam industri perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah yang sudah dimulai sekitar 20 tahun lalu dan ekspansi yang dilakukan dalam dua tahun terakhir tentu saja merupakan bagian dari dinamka perkembangan tersebut. Secara historis, para pemain yang terlibat adalah perusahaan-perusahaan kapitalis berskala besar terutama bagian dari konglomerasi yang beroperasi di Indonesia yang memiliki hubungan dengan oligarki politik Orde Baru. Aliansi bisnis, merger, dan akuisisi sebagai respon terhadap krisis ekonomi memungkinkan proses akumulasi di sektor ini terus-menerus berputar.

Yang paling pertama kehadirannya adalah PT. Tamaco Graha Krida (TGK) di Kabupaten Poso (sekarang dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali). PT. TGK mengelola perkebunan kelapa sawit seluas lebih dari 10.000 hektar (4.266 hektar kebun inti dan 6.000 kebun plasma) di Kecamatan Petasia, Kecamatan Witaponda, dan Kecamatan Bungku Barat. Perusahaan juga memiliki sebuah pabrik CPO di Desa Ungkaya. Sejarahnya, perusahaan ini adalah anak perusahaan di bawah Salim Grup, milik keluarga Liem Sio Liong, konglomerat yang sangat dekat dengan bekas Presiden Suharto (Schwarz, 1999:109-115). Tetapi sejak tahun 2000 perusahaan jatuh ke tangan Kumpulan Guthrie (Malaysia) melalai PT. Minamas Plantation, menyusul pembelian oleh Kumpulan Guthrie atas 25 perusahaan-perusahaan perkebunan bekas milik Salim Grup seluas areal 250.000 dengan nilai USD 350 juta. Pembelian itu sendiri dilakukan melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), di mana sebelumnya aset-aset milik Salim Grup diserahkan ke BPPN sebagai bagian dari pembayaran hutang kepada pemerintah menyusul krisis ekonomi 1997/98 (the Jakarta Post, 2000). Tetapi, sejak 2007, tiga perusahaan raksasa Malaysia, Kumpulan Guthrie Berhad, Golden Hope Plantation Berhad, dan Kumpulan Sime Darby Berhad melakukan merger dan beroperasi di bawah nama hukum baru Sime Darby, sehingga kemudian menjadi salah satu perusahaan multinasional berbasis Malaysia yang sangat kuat, beroperasi di 20 negara, dengan inti bisnis perkebunan, properti, motor, industri, energi, dan pelayanan kesehatan. Saat ini divisi perkebunan dari grup perusahaan ini menguasai 531.299 hektar areal perkebunan kelapa sawit yang telah ditanami, di antaranya 202.196 hektar di Indonesia, dan sisanya di Malaysia. Total produksi CPO perusahaan ini pertahun sebanyak 2.413.246 ton, dengan produksi dari Indonesia 843.853 ton dan sisanya dari produksi Malaysia. Sementara total produksi palm kernel adalah 549.981 ton di mana produksi Indonesia adalah 165.928 ton dan sisanya diproduksi di Malaysia (Sime Darby Berhad, 2008).

Perusahaan lain yang juga sudah beroperasi sejak belasan tahun lalu adalah PT. Hartati Inti Plantation (HIP) dari grup PT. Central Cipta Murdaya (CCM), sebuah grup perusahaan yang membawahi lebih dari 50 perusahaan yang bergerak di bidang produk logam, konstruksi, kehutanan, kayu, tekstil, dan perkebunan (Eva Martha Rahayu, 2006). Perusahaan milik konglomerat pasangan suami-istri Siti Hartati Tjakra dan Murdaya Widyamirta Poo yang beroperasi di Kabupaten Buol Tolitoli (telah dimekarkan menjadi Kabupaten Buol) kini memiliki areal perkebunan kelapa sawit yang telah ditanami mencapai 12.000 hektar di wilayah Kecamatan Bukal, Kecamatan Bokat, Kecamatan Momunu dan Kecamatan Tiloan dan sebuah pabrik CPO dengan kapasitas produksi 70.000 ton pertahun di kompleks perkebunannya itu.

Sejak pertengahan 1990an, PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) telah mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Banggai. Saat ini areal perkebunannya diperkirakan sudah mencapai 12.000 hektar. Perusahaan ini juga memiliki pabrik CPO dengan kapasitas produksi 3.000 ton perbulan. Perusahaan juga sedang merencanakan pembangunan pabrik CPO di Mentawa,

Page 52: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Kecamatan Toili Barat pada tahun 2010. Pabrik baru tersebut diharapkan mengolah 90 ton tandan buah segar (TBS) perjam. Perusahaan juga sedang mengembangkan areal perkebunan sawit di Daerah Mamosalato dan Baturube, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah masing-masing seluas 4.000 hektar, sedangkan di daerah Mentawa, Toili Utara, Kabupaten Banggai seluas 10.000 hektar. Pemilik perusahaan ini adalah Murad Husain, pengusaha daerah di Sulteng, bekas bendahara Dewan Pimpinan Daerah Golkar Sulawesi Tengah, yang pernah menukarkan uang pribadinya sebanyak USD 5 juta dengan kurs Rp 5.000, mengikuti anjuran Presiden Suharto ketika krisis ekonomi menyerang Indonesia pada tahun 1997/98.

Perusahaan lain yang sudah beroperasi bertahun-tahun adalah PT. Perkebunan Negara (PTPN) XIV dengan areal perkebunan kelapa sawit seluas 6.000 hektar di Kecamatan Mori Atas. Berbeda dengan ketiga perusahaan sebelumnya di mana pabrik CPO dibangun di areal sekitar lokasi perkebunan sawit, PTPN XIV sampai hari ini tidak memiliki pabrik CPO di wilayah perkebunan itu dan hanya mengangkut hasil panennya sejauh lebih dari 100 kilometer ke Kecamatan Sukamaju Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan, di mana perusahaan memiliki areal perkebunan sawit dan pabrik CPO.

Di luar perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah berproduksi, saat ini Sulawesi Tengah juga sudah diserbu oleh salah satu raksasa di bidang industri perkebunan kelapa sawit Indonesia, yakni PT. Astra Agro Lestari, Tbk. (AAL), yang 79.68 persen sahamnya dikuasai oleh PT. Astra International Tbk., salah satu raksasa pohon bisnis di Indonesia yang bergerak di bidang otomotif, keuangan, peralatan berat, pertambangan dan energi, agrobisnis, informasi teknologi dan infrastruktur. Saat ini, PT. AAL mengelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia seluas 250.883 hektar (inti 193.709 hektar dan plasma 57.174 hektar). Tahun 2008, produksi CPO perusahaan mencapai 981.538 ton dan memperoleh laba bersih Rp. 2,6 triliun (PT. Astra Agro Lestari, Tbk. 2008; PT.Astra International, Tbk., 2008). Setelah sukses ‘mensawitkan’ Sulawesi Selatan (kini Sulawesi Barat) sejak 1990an di wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah melalui anak-anak perusahaannya (PT. Letawa, PT.Suryaraya Lestari, PT.Pasangkayu, PT.Mamuang, PT. Badhra Sukses), AAL telah merambah Sulawesi Tengah. Dimulai dengan PT. Lestari Tani Teladan (LTT) yang beroperasi dekat dengan anak-anak perusahaan AAL lain di Sulawesi Barat, kini Kabupaten Morowali dan Kabupaten Poso, dua daerah di mana konflik kekerasan bermasker agama dan suku pernah terjadi sejak 1998 hingga 2007, menjadi sasaran utama perusahaan ini. Anak-anak perusahaan AAL yang tercatat sudah mulai aktivitasnya adalah (1) PT.Agro Nusa Abadi (ANA) di wilayah Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali dan Kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso dengan areal seluas 19.675 hektar; (2) PT. Sawit Jaya Abadi (SJA) di Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali dengan areal seluas 18.273 hektar; (3) PT. Cipta Agro Nusantara (CAN) di Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali dengan areal seluas 10.013,5 hektar; (4) PT. Rimbunan Alam Sentosa (RAS) di Kecamatan Mori Atas dengan areal seluas 21.289 hektar. Di luar itu, masih ada PT. Sawit Indonesia (SI) yang sebelumnya sudah memperoleh areal seluas 13.127 hektar di Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali dan PT. Surya Cemerlang Permai (SCP). Dengan ekspansi ke Sulawesi Tengah, PT. AAL, Tbk., akan melipat-gandakan posisinya sebagai salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia.

Raksasa lain yang melakukan ekspansi ke daerah ini adalah perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit di bawah bendera Sinar Mas Group, sebuah kerajaan bisnis yang di masa Orde Baru

Page 53: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

memiliki beberapa usaha bisnis berhubungan dengan keluarga besar Suharto, yang dikuasai keluarga konglomerat Eka Tjipta Widjaja (Oei Ek Tjhong) (Aditjondro, 2006). Di bidang perkebunan perusahaan saat ini beroperasi melalu Golden Agri-Resources Ltd., perusahaan perkebunan kelapa sawit terintegrasi terbesar kedua di dunia yang berbasis di Singapura, dengan pendapatan bersih USD 1,4 miliar pada tahun 2008. Perusahaan memiliki puluhan perusahaan perkebunan kelapa sawit, pabrik pemrosesan CPO dan PK, hingga pabrik penyulingan CPO untuk barang-barang konsumsi dan industri seperti minyak goreng dan margarin. Di negeri ini, pada tahun 2008, perusahaan menguasai 392.000 hektar perkebunan kelapa sawit dan memproduksi CPO sebanyak 1.689.982 ton dan palm kernel 382.721 ton pertahun (Golden Agri-Resources, Ltd., 2008). Pada tahun 2008, Seperti juga anak-anak perusahaan PT. AAL Tbk., Sinar Mas Group juga menjadikan Kabupaten Morowali sebagai target utama ekspansinya. Perusahaan-perusahaan di grup ini yang sudah mengantongi izin lokasi hingga Mei 2009 meliputi (1) PT. Niaga Internusa dengan luas areal 17.000 hektar di Kecamatan Lembo; (2) PT. Kirana Sinar Gemilang dengan areal seluas 16.645 hektar di Kecamatan Lembo; (3) PT. Bahana Karya Semesta dengan areal seluas 9.253 hektar di Kecamatan Mori Atas; (4) PT. Nusamas Griya Lestari dengan areal seluas 20.000 hektar di Kecamatan Mori Atas; (5) PT. Primatama Kreasimas dengan areal seluas 9.224 hektar di Kecamatan Petasia dan 6.889 hektar di Kecamatan Soyo Jaya; (6) PT. Bahana Karya Semesta dengan areal seluas 10.420 hektar di Kecamatan Bumi Raya dan Kecamatan Witaponda.

Di luar itu, berkenaan dengan pelaksanaan Kota Terpadu Mandiri (KTM), sebuah program antar departemen dari pemerintah pusat untuk menyulap sebuah wilayah terkebelakang menjadi sebuah kota ‘baru dan modern’, di mana KTM Air Terang di Kabupaten Buol adalah salah satu diantaranya, dua perusahaan perkebunan kelapa sawit hendak hadir di wilayah itu menyusul PT.HIP yang sudah ada sebelumnya. Keduanya adalah PT. Buana Makmur Lestari yang memiliki rencana untuk membuka perkebunan kelapa sawit seluas 30.000 hektar (12.000 hektar kebun inti dan 18.000 hektar kebun plasma). Perusahaan lain bernaung di bawah bendera PT. Hadji Kalla Group yang akan berinvestasi di areal seluas 20.600 hektar. Untuk program ini, pemerintah juga sejak 2008 hingga 2011 hendak menempatkan 1.500 KK transmigran di areal sekitar 7.000 hektar.

Ada beberapa masalah menonjol telah dan akan muncul berkenaan dengan alokasi lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang memang rakus tanah. Pertama, penyerobotan lahan antar perusahaan tidak bisa dihindari menyusul ekspansi besar-besaran perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit itu. Di Desa Peleru Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali, areal seluas 24, 6101 hektar yang dikuasai PT. Nusamas Griya Lestari diserobot oleh PT. Rimbunan Alam Sentosa. Hal yang sama juga dialami oleh PT. Primatama Kreasimas, di mana lahannya seluas 366.3071 hektar di Desa Tontowea Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali telah diserobot oleh PT. Sawit Jaya Abadi. Kedua, nafsu besar pemerintah daerah untuk mengonversi hutan alam menjadi ‘hutan sawit.’ Ini sudah ditunjukkan oleh pemerintah daerah (Pemda) Morowali, di mana hingga Mei 2009, Pemda setempat telah menerbitkan 14 izin lokasi untuk perkebunan kelapa sawit. Bahkan usulan Bupati Morowali ke Gubernur Sulawesi Tengah untuk revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) tertanggal 7 Mei 2009 tampak sekali semangat untuk mengalihkan fungsi kawasan hutan di wilayah itu patut dicurigai sebagai semangat untuk “mensawitkan” Morowali. Dalam usulan itu, luas kawasan Hutan Alam dan Pelestarian Alam (CA) di Morowali yang saat ini mencapai 241.331 hektar diusulkan untuk

Page 54: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

dikurangi menjadi 152.249 hektar; Hutan Lindung 436.756 hektar dikurangi menjadi 285.180 hektar; Hutan Produksi Terbatas dari 238.177 hektar menjadi 267.722 hektar; Hutan Produksi Tetap dari 181.366 menjadi 127.843 dan; Areal Penggunaan Lain dari 417.266 hektar menjadi 743.118 hektar. Ketiga, meningkat dan meluasnya konflik-konflik pertanahan antara perusahaan dengan penduduk setempat, seperti yang akan ditunjukkan dalam tulisan ini. Terutama di dua wilayah bekas kerusuhan, yakni Poso dan Morowali, di mana masalah-masalah keperdataan (terutama tanah) yang muncul setelah konflik menyusul pengungsian penduduk yang mengikuti garis agama dan suku tidak terselesaikan sampai saat ini. Di antara masalah-masalah itu adalah jual beli tanah di bawah harga, pinjam meminjam lahan, dan penguasaan sepihak atas lahan-lahan pertanian.

Arianto Sangaji, mahasiswa doktoral antropologi di York University, Canada.

Tulisan ini dipresentasikan dalam diskusi dengan aktivis-aktivis tanah dan lingkungan Sulawesi Tengah, 28 Agustus 2009 di Palu. Tulisan ini merupakan sebagian catatan lapangan dari laporan penelitian yang masih dalam proses penulisan.

Haji Malik, "Guru" Kakao Tanah Mandar

Rabu, 1 April 2009 | 23:54 WIB

Dibaca: 53

Komentar: 0

Kompas/Reny Sri Ayu Taslim

hHaji Malik

Oleh Reny Sri Ayu Taslim

Page 55: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Siang itu di Kelurahan Bebanga, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, Haji Abdul Malik tengah menjelaskan tata cara sambung samping kepada puluhan ketua kelompok petani kakao. Layaknya seorang guru, dia menjelaskan semua hal yang diketahuinya tentang kakao.

Semua pertanyaan dia jawab dengan kalimat yang mudah dipahami petani. Semua itu dilakukannya di antara rerimbun tanaman kakao. Sesekali dia menunjukkan batang tanaman kakao tua yang sudah ditebang, lalu batang baru yang muncul, dan berbunga.

Sesekali ia juga menunjuk buah kakao berukuran sekepalan tangan orang dewasa, berwarna kemerahan atau hijau segar. Ia lalu mencontohkan cara memotong tangkai yang akan disambung samping, berikut panjangnya.

Begitulah aktivitas Malik setiap hari. Selalu ada petani yang datang bertanya tentang budidaya kakao kepadanya. Sebagian datang dari desa atau kecamatan yang jaraknya lebih dari 100 kilometer dengan waktu tempuh berjam-jam. Mereka mau datang ke tempat Malik untuk belajar gratis. Bahkan, sebagian menginap di rumahnya. Jika rumah panggung Malik sedang penuh, para ”murid” tidur di kolong rumah.

Kebun kakao Malik setahun terakhir menjadi ”sekolah” bagi petani kakao hampir di seluruh penjuru Tanah Mandar, sebutan untuk pesisir pantai barat Sulawesi yang dominan dihuni suku Mandar.

Kalau umumnya tanaman kakao perlu tiga tahun untuk mulai berproduksi, di tangan Malik tanaman hasil sambung samping hanya butuh setahun. Sebagian hasil sambung samping itu sudah berbunga pada usia 3-5 bulan, bahkan ada yang berbuah pada usia 5 bulan. Di kebunnya, tak kurang dari 18 varietas dikembangkan. Ada varietas lokal, seperti Sulbar 1 dan Sulbar 2, ada juga dari berbagai daerah lain.

Tanaman kakao lama dibandingkan dengan tanaman hasil sambung samping, baik mutu maupun produktivitasnya, jauh berbeda. Di setiap pohon, buah kakao bisa mencapai 250 buah setiap panen atau berkisar 1,5-2 ton per hektar. Dengan hitungan sederhana, bila tanaman lama butuh 25-30 buah untuk mendapatkan satu kilogram biji kakao, tanaman hasil sambung samping perlu 15-20 buah, bahkan bisa hanya 7-10 buah.

Inilah yang mengundang petani lain untuk belajar kepada Malik. Antusiasme petani itu tak lepas dari kondisi perkakaoan di Mamuju, bahkan hampir se-Sulawesi Barat, yakni serangan hama vascular streak dieback (VSD), penggerek buah kakao, penggerek batang, hingga busuk buah. Ini diperparah lagi usia tanaman yang sudah 20-30 tahun. Padahal, kakao adalah sumber utama penghidupan sekitar 80 persen warga.

Meremajakan tanaman dengan menebang habis dan mengganti dengan tanaman baru perlu biaya besar dan membuat petani kehilangan pendapatan hingga minimal tiga tahun. Maka, cara sambung samping menarik minat petani karena lebih efisien dan efektif.

Memberi contoh

Page 56: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

Menjadi ”guru” para petani kakao di Mamuju bukan hal baru baginya. Sejak tahun 1970 sampai pensiun pada 2008, Malik menjalani pekerjaan sebagai penyuluh pertanian lapangan. Selama 38 tahun itu ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain di Mamuju.

Umumnya petani lebih senang melakukan apa yang ingin dan biasa dikerjakan. Mereka tak siap menerima inovasi dan petunjuk teknis. Apalagi, selama menjadi penyuluh, penjelasan yang diberikan hanya teori. Jadilah Malik merasa kurang didengarkan.

Prihatin dengan kondisi ini, terlebih dengan mengganasnya serangan pelbagai hama kakao, tahun 2003 ia membeli satu hektar kebun yang tanaman kakaonya rusak. Kebun ini dia beli dengan uang tabungan untuk hari tua. Ia lalu melakukan sambung samping.

”Waktu tanaman sambung samping mulai tumbuh, saya menebang batang pohon yang sudah tua. Petani di sekitar kebun saya menertawakan. Ketika tanaman sambung samping berbuah lebih cepat, banyak yang sinis dan bilang buah itu tak akan laku dijual,” ceritanya.

Salimin (28), Ketua Kelompok Tani Bunga Mekar, yang diutus kelompoknya belajar di kebun Malik, menambahkan, ”Dulu kami tak ada yang mau ikut apa yang dibuat Pak Malik karena mendengar buah hasil sambung samping itu tak laku dijual. Ternyata harganya lebih mahal, ya kami datang belajar.”

Seusai mempraktikkan sambung samping di lahan satu hektar, Malik membeli lagi lahan seluas satu hektar dan melakukan hal yang sama. Semakin banyak pula petani yang mengikuti caranya berkebun dan belajar cara sambung samping.

Agar para petani bersemangat, ”Saya bercerita, bisa berhaji setelah kakao di kebun sambung samping ini buahnya berlimpah dan bagus. Sebab, umumnya cita-cita petani di Mamuju adalah berhaji dari hasil kebun.”

Keberhasilan ini menyebar dari mulut ke mulut mengundang petani dari desa yang jauh untuk datang. Kebun Malik pun menjadi tempat belajar berkebun kakao. Ia menamainya Pusat Pelatihan Petani Pedesaan Swadaya (P4S). Guna memudahkan proses berbagi ilmu, ia mensyaratkan, mereka haruslah ketua kelompok tani atau diutus oleh kelompoknya. Sekitar 150 kelompok tani sudah mendaftar.

Abdul Hamid (64), tokoh masyarakat dari Kecamatan Bone Hau yang berjarak lebih 100 km dari kebun Malik, mengatakan, ”Saya sudah beri tahu petani di kampung soal kebun Pak Malik, ada seratusan yang mau belajar di sini.”

Berhasil mendorong petani melakukan sambung samping, Malik mulai menerapkan penggunaan pupuk organik. Katanya, kakao akan bernilai tambah dengan buah yang bagus dan penggunaan pupuk organik. Ia membuat cara sederhana dengan menggunakan pupuk kompos, hasil menimbun sisa-sisa daun dan sampah rumah tangga organik, termasuk kotoran ternak.

”Saya ingin mengolah pupuk organik supaya lebih praktis. Petani lain juga bisa ikut membuatnya, tinggal alat pengolahnya yang belum saya miliki. Saya juga ingin menjadikan P4S

Page 57: HASIL SAMBUNG SAMPING GERNAS KAKAO DI KAB

berbentuk koperasi agar bisa menyalurkan pupuk dan kebutuhan pertanian lain secara murah dan mudah. Sejauh ini, persoalan petani adalah pupuk yang kerap sulit didapat dan harganya mahal,” kata Malik