hana hanifah-thi i 2011-paper akhir-eksploitasi buruh nike sweatshop di indonesia pada tahun 1988 -...

40
Eksploitasi Buruh Pabrik Nike Sweatshop di Indonesia pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme Makalah akhir untuk Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional I Disusun oleh Hana Hanifah – 1006694403 0

Upload: hana-hanifah-bastaman

Post on 06-Aug-2015

903 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

Eksploitasi Buruh Pabrik Nike Sweatshop di Indonesia pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

Makalah akhir untuk Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional I

Disusun oleh

Hana Hanifah – 1006694403

Departemen Ilmu Hubungan Internasional

Universitas Indonesia

2011

0

Page 2: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak abad ke-20, globalisasi telah memunculkan tantangan dan peluang baru dalam hubungan

ekonomi internasional, ketika negara dan perusahaan multinasional bersaing untuk meraih keuntungan

dari kondisi tersebut. Perusahaan-perusahaan multinasional besar yang datang dari negara dunia

kesatu, seperti Adidas, Nike, GAP, dan Reebok, berlomba melakukan ekspansi dan membuka pabrik-

pabrik produksi di negara dunia ketiga, yang memang membutuhkan investasi dan lapangan pekerjaan

bagi rakyatnya, dalam rangka meraup keuntungan sebesar-besarnya untuk mengembangkan

industrinya masing-masing. Masalahnya, pabrik-pabrik yang dikenal dengan istilah ‘sweatshop’

tersebut memperlakukan buruhnya tidak sesuai dengan standar peraturan nasional maupun

internasional yang seharusnya ditaati. Meskipun sudah muncul banyak pergerakan sosial untuk

memperbaiki kondisi buruh dan menghapuskan ‘sweatshop’ tersebut, namun eksploitasi ini masih

terjadi hingga saat ini, sehingga muncul berbagai permasalahan sosial seperti ketimpangan ekonomi,

kemiskinan, pelanggaran HAM, dan keterbelakangan pembangunan negara yang masih belum dapat

diselesaikan. Indonesia merupakan salah satu negara yang juga mengalami eksplotasi tersebut, sejak

Nike pertama kali mendirikan pabriknya pada tahun 1988 hingga saat ini.

Dari sekian banyak perusahaan multinasional yang melakukan sistem produksi sama di

Indonesia, mengapa Nike yang dipilih?

Menurut kantor jurnalis AFL-CIO Indonesia, keluhan pekerja mengenai kondisi pabrik dan

penganiayaan serta pelecehan di Indonesia lebih banyak datang dari pabrik Nike jika dibandingkan

dengan pabrik perusahaan lain, terutama dalam masalah upah yang terlalu rendah. Tidak hanya dalam

tingkat nasional, keluhan dan protes mengenai kondisi penganiayaan dan pelecehan yang terjadi dalam

pabrik Nike juga secara signifikan terjadi dalam tingkat global, sesuai dengan laporan dari berbagai

NGO internasional dan jurnalis yang berasal dari berbagai media, seperti Economist, The New York

Times, dan Reuters. Sebagai perusahaan sepatu terbesar di dunia dan memposisikan dirinya sebagai

industry leader, sehingga Nike dapat dikatakan sebagai trendsetter dan menjadi contoh bagi industri

lain, terutama yang bergerak di bidang serupa, sehingga dapat berpengaruh secara siginifikan dalam

kondisi persaingan ekonomi global.

Nike tumbuh menjadi perusahaan multinasional terbesar dengan memanfaatkan eksploitasi buruh

Indonesia untuk memproduksi sepatu dan pakaian olahraganya, dan meninggalkan negara tersebut

tertinggal dan tetap menjadi negara berkembang. Makalah ini berusaha untuk menjelaskan paradoks

1

Page 3: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

tersebut dengan menggunakan paradigma strukturalisme dan menitikberatkan analisis pada teori world

system, serta menggunakan konsep kapitalisme dan eksploitasi sebagai konsep utama. Untuk

mendukung penjelasan, penulis akan menggunakan data yang menunjukkan bagaimana eksploitasi

dilakukan Nike Inc. pada buruh yang bekerja di ‘sweatshop’, yang sengaja ditempatkan di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan bantuan paradigma strukturalisme dan teori world system makalah ini berusaha untuk

menjawab pertanyaan: apa yang menyebabkan ‘sweatshop’ sebagai bentuk eksploitasi yang

dilakukan oleh Nike Inc. terhadap buruh di Indonesia masih bertahan sejak tahun 1988 hingga

tahun 2011? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sesuai dengan paradigma strukturalisme yang

menggunakan unit analisis berupa hubungan antar kelas dalam struktur ekonomi internasional dilihat

dari perkembangan historisnya, makalah ini akan berfokus pada dua unit analisis, yaitu Nike sebagai

perwakilan kelas kapitalis yang memegang dominasi dalam sistem kapitalisme global, dan buruh

pabrik Indonesia sebagai perwakilan kelas proletar yang dianggap sebagai alat produksi dan

dieksploitasi oleh Nike sebagai pemilik modal.

1.3. Kerangka Teori

1.3.1. World System Theory

Menurut Marx, kapitalisme merepresentasikan suatu bentuk kehidupan sosial dimana proses

komodifikasi sudah menjelma hingga tahap perdagangan pekerja manusia sebagai alat produksi.

Situasi ini berasal dari perkembangan sejarah hubungan antar kelas dan powers, yaitu adanya

perkembangan capital atau modal yang diiringi dengan munculnya wage labor atau buruh bayaran. Di

satu sisi, modal secara sosial dianggap sebagai private property atau kepemilikan pribadi dari

segelintir pihak yang harus dipenuhi untuk melakukan proses produksi. Sementara itu, wage labor

dianggap sebagai aktivitas yang harus dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat untuk

mendapatkan sumber penghidupan.1 Pemilik modal dan buruh tidak berhubungan secara langsung.

Hubugan tersebut dijembatani oleh pekerja yang dibayar oleh pemilik modal, yang dibebaskan untuk

memperlakukan buruh yang bekerja dibawahnya sebagai property atau barang pribadi mereka. Namun

kebebasan ini terbatas karena pekerja pemilik buruh ini berada dibawah kontrol dari pemilik modal,

sehingga mereka terpaksa untuk menjual buruh tersebut kepada para pemilik modal agar mendapatkan

akses terhadap keperluan produksi, terlibat dalam aktivitas produktif dalam kehidupan sosial, dan

1 Tim Dunne, Milja Kurki dan Steve Smith, International Relations Theories – Dicipline and Diversity, Second Edition, (New York: Oxford University Press, Inc., 2010), hal 161.

2

Page 4: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

mendapatkan jaminan keberlangsungan hidup dari gaji.2 Berdasarkan penjelasan ini, Marx menyatakan

bahwa sistem kapitalisme secara paradoks mengembangkan kekuatan produktivitas dalam masyarakat

hingga tahap yang cukup tinggi dan efisien, sedangkan di sisi lain juga menyebabkan proses-proses

yang eksploitatif, tidak demokratis, dan memperlemah posisi salah satu kelas dalam masyarakat.3

Kelas buruh yang secara sosial ini menjadi lemah posisinya, secara sistemik dicegah untuk menyadari

kekuatan produksi mereka yang sesungguhnya dan kebebasannya ditekan agar kekuatan tersebut tidak

dapat direalisasikan dengan mencegah kelompok ini melihat dan menyadari adanya suatu alternatif

yang dapat menimbulkan transformasi hubungan produksi dalam kehidupan sosial. Marx menyebut

proses ini dengan istilah ‘alienation’ atau ‘fetishism’.4 Mekanisme ini juga didukung oleh adanya

ketergantungan negara secara struktural yang membutuhkan investasi dari pihak swasta, sehingga

pemerintah cenderung untuk ‘melayani’ kepentingan jangka panjang dari kelas kapitalis yang

mengendalikan modal ini.5

Mekanisme dan proses dominasi dan eksploitasi tidak dapat dihapuskan dari sistem kapitalis

karena merupakan bagian integral dari sistem kapitalis itu sendiri.6 Mekanisme eksploitasi ini tidak

dapat terjadi tanpa adanya koalisi kelas trans-nasional yang menyatukan para elit atau pemiliki modal

yang ada di negara maju dan berkembang. Kaum elit pemiliki modal ini akan lebih mementingkan

perolehan keuntungan, sehingga akan cenderung untuk menekan biaya produksi dan menimbulkan

kerugian bagi kaum pekerja dan petani di negara berkembang atau negara periphery ini.7

Mekanisme kapitalisme ini tidak hanya sekedar fenomena domestik, namun merupakan

fenomena global karena adanya dinamika ekspansionis yang dilakukan oleh para pemilik modal untuk

menyebarkan dan mengintensifkan organisasi kapitalisnya, dalam rangka mengakumulasi capital atau

modal untuk mendukung ekspansi monopoli internasional dari blok industrial-financial capital

mereka.8 Faktor domestik yang mendukung mekanisme dominasi dan eksploitasi yang datang dari

lingkungan eskternal ini adalah adanya penguasa tanah, struktur sosial, aliansi kelas, dan peran negara

yang cenderung mendukung kaum kapitalis. Dukungan ini muncul dan dipertahankan karena adanya

‘selfish-benefits’ atau keuntungan pribadi dari kelas komprador atau borjuis dalam negara berkembang.

Kaum borjuis dalam negeri ini beraliansi dengan kaum kapitalis dari luar negeri, dan membuat

kebijakan-kebijakan yang lebih memihak dan menguntungkan kaum kapitalis dan dirinya sendiri,

2 Ibid.3 Ibid.4 Ibid, hal 161 – 162.5 Ibid, hal 1636 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory, Fourth Edition, (USA: Pearson Education Inc., 2010), hal 195.7 Ibid.8 Tim Dunne, Milja Kurki dan Steve Smith, loc. cit.,hal 164.

3

Page 5: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

sehingga semakin mendukung hubungan ketimpangan antara borjuis dan pekerja proletar dalam

negeri. Mekanisme seperti ini sudah sangat mengakar dalam sistem kapitalis, karena dapat memenuhi

kepentingan kaum kapitalis untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.9 Meskipun dianggap

sebagai generalisasi yang dapat diterima, proses dominasi dalam sistem kapitalis ini berjalan berbeda-

beda di setiap negara.10

Menurut Immanuel Wallerstein, sistem ini merupakan sistem world economy, yang mulai

dipertahankan sejak abad ke-16. Sistem ini ditandai dengan adanya pemisahan zona geografis yang

didasari oleh adanya division of labor yang terjadi sebagai akibat dari perluasan kesejahteraan.

Hubungan antar aktor dalam sistem ini tidak dibatasi oleh kesatuan struktur politis, melainkan

disatukan oleh division of labor tersebut.11 Sistem ini berubah menjadi sistem kapitalis ketika proses

yang terjadi dalam sistem memberikan prioritas terhadap akumulasi modal yang tidak dibatasi waktu,

yang menjadi mekanisme struktural dalam sistem. Motivasi lain dalam sistem selain akumulasi modal

akan secara langsung tereliminasi.12

Dalam sistem ini, setiap negara mempunyai peran dan kepentingannya masing-masing. Core

states dalam satu pihak mempunyai kepentingan untuk mempertahankan kegiatan ekonomi yang

bersifat core-like, dimana adanya ketimpangan dalam pertukaran kesejahteraan dan sumber daya. Di

sisi lain, weak states atau negara-negara lemah tidak mempunyai cukup kemampuan untuk

mempengaruhi sistem yang ditentukan oleh core states, sehingga selalu menjadi pihak yang

didominasi dan dieksploitasi. Diantara keduanya, negara semi-periphery mempunyai kepentingan

untuk menjaga posisinya agar tidak tergelincir dan masuk dalam kategori negara periphery, dan

mereka juga berusaha untuk meningkatkan posisinya untuk menjadi kelas core states.13 Namun secara

umum, hubungan antara kelompok negara ini ditunjukan melalui hubungan ketimpangan struktur

sosial, dimana adanya dominasi dari core-states yang mengeksploitasi pheriphery states.14

Teori ini melihat Multinational Corporation (MNC) dan lembaga bank internasional, yang

dianggap sebagai agen dari kaum borjuis internasional, merupakan aktor utama yang membentuk dan

mempertahankan hubungan ketergantungan atau dependency ini.15

9 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, loc. cit., hal 196.10 Ibid, hal 196.11 Ibid, hal 228.12 Ibid.13 Ibid, hal 230.14 Tim Dunne, Milja Kurki dan Steve Smith, loc. cit., hal 165.15 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, loc. cit, hal 195.

4

Page 6: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. NIKE Inc. dan Sistem Produksi Global Kapitalis

Nike Inc. resmi didirikan pada tahun 1962 oleh Bill Bowerman dan Phil Knight dalam bentuk

partnership dengan nama Blue Ribbon Sports. Tujuan awal dibentuknya partnership ini adalah untuk

mendistribusikan sepatu atletis untuk keperluan olah raga buatan Jepang dengan kualitas tinggi dan

harga murah, dalam rangka mematahkan dominasi Jerman melalui perusahaan Adidas dan Puma,

dalam industri domestik USA.16 Impor dari Jepang ini dianggap lebih menguntungkan karena upah

buruh lebih murah di Jepang, sehingga harga sepatunya juga lebih murah.17 Pada tahun 1972, nama

Blue Ribbon Sports resmi digantikan dengan Nike Inc., yang didirikan sebagai sebuah perusahaan,

dengan Swoosh logonya dan slogan “Just Do It” yang catchy dan terkenal.18 Tiga produk utama dari

Nike adalah sepatu atau alas kaki, pakaian dan perlengkapan olah raga yang diproduksi oleh sekitar

600 pabrik kontrak yang memperkerjakan lebih dari 800.000 pekerja di 46 negara dunia.19

Hingga saat ini Nike Inc. masih mempertahankan jaringannya di lebih dari 100 negara sasaran

pasarnya, diantaranya di wilayah USA, Eropa, Asia Pasifik, dan Amerika Latin. Nike mendominasi

penjualan industri athletic footwear dengan menguasai 33% dari pasar global. Untuk mempertahankan

posisinya tersebut, Nike Inc. membuat biaya inventorisnya serendah mungkin agar dapat cepat

beradaptasi dengan trend pasar yang fluktuatif. Penekanan biaya produksi dilakukan dengan

mengurangi biaya operasi. Melihat kebangkitan kondisi perekonomian di wilayah Asia-Pasifik, Nike

Inc. memanfaatkan peluang ini untuk membuka pasar dan mengkapitalisasi kostumer baru yang saat

ini lebih kuat secara finansial.20

Nike memulai produksinya pada tahun 1972 di Korea Selatan dan Taiwan karena tertarik dengan

upah buruh yang rendah. Nike tidak pernah mempunyai sendiri pabriknya, namun perusahaan ini

mengontrak pabrik lokal di Korea Selatan dan Taiwan untuk memproduksi sepatunya. Menurut Phil

16 Richard M. Locke, et all., “Does Monitoring Improve Labor Standards? Lessons from Nike” dalam Industrial and Labor Relations Review, Vol. 61, No. 1 (USA: Cornell University, 2007) diakses dari http://www.jstor.org/stable/25249121 pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.44 WIB, hal 7.17 J.Ballinger and C.Olsson, Behind the Swoosh, (Global Publ. Foundation: 1997) diakses dari http://www.citinv.it/associazioni/CNMS/archivio/multinazionali/profilonike.html pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.40 WIB.18 Nike Sweatshop History: Should Action be Taken?, diakses dari http://homepage.mac.com/barbarap2/home/laborcrises/Nike.htm pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.05 WIB.19 Nike Inc. Coporate Responsibility Report, Workers and Factory Overview, diakses dari http://www.nikebiz.com/crreport/content/workers-and-factories/3-1-0-overview.php?cat=overview pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.15 WIB.20 Kim Enderle, et all., Strategic analysis of Nike.Inc., diakses dari http://condor.depaul.edu/aalmaney/StrategicAnalysisofNike.htm pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.10 WIB.

5

Page 7: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

Knight, Nike sebenarnya hanya merupakan perancang dan penjual sepatu, sementara proses produksi

atau manufacturing itu sendiri dilakukan oleh pabrik-pabrik di Korea Selatan dan Taiwan. Model

produksi ini kemudian ditiru oleh perusahaan lain yang sejenis, seperti Adidas dan Reebok.21

Pada akhir tahun 1980an, Nike meminta perusahaan Korea Selatan yang telah dikontraknya

untuk memindahkan kegiatan produksi ke daerah Asia Tenggara, tepatnya Thailand dan Indonesia,

karena pada saat itu pemerintah Korea Selatan mulai menerapkan pengaturan terhadap kenaikan

tingkat upah bagi buruh dan pengawasan tempat kerja oleh pihak yang berwenang, sehingga dianggap

tidak lagi menguntungkan. Thailand dan Indonesia sendiri dipilih karena upah buruhnya lebih rendah

dan tidak ada pengaturan mengenai perburuhan yang ketat. Sejak tahun 1992, Nike resmi menjalin

kontrak dengan tiga perusahaan Taiwan yang beroperasi di China, tiga perusahaan Korea Selatan

beroperasi di Indonesia, dan satu perusahaan Thailand merupakan penyalur sepatu bagi Nike. Nike

sendiri hanya memperkerjakan sekitar 12.000 karyawan yang sebagian besar bekerja di USA,

sementara produknya diproduksi oleh sekitar ratusan ribu tenaga kerja dibawah penyalur dari Asia.22

Fasilitas produksi Nike dilokasikan di Asia dan Amerika Selatan karena dianggap sesuai dengan

misi Nike untuk menjadi perusahaan global. Pada kenyataannya, fasilitas produksi sengaja dibangun di

negara-negara tersebut agar lebih dekat dengan bahan mentah dan sumber buruh murah. Meskipun

fasilitas produksi ini jauh berlokasi jauh dari kebanyakan konsumer Nike sehingga menyebabkan biaya

distribusi menjadi lebih mahal, mekanisme penekanan biaya produksi, yaitu dengan memilih bahan

mentah dan buruh murah, secara efektif dapat menjaga keuntungan Nike.23

Nike sendiri memulai operasinya di Indonesia pada tahun 1988. Kebanyakan pabrik yang

memproduksi barang-barang untuk Nike berlokasi di area industri yang saat itu baru berkembang,

seperti Tangerang, Serang, hingga bagian Barat Jakarta. Manajer dan supervisor pabrik-pabrik tersebut

biasanya orang Korea atau orang Indonesia sendiri, namun semua pekerja sebagai buruh berasal dari

Indonesia, kebanyakan adalah wanita dengan usia 16-22 tahun.24

Investasi sebanyak US$ 8 juta ditanamkan Nike untuk ekspansi pabrik di Sukabumi. Dengan

ekspansi tersebut, hingga saat ini terdapat 7 pabrik Nike di Indonesia. Didirikannya pabrik baru

tersebut meningkatkan kapasitas produksi Nike perwakilan Indonesia menjadi 1 juta pasang sepatu per

tahun, dari kapasitas semula  yang hanya 400 ribu pasang sepatu, dengan rata-rata 60 ribu pasang per

pabrik. Ekspansi ini juga dikatakan menguntungkan karena menyerap sekitar 22 ribu tenaga kerja.25

21Richard M. Locke, et all., op. cit., hal 7 – 8.22 J.Ballinger and C.Olsson, loc. cit.23 Kim Enderle, et all., loc. cit.24 J.Ballinger and C.Olsson, loc. cit.

6

Page 8: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

Indonesia saat ini merupakan negara basis pabrik ketiga terbesar milik Nike, setelah Cina dan

Vietnam, dengan 14 pabrik kontrak yang memperkerjakan sekitar 140.000 pekerja. Diantara pabrik-

pabrik tersebut, empat pabrik memproduksi merek Converse, yang merupakan perusahaan milik Nike

Inc.26

Model produksi sepatu Nike ini berbasis operasi global dan sesuai dengan mekanisme ekspansi

kapitalisme, karena produk dirancang di USA, buruh yang dipekerjakan untuk membuat sepatu berasal

dari negara-negara di Asia dengan upahnya yang sangat murah, menggunakan bahan mentah dari

beberapa negara, melibatkan modal dari perusahaan Korea, Taiwan, dan Jepang, dan melakukan

pemasaran di seluruh dunia. Pengoperasian produksi yang seperti ini merupakan metode yang umum

dilakukan oleh industri lain, seperti pakaian, mainan dan elektronik. Produksi berbasis global ini

melibatkan berbagai negara yang masing-masing berkonsentrasi pada bagian tertentu dari proses

produksi sesuai dengan kapabilitas unggulannya, atau sesuai dengan apa yang dapat mereka kerjakan

dengan lebih efisien dan murah. Globalisasi mendukung proses tersebut dan menyebabkan

international division of labor, dimana setiap negara ikut serta dalam aktivitas ekonomi sesuai dengan

comparative advantage yang diunggulkannya. Untuk kebanyakan negara Asia Selatan dan Asia

Tenggara, comparative advantage yang dimilikinya adalah tenaga kerja atau buruh murah dalam

jumlah besar, yang merupakan hasil dari kemiskinan yang menyebabkan adanya tenaga kerja berlebih

yang bersedia untuk bekerja apa saja agar mendapatkan penghidupan.27 Dalam hal ini, tenaga kerja

murah merupakan sumber daya strategis yang dimiliki oleh negara-negara Asia sebagai negara

berkembang. Membuka pabrik di negara-negara berkembang ini tentu saja jauh lebih menguntungkan

karena dapat mengurangi biaya produksi.

Berdasarkan penjelasan tersebut, perusahaan Nike Inc. dapat dikatakan sebagai kelompok

kapitalis yang memanfaatkan kondisi pasar dan ketimpangan global untuk menjalankan usahanya dan

memperbanyak keuntungannya. Sesuai dengan teori world system, Nike merupakan kelompok

kapitalis yang memanfaatkan kondisi negara di dunia untuk meraup keuntungan. Dalam hal ini, Nike

memanfaatkan posisi USA sebagai negara kuat untuk membuka pasar baru di negara-negara lain yang

masih berkembang. Bahkan di USA sendiri, Nike berambisi untuk menguasai pasar dengan cara

memanfaatkan posisinya sebagai pemilik modal terbesar di dunia dan mempengaruhi pemerintah untuk

25 Hadi Suprapto dan Elly Setyo Rini, Nike Relokasi Pabrik dari China, diakses dari http://bisnis.vivanews.com/news/read/100678-nike_relokasi_pabrik_dari_china pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.20 WIB.26 Niniek Karmini dan Stephen Wright, AP Exclusive: Nike Faces New Worker Abuse Claims, diakses dari http://www.boston.com/business/articles/2011/07/13/ap_exclusive_nike_faces_new_worker_abuse_claims/ pada tanggal 17 Desember 2011 pukul 14.10 WIB.27 Ibid.

7

Page 9: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

menjadikan kondisi pasar yang lebih kondusif dan bersahabat untuk pertumbuhan bisnis sepatu Nike

dalam rangka meraih keuntungan lebih banyak, yang merupakan inti dari sistem produksi kapitalis.

2.2. Nike Sweatshop dan Eksploitasi Terhadap Tenaga Kerja Buruh di Indonesia

Nike merupakan salah satu perusahaan yang mendapatkan penghargaan First Annual Golden

Grinch Awards dari National Labor Committee atas prestasinya sebagai pemilik sweatshop yang telah

menyebabkan penganiayaan terbesar. Istilah sweatshop ini memang diartikan berbeda-beda oleh

beberapa scholars, namun pada intinya istilah ini mengacu pada pabrik-pabrik di negara berkembang

yang memproduksi barang-barang, biasanya berupa pakaian, untuk perusahaan multinasional dan

konsumer di negara maju, dengan memperkerjakan tenaga kerja atau buruh dengan upah yang rendah

dan kondisi lingkungan kerja yang tidak memenuhi standar.28

Total investasi Nike di Indonesia sebanyak 600-700 juta USD, dengan total produksi ekspor

sebanyak 50-60 juta pasang sepatu. Dari tahun 1967 hingga 2007, nilai investasi industri sepatu ini

berkisar sekitar 2,13 miliar USD, dengan jumlah penyerapan tenaga kerja hingga 317 ribu tenaga kerja.

Meskipun industri ini sempat tutup pada tahun 2003-2005, investasi baru muncul kembali dengan

pembangunan pabrik sepatu selama 2006-2007 sebanyak 9 perusahaan dengan nilai investasi sekitar

78,72 juta USD.29 Jumlah investasi yang besar ini tentu saja sangat siginifikan untuk memenuhi

kebutuhan pemasukan negara dari investasi asing, yang diperkirakan oleh Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono mencapai 220 milyar USD setiap tahunnya untuk periode tahun 2009 – 2014.30 Investasi

yang besar dan nilai ekspor yang cukup siginifikan tersebut tentu saja menguntungkan bagi negara

karena menghasilkan pemasukan yang tidak sedikit.

Menurut Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ahmad Fami, hingga tahun 2010 iklim investasi di

Kota Sukabumi Jawa Barat masih belum kondusif sehingga masih belum banyak pelaku usaha yang

berinvestasi di kota ini. Hal ini berakibat pada terbatasnya lapangan pekerjaan di daerah tersebut,

padahal jumlah angkatan kerja terus bertambah, terutama karena kurangnya keterampilan para

penduduk yang rata-rata hanya lulusan SMA atau SMK. Program pelatihan wirausaha sendiri belum

secara efektif terlaksana oleh pemerintah daerah.31 Hal ini menyebabkan jumlah pengangguran di 28 David Skarbek, et all., Sweatshops, Opportunity Costs, and Non-Monetary Compensation: Evidence from El Salvador, diakses dari http://www.davidskarbek.com/uploads/SweatshopsElSalvador.pdf pada tanggal 18 November 2011 pukul 14.41 WIB.29 “—“, Nike Sepakat Perpanjang Kontrak, diakses dari http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2007/07/31/brk,20070731-104694,id.html pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 11.05 WIB30 Jakarta Globe, “While Global Recovery Sputters, Indonesia Strong, IMF Says”, dalam Indonesia News and Views, Bi-Weekly Bulletin Issue 22(edisi 14 November 2009), (Helsinki: Embassy of the Republic of Indonesia, 2009), hal 3.31 “—“, Pengangguran di Kota Sukabumi Terus Bertambah, diakses dari http://bataviase.co.id/node/88361 pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 10.56 WIB.

8

Page 10: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

Sukabumi hingga tahun 2010 meningkat hingga 27.000 orang.32 Kondisi di daerah ini berdampak

secara keseluruhan pada tingkat nasional, dimana tingkat pengangguran meningkat pada tahun 2009 –

2011, seperti yang ditunjukkan oleh tabel berikut:

Sumber: Badan Pusat Statistik.33

Masuknya investasi Nike dan pendirian pabrik di wilayah Sukabumi tersebut, menyerap ribuan

tenaga kerja sehingga secara signifikan mengurangi tingkat pengangguran dan memberikan sumber

penghidupan bagi masyarakat. Masyarakat Sukabumi yang mempunyai keterampilan minim tanpa

bantuan pemerintah ini melihat masuknya pabrik Nike sebagai sebuah peluang untuk mendapatkan

penghasilan. Karena tidak mempunyai alternatif lain, para penduduk yang bekerja di pabrik ini

menjadi tergantung dengan keberadaan investasi Nike sehingga cenderung menghiraukan kondisi

tempat kerja yang tidak manusiawi. Didukung dengan minimnya regulasi dari pemerintah, Nike

memanfaatkan kondisi ini untuk melakukan eksploitasi dengan memanfaatkan ribuan tenaga kerja

Indonesia untuk bekerja demi keuntungan Nike. Kondisi yang sama juga terjadi sejak tahun 1988.

32“—“, 27 Ribu Warga Sukabumi Menganggur, diakses dari http://news.okezone.com/read/2010/06/23/340/345952/27-ribu-warga-sukabumi-menganggur pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 11.14 WIB.33 Badan Pusat Statistik, “Keadaan Ketenagakerjaan Februari 2011” dalam Berita Resmi Statistik – Badan Pusat Statistik No.33/05/Th.XIV, 5 Mei 2011, diakses dari http://www.bps.go.id/brs_file/naker-05mei11.pdf pada tanggal 9 Januari 2012 puku; 11.18 WIB.

9

Page 11: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

Sejak mendirikan pabrik melalui perusahaan kontrak di Indonesia pada tahun 1988, Nike

menerima tuntutan yang berasal dari berbagai laporan dan publikasi mengenai eksploitasi yang

dilakukan terhadap buruh yang bekerja di pabrik-pabrik yang memproduksi produk untuk Nike. Istilah

eksploitasi yang dimaksud disini adalah mekanisme pemanfaatan terhadap suatu subjek secara

sewenang-wenang hanya untuk kepentingan ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan rasa keadilan,

etika kelayakan dan kompensasi kesejahteraan yang cukup.34 Dalam penjelasan ini, standar dari

keadilan, etika kelayakan dan kompensasi kesejahteraan disesuaikan dengan peraturan yang ada dalam

taraf nasional dan internasional mengenai hak-hak asasi manusia pada umumnya, dan hak-hak buruh

pada khususnya.

Nike yang sempat menerima tuduhan atas pelanggaran hak anak karena memperkerjakan anak-

anak di bawah umur pada tahun 1980an, kembali menerima tuntutan atas eksploitasi yang berupa

penganiayaan terhadap buruh setalah isu tersebut mereda pada tahun 2000an. Pada tahun 2001, Global

Allience yang merupakan kelompok watchdog yang mengawasi pekerja pabrik mempublikasikan

laporan yang menyatakan bahwa pekerja atau buruh pabrik Nike di Indonesia dilecehkan secara verbal

dan seksual, diberikan akses yang terbatas terhadap pelayanan kesehatan, dan jam kerja yang melebihi

standar.35 Pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan dalam rangka menekan para pekerja untuk

menghasilkan barang sesuai dengan target yang ditentukan.

Laporan dari Oxfam Community Aid Abroad pada tahun 2002 yang didasarkan dari wawancara

terhadap 35 pekerja di pabrik Nike di Indonesia, menunjukkan bahwa para buruh ini dibayar dengan

gaji yang sangat rendah. Laporan ini juga menunjukkan bagaimana para buruh diancam pemecatan,

tuntutan hukum yang dapat berujung pada hukuman penjara atau serangan fisik jika mereka

membentuk atau ikut dalam gerakan serikat buruh independen, keadaan pabrik yang masih

membahayakan bagi kesehatan karena adanya racun kimia yang terhirup ketika bernapas dan mesin

pemotong yang berisiko dapat memotong jari tangan, dan tidak dipenuhinya hak-hak cuti untuk

masalah kesehatan.36 Kemudian pada tahun 2004 terdapat laporan yang dipublikasikan oleh Clean

Clothes Campaign, yang menyatakan bahwa adanya pelecehan seksual di pabrik sepatu di Indonesia

yang memproduksi sepatu untuk Nike dan beberapa merek lain, yang dilakukan oleh manajer pria

34 “—“, Exploitation, diakses dari http://plato.stanford.edu/entries/exploitation/ pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.46 WIB.35 Timothy Connor, We Are Not Machines, diakses dari http://www.oxfam.org.au/resources/filestore/originals/OAus-WeAreNotMachines-0302.pdf pada tanggal 14 November 2011 pukul 14.15 WIB.36 Ibid.

10

Page 12: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

terhadap pekerja wanitanya dengan menggunakan ancaman pemecatan.37 Pelecehan ini merupakan

dampak nyata dari adanya eksploitasi yang menjadikan pihak buruh menjadi tidak berdaya.

Laporan terbaru berasal dari The Associated Press pada awal tahun 2011, menyatakan bahwa

para pekerja di perusahaan sepatu Converse Indonesia diperlakukan tidak manusiawi oleh supervisor

mereka, dengan melemparkan sepatu pada para buruh, menampar muka mereka, dan memanggil

pekerja dengan kata-kata kasar. Para pekerja ini mengaku tidak berdaya, karena hanya mempunyai

pilihan untuk tinggal dan diam bekerja, atau memprotes dan berbicara keluar kemudian dipecat. Pabrik

perusahaan yang dioperasikan oleh Pou Chen Group, sebuah perusahaan asal Taiwan, ini telah

memproduksi sepatu untuk Nike selama empat tahun terakhir. Pabrik ini memperkerjakan sekitar

10.000 pekerja yang didominasi oleh perempuan, yang menerima bayaran 50 sen per jam, makanan,

dan barak untuk menginap, sementara atasan Nike Inc. menerima gaji bernilai ratusan ribu dollar.38

Kondisi tersebut secara jelas menunjukkan pelanggaran terhadap Bab X Undang-Undang

Republik Indonesia no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai

perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan. Lingkungan kerja yang buruk, ditambah dengan upah

minim dan akses terbatas terhadap pelayanan publik menjadikan tingkat kesejahteraan buruh minim.

Pemerintah Indonesia seharusnya mempunyai yurisdiksi terhadap pelanggaran ini, namun hingga saat

ini tidak ada tindakan konkret yang menunjukkan penghukuman tersebut. Meskipun pemerintah sudah

memperbolehkan gerakan pekerja atau buruh untuk memenuhi hak-haknya melalui dibentuknya UU

No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, namun dalam prakteknya gerakan-gerakan

buruh yang terjadi tidak pernah secara siginifikan mempengaruhi posisi pemerintah dalam menangani

permasalahan eksploitasi yang berdampak pada penganiayaan terhadap buruh-buruh Indonesia yang

bekerja di pabrik Nike.

Nike, sebagai pemilik merek Converse, mengakui bahwa kondisi-kondisi tersebut memang

terjadi, tetapi menyatakan bahwa perusahaannya tidak bisa menghentikannya. Selain itu, merujuk

laporan internal Nike, perusahaan ini mengakui bahwa hampir dua pertiga dari 168 pabrik yang

membuat produk-produk Converse di seluruh dunia gagal memenuhi standar yang ditetapkan Nike

sebagai produsen kontrak, namun belum melakukan usaha yang konkret untuk memperbaiki kondisi

pabrik.39

37 Ibid.38 Erlangga Djumena, Nike Hadapi Dugaan Penganiayaan Buruh di Indonesia, diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/07/14/11355771/Nike.Hadapi.Dugaan.Penganiayaan.Buruh.di.Indonesia pada tanggal 17 Desember 2011 pukul 14.20 WIB.39 Ibid.

11

Page 13: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

Menurut pandangan penulis, Nike Inc. kurang transparan dalam memberikan data mengenai

kondisi pekerjanya. Dalam pencarian data, tidak ditemukan laporan mengenai penganiayaan atau

eksploitasi yang dikeluarkan Nike Inc. untuk dapat diakses publik dalam websitenya. Data-data

mengenai penganiayaan dan eksploitasi ini penulis dapatkan dari sumber lain, seperti laporan NGO

atau jurnalis. Nike Inc. sendiri lebih mengutamakan laporan mengenai pemasukan dan penghargaan

dalam bidang bisnis dan marketing yang didapatkannya. Ini merupakan salah satu cara Nike sebagai

kelompok kapitalis menyembunyikan fakta ini untuk dapat mempertahankan sistem eksploitatif yang

menguntungkan bagi mereka.

Laporan-laporan tersebut menunjukkan bagaimana Nike sebagai kelompok kapitalis yang

memiliki kendali atas modal produksi melakukan eksploitasi terhadap tenaga kerja Indonesia yang

merupakan kelompok proletar, dengan menjadikan mereka sebagai alat produksi yang dapat

diperlakukan sewenang-wenang. Para buruh ini termasuk dalam kelompok proletar karena merupakan

kelompok masyarakat yang tidak mempunyai cukup kekuatan untuk mengubah posisinya sebagai

objek kegiatan produksi karena didominasi oleh perusahaan Nike sebagai kelompok kapitalis, yang

didukung oleh pemerintah dan struktur negara.

Menjawab publikasi terhadap pelanggaran hak-hak buruh yang terjadi dalam fasilitas produksi

Nike, perusahaan ini menyatakan bahwa mereka sudah berusaha dan mencapai standar pemenuhan

hak-hak tersebut dalam tingkat lokal, meskipun memang belum sesuai dengan standar yang diterapkan

USA. Nike juga menyatakan bahwa mereka sedang berusaha untuk menunjukkan komitmennya dalam

memperbaiki keadaan dengan mengadakan program monitoring dengan melibatkan NGO, yayasan,

dan institusi pendidikan lain, menerapkan standar operasional dalam pabrik, dan mendanai proyek dan

forum yang berkaitan dengan isu bisnis dan permasalahan sosial bertaraf global.40 Pada tahun 2008,

pakta perjanjian perbaikan kondisi pabrik dan pemenuhan hak-hak buruh telah ditandatangani oleh

beberapa perusahaan, termasuk Nike, dengan organisasi perserikatan buruh. Penandatangan ini

dilakukan sebagai bentuk realisasi kampanye The Play Fair 2008 yang dicetuskan saat Olimpiade

Beijing dengan tujuan menekan perusahaan sportswear untuk mengambil langkah konkrit dan

berkolaborasi dengan pemerintah, NGO, dan perusahaan lain untuk mengatasi permasalahan buruh

secara global.41 Namun, apakah usaha tersebut benar-benar dilakukan dan efektif dalam mengubah

kondisi pabrik yang eksploitatif?

40 Kim Enderle, et all., loc. cit41 Clean Clothes Campaign, Indonesia: Historic Pact Today Strengthens Sportwear Workers Union Rights, diakses dari http://www.cleanclothes.org/news/indonesia-historic-pact-today-strengthens-sportswear-workers-union-rights pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.42 WIB.

12

Page 14: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

Hannah Jones, Nike VP of sustainable business and innovation yang dinobatkan sebagai salah

satu Fast Company’s most creative people of 2010 yang bertanggung jawab atas usaha perusahaan

untuk meningkatkan kondisi dalam lingkungan kerja mengatakan bahwa penganiayaan secara verbal

dan fisik memang terjadi namun belum pada frekuensi regular, dan dianggap sebagai hal yang biasa

terjadi dalam lingkungan kerja. Nike menyalahkan kontrak dari perusahaan pabrik lokal yang

menyebabkan pengawasan ketat dari Nike tidak dapat dilakukan. Jones menyatakan bahwa Nike

sendiri sudah berusaha untuk memperbaiki dan memperbaharui kontrak tersebut, namun usahanya ini

selalu terhambat oleh perusahaan pabrik lokal itu sendiri. Melihat pernyataan ini, kritik menilai bahwa

hal tersebut tidak mungkin terjadi karena perusahaan sebesar Nike pasti mempunyai cukup kekuatan

untuk mempengaruhi kontrak dengan penyalurnya.42

Pada kenyataannya, Nike, seperti juga perusahaan lain tetap mementingkan keuntungan yang

lebih besar. Dengan tingkat kompetisi global yang sangat ketat, penurunan biaya produksi merupakan

salah satu cara paling efektif untuk menambah, atau setidaknya menjaga keuntungan perusahaan. Oleh

sebab itu, Nike berusaha berkolaborasi dengan pihak pemerintah, media, dan institusi lain agar dapat

membantu Nike menutupi berbagai kasus penganiayaan dan menjustifikasi praktek eksploitasi yang

dilakukannya.

Pada bulan Mei 1998, Nike mengumumkan bahwa perusahaannya akan mengijinkan

pengawasan secara independen terhadap proses produksi di pabriknya. Namun pada kenyataannya,

Nike menggunakan firma dengan basis profit-oriented seperti Price Waterhouse Coopers dan Ernst &

Young yang berpihak pada Nike untuk melakukan pengawasan tersebut.43

Nike sendiri menyadari bahwa keberadaannya di Indonesia memberikan keuntungan karena

dapat mengurangi biaya produksi. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan corporate social responsibility

(CSR) di Indonesia, Nike dalam laporan CSR tahunannya menekankan pada pentingnya sustainability

atau keberlangsungan dari pertumbuhan dan inovasi Nike. Oleh sebab itu, Nike melakukan berbagai

program CSR, mulai dari perbaikan sistem pabrik dengan mengurangi jumlah polusi, hingga

peningkatan kondisi pabrik-pabrik kontrak untuk menjaga popularitas pabrik ini bagi para pekerja.44

Nike berkolaborasi dengan pemerintah, baik pemerintah Amerika maupun pemerintah di negara

berkembang itu sendiri, dalam kasus ini Indonesia. Nike berusaha untuk mendapatkan dukungan dari

42 Sheila Shayon, Nike Better World? Not For Converse Factory Workers in Indonesia, diakses dari http://www.brandchannel.com/home/post/2011/07/13/Nike-Just-Not-Doing-It-Right.aspx pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.46 WIB.43 Global Exchange, Nike FAQs, diakses dari http://www.globalexchange.org/sweatfree/nike/faq pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.50 WIB.44 Adam Joseph, “Sustainable Marketing and CSR: Just Do It”, dalam Professional Marketing edisi April – Juni 2010, hal 31.

13

Page 15: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

pihak pemerintah dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan mendanai kampanye kandidat

senator di USA. Usaha tersebut berhasil membuat beberapa kandidat membantu Nike dengan

mendukung program-programnya, meskipun merugikan pihak buruh.45

Di Indonesia sendiri, peraturan mengenai perburuhan disesuaikan dengan iklim investasi asing

yang dibutuhkan untuk pembangunan. Pada masa Orde Baru, Indonesia bahkan tidak mempunyai

undang-undang pengaturan mengenai perburuhan dan pembentukan serikat buruh untuk menuntut

perbaikan kondisi buruh dilarang dengan ancaman hukuman yang didukung secara politis.46 Hal ini

memang dimaksudkan untuk menarik investor asing mendirikan pabriknya di Indonesia. Absennya

pengaturan mengenai perlindungan buruh inilah yang mendorong Nike untuk kemudian membuka

pabrik di Indonesia pada tahun 1988.

Pemerintah Indonesia sendiri berusaha untuk menyediakan iklim investasi yang

menguntungkan bagi MNC atau pihak lain yang berkepentingan untuk menanamkan modalnya di

Indonesia. Untuk itu, melalui Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), pemerintah

Indonesia membentuk beberapa penyesuaian dalam kebijakan investasi, diantaranya:

1. Pemerintah telah memperbaharui Daftar Bidang Usaha yang Tertutup bagi Penanam Modal

untuk dapat diberikan keleluasaan investor dalam memilih usaha (Keppres No 96 Tahun

2000 jo. No 118 Tahun 2000).

2. Penyederhanaan proses dari 42 hari menjadi 10 hari. Sebelumnya persetujuan Penanaman

Modal Asing dilakukan oleh Presiden, sedangkan saat ini cukup dilakukan oleh Pejabat

Eselon I yang berwenang, dalam hal ini Deputi Bidang dan Fasilitas Penanaman Modal.

3. Sejak tanggal 1 Januari 2001, pemerintah menggantikan insentif Pembebasan Pajak dengan

Kelonggaran Pajak Investasi sebesar 30% untuk 6 (enam) tahun.

4. Nilai investasi tidak dibatasi, sepenuhnya tergantung studi kelayakan dari proyek tersebut.47

Indonesia kemudian membentuk Undang-Undang mengenai perburuhan pada tahun 1998, yang

kemudian disempurnakan pada tahun 2004 dalam rangka menjamin pemenuhan hak-hak buruh.

Namun pada kenyataannya, implementasi dari pelaksanaan undang-undang ini tidak dilakukan secara

optimal terbukti dari munculnya laporan baru mengenai pelanggaran hak-hak buruh di pabrik-pabrik

Nike di Indonesia dari tahun 2002 hingga 2011. Penerapan hukum dan peraturan yang lemah

menunjukkan dukungan pemerintah terhadap praktek eksploitasi. Salah satu kasus yang menunjukkan

45 “—“, Nike Inc., diakses dari http://knowmore.org/wiki/index.php?title=Nike pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.26 WIB.46 “—“, Striking Back at Nike: Just Do It!, diakses dari http://revcom.us/a/v19/905-09/908/nike1.htm pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.36 WIB.47 Sarwedi, “Investasi Asing Langsung di Indonesiadan Faktor yang Mempengaruhinya”, dalam Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 4, No. 1, (Jakarta: Universitas Kristen Petra, 2002), hal 21.

14

Page 16: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

hal tersebut terjadi pada tahun 2007, ketika terjadi unjuk rasa yang dilakukan oleh buruh pabrik PT

Hardaya Aneka yang memproduksi sepatu untuk Nike dalam rangka menuntut kenaikan gaji sesuai

dengan peraturan upah minimum baru, yaitu dari $2.26 per hari menjadi $ 2.46 per hari. Pemerintah

Indonesia tetap memperbolehkan pabrik tersebut untuk menunda implementasi peraturan standar upah

minimum tersebut karena berdasarkan laporan dari audit publik pabrik dan perusahaan Nike tersebut

sedang mengalami kesulitan finansial. Hal ini sangat kontras jika mengingat gaji CEO Nike yang

berkisar $5 juta dolar dan keuntungan Nike yang mencapai $673 juta dolar tahun lalu.48

Ketergantungan buruh terhadap keberadaan pabrik dan investasi Nike ditunjukkan ketika pada

tahun 2007 Nike diisukan akan menutup pabriknya di Indonesia, para buruh dan pekerja melakukan

aksi protes agar Nike tetap mempertahankan pabriknya karena mereka membutuhkan pekerjaannya

sebagai sumber penghidupan, yang memang sulit dicari di Indonesia. Penutupan pabrik ini terkait

dengan pertimbangan bisnis dan karena pabrik-pabrik ini tidak berhasil memenuhi standar kualitas

yang ditetapkan oleh Nike.49 Absennya alternatif pekerjaan lain yang disebabkan oleh kurangnya

keterampilan buruh dan implementasi program pelatihan pemerintah yang tidak efektif menjadi

penyebab utama ketergantungan tersebut.

Posisi ketergantungan yang tidak seimbang, dimana buruh ini lebih membutuhkan pekerjaan

membuat posisi tawar perusahaan ini lebih besar sehingga dapat menghiraukan berbagai tuntutan

mengenai upah dan kondisi pabrik. Dalam hal ini, posisi pemerintah Indonesia juga tidak dapat

membantu karena pemerintah sendiri membutuhkan investasi dari pihak asing untuk menjamin

pertumbuhan ekonomi negara. Ketakutan akan hilangnya keinginan investor untuk berinvestasi dalam

negerinya membuat pemerintah berusaha untuk menciptakan lingkungan dan peraturan yang

bersahabat dengan investor-investor asing ini, sehingga cenderung menghiraukan keadaan rakyatnya

sendiri.

Posisi pemerintah juga terdesak dengan kepentingan pengusaha nasional yang menginginkan

untuk mempertahankan pabrik-pabrik Nike karena keuntungan yang didapatkannya. Hal ini

ditunjukkan melalui respon Apindo terhadap tuduhan penganiayaan buruh di tempat kerja. Asosiasi

Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan akan segera melakukan pengecekan atas kasus dugaan

perlakuan tidak manusiawi dari kontraktor terhadap buruh pabrik pembuat sepatu Nike di Sukabumi,

Tangerang. Menurut Ketua Umum Apindo Sofjan Winandi, hingga saat ini ia belum menerima laporan

adanya karyawan perusahaan sepatu di pabrik milik Pou Chen Group asal Taiwan ini yang teraniaya,

48 Ibid.49 Harry Suhartono dan Ed Davies, Nike Says Committed to Grow in Indonesia, diakses dari http://www.reuters.com/article/2007/07/17/us-nike-indonesia-idUSJAK2446220070717 pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 14.02 WIB.

15

Page 17: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

sebagaimana dilaporkan Associate Press. Menurutnya, Apindo harus mengecek terlebih dahulu

kebenaran laporan tersebut kepada para pekerja.50 Hal ini menunjukkan bagaimana pengusaha lokal

juga berusaha untuk mempertahankan keuntungannya dengan menutupi berbagai kasus dan laporan

yang sudah jelas sumbernya.

Hal-hal tersebut menunjukkan bagaimana Nike sebagai kelompok kapitalis global

mempertahakan mekanisme eksploitasi ini untuk keuntungannya sendiri. Berbagai gerakan sosial yang

berusaha dilakukan oleh NGO dan kelompok sosial lain menjadi tidak signifikan dalam mengubah

keadaan karena masih terbentuk kelompok berkuasa lain, yaitu pemerintah dan perusahaan Nike

sendiri. Karena diuntungkan dari proses eksploitasi ini, kelompok berkuasa dan pemerintah sama-sama

berkolaborasi untuk mempertahankan sistem ini. Untuk mempertahankan dominasinya, kelompok-

kelompok ini sengaja membuat kelompok buruh tetap berada di posisinya yang lemah dengan gaji

yang rendah, sehingga menyebabkan mereka tidak dapat mengakses pendidikan dan informasi yang

memadai dan mencegah mereka mengetahui kondisi mereka yang sebenarnya tidak wajar dan dapat

diubah. Mekanisme inilah yang disebut Marx dengan istilah alienation, yang dilakukan untuk

membuat kelompok buruh tetap powerless dalam melawan eksploitasi kaum kapitalis.

2.3. World System Theory dalam Menjelaskan Hubungan Eksploitasi Nike Inc. Terhadap

Buruh Indonesia yang Masih Dipertahankan sejak 1988 sampai 2011

Menurut world system theory dalam paradigma strukturalisme, struktur global didasarkan pada

pola dalam sistem yang dicirikan dengan adanya hubungan eksploitatif yang dilakukan oleh kelompok

kapitalis atau borjuis terhadap kelompok proletar. Hubungan yang eksploitatif itu dilakukan karena

adanya perkembangan modal atau capital yang dimiliki oleh kelompok kapitalis, sehingga

mendorongnya untuk melakukan ekspansi kegiatan produksi dan penjualan ke negara lain. Karena

memakan biaya distribusi yang cukup besar, kaum kapitalis menggunakan cara penekanan biaya

produksi untuk mengkompensasi biaya yang keluar untuk distribusi untuk menjaga keuntungannya.

Oleh sebab itu, dalam ekspansi ini kelompok kapitalis akan memilih negara-negara yang dapat

memberikannya keuntungan lebih dengan menawarkan tenaga kerja banyak dan murah, bahan mentah

yang murah dan dekat, serta sistem pengaturan yang tidak merugikan mereka, baik secara politis

maupun ekonomis. Dalam kasus ini, Nike Inc. sebagai perusahaan athletic sportwear yang berasal dari

USA, merupakan kelompok kapitalis yang setelah mengalami perkembangan produksi dan keuntungan

50 Erlangga Djumena, Apindo Akan Cek Pabrik Nike, diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/07/14/15312315/Apindo.Akan.Cek.Pabrik.Nike pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 14.05 WIB.

16

Page 18: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

berusaha untuk menambah keuntungan tersebut dengan melakukan ekspansi ke wilayah Asia-Pasifik.

Wilayah Asia-Pasifik ini sendiri dipilih karena merupakan wilayah penghasil bahan mentah untuk

industri, dan mempunyai tenaga kerja yang strategis, dengan jumlah yang banyak dan harganya yang

murah. Bahan mentah dan tenaga kerja murah ini memang merupakan komoditas produksi stategis

yang ditawarkan oleh kebanyakan negara-negara Asia-Pasifik ini karena masih merupakan negara

berkembang yang belum mempunyai kapasitas industri untuk mengolah sendiri bahan mentah di

negaranya karena kekurangan modal dan tenaga ahli. Lesunya kegiatan industri tersebut menyebabkan

kebanyakan rakyatnya tidak mempunyai sumber penghasilan yang menyebabkan mereka tidak dapat

mengakses pelayanan pendidikan yang memadai, sehingga membuat mereka terjebak dengan

kemampuannya yang terbatas, hanya dapat menggunakan tenaga fisik untuk melakukan pekerjaan

sebagai buruh kasar, bukan tenaga ahli. Kemiskinan ini jugalah yang menyebabkan mereka rela untuk

bekerja dalam bentuk apapun, karena orientasinya hanyalah pemenuhan kebutuhan pangan untuk

hidup sehari-hari. Keadaan buruh seperti ini, yang juga terjadi di Indonesia bahkan hingga saat ini,

dianggap strategis untuk melakukan eskpansi produksi karena selain jumlahnya yang banyak dan

murah, buruh-buruh ini juga tidak mempunyai kesadaran dan kemampuan untuk melakukan

pergerakan sosial dan memberontak sistem eksploitasi yang dilakukan perusahaan untuk

memaksimalkan keuntungannya.

Sistem eksploitasi tersebut dipertahankan oleh perusahaan Nike Inc. sebagai kelompok kapitalis

karena dapat menghasilkan keuntungan secara lebih optimal dengan menekan biaya produksi.

Penekanan biaya produksi sendiri dilakukan melalui mekanisme eksploitasi ini dengan cara

memperkerjakan buruh dalam jumlah banyak dalam kondisi pabrik yang dibangun tidak memenuhi

standar karena memakan biaya yang banyak, memperkerjakan buruh-buruh tersebut dengan melanggar

batar waktu kerja untuk menambah hasil produksi, meminimkan upah para buruh tersebut agar dapat

menyimpan uangnya untuk keperluan lain dan keuntungan, dan mempertahankan posisi inferior buruh-

buruh tersebut melalui regulasi yang dibuat atas kerjasama dengan pihak berkuasa terkait, dalam hal

ini pemerintah, sehingga menyebabkan buruh-buruh ini tidak dapat mengakses pendidikan atau

membuat serikat buruh yang dapat merugikan bagi Nike sendiri. Karena memang target pasarnya

adalah kelompok masyarakat dengan daya beli tinggi yang tersedia banyak di negara-negara maju dan

dalam kelompok masyarakat maju di negara berkembang, sistem eksploitasi ini dianggap tidak

merugikan karena tidak mempengaruhi pasar yang sudah cukup banyak. Selain karena target pasar

yang sudah cukup banyak, perusahaan Nike juga takut jika buruh ini diberikan daya beli yang

memadai, maka mereka tidak akan lagi bekerja sebagai buruh dan Nike akan kehilangan alat

produksinya yang paling menguntungkan.

17

Page 19: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

Keterlibatan pemerintah Indonesia dan USA dalam sistem eksloitasi ini menunjukkan peranan

negara yang mempunyai fungsinya masing-masing dalam world system theory. USA sebagai negara

asal Nike Inc. dalam kasus ini memegang posisi sebagai core states karena ikut mempertahankan

proses produksi core like yang dilakukan oleh Nike Inc., yang pada intinya mendukung ekspansi,

mendominasi pasar, dan memperbanyak modal dengan mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyak

untuk melakukan ekspansi dan dominasi pasar. Di pihak lain, Indonesia dalam kasus ini merupakan

periphery states karena posisinya yang lebih inferior sebagai negara berkembang yang membutuhkan

investasi dari negara maju untuk dapat mengembangkan kegiatan ekonominya. Nike Inc. sebagai

kelompok kapitalis memanfaatkan posisi negara ini untuk mempertahankan keuntungannya dalam

pasar global.

Dalam hubungannya dengan Nike Inc. sebagai kelompok kapitalis yang menguasai modal, USA

diuntungkan karena perusahaan ini mempunyai pusat di negara tersebut, sehingga dapat memberikan

penghasilan berupa pajak. USA juga diuntungkan dengan dipekerjakannya rakyat negara tersebut

dalam perusahaan Nike pada posisi yang cukup tinggi, sehingga meningkatkan penghasilan rakyatnya

yang berpengaruh pada kegiatan perekonomian yang sehat karena rakyatnya mempunyai daya beli

yang cukup untuk mendorong kegiatan ekonomi produksi dan konsumsi. Daya beli tinggi ini

dimanfaatkan Nike sebagai pasar strategis untuk menjual produknya, dan pemerintah USA sendiri

diuntungkan karena mendapatkan pajak dari penjualan produk-produk tersebut. Keuntungan ini terus

berputar dan berakumulasi pada masyarakat USA, sehingga menjadikan ekonominya stabil.

Keuntungan ini tentu saja berusaha untuk dipertahankan oleh USA dengan cara membantu Nike

melalui regulasi dan hubungan dengan negara lain. Hal ini ditunjukkan dengan posisi USA sebagai

negara berkedaulatan yang dapat memaksa Nike yang ada dibawah yurisdiksinya untuk berubah, bisa

dibilang sama sekali tidak melakukan apa-apa ketika kasus penganiayaan buruh dipublikasi, padahal

USA sendiri merupakan negara yang selalu mengedepankan nilai liberal dan kebebasan manusia.

Bahkan dengan nilai liberalnya tersebut, USA memaksa Indonesia untuk membuka pasarnya bagi

perusahaan asing miliknya, salah satu adalah Nike, melalui perjanjian perdagangan bebas. Nike yang

melihat peluang menguntungkan ini berusaha untuk mempertahankan mekanisme ini dan

mempengaruhi pemerintah untuk selalu berpihak padanya. Salah satu caranya adalah dengan

membiayai kampanye senator USA, dan membantu pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

Indonesia sendiri yang berperan sebagai negara periphery dalam kasus ini melihat mekanisme

kapitalisme yang eksploitatif tersebut secara pragmatis. Pragmatis disini dalam artian Indonesia lebih

mementingkan keuntungan langsung dari mekanisme tersebut yang lebih bersifat jangka pendek, dan

kurang mementingkan aspek lain. Dalam hal ini, negara Indonesia sebagai negara berkembang yang

18

Page 20: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

kegiatan ekonominya dapat dikatan lesu karena masyarakatnya sendiri tidak mempunyai sumber

penghasilan sebagai sumber daya beli untuk menikmati akses terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan,

dan pasar, membutuhkan suntikan modal dari pihak lain untuk membantu meningkatkan daya beli

masyarakat dan mengembangkan industri untuk mengelola sumber daya alam dalam negeri. Oleh

sebab itu, ketika perusahaan Nike melakukan ekspansi, Indonesia menerimanya dengan tangan terbuka

karena selain dapat memperkerjakan rakyatnya yang miskin, Indonesia juga dapat menjual dan

mengelola bahan mentahnya meskipun dengan harga yang murah, dan mendapatkan penghasilan dari

situ. Dilihat dari konteks waktu awal penanam modal Nike di Indonesia pada tahun 1988, pada saat itu

Indonesia memang sedang membutuhkan investasi asing untuk pertumbuhan ekonominya karena saat

pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru saat itu Indonesia mengalami krisis ekonomi. Ketika

investasi sudah masuk dan pemerintah diuntungkan karena pembangunan pabrik tersebut mengurangi

rakyat yang pengangguran dan menambah penghasilan dari pajak dan biaya admisnistrasi lain,

Indonesia menutup mata atas eksploitasi yang dilakukan oleh Nike terhadap buruh. Untuk

mempertahankan investasi tersebut, pemerintah berusaha untuk menciptakan kondisi politik dan

ekonomi yang menguntungkan bagi perusahaan asing melalui regulasi dan kebijakan. Pada tahun 1988

misalnya, Indonesia tidak mempunyai peraturan resmi mengenai perburuhan, baik dalam aspek

perlindungan hak-haknya maupun dalam aspek upah dan pembentukan perserikatan, sehingga

menyebabkan Nike memanfaatkan peluang ini untuk memproduksi dengan biaya rendah dan

memaksimalkan keuntungan. Bahkan ketika undang-undang perburuhan pertama kali dibentuk pada

tahun 1998 dan diperbaharui pada tahun 2004 karena adanya tekanan dari aktivis dan kelompok buruh

sendiri, implementasi dari regulasi tersebut untuk melindungi hak-hak pekerja masih belum dilakukan

secara maksimal oleh pemerintah yang memegang yurisdiksi atas perusahaan Nike yang membuka

pabrik di tanah Indonesia dan memanfaatkan komoditas dari Indonesia. Bahkan pelaksanaan peraturan

perundangan-undangan mengenai penanam modal pun menghiraukan bagian pokok dari peraturan

tersebut, yaitu nilai transparansi dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.51

Pemerintah Indonesia bahkan dapat dikatakan sama sekali tidak mengimplementasikan peraturan

tersebut, karena selama ini yang aktif menyuarakan hak-hak buruh dan melakukan publikasi data-data

penganiayaan dalam pabrik untuk meningkatkan transparansi publik adalah kelompok-kelompok

aktivis dan NGO (non-government organization). Mekanisme seperti ini semakin dipertahankan ketika

kelompok pengusaha dalam Indonesia sendiri melakukan penetrasi ke dalam pemerintahan dan

mempengaruhi proses pembuatan dan pengimplementasian kebijakan untuk menambah keuntungannya

dari investasi pihak asing tersebut. Nike sendiri mempertahankan kondisi seperti itu dengan menjalin

51 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.19

Page 21: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

hubungan baik dengan pemerintah. Hubungan antara Nike dan pemerintah serta kelompok penguasa

modal lain dalam negara tersebut menunjukkan adanya kolaborasi antar kelas borjuis dalam tingkat

global untuk mempertahankan mekanisme kapitalisme yang dianggap menguntungkan bagi mereka.

Kondisi seperti inilah yang menyebabkan buruh sebagai kelompok proletar semakin tidak

berdaya, karena didominasi oleh kelompok kapitalis atau borjuis dalam dua tingkat, yaitu tingkat

nasional oleh pemerintah dan pengusaha dalam negeri, dan tingkat global oleh perusahaan Nike Inc.

sebagai penguasa modal. Mekanisme inilah yang disebut Marx sebagai mekanisme ‘alienation’ yang

memang ditujukan untuk membuat kelompok buruh ini tetap powerless agar tidak dapat mengubah

keadaan. Posisi yang tidak menguntungkan ini menyebabkan hubungan ketergantungan satu arah dari

para buruh yang bergantung pada investasi perusahaan asing ini sebagai pemilik modal agar dapat

mendapatkan penghasilan untuk setidaknya memenuhi kebutuhan pangan dan mempertahankan hidup,

yang merupakan bagian paling dasar dan penting dari aktualisasi kehidupan manusia. Karena

menguntungkan bagi Nike Inc., mekanisme ketergantungan sistemik ini dipertahankan sedemikian

rupa melalui cara-cara yang telah dipaparkan di atas untuk menjaga dan menambah keuntungan

mereka sebagai kelompok kapitalis.

20

Page 22: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan paradigma stukrturalisme dan teori world system, Nike Inc. sebagai sebuah

perusahaan athletic sportswear berskala global memanfaatkan globalisasi dan hubungan antar kelas

dalam struktur global untuk mempertahankan usahanya dalam rangka menambah keuntungan untuk

kemudian dijadikan modal kembali untuk mengembangkan proses produksi. Sebagai bagian dari

kelompok kapitalis, Nike Inc. selalu berorientasi pada akumulasi keuntungan yang akan dijadikan

modal, sehingga dalam mengembangkan usahanya akan cenderung melakukan mekanisme

pengurangan biaya produksi. Pengurangan biaya produksi tersebut dilakukan dengan mengeksploitasi

sumber daya wilayah lain yang berupa bahan mentah dan tenaga kerja dalam jumlah banyak dengan

harga yang murah. Indonesia sebagai negara berkembang menawarkan keuntungan tersebut, sehingga

mendorong Nike Inc. membuka pabriknya pertama kali pada tahun 1988, dan tetap

mempertahankannya hingga tahun 2011. Pabrik yang terkenal dengan istilah sweatshop ini,

berdasarkan laporan dari jurnalis dan NGO internasional dengan jaringan yang terpercaya,

mengeksploitasi buruh Indonesia dengan melakukan penganiayaan dan pelanggaran hak-hak buruh

untuk memaksimalkan daya produksi. Meskipun melanggar peraturan dan menyebabkan ketimpangan

kelas, mekanisme eksploitasi ini dipertahankan hingga hingga tahun 2011 karena melihat akumulasi

keuntungan bagi perusahaan Nike Inc. yang berkolaborasi dengan kelompok kapitalis dan borjuis lain,

dalam kasus ini adalah kelompok pengusaha dalam negeri dan pemerintah, yang juga mendapatkan

keuntungan dari mekanisme tersebut. Kolaborasi kelompok kuat yang menyebabkan kelas buruh ini

semakin powerless karena secara sistemik dihindarkan dari sumber-sumber kekuatan seperti modal

dan pendidikan, dipertahankan melalui berbagai regulasi dan cara sehingga menyebabkan

ketergantungan sepihak dari kelompok buruh yang akhirnya lebih membutuhkan keberadaan Nike Inc.

dengan mekanisme eksploitasinya tersebut untuk dapat bertahan hidup. Ketergantungan ini

menguntungkan bagi Nike Inc. karena dapat secara berkelanjutan menghemat biaya produksinya dan

menambah keuntungannya di pasar global. Jadi pada intinya, mekanisme eksploitasi yang dilakukan

oleh Nike Inc. berserta kelas kapitalis dan borjuis lainnya di Indonesia memang sengaja dipertahankan

karena melihat keuntungan yang berujung pada akumulasi capital atau modal, yang memang

merupakan orientasi utama kelompok kapitalis dalam sistem ekonomi dunia.

21

Page 23: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

DAFTAR REFERENSI

Buku

Dunne, Tim, Milja Kurki dan Steve Smith. International Relations Theories – Dicipline and Diversity, Second Edition. (New York: Oxford University Press, Inc., 2010).

Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi. International Relations Theory, Fourth Edition. (USA: Pearson Education Inc., 2010).

JurnalLocke, Richard M, et all. “Does Monitoring Improve Labor Standards? Lessons from Nike” dalam

Industrial and Labor Relations Review, Vol. 61, No. 1 (USA: Cornell University, 2007) diakses dari http://www.jstor.org/stable/25249121 pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.44 WIB. hal 7.

Sarwedi. “Investasi Asing Langsung di Indonesiadan Faktor yang Mempengaruhinya” dalam Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 4, No. 1. (Jakarta: Universitas Kristen Petra, 2002),

Bulletin dan Majalah

Jakarta Globe. “While Global Recovery Sputters, Indonesia Strong, IMF Says” dalam Indonesia News and Views, Bi-Weekly Bulletin Issue 22(edisi 14 November 2009). (Helsinki: Embassy of the Republic of Indonesia, 2009).

Joseph, Adam. “Sustainable Marketing and CSR: Just Do It” dalam Professional Marketing edisi April – Juni 2010.

Internet

Badan Pusat Statistik. “Keadaan Ketenagakerjaan Februari 2011” dalam Berita Resmi Statistik – Badan Pusat Statistik No.33/05/Th.XIV, 5 Mei 2011. diakses dari http://www.bps.go.id/brs_file/naker-05mei11.pdf pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 11.18 WIB.

Ballinger, J dan C.Olsson. Behind the Swoosh. (Global Publ. Foundation: 1997) diakses dari http://www.citinv.it/associazioni/CNMS/archivio/multinazionali/profilonike.html pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.40 WIB.

Clean Clothes Campaign, Indonesia: Historic Pact Today Strengthens Sportwear Workers Union Rights, diakses dari http://www.cleanclothes.org/news/indonesia-historic-pact-today-strengthens-sportswear-workers-union-rights pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.42 WIB.

Connor, Timothy. We Are Not Machines. diakses dari http://www.oxfam.org.au/resources/filestore/originals/OAus-WeAreNotMachines-0302.pdf pada tanggal 14 November 2011 pukul 14.15 WIB.

22

Page 24: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

Djumena, Erlangga. Nike Hadapi Dugaan Penganiayaan Buruh di Indonesia. diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/07/14/11355771/Nike.Hadapi.Dugaan.Penganiayaan.Buruh.di.Indonesia pada tanggal 17 Desember 2011 pukul 14.20 WIB.

Djumena, Erlangga. Apindo Akan Cek Pabrik Nike. diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/07/14/15312315/Apindo.Akan.Cek.Pabrik.Nike pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 14.05 WIB.

Enderle, Kim, et all. Strategic analysis of Nike.Inc.. diakses dari http://condor.depaul.edu/aalmaney/StrategicAnalysisofNike.htm pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.10 WIB.

Global Exchange. Nike FAQs. diakses dari http://www.globalexchange.org/sweatfree/nike/faq pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.50 WIB.

Karmini, Niniek dan Stephen Wright, AP Exclusive: Nike Faces New Worker Abuse Claims, diakses dari http://www.boston.com/business/articles/2011/07/13/ap_exclusive_nike_faces_new_worker_abuse_claims/ pada tanggal 17 Desember 2011 pukul 14.10 WIB.

Nike Inc. Coporate Responsibility Report, Workers and Factory Overview, diakses dari http://www.nikebiz.com/crreport/content/workers-and-factories/3-1-0-overview.php?cat=overview pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.15 WIB.

Skarbek, David, et all. Sweatshops, Opportunity Costs, and Non-Monetary Compensation: Evidence from El Salvador. diakses dari

http://www.davidskarbek.com/uploads/SweatshopsElSalvador.pdf pada tanggal 18 November 2011 pukul 14.41 WIB.

Shayon, Sheila. Nike Better World? Not For Converse Factory Workers in Indonesia. diakses dari http://www.brandchannel.com/home/post/2011/07/13/Nike-Just-Not-Doing-It-Right.aspx pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.46 WIB.

Suhartono, Harry dan Ed Davies. Nike Says Committed to Grow in Indonesia. diakses dari http://www.reuters.com/article/2007/07/17/us-nike-indonesia-idUSJAK2446220070717 pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 14.02 WIB.

Suprapto, Hadi dan Elly Setyo Rini. Nike Relokasi Pabrik dari China. diakses dari http://bisnis.vivanews.com/news/read/100678-nike_relokasi_pabrik_dari_china pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.20 WIB.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal“—“, Exploitation, diakses dari http://plato.stanford.edu/entries/exploitation/ pada tanggal 16 Desember

2011 pukul 13.46 WIB.

“—“. Nike Inc., diakses dari http://knowmore.org/wiki/index.php?title=Nike pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.26 WIB.

23

Page 25: Hana Hanifah-THI I 2011-Paper Akhir-Eksploitasi Buruh Nike Sweatshop Di Indonesia Pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme

“—“. Striking Back at Nike: Just Do It!. diakses dari http://revcom.us/a/v19/905-09/908/nike1.htm pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.36 WIB.

“—“, Nike Sweatshop History: Should Action be Taken?, diakses dari http://homepage.mac.com/barbarap2/home/laborcrises/Nike.htm pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.05 WIB.

“—“. Nike Sepakat Perpanjang Kontrak. diakses dari http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2007/07/31/brk,20070731-104694,id.html pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 11.05 WIB.

“—“. Pengangguran di Kota Sukabumi Terus Bertambah. diakses dari http://bataviase.co.id/node/88361 pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 10.56 WIB.

“—“. 27 Ribu Warga Sukabumi Menganggur. diakses dari http://news.okezone.com/read/2010/06/23/340/345952/27-ribu-warga-sukabumi-menganggur pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 11.14 WIB.

24