hana hanifah-thi i 2011-paper akhir-eksploitasi buruh nike sweatshop di indonesia pada tahun 1988 -...
TRANSCRIPT
Eksploitasi Buruh Pabrik Nike Sweatshop di Indonesia pada Tahun 1988 - 2011 Sebagai Bentuk Mekanisme Kapitalisme
Makalah akhir untuk Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional I
Disusun oleh
Hana Hanifah – 1006694403
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Indonesia
2011
0
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak abad ke-20, globalisasi telah memunculkan tantangan dan peluang baru dalam hubungan
ekonomi internasional, ketika negara dan perusahaan multinasional bersaing untuk meraih keuntungan
dari kondisi tersebut. Perusahaan-perusahaan multinasional besar yang datang dari negara dunia
kesatu, seperti Adidas, Nike, GAP, dan Reebok, berlomba melakukan ekspansi dan membuka pabrik-
pabrik produksi di negara dunia ketiga, yang memang membutuhkan investasi dan lapangan pekerjaan
bagi rakyatnya, dalam rangka meraup keuntungan sebesar-besarnya untuk mengembangkan
industrinya masing-masing. Masalahnya, pabrik-pabrik yang dikenal dengan istilah ‘sweatshop’
tersebut memperlakukan buruhnya tidak sesuai dengan standar peraturan nasional maupun
internasional yang seharusnya ditaati. Meskipun sudah muncul banyak pergerakan sosial untuk
memperbaiki kondisi buruh dan menghapuskan ‘sweatshop’ tersebut, namun eksploitasi ini masih
terjadi hingga saat ini, sehingga muncul berbagai permasalahan sosial seperti ketimpangan ekonomi,
kemiskinan, pelanggaran HAM, dan keterbelakangan pembangunan negara yang masih belum dapat
diselesaikan. Indonesia merupakan salah satu negara yang juga mengalami eksplotasi tersebut, sejak
Nike pertama kali mendirikan pabriknya pada tahun 1988 hingga saat ini.
Dari sekian banyak perusahaan multinasional yang melakukan sistem produksi sama di
Indonesia, mengapa Nike yang dipilih?
Menurut kantor jurnalis AFL-CIO Indonesia, keluhan pekerja mengenai kondisi pabrik dan
penganiayaan serta pelecehan di Indonesia lebih banyak datang dari pabrik Nike jika dibandingkan
dengan pabrik perusahaan lain, terutama dalam masalah upah yang terlalu rendah. Tidak hanya dalam
tingkat nasional, keluhan dan protes mengenai kondisi penganiayaan dan pelecehan yang terjadi dalam
pabrik Nike juga secara signifikan terjadi dalam tingkat global, sesuai dengan laporan dari berbagai
NGO internasional dan jurnalis yang berasal dari berbagai media, seperti Economist, The New York
Times, dan Reuters. Sebagai perusahaan sepatu terbesar di dunia dan memposisikan dirinya sebagai
industry leader, sehingga Nike dapat dikatakan sebagai trendsetter dan menjadi contoh bagi industri
lain, terutama yang bergerak di bidang serupa, sehingga dapat berpengaruh secara siginifikan dalam
kondisi persaingan ekonomi global.
Nike tumbuh menjadi perusahaan multinasional terbesar dengan memanfaatkan eksploitasi buruh
Indonesia untuk memproduksi sepatu dan pakaian olahraganya, dan meninggalkan negara tersebut
tertinggal dan tetap menjadi negara berkembang. Makalah ini berusaha untuk menjelaskan paradoks
1
tersebut dengan menggunakan paradigma strukturalisme dan menitikberatkan analisis pada teori world
system, serta menggunakan konsep kapitalisme dan eksploitasi sebagai konsep utama. Untuk
mendukung penjelasan, penulis akan menggunakan data yang menunjukkan bagaimana eksploitasi
dilakukan Nike Inc. pada buruh yang bekerja di ‘sweatshop’, yang sengaja ditempatkan di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Dengan bantuan paradigma strukturalisme dan teori world system makalah ini berusaha untuk
menjawab pertanyaan: apa yang menyebabkan ‘sweatshop’ sebagai bentuk eksploitasi yang
dilakukan oleh Nike Inc. terhadap buruh di Indonesia masih bertahan sejak tahun 1988 hingga
tahun 2011? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sesuai dengan paradigma strukturalisme yang
menggunakan unit analisis berupa hubungan antar kelas dalam struktur ekonomi internasional dilihat
dari perkembangan historisnya, makalah ini akan berfokus pada dua unit analisis, yaitu Nike sebagai
perwakilan kelas kapitalis yang memegang dominasi dalam sistem kapitalisme global, dan buruh
pabrik Indonesia sebagai perwakilan kelas proletar yang dianggap sebagai alat produksi dan
dieksploitasi oleh Nike sebagai pemilik modal.
1.3. Kerangka Teori
1.3.1. World System Theory
Menurut Marx, kapitalisme merepresentasikan suatu bentuk kehidupan sosial dimana proses
komodifikasi sudah menjelma hingga tahap perdagangan pekerja manusia sebagai alat produksi.
Situasi ini berasal dari perkembangan sejarah hubungan antar kelas dan powers, yaitu adanya
perkembangan capital atau modal yang diiringi dengan munculnya wage labor atau buruh bayaran. Di
satu sisi, modal secara sosial dianggap sebagai private property atau kepemilikan pribadi dari
segelintir pihak yang harus dipenuhi untuk melakukan proses produksi. Sementara itu, wage labor
dianggap sebagai aktivitas yang harus dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat untuk
mendapatkan sumber penghidupan.1 Pemilik modal dan buruh tidak berhubungan secara langsung.
Hubugan tersebut dijembatani oleh pekerja yang dibayar oleh pemilik modal, yang dibebaskan untuk
memperlakukan buruh yang bekerja dibawahnya sebagai property atau barang pribadi mereka. Namun
kebebasan ini terbatas karena pekerja pemilik buruh ini berada dibawah kontrol dari pemilik modal,
sehingga mereka terpaksa untuk menjual buruh tersebut kepada para pemilik modal agar mendapatkan
akses terhadap keperluan produksi, terlibat dalam aktivitas produktif dalam kehidupan sosial, dan
1 Tim Dunne, Milja Kurki dan Steve Smith, International Relations Theories – Dicipline and Diversity, Second Edition, (New York: Oxford University Press, Inc., 2010), hal 161.
2
mendapatkan jaminan keberlangsungan hidup dari gaji.2 Berdasarkan penjelasan ini, Marx menyatakan
bahwa sistem kapitalisme secara paradoks mengembangkan kekuatan produktivitas dalam masyarakat
hingga tahap yang cukup tinggi dan efisien, sedangkan di sisi lain juga menyebabkan proses-proses
yang eksploitatif, tidak demokratis, dan memperlemah posisi salah satu kelas dalam masyarakat.3
Kelas buruh yang secara sosial ini menjadi lemah posisinya, secara sistemik dicegah untuk menyadari
kekuatan produksi mereka yang sesungguhnya dan kebebasannya ditekan agar kekuatan tersebut tidak
dapat direalisasikan dengan mencegah kelompok ini melihat dan menyadari adanya suatu alternatif
yang dapat menimbulkan transformasi hubungan produksi dalam kehidupan sosial. Marx menyebut
proses ini dengan istilah ‘alienation’ atau ‘fetishism’.4 Mekanisme ini juga didukung oleh adanya
ketergantungan negara secara struktural yang membutuhkan investasi dari pihak swasta, sehingga
pemerintah cenderung untuk ‘melayani’ kepentingan jangka panjang dari kelas kapitalis yang
mengendalikan modal ini.5
Mekanisme dan proses dominasi dan eksploitasi tidak dapat dihapuskan dari sistem kapitalis
karena merupakan bagian integral dari sistem kapitalis itu sendiri.6 Mekanisme eksploitasi ini tidak
dapat terjadi tanpa adanya koalisi kelas trans-nasional yang menyatukan para elit atau pemiliki modal
yang ada di negara maju dan berkembang. Kaum elit pemiliki modal ini akan lebih mementingkan
perolehan keuntungan, sehingga akan cenderung untuk menekan biaya produksi dan menimbulkan
kerugian bagi kaum pekerja dan petani di negara berkembang atau negara periphery ini.7
Mekanisme kapitalisme ini tidak hanya sekedar fenomena domestik, namun merupakan
fenomena global karena adanya dinamika ekspansionis yang dilakukan oleh para pemilik modal untuk
menyebarkan dan mengintensifkan organisasi kapitalisnya, dalam rangka mengakumulasi capital atau
modal untuk mendukung ekspansi monopoli internasional dari blok industrial-financial capital
mereka.8 Faktor domestik yang mendukung mekanisme dominasi dan eksploitasi yang datang dari
lingkungan eskternal ini adalah adanya penguasa tanah, struktur sosial, aliansi kelas, dan peran negara
yang cenderung mendukung kaum kapitalis. Dukungan ini muncul dan dipertahankan karena adanya
‘selfish-benefits’ atau keuntungan pribadi dari kelas komprador atau borjuis dalam negara berkembang.
Kaum borjuis dalam negeri ini beraliansi dengan kaum kapitalis dari luar negeri, dan membuat
kebijakan-kebijakan yang lebih memihak dan menguntungkan kaum kapitalis dan dirinya sendiri,
2 Ibid.3 Ibid.4 Ibid, hal 161 – 162.5 Ibid, hal 1636 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory, Fourth Edition, (USA: Pearson Education Inc., 2010), hal 195.7 Ibid.8 Tim Dunne, Milja Kurki dan Steve Smith, loc. cit.,hal 164.
3
sehingga semakin mendukung hubungan ketimpangan antara borjuis dan pekerja proletar dalam
negeri. Mekanisme seperti ini sudah sangat mengakar dalam sistem kapitalis, karena dapat memenuhi
kepentingan kaum kapitalis untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.9 Meskipun dianggap
sebagai generalisasi yang dapat diterima, proses dominasi dalam sistem kapitalis ini berjalan berbeda-
beda di setiap negara.10
Menurut Immanuel Wallerstein, sistem ini merupakan sistem world economy, yang mulai
dipertahankan sejak abad ke-16. Sistem ini ditandai dengan adanya pemisahan zona geografis yang
didasari oleh adanya division of labor yang terjadi sebagai akibat dari perluasan kesejahteraan.
Hubungan antar aktor dalam sistem ini tidak dibatasi oleh kesatuan struktur politis, melainkan
disatukan oleh division of labor tersebut.11 Sistem ini berubah menjadi sistem kapitalis ketika proses
yang terjadi dalam sistem memberikan prioritas terhadap akumulasi modal yang tidak dibatasi waktu,
yang menjadi mekanisme struktural dalam sistem. Motivasi lain dalam sistem selain akumulasi modal
akan secara langsung tereliminasi.12
Dalam sistem ini, setiap negara mempunyai peran dan kepentingannya masing-masing. Core
states dalam satu pihak mempunyai kepentingan untuk mempertahankan kegiatan ekonomi yang
bersifat core-like, dimana adanya ketimpangan dalam pertukaran kesejahteraan dan sumber daya. Di
sisi lain, weak states atau negara-negara lemah tidak mempunyai cukup kemampuan untuk
mempengaruhi sistem yang ditentukan oleh core states, sehingga selalu menjadi pihak yang
didominasi dan dieksploitasi. Diantara keduanya, negara semi-periphery mempunyai kepentingan
untuk menjaga posisinya agar tidak tergelincir dan masuk dalam kategori negara periphery, dan
mereka juga berusaha untuk meningkatkan posisinya untuk menjadi kelas core states.13 Namun secara
umum, hubungan antara kelompok negara ini ditunjukan melalui hubungan ketimpangan struktur
sosial, dimana adanya dominasi dari core-states yang mengeksploitasi pheriphery states.14
Teori ini melihat Multinational Corporation (MNC) dan lembaga bank internasional, yang
dianggap sebagai agen dari kaum borjuis internasional, merupakan aktor utama yang membentuk dan
mempertahankan hubungan ketergantungan atau dependency ini.15
9 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, loc. cit., hal 196.10 Ibid, hal 196.11 Ibid, hal 228.12 Ibid.13 Ibid, hal 230.14 Tim Dunne, Milja Kurki dan Steve Smith, loc. cit., hal 165.15 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, loc. cit, hal 195.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. NIKE Inc. dan Sistem Produksi Global Kapitalis
Nike Inc. resmi didirikan pada tahun 1962 oleh Bill Bowerman dan Phil Knight dalam bentuk
partnership dengan nama Blue Ribbon Sports. Tujuan awal dibentuknya partnership ini adalah untuk
mendistribusikan sepatu atletis untuk keperluan olah raga buatan Jepang dengan kualitas tinggi dan
harga murah, dalam rangka mematahkan dominasi Jerman melalui perusahaan Adidas dan Puma,
dalam industri domestik USA.16 Impor dari Jepang ini dianggap lebih menguntungkan karena upah
buruh lebih murah di Jepang, sehingga harga sepatunya juga lebih murah.17 Pada tahun 1972, nama
Blue Ribbon Sports resmi digantikan dengan Nike Inc., yang didirikan sebagai sebuah perusahaan,
dengan Swoosh logonya dan slogan “Just Do It” yang catchy dan terkenal.18 Tiga produk utama dari
Nike adalah sepatu atau alas kaki, pakaian dan perlengkapan olah raga yang diproduksi oleh sekitar
600 pabrik kontrak yang memperkerjakan lebih dari 800.000 pekerja di 46 negara dunia.19
Hingga saat ini Nike Inc. masih mempertahankan jaringannya di lebih dari 100 negara sasaran
pasarnya, diantaranya di wilayah USA, Eropa, Asia Pasifik, dan Amerika Latin. Nike mendominasi
penjualan industri athletic footwear dengan menguasai 33% dari pasar global. Untuk mempertahankan
posisinya tersebut, Nike Inc. membuat biaya inventorisnya serendah mungkin agar dapat cepat
beradaptasi dengan trend pasar yang fluktuatif. Penekanan biaya produksi dilakukan dengan
mengurangi biaya operasi. Melihat kebangkitan kondisi perekonomian di wilayah Asia-Pasifik, Nike
Inc. memanfaatkan peluang ini untuk membuka pasar dan mengkapitalisasi kostumer baru yang saat
ini lebih kuat secara finansial.20
Nike memulai produksinya pada tahun 1972 di Korea Selatan dan Taiwan karena tertarik dengan
upah buruh yang rendah. Nike tidak pernah mempunyai sendiri pabriknya, namun perusahaan ini
mengontrak pabrik lokal di Korea Selatan dan Taiwan untuk memproduksi sepatunya. Menurut Phil
16 Richard M. Locke, et all., “Does Monitoring Improve Labor Standards? Lessons from Nike” dalam Industrial and Labor Relations Review, Vol. 61, No. 1 (USA: Cornell University, 2007) diakses dari http://www.jstor.org/stable/25249121 pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.44 WIB, hal 7.17 J.Ballinger and C.Olsson, Behind the Swoosh, (Global Publ. Foundation: 1997) diakses dari http://www.citinv.it/associazioni/CNMS/archivio/multinazionali/profilonike.html pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.40 WIB.18 Nike Sweatshop History: Should Action be Taken?, diakses dari http://homepage.mac.com/barbarap2/home/laborcrises/Nike.htm pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.05 WIB.19 Nike Inc. Coporate Responsibility Report, Workers and Factory Overview, diakses dari http://www.nikebiz.com/crreport/content/workers-and-factories/3-1-0-overview.php?cat=overview pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.15 WIB.20 Kim Enderle, et all., Strategic analysis of Nike.Inc., diakses dari http://condor.depaul.edu/aalmaney/StrategicAnalysisofNike.htm pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.10 WIB.
5
Knight, Nike sebenarnya hanya merupakan perancang dan penjual sepatu, sementara proses produksi
atau manufacturing itu sendiri dilakukan oleh pabrik-pabrik di Korea Selatan dan Taiwan. Model
produksi ini kemudian ditiru oleh perusahaan lain yang sejenis, seperti Adidas dan Reebok.21
Pada akhir tahun 1980an, Nike meminta perusahaan Korea Selatan yang telah dikontraknya
untuk memindahkan kegiatan produksi ke daerah Asia Tenggara, tepatnya Thailand dan Indonesia,
karena pada saat itu pemerintah Korea Selatan mulai menerapkan pengaturan terhadap kenaikan
tingkat upah bagi buruh dan pengawasan tempat kerja oleh pihak yang berwenang, sehingga dianggap
tidak lagi menguntungkan. Thailand dan Indonesia sendiri dipilih karena upah buruhnya lebih rendah
dan tidak ada pengaturan mengenai perburuhan yang ketat. Sejak tahun 1992, Nike resmi menjalin
kontrak dengan tiga perusahaan Taiwan yang beroperasi di China, tiga perusahaan Korea Selatan
beroperasi di Indonesia, dan satu perusahaan Thailand merupakan penyalur sepatu bagi Nike. Nike
sendiri hanya memperkerjakan sekitar 12.000 karyawan yang sebagian besar bekerja di USA,
sementara produknya diproduksi oleh sekitar ratusan ribu tenaga kerja dibawah penyalur dari Asia.22
Fasilitas produksi Nike dilokasikan di Asia dan Amerika Selatan karena dianggap sesuai dengan
misi Nike untuk menjadi perusahaan global. Pada kenyataannya, fasilitas produksi sengaja dibangun di
negara-negara tersebut agar lebih dekat dengan bahan mentah dan sumber buruh murah. Meskipun
fasilitas produksi ini jauh berlokasi jauh dari kebanyakan konsumer Nike sehingga menyebabkan biaya
distribusi menjadi lebih mahal, mekanisme penekanan biaya produksi, yaitu dengan memilih bahan
mentah dan buruh murah, secara efektif dapat menjaga keuntungan Nike.23
Nike sendiri memulai operasinya di Indonesia pada tahun 1988. Kebanyakan pabrik yang
memproduksi barang-barang untuk Nike berlokasi di area industri yang saat itu baru berkembang,
seperti Tangerang, Serang, hingga bagian Barat Jakarta. Manajer dan supervisor pabrik-pabrik tersebut
biasanya orang Korea atau orang Indonesia sendiri, namun semua pekerja sebagai buruh berasal dari
Indonesia, kebanyakan adalah wanita dengan usia 16-22 tahun.24
Investasi sebanyak US$ 8 juta ditanamkan Nike untuk ekspansi pabrik di Sukabumi. Dengan
ekspansi tersebut, hingga saat ini terdapat 7 pabrik Nike di Indonesia. Didirikannya pabrik baru
tersebut meningkatkan kapasitas produksi Nike perwakilan Indonesia menjadi 1 juta pasang sepatu per
tahun, dari kapasitas semula yang hanya 400 ribu pasang sepatu, dengan rata-rata 60 ribu pasang per
pabrik. Ekspansi ini juga dikatakan menguntungkan karena menyerap sekitar 22 ribu tenaga kerja.25
21Richard M. Locke, et all., op. cit., hal 7 – 8.22 J.Ballinger and C.Olsson, loc. cit.23 Kim Enderle, et all., loc. cit.24 J.Ballinger and C.Olsson, loc. cit.
6
Indonesia saat ini merupakan negara basis pabrik ketiga terbesar milik Nike, setelah Cina dan
Vietnam, dengan 14 pabrik kontrak yang memperkerjakan sekitar 140.000 pekerja. Diantara pabrik-
pabrik tersebut, empat pabrik memproduksi merek Converse, yang merupakan perusahaan milik Nike
Inc.26
Model produksi sepatu Nike ini berbasis operasi global dan sesuai dengan mekanisme ekspansi
kapitalisme, karena produk dirancang di USA, buruh yang dipekerjakan untuk membuat sepatu berasal
dari negara-negara di Asia dengan upahnya yang sangat murah, menggunakan bahan mentah dari
beberapa negara, melibatkan modal dari perusahaan Korea, Taiwan, dan Jepang, dan melakukan
pemasaran di seluruh dunia. Pengoperasian produksi yang seperti ini merupakan metode yang umum
dilakukan oleh industri lain, seperti pakaian, mainan dan elektronik. Produksi berbasis global ini
melibatkan berbagai negara yang masing-masing berkonsentrasi pada bagian tertentu dari proses
produksi sesuai dengan kapabilitas unggulannya, atau sesuai dengan apa yang dapat mereka kerjakan
dengan lebih efisien dan murah. Globalisasi mendukung proses tersebut dan menyebabkan
international division of labor, dimana setiap negara ikut serta dalam aktivitas ekonomi sesuai dengan
comparative advantage yang diunggulkannya. Untuk kebanyakan negara Asia Selatan dan Asia
Tenggara, comparative advantage yang dimilikinya adalah tenaga kerja atau buruh murah dalam
jumlah besar, yang merupakan hasil dari kemiskinan yang menyebabkan adanya tenaga kerja berlebih
yang bersedia untuk bekerja apa saja agar mendapatkan penghidupan.27 Dalam hal ini, tenaga kerja
murah merupakan sumber daya strategis yang dimiliki oleh negara-negara Asia sebagai negara
berkembang. Membuka pabrik di negara-negara berkembang ini tentu saja jauh lebih menguntungkan
karena dapat mengurangi biaya produksi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, perusahaan Nike Inc. dapat dikatakan sebagai kelompok
kapitalis yang memanfaatkan kondisi pasar dan ketimpangan global untuk menjalankan usahanya dan
memperbanyak keuntungannya. Sesuai dengan teori world system, Nike merupakan kelompok
kapitalis yang memanfaatkan kondisi negara di dunia untuk meraup keuntungan. Dalam hal ini, Nike
memanfaatkan posisi USA sebagai negara kuat untuk membuka pasar baru di negara-negara lain yang
masih berkembang. Bahkan di USA sendiri, Nike berambisi untuk menguasai pasar dengan cara
memanfaatkan posisinya sebagai pemilik modal terbesar di dunia dan mempengaruhi pemerintah untuk
25 Hadi Suprapto dan Elly Setyo Rini, Nike Relokasi Pabrik dari China, diakses dari http://bisnis.vivanews.com/news/read/100678-nike_relokasi_pabrik_dari_china pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.20 WIB.26 Niniek Karmini dan Stephen Wright, AP Exclusive: Nike Faces New Worker Abuse Claims, diakses dari http://www.boston.com/business/articles/2011/07/13/ap_exclusive_nike_faces_new_worker_abuse_claims/ pada tanggal 17 Desember 2011 pukul 14.10 WIB.27 Ibid.
7
menjadikan kondisi pasar yang lebih kondusif dan bersahabat untuk pertumbuhan bisnis sepatu Nike
dalam rangka meraih keuntungan lebih banyak, yang merupakan inti dari sistem produksi kapitalis.
2.2. Nike Sweatshop dan Eksploitasi Terhadap Tenaga Kerja Buruh di Indonesia
Nike merupakan salah satu perusahaan yang mendapatkan penghargaan First Annual Golden
Grinch Awards dari National Labor Committee atas prestasinya sebagai pemilik sweatshop yang telah
menyebabkan penganiayaan terbesar. Istilah sweatshop ini memang diartikan berbeda-beda oleh
beberapa scholars, namun pada intinya istilah ini mengacu pada pabrik-pabrik di negara berkembang
yang memproduksi barang-barang, biasanya berupa pakaian, untuk perusahaan multinasional dan
konsumer di negara maju, dengan memperkerjakan tenaga kerja atau buruh dengan upah yang rendah
dan kondisi lingkungan kerja yang tidak memenuhi standar.28
Total investasi Nike di Indonesia sebanyak 600-700 juta USD, dengan total produksi ekspor
sebanyak 50-60 juta pasang sepatu. Dari tahun 1967 hingga 2007, nilai investasi industri sepatu ini
berkisar sekitar 2,13 miliar USD, dengan jumlah penyerapan tenaga kerja hingga 317 ribu tenaga kerja.
Meskipun industri ini sempat tutup pada tahun 2003-2005, investasi baru muncul kembali dengan
pembangunan pabrik sepatu selama 2006-2007 sebanyak 9 perusahaan dengan nilai investasi sekitar
78,72 juta USD.29 Jumlah investasi yang besar ini tentu saja sangat siginifikan untuk memenuhi
kebutuhan pemasukan negara dari investasi asing, yang diperkirakan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mencapai 220 milyar USD setiap tahunnya untuk periode tahun 2009 – 2014.30 Investasi
yang besar dan nilai ekspor yang cukup siginifikan tersebut tentu saja menguntungkan bagi negara
karena menghasilkan pemasukan yang tidak sedikit.
Menurut Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ahmad Fami, hingga tahun 2010 iklim investasi di
Kota Sukabumi Jawa Barat masih belum kondusif sehingga masih belum banyak pelaku usaha yang
berinvestasi di kota ini. Hal ini berakibat pada terbatasnya lapangan pekerjaan di daerah tersebut,
padahal jumlah angkatan kerja terus bertambah, terutama karena kurangnya keterampilan para
penduduk yang rata-rata hanya lulusan SMA atau SMK. Program pelatihan wirausaha sendiri belum
secara efektif terlaksana oleh pemerintah daerah.31 Hal ini menyebabkan jumlah pengangguran di 28 David Skarbek, et all., Sweatshops, Opportunity Costs, and Non-Monetary Compensation: Evidence from El Salvador, diakses dari http://www.davidskarbek.com/uploads/SweatshopsElSalvador.pdf pada tanggal 18 November 2011 pukul 14.41 WIB.29 “—“, Nike Sepakat Perpanjang Kontrak, diakses dari http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2007/07/31/brk,20070731-104694,id.html pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 11.05 WIB30 Jakarta Globe, “While Global Recovery Sputters, Indonesia Strong, IMF Says”, dalam Indonesia News and Views, Bi-Weekly Bulletin Issue 22(edisi 14 November 2009), (Helsinki: Embassy of the Republic of Indonesia, 2009), hal 3.31 “—“, Pengangguran di Kota Sukabumi Terus Bertambah, diakses dari http://bataviase.co.id/node/88361 pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 10.56 WIB.
8
Sukabumi hingga tahun 2010 meningkat hingga 27.000 orang.32 Kondisi di daerah ini berdampak
secara keseluruhan pada tingkat nasional, dimana tingkat pengangguran meningkat pada tahun 2009 –
2011, seperti yang ditunjukkan oleh tabel berikut:
Sumber: Badan Pusat Statistik.33
Masuknya investasi Nike dan pendirian pabrik di wilayah Sukabumi tersebut, menyerap ribuan
tenaga kerja sehingga secara signifikan mengurangi tingkat pengangguran dan memberikan sumber
penghidupan bagi masyarakat. Masyarakat Sukabumi yang mempunyai keterampilan minim tanpa
bantuan pemerintah ini melihat masuknya pabrik Nike sebagai sebuah peluang untuk mendapatkan
penghasilan. Karena tidak mempunyai alternatif lain, para penduduk yang bekerja di pabrik ini
menjadi tergantung dengan keberadaan investasi Nike sehingga cenderung menghiraukan kondisi
tempat kerja yang tidak manusiawi. Didukung dengan minimnya regulasi dari pemerintah, Nike
memanfaatkan kondisi ini untuk melakukan eksploitasi dengan memanfaatkan ribuan tenaga kerja
Indonesia untuk bekerja demi keuntungan Nike. Kondisi yang sama juga terjadi sejak tahun 1988.
32“—“, 27 Ribu Warga Sukabumi Menganggur, diakses dari http://news.okezone.com/read/2010/06/23/340/345952/27-ribu-warga-sukabumi-menganggur pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 11.14 WIB.33 Badan Pusat Statistik, “Keadaan Ketenagakerjaan Februari 2011” dalam Berita Resmi Statistik – Badan Pusat Statistik No.33/05/Th.XIV, 5 Mei 2011, diakses dari http://www.bps.go.id/brs_file/naker-05mei11.pdf pada tanggal 9 Januari 2012 puku; 11.18 WIB.
9
Sejak mendirikan pabrik melalui perusahaan kontrak di Indonesia pada tahun 1988, Nike
menerima tuntutan yang berasal dari berbagai laporan dan publikasi mengenai eksploitasi yang
dilakukan terhadap buruh yang bekerja di pabrik-pabrik yang memproduksi produk untuk Nike. Istilah
eksploitasi yang dimaksud disini adalah mekanisme pemanfaatan terhadap suatu subjek secara
sewenang-wenang hanya untuk kepentingan ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan rasa keadilan,
etika kelayakan dan kompensasi kesejahteraan yang cukup.34 Dalam penjelasan ini, standar dari
keadilan, etika kelayakan dan kompensasi kesejahteraan disesuaikan dengan peraturan yang ada dalam
taraf nasional dan internasional mengenai hak-hak asasi manusia pada umumnya, dan hak-hak buruh
pada khususnya.
Nike yang sempat menerima tuduhan atas pelanggaran hak anak karena memperkerjakan anak-
anak di bawah umur pada tahun 1980an, kembali menerima tuntutan atas eksploitasi yang berupa
penganiayaan terhadap buruh setalah isu tersebut mereda pada tahun 2000an. Pada tahun 2001, Global
Allience yang merupakan kelompok watchdog yang mengawasi pekerja pabrik mempublikasikan
laporan yang menyatakan bahwa pekerja atau buruh pabrik Nike di Indonesia dilecehkan secara verbal
dan seksual, diberikan akses yang terbatas terhadap pelayanan kesehatan, dan jam kerja yang melebihi
standar.35 Pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan dalam rangka menekan para pekerja untuk
menghasilkan barang sesuai dengan target yang ditentukan.
Laporan dari Oxfam Community Aid Abroad pada tahun 2002 yang didasarkan dari wawancara
terhadap 35 pekerja di pabrik Nike di Indonesia, menunjukkan bahwa para buruh ini dibayar dengan
gaji yang sangat rendah. Laporan ini juga menunjukkan bagaimana para buruh diancam pemecatan,
tuntutan hukum yang dapat berujung pada hukuman penjara atau serangan fisik jika mereka
membentuk atau ikut dalam gerakan serikat buruh independen, keadaan pabrik yang masih
membahayakan bagi kesehatan karena adanya racun kimia yang terhirup ketika bernapas dan mesin
pemotong yang berisiko dapat memotong jari tangan, dan tidak dipenuhinya hak-hak cuti untuk
masalah kesehatan.36 Kemudian pada tahun 2004 terdapat laporan yang dipublikasikan oleh Clean
Clothes Campaign, yang menyatakan bahwa adanya pelecehan seksual di pabrik sepatu di Indonesia
yang memproduksi sepatu untuk Nike dan beberapa merek lain, yang dilakukan oleh manajer pria
34 “—“, Exploitation, diakses dari http://plato.stanford.edu/entries/exploitation/ pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.46 WIB.35 Timothy Connor, We Are Not Machines, diakses dari http://www.oxfam.org.au/resources/filestore/originals/OAus-WeAreNotMachines-0302.pdf pada tanggal 14 November 2011 pukul 14.15 WIB.36 Ibid.
10
terhadap pekerja wanitanya dengan menggunakan ancaman pemecatan.37 Pelecehan ini merupakan
dampak nyata dari adanya eksploitasi yang menjadikan pihak buruh menjadi tidak berdaya.
Laporan terbaru berasal dari The Associated Press pada awal tahun 2011, menyatakan bahwa
para pekerja di perusahaan sepatu Converse Indonesia diperlakukan tidak manusiawi oleh supervisor
mereka, dengan melemparkan sepatu pada para buruh, menampar muka mereka, dan memanggil
pekerja dengan kata-kata kasar. Para pekerja ini mengaku tidak berdaya, karena hanya mempunyai
pilihan untuk tinggal dan diam bekerja, atau memprotes dan berbicara keluar kemudian dipecat. Pabrik
perusahaan yang dioperasikan oleh Pou Chen Group, sebuah perusahaan asal Taiwan, ini telah
memproduksi sepatu untuk Nike selama empat tahun terakhir. Pabrik ini memperkerjakan sekitar
10.000 pekerja yang didominasi oleh perempuan, yang menerima bayaran 50 sen per jam, makanan,
dan barak untuk menginap, sementara atasan Nike Inc. menerima gaji bernilai ratusan ribu dollar.38
Kondisi tersebut secara jelas menunjukkan pelanggaran terhadap Bab X Undang-Undang
Republik Indonesia no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai
perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan. Lingkungan kerja yang buruk, ditambah dengan upah
minim dan akses terbatas terhadap pelayanan publik menjadikan tingkat kesejahteraan buruh minim.
Pemerintah Indonesia seharusnya mempunyai yurisdiksi terhadap pelanggaran ini, namun hingga saat
ini tidak ada tindakan konkret yang menunjukkan penghukuman tersebut. Meskipun pemerintah sudah
memperbolehkan gerakan pekerja atau buruh untuk memenuhi hak-haknya melalui dibentuknya UU
No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, namun dalam prakteknya gerakan-gerakan
buruh yang terjadi tidak pernah secara siginifikan mempengaruhi posisi pemerintah dalam menangani
permasalahan eksploitasi yang berdampak pada penganiayaan terhadap buruh-buruh Indonesia yang
bekerja di pabrik Nike.
Nike, sebagai pemilik merek Converse, mengakui bahwa kondisi-kondisi tersebut memang
terjadi, tetapi menyatakan bahwa perusahaannya tidak bisa menghentikannya. Selain itu, merujuk
laporan internal Nike, perusahaan ini mengakui bahwa hampir dua pertiga dari 168 pabrik yang
membuat produk-produk Converse di seluruh dunia gagal memenuhi standar yang ditetapkan Nike
sebagai produsen kontrak, namun belum melakukan usaha yang konkret untuk memperbaiki kondisi
pabrik.39
37 Ibid.38 Erlangga Djumena, Nike Hadapi Dugaan Penganiayaan Buruh di Indonesia, diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/07/14/11355771/Nike.Hadapi.Dugaan.Penganiayaan.Buruh.di.Indonesia pada tanggal 17 Desember 2011 pukul 14.20 WIB.39 Ibid.
11
Menurut pandangan penulis, Nike Inc. kurang transparan dalam memberikan data mengenai
kondisi pekerjanya. Dalam pencarian data, tidak ditemukan laporan mengenai penganiayaan atau
eksploitasi yang dikeluarkan Nike Inc. untuk dapat diakses publik dalam websitenya. Data-data
mengenai penganiayaan dan eksploitasi ini penulis dapatkan dari sumber lain, seperti laporan NGO
atau jurnalis. Nike Inc. sendiri lebih mengutamakan laporan mengenai pemasukan dan penghargaan
dalam bidang bisnis dan marketing yang didapatkannya. Ini merupakan salah satu cara Nike sebagai
kelompok kapitalis menyembunyikan fakta ini untuk dapat mempertahankan sistem eksploitatif yang
menguntungkan bagi mereka.
Laporan-laporan tersebut menunjukkan bagaimana Nike sebagai kelompok kapitalis yang
memiliki kendali atas modal produksi melakukan eksploitasi terhadap tenaga kerja Indonesia yang
merupakan kelompok proletar, dengan menjadikan mereka sebagai alat produksi yang dapat
diperlakukan sewenang-wenang. Para buruh ini termasuk dalam kelompok proletar karena merupakan
kelompok masyarakat yang tidak mempunyai cukup kekuatan untuk mengubah posisinya sebagai
objek kegiatan produksi karena didominasi oleh perusahaan Nike sebagai kelompok kapitalis, yang
didukung oleh pemerintah dan struktur negara.
Menjawab publikasi terhadap pelanggaran hak-hak buruh yang terjadi dalam fasilitas produksi
Nike, perusahaan ini menyatakan bahwa mereka sudah berusaha dan mencapai standar pemenuhan
hak-hak tersebut dalam tingkat lokal, meskipun memang belum sesuai dengan standar yang diterapkan
USA. Nike juga menyatakan bahwa mereka sedang berusaha untuk menunjukkan komitmennya dalam
memperbaiki keadaan dengan mengadakan program monitoring dengan melibatkan NGO, yayasan,
dan institusi pendidikan lain, menerapkan standar operasional dalam pabrik, dan mendanai proyek dan
forum yang berkaitan dengan isu bisnis dan permasalahan sosial bertaraf global.40 Pada tahun 2008,
pakta perjanjian perbaikan kondisi pabrik dan pemenuhan hak-hak buruh telah ditandatangani oleh
beberapa perusahaan, termasuk Nike, dengan organisasi perserikatan buruh. Penandatangan ini
dilakukan sebagai bentuk realisasi kampanye The Play Fair 2008 yang dicetuskan saat Olimpiade
Beijing dengan tujuan menekan perusahaan sportswear untuk mengambil langkah konkrit dan
berkolaborasi dengan pemerintah, NGO, dan perusahaan lain untuk mengatasi permasalahan buruh
secara global.41 Namun, apakah usaha tersebut benar-benar dilakukan dan efektif dalam mengubah
kondisi pabrik yang eksploitatif?
40 Kim Enderle, et all., loc. cit41 Clean Clothes Campaign, Indonesia: Historic Pact Today Strengthens Sportwear Workers Union Rights, diakses dari http://www.cleanclothes.org/news/indonesia-historic-pact-today-strengthens-sportswear-workers-union-rights pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.42 WIB.
12
Hannah Jones, Nike VP of sustainable business and innovation yang dinobatkan sebagai salah
satu Fast Company’s most creative people of 2010 yang bertanggung jawab atas usaha perusahaan
untuk meningkatkan kondisi dalam lingkungan kerja mengatakan bahwa penganiayaan secara verbal
dan fisik memang terjadi namun belum pada frekuensi regular, dan dianggap sebagai hal yang biasa
terjadi dalam lingkungan kerja. Nike menyalahkan kontrak dari perusahaan pabrik lokal yang
menyebabkan pengawasan ketat dari Nike tidak dapat dilakukan. Jones menyatakan bahwa Nike
sendiri sudah berusaha untuk memperbaiki dan memperbaharui kontrak tersebut, namun usahanya ini
selalu terhambat oleh perusahaan pabrik lokal itu sendiri. Melihat pernyataan ini, kritik menilai bahwa
hal tersebut tidak mungkin terjadi karena perusahaan sebesar Nike pasti mempunyai cukup kekuatan
untuk mempengaruhi kontrak dengan penyalurnya.42
Pada kenyataannya, Nike, seperti juga perusahaan lain tetap mementingkan keuntungan yang
lebih besar. Dengan tingkat kompetisi global yang sangat ketat, penurunan biaya produksi merupakan
salah satu cara paling efektif untuk menambah, atau setidaknya menjaga keuntungan perusahaan. Oleh
sebab itu, Nike berusaha berkolaborasi dengan pihak pemerintah, media, dan institusi lain agar dapat
membantu Nike menutupi berbagai kasus penganiayaan dan menjustifikasi praktek eksploitasi yang
dilakukannya.
Pada bulan Mei 1998, Nike mengumumkan bahwa perusahaannya akan mengijinkan
pengawasan secara independen terhadap proses produksi di pabriknya. Namun pada kenyataannya,
Nike menggunakan firma dengan basis profit-oriented seperti Price Waterhouse Coopers dan Ernst &
Young yang berpihak pada Nike untuk melakukan pengawasan tersebut.43
Nike sendiri menyadari bahwa keberadaannya di Indonesia memberikan keuntungan karena
dapat mengurangi biaya produksi. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan corporate social responsibility
(CSR) di Indonesia, Nike dalam laporan CSR tahunannya menekankan pada pentingnya sustainability
atau keberlangsungan dari pertumbuhan dan inovasi Nike. Oleh sebab itu, Nike melakukan berbagai
program CSR, mulai dari perbaikan sistem pabrik dengan mengurangi jumlah polusi, hingga
peningkatan kondisi pabrik-pabrik kontrak untuk menjaga popularitas pabrik ini bagi para pekerja.44
Nike berkolaborasi dengan pemerintah, baik pemerintah Amerika maupun pemerintah di negara
berkembang itu sendiri, dalam kasus ini Indonesia. Nike berusaha untuk mendapatkan dukungan dari
42 Sheila Shayon, Nike Better World? Not For Converse Factory Workers in Indonesia, diakses dari http://www.brandchannel.com/home/post/2011/07/13/Nike-Just-Not-Doing-It-Right.aspx pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.46 WIB.43 Global Exchange, Nike FAQs, diakses dari http://www.globalexchange.org/sweatfree/nike/faq pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.50 WIB.44 Adam Joseph, “Sustainable Marketing and CSR: Just Do It”, dalam Professional Marketing edisi April – Juni 2010, hal 31.
13
pihak pemerintah dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan mendanai kampanye kandidat
senator di USA. Usaha tersebut berhasil membuat beberapa kandidat membantu Nike dengan
mendukung program-programnya, meskipun merugikan pihak buruh.45
Di Indonesia sendiri, peraturan mengenai perburuhan disesuaikan dengan iklim investasi asing
yang dibutuhkan untuk pembangunan. Pada masa Orde Baru, Indonesia bahkan tidak mempunyai
undang-undang pengaturan mengenai perburuhan dan pembentukan serikat buruh untuk menuntut
perbaikan kondisi buruh dilarang dengan ancaman hukuman yang didukung secara politis.46 Hal ini
memang dimaksudkan untuk menarik investor asing mendirikan pabriknya di Indonesia. Absennya
pengaturan mengenai perlindungan buruh inilah yang mendorong Nike untuk kemudian membuka
pabrik di Indonesia pada tahun 1988.
Pemerintah Indonesia sendiri berusaha untuk menyediakan iklim investasi yang
menguntungkan bagi MNC atau pihak lain yang berkepentingan untuk menanamkan modalnya di
Indonesia. Untuk itu, melalui Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), pemerintah
Indonesia membentuk beberapa penyesuaian dalam kebijakan investasi, diantaranya:
1. Pemerintah telah memperbaharui Daftar Bidang Usaha yang Tertutup bagi Penanam Modal
untuk dapat diberikan keleluasaan investor dalam memilih usaha (Keppres No 96 Tahun
2000 jo. No 118 Tahun 2000).
2. Penyederhanaan proses dari 42 hari menjadi 10 hari. Sebelumnya persetujuan Penanaman
Modal Asing dilakukan oleh Presiden, sedangkan saat ini cukup dilakukan oleh Pejabat
Eselon I yang berwenang, dalam hal ini Deputi Bidang dan Fasilitas Penanaman Modal.
3. Sejak tanggal 1 Januari 2001, pemerintah menggantikan insentif Pembebasan Pajak dengan
Kelonggaran Pajak Investasi sebesar 30% untuk 6 (enam) tahun.
4. Nilai investasi tidak dibatasi, sepenuhnya tergantung studi kelayakan dari proyek tersebut.47
Indonesia kemudian membentuk Undang-Undang mengenai perburuhan pada tahun 1998, yang
kemudian disempurnakan pada tahun 2004 dalam rangka menjamin pemenuhan hak-hak buruh.
Namun pada kenyataannya, implementasi dari pelaksanaan undang-undang ini tidak dilakukan secara
optimal terbukti dari munculnya laporan baru mengenai pelanggaran hak-hak buruh di pabrik-pabrik
Nike di Indonesia dari tahun 2002 hingga 2011. Penerapan hukum dan peraturan yang lemah
menunjukkan dukungan pemerintah terhadap praktek eksploitasi. Salah satu kasus yang menunjukkan
45 “—“, Nike Inc., diakses dari http://knowmore.org/wiki/index.php?title=Nike pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.26 WIB.46 “—“, Striking Back at Nike: Just Do It!, diakses dari http://revcom.us/a/v19/905-09/908/nike1.htm pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.36 WIB.47 Sarwedi, “Investasi Asing Langsung di Indonesiadan Faktor yang Mempengaruhinya”, dalam Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 4, No. 1, (Jakarta: Universitas Kristen Petra, 2002), hal 21.
14
hal tersebut terjadi pada tahun 2007, ketika terjadi unjuk rasa yang dilakukan oleh buruh pabrik PT
Hardaya Aneka yang memproduksi sepatu untuk Nike dalam rangka menuntut kenaikan gaji sesuai
dengan peraturan upah minimum baru, yaitu dari $2.26 per hari menjadi $ 2.46 per hari. Pemerintah
Indonesia tetap memperbolehkan pabrik tersebut untuk menunda implementasi peraturan standar upah
minimum tersebut karena berdasarkan laporan dari audit publik pabrik dan perusahaan Nike tersebut
sedang mengalami kesulitan finansial. Hal ini sangat kontras jika mengingat gaji CEO Nike yang
berkisar $5 juta dolar dan keuntungan Nike yang mencapai $673 juta dolar tahun lalu.48
Ketergantungan buruh terhadap keberadaan pabrik dan investasi Nike ditunjukkan ketika pada
tahun 2007 Nike diisukan akan menutup pabriknya di Indonesia, para buruh dan pekerja melakukan
aksi protes agar Nike tetap mempertahankan pabriknya karena mereka membutuhkan pekerjaannya
sebagai sumber penghidupan, yang memang sulit dicari di Indonesia. Penutupan pabrik ini terkait
dengan pertimbangan bisnis dan karena pabrik-pabrik ini tidak berhasil memenuhi standar kualitas
yang ditetapkan oleh Nike.49 Absennya alternatif pekerjaan lain yang disebabkan oleh kurangnya
keterampilan buruh dan implementasi program pelatihan pemerintah yang tidak efektif menjadi
penyebab utama ketergantungan tersebut.
Posisi ketergantungan yang tidak seimbang, dimana buruh ini lebih membutuhkan pekerjaan
membuat posisi tawar perusahaan ini lebih besar sehingga dapat menghiraukan berbagai tuntutan
mengenai upah dan kondisi pabrik. Dalam hal ini, posisi pemerintah Indonesia juga tidak dapat
membantu karena pemerintah sendiri membutuhkan investasi dari pihak asing untuk menjamin
pertumbuhan ekonomi negara. Ketakutan akan hilangnya keinginan investor untuk berinvestasi dalam
negerinya membuat pemerintah berusaha untuk menciptakan lingkungan dan peraturan yang
bersahabat dengan investor-investor asing ini, sehingga cenderung menghiraukan keadaan rakyatnya
sendiri.
Posisi pemerintah juga terdesak dengan kepentingan pengusaha nasional yang menginginkan
untuk mempertahankan pabrik-pabrik Nike karena keuntungan yang didapatkannya. Hal ini
ditunjukkan melalui respon Apindo terhadap tuduhan penganiayaan buruh di tempat kerja. Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan akan segera melakukan pengecekan atas kasus dugaan
perlakuan tidak manusiawi dari kontraktor terhadap buruh pabrik pembuat sepatu Nike di Sukabumi,
Tangerang. Menurut Ketua Umum Apindo Sofjan Winandi, hingga saat ini ia belum menerima laporan
adanya karyawan perusahaan sepatu di pabrik milik Pou Chen Group asal Taiwan ini yang teraniaya,
48 Ibid.49 Harry Suhartono dan Ed Davies, Nike Says Committed to Grow in Indonesia, diakses dari http://www.reuters.com/article/2007/07/17/us-nike-indonesia-idUSJAK2446220070717 pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 14.02 WIB.
15
sebagaimana dilaporkan Associate Press. Menurutnya, Apindo harus mengecek terlebih dahulu
kebenaran laporan tersebut kepada para pekerja.50 Hal ini menunjukkan bagaimana pengusaha lokal
juga berusaha untuk mempertahankan keuntungannya dengan menutupi berbagai kasus dan laporan
yang sudah jelas sumbernya.
Hal-hal tersebut menunjukkan bagaimana Nike sebagai kelompok kapitalis global
mempertahakan mekanisme eksploitasi ini untuk keuntungannya sendiri. Berbagai gerakan sosial yang
berusaha dilakukan oleh NGO dan kelompok sosial lain menjadi tidak signifikan dalam mengubah
keadaan karena masih terbentuk kelompok berkuasa lain, yaitu pemerintah dan perusahaan Nike
sendiri. Karena diuntungkan dari proses eksploitasi ini, kelompok berkuasa dan pemerintah sama-sama
berkolaborasi untuk mempertahankan sistem ini. Untuk mempertahankan dominasinya, kelompok-
kelompok ini sengaja membuat kelompok buruh tetap berada di posisinya yang lemah dengan gaji
yang rendah, sehingga menyebabkan mereka tidak dapat mengakses pendidikan dan informasi yang
memadai dan mencegah mereka mengetahui kondisi mereka yang sebenarnya tidak wajar dan dapat
diubah. Mekanisme inilah yang disebut Marx dengan istilah alienation, yang dilakukan untuk
membuat kelompok buruh tetap powerless dalam melawan eksploitasi kaum kapitalis.
2.3. World System Theory dalam Menjelaskan Hubungan Eksploitasi Nike Inc. Terhadap
Buruh Indonesia yang Masih Dipertahankan sejak 1988 sampai 2011
Menurut world system theory dalam paradigma strukturalisme, struktur global didasarkan pada
pola dalam sistem yang dicirikan dengan adanya hubungan eksploitatif yang dilakukan oleh kelompok
kapitalis atau borjuis terhadap kelompok proletar. Hubungan yang eksploitatif itu dilakukan karena
adanya perkembangan modal atau capital yang dimiliki oleh kelompok kapitalis, sehingga
mendorongnya untuk melakukan ekspansi kegiatan produksi dan penjualan ke negara lain. Karena
memakan biaya distribusi yang cukup besar, kaum kapitalis menggunakan cara penekanan biaya
produksi untuk mengkompensasi biaya yang keluar untuk distribusi untuk menjaga keuntungannya.
Oleh sebab itu, dalam ekspansi ini kelompok kapitalis akan memilih negara-negara yang dapat
memberikannya keuntungan lebih dengan menawarkan tenaga kerja banyak dan murah, bahan mentah
yang murah dan dekat, serta sistem pengaturan yang tidak merugikan mereka, baik secara politis
maupun ekonomis. Dalam kasus ini, Nike Inc. sebagai perusahaan athletic sportwear yang berasal dari
USA, merupakan kelompok kapitalis yang setelah mengalami perkembangan produksi dan keuntungan
50 Erlangga Djumena, Apindo Akan Cek Pabrik Nike, diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/07/14/15312315/Apindo.Akan.Cek.Pabrik.Nike pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 14.05 WIB.
16
berusaha untuk menambah keuntungan tersebut dengan melakukan ekspansi ke wilayah Asia-Pasifik.
Wilayah Asia-Pasifik ini sendiri dipilih karena merupakan wilayah penghasil bahan mentah untuk
industri, dan mempunyai tenaga kerja yang strategis, dengan jumlah yang banyak dan harganya yang
murah. Bahan mentah dan tenaga kerja murah ini memang merupakan komoditas produksi stategis
yang ditawarkan oleh kebanyakan negara-negara Asia-Pasifik ini karena masih merupakan negara
berkembang yang belum mempunyai kapasitas industri untuk mengolah sendiri bahan mentah di
negaranya karena kekurangan modal dan tenaga ahli. Lesunya kegiatan industri tersebut menyebabkan
kebanyakan rakyatnya tidak mempunyai sumber penghasilan yang menyebabkan mereka tidak dapat
mengakses pelayanan pendidikan yang memadai, sehingga membuat mereka terjebak dengan
kemampuannya yang terbatas, hanya dapat menggunakan tenaga fisik untuk melakukan pekerjaan
sebagai buruh kasar, bukan tenaga ahli. Kemiskinan ini jugalah yang menyebabkan mereka rela untuk
bekerja dalam bentuk apapun, karena orientasinya hanyalah pemenuhan kebutuhan pangan untuk
hidup sehari-hari. Keadaan buruh seperti ini, yang juga terjadi di Indonesia bahkan hingga saat ini,
dianggap strategis untuk melakukan eskpansi produksi karena selain jumlahnya yang banyak dan
murah, buruh-buruh ini juga tidak mempunyai kesadaran dan kemampuan untuk melakukan
pergerakan sosial dan memberontak sistem eksploitasi yang dilakukan perusahaan untuk
memaksimalkan keuntungannya.
Sistem eksploitasi tersebut dipertahankan oleh perusahaan Nike Inc. sebagai kelompok kapitalis
karena dapat menghasilkan keuntungan secara lebih optimal dengan menekan biaya produksi.
Penekanan biaya produksi sendiri dilakukan melalui mekanisme eksploitasi ini dengan cara
memperkerjakan buruh dalam jumlah banyak dalam kondisi pabrik yang dibangun tidak memenuhi
standar karena memakan biaya yang banyak, memperkerjakan buruh-buruh tersebut dengan melanggar
batar waktu kerja untuk menambah hasil produksi, meminimkan upah para buruh tersebut agar dapat
menyimpan uangnya untuk keperluan lain dan keuntungan, dan mempertahankan posisi inferior buruh-
buruh tersebut melalui regulasi yang dibuat atas kerjasama dengan pihak berkuasa terkait, dalam hal
ini pemerintah, sehingga menyebabkan buruh-buruh ini tidak dapat mengakses pendidikan atau
membuat serikat buruh yang dapat merugikan bagi Nike sendiri. Karena memang target pasarnya
adalah kelompok masyarakat dengan daya beli tinggi yang tersedia banyak di negara-negara maju dan
dalam kelompok masyarakat maju di negara berkembang, sistem eksploitasi ini dianggap tidak
merugikan karena tidak mempengaruhi pasar yang sudah cukup banyak. Selain karena target pasar
yang sudah cukup banyak, perusahaan Nike juga takut jika buruh ini diberikan daya beli yang
memadai, maka mereka tidak akan lagi bekerja sebagai buruh dan Nike akan kehilangan alat
produksinya yang paling menguntungkan.
17
Keterlibatan pemerintah Indonesia dan USA dalam sistem eksloitasi ini menunjukkan peranan
negara yang mempunyai fungsinya masing-masing dalam world system theory. USA sebagai negara
asal Nike Inc. dalam kasus ini memegang posisi sebagai core states karena ikut mempertahankan
proses produksi core like yang dilakukan oleh Nike Inc., yang pada intinya mendukung ekspansi,
mendominasi pasar, dan memperbanyak modal dengan mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyak
untuk melakukan ekspansi dan dominasi pasar. Di pihak lain, Indonesia dalam kasus ini merupakan
periphery states karena posisinya yang lebih inferior sebagai negara berkembang yang membutuhkan
investasi dari negara maju untuk dapat mengembangkan kegiatan ekonominya. Nike Inc. sebagai
kelompok kapitalis memanfaatkan posisi negara ini untuk mempertahankan keuntungannya dalam
pasar global.
Dalam hubungannya dengan Nike Inc. sebagai kelompok kapitalis yang menguasai modal, USA
diuntungkan karena perusahaan ini mempunyai pusat di negara tersebut, sehingga dapat memberikan
penghasilan berupa pajak. USA juga diuntungkan dengan dipekerjakannya rakyat negara tersebut
dalam perusahaan Nike pada posisi yang cukup tinggi, sehingga meningkatkan penghasilan rakyatnya
yang berpengaruh pada kegiatan perekonomian yang sehat karena rakyatnya mempunyai daya beli
yang cukup untuk mendorong kegiatan ekonomi produksi dan konsumsi. Daya beli tinggi ini
dimanfaatkan Nike sebagai pasar strategis untuk menjual produknya, dan pemerintah USA sendiri
diuntungkan karena mendapatkan pajak dari penjualan produk-produk tersebut. Keuntungan ini terus
berputar dan berakumulasi pada masyarakat USA, sehingga menjadikan ekonominya stabil.
Keuntungan ini tentu saja berusaha untuk dipertahankan oleh USA dengan cara membantu Nike
melalui regulasi dan hubungan dengan negara lain. Hal ini ditunjukkan dengan posisi USA sebagai
negara berkedaulatan yang dapat memaksa Nike yang ada dibawah yurisdiksinya untuk berubah, bisa
dibilang sama sekali tidak melakukan apa-apa ketika kasus penganiayaan buruh dipublikasi, padahal
USA sendiri merupakan negara yang selalu mengedepankan nilai liberal dan kebebasan manusia.
Bahkan dengan nilai liberalnya tersebut, USA memaksa Indonesia untuk membuka pasarnya bagi
perusahaan asing miliknya, salah satu adalah Nike, melalui perjanjian perdagangan bebas. Nike yang
melihat peluang menguntungkan ini berusaha untuk mempertahankan mekanisme ini dan
mempengaruhi pemerintah untuk selalu berpihak padanya. Salah satu caranya adalah dengan
membiayai kampanye senator USA, dan membantu pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Indonesia sendiri yang berperan sebagai negara periphery dalam kasus ini melihat mekanisme
kapitalisme yang eksploitatif tersebut secara pragmatis. Pragmatis disini dalam artian Indonesia lebih
mementingkan keuntungan langsung dari mekanisme tersebut yang lebih bersifat jangka pendek, dan
kurang mementingkan aspek lain. Dalam hal ini, negara Indonesia sebagai negara berkembang yang
18
kegiatan ekonominya dapat dikatan lesu karena masyarakatnya sendiri tidak mempunyai sumber
penghasilan sebagai sumber daya beli untuk menikmati akses terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan,
dan pasar, membutuhkan suntikan modal dari pihak lain untuk membantu meningkatkan daya beli
masyarakat dan mengembangkan industri untuk mengelola sumber daya alam dalam negeri. Oleh
sebab itu, ketika perusahaan Nike melakukan ekspansi, Indonesia menerimanya dengan tangan terbuka
karena selain dapat memperkerjakan rakyatnya yang miskin, Indonesia juga dapat menjual dan
mengelola bahan mentahnya meskipun dengan harga yang murah, dan mendapatkan penghasilan dari
situ. Dilihat dari konteks waktu awal penanam modal Nike di Indonesia pada tahun 1988, pada saat itu
Indonesia memang sedang membutuhkan investasi asing untuk pertumbuhan ekonominya karena saat
pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru saat itu Indonesia mengalami krisis ekonomi. Ketika
investasi sudah masuk dan pemerintah diuntungkan karena pembangunan pabrik tersebut mengurangi
rakyat yang pengangguran dan menambah penghasilan dari pajak dan biaya admisnistrasi lain,
Indonesia menutup mata atas eksploitasi yang dilakukan oleh Nike terhadap buruh. Untuk
mempertahankan investasi tersebut, pemerintah berusaha untuk menciptakan kondisi politik dan
ekonomi yang menguntungkan bagi perusahaan asing melalui regulasi dan kebijakan. Pada tahun 1988
misalnya, Indonesia tidak mempunyai peraturan resmi mengenai perburuhan, baik dalam aspek
perlindungan hak-haknya maupun dalam aspek upah dan pembentukan perserikatan, sehingga
menyebabkan Nike memanfaatkan peluang ini untuk memproduksi dengan biaya rendah dan
memaksimalkan keuntungan. Bahkan ketika undang-undang perburuhan pertama kali dibentuk pada
tahun 1998 dan diperbaharui pada tahun 2004 karena adanya tekanan dari aktivis dan kelompok buruh
sendiri, implementasi dari regulasi tersebut untuk melindungi hak-hak pekerja masih belum dilakukan
secara maksimal oleh pemerintah yang memegang yurisdiksi atas perusahaan Nike yang membuka
pabrik di tanah Indonesia dan memanfaatkan komoditas dari Indonesia. Bahkan pelaksanaan peraturan
perundangan-undangan mengenai penanam modal pun menghiraukan bagian pokok dari peraturan
tersebut, yaitu nilai transparansi dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.51
Pemerintah Indonesia bahkan dapat dikatakan sama sekali tidak mengimplementasikan peraturan
tersebut, karena selama ini yang aktif menyuarakan hak-hak buruh dan melakukan publikasi data-data
penganiayaan dalam pabrik untuk meningkatkan transparansi publik adalah kelompok-kelompok
aktivis dan NGO (non-government organization). Mekanisme seperti ini semakin dipertahankan ketika
kelompok pengusaha dalam Indonesia sendiri melakukan penetrasi ke dalam pemerintahan dan
mempengaruhi proses pembuatan dan pengimplementasian kebijakan untuk menambah keuntungannya
dari investasi pihak asing tersebut. Nike sendiri mempertahankan kondisi seperti itu dengan menjalin
51 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.19
hubungan baik dengan pemerintah. Hubungan antara Nike dan pemerintah serta kelompok penguasa
modal lain dalam negara tersebut menunjukkan adanya kolaborasi antar kelas borjuis dalam tingkat
global untuk mempertahankan mekanisme kapitalisme yang dianggap menguntungkan bagi mereka.
Kondisi seperti inilah yang menyebabkan buruh sebagai kelompok proletar semakin tidak
berdaya, karena didominasi oleh kelompok kapitalis atau borjuis dalam dua tingkat, yaitu tingkat
nasional oleh pemerintah dan pengusaha dalam negeri, dan tingkat global oleh perusahaan Nike Inc.
sebagai penguasa modal. Mekanisme inilah yang disebut Marx sebagai mekanisme ‘alienation’ yang
memang ditujukan untuk membuat kelompok buruh ini tetap powerless agar tidak dapat mengubah
keadaan. Posisi yang tidak menguntungkan ini menyebabkan hubungan ketergantungan satu arah dari
para buruh yang bergantung pada investasi perusahaan asing ini sebagai pemilik modal agar dapat
mendapatkan penghasilan untuk setidaknya memenuhi kebutuhan pangan dan mempertahankan hidup,
yang merupakan bagian paling dasar dan penting dari aktualisasi kehidupan manusia. Karena
menguntungkan bagi Nike Inc., mekanisme ketergantungan sistemik ini dipertahankan sedemikian
rupa melalui cara-cara yang telah dipaparkan di atas untuk menjaga dan menambah keuntungan
mereka sebagai kelompok kapitalis.
20
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan paradigma stukrturalisme dan teori world system, Nike Inc. sebagai sebuah
perusahaan athletic sportswear berskala global memanfaatkan globalisasi dan hubungan antar kelas
dalam struktur global untuk mempertahankan usahanya dalam rangka menambah keuntungan untuk
kemudian dijadikan modal kembali untuk mengembangkan proses produksi. Sebagai bagian dari
kelompok kapitalis, Nike Inc. selalu berorientasi pada akumulasi keuntungan yang akan dijadikan
modal, sehingga dalam mengembangkan usahanya akan cenderung melakukan mekanisme
pengurangan biaya produksi. Pengurangan biaya produksi tersebut dilakukan dengan mengeksploitasi
sumber daya wilayah lain yang berupa bahan mentah dan tenaga kerja dalam jumlah banyak dengan
harga yang murah. Indonesia sebagai negara berkembang menawarkan keuntungan tersebut, sehingga
mendorong Nike Inc. membuka pabriknya pertama kali pada tahun 1988, dan tetap
mempertahankannya hingga tahun 2011. Pabrik yang terkenal dengan istilah sweatshop ini,
berdasarkan laporan dari jurnalis dan NGO internasional dengan jaringan yang terpercaya,
mengeksploitasi buruh Indonesia dengan melakukan penganiayaan dan pelanggaran hak-hak buruh
untuk memaksimalkan daya produksi. Meskipun melanggar peraturan dan menyebabkan ketimpangan
kelas, mekanisme eksploitasi ini dipertahankan hingga hingga tahun 2011 karena melihat akumulasi
keuntungan bagi perusahaan Nike Inc. yang berkolaborasi dengan kelompok kapitalis dan borjuis lain,
dalam kasus ini adalah kelompok pengusaha dalam negeri dan pemerintah, yang juga mendapatkan
keuntungan dari mekanisme tersebut. Kolaborasi kelompok kuat yang menyebabkan kelas buruh ini
semakin powerless karena secara sistemik dihindarkan dari sumber-sumber kekuatan seperti modal
dan pendidikan, dipertahankan melalui berbagai regulasi dan cara sehingga menyebabkan
ketergantungan sepihak dari kelompok buruh yang akhirnya lebih membutuhkan keberadaan Nike Inc.
dengan mekanisme eksploitasinya tersebut untuk dapat bertahan hidup. Ketergantungan ini
menguntungkan bagi Nike Inc. karena dapat secara berkelanjutan menghemat biaya produksinya dan
menambah keuntungannya di pasar global. Jadi pada intinya, mekanisme eksploitasi yang dilakukan
oleh Nike Inc. berserta kelas kapitalis dan borjuis lainnya di Indonesia memang sengaja dipertahankan
karena melihat keuntungan yang berujung pada akumulasi capital atau modal, yang memang
merupakan orientasi utama kelompok kapitalis dalam sistem ekonomi dunia.
21
DAFTAR REFERENSI
Buku
Dunne, Tim, Milja Kurki dan Steve Smith. International Relations Theories – Dicipline and Diversity, Second Edition. (New York: Oxford University Press, Inc., 2010).
Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi. International Relations Theory, Fourth Edition. (USA: Pearson Education Inc., 2010).
JurnalLocke, Richard M, et all. “Does Monitoring Improve Labor Standards? Lessons from Nike” dalam
Industrial and Labor Relations Review, Vol. 61, No. 1 (USA: Cornell University, 2007) diakses dari http://www.jstor.org/stable/25249121 pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.44 WIB. hal 7.
Sarwedi. “Investasi Asing Langsung di Indonesiadan Faktor yang Mempengaruhinya” dalam Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 4, No. 1. (Jakarta: Universitas Kristen Petra, 2002),
Bulletin dan Majalah
Jakarta Globe. “While Global Recovery Sputters, Indonesia Strong, IMF Says” dalam Indonesia News and Views, Bi-Weekly Bulletin Issue 22(edisi 14 November 2009). (Helsinki: Embassy of the Republic of Indonesia, 2009).
Joseph, Adam. “Sustainable Marketing and CSR: Just Do It” dalam Professional Marketing edisi April – Juni 2010.
Internet
Badan Pusat Statistik. “Keadaan Ketenagakerjaan Februari 2011” dalam Berita Resmi Statistik – Badan Pusat Statistik No.33/05/Th.XIV, 5 Mei 2011. diakses dari http://www.bps.go.id/brs_file/naker-05mei11.pdf pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 11.18 WIB.
Ballinger, J dan C.Olsson. Behind the Swoosh. (Global Publ. Foundation: 1997) diakses dari http://www.citinv.it/associazioni/CNMS/archivio/multinazionali/profilonike.html pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.40 WIB.
Clean Clothes Campaign, Indonesia: Historic Pact Today Strengthens Sportwear Workers Union Rights, diakses dari http://www.cleanclothes.org/news/indonesia-historic-pact-today-strengthens-sportswear-workers-union-rights pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.42 WIB.
Connor, Timothy. We Are Not Machines. diakses dari http://www.oxfam.org.au/resources/filestore/originals/OAus-WeAreNotMachines-0302.pdf pada tanggal 14 November 2011 pukul 14.15 WIB.
22
Djumena, Erlangga. Nike Hadapi Dugaan Penganiayaan Buruh di Indonesia. diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/07/14/11355771/Nike.Hadapi.Dugaan.Penganiayaan.Buruh.di.Indonesia pada tanggal 17 Desember 2011 pukul 14.20 WIB.
Djumena, Erlangga. Apindo Akan Cek Pabrik Nike. diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/07/14/15312315/Apindo.Akan.Cek.Pabrik.Nike pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 14.05 WIB.
Enderle, Kim, et all. Strategic analysis of Nike.Inc.. diakses dari http://condor.depaul.edu/aalmaney/StrategicAnalysisofNike.htm pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.10 WIB.
Global Exchange. Nike FAQs. diakses dari http://www.globalexchange.org/sweatfree/nike/faq pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.50 WIB.
Karmini, Niniek dan Stephen Wright, AP Exclusive: Nike Faces New Worker Abuse Claims, diakses dari http://www.boston.com/business/articles/2011/07/13/ap_exclusive_nike_faces_new_worker_abuse_claims/ pada tanggal 17 Desember 2011 pukul 14.10 WIB.
Nike Inc. Coporate Responsibility Report, Workers and Factory Overview, diakses dari http://www.nikebiz.com/crreport/content/workers-and-factories/3-1-0-overview.php?cat=overview pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.15 WIB.
Skarbek, David, et all. Sweatshops, Opportunity Costs, and Non-Monetary Compensation: Evidence from El Salvador. diakses dari
http://www.davidskarbek.com/uploads/SweatshopsElSalvador.pdf pada tanggal 18 November 2011 pukul 14.41 WIB.
Shayon, Sheila. Nike Better World? Not For Converse Factory Workers in Indonesia. diakses dari http://www.brandchannel.com/home/post/2011/07/13/Nike-Just-Not-Doing-It-Right.aspx pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.46 WIB.
Suhartono, Harry dan Ed Davies. Nike Says Committed to Grow in Indonesia. diakses dari http://www.reuters.com/article/2007/07/17/us-nike-indonesia-idUSJAK2446220070717 pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 14.02 WIB.
Suprapto, Hadi dan Elly Setyo Rini. Nike Relokasi Pabrik dari China. diakses dari http://bisnis.vivanews.com/news/read/100678-nike_relokasi_pabrik_dari_china pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.20 WIB.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal“—“, Exploitation, diakses dari http://plato.stanford.edu/entries/exploitation/ pada tanggal 16 Desember
2011 pukul 13.46 WIB.
“—“. Nike Inc., diakses dari http://knowmore.org/wiki/index.php?title=Nike pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.26 WIB.
23
“—“. Striking Back at Nike: Just Do It!. diakses dari http://revcom.us/a/v19/905-09/908/nike1.htm pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.36 WIB.
“—“, Nike Sweatshop History: Should Action be Taken?, diakses dari http://homepage.mac.com/barbarap2/home/laborcrises/Nike.htm pada tanggal 16 Desember 2011 pukul 13.05 WIB.
“—“. Nike Sepakat Perpanjang Kontrak. diakses dari http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2007/07/31/brk,20070731-104694,id.html pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 11.05 WIB.
“—“. Pengangguran di Kota Sukabumi Terus Bertambah. diakses dari http://bataviase.co.id/node/88361 pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 10.56 WIB.
“—“. 27 Ribu Warga Sukabumi Menganggur. diakses dari http://news.okezone.com/read/2010/06/23/340/345952/27-ribu-warga-sukabumi-menganggur pada tanggal 9 Januari 2012 pukul 11.14 WIB.
24