geriatri

20
SOAL 1. Apakah penyebab inkontinensia urin pada geriatri? 2. Apakah penyebab malnutrisi pada geriatri? 3. Bagaimana assesment geriatri di rumah sakit? 4. Bagaimana assesment geriatri di puskesmas?

Upload: yudi-nug

Post on 15-Feb-2015

89 views

Category:

Documents


26 download

DESCRIPTION

Tugas Geriatri

TRANSCRIPT

Page 1: Geriatri

SOAL

1. Apakah penyebab inkontinensia urin pada geriatri?

2. Apakah penyebab malnutrisi pada geriatri?

3. Bagaimana assesment geriatri di rumah sakit?

4. Bagaimana assesment geriatri di puskesmas?

Page 2: Geriatri

JAWABAN

1.Inkontinensia Urin Pada Geriatri

Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari,

dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan

masalah gangguan kesehatan atau sosial (Kane dkk., 1989 dalam

Pranarka, 2000).

Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak

terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan

frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan

higienis penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007).

Fisiologi dan patofisiologi diuresis

Proses berkemih berlangsung dibawah control dan koordinasi sistem

saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi

pertama ingin berkemih timbul saat volume kandung kemih atau vesica

urinaria (VU) mencapai antara 150-350 ml. Kapasitas VU normal bervariasi

sekitar 300-600 ml (Pranarka, 2000). Bila proses berkemih terjadi, otot-

otot detrusor VU berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra.

Tekanan dari otot detrusor meningkat melebihi tahanan dari muara uretra

dan urin akan memancar keluar (Van der Cammen dkk, Reuben dkk

dalam Pranarka, 2000). Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul

berada di bawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudendal,

sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal

berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi

oleh korteks otak (Setiati dan Pramantara, 2007).

                Proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah

sakrum. Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom membawa

informasi tentang isi VU ke medulla spinalis sesuai pengisian VU

(Pranarka, 2000). Ketika VU mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan

melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan

Page 3: Geriatri

subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan cerebellum)

menyebabkan VU relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan

seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian VU

berlanjut, rasa penggembungan VU disadari, dan pusat kortikal (pada

lobus frontalis) bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada

pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat

mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin (Setiati dan

Pramantara, 2007).

                Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang dari korteks

disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi

kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor

berkontraksi. Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada

inervasi kolinergik, namun juga mengandung reseptor prostaglandin.

Karena itu, prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi

detrusor. Kontraksi VU juga calcium-channel dependent, karena itu

calcium-channel blockers dapat mengganggu kontraksi VU. Interferensi

aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas

otot (Setiati dan Pramantara, 2007).

                Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra

berkontraksi. Karena itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa

(pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat

alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi

adrenergik-beta merelaksasi sfingter uretra. Karena itu zat beta-

adrenergic blocking (propanolol) dapat mengganggu dengan

menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktifitas kontraktil

adrenergic-alpha (Setiati dan Pramantara, 2007).

                Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat

antara uretra dan VU. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada

posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-

abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra di posisi yang

tepat, urin tidak akan pada saat terdapat tekanan atau batuk yang

meningkatkan tekanan intra-abdomen (Setiati dan Pramantara, 2007).

Page 4: Geriatri

                Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh berbagai refleks

pada pusat berkemih. Pada fase pengisian, terjadi peningkatan aktivitas

saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher VU, relaksasi

dinding VU, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan

mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase

pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan

parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan

pembukaan leher VU. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf

yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum.

Peranan korteks serebri adalah menghambat, sedangkan batak otak dan

supra spinal memfalisitasi (Setiati dan Pramantara, 2007).

Proses menua dan inkontinensia urin

Usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin, namun prevalensi

inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia karena

semakin banyak munculnya faktor risiko (Setiati dan Pramantara, 2007).

Faktor-faktor risiko yang mendukung terjadinya inkontinensia terkait

dengan pertambahan usia adalah (Pranarka, 2000):

Mobilitas sistem yang lebih terbatas karena menurunnya

pancaindera, kemunduran sistem lokomosi.

Kondisi-kondisi medik yang patologik dan berhubungan dengan

pengaturan urin misalnya diabetes mellitus, gagal jantung

kongestif.

Etiologi inkontinensia urin

Penyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Pranarka, 2000):

Page 5: Geriatri

1. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel.

2. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis,

demensia dan lain-lain.

3. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih

yang tidak memadai/jauh, dan sebagainya.

Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi (Kane, Reuben dalam

Pranarka, 2000):

1. Inkontinensia akut, biasanya reversibel, terkait dengan sakit yang

sedang diderita atau masalah obat-obatan yang digunakan

(iatrogenik). Inkontinensia akan membaik bila penyakit akut yang

diderita sembuh atau jika obat-obatan dihentikan.

2. Inkontinensia persisten/kronik/menetap, tidak terkait penyakit akut

atau obat-obatan. Inkontinensia ini berlangsung lama.

Inkontinensia urin akut

Penyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang

merupakan kependekan dari (Kane dkk. dalam Pranarka, 2000):

D   : Delirium

R    : Retriksi, mobilitas, retensi

I     : Infeksi, inflamasi, impaksi feses

P    : Pharmacy (obat-obatan), poliuri

Golongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut termasuk

diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, anti-kolinergik,

agonis dan antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel blockers.

Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan

retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat mengakibatkan

obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang selanjutnya menstimulasi

kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan Pramantara, 2007).

Inkontinensia urin persisten

Page 6: Geriatri

Inkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masing-masing

dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan. Inkontinensia

persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000):

      1.       Tipe stress

Keluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah

sedikit, akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi karena

terdapat kelemahan jaringan sekitar muara VU dan uretra. Sering pada

wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya pengaruh estrogen

dan sering melahirkan disertai tindakan pembedahan.

      2.       Tipe urgensi

Pengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya

jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu sensasi

penuhnya VU diterima oleh pusat berkemih. Terdapat gangguan

pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor VU. Inkontinensia

tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya stroke, demensia,

sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis.

      3.       Tipe luapan (overflow)

Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah sedikit,

karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat teregang.

Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain:

-       Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan

penyempitan jalan keluar urin.

-       Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya pada

diabetes mellitus.

      4.       Tipe fungsional

Keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat

berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun bermacam

hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih.

Faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan

inkontinensia tipe ini.

Terapi

Pengelolaan inkontinensia pada penderita lanjut usia, secara garis besar

dapat dikerjakan sebagai berikut:

Page 7: Geriatri

      a.       Program rehabilitasi antara lain

-       Melatih respons VU agar baik lagi

-       Melatih perilaku berkemih

-       Latihan otot-otot dasar panggul

-       Modifikasi tempat untuk berkemih (urinal, komodo)

      b.      Kateterisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap

(indwelling)

      c.       Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi VU, estrogen

     d.      Pembedahan, misalnya untuk mengangkat penyebab sumbatan

atau keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain

     e.      Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk

kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan

penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.

2. Penyebab Malnutrisi Pada Geriatri

Menurut Dr.Siti Setiati, Sp.PD, konsultan geriatri dari Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, malnutrisi adalah orang-orang yang

bukan hanya berstatus gizi kurang tapi juga bisa berarti kelebihan dan

ketidakseimbangan protein, energi, serta zat gizi lainnya. Prevalensi

malnutrisi pada mereka yang berusia di atas 50 tahun mencapai 22

persen, di usia 60-69 tahun sekitar 25 persen, dan mencapai 27 persen

pada orang berusia 70-79 tahun. Dalam penelitian yang dilakukan Siti

Setiati terhadap 702 pasien usia lanjut rawat jalan di 10 rumah sakit di

Indonesia, diketahui 56,7 persen beresiko malnutrisi dan 2,14 persen

terbukti malnutrisi.

Ada banyak faktor yang menyebabkan malnutrisi, antara lain

perubahan komposisi tubuh dan fungsi organ, gangguan kesehatan,

asupan nutrisi yang kurang, hingga gangguan emosi. Berkurangnya

sensasi rasa dan bau juga membuat orang usia lanjut tidak tertarik untuk

makan. Orang usia lanjut juga bisa mengalami gangguan makan karena

faktor emosi seperti depresi atau karena obat-obatan yang diminumnya.

Malnutrisi pada orang usia lanjut bisa menyebabkan penyembuhan luka

Page 8: Geriatri

menjadi lama, komplikasi penyakit, menurunnya massa otot, hingga

menyebabkan bertambahnya waktu tinggal di rumah sakit.

Menurut Miller (1999), faktor-faktor yang menyebabkan malnutrisi

pada geriatri antara lain:

- Medications

- Emotional Problems

- Anorexia

- Late-Life Paranoia

- Swallowing Disorder

- Oral Factors

- Neoplasia

- Wandering

- Hyperthyroidism

- Enteric Problems

- Eating Problems

- Low Salt

- Social Problems.

Belum ada kesepakatan umum untuk menilai status gizi pasien,

khususnya pada pasien geriatri menyebabkan bervariasinya angka

prevalensi malnutrisi yang dilaporkan. European Society of Parenteral and

Enteral Nutrition (ESPEN) guidelines dan the French Programme National

Nutrition Sante (PNNS) menganjurkan penggunaan Mini Nutritional

Assessment (MNA) untuk menilai status kurang gizi pada pasien

geriatri.10 MNA didasarkan atas quisioner dan tidak menggunakan

indikator biologi. MNA lebih cocok digunakan pada pasien geriatri di

rumah atau panti jompo. Pada pasien dewasa yang dirawat inap, ESPEN

menganjurkan penggunaan kombinasi antara Body Mass Index (BMI) dan

penurunan berat badan, sedangkan PNNS menganjurkan penggunaan

Nutritional Risk Index (NRI). Disamping untuk menilai status gizi, berbagai

metode pengukran ini juga sering digunakan untuk memprediksi outcome

pasien yang

Page 9: Geriatri

dirawat.1 Pada pasien geriatri, berat badan sebelum sakit (usual weight)

sering tidak dapat dinilai. Bouillanne memodifikasi NRI yang digunakan

pada pasien dewasa, untuk menilai risiko terkait nutrisi pada pasien

geriatri dan menamainya sebagai Geriatric Nutritional Risk Index (GNRI).

Dari hasil penelitian yang dilakukan, GNRI cukup bagus untuk

memprediksi outcome

pasien geriatri yang mengalami rawat inap.1 GNRI merupakan metode

yang cukup sederhana dibandingkan MNA11, sehingga diharapkan

petugas medis dapat menggunakannya dengan lebih mudah dan cepat.

3.Assesment Geriatri di Rumah Sakit

Asesmen Geriatri adalah suatu proses pendekatan multidisiplin

untuk menilai aspek medik, fungsional, psikososial dan ekonomi penderita

usia lanjut dalam rangka menyusun rencana program pengobatan dan

pemeliharaan kesehatan yang rasional. Asesmen Geriatrik ada 2 macam

yaitu :

1. Asesmen geriatrik administrative

2. Asesmen geriatrik klinik

Uji Klinis tentang Asesmen Geriatrik

1. Hendrik et al (1984) Asesmen Geriatrik mempunyai efek terhadap

pencegahan mortalitas, rehospitalisasi dan mengurangi kunjungan

ke dokter.

2. Rubenstein et al (1984) Asesmen geriatrik menunjukkan

keuntungan dengan biaya lebih murah dibandingkan pendekatan

perawatan rumah sakit konvensional pada frail elderly.

3. Applegate et al (1990) Pengkajian geriatrik memberikan

perbaikan fungsi dan menurunkan resiko perawatan di nursing

home.

Page 10: Geriatri

4. Stuck et al (1995) Program asesmen geriatrik dirumah dapat

memperlambat timbulnya keterbatasan dan menurunkan angka

perawatan di institusi kesehatan.

Penanganan Holistik (Hadi Martono, 1999; Kane et al, 1999)

Mengingat sifat dan karakteristik penderita usia lanjut seperti

disebutkan di atas, maka penanganannya harus bersifat holistik, yaitu:

1. Penegakan diagnosis: berbeda dengan tata cara diagnosis yang

dilaksanakan pada golongan usia lain, penegakan diagnosis pada

penderita usia lanjut dilaksanakan dengan tata cara khusus yang

disebut dengan asesmen geriatrik. Cara ini merupakan suatu

analisis multidimensional dan sebaiknya dilakukan oleh suatu tim

geriatrik.

2. Penatalaksanaan penderita: penatalaksanaan penderita juga

dilaksanakan oleh suatu tim multidisipliner yang bekerja secara

interdisipliner dan disebut sebagai "tim geriatri". Hal ini perlu

mengingat semua aspek penyakit (fisik-psikis), sosial-ekonomi, dan

lingkungan harus mendapat perhatian yang sama. Susunan dan

besar tim bisa berbeda-beda tergantung pada tingkatan pelayanan.

Di tingkat pelayanan dasar, hanya diperlukan tim "inti" yang terdiri

dari dokter, perawat, dan tenaga sosiomedik.

3. Pelayanan kesehatan vertikal dan horisontal: aspek holistik dari

pelayanan geriatri harus tercermin dari pemberian pelayanan

vertikal, yaitu pelayanan yang diberikan dari Puskesmas sampai ke

pusat rujukan geriatri tertinggi, yaitu di rumah sakit provinsi.

Pelayanan kesehatan horizontal adalah pelayanan kesehatan yang

diberikan merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan

menyeluruh. Dengan demikian, ada kerjasama lintas sektoral

dengan bidang kesejahteraan lain, misalnya agama,

pendidikan/kebudayaan, olah raga, dan sosial.

Page 11: Geriatri

4. Jenis pelayanan kesehatan: sesuai dengan batasan geriatri seperti

tersebut di atas, maka pelayanan kesehatan yang diberikan harus

meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi dengan

memperhatikan aspek psiko-sosial serta lingkungan.

Tugas masing-masing anggota tim adalah sebagai berikut:

Asesmen lingkungan/sosial: petugas sosio-medik

Asesmen fisik: dokter/perawat.

Asesmen psikis: dokter/perawat/psikolog-psikogeriatris.

Asesmen fungsional/disabilitas: dokter/terapis rehabilitasi.

Asesmen psikologik: dokter-psikolog/psikogeriatri.

Dengan tata cara asesmen geriatric yang terarah dan terpola, maka

kemungkinan terjadinya "mis/under diagnosis" yang sering didapatkan

pada praktik geriatri dapat dihindari atau dieliminasi sekecil mungkin.

Anamnesis (Kane et al; Hadi Martono; 1999)

Awal anamnesis serupa dengan semua anamnesis yang lain, yaitu berupa

identitas penderita. Tetapi, pertanyaan-pertanyaan berikutnya dilakukan

dengan lebih terinci dan terarah sebagai berikut:

Identitas penderita: nama, alamat, umur, perkawinan, anak (jumlah,

jenis kelamin dan berapa yang masih tinggal bersama penderita),

pekerjaan, serta keadaan sosial ekonomi. Termasuk dalam bagian

ini adalah anamnesis mengenai faktor risiko sakit, yaitu usia sangat

lanjut (> 70 tahun), duda hidup sendiri, baru kematian orang

terdekat, baru sembuh dari sakit/pulang opname, gangguan mental

nyata, menderita penyakit progresif, gangguan mobilitas, dan lain-

lain.

Page 12: Geriatri

Anamnesis tentang obat, baik sebelum sakit ini maupun yang masih

diminum di rumah, baik yang berasal dari resep dokter maupun

yang dibeli bebas (termasuk jamu-jamuan).

Penilaian sistem: bagian ini berbeda dengan anamnesis penderita

golongan umur lain, karena tidak berdasarkan "model medik"

(tergantung pada keluhan utama). Harus selalu diingat bahwa pada

usia lanjut, keluhan tidak selalu menggambarkan penyakit yang

diderita, seringkali justru memberikan keluhan yang tidak khas.

Penilaian sistem dilaksanakan secara urut, misalnya dari sistem

syaraf pusat saluran napas atas dan bawah, seterusnya sampai kulit

integumen dan lain-lain.

Untuk mendapatkan jawaban yang baik, seringkali diperlukan alo-

anamnesis dari orang/keluarga yang merawatnya sehari-hari.

Anamnesis tentang kebiasaan yang merugikan kesehatan (merokok,

mengunyah tembakau, minum alkohol, dan lain-lain).

Anamnesis tentang berbagai gangguan yang terdapat: menelan,

masalah gigi, gigi palsu, gangguan komunikasi/bicara, nyeri/gerak

yang terbatas pada anggota badan, dan lain-lain.

Kepribadian perasaan hati, kesadaran, dan afek (alo-anamnesis

atau pengamatan) konfusio, curiga/bermusuhan, mengembara,

gangguan tidur atau keluhan malam hari, daya ingat, dan lain-lain.

Apabila hasil anamnesis ini membingungkan atau mencurigakan,

perlu dicatat untuk dapat dilaksanakan asesmen khusus kejiwaan

atau bahkan konsultasi psiko-geriatrik.

Riwayat tentang problema utama geriatri (sindrom geriatrik):

pernah stroke, TIA/RIND, hipotensi ortostatik, jatuh, inkontinensia

urin/alvi, dementia, dekubitus, dan patah tulang.

Perlu digarisbawahi bahwa anamnesis pada lansia harus meliputi auto-dan

alloanamnesis. Pada akhir anamnesis harus dicatat derajat kepercayaan

informasi yang diperoleh.

Page 13: Geriatri

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dimulai dengan pemeriksaan tanda vital (seperti pada

golongan umur lain), walaupun rinciannya mungkin terdapat beberapa

perbedaan, antara lain:

Pemeriksaan tekanan darah, harus dilaksanakan dalam keadaan

tidur, duduk, dan berdiri, masing-masing dengan selang 1--2 menit,

untuk melihat kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.

Kemungkinan hipertensi palsu juga harus dicari (dengan perasat

Osler).

Pemeriksaan fisik untuk menilai sistem. Pemeriksaan organ dan

sistem ini perlu disesuaikan dengan tingkat kemampuan

pemeriksa/dokter. Bila yang melakukan perawat, tentu saja tidak

serinci dokter umum, yang pada gilirannya tidak serinci hasil

pemeriksaan fisik oleh dokter spesialis. Yang penting adalah bahwa

pemeriksaan dengan sistem ini menghasilkan ada/tidaknya

gangguan organ atau sistem (walaupun secara kasar).

Pada pelaksanaannya dilakukan pemeriksaan fisik dengan unitan seperti

pada anamnesis penilaian sistem, yaitu:

Pemeriksaan syaraf kepala

Pemeriksaan panca indera, saluran napas atas, gigi-mulut

Pemeriksaan leher, kelenjar tiroid, bising arteri karotis

Pemeriksaan dada, paru-paru, jantung, dan seterusnya sampai pada

pemeriksaan ekstremitas, refleks-refleks, kulit-integumen.

Dengan kata lain, pemeriksaan organ-sistem adalah melakukan

pemeriksaan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki secara

sistematis, tanpa melihat apakah terdapat keluhan pada organ/sistem itu

atau tidak.

Pemeriksaan status gizi dengan menggunakan patokan BMI (Body Mass

Index) harus bisa melengkapi.

Page 14: Geriatri

Pemeriksaan Tambahan

Pemeriksaan tambahan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi

penderita, tingkat keahlian pemeriksa (perawat/dokter umum/dokter

spesialis), tetapi minimal harus mencakup pemeriksaan rutin usia lanjut.

Pemeriksaan laboratorium rutin di sini meliputi:

Pemeriksaan darah, urin, feces rutin, gula darah, lipid, fungsi

hepar/renal, albumin/globulin, elektrolit (terutama FE, Ca, P, sedang

trace elements bila ada indikasi saja).

Perlu pula pemeriksan X-foto thorax dan EKG.

EEG, EMG, CT-scan, Echo-c, dan sebagainya hanya dilakukan bila

perlu.

Apabila terdapat kecurigaan adanya kelainan yang belum jelas atau

diperlukan tindakan diagnostik/terapeutik lain, dapat dilakukan

konsultasi/rujukan kepada disiplin lain, yang hasilnya dapat dievaluasi

oleh tim.

Pemeriksaan Fungsi

Hal ini dianggap merupakan fokus sentral. Pelaksanaan asesmen fungsi

fisik dan psikis penderita dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu: '

Aktivitas hidup sehari-hari (AHS fisik) yang hanya memerlukan

kemampuan tubuh untuk berfungsi sederhana, misalnya bangun

dari tempat tidur, berpakaian, ke kamar mandi/WC.

Aktivitas hidup sehari-hari instrumental (AHS instrumental), yang

selain memerlukan kemampuan dasar juga memerlukan berbagai

koordinasi kemampuan otot, susunan syaraf yang lebih rumit, juga

kemampuan berbagai organ kognitif lain.

Kemampuan mental dan kognitif, terutama menyangkut fungsi

intelek, memori lama, dan memori tentang hal-hal yang baru saja

terjadi.

Page 15: Geriatri

Penatalaksanaan dan Pengobatan Medik

Prinsip penting seperti pada pengobatan penderita lain, yaitu mulai

dengan non-drug treatment, juga berlaku pada penderita lansia ini.

Bila kita mulai berketetapan menggunakan obat, baik simtomatik maupun

kausal, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Perubahan anatomik, fisiologik, dan komposisi tubuh penderita

lansia tadi, berupa massa otot, albumin serum, serta fungsi postural

yang menurun. Selain itu, juga fungsi sekresi dan detoksifikasi hati

serta ginjal

Kemungkinan polifarmasi dan efek samping obat yang lebih sering

terjadi. Iatrogenesis yang diakibatkannya.

Dokter yang merawat harus mengetahui betul sifat farmakodinamik

dan farmakokinetik obat yang diberikan.

Menyempitnya "therapeutic window" pada lansia

Faktor lupa dan ketaatan (compliments) minum obat. Hal ini perlu

dimonitor lebih cermat.

Perlunya individualisasi pada tiap kasus.

Perlu disadari dan dilaksanakan semboyan "Start slow, go slow".

Pemberian nutrisi yang baik dan seimbang perlu melengkapi

tindakan-tidakan tersebut di atas.

4. Assesment Geriatri di Pusmesmas

Menurut Buku Panduan Field Lab Fakultas Kedokteran Universitas

Sebelas Maret Surakarta, pengelolaan geriatri di puskesmas sebagian

besar diletakan pada program Posyandu, khususnya Posyandu Lansia.

Posyandu Lansia merupakan sarana pelayanan kesehatan dasar untuk

Page 16: Geriatri

meningkatkan kesehatan para Lansia. Gerakan Sadar Pangan dan Gizi

(GSPG) juga merupakan wadah lintas sektoral untuk melaksanakan

keterpaduan unsur terkait dalam rangka mendukung kesehatan pada

Lansia.

Assesment geriatri di Puskesmas berbeda dengan pelaksanaan

assesment geriatri di rumah sakit. Pada assesment geriatri di puskesmas

biasanya pada tenaga kesehatan melakukannya dengan cara Home

Visitting / Home Care , jadi keseluruhan aktifitas assesment geriatri tidak

hanya dilakukan di Puskesmas namun juga di rumah atau tempat tinggal

para Lansia tersebut. Pada posyandu lansia terdapat Kartu Menuju Sehat

(KMS) Lansia yang berisi informasi perkembangan keadaan Lansia. Di

posyandu lansia juga dilakukan tes Geriatric Depression Scale dan MMSE (

mini mental state examination) serta tes AGS - AAIM untuk paramedis

bukan dokter yang membantu jalannya assesment di puskesmas.

Kemudian yang menjadi perbedaan juga adalah assesment geriatri di

puskesmas tidak bisa dilakukan dengan sangat lengkap dan rinci seperti

yang dilakukan di rumah sakit karena adanya keterbatasan sarana

maupun prasarana yang ada di puskesmas.

Terima Kasih