Download - Geriatri
![Page 1: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/1.jpg)
SOAL
1. Apakah penyebab inkontinensia urin pada geriatri?
2. Apakah penyebab malnutrisi pada geriatri?
3. Bagaimana assesment geriatri di rumah sakit?
4. Bagaimana assesment geriatri di puskesmas?
![Page 2: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/2.jpg)
JAWABAN
1.Inkontinensia Urin Pada Geriatri
Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari,
dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan
masalah gangguan kesehatan atau sosial (Kane dkk., 1989 dalam
Pranarka, 2000).
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan
frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan
higienis penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007).
Fisiologi dan patofisiologi diuresis
Proses berkemih berlangsung dibawah control dan koordinasi sistem
saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi
pertama ingin berkemih timbul saat volume kandung kemih atau vesica
urinaria (VU) mencapai antara 150-350 ml. Kapasitas VU normal bervariasi
sekitar 300-600 ml (Pranarka, 2000). Bila proses berkemih terjadi, otot-
otot detrusor VU berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra.
Tekanan dari otot detrusor meningkat melebihi tahanan dari muara uretra
dan urin akan memancar keluar (Van der Cammen dkk, Reuben dkk
dalam Pranarka, 2000). Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul
berada di bawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudendal,
sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal
berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi
oleh korteks otak (Setiati dan Pramantara, 2007).
Proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah
sakrum. Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom membawa
informasi tentang isi VU ke medulla spinalis sesuai pengisian VU
(Pranarka, 2000). Ketika VU mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan
melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan
![Page 3: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/3.jpg)
subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan cerebellum)
menyebabkan VU relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan
seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian VU
berlanjut, rasa penggembungan VU disadari, dan pusat kortikal (pada
lobus frontalis) bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada
pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat
mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin (Setiati dan
Pramantara, 2007).
Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang dari korteks
disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi
kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor
berkontraksi. Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada
inervasi kolinergik, namun juga mengandung reseptor prostaglandin.
Karena itu, prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi
detrusor. Kontraksi VU juga calcium-channel dependent, karena itu
calcium-channel blockers dapat mengganggu kontraksi VU. Interferensi
aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas
otot (Setiati dan Pramantara, 2007).
Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra
berkontraksi. Karena itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa
(pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat
alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Inervasi
adrenergik-beta merelaksasi sfingter uretra. Karena itu zat beta-
adrenergic blocking (propanolol) dapat mengganggu dengan
menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktifitas kontraktil
adrenergic-alpha (Setiati dan Pramantara, 2007).
Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat
antara uretra dan VU. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada
posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-
abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra di posisi yang
tepat, urin tidak akan pada saat terdapat tekanan atau batuk yang
meningkatkan tekanan intra-abdomen (Setiati dan Pramantara, 2007).
![Page 4: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/4.jpg)
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh berbagai refleks
pada pusat berkemih. Pada fase pengisian, terjadi peningkatan aktivitas
saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher VU, relaksasi
dinding VU, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan
mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase
pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan
parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan
pembukaan leher VU. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf
yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum.
Peranan korteks serebri adalah menghambat, sedangkan batak otak dan
supra spinal memfalisitasi (Setiati dan Pramantara, 2007).
Proses menua dan inkontinensia urin
Usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin, namun prevalensi
inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia karena
semakin banyak munculnya faktor risiko (Setiati dan Pramantara, 2007).
Faktor-faktor risiko yang mendukung terjadinya inkontinensia terkait
dengan pertambahan usia adalah (Pranarka, 2000):
Mobilitas sistem yang lebih terbatas karena menurunnya
pancaindera, kemunduran sistem lokomosi.
Kondisi-kondisi medik yang patologik dan berhubungan dengan
pengaturan urin misalnya diabetes mellitus, gagal jantung
kongestif.
Etiologi inkontinensia urin
Penyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Pranarka, 2000):
![Page 5: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/5.jpg)
1. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel.
2. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis,
demensia dan lain-lain.
3. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih
yang tidak memadai/jauh, dan sebagainya.
Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi (Kane, Reuben dalam
Pranarka, 2000):
1. Inkontinensia akut, biasanya reversibel, terkait dengan sakit yang
sedang diderita atau masalah obat-obatan yang digunakan
(iatrogenik). Inkontinensia akan membaik bila penyakit akut yang
diderita sembuh atau jika obat-obatan dihentikan.
2. Inkontinensia persisten/kronik/menetap, tidak terkait penyakit akut
atau obat-obatan. Inkontinensia ini berlangsung lama.
Inkontinensia urin akut
Penyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang
merupakan kependekan dari (Kane dkk. dalam Pranarka, 2000):
D : Delirium
R : Retriksi, mobilitas, retensi
I : Infeksi, inflamasi, impaksi feses
P : Pharmacy (obat-obatan), poliuri
Golongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut termasuk
diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, anti-kolinergik,
agonis dan antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel blockers.
Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan
retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat mengakibatkan
obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang selanjutnya menstimulasi
kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan Pramantara, 2007).
Inkontinensia urin persisten
![Page 6: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/6.jpg)
Inkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masing-masing
dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan. Inkontinensia
persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000):
1. Tipe stress
Keluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah
sedikit, akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi karena
terdapat kelemahan jaringan sekitar muara VU dan uretra. Sering pada
wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya pengaruh estrogen
dan sering melahirkan disertai tindakan pembedahan.
2. Tipe urgensi
Pengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya
jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu sensasi
penuhnya VU diterima oleh pusat berkemih. Terdapat gangguan
pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor VU. Inkontinensia
tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya stroke, demensia,
sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis.
3. Tipe luapan (overflow)
Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah sedikit,
karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat teregang.
Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain:
- Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan
penyempitan jalan keluar urin.
- Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya pada
diabetes mellitus.
4. Tipe fungsional
Keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat
berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun bermacam
hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih.
Faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan
inkontinensia tipe ini.
Terapi
Pengelolaan inkontinensia pada penderita lanjut usia, secara garis besar
dapat dikerjakan sebagai berikut:
![Page 7: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/7.jpg)
a. Program rehabilitasi antara lain
- Melatih respons VU agar baik lagi
- Melatih perilaku berkemih
- Latihan otot-otot dasar panggul
- Modifikasi tempat untuk berkemih (urinal, komodo)
b. Kateterisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap
(indwelling)
c. Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi VU, estrogen
d. Pembedahan, misalnya untuk mengangkat penyebab sumbatan
atau keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain
e. Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk
kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan
penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.
2. Penyebab Malnutrisi Pada Geriatri
Menurut Dr.Siti Setiati, Sp.PD, konsultan geriatri dari Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, malnutrisi adalah orang-orang yang
bukan hanya berstatus gizi kurang tapi juga bisa berarti kelebihan dan
ketidakseimbangan protein, energi, serta zat gizi lainnya. Prevalensi
malnutrisi pada mereka yang berusia di atas 50 tahun mencapai 22
persen, di usia 60-69 tahun sekitar 25 persen, dan mencapai 27 persen
pada orang berusia 70-79 tahun. Dalam penelitian yang dilakukan Siti
Setiati terhadap 702 pasien usia lanjut rawat jalan di 10 rumah sakit di
Indonesia, diketahui 56,7 persen beresiko malnutrisi dan 2,14 persen
terbukti malnutrisi.
Ada banyak faktor yang menyebabkan malnutrisi, antara lain
perubahan komposisi tubuh dan fungsi organ, gangguan kesehatan,
asupan nutrisi yang kurang, hingga gangguan emosi. Berkurangnya
sensasi rasa dan bau juga membuat orang usia lanjut tidak tertarik untuk
makan. Orang usia lanjut juga bisa mengalami gangguan makan karena
faktor emosi seperti depresi atau karena obat-obatan yang diminumnya.
Malnutrisi pada orang usia lanjut bisa menyebabkan penyembuhan luka
![Page 8: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/8.jpg)
menjadi lama, komplikasi penyakit, menurunnya massa otot, hingga
menyebabkan bertambahnya waktu tinggal di rumah sakit.
Menurut Miller (1999), faktor-faktor yang menyebabkan malnutrisi
pada geriatri antara lain:
- Medications
- Emotional Problems
- Anorexia
- Late-Life Paranoia
- Swallowing Disorder
- Oral Factors
- Neoplasia
- Wandering
- Hyperthyroidism
- Enteric Problems
- Eating Problems
- Low Salt
- Social Problems.
Belum ada kesepakatan umum untuk menilai status gizi pasien,
khususnya pada pasien geriatri menyebabkan bervariasinya angka
prevalensi malnutrisi yang dilaporkan. European Society of Parenteral and
Enteral Nutrition (ESPEN) guidelines dan the French Programme National
Nutrition Sante (PNNS) menganjurkan penggunaan Mini Nutritional
Assessment (MNA) untuk menilai status kurang gizi pada pasien
geriatri.10 MNA didasarkan atas quisioner dan tidak menggunakan
indikator biologi. MNA lebih cocok digunakan pada pasien geriatri di
rumah atau panti jompo. Pada pasien dewasa yang dirawat inap, ESPEN
menganjurkan penggunaan kombinasi antara Body Mass Index (BMI) dan
penurunan berat badan, sedangkan PNNS menganjurkan penggunaan
Nutritional Risk Index (NRI). Disamping untuk menilai status gizi, berbagai
metode pengukran ini juga sering digunakan untuk memprediksi outcome
pasien yang
![Page 9: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/9.jpg)
dirawat.1 Pada pasien geriatri, berat badan sebelum sakit (usual weight)
sering tidak dapat dinilai. Bouillanne memodifikasi NRI yang digunakan
pada pasien dewasa, untuk menilai risiko terkait nutrisi pada pasien
geriatri dan menamainya sebagai Geriatric Nutritional Risk Index (GNRI).
Dari hasil penelitian yang dilakukan, GNRI cukup bagus untuk
memprediksi outcome
pasien geriatri yang mengalami rawat inap.1 GNRI merupakan metode
yang cukup sederhana dibandingkan MNA11, sehingga diharapkan
petugas medis dapat menggunakannya dengan lebih mudah dan cepat.
3.Assesment Geriatri di Rumah Sakit
Asesmen Geriatri adalah suatu proses pendekatan multidisiplin
untuk menilai aspek medik, fungsional, psikososial dan ekonomi penderita
usia lanjut dalam rangka menyusun rencana program pengobatan dan
pemeliharaan kesehatan yang rasional. Asesmen Geriatrik ada 2 macam
yaitu :
1. Asesmen geriatrik administrative
2. Asesmen geriatrik klinik
Uji Klinis tentang Asesmen Geriatrik
1. Hendrik et al (1984) Asesmen Geriatrik mempunyai efek terhadap
pencegahan mortalitas, rehospitalisasi dan mengurangi kunjungan
ke dokter.
2. Rubenstein et al (1984) Asesmen geriatrik menunjukkan
keuntungan dengan biaya lebih murah dibandingkan pendekatan
perawatan rumah sakit konvensional pada frail elderly.
3. Applegate et al (1990) Pengkajian geriatrik memberikan
perbaikan fungsi dan menurunkan resiko perawatan di nursing
home.
![Page 10: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/10.jpg)
4. Stuck et al (1995) Program asesmen geriatrik dirumah dapat
memperlambat timbulnya keterbatasan dan menurunkan angka
perawatan di institusi kesehatan.
Penanganan Holistik (Hadi Martono, 1999; Kane et al, 1999)
Mengingat sifat dan karakteristik penderita usia lanjut seperti
disebutkan di atas, maka penanganannya harus bersifat holistik, yaitu:
1. Penegakan diagnosis: berbeda dengan tata cara diagnosis yang
dilaksanakan pada golongan usia lain, penegakan diagnosis pada
penderita usia lanjut dilaksanakan dengan tata cara khusus yang
disebut dengan asesmen geriatrik. Cara ini merupakan suatu
analisis multidimensional dan sebaiknya dilakukan oleh suatu tim
geriatrik.
2. Penatalaksanaan penderita: penatalaksanaan penderita juga
dilaksanakan oleh suatu tim multidisipliner yang bekerja secara
interdisipliner dan disebut sebagai "tim geriatri". Hal ini perlu
mengingat semua aspek penyakit (fisik-psikis), sosial-ekonomi, dan
lingkungan harus mendapat perhatian yang sama. Susunan dan
besar tim bisa berbeda-beda tergantung pada tingkatan pelayanan.
Di tingkat pelayanan dasar, hanya diperlukan tim "inti" yang terdiri
dari dokter, perawat, dan tenaga sosiomedik.
3. Pelayanan kesehatan vertikal dan horisontal: aspek holistik dari
pelayanan geriatri harus tercermin dari pemberian pelayanan
vertikal, yaitu pelayanan yang diberikan dari Puskesmas sampai ke
pusat rujukan geriatri tertinggi, yaitu di rumah sakit provinsi.
Pelayanan kesehatan horizontal adalah pelayanan kesehatan yang
diberikan merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan
menyeluruh. Dengan demikian, ada kerjasama lintas sektoral
dengan bidang kesejahteraan lain, misalnya agama,
pendidikan/kebudayaan, olah raga, dan sosial.
![Page 11: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/11.jpg)
4. Jenis pelayanan kesehatan: sesuai dengan batasan geriatri seperti
tersebut di atas, maka pelayanan kesehatan yang diberikan harus
meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi dengan
memperhatikan aspek psiko-sosial serta lingkungan.
Tugas masing-masing anggota tim adalah sebagai berikut:
Asesmen lingkungan/sosial: petugas sosio-medik
Asesmen fisik: dokter/perawat.
Asesmen psikis: dokter/perawat/psikolog-psikogeriatris.
Asesmen fungsional/disabilitas: dokter/terapis rehabilitasi.
Asesmen psikologik: dokter-psikolog/psikogeriatri.
Dengan tata cara asesmen geriatric yang terarah dan terpola, maka
kemungkinan terjadinya "mis/under diagnosis" yang sering didapatkan
pada praktik geriatri dapat dihindari atau dieliminasi sekecil mungkin.
Anamnesis (Kane et al; Hadi Martono; 1999)
Awal anamnesis serupa dengan semua anamnesis yang lain, yaitu berupa
identitas penderita. Tetapi, pertanyaan-pertanyaan berikutnya dilakukan
dengan lebih terinci dan terarah sebagai berikut:
Identitas penderita: nama, alamat, umur, perkawinan, anak (jumlah,
jenis kelamin dan berapa yang masih tinggal bersama penderita),
pekerjaan, serta keadaan sosial ekonomi. Termasuk dalam bagian
ini adalah anamnesis mengenai faktor risiko sakit, yaitu usia sangat
lanjut (> 70 tahun), duda hidup sendiri, baru kematian orang
terdekat, baru sembuh dari sakit/pulang opname, gangguan mental
nyata, menderita penyakit progresif, gangguan mobilitas, dan lain-
lain.
![Page 12: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/12.jpg)
Anamnesis tentang obat, baik sebelum sakit ini maupun yang masih
diminum di rumah, baik yang berasal dari resep dokter maupun
yang dibeli bebas (termasuk jamu-jamuan).
Penilaian sistem: bagian ini berbeda dengan anamnesis penderita
golongan umur lain, karena tidak berdasarkan "model medik"
(tergantung pada keluhan utama). Harus selalu diingat bahwa pada
usia lanjut, keluhan tidak selalu menggambarkan penyakit yang
diderita, seringkali justru memberikan keluhan yang tidak khas.
Penilaian sistem dilaksanakan secara urut, misalnya dari sistem
syaraf pusat saluran napas atas dan bawah, seterusnya sampai kulit
integumen dan lain-lain.
Untuk mendapatkan jawaban yang baik, seringkali diperlukan alo-
anamnesis dari orang/keluarga yang merawatnya sehari-hari.
Anamnesis tentang kebiasaan yang merugikan kesehatan (merokok,
mengunyah tembakau, minum alkohol, dan lain-lain).
Anamnesis tentang berbagai gangguan yang terdapat: menelan,
masalah gigi, gigi palsu, gangguan komunikasi/bicara, nyeri/gerak
yang terbatas pada anggota badan, dan lain-lain.
Kepribadian perasaan hati, kesadaran, dan afek (alo-anamnesis
atau pengamatan) konfusio, curiga/bermusuhan, mengembara,
gangguan tidur atau keluhan malam hari, daya ingat, dan lain-lain.
Apabila hasil anamnesis ini membingungkan atau mencurigakan,
perlu dicatat untuk dapat dilaksanakan asesmen khusus kejiwaan
atau bahkan konsultasi psiko-geriatrik.
Riwayat tentang problema utama geriatri (sindrom geriatrik):
pernah stroke, TIA/RIND, hipotensi ortostatik, jatuh, inkontinensia
urin/alvi, dementia, dekubitus, dan patah tulang.
Perlu digarisbawahi bahwa anamnesis pada lansia harus meliputi auto-dan
alloanamnesis. Pada akhir anamnesis harus dicatat derajat kepercayaan
informasi yang diperoleh.
![Page 13: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/13.jpg)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan pemeriksaan tanda vital (seperti pada
golongan umur lain), walaupun rinciannya mungkin terdapat beberapa
perbedaan, antara lain:
Pemeriksaan tekanan darah, harus dilaksanakan dalam keadaan
tidur, duduk, dan berdiri, masing-masing dengan selang 1--2 menit,
untuk melihat kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.
Kemungkinan hipertensi palsu juga harus dicari (dengan perasat
Osler).
Pemeriksaan fisik untuk menilai sistem. Pemeriksaan organ dan
sistem ini perlu disesuaikan dengan tingkat kemampuan
pemeriksa/dokter. Bila yang melakukan perawat, tentu saja tidak
serinci dokter umum, yang pada gilirannya tidak serinci hasil
pemeriksaan fisik oleh dokter spesialis. Yang penting adalah bahwa
pemeriksaan dengan sistem ini menghasilkan ada/tidaknya
gangguan organ atau sistem (walaupun secara kasar).
Pada pelaksanaannya dilakukan pemeriksaan fisik dengan unitan seperti
pada anamnesis penilaian sistem, yaitu:
Pemeriksaan syaraf kepala
Pemeriksaan panca indera, saluran napas atas, gigi-mulut
Pemeriksaan leher, kelenjar tiroid, bising arteri karotis
Pemeriksaan dada, paru-paru, jantung, dan seterusnya sampai pada
pemeriksaan ekstremitas, refleks-refleks, kulit-integumen.
Dengan kata lain, pemeriksaan organ-sistem adalah melakukan
pemeriksaan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki secara
sistematis, tanpa melihat apakah terdapat keluhan pada organ/sistem itu
atau tidak.
Pemeriksaan status gizi dengan menggunakan patokan BMI (Body Mass
Index) harus bisa melengkapi.
![Page 14: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/14.jpg)
Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan tambahan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi
penderita, tingkat keahlian pemeriksa (perawat/dokter umum/dokter
spesialis), tetapi minimal harus mencakup pemeriksaan rutin usia lanjut.
Pemeriksaan laboratorium rutin di sini meliputi:
Pemeriksaan darah, urin, feces rutin, gula darah, lipid, fungsi
hepar/renal, albumin/globulin, elektrolit (terutama FE, Ca, P, sedang
trace elements bila ada indikasi saja).
Perlu pula pemeriksan X-foto thorax dan EKG.
EEG, EMG, CT-scan, Echo-c, dan sebagainya hanya dilakukan bila
perlu.
Apabila terdapat kecurigaan adanya kelainan yang belum jelas atau
diperlukan tindakan diagnostik/terapeutik lain, dapat dilakukan
konsultasi/rujukan kepada disiplin lain, yang hasilnya dapat dievaluasi
oleh tim.
Pemeriksaan Fungsi
Hal ini dianggap merupakan fokus sentral. Pelaksanaan asesmen fungsi
fisik dan psikis penderita dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu: '
Aktivitas hidup sehari-hari (AHS fisik) yang hanya memerlukan
kemampuan tubuh untuk berfungsi sederhana, misalnya bangun
dari tempat tidur, berpakaian, ke kamar mandi/WC.
Aktivitas hidup sehari-hari instrumental (AHS instrumental), yang
selain memerlukan kemampuan dasar juga memerlukan berbagai
koordinasi kemampuan otot, susunan syaraf yang lebih rumit, juga
kemampuan berbagai organ kognitif lain.
Kemampuan mental dan kognitif, terutama menyangkut fungsi
intelek, memori lama, dan memori tentang hal-hal yang baru saja
terjadi.
![Page 15: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/15.jpg)
Penatalaksanaan dan Pengobatan Medik
Prinsip penting seperti pada pengobatan penderita lain, yaitu mulai
dengan non-drug treatment, juga berlaku pada penderita lansia ini.
Bila kita mulai berketetapan menggunakan obat, baik simtomatik maupun
kausal, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Perubahan anatomik, fisiologik, dan komposisi tubuh penderita
lansia tadi, berupa massa otot, albumin serum, serta fungsi postural
yang menurun. Selain itu, juga fungsi sekresi dan detoksifikasi hati
serta ginjal
Kemungkinan polifarmasi dan efek samping obat yang lebih sering
terjadi. Iatrogenesis yang diakibatkannya.
Dokter yang merawat harus mengetahui betul sifat farmakodinamik
dan farmakokinetik obat yang diberikan.
Menyempitnya "therapeutic window" pada lansia
Faktor lupa dan ketaatan (compliments) minum obat. Hal ini perlu
dimonitor lebih cermat.
Perlunya individualisasi pada tiap kasus.
Perlu disadari dan dilaksanakan semboyan "Start slow, go slow".
Pemberian nutrisi yang baik dan seimbang perlu melengkapi
tindakan-tidakan tersebut di atas.
4. Assesment Geriatri di Pusmesmas
Menurut Buku Panduan Field Lab Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta, pengelolaan geriatri di puskesmas sebagian
besar diletakan pada program Posyandu, khususnya Posyandu Lansia.
Posyandu Lansia merupakan sarana pelayanan kesehatan dasar untuk
![Page 16: Geriatri](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082321/54e039364a7959976c8b4c17/html5/thumbnails/16.jpg)
meningkatkan kesehatan para Lansia. Gerakan Sadar Pangan dan Gizi
(GSPG) juga merupakan wadah lintas sektoral untuk melaksanakan
keterpaduan unsur terkait dalam rangka mendukung kesehatan pada
Lansia.
Assesment geriatri di Puskesmas berbeda dengan pelaksanaan
assesment geriatri di rumah sakit. Pada assesment geriatri di puskesmas
biasanya pada tenaga kesehatan melakukannya dengan cara Home
Visitting / Home Care , jadi keseluruhan aktifitas assesment geriatri tidak
hanya dilakukan di Puskesmas namun juga di rumah atau tempat tinggal
para Lansia tersebut. Pada posyandu lansia terdapat Kartu Menuju Sehat
(KMS) Lansia yang berisi informasi perkembangan keadaan Lansia. Di
posyandu lansia juga dilakukan tes Geriatric Depression Scale dan MMSE (
mini mental state examination) serta tes AGS - AAIM untuk paramedis
bukan dokter yang membantu jalannya assesment di puskesmas.
Kemudian yang menjadi perbedaan juga adalah assesment geriatri di
puskesmas tidak bisa dilakukan dengan sangat lengkap dan rinci seperti
yang dilakukan di rumah sakit karena adanya keterbatasan sarana
maupun prasarana yang ada di puskesmas.
Terima Kasih