fullminan hepatitis

35
REFERAT ILMU PENYAKIT DALAM FULLMINAN HEPATITIS PEMBIMBING: Dr. Hadi Wandono, Sp.PD, KGEH, FINASIM PENYUSUN: Faradilah Intan Nurdini 2015.04.2.0051 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA i

Upload: ichaknya-punke-runn-slamanya

Post on 07-Jul-2016

243 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

REFERATILMU PENYAKIT DALAMFULLMINAN HEPATITIS

PEMBIMBING:Dr. Hadi Wandono, Sp.PD, KGEH, FINASIM

PENYUSUN:Faradilah Intan Nurdini

2015.04.2.0051

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HANG TUAH

SURABAYA2016

i

LEMBAR PENGESAHAN

Referat Ilmu Kedokteran Paru

FULLMINAN HEPATITIS

Oleh:

Faradilah Intan Nurdini

2015.04.2.0051

Disetujui dan diterima sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit Umum Haji

Surabaya, Mei 2016

Mengetahui

Dosen pembimbing

Dr. Hadi Wandono, Sp.PD, KGEH, FINASIM

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang sebanyak-banyaknya penulis ucapkan kepada Tuhan Yang

Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, referat Ilmu Penyakit Dalam tentang

“Fullminan Hepatitis” dapat penulis selesaikan. Referat ini penulis susun sebagai

bagian dari proses belajar penulis selama kepaniteraan klinik di RSU Haji Surabaya.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Hadi Wandono, SpPD,

KGEH, FINASIM karena telah meluangkan banyak waktu dan pikiran untuk

membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa referat ini tidaklah sempurna dan masih jauh dari

sempurna karena keterbatasan penulis. Untuk itu penulis mohon maaf atas segala

kekurangan dalam pembuatan referat ini. Penulis juga mohon kritik dan saran untuk

mengisi kekurangan tersebut, agar dapat terwujud karya tulis yang lebih baik dan

berguna bagi banyak pihak.

Surabaya, Mei 2016

Penulis

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................ ii

KATA PENGANTAR................................................................................................ iii

DAFTAR ISI. ........................................................................................................... iv

BAB I

PENDAHULUAN.....................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................2

2.1 Hepar ..........................................................................................................2

2.1.1 Anatomi ..............................................................................................2

2.1.2 Fisiologi................................................................................................4

2.2 Fulminan Hepatitis.......................................................................................5

2.2.1 Definisi.................................................................................................5

2.2.2 Etiologi.................................................................................................5

2.2.3 Patogenesis.........................................................................................7

2.2.4 Patofisiologi.........................................................................................7

2.2.5 Patologi................................................................................................9

2.2.6 Manifestasi Klinis.................................................................................10

2.2.7 Diagnosis.............................................................................................12

2.2.8 Penatalaksanaan.................................................................................12

2.2.9 Komplikasi...........................................................................................15

2.2.10 Prognosis...........................................................................................17

iv

BAB III

KESIMPULAN.........................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................20

v

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangHepatitis fulminan banyak dikenal sebagai gagal hati fulminan atau gagal hati

akut. Hepatitis fulminan didefinisikan sebagai akibat nekrosis hepatosit masif atau

gangguan fungsional hepatosit berat pada penderita yang sebelumnya tidak

menderita penyakit hati (Suchy, 2000; Liu dkk, 2001; Sass, 2005). Perjalanan

fulminan yang ditandai oleh kegagalan hati akut yang terkait dengan nekrosis masif

dan submasif sel hati, terjadi pada kira-kira 1% kasus hepatitis B dan hepatitis C,

dan lebih terjadi jarang pada hepatitis A. Penderita koinfeksi hepatitis B dan virus

delta mempunyai insidensi yang lebih besar dibanding yang dengan hepatitis B saja.

Angka kematian jenis ini tinggi. Pasien yang bertahan hidup mengalami regenerasi

hati normal dan tidak menderita penyakit hati kronik (Chandrasoma, 2006).Data epidemiologi secara internasional didapatkan hepatitis fulminan yang

terjadi pada kasus hepatitis A antara 0,1%-0,4%, hepatitis B 25%-75%, hepatitis D

50%-70%, hepat\itis C dan E jarang sekali terjadi (Suchy, 2000; Whitington, 2001).

Diagnosis hepatitis fulminan dapat ditegakkan berdasarkan catatan riwayat

penderita hepatitis virus, gejala klinis dan pemeriksaan klinis (Suchy, 2000). Angka

kematian hepatitis fulminan masih sangat tinggi yaitu 60-90%. Pengidap terbanyak

yaitu neonatus yaitu 95%, sedangkan pada anak dan dewasa masing-masing 10%

(Markum, 1991).

Berdasarkan data tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa hepatitis

fulminan merupakan perjalanan fulminan yang ditandai oleh kegagalan hati akut

yang terkait dengan nekrosis masif dan submasif sel hati. Kondisi ini jika tidak

ditindaklanjuti dapat memperburuk kualitas hidup seseorang. Tindakan yang tepat

dapat dilakukan jika para praktisi medis mengenal dengan baik faktor-faktor risiko,

etiologi, patogenesis, serta tanda dan gejala klinis dari hepatitis fulminan.

1

BAB IIPEMBAHASAN

2.1Hepar2.1.1 Anatomi Hepar

Hati merupakan organ yang terbesar dalam tubuh. Berat hati sendiri lebih

kurang dua kilogram. Hati memiliki tekstur yang lunak dan lentur serta terletak di

bagian atas kavitas abdominalis tepat di bawah diafragma pada region

hipokondrium dextra dan region epigastrik yang dilapisi oleh kapsula fibrosa.

Hepar dapat dibagi dalam lobus dextra yang merupakan bagian terbesar dan

lobus sinistra yang kecil. Lobus dextra terbagi lagi menjadi lobus quadratus dan

lobus kaudatus oleh adanya vesika biliaris, fissure untuk ligamentum teres

hepatis, vena cava inferior, dan fissure untuk ligamentum venosum.

Porta hepatis atas hilus hepatis terdapat pada permukaan posteroinferior,

dan terletak diantara lobus kaudatus dan lobus quadratus . Porta hepatis terdiri

dari tiga struktur yaitu : vena porta, arteri hepatika, dan duktus koledokus yang

ketiga struktur ini disebut sebagai triad hepatis.

Batas-batas penting pada hati : Anterior : pada bagian anterior hepar berbatasan dengan diafragma,arcus

kostalis dextra dan sinistra, pleura dextra dan sinistra, margo inferior pulmo

dextra dan sinistra, prosessus xyphoideus, dan dinding anterior pada angulus

subcostalis.

Posterior : diafragma, ren dextra, flexura coli dextra, duodenum, vesica

biliaris, vena cava, esophagus, dan fundus gastrikus.

2

Gambar 2.1 Anatomi HatiSumber: Netter, F., 2006

Hati disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu :

Vena porta hepatika yang berasal dari lambung dan usus, yang kaya akan

nutrien seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air, dan

mineral.

Arteri hepatika, cabang dari arteri coeliaca yang kaya akan oksigen. Cabang-

cabang pembuluh darah vena porta hepatica dan arteri hepatica mengalirkan

darahnya ke sinusoid. Di dalam hepatosit zat racun akan dinetralkan

sedangkan nutrien akan ditimbun atau dibentuk zat baru, yang nantinya zat

tersebut akan disekresikan ke peredaran darah tubuh.

Aliran Limfe

Hepar menghasilkan banyak cairan limfe, sekitar sepertiga sampai setengah

jumlah seluruh cairan tubuh. Pembuluh limfe meninggalkan hati dan masuk

ke dalam sejumlah kelenjar limfe yang ada di dalam porta hepatis.

3

Pembuluh eferen berjalan ke nodi coeliaci. Beberapa pembuluh limfe berjalan

dari area nuda melalui diafragma ke nodi lymphoidei mediastinales

posteriores.

Persarafan

Saraf simpatis dan parasimpatis membentuk plexus coelicus. Truncus vagalis

anterior mempercabangkan banyak rami hepatici yang berjalan langsung ke

hepar.

2.1.2 Fisiologi Hepar Secara fisiologis hati memiliki fungsi utama sebagai berikut :

Untuk memetabolisme protein, lemak, dan karbohidrat. Proses metabolisme

ini bergantung kepada kebutuhan tubuh, ketiganya dapat saling dibentuk.

Selain zat-zat diatas hati juga berfungsi untuk memetabolisme obat-obatan,

transaminasi dan deaminasi asam amino, apolipoprotein, dan untuk

memetabolisme asam lemak.

Untuk tempat penyimpanan berbagai zat seperti mineral (Cu, Fe) serta

vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E, dan K), glikogen dan

berbagai racun yang tidak dapat dikeluarkan dari tubuh (contohnya : pestisida

DDT).

Untuk mensintesis bahan-bahan yang dibutuhkan oleh tubuh seperti :

albumin, faktor-faktor pembekuan darah, feritin, transferrin, haptoglobin, alfa-

1 antitripsin, alfa-2 macroglobulin, caeruloplasmin.

Hati juga memiliki fungsi endokrin yaitu berperan dalam pemecahan hormon

dan sitokin 25-hidroxylasi vitamin D.

Hati juga memiliki fungsi sekresi yaitu sekresi empedu yang berperan dalam

emulsifikasi dan absorbsi lemak.

Fungsi fagositosis yaitu untuk memfagosit mikroorganisme, leukosit, dan sel

darah merah yang sudah tua atau rusak.

4

2.2Hepatitis Fulminan2.2.1 Definisi

Hepatitis fulminan yaitu perjalanan fulminan yang ditandai oleh

kegagalan hati akut yang terkait dengan nekrosis masif dan submasif sel hati

(Chandrasoma, 2006). Hepatitis fulminan didefinisikan secara ketat sebagai

sindrom klinik akibat nekrosis hepatosit masif atau gangguan fungsional

hepatosit berat pada penderita yang sebelumnya tidak menderita penyakit hati.

Gangguan ini biasanya berkembang setelah masa kurang dari 8 minggu. Fungsi

sintesis, ekskretori, dan detoksikasi hati seluruhnya terganggu berat, dengan

ensefalopati hepatik suatu kriteria diagnostik yang sangat penting (Suchy,

2000).

2.2.2 Etiologi Hepatitis fulminan paling sering merupakan komplikasi hepatitis virus (A,

B, D, E , mungkin C, dan lain-lain). Risiko tinggi hepatitis fulminan yang tidak

biasa terjadi pada orang muda yang menderita infeksi campuran dengan

hepatitis virus B (HBV) dan hepatitis virus D. Mutasi pada daerah precore DNA

hepatitis virus B (HBV) dihubungkan dengan hepatitis berat dan fulminan.

Hepatitis B juga menyebabkan beberapa kasus hepatitis fulminan yang tanpa

petanda serologis infeksi HBV tetapi dengan DNA HBV yang ditemukan dalam

hati. Hepatitis virus C dan E jarang menyebabkan hepatitis fulminan di Amerika

Serikat. Hepatitis fulminan non A dan non B merupakan penyebab yang paling

sering dari hepatitis fulminan pada anak. Penyakit ini biasanya terjadi secara

sporadis dan tanpa faktor risiko parenteral hepatitis B atau C. Infeksi virus

Epstein-Bar, herpes simpleks, adenovirus, enterovirus, sitomegalovirus, dan

varisela zooster bisa menyebabkan hepatitis fulminan pada anak (Suchy, 2000)

Berbagai obat dan bahan kimia hepatotoksik juga dapat menyebabkan

hepatitis fulminan, seperti karbon tetraklorid dan jamur Amanita phalloides atau

dosis asetaminofen berlebihan. Kerusakan idiosinkrasi bisa pasca pemakaian

obat-obatan seperti halotan atau natrium valproat. Iskemia dan hipoksia akibat

oklusi vaskuler hepatik, gagal jantung kongestif, penyakit jantung sianotik

5

kongenital, atau syok sirkulasi bisa menyebabkan gagal hati. Gangguan

metabolik yang terkait dengan gagal hati adalah penyakit Wilson, perlemakan

hati akut kehamilan, galaktosemia, tirosinemia herediter, intoleransi fruktosa

herediter, penyakit penyimpanan besi neonatus, defek pada β-oksidasi asam

lemak, dan defisiensi pengangkutan elektron mitokondria (Suchy, 2000).

Pada penelitian Nazia Latif di Karachi (2010), penyebab terbesar yaitu

akibat dari hepatitis A (51%) dan selain itu karena penyebab non-viral, metabolik,

drug induced. Terdapat 8% pasien terkena hepatitis fulminan karena Wilson’s

disease, 2% karena hepatitis autoimun (Latif, 2010).

Etiology of fulminant hepatic failure

2.2.3 Patogenesis

6

ViralHepatitis A,B,C,D,E, CMV HSV, EBV, VZV, HHV 6, Parvo-virus B19, Parainfluenza, Yellow Fever, and others

IdiosyncraticHalogenated hydrocarbons, Coumarins, Methyldopa, Phenytoin, Carbamazepin, Valproic acid, Rifampicin, Penicillin, Sulfonamides, Chinolones, etc.

Toxic Dose-dependent

Acetaminophen (Paracetamol), Isoniazid, Tetracycline, Methotrexat, Carbon tetrachloride, Amphetamins, Amanita phalloides-Toxin

Toxic synergisticEthanol + Acetaminophen, Barbiturate + Acetaminophen, Isoniazid + Rifampicin

MetabolicM. Wilson, alpha-1-AT-deficiency, Galactosemia, Tyrosinemia, Reye-Syndrome, NASH

Associated with pregnancy

Acute fatty liver of pregnancy, HELLP-Syndrome

VascularBudd-Chiari-Syndrome, veno-occlusive disease, shock, heart failure

Miscellaneous

Autoimmune-hepatitis, malignant infiltration, hyperthermia, sepsis

Mekanisme yang menyebabkan hepatitis fulminan masih kurang

dimengerti. Belum diketahui mengapa hanya sekitar 1-2% penderita hepatitis

virus mengalami gagal hati. Destruksi masif hepatosit bisa menggambarkan efek

sitotoksik virus langsung dan respon imun terhadap antigen virus. Sepertiga

sampai setengah penderita dengan gagal hati akibat HBV menjadi negatif untuk

HbsAg serum dalam beberapa hari penyajian dan sering tidak dapat mendeteksi

HbeAg atau DNA HBV dalam serum. Penemuan ini mengesankan suatu respon

hiperimun terhadap virus yang mendasari nekrosis hati yang masif.

Pembentukan metabolit hepatotoksik yang melekat secara kovalen pada unsur

pokok sel makromolekul dilibatkan dalam jejas hati yang disebabkan oleh obat-

obatan seperti asetaminofen dan isoniazid; hepatitis fulminan bisa pasca

pengosongan substrat intraseluler yang terlibat pada detoksifikasi, terutama

glutation. Apapun penyebab awal jejas hepatosit, berbagai faktor bisa turut

berperan pada patogenesis gagal hati, termasuk gangguan regenerasi hepatosit,

perubahan perfusi parenkim, endotoksemia, dan penurunan fungsi

retikuloendotelial hati (Suchy, 2000).

Patogenesis ensefalopati hati bisa berhubungan dengan kenaikan kadar

amonia serum, neurotransmitter palsu, amin, kenaikan aktivitas reseptor asam γ-

aminobutirat, atau kenaikan kadar senyawa seperti benzodiazepin endogen

dalam sirkulasi. Penurunan klirens (bersihan) hati dari bahan ini bisa

menyebabkan disfungsi sistem saraf sentral yang nyata (Suchy, 2000).

2.2.4 Patofisiologi Hepatitis fulminan memiliki berbagai akibat yang berbahaya.

Hipoalbuminemia akibat penurunan sintesis protein di hati sehingga dapat

menimbulkan asites dan dan edema. Asites dan edema menyebabkan volume

plasma yang berkurang sehingga menyebabkan hiperaldosteronisme sekunder

dan hipokalemia yang selanjutnya menimbulkan alkalosis (pembentukan NH4+ di

ginjal meningkat). Selain itu, berkurangnya kemampuan hati untuk mensintesis

menyebabkan penurunan konsentrasi faktor pembekuan di dalam plasma.

Kolestasis yaitu penyumbatan aliran empedu dapat terjadi dan memicu

7

kencenderungan perdarahan karena kekurangan garam empedu akan

menurunkan pembentukan misel dan juga absorbsi vitamin K di usus sehingga

karboksilasi-γ dari faktor pembekuan II (protrombin), VII, IX, dan X yang

tergantung vitamin K berkurang (Sibernagl, 2007).

Hipertensi portal dapat terjadi pada hepatitis fulminan yang akan

menyebabkan asites dan akan lebih buruk karena terjadi penghambatan aliran

limfe yang selanjutnya menyebabkan trombositopenia akibat splenomegali dan

pembentukan varises esofagus. Defisiensi faktor pembekuan aktif,

trombositopenia, dan varises esofagus dapat menyebabkan perdarahan hebat.

Hipertensi portal dalam keadaan seperti ini dapat menyebabkan enteropati

eksudatif dan meningkatkan asites karena hilangnya albumin dari plasma, selain

memberi kesempatan pada bakteri di usus besar untuk diberi makan dengan

protein yang telah melewati lumen usus sehingga meningkatkan pelepasan

amonium yang bersifat toksik terhadap otak. Pada hipertensi portal, zat yang

bersifat toksik (seperti amin, fenol, asam lemak rantai pendek) terhadap otak

akan melewati hati dan tidak akan dibuang oleh hati seperti yang seharusnya

sehingga terjadi ensefalopati. Otak menghasilkan transmitter palsu (misalnya

serotonin) dari asam amino aromatik karena jumlahnya yang meningkat di dalam

plasma juga berperan dalam ensefalopati (Sibernagl, 2007).

Hiperamonemia yang berperan terhadap terjadinya ensefalopati (apatis,

memory gaps, tremor, akhirnya koma hepatikum) meningkat karena perdarahan

saluran cerna yang juga berperan dalam peningkatan suplai protein ke kolon,

hati tidak lagi mampu mengubah amonium (NH3, NH4+) menjadi urea,

hipokalemia yang menyebabkan asidosis intrasel yang mengaktifkan

pembentukan amonium di sel tubulus proksimal dan pada saat yang sama

menyebabkan alkalosis sistemik (Sibernagl, 2007).

8

2.2.5 PatologiPada hepatitis fulminan terjadi nekrosis hati masif. Pada awalnya hati

tampak agak besar, tegang dan merah akibat bendungan dan edema. Kemudian

setelah berhari-hari, daerah nekrotik menjadi kuning sampai merah atau hijau,

bergantung pada jumlah lemak, perdarahan dan empedu bocor yang tampak.

Bila banyak sel hepatosit yang hilang, maka hati menjadi mengecil dan lunak

akibat kolaps kerangka retikulin. Sel hepatosit kebanyakan hilang dengan

susunan parenkim yang masih utuh, yaitu vena centralis yang masih di tengah

lobulus letaknya dan sinusoid yang tersusun radier. Retikulin masih utuh. Sel

Kupffer dan histiosit dapat mengandung lipofucsin yang dilepaskan dari sel hati

yang rusak. Daerah portal mengandung sebukan sel radang. Sisa sel hati yang

tidak rusak biasanya hanya tampak pada tepi lobulus dan kadang menunjukkan

kolestasis intrasel. Setelah terjadi kerusakan, maka lazimnya segera terjadi

regenerasi beberapa sel yang masih utuh, namun pada hepatitis fulminan tidak

tampak regenerasi sel hati karena sel utuh yang dapat membelah diri tidak ada.

Proses terjadi nekrosis terjadi secara cepat dan dapat terjadi tidak diketahui

dengan pasti karena terjadi infeksi yang keras sekali sehingga mematahkan

pertahanan tubuh dengan cepat atau resistensi hati rendah sekali. Perjalanan

mikroskopis menunjukkan serangan yang ditujukan kepada sel hati terjadi

serentak dan menyebabkan disintegrasi. Tidak tampak sel hati yang rusak dan

menghilang secara perlahan. Bagian nekrotik yang tertinggal (sisa) dibawa oleh

sirkulasi darah atau dilarutkan atau diabsorbsikan. Reaksi radang sedikit sekali

karena proses yang pendek dan cepat atau sel Kupffer telah rusak. Sebukan

radang yang tampak di dalam dan di sekitar vena centralis diduga terisi dengan

sisa sel. Beberapa sel di antaranya mengandung lipofucsin yang berasal dari sel

hati nektrotik (Darmawan, 1973).

9

2.2.6 Manifestasi KlinisPada hampir 95% penderita tidak disertai riwayat penyakit hepatitis dan

baru terdeteksi saat pemeriksaan donor darah. Anak dengan hepatitis fulminan

biasanya sebelumnya sehat dan paling tidak mempunyai faktor resiko terhadap

penyakit hati seperti hepatitis atau pajanan produk darah. Ikterus progresif, bau

(fetor) hepatikus, demam, nafsu makan menurun, muntah, dan nyeri abdomen

sering terjadi. Penurunan cepat ukuran hati tanpa perbaikan klinis merupakan

tanda yang kurang baik. Diatesis hemoragis dan asites bisa timbul. Penderita

harus diawasi dengan ketat terhadap ensefalopati hepatik, yang pada awalnya

ditandai dengan gangguan minor kesadaran atau fungsi motorik. Iritabilitas,

makan sulit, dan perubahan pada irama tidur mungkin merupakan satu-satunya

temuan pada bayi; asteriksis mungkin bisa ditunjukkan pada anak yang lebih

besar. Penderita sering somnolen atau bingung atau bangun mendadak dan

akhirnya bisa menjadi berespon hanya pada rangsangan nyeri. Penderita dapat

dengan cepat dalam kondisi buruk pada stadium koma yang lebih dalam dimana

respon ekstensor dan postur deserebrasi serta dekortikasi muncul. Respirasi

biasanya meningkat pada awalnya, tetapi gagal respirasi bisa terjadi pada koma

stadium IV. Selain ensefalopati yang biasa terjadi pada hepatitis fulminan yaitu

hipoglikemi dan koagulopati (Suchy, 2000).

10

Stadium Ensefalopati Hepatik

StadiumI II III IV

Gejala Period

e letargi,

euforia; tidur

terbalik antara

siang dan

malam;

mungkin

sadar

Ngantuk,

perilaku tidak

sesuai,

gelisah,

irama,

perasaan

lebar,

disorientasi

Strupp

or tapi bisa

dibangunkan,

bingung,

bicara kacau

Koma

IVa respons

terhadap

rangsangan

beracun

IVb tidak

berespons

Tanda Sulit

menggambar

gambar,

melakukan

tugas mental

Asteriksis,

bau

hepatikus,

inkontinensia

Asterik

sis,

hiperefleksis,

refleks

ekstensor,

kaku

Arefleksia,

tanpa

asteriksis,

lunglai

Elektroensefalogram

Normal Lambat

seluruhnya,

gelombang θ

Tak

normal

mencolok,

gelombang

trifasik

Tak normal

bilateral

lambat,

gelombang δ,

elektrik

korteks

tenang

Tabel 2.1 Stadium Ensefalopati Hepatik

11

2.2.7 DiagnosisPada anamnesis ditemukan keluhan perut membesar (asites), demam,

sakit perut, kulit gatal, mual, badan lemas, mengeluhkan air kemih berwarna

gelap. Jika pada bayi, alloanamnesis mengeluhkan bayi menjadi rewel, sulit

makanan, dan gangguan siklus tidur bayi. Bila hepatitis fulminan semakin lanjut,

akan ditemukan gangguan kesadaran kurang lebih dari 2 minggu setelah

terjadinya kuning. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan ikterus, asites, bisa

terdapat hepatomegali atau justru hati menjadi kecil, mungkin juga ditemukan

perdarahan gastrointestinal. Perhatikan juga gejala-gejala adanya edema

serebral yaitu adanya peningkatan dari tonus otot, hipertensi, kejang, dan agitasi.

Penting untuk mengetahui apakah hepatitis fulminan terjadi karena infeksi,

pengaruh obat-obatan dan penyingkiran penyakit hati metabolik. Diagnosis

secara klinis dicurigai pada pasien kuning yang perkembangan ensefalopati

dalam waktu 8 minggu sejak onset penyakit kuning. Pemeriksaan biokimiawi

didapatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi (serum total bilirubin > 1,5 mg/dl),

peningkatan aminotransferase (>10.000 IU/L), peningkatan amonia plasma (>

100 IU/L), koagulopati (protrombin > 40 detik), peningkatan fungsi hati (SGPT >

40 IU/L) (Kelly, 1993; Suchy, 2000; Arief, 2005; Latif, 2010).

2.2.8 PenatalaksanaanManajemen hepatitis fulminan hanya suportif, tidak ada terapi yang

diketahui mengembalikan jejas hepatosit atau meningkatkan regenerasi hepar.

Bayi atau anak dengan koma hepatikum yang lanjut harus ditangani dalam unit

perawatan intensif yang memungkinkan monitor terus-menerus fungsi vital.

Intubasi endotrakeal mungkin dibutuhkan untuk mencegah aspirasi, mengurangi

edema serebri dengan hiperventilasi, dan mempermudah perawatan paru.

Mekanisme ventilasi dan pemberian oksigen sering dibutuhkan pada koma yang

lanjut. Larutan glukosa dan elektrolit harus diberikan secara intravena untuk

mempertahankan keluaran urin, untuk mengoreksi atau mencegah hipoglikemia,

dan untuk mempertahankan kadar kalium serum normal. Hiponatremia sering

ada tetapi biasanya karena dilusi dan bukan akibat pengosongan natrium.

12

Penambahan kalsium, fosfor, dan magnesium parenteral mungkin dibutuhkan.

Koagulopati harus diobati dengan pemberian vitamin K parenteral dan mungkin

memerlukan plasma beku segar; koagulasi intravaskuler tersebar (DIC) bisa juga

terjadi. Plasmaferesis bisa memungkinkan koreksi sementara diatesis

perdarahan tanpa mengakibatkan beban volume berlebihan. Pemakaian antasid

atau penyekat reseptor H2 profilaksis atau keduanya harus dipertimbangkan

karena risiko tinggi terjadi perdarahan saluran cerna. Hipovolemia harus dihindari

dan diobati dengan infus cairan dan produk darah yang memadai. Disfungsi

ginjal bisa terjadi akibat dehidrasi, akibat nekrosis tubuler akut, atau akibat gagal

ginjal fungsional (sindrom hepatorenal). Penderita harus diawasi dengan ketat

terhadap infeksi, meliputi sepsis, pneumonia, peritonitis, dan infeksi saluran

kemih. Sedikitnya 50% penderita mengalami infeksi serius. Organisme gram

positif (Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis) adalah patogen

yang paling sering tetapi infeksi gram negatif dan jamur juga diamati. Edema

serebral adalah komplikasi yang sangat serius yang berespon jelek terhadap

pemberian kortikosteroid dan diuresis osmotik. Pemantauan tekanan intrakranial

mungkin berguna dalam mencegah edema serebral berat, dalam

mempertahankan tekanan perfusi serebral, dan dalam menentukan kenyamanan

penderita untuk transplantasi hati (Arief, 2005; Suchy, 2000).

Perdarahan saluran cerna, infeksi, konstipasi, sedasi, keseimbangan

elektrolit, dan hipovolemia bisa mempercepat ensefalopati dan harus dikenali

dan dikoreksi. Masukan protein harus dibatasi atau dihentikan. Usus harus

dibersihkan dengan enema. Laktulosa harus diberikan setiap 2-4 jam oral atau

dengan pipa nasogastrik dengan dosis 10-5-mL cukup untuk menyebabkan

diare. Dosis ini kemudian disesuaikan terhadap hasil beberapa gerakan usus

asam, longgar, tiap hari. Sirup laktulosa yang diencerkan dengan voume 1-3

volume air bisa juga diberikan sebagai enema retensi setiap 6 jam. Laktulosa

adalah disakarida yang tidak bisa diabsorbsi, dimetabolisasi menjadi asam

organik oleh bakteri kolon; bahan ini mungkin menurunkan kadar amonia darah

dengan menurunkan produksi amonia mikroba dan melalui penjeratan amonia

dalam kandungan asam usus. Pemberian antibiotik yang tidak bisa diabsorbsi

13

per oral atau rektal seperti neomisin bisa mengurangi produksi amonia yang

dihasilkan bakteri usus. Flumazenil, suatu antagonis benzodiazepin bisa

menyembuhkan ensefalopati hepatik awal (Arief, 2005; Suchy, 2000).

Penelitian terkendali telah menunjukkan hasil yang paling jelek daripada

hepatitis fulminan pada penderita yang diobati dengan kortikosteroid. Berbagai

pendekatan telah digunakan untuk membantu hati dalam mengeluarkan toksin

neuroaktif seperti plasmaferesis atau perfusi plasma penderita melalui kolom

arang atau resin pengikat lain. Walaupun penderita bisa mengalami perbaikan

pada ensefalopati, ada sedikit bukti bahwa pengobatan ini memperbaiki

ketahanan hidup. Beberapa alat bantu hati yang mengandung biakan hepatosit

juga digunakan secara eksperimental dalam upaya memungkinkan regenerasi

hati penderita atau untuk sementara sampai donor organ yang cocok tersedia.

Transplantasi hati orthotopik mungkin menyelamatkan hidup para penderita yang

mencapai stadium koma hepatikum lanjut. Pengurangan ukuran alograf dan

transplantasi donor hidup adalah kemajuan yang penting dalam pengobatan bayi

dengan gagal hati (Suchy, 2000; Arief, 2005).

Transplantasi hati harus dilakukan pada semua anak dengan stadium III

atau IV ensefalopati. Kondisi penderita yang harus segera dilakukan

transplantasi hati adalah (Suchy, 2000; Arief, 2005) :

a. Waktu protrombin > 60 detik

b. Penurunan kadar transaminase

c. Peningkatan bilirubin >17,5 mg/dl

d. Penurunan ukuran hati

e. pH < 7,3

f. Hipoglikemia < 70 mg/dl

g. Ensefalopati stadium II-III

Terdapat 2 macam transplantasi hati, orthotopic liver transplantatiom

(OLT) dari donor meninggal, kekurangannya adalah kurangnya persediaan organ

sehingga memerlukan waktu tunggu yang lama. Living related liver transplantion

organ berasal dari donor hidup, diambil lobus kiri donor dewasa sehingga dapat

memperpendek waktu tunggu. Kontraindikasi transplantasi adalah sepsis,

14

metabolik asidosis yang tak terkoreksi, hipotensi yang memerlukan dosis presor

tinggi, dan perfusi otak dibawah 40 mmHg walau sudah pengobatan (Suchy,

2000; Arief, 2005).

2.2.9 KomplikasiEnsefalopati Hepatis

Ensefalopati hepatis adalah gangguan fungsi otak akibat gangguan fungsi

hati akut, dapat timbul dengan adanya faktor pencetus seperti sepsis,

perdarahan saluran cerna, gangguan elektrolit, pemberian sedasi terutama

benzodiazepin (Arief, 2005).

Edema Otak

Penyebab utama kematian pada gagal hati akut ditujukan untuk

mencegah terjadinya komplikasi ini. Edema otak dapat timbul pada ensefalopati

stadium III dan IV, timbul dalam hitungan jam setelah koma yang ditandai

dengan perubahan neurologis seperti pupil anisokor, rigiditas otot, klonus dan

kejang lokal serta hilangnya refleks batang otak. Juga dapat terjadi gangguan

pola pernapasan, bradikardia, peningkatan tekanan darah. Edema otak terjadi

bila terdapat kenaikan tekanan intrakranial > 30 mmHg. Penyebab dari edema

otak tidak diketahui, tetapi faktor iatrogenik seperti kelebihan cairan, gangguan

kadar glukosa darah menyebabkan metabolisme otak anaerob sehingga terjadi

perubahan aliran cairan otak, kegagalan sirkulasi sistemik menyebabkan iskemia

otak dan edema (Arief, 2005).

Perdarahan

Gangguan hemostasis disebabkan kegagalan sintesis faktor pembeku

dan faktor fibrinolitik oleh hati, penurunan jumlah dan fungsi trombosit dan

terjadinya koagulasi intravaskular. Faktor koagulasi yang diproduksi hati adalah

faktor I (fibrinogen), II (protrombin), V, VII, IX, X. Penurunan sintesis

menyebabkan pemanjangan waktu protrombin dan partial thromboplastin time.

Waktu protrombin sangat bermanfaat untuk mengukur kemampuan sintesis

faktor pembekuan oleh hati (Arief, 2005).

15

Komplikasi kardiovaskular

Terjadi peningkatan cardiac output karena terjadi penurunan tahanan

vaskular karena endotoksin atau zat berasal dari jaringan hati yang rusak dan A-

V shunting. Terjadi hipotensi tetapi didapatkan akral yang hangat. Hipotensi

disebabkan perdarahan, bakteremia, peningkatan permeabilitas kapiler. Terjadi

sinus takikardi pada 75% penderita, sedang bradikardi merupakan gejala lanjut

dan dihubungkan dengan peningkatan tekanan intrakranial mencerminkan

kegagalan mekanisme regulasi sentral. Kombinasi hipotensi, vasodilatasi perifer,

dan asidosis metabolik merupakan gejala terminal (Arief, 2005).

Komplikasi sistem pernafasan

Sering terjadi gangguan ventilasi dan respon minimal terhadap pemberian

obat-obatan. Pada stadium II-III ensefalopati terjadi hiperventilasi menyebabkan

alkalosis respiratorik. Pada stadium IV terjadi hipoventilasi, hipoksia, dan

hiperkapnea. Kadang terjadi edema paru karena vasodilatasi dan penurunan

integritas vaskuler. Komplikasi lain adalah aspirasi pneumoni, efusi pleural.

Perdarahan paru terjadi pada stadium akhir (Arief, 2005).

2.2.10 PrognosisAnak-anak dengan hepatitis fulminan bisa menjadi lebih baik daripada

orang dewasa, tetapi angka kematian keseluruhan di atas 70%. Prognosis

sangat bervariasi tergantung pada penyebab dan derajat ensefalopati

hepatikanya. Dengan dukungan medis yang intensif angka ketahanan hidup 50-

60% terjadi pada gagal hati yang mengkomplikasi kelebihan dosis asetaminofen

dan pada infeksi virus hepatitis A dan B fulminan. Sebaliknya, penyembuhan

dapat diharapkan hanya pada 10-20% penderita dengan gagal hati yang

disebabkan oleh hepatitis non-A, non-B, non-C atau penyakit Wilson yang mulai

akut. Pada penderita yang keadaannya lebih buruk menjadi koma stadium IV

prognosisnya sangat jelek. Komplikasi utama seperti sepsis, perdarahan berat,

atau gagal ginjal meningkatkan mortalitas. Penelitian menunjukkan bahwa

ikterus lebih dari 7 hari sebelum mulai ensefalopati, waktu protrombin lebih dari

50 detik, dan bilirubin serum lebih dari 17,5 mg/dL (300 µmol/L) menunjukkan

16

prognosis jelek tidak tergantung dari stadium awal koma hepatikum. Ketahanan

hidup 50-70% bisa dicapai pada penderita dengan prognosis yang paling jelek

pasca transplantasi hati orthotopik. Penderita yang membaik pada hepatitis

fulminan dengan hanya perawatan pendukung (suportif) biasanya tidak

mengalami sirosis atau penyakit hati kronis. Anemia aplastik adalah komplikasi

yang lazim dan biasanya mematikan pada hepatitis fulminan akibat dari hepatitis

non-A, non-B, non-C sporadis (Suchy, 2000).

17

BAB IIIKESIMPULAN

1. Hepatitis fulminan yaitu perjalanan fulminan yang ditandai oleh kegagalan

hati akut yang terkait dengan nekrosis masif dan submasif sel hati .

2. Hepatitis fulminan paling sering merupakan komplikasi hepatitis virus (A, B,

D, E , mungkin C, dan lain-lain). Terjadi pada kira-kira 1% kasus hepatitis B

dan hepatitis C, dan lebih terjadi jarang pada hepatitis A. Penderita koinfeksi

hepatitis B dan virus delta mempunyai insidensi yang lebih besar dibanding

yang dengan hepatitis B saja.

3. Gejala hepatitis fulminan yaitu ikterus progresif, bau (fetor) hepatikus,

demam, nafsu makan menurun, muntah, nyeri abdomen, penurunan cepat

ukuran hati, diatesis hemoragis, asites bisa timbul. Iritabilitas, makan sulit,

dan perubahan pada irama tidur mungkin merupakan satu-satunya temuan

pada bayi; asteriksis mungkin bisa ditunjukkan pada anak yang lebih besar.

Penderita sering somnolen atau bingung atau bangun mendadak dan

akhirnya bisa menjadi berespon hanya pada rangsangan nyeri. Penderita

dapat dengan cepat dalam kondisi buruk pada stadium koma yang lebih

dalam dimana respon ekstensor dan postur deserebrasi serta dekortikasi

muncul. Respirasi biasanya meningkat pada awalnya, tetapi gagal respirasi

bisa terjadi pada koma stadium IV.

4. Mekanisme yang menyebabkan hepatitis fulminan masih kurang dimengerti.

Belum diketahui mengapa hanya sekitar 1-2% penderita hepatitis virus

mengalami gagal hati. Destruksi masif hepatosit bisa menggambarkan efek

sitotoksik virus langsung dan respon imun terhadap antigen virus.

5. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang jika diperlukan.

6. Manajemen hepatitis fulminan hanya suportif, tidak ada terapi yang diketahui

mengembalikan jejas hepatosit atau meningkatkan regenerasi hepar.

18

7. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu ensefalopati hepatis, edema otak,

perdarahan, komplikasi kardiovaskular, komplikasi sistem pernafasan.

8. Prognosis sangat bervariasi tergantung pada penyebab gagal hati dan derajat

ensefalopati hepatikanya. Dengan dukungan medis yang intensif angka

ketahanan hidup 50-60% terjadi pada gagal hati yang mengkomplikasi

kelebihan dosis asetaminofen dan pada infeksi virus hepatitis A dan B

fulminan. Sebaliknya, penyembuhan dapat diharapkan hanya pada 10-20%

penderita dengan gagal hati yang disebabkan oleh hepatitis non-A, non-B,

non-C atau penyakit Wilson yang mulai akut. Pada penderita yang

keadaannya lebih buruk menjadi koma stadium IV prognosisnya sangat jelek.

19

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Sjamsul. 2005. Tatalaksana Gagal Hati Akut. Surabaya.

Chandrasoma, Parakrama, Taylor, Clive R. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi Edisi

2. Jakarta. EGC.

Kelly, DA. 1993. Fulminant hepatitis and acute liver failure. Management of

Digestive and Liver Disorders in Infants and Children. Eds, JP Buts and EM

Sokal. Elsevier Science. pp 577-593

Latif, N., Mehmood, K. 2010. Risk Factor for Fulminant Hepatic Failure And Their Relation With Outcome In Children. Original Article. J Pak Med Assoc. pp 175-178.

Liu, M., et all. 2001. Fulminant Viral Hepatitis : Molecular And Cellular Basis, and Clinical Implication. Expert Reviews. Cambridge University Press. pp 1-19.

Markum, A. H, dkk. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit FK UI : Jakarta.

Pearce, Evelyn. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta. PT

Gramedia Pustaka Utama.

Sadikin, Darmawan. 1973. Patologi. Jakarta. Penerbit Bagian Patologi Anatomik FK

UI.

Sass, David A., Shakil, A. O. 2005. Fulminant Hepatic Failure. Article. CAQ Corner.

Volume 11. pp 594-605.

Sibernagl, S., Lang, F. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Suchy, Frederick J. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta. EGC.

Whitington, P. F.; Alonso, E. M. 2001. Fulminant Hepatitis in Children: Evidence for

an Unidentified Hepatitis Virus. Invited Review. Journal of Pediatric

Gastroenterology & Nutrition. Volume 33, pp 529-536.

20