full pre-s (2)

61
STUDI TERAPI DIABETES MELLITUS TIPE 1 PADA TIKUS HASIL INDUKSI STREPTOZOTOCIN TERHADAP KADAR MALONDIALDEHIDA DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL YANG DIBERI EKSTRAK DAUN PLETEKAN (Ruellia tuberossa L) SKRIPSI Oleh ZULFIKAR SAFRULLOH 105130101111036

Upload: erick-confickeerz

Post on 03-Oct-2015

33 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

kji

TRANSCRIPT

25

STUDI TERAPI DIABETES MELLITUS TIPE 1 PADA TIKUS HASIL INDUKSI STREPTOZOTOCIN TERHADAP KADAR MALONDIALDEHIDA DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL YANG DIBERI EKSTRAK DAUN PLETEKAN (Ruellia tuberossa L)

SKRIPSI

OlehZULFIKAR SAFRULLOH105130101111036

Program Studi Pendidikan Dokter HewanProgram Kedokteran HewanUniversitas BrawijayaMalang2014

STUDI TERAPI DIABETES MELLITUS TIPE 1 PADA TIKUS HASIL INDUKSI STREPTOZOTOCIN TERHADAP KADAR MALONDIALDEHIDA DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL YANG DIBERI EKSTRAK DAUN PLETEKAN (Ruellia tuberossa L)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelarSarjana Kedokteran Hewan

OlehZULFIKAR SAFRULLOH105130101111036

Program Studi Pendidikan Dokter HewanProgram Kedokteran HewanUniversitas BrawijayaMalang2014

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Zulfikar SafrullohNIM :.105130101111036Program Studi : Program Kedokteran HewanPenulis Skripsi berjudul:

Studi Terapi Diabetes Mellitus Tipe 1 pada Tikus Hasil Induksi Streptozotosin terhadap Kadar Malondialdehida dan Gambaran Histopatologi Ginjal yang Diberi Estrak Daun Pletekan (Ruellia tuberossa L) Dengan ini menyatakan bahwa:1. Isi dari skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya saya sendiri dan tidak menjiplak karya orang lain, selain nama-nama yang termaktub di isi dan tertulis di daftar pustaka dalam skripsi ini. 2. Apabila dikemudian hari ternyata skripsi yang saya tulis terbukti hasil jiplakan, maka saya akan bersedia menanggung segala resiko yang akan saya terima.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.

Malang, Desember 2014 Yang menyatakan,

( Zulfikar Safrulloh ) NIM.105130101111036

Studi Terapi Diabetes Mellitus Tipe 1 pada Tikus Hasil Induksi Streptozotosin terhadap Kadar Malondialdehida dan Gambaran Histopatologi Ginjal yang Diberi Estrak Daun Pletekan (Ruellia tuberossa L)

ABSTRAK

Diabetes mellitus merupakan penyakit degeneratif yang prevalensinya meningkat setiap tahun. Diabetes ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolism karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh defisiensi insulin. Hiperglikemia dapat menyebabkan terbentuknya reactive oxygen species (ROS) sehingga terbentuk biomarker kerusakan jaringan berupa malondialdehida. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi ekstrak daun pletekan (Ruellia tuberose) terhadap kadar MDA dan gambaran histopatologi ginjal pada tikus model diabetes. Penelitian ini menggunakan tikus (Rattus norvegicus) jantan strain Wistar yang dibagi menjadi 3 kelompok yakni kelompok kontrol, kelompok hiperglikemia, dan kelompok terapi (dosis tunggal 450 mg/kg BB). Pembuatan hiperglikemia dengan cara induksi streptozotosin dosis rendah selama 5 hari berturut-turut secara intraperitonial. Pemberian ekstrak pletekan dilakukan dengan cara dilarutkan dalam minyak jagung. Gambaran histopatologi diamati secara deskriptif menggunakan metode Hematoksilin-Eosin (HE) dan pengamatan kadar MDA menggunakan metode Thiobarbituric Acid (TBA).

Kata kunci: Diabetes, Histopatologi ginjal, malondialdehida (MDA), Pletekan.

DAFTAR ISIHalamanHALAMAN JUDULiiLEMBAR PERNYATAANiiiABSTRAKivDAFTAR ISIvDAFTAR GAMBARviDAFTAR LAMPIRANviiDAFTAR ISTILAH DAN LAMBANGviiiBAB 1 PENDAHULUAN11.1 Latar Belakang11.2 Rumusan Masalah41.3 Batasan Masalah41.4 Tujuan Penelitian51.5 Manfaat6BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA72.1 Diabetes Mellitus72.1.1 Definisi72.1.2 Patofisiologi82.2 Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus)92.3 Pletekan (Ruellia tuberosa L)122.4Kandungan Pletekan (Ruella tuberose L)132.5 Struktur dan Fungsi Ginjal142.6 Hubungan Diabetes Mellitus dengan Kadar Malondialdehida162.7 Histopatologi Ginjal pada Diabetes Mellitus18BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL203.1 Kerangka Penelitian203.2 Hipotesis Penelitian22BAB 4 METODE PENELITIAN244.1 Waktu dan Tempat Penelitian244.2 Alat dan Bahan Penelitian244.2.1 Alat Penelitian244.2.2 Bahan Penelitian244.3 Tahapan Penelitian254.4 Prosedur Kerja254.4.1 Rancangan dan Variabel Penelitian254.4.2 Pembuatan Ekstrak Ruellia tuberosa L274.4.3 Penentuan Kadar Glukosa Darah dengan Glukometer274.4.4 Pembuatan Larutan STZ dan Induksi pada Hewan Coba284.4.5 Terapi Hewan Coba DM dengan Ekstrak Ruallia tuberose L294.4.6 Pengamatan Gula Darah pada Tikus DM Terapi294.4.7 Pembedahan Hewan Coba dan Pengambilan Organ Ginjal304.4.8 Pengukuran Kadar MDA (Malondialdehida)304.4.8.1 Pembuatan Kurva Standar MDA304.4.8.2 Pengukuran Kadar MDA Menggunakan Uji TBA314.4.9 Pembuatan dan Pewarnaan Preparat Ginjal dengan Metode HE314.4.10 Analisis Data33DAFTAR PUSTAKA34

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Tikus Putih Strain Wistar (Rattus norvegicus)092.2 Tanaman Ruellia tuberose L.132.3 Struktur Anatomi Ginjal142.4 Glomerulus, Tubulu proksimal, Tubulus distal152.5 Mekanisme Pembentukan MDA172.6 Glomerulus normal dan abnormal193.1 Kerangka Konseptual20

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Skema Kerja Penelitian382. Pembuatan Senyawa Bioaktif Ekstrak Ruellia tuberose L393. Diagram Kerja Penelitian404. Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)425. Pengukuran MDA436. Penghitungan Dosis dan Pengenceran Ekstrak Pletekan44

DAFTAR ISTILAH DAN LAMBANG

AGEAdvanced Glycosylation End ProdectsDMDiabetes MellitusgGramHEHematoxylin-EosinMDAMalondialdehidamg/dLMiligram per Desi Litermg/KgBBMiligram per Kilogram Berat BadanmLMililitermLDMulti Low DoseOHOObat Hipoglikemik OralROSReactive Oxygen SpeciesSTZStreptozotosinTBAThiobarbituric AcidUPHPUnit PengembanganHewan PercobaanVEGRVascular Endothelial Growth FactorAlfaBetaLMikroliter

viii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDiabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya terus meningkat setiap tahunnya. Menurut data WHO, prevalensi DM di seluruh dunia diprediksikan meningkat dari 2.8% pada tahun 2000 menjadi 4,4% pada tahun 2030 dan jumlah tersebut diperkirakan masih akan terus meningkat (Wild et al., 2004). Diabetes ditandai dengan meningkatnya glukosa darah (hiperglikemia) yang disebabkan karena sel beta dalam pulau langerhans tidak dapat menghasilkan insulin atau mengalami defisiensi insulin. Defisiensi insulin akan menyebakan gangguan proses biokimia di dalam tubuh seperti penurunan jumlah glukosa yang diserap oleh sel dan peningkatan pelepasan glukosa dari hati ke sirkulasi darah (El-Soud et al., 2007). Diabetes memicu terjadinya kelainan metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan dapat menyebabkan timbulnya komplikasi berupa kebutaan, penyakit jantung iskemik, dan stroke. (Matthews, 2002). Selain pada manusia, diabetes juga terjadi pada hewan peliharaan seperti anjing dan kucing. Dalam sebuah penelitian di Swedia, tercatat 860 anjing menderita diabetes, 616 dari populasi tersebut merupakan anjing betina (Fall et al., 2007). Diabetes pada anjing banyak ditemukan pada anjing yang telah tua disebabkan karena sel yang tidak responsif sehingga produksi insulin tidak maksimal. Pada kucing, diabetes dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti umur, kegemukan, sterilisasi dan jenis kelamin (Hoenig, 2002).

1

Hiperglikemia pada diabetes mellitus dapat menyebabkan terjadinya kenaikan radikal bebas karena proses autooksidasi. Radikal bebas membuat membran sel menjadi rusak, menjadi lipid peroksida atau Malondialdehyde (MDA) dan mengakibatkan kerusakan system membrane sel dan kematian sel (Yasa dkk., 2009).Produksi radikal bebas atau Reactive Oxygen Species (ROS) yang meningkat akan memicu terjadinya stres oksidatif akibat jumlah radikal bebas dalam tubuh lebih tinggi daripada antioksidan. Stres oksidatif adalah peristiwa dimana radikal bebas yang berupa molekul reaktif muncul melalui suatu reaksi biokimiawi dari sel normal yang merusak membran sel dan menyebabkan gangguan fungsi tubuh, terutama sel pankreas yang diperantarai melalui mekanisme cellular mediated autoimmune dan disertai dengan meningkatnya peroksidasi lipid berupa malondialdehida (MDA). Adanya MDA pada sel dapat digunakan sebagai indikator pengkuran radikal bebas dalam tubuh (Adji, 2008).Hiperglikemia dapat menyebabkan terjadinya komplikasi pada hati, ginjal dan pembuluh darah. Hiperglikemia memicu terjadinya kerusakan ginjal melalui perubahan metabolisme dan haemodinamik. Hiperglikemi akan menyebabkan terjadinya aktivasi protein kinase C, meningkatkan produksi Advanced glycosylation end Products (AGEs), diasilgliserol, dan meningkatkan produksi radikal oksigen spesies (ROS) (Maitra and Abbas, 2010). Aktivasi protein kinase C dan menempelnya AGE pada reseptor akan menyebabkan terjadinya perubahan sinyal-sinyal intra dan interseluler sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan proliferasi sel-sel yang mengekspresikan vascular endothelial growth factor (VEGFR-1) dan VEGFR-2. Proliferasi sel-sel ini menyebabkan ukuran gelung glomerulus (glomerulus-tuft) meningkat. Peningkatan ukuran glomerulus-tuft ini akan menyebabkan hipertrofi glomerulus dan hipertrofi ginjal secara keseluruhan (Susilorini dkk., 2013) Diabetes yang tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Obat-obat antidiabetik yang digunakan saat ini selain memberikan kontribusi yang besar, juga memilik efek samping seperti hipoglikemia, peningkatan berat badan dan ketidakmampuan untuk mencegah degenerasi pankreas atau komplikasi diabetes yang disebabkan oleh stres oksidatif (Baynes, 1991). Obat antidiabetik diantaranya adalah glibenclamid dan metformin. Glibenclamid merupakan obat hipoglikemik oral (OHO) golongan sulfonylurea yang menstimulasi sel beta pankreas untuk melepas insulin yang tersimpan. Efek samping OHO golongan sulfonylurea umumnya ringan dan dan frekuensinya rendah, seperti gangguan saluran cerna, gangguan susunan syaraf pusat serta cenderung meningkatkan berat badan (Soegondo, 2004). Metformin merupakan obatantidiabetika oral golongan biguanid dengan mekanisme kerja tidak melalui perangsangan sekresi insulin tetapi langsung terhadap organ sasaran. Biguanid merangsang glikolisis anaerob, dan anaerobiosis ini dapat mengakibatkan lebih banyaknya glukosa memasuki otot (Handoko dan Suharto, 2004). Terapi ideal diabetes sebaiknya merupakan obat yang tidak hanya memiliki efek anti hiperglikemik, tetapi juga meningkatakan atau melindungi system pertahanan antioksidan (Erejuwa et al., 2011). Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai anti diabetes adalah Ruellia tuberosa L. (Pletekan). Ruellia tuberosa L. secara tradisional biasa digunakan pada pengobatan diuresis, antidiabetes, antipiretik, antihipertensi dan bahan antidote. Di Indonesia sendiri, penggunaan tanaman ini masih belum banyak digunakan, dan lebih sering dianggap sebagai gulma, oleh karena itu perlu dilakukan kajian ilmiah lebih lanjut untuk mengetahui aktivitas biologi atau farmakologi tanaman ini. Ruellia tuberosa diketahui memiliki senyawa mayor berupa flavonoid. Ruellia tuberosa juga dilaporkan memliki fungsi sebagai anti inflamasi, antiurolitik, antioksidan dan hipoglikemik (Chwan-Fwu Lin et al., 2006).Berdasar latar belakang diatas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak R.tuberosa sebagai upaya terapi Diabetes Mellitus ditinjau dari kadar MDA dan gambaran histopatologi ginjal.

1.2 Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang tersebut, maka bisa dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian ini:1) Apakah pemberian ekstrak daun Ruellia tuberosa L (Pletekan) dapat menurunkan MDA (Malondialdehida) pada ginjal tikus model diabetes mellitus yang di induksi dengan STZ?2) Apakah pemberian ekstrak daun Ruellia tuberosa L (Pletekan) dapat mengubah gambaran histopatologi ginjal pada tikus model diabetes mellitus yang di induksi dengan STZ?1.3 Batasan MasalahBerdasar latar belakang yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini dibatasi pada:1) Hewan model yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan strain wistar yang diperoleh dari Unit Penngembangan Hewan Percobaan (UPHP) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan umur 2-3 bulan dengan berat rata-rata 130-150 g. Penggunaan hewan coba sedang dalam proses pengajuan persetujuan laik etik. 2) Pembuatan keadaan diabetes mellitus pada hewan coba dilakukan dengan cara injeksi intraperitonial. Dosis mLD-STZ yang digunakan adalah 20 mg/kg BB per hari selama 5 hari berturut-turut (Lukiati dkk., 2012).3) Ekstrak pletekan disiapkan dengan cara maserasi menggunakan ekstrak methanol, kemudian diberikan pada tikus dengan konsentrasi 450 mg/kg BB yang dilarutkan dengan minyak jagung selama 10 hari. 4) Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah kadar MDA yang diukur dengan menggunakan metode thiobarbituratacid (TBA) dan gambaran histopatologi ginjal tikus Rattus norvegicus yang diamati secara mikroskopis dengan perbesaran 400 kali.1.4 Tujuan Penelitian1) Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun Ruellia tuberosa L dalam menurunkan kadar MDA pada ginjal tikus diabetes mellitus yang diinduksi menggunakan STZ.2) Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun Ruellia tuberosa L terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus diabetes mellitus yang diinduksi menggunakan STZ.

1.5 Manfaat6

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang manfaat ekstrak Ruellia tuberosa L sebagai salah satu produk herbal alternatif penyakit diabetes mellitus pada manusia maupun hewan, sehingga dapat digunakan sebagai dasar pembuatan obat untuk menurunkan penurunan kadar glukosa dalam darah.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes mellitus (DM)2.1.1 DefinisiDiabetes merupakan penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia akibat adanya gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (ADA, 2011). Menurut American Diabetes Association (2011) diabetes dapat dibedakan menjadi DM tipe 1 (DM-1) atau insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM), DM tipe 2 (DM-2) atau noninsulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM), diabetes gestational dan diabetes mellitus tipe khusus :1) Diabetes mellitus tipe 1 (IDDM)Diabetes tipe 1 merupakan diabetes yang disebabkan oleh proses autoimun sel- T (autoimmune T-Cell attack) yang menghancurkan sel- sel beta pankreas yang dalam keadaan normal menghasilkan hormon insulin, sehingga insulin tidak terbentuk dan mengakibatkan penumpukan glukosa dalam darah. DM tipe 1 ini sering juga disebut dengan diabetes juvenile karena sering terjadi di usia 30 tahun ke bawah. Pasien dengan diabetes tipe 1 membutuhkan penyuntikan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darah.2) Diabetes mellitus tipe 2 (NIDDM)

Diabetes mellitus tipe 2 adalah diabetes mellitus yang tidak tergantung dengan insulin. Diabetes mellitus ini terjadi karena pankreas tidak dapat menghasilkan insulin yang cukup atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif sehingga terjadi kelebihan gula dalam darah. Diabetes 7

mellitus tipe 2 dapat terjadi pada usia pertengahan dan kebanyakan penderita memiliki kelebihan berat badan.3) Diabetes mellitus gestational (diabetes kehamilan)Diabetes gestastional adalah diabetes yang terjadi pada masa kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Diabetes gestastional disebabkan karena peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa. Diabetes gastastional dapat hilang setelah proses persalinan selesai4) Diabetes mellitus tipe khusus atau tipe lainDiabetes jenis ini disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti pengaruh genetik pada fungsi sel beta pankreas pada kerja insulin, penyakit pankreas eksokrin, infeksi akibat virus, akibat penggunaan obat-obatan, dan endokrinopati.2.1.2 PatofisiologiDiabetes tipe 1 (IDDM) disebabkan oleh pankreas yang tidak mampu menghasilkan insulin karena sel-sel beta pulau langerhans hancur sehingga kadar gula dalam darah menjadi tinggi. Menurut Hussain (2002) kadar glukosa tikus model diabetes > 300 mg/dL, sedang kadar gula normal pada tikus putih berkisar antara 60-150 mg/dL. (Butler, 1995) Tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, akan menyebabkan glukosuria dan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic) yang mengakibatkan pasien mengalami peningkatan jumlah urin (poliuria) dan rasa haus yang tinggi (polidipsi) (Corwin, 2000). Defisiensi insulin juga dapat mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan yang merangsang tubuh untuk meningkatkan selera makan (polipagi). Selain poliuri, polidipsi dan polipagi, IDDM dapat mengakibatkan terjadinya glikogenolisis (pemecahan cadangan glukosa) dan glukoneogenesis yang berujung pada pemecahan lemak dan peningkatan keton yang mengganggu keseimbangan asam basa sehingga terjadi ketoasidosis (Corwin, 2000).

2.2 Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus) Model Diabetes Mellitus Hewan percobaan adalah setiap hewan yang dipergunakan pada sebuah penelitian yang dipilih berdasar syarat atau standar yang diperlukan dalam penelitian tersebut. Tikus yang biasa digunakan dalam penelitian adalah tikus putih strain Wistar dan Sprague-Dawley (Ridwan, 2013). Tikus putih banyak digunakan pada penelitian-penelitian toksikologi, metabolisme lemak, obat-obatan maupun mekanisme penyakit infeksius. Tikus putih baik digunakan dalam penelitian karena mudah dipelihara, mudah berkembang biak sehingga cepat mendapatkan hewan coba yang seragam dan mudah dikelola di laboratorium. Penelitian tentang obat-obatan dan keracunan banyak menggunakan hewan coba tikus dan mencit, karena mudah diperiksa melalui organ-organ utama yang berperan yaitu hati dan ginjal (Leickteig, et al., 2007).

Gambar 2.1 Tikus Putih Strain Wistar (Rattus norvegicus) (Estina, 2010)Tikus yang digunakan sebagai hewan model dalam penelitian ini adalah jenis Rattus norvegicus strain Wistar dengan klasifikasi seperti berikut (Armitage, 2004):Kingdom: AnimaliaFilum: ChordataKelas: MamaliaOrdo: RodensiaSubordo: SciurognathiFamili: MuridaeSub-Famili: MurinaeGenus: RattusSpesies: Rattus norvegicusTikus Rattus norvegicus dikembangkan di Institut Wistar pada tahun 1906 untuk kepentingan penelitian medis. Galur tikus Sprague dawley dan Long-evans dikembangkan dari tikus galur wistar (Estina, 2010). Tikus Rattus norvegicus biasa digunakan sebagai hewan percobaan karena hewan ini mudah diperoleh dalam jumlah banyak, memiliki respon yang cepat terhadap perlakuan yang diberikan, memberi gambaran secara ilmiah yang mungkin terjadi pada manusia, serta harganya relatif lebih murah (Sihombing dan Tuminah, 2011).Pembuatan hewan model diabetes mellitus dilakukan dengan pemberian diabetogenik. Diabetogenik yang sering digunakan adalah alloxan, streptozotosin, dithizone, 8-hidroksikuinolon dan vacor (Rees and Alcolado, 2005). Hewan yang diberi diabetogenik akan mengalami gejala seperti glikosuria sebagai tanda telah mengalami diabetes. Phlorizin yang di injeksikan melalui subkutan akan mengikat transporter glukosa/Na+ dalam tubulus proksimal ginjal dan menghambat reabsorpsi glukosa. Hal ini menyebabkan glukosa, yang secara normal saat melintasi ginjal tereabsorpsi sempurna dapat lolos dan tereksresikan bersama urin (glikosuria) (Rees and Alcolado, 2005). Streptozotosin memiliki aktivitas anti-neoplasma dan antibiotic spectrum luas. Strptozotosin dapat secara langsung merusak sel langerhans atau menimbulkan proses autoimun terhadap sel sehingga lebih banyak digunakan dalam pembuatan hewan uji DM. treptozotosin menembus sel langerhans melalui transporter glukosa GLUT 2. Aksi STZ intraseluler akan menyebabkan perubahan DNA pada sel pankreas. Alkilasi DNA oleh STZ mengakibatkan kerusakan sel pankreas lewat gugus nitrosourea. Nitric Oxide (NO) berperan terhadap kerusakan tersebut melalui peningkatan aktivitas guanili siklase dan terbentuknya cGMP. Pembentukan NO terjadi ketika STZ mengalami metabolisme dalam sel sehingga membangkitkan oksigen reaktif yang berperan dalam kerusakan sel pankreas. Pembentukan anion superoksida oleh STZ dalam mitokondria dan peningkatan xantin oksidase menurunkan konsumsi oksigen mitokondria. Produksi ATP mitokondria yang terbatas akan mengakibatkan pengurangan nukleotida sel pankreas secara drastis (Szkudelski, 2001).Aloksan merupakan senyawa hidrofilik dan tidak stabil yang diperantarai oleh oksidasi senyawa dengan gugus SH, penghambatan glukokinase, pembangkiran radikal bebas dan gangguan homestatis ion kalsium intraseluler (Nugroho, 2006).

2.3 Pletekan (Ruellia Tuberossa L) Ruellia tuberosa L merupakan salah satu tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat Indonesia. Ruellia tuberosa L yang sering dikenal dengan sebutan pletekan ini merupakan tanaman tropis yang banyak ditemukan di Asia Tenggara. Ruellia tuberosa L memiliki tinggi 0,4-0,9 m, batang tegak berwarna hijau, dengan panjang bunga 3,5-5 cm. Daun berwarna hijau dengan panjang 6-18 cm, lebar 3-9 cm, permukaan licin, bentuk pertulangan daun menyirip, tepi daun bergerigi, ujung membulat dan pangkal daun meruncing (Novi, 2012). Kelopak bunga memiliki tinggi 2-3 dan berwarna ungu. Buah berbentuk lonjong, panjang 2-3 cm, kering, dan berbiji banyak. Biji berbetuk bulat kecil dan berwarna coklat. Berkas akar berwarna coklat berbentuk umbi yang memanjang (Van Steenis, 1975). Klasifikasi R.tuberosa L. yakni (Novi, 2012) :Kingdom: Plantae (Tumbuhan)Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)Super Divisio: Spermatophyta (Menghasilkan biji)Divisio: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)Class: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)Subclass: AsteridaeOrdo: ScrophularialesFamili: AcanthaceaeGenus: RuelliaSpesies: Ruellia tuberosa L.

Gambar 2.2 Tanaman Ruellia tuberosa L (Van Steenis, 1975)

2.4 Kandungan Pletekan ( Ruellia tuberosa L)Tanaman R. tuberosa L mengandung senyawa kimia seperti betulin, fenol (0,43 mg/g), tannin (10 mg/g), indol-3-karboksilat, asam vanilat dan senyawa golongan flavonoid seperti malvidin, apigenin, antosianidin, kirsimaritin, kirsimarin, kirsiliol 4-glikosida, sorbifolin dan pedalitin ( Manikandan dan Doss, 2010 ; Chwan-Fwu Lin et al.,, 2006). Menurut Shahwar (2011) ekstrak etanol daun pletekan (100 mg/Kg berat badan) mengandung fraksi etil asetat dengan aktivitas hipoglikemi yang sangat tinggi, dan fraksi n-heksan dari eksrak etanol (150 mg/Kg berat badan) juga memiliki aktivitas hipoglikemi. Studi fitokimia pada fraksi etil asetat menunjukkan bahwa terdapat senyawa triterpenoid dan flavonoid, dan pada fraksi n-heksan terdapat senyawa fitosterol pada R.tuberosa. Kandungan nutrisi pada ekstrak 50% hidroetanol daun R.tuberosa L. yaitu asam askorbat (0,44), likopen (0,896), karotenoid (0,046), tokoferol (0,187mg/g), lemak (1,32), protein (4,3), karbohidrat (56,4) serat (2,7), dan kadar air (5,2%). Kandungan mineral yakni kadar abu 6.2% (Manikandan dan Doss, 2010)

2.5 Struktur dan Fungsi Ginjal Ginjal merupakan salah satu organ eksresi yang berbentuk seperti kacang, berwarna coklat kemerahan dan terletak di rongga retroperitoneal bagian posterior dari abdomen. Permukaan ginjal bagian luar halus dan licin, diselubungi oleh capsula yang dilingkupi oleh fascia gerota dan jaringan lemak perinefrik. Pada sisi medial ginjal terdapat cekungan yang disebut hilus yang dilewati oleh arteri dan vena renalis, nodul limfatikus, dan ureter (Drake et al., 2010).

Gambar 2.3 Struktur Anatomi Ginjal (Drake et al., 2010)Ginjal yang dipotong secara memanjang akan memperlihatkan dua daerah yang berbeda warnanya. Daerah perifer yang berwarna gelap disebut korteks, dan daerah yang berwarna lebih terang disebut medulla dengan bentuk pyramid terbalik. Pada bagian medula berwarna lebih cerah dan tampak adanya jalur-jalur yang disebabkan oleh buluh-buluh kemih yang lurus dan pembuluh darahnya (Hartono, 1992). Darah dari tubuh yang mengalir menuju ginjal normalnya sekitar 22% dari jantung. Arteri renalis memasuki ginjal melewati hilum dan menuju ke kapiler glomerulus. Ujung distal kapiler pada setiap glomerulus menyatu membentuk arteriol eferen yang menuju ke kapiler peritubular yang mengelilingi tubulus ginjal (Guyton dan Hall, 2006)Fungsi utama ginjal dibagi menjadi dua, yakni fungsi eksresi dan nonsekresi. Fungsi eksresi yakni mempertahankan pH plasma, mempertahankan osmolalitas plasma, jalur ekstretori sebagian besar obat, mengeksresikan produk akhir nitrogen, mempertahankan volume cairan ekstraseluler dan tekanan darah, serta mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu. Sedangkan fungsi noneksresi berfungsi untuk mensintesis dan mengaktifkan hormone seperti rennin, insulin, glucagon, prolaktin, dan mendegradasi hormone polipeptida.Secara histologis, ginjal terdiri dari tiga unsur utama yaitu (1) glomerulus, merupakan gelung pembuluh darah kapiler yang masuk melalui arteri aferen, (2) Tubuli sebagai parenkim yang bekerja bersama glomerulus membentuk nefron, suatu unit fungsional terkecil dari ginjal, dan (3) Interstisium yang merupakan pembuluh-pembuluh darah, limfe dan syaraf (Nabib, 1987; Junquiera dan Carneiro, 2007).

Gambar 2.4 Glomerulus (G), Tubulus Proksimal (P), Tubulus Distal (D) (Junqueira, 2007)Epitel ginjal adalah bagian yang sensitif terhadap bahan-bahan toksik. Kerusakan pada ginjal dapat terjadi apabila bahan toksik masuk melalui aliran darah dan menyebabkan perubahan pada ginjal berupa cloudy swelling, degenerasi hyaline, degenerasi lemak, dan nekrosa. Tingkat perubahan organ ginjal tersebut tergantung dari sifat toksik (Smith and Hunt, 1974).

2.6 Hubungan Diabetes Mellitus dengan Kadar Malodialdehid (MDA) Malondialdehidaa (MDA) merupakan senyawa organik dan termasuk dalam golongan senyawa aldehida yang sangat reaktif dan dapat bersifat toksik. MDA dapat bersifat mutagenik bagi sel manusia karena menyebabkan modifikasi struktur DNA (Niedernhofer et al., 2003). Malondialdehida dalam sel dihasilkan dari proses peroksidasi lipid oleh radikal bebas dan biosintesis prostalglandin. Meningkatnya kadar malondialdehida dipengaruhi oleh peningkatan produksi ROS sehingga MDA digunakan sebagai salah satu marker untuk mengetahui stres oksidatif dalam sel (Bruch and Janet, 2002). Diabetes mellitus yang tidak dikontrol dengan baik dapat menyebabkan stres oksidatif, dimana produksi radikal bebas (oksidan) yang melebihi kemampuan antioksidan tubuh untuk meredamnya. Sumber stres oksidasi pada diabetes diantaranya perpindahan keseimbangan reaksi redoks karena perubahan metabolisme karbohidrat dan lipid yang akan meningkatkan pembentukan ROS dari reaksi glikasi dan oksidasi lipid sehingga menurunkan sistem pertahanan antioksidan (Widowati, 2008). ROS akan meningkatkan pembentukan ekspresi Tumour necrosis factor- (TNF-) dan memperparah stres oksidatif. TNF- dapat mengakibatkan resistensi insulin melalui penurunan autofosforilasi (auto-phosphorylation) dari reseptor insulin, perubahan reseptor insulin substrat1 menjadi inhibitor insuline receptor tyrosine kinase activity, penurunan insuline-sensitive glucose transporter (GLUT-4), meningkatkan sirkulasi asam lemak, merubah fungsi sel , meningkatkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar HDL (Nugroho, 2006). Stres oksidatif pada penderita diabetes akan meningkatkan pembentukan ROS di dalam mitokondria yang akan mengakibatkan berbagai kerusakan oksidatif berupa komplikasi diabetes dan akan memperparah kondisi penderita diabetes. Jumlah radikal bebas yang berlebih mengakibatkan peningkatan proses peroksidasi lipid sehingga produksi MDA juga meningkat. Oleh karena itu, kelompok tikus sakit mengalami peningkatan kadar MDA (Nugroho, 2006). Menurut Aulanniam dkk (2013) mekanisme pembentukan MDA melalui peroksidasi lipid diawali dengan penghilangan atom hidrogen dari molekul lipid tak jenuh rantai panjang oleh gugus radikal hidroksil, sehingga lipid bersifat radikal. Kemudian radikal lipid ini bereaksi dengan atom oksigen membentuk radikal peroksil, yang selanjutnya menghasilkan MDA (dengan ikatan tak jenuh lebih dari tiga).

Gambar 2.5 Mekanisme Pembentukan MDA (Aulanniam, 2013)

2.7 Histopatologi Ginjal pada Diabetes MellitusDiabetes merupakan suatu keadaan gangguan metabolism karbohidrat yang dapat menyebabkan komplikasi berupa kerusakan terhadap organ-organ tertentu seperti jantung, otak, pembuluh darah dan ginjal. Kerusakan pembuluh darah kecil (mikroangiopati) pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya nefropati diabetic. Nefropati diabetik (ND) merupakan komplikasi penyakit diabetes mellitus yang termasuk dalam komplikasi mikrovaskular, yaitu komplikasi yang terjadi pada pembuluh darah halus (kecil). Hal ini dikarenakan terjadi kerusakan pada pembuluh darah halus di ginjal. Kerusakan pembuluh darah menimbulkan kerusakan glomerulus yang berfungsi sebagai penyaring darah dan menjadi glomerulosklerosis. Tingginya kadar gula dalam darah akan membuat struktur ginjal berubah sehingga fungsinya juga terganggu. Dalam keadaan normal protein tidak tersaring dan tidak melewati glomerolus karena ukuran protein yang besar tidak dapat melewati lubang-lubang glomerulus yang kecil. Namun, karena kerusakan glomerolus, protein (albumin) dapat melewati glomerolus sehingga dapat ditemukan dalam urin yang disebut dengan mikroalbuminuria (Ritz et al., 1996).Mikroalbuminaria disebabkan oleh peningkatan aliran albumin pada kapiler glomerulus karena terjadi perubahan struktur endotel glomerulus akibat disfungsi endotel. Sel endotel menghasilkan beberapa proteoglikan, hyaluronan dan kondroitin sulfat yang berperan dalam menjaga selektifitas muatan listrik pada membran filtrasi glomerulus. Penurunan produksi heparin-sulfat proteoglikan dapat menyebabkan terjadinya perubahan fungsi membran filtrasi glomerulus, hipertropi glomerulus, penebalan membrane basal glomerulus, (Brownlee, 2001). Meningkatnya stres oksidatif akan menyebabkan terjadinya perubahan histopatologi jaringan ginjal tikus baik pada glomerulus maupun tubulus. Secara umum, perubahan yang ditemukan pada glomerulus berupa hipertrofi sel-sel pada glomerulus yang mengakibatkan terjadinya penyempitan pada urinary space dan pada tubulus berupa kerusakan sel epitel tubulus sehingga batas antara tubulus yang tampak tidak jelas, serta adanya nekrosis pada inti sel tubulus yang ditandai dengan inti sel piknotik. Kumar dalam Sulistiyowati (2013) mengatakan bahwa glomerulus dalam keadaan normal secara keseluruhan tertutup oleh kapsula bowman yang berbentuk mangkok dan dilapisi oleh endotelium berlubang berpori-pori yang terletak pada membrana basalis dan dibagian luar membrana basalis adalah sel epitel viseral (podosit). Gambar 2.6 (a) Glomerulus normal, (b) Glomerulus abnormal (Sulistyowati, 2013) 19

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL

Ekstrak pletekanTikusStreptozotocin3.1 Kerangka Penelitian

ROS

Stres OksidatifKerusakan sel pankreas

Peroksidasi LipidSintesis dan sekresi insulin

Glukosa darahMDA

Mikroangiopati ginjal

Perubahan glomerulus

Gambar 3.1 Kerangka Kerja PenelitianKeterangan :Induksi streptozotocin: Terapi ekstrak pletekan:Aktivitas meningkat :Aktivitas menurun:Menghambat:Variabel bebas:Variabel tergantung:

20

Diabetes adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia. Hiperglikemia adalah kondisi dimana kadar glukosa dalam tubuh lebih tinggi dari batas normal. Hiperglikemia secara normal terjadi akibat gangguan sel pankreas atau terganggunya reseptor sel insulin. Pembuatan hiperglikemia secara buatan dapat dilakukan dengan memberikan zat diabetogenik seperti STZ. STZ merupakan senyawa yang dapat membangkitkan radikal bebas (ROS) dalam tubuh. Timbulnya radikal bebas (ROS) yang tinggi dalam tubuh akan memicu terjadinya gangguan pada sel pankreas, sehingga terjadi penghambatan sekresi dan sintesis insulin yang menyebabkan tikus model mengalami diabetes mellitus tipe 1. Tikus model diabetes mellitus tipe 1 akan menghasilkan kadar glukosa yang tinggi dan memicu terjadinya gangguan mikrovaskuler (kerusakan pada pembuluh darah kecil) pada beberapa organ seperti ginjal sehingga ginjal mengalami mikroangiopati (penyempitan pembuluh darah).Mikroangipati pada ginjal akan menyebabkan terjadinya perubahan pada glomerulus. Perubahan terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membran basalis glomerulus. Selain itu perubahan yang ditemukan pada glomerulus berupa hipertrofi sel-sel pada glomerulus yang mengakibatkan terjadinya penyempitan pada urinary space dan pada tubulus berupa kerusakan sel epitel tubulus sehingga batas antara tubulus yang tampak tidak jelas, serta adanya nekrosis pada inti sel tubulus yang ditandai dengan inti sel piknotik. Peningkatan kadar radikal bebas akan mengakibatkan stres oksidatif dan memicu proses peroksidasi lipd sehingga menghasilkan MDA.Ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak pletekan (Ruallia tuberose L.) yang mengandung senyawa flavonoid. Flavonoid merupakan bahan aktif yang memiliki fungsi sebagai antioksidan, antiinflamasi dan antihiperlipidemi. Senyawa polifenol terutama flavanoid diduga berperan dalam penghambatan peroksidasi lipid karena senyawa tersebut memiliki kemampuan menangkap radikal bebas. Flavonoid mendonasikan sebuah atom (H) dari gugus hidroksil (OH) fenolik pada saat bereaksi dengan radikal bebas.Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan disebabkan karena flavonoid bertindak sebagai scavenger radikal bebas. Menurut Aulanniam (2012) Berdasarkan struktur kimia flavonoid sebagai scavenger radikal bebas. Terjadi abstraksi atom hidrogen sebagai radikal bebas sehingga dapat menghasilkan radikal fenoksil flavonoid yang memiliki reaktifitas lebih rendah. Radikal fenoksil flavonoid dapat diserang kembali sehingga terbentuk fenoksil flavonoid kedua. Radikal fenoksil flavonoid memiliki ikatan rangkap terkonjugasi sehingga dapat menstabilkan strukturnya dengan delokalisasi electron ataupun resonansi untuk menghilangkan efek radikal bebas

3.2 Hipotesis PenelitianBerdasar rumusan masalah di yang telah ada, hipotesis yang dapat diajukan adalah:1. Terapi ekstrak daun pletekan (Ruellia tuberose L) dapat menurunkan kadar malondialdehida (MDA) pada tikus Rattus norvegicus diabetes mellitus.2. Pemberian ekstrak daun pletekan (Ruellia tuberose L) dapat memperbaiki kondisi glomerulus ginjal pada tikus Rattus norvegicus diabetes mellitus yang diamati berdasarkan histopatologinya.

23

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat PenelitianPenelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 - selesai di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Biologi Molekuler Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya, Malang.4.2 Alat dan Bahan Penlitian4.2.1. Alat PenelitianPeralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, antara lain bak pemeliharaan hewan coba, seperangkat alat bedah, gelas objek, gelas kimia (50 mL, 250 mL, 500 mL, 1000 mL), labu takar (10 mL, 100 mL, 500 mL, 1000 mL), pipet tetes, gelas ukur 100 mL, pengaduk kaca, mikro pipet (10 L, 20 L, 200 L, 1000 L), rak tabung reaksi, penangas air, waterbath, stirer, eppendorf, tabung polipropilen, lemari pendingin, pH meter digital, penjepit, seperangkat alat sentrifugasi, inkubator, vortex, spektrofotometri UV, mikroskop cahaya, autoclave, stirer, plastik klip, blue tip, yellow tip, sarung tangan, oven, spuit.4.2.2. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus), minyak jagung, PBS-Azida, PFA 37%, KCl, KH2PO4, NaCl, Na2HPO4.H2O, NaOH, PBS-Tween : PMSF (Poly Methyl Sulfonyl Fluoride) 1:9, pasir kwarsa, Etanol 70%, Etanol 80%, Etanol 90%, Etanol 95%, air hangat, obyek glass, Tris-HCl, kasein, tirosin, buffer fosfat pH 7, parafin, akuades steril, Tri Chloro acetic Acid (TCA), Na-Thio 1%, PFA 4%, alkohol 70%, 24

alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, larutan PBS, PFA 4%, 3% H2O2, Fetal Bovine Serum (FBS), Mayer Hematoxylen, Eosin, Entellan, dan Xylol, larutan baku MDA.4.3. Tahapan Penelitian Skema kerja pada penelitian ini dapat dilihat dengan tahapan penelitian sebagai berikut :1.Rancangan penelitian dan persiapan hewan coba2.Pembuatan ekstrak Ruellia tuberossa L 4.Penentuan kadar glukosa darah dengan glukometer5.Persiapan larutan Strepzotocin (STZ) dan injeksi intraperitonial (IP) pada hewan coba6. Terapi hewan coba dengan ekstrak Ruellia tuberossa L secara oral7.Pengamatan gula darah pada tikus DM terapi8.Pembedahan hewan coba dan isolasi organ ginjal.9.Pembuatan dan pengamatan preparat histopatologi ginjal10.Pengukuran kadar MDA11. Analisis data4.4 Prosedur Kerja4.4.1 Rancangan dan Variabel PenelitianPenelitian ini bersifat eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Tikus putih jantan (Rattus norvegicus) strain wistar yang digunakan mempunyai berat badan 130-150 g dengan umur 2,5 bulan sebanyak 18 ekor. Hewan coba dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu kelompok (I) tikus kontrol negatif yaitu kelompok tikus tanpa perlakuan kelompok (II) tikus kontrol positif yaitu kelompok tikus diabetes mellitus 1 tanpa diberi terapi ekstrak pletekan, dan kelompok (III) tikus diabetes mellitus 1 diterapi ekstrak pletekan dengan dosis 450 mg/ Kg BB. Masing masing kelompok perlakuan terdiri dari enam ekor tikus sebagai ulangan.Adapun variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah : Variabel bebas: Induksi streptozotocin dan terapi ekstrak metanol batang dan daun pletekanVariabel tergantung: Kadar malondialdehida dan histopatologi ginjalVariabel kendali: Berat badan tikus, umur tikus, dan jenis kelamintikus, suhu, pakan.Penelitian ini digunakan adalah 3 kelompok perlakuan, sehingga jumlah sampel tikus masing-masing kelompok dapat dihitung berdasarkan rumus (Notoatmojo, 2002): Keterangan: n = jumlah sampel, dan p = kelompok perlakuan. Tiap kelompok digunakan 6 tikus. Adapun ketiga kelompok perlakuan yaitu:1. Kelompok I, kelompok kontrol tikus normal2. Kelompok II, kelompok tikus DM, diinjeksi MLD-STZ dosis 20 mg/Kg B.B sebanyak 5 kali yang dilakukan berturut-turut3. Kelompok III, kelompok tikus DM dengan treatment ekstrak metanol batang dan daun pletekan dosis 450 mg/Kg B.B./hari selama 10 hari. Pada penyiapan hewan coba, tikus yang digunakan mempunyai berat badan 130-150 g dengan umur 2,5 bulan sebanyak 18 ekor yang dibagi dalam tiga kelompok. Kondisi tikus dalam keadaan sehat yang ditandai oleh gerakan aktif, dan mata cemerlang. Tikus dipelihara dalam kandang di laboratorium Biologi Molekuler. Kandang diberi alas agar kandang tidak lembab. Sebelum percobaan, tikus diaklimatisasi selama 1 minggu. Selama percobaan, tikus ditangani sesuai etical guidelines yang dikeluarkan oleh komite etik.4.4.2Pembuatan ekstrak Ruellia tuberossa L Diambil 4 pucuk daun teratas beserta batang pletekan yang diperoleh di sekitar kecamatan Lawang-Malang, kemudian diidentifikasi di jurusan Biologi Universitas Brawijaya. Daun dibersihkan, setelah itu dikeringkan pada suhu ruang dengan menghindari panas matahari langsung (dried in shade) selama 5 hari atau sampai kering. Daun pletekan yang telah kering kemudian diblender untuk memperkecil ukurannya.Serbuk pletekan kering ( 500 g) diekstraksi menggunakan pelarut metanol (3 L x 3) selama 72 jam. Ekstrak metanol dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada tekanan rendah. Ekstrak metanol pekat ditimbang dan dicatat. Ekstrak metanol kental dilarutkan dalam air dan dipartisi dengan n-heksan (1:1) menggunakan corong pisah. Fraksi n-heksan diambil, dipekatkan dengan vakum rotary evaporator dan di catat beratnya. Kandungan betulin dari fraksi n-heksan di konfirmasi dengan LC-MS. Ekstrak kental dari fraksi n-heksan dapat disimpan pada botol coklat pada temperature 4C untuk pengujian selanjutnya.

4.4.3Penentuan kadar glukosa darah dengan glukometerProses pengukuran kadar glukosa darah dilakukan sebanyak 3x, yaitu sebelum injeksi Multiple Low Dose-Streptozotocin (MLD-STZ) sebagai data kadar glukosa darah awal, setelah injeksi MLD-STZ bagi kelompok tikus DM (B) dan DM-terapi (C) sebagai data glukosa darah untuk memastikan bahwa hewan coba telah mengalami DM, setelah terapi ekstrak Ruelia tuberossa L, atau sebelum pembedahan sebagai data kadar glukosa akhir. Darah tikus putih yang akan diukur glukosa darahnya didapat dari pemotongan ujung ekor (vena lateralis). Pengukuran glukosa darah mengggunakan kit glucometer. Alat di set kodenya sesuai dengan kode glucostick yang digunakan, selanjutnya darah yang didapatkan diteteskan pada stick yang terhubung dengan glucometer dibiarkan selama 60 detik dan dibaca skala yang terlihat pada layar, skala pengukuran yang terbaca dalam satuan mg/dL. Pengukuran glukosa darah dilakukan setelah tikus dipuasakan 12 jam. Uji dilakukan pada hari ke-0, hari ke-1, hari ke-5 dan hari ke- 10 selama periode terapi.4.4.4Pembuatan larutan Strepzotocin (STZ) dan induksi pada hewan coba.Streptozotocin (STZ) sebanyak 100 mg dilarutkan pada 3 ml buffer sitrat pH 4.5 kemudian divortex hingga homogen. Larutan STZ stok disimpan pada suhu 4C. Larutan STZ stok digunakan untuk injeksi dengan dosis volume pengambilan yang disesuaikan dengan berat badan tikus. Campuran larutan dimasukkan dalam tabung eppendorf dan siap untuk diinjeksikan.Digunakan dosis 20 mg/kg BB sebanyak 5 kali yang dilakukan berturut-turut. Tikus diposisikan menghadap kearah ventral hingga terlihat bagian abdomenya. Pada bagian atas abdomen tikus disemprot dengan ethanol 70%, kulit dicubit hingga terasa bagian ototnya, spuit dimasukkan pada bagian abdomen dan dicoba digerakkan, apabila terasa berat maka sudah masuk pada daerah intraperitonial. Setelah yakin pada daerah intraperitonial maka STZ segera dimasukkan secara perlahan. Selanjutnya abdomen tikus di semprot dengan etanol 70% kembali. Setelah dilakukan injeksi 5 hari berturut-turut, dilakukan inkubasi selama 7-14 hari dalam kandang, dan dilakukan pengukuran kadar glukosa darah setelah injeksi. Tikus dinyatakan DM apabila kadar glukosa darahnya diatas 200 mg/dL.4.4.5Terapi hewan coba DM dengan ekstrak Ruellia tuberossa LSetelah kelompok tikus kelompok II, dan III dinyatakan DM, maka tikus diterapi. Tikus kelompok I dan II diberi minyak jagung sebanyak 2 ml. Tikus DM kelompok III diterapi dengan fraksi n-heksan ekstrak metanol sebanyak 2 ml (dengan dosis 450mg / Kg BB) yang telah dilarutkan dengan minyak jagung selama 10 hari (10 hari berturut-turut dosis tunggal). Pemberian terapi dilakukan dengan cara oral (sonde). Volume agen terapi yang diinjeksikan sebanyak 2 ml berdasarkan ukuran rata-rata lambung tikus putih.4.4.6Pengamatan gula darah pada tikus DM terapiPengukuran gula darah dilakukan untuk mengetahui perkembangan gula darah pada tikus DM terapi dengan cara pemotongan ujung ekor (vena lateralis). Pengukuran glukosa darah mengggunakan kit glucometer. Alat di set kodenya sesuai dengan kode glucostick yang diguanakan,selanjutnya darah yang didapatkan diteteskan pada stick yang terhubung dengan glucometer dibiarkan selama 60 detik dan dibaca skala yang terlihat pada layar, skala pengukuran yang terbaca dalam satuan mg/dL.

4.4.7 Pembedahan hewan coba dan pengambilan organ ginjalSebelum dilakukan pembedahan tikus dibunuh dengan cara dislokasi leher. Skalpel dan alat bedah disiapkan untuk membantu mengambil organ usus. Setelah tikus mati, hewan coba diletakkan pada nampan bedah dan ditata pada posisi ventral diatas. Diambil ginjal kemudian dicuci dengan NaCl fisiologis dan direndam dalam PBS-azida dan diberi label kemudian disimpan dalam suhu 4oC.4.4.8 Pengukuran Kadar MDA (Malondialdehida)4.4.8.1 Pembuatan Kurva STandar MDALarutan stok MDA dengan konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 g/ml masing-masing diambil 100 L, dimasukkan dalam tabung reaksi yang berbeda. Setelah itu ditambahkan 550 l aquades. Masing-masing tabung yang berisi 650 l larutan standar ditambahkan 100 l TCA 100%, 250 L HCl 1 N dan 100 L Na-Thio 1%, kemudian dihomogenkan dengan vortex mixer, setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan 500 rpm selama 10 menit dan dihasilkan supernatan dan homogenat. Supernatan diambil lalu diinkubasi dengan penangas air dengan suhu 100C selama 30 menit kemudian didinginkan pada suhu ruang. Selanjutnya MDA dengan konsentrasi 4 g/ml diukur absorbansinya pada range panjang gelombang 500-600 nm untuk menentukan panjang gelombang maksimum MDA. Kemudian dibuat kurva standar MDA dengan dibaca absorbansinya pada variasi konsentrasi (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 g/ml) pada panjang gelombang maksimumnya (Amin, dkk., 2009).4.4.8.2 Pengukuran Kadar MDA Menggunakan Uji Thiobarbituric Acid (TBA) Jaringan ginjal dari setiap kelompok masing-masing diambil sebanyak 0,1 g dipotong kecil-kecil lalu digerus dalam mortar dingin yang diletakkan di atas balok es. Ditambahkan 1 ml NaCl 0,9%, kemudian homogenat dipindah ke dalam microtube dan disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 20 menit dan diambil supernatannya. Setelah itu diambil 100 L supernatan bronkus ditambah 550 L akuades. Lalu ditambahkan 100 L TCA, 250 L HCl 1N, dan 100 L Na-Thio. Setiap penambahan reagen larutan dihomogenkan dengan vortex. Sentrifugasi dilakukan kembali dengan kecepatan 500 rpm selama 15 menit, setelah itu supernatan dipisahkan dan dipindahkan pada microtube baru. Kemudian larutan diinkubasi dalam waterbath pada suhu 100C selama 30 menit, selanjutnya dibiarkan pada suhu ruang. Sampel diukur absorbansinya pada max (532 nm) untuk uji TBA dan diplotkan pada kurva standar yang telah dibuat untuk menghitung konsentrasi sampel (Amin, dkk., 2009).4.4.9 Pembuatan dan Pewarnaan Preparat Ginjal dengan Metode HEFiksasi dilakukan untuk mencegah kerusakan pada jaringan, menghentikan proses metabolisme, mengawetkan komponen sitologi dan histologi, dan mengeraskan materi yang lunak agar jaringan dapat diwarnai. Fiksasi dilakukan dengan cara memasukkan jaringan dalam larutan PFA 4%. Dehidrasi dilakukan untuk mengeluarkan air dari jaringan agar jaringan tersebut dapat diisi oleh parafin sehingga jaringan dapat diiris tipis. Proses dehidrasi menggunakan alkohol bertingkat mulai dari 70%, 80%, 90%, 95% dan 100%. Tahap penjernihan dilakukan mulai pemindahan jaringan dari alkohol absolut III ke larutan penjernihan yaitu xylol I (1 jam), xylol II, dan Xylol III (30 menit pada suhu kamar dan 30 menit pada inkubator). Proses infiltrasi kemudian dilakukan dalam parafin cair yang ditempatkan dalam inkubator bersuhu 58-60C (Junquiera dan Carneiro, 2007). Embedding dilakukan dengan cetakan yang didalamnya diisi paraffin cair, setelah membeku cetakan tersebut dipotong-potong dan ditempelkan pada blok kayu. Blok tersebut dipasang pada mikrotom dan diatur agar posisinya sejajar dengan posisi pisau. Blok parafin dipotong dengan ketebalan 4 m. Awal pemotongan dilakukan trimming karena jaringan yang terpotong masih belum sempurna. Sediaan disimpan pada inkubator dengan suhu 37C selama semalam lalu siap diwarnai dengan HE. Pewarnaan HE dilakukan dengan menggunakan zat pewarna hematoksilin untuk memberi warna pada inti sel dan memberi warna biru (basofilik). Eosin yang merupakan counterstaining hematoksilin untuk memulas sitoplasma sel dan jaringan penyambung dan memberi warna merah muda. Diawali dengan proses deparafinasi dengan menggunakan xylol lalu dilanjutkan dengan proses rehidrasi dengan menggunkan alkohol absolut I, II dan III masing-masing 3 menit, alkohol 95%, 90%, 80% dan 70% secara berurutan selama 3 menit. Sediaan dicuci dengan air mengalir selama 10 menit dan dilanjutkan dengan air akuades selama 5 menit. Sediaan diwarnai dengan pewarna hematoksilin selama 1 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir selama 10 menit dan air akuades selama 5 menit. Sediaan kemudian dapat diwarnai dengan pewarna eosin selama 5 menit dan dicuci kembali dengan air mengalir selama 10 menit dan air akuades selama 5 menit. Setelah sediaan terwarnai dilakukan dehidrasi dengan alkohol bertingkat 70%, 80%, 90% dan 95% masing-masing selama beberapa detik lalu dilanjutkan dengan alkohol proses clearing dengan xylol I, II dan III selama 3 menit kemudian dikering anginkan, selanjutnya dilakukan mounting (perekatan) dengan entellan (Suntoro, 1983).4.4.10 Analisa DataPada percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang mana tikus diberi enam perlakuan dan masing masing perlakuan dengan tiga ulangan. Analisa data histopatologi dilakukan secara kualitatif deksriptif sedangkan untuk kadar MDA dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan ANOVA dan apabila terdapat perbedaan perlakuan nyata, maka perbedaan nilai tengah diuji dengan pembandingan berganda uji Tukey atau Beda Nyata Jujur (BNJ) = 5%.