fraktur vertebra
DESCRIPTION
neuroTRANSCRIPT
1
FRAKTUR VERTEBRA
Seorang wanita, 72 tahun, datang dengan keluhan nyeri pada punggung bawah
selama 2 bulan, yang tidak membaik dengan ibuprofen sehingga menyebabkan
kesulitan dalam berjalan dan berpakaian. Dalam anamnesis, dia mengaku
mengalami penurunan tinggi badan sekitar 5 cm sejak usia muda. Dalam
pemeriksaan, ditemukan kifosis sedang di vertebra torakalis bawah tetapi tidak
ada nyeri tekan. Dalam foto radiologi posisi lateral terlihat bahwa vertebra L2
tampak bikonkaf, menandakan suatu fraktur vertebra (Gambar 1). Bagaimana
penanganan kasus ini?
Masalah Klinis
Fraktur vertebra—deformitas badan vertebra yang ditemukan melalui foto
spinal posisi lateral dan dicirikan menurut bentuknya—merupakan manifestasi
osteoporosis yang sering ada. Fraktur vertebra torakal dan lumbal terjadi sebanyak
700.000 dari 1,5 juta fraktur osteoporotik setiap tahun di United States. Fraktur ini
biasanya ditemukan secara klinis saat pasien datang dengan keluhan nyeri
punggung, dan foto polos spinal menunjukkan fraktur pada badan vertebra, sering
pada daerah transisi torakolumbal atau regio midthoraks. Namun, berlawanan
dengan tipe fraktur lainnya, kebanyakan fraktur vertebra tidak menimbulkan
gejala saat pertama kali terjadi. Hanya ¼ sampai 13
insiden yang terdiagnosis
secara klinis.
Fraktur vertebra umumnya secara sederhana berhubungan dengan nyeri
punggung dan kualitas hidup; kemungkinan nyeri punggung, penurunan kualitas
hidup, dan diagnosis klinis meningkat sejalan dengan keparahan dan jumlah
fraktur. Fraktur vertebra baru (contohnya yang tidak tampak pada foto rontgen
sebelumnya) berhubungan dengan peningkatan resiko nyeri punggung dan
kecacatan punggung; kekuatan hubungan ini lebih besar pada orang-orang dengan
fraktur vertebra yang terdiagnosis secara klinis. Cacat akibat fraktur dapat juga
2
lebih besar pada orang-orang dengan fraktur lumbal daripada orang-orang dengan
fraktur torakal.
Faktur vertebra pada orang tua berhubungan dengan peningkatan resiko
kematian, tetapi peningkatan resiko ini disebabkan oleh adanya sebagian besar
kondisi yang mendasari (contohnya kelemahan) berhubungan dengan fraktur
vertebra dan kematian. Fraktur vertebra secara radiografik dan secara klinis juga
berhubungan dengan resiko tinggi fraktur pinggul dan fraktur lain berikutnya;
peningkatan resiko ini hanya secara sebagian dijelaskan melalui kepadatan
mineral tulang bagian bawah pada pasien-pasien dengan fraktur vertebra. Dengan
demikian, adanya fraktur vertebra memiliki efek penting terhadap resiko fraktur
vertebra selanjutnya dan harus mempengaruhi keputusan mengenai terapi yang
dimaksudkan untuk mengurangi resiko tersebut.
Gambar 1. Foto rontgen spinal posisi lateralMenunjukkan fraktur bikonkaf, derajat 2, pada vertebra L2
Strategi dan Bukti
Evaluasi
Fraktur vertebra pada wanita biasanya terjadi pada masa postmenopause.
Prevalensi dan insidennya meningkat sesuai usia, dengan prevalensi pada wanita
kulit putih meningkat dari 5% menjadi 10% di antara usia 50 dan 59 tahun, serta
sampai 30% atau lebih pada usia 80 tahun atau lebih. Tingkat prevalensi yang
dilaporkan lebih rendah pada wanita kulit hitam, wanita Asia, dan pada pria. Pada
3
wanita kulit putih yang lebih tua tanpa fraktur vertebra, ada 0,9% resiko tahunan
untuk mengalami fraktur vertebra daripada mereka yang berusia 65 tahun atau
lebih tua; pada wanita usia 80 tahun atau lebih tua, resiko tahunan sebesar 1,7%.
Selain usia yang lebih tua, faktor resiko klinis untuk insiden fraktur vertebral
adalah riwayat fraktur sebelumnya, riwayat jatuh > 1 kali, malas, merokok,
penggunaan glukokortikoid sistemik (resiko meningkat dengan peningkatan
pajanan kumulatif), kondisi medis kronis tertentu (misalnya, penyakit paru
obstruktif kronik, arthritis rheumatoid seropositif, dan penyakit Crohn), serta
indeks massa tubuh yang rendah. Dalam populasi bukan resiko osteoporosis atau
fraktur vertebra, berkurangnya tinggi badan (misalnya, kurang ≥ 4 cm sejak usia
25 tahun) memiliki sensitivitas rendah (31 sampai 56%) dan nilai prediksi positif
(14-26%) untuk adanya fraktur vertebra secara radiografi tetapi nilai prediktif
negatif yang tinggi (≥86%).
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan konveksitas sagital yang berlebih
dari vertebra torakalis (hiperkifosis, atau dowager's hump), khususnya pada pasien
dengan fraktur baji anterior multipel dari vertebra torakalis. Namun, kifosis berat
sering ada pada orang dewasa yang lebih tua tanpa gambaran fraktur vertebra
secara radiografi.
Kepadatan mineral tulang
Kepadatan tulang yang rendah, seperti yang terukur pada dual-energy x-
ray absorptiometry (DEXA), berhubungan dengan kemungkinan besar terjadinya
fraktur vertebra dan peningkatan insiden fraktur secara radiografi (odds ratio atau
hazard ratio untuk tiap 1-SD mengurangi kepadatan mineral tulang pada pinggul
atau spinal, 1,5 sampai 2). Meskipun prevalensi fraktur vertebra radiografi lebih
tinggi pada pasien-pasien osteoporosis (ditunjukkan melalui skor T di spinal atau
pinggul sebesar -2,5 atau lebih [≥ 2,5 SD di bawah rata-rata kepadatan mineral
tulang untuk orang dewasa muda yang sehat]), lebih dari sepertiga wanita-wanita
postmenopause dengan fraktur vertebra radiografi dengan skor T pada pinggul
dan spinal yang lebih tinggi dari -2,5. Prevalensi fraktur vertebra radiografik pada
wanita-wanita berusia 60 tahun atau lebih tua dengan massa tulang yang rendah
4
(skor T pada pinggul atau spinal, -1,5 sampai -2,4) telah dilaporkan kisarannya
dari 14 sampai 18%.
Diagnosis
Meskipun riwayat medis dan pemeriksaan mengarah kepada kemungkinan
adanya fraktur vertebra secara klinis, diagnosisnya harus ditegaskan melalui
pemeriksaan pencitraan spinal. Pada kebanyakan kasus, foto rontgen dada posisi
lateral untuk indikasi lain menunjukkan fraktur vertebra, tetapi sering tidak
dilaporkan oleh ahli radiologi karena hanya secara kebetulan ditemukan, atau jika
dilaporkan, tidak ditindak lanjuti oleh dokter yang bertanggung jawab untuk
perawatan pasien.
Foto rontgen thoraks dan lumbal selanjutnya menjadi standar penilaian.
Tidak ada konsensus untuk arti dari sebuah fraktur vertebra, tetapi beberapa
metode kualitatif dan kuantitatif telah dikembangkan. Metode semikuantitatif
yang dikembangkan oleh Genant dkk telah diterima secara luas dan dapat
digunakan di klinis secara praktis. Metode ini menggunakan gambaran kualitatif
dari bentuk vertebra dan tingkat pengurangan tinggi vertebra di dimensi vertikal
anterior, tengah, atau posterior untuk membuat derajat badan vertebra menjadi
biasa, ragu-ragu apakah ini fraktur, atau ditandai dengan fraktur ringan, sedang,
atau berat. Penggunaan yang tepat terhadap metode ini membutuhkan
pengetahuan tentang deformitas dalam perkembangan (misalnya, penyakit
Scheuermann [osteochondrosis di vertebral end plates]) dan deformitas didapat
(mis, osteoarthritis) yang bukan merupakan fraktur dan pengenalan terhadap
gambaran yang menunjukkan penyebab fraktur selain osteoporosis (misalnya,
perluasan korteks atau lisis trabekula atau bagian dari korteks, temuan yang
mengarah ke kanker). Penelitian telah menunjukkan bahwa metode
semikuantitatif oleh Genant memiliki keandalan interobserver yang baik, validitas
konkuren (misalnya, fraktur umum berhubungan dengan kepadatan mineral tulang
yang rendah), dan validitas prediktif (misalnya, fraktur umum memprediksi resiko
insiden fraktur secara independen terhadap kepadatan mineral tulang).
Penilaian untuk fraktur vertebra yang asimptomatik dapat dilakukan pada
saat pengujian kepadatan mineral tulang dengan menggunakan foto rontgen spinal
5
lateral yang dihasilkan dengan fan-beam DEXA dan perangkat lunak yang sesuai.
Istilah penilaian fraktur vertebra (VFA) merupakan pencitraan spinal
densitometrik dari T4 sampai L4 dengan tujuan untuk mencari fraktur vertebra
umum. Dibandingkan dengan foto rontgen spinal, gambaran VFA (Gambar 2)
lebih mungkin untuk menghasilkan hasil yang tidak dapat dievaluasi (terutama
bila digunakan untuk menilai vertebra superior sampai T7) tetapi memerlukan
paparan radiasi yang jauh lebih sedikit (3 µSv untuk VFA vs 600 µSv untuk foto
rontgen lumbal), secara substansial mengurangi paralaks (misalnya, distorsi
proyeksi) yang sering muncul dalam foto rontgen vertebra yang diambil dengan
sinar-x cone-beam standar, dan lebih nyaman bagi pasien, karena pencitraan dapat
dilakukan pada waktu yang sama dengan pengujian kepadatan mineral tulang.
Ketika metode semikuantitatif Genant digunakan dengan metode pencitraan
untuk mengidentifikasi fraktur vertebra, VFA dan foto rontgen spinal memiliki
intraobserver serupa dan kehandalan interobserver serta validitas konkuren.
Gambar VFA memiliki sensitivitas dan spesifisitas sekitar 90% untuk mendeteksi
fraktur sedang dan berat; mereka lebih rendah dari radiografi standar untuk
mendeteksi fraktur ringan, tapi fraktur ringan tidak memperkuat prediksi fraktur
berikutnya sebagai fraktur sedang sampai berat.
Radiografi spinal standar dan VFA biasanya tidak diindikasikan pada
pasien dengan skor T kepadatan mineral tulang yang sangat rendah (-2,5 atau
lebih) atau tinggi (> -1,5), karena gambaran fraktur vertebra tidak mungkin
mempengaruhi pengobatan pasien. Namun, di antara wanita-wanita
postmenopause dengan skor T antara -1,5 dan -2,4 dengan ketidakpastian manfaat
terapi farmakologik, identifikasi fraktur vertebra umum dapat mengubah
pengobatan. Berdasarkan analisis cost-effectiveness, penggunaan radiografi spinal
atau VFA untuk menilai vertebra pada wanita-wanita ini—dengan peresepan
bifosfonat untuk mereka yang memiliki setidaknya satu fraktur vertebra—
diharapkan dapat mengurangi jumlah fraktur selama biaya tambahan.
Metode lain terhadap pencitraan spinal (contohnya CT-scan dan MRI) dan
scanning radionuklida tulang secara khusus dilakukan untuk pasien yang
6
membutuhkan informasi tambahan dalam menilai ketajaman fraktur atau untuk
membedakan fraktur osteoporosis dari fraktur patologik lainnya.
Gambar 2. Perbandingan densitometrik VFA dengan gambaran radiografi standar pada spinal lumbalis dan thoraks posisi lateral
Seperti perbandingan dengan gambaran radiografik, gambar yang diperoleh dengan VFA memiliki resolusi rendah (korteks vertebra dan end plates kurang
jelas) dan tidak mengambil spinal torakal dengan baik pada tingkat superior sampai T7 (Gambar A, panah). Namun, gambaran radiografik standar dari spinal posisi lateral, proyeksi distorsi (paralaks) dapat dilihat (Gambar B dan C, panah)
Pengobatan
Tatalaksana Nyeri
Fraktur vertebra klinis dapat menyebabkan nyeri yang cukup berat
sehingga memerlukan perawatan di RS. Data dari percobaan acak dan terkontrol
yang mengevaluasi manfaat pengobatan nyeri untuk pasien-pasien fraktur vertebra
akut sangat kurang, tetapi dalam praktik, OAINS, analgesik (termasuk narkotik
dan tramadol), lidokain transdermal, dan agen-agen untuk mengurangi nyeri
neuropatik (contohnya antidepresan trisiklik) biasanya digunakan. Meskipun nyeri
dari fraktur vertebra akut khasnya reda setelah beberapa minggu, narkotik sering
7
dibutuhkan agar mobilitas pasien terjaga dan mencegah tirah baring yang lama.
Percobaan acak, skala kecil, dan memakai kelompok plasebo-perlakuan
menunjukkan bahwa kalsitonin (diberikan melalui IM atau semprot hidung) dapat
mengurangi nyeri dari fraktur vertebra akut. Teriparatide dan bifosfonat dapat
mengurangi nyeri punggung melalui pencegahan fraktur vertebra baru, tetapi
efektivitasnya dalam mengurangi nyeri fraktur vertebra akut tidak diuji dalam
percobaan acak.
Rehabilitasi
Keterbatasan bukti dari percobaan acak, skala kecil, terkontrol mencakup
pasien-pasien dengan fraktur vertebra klinis mendukung penggunaan program
terapi latihan untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan kekuatan, keseimbangan,
status fungsional, dan kualitas hidup, tetapi hasil temuannya tidak konsisten
melalui penelitian-penelitian.
Penahan punggung (orthose spinal) telah digunakan untuk pasien-pasien
dengan fraktur vertebra akut, tetapi manfaat dan bahayanya belum dievaluasi.
Hasil dari percobaan acak menunjukkan penggunaan penahan punggung yang
kaku dalam berjalan selama 6 minggu atau penggunaan penahan punggung yang
tidak kaku selama 2 jam per hari selama 24 minggu dapat mengurangi keluhan
nyeri dan kecacatan setelah fraktur vertebra.
Vertebroplasti dan Kifoplasti
Prosedur penambahan vertebra (vertebroplasti atau kifoplasti) sudah sering
dilakukan di US; tahun 2005, 86 dari setiap 100.000 penerima biaya pengobatan
medis menjalani vertebroplasti. Penelitian observasional telah melaporkan adanya
penurunan nyeri, kecacatan, dan lama masa rawat inap di RS pada pasien fraktur
vertebra akut yang menjalani prosedur ini dibandingkan dengan mereka yang
tidak, tetapi penelitian-penelitian ini banyak bias.
Dua percobaan acak dilakukan pada wanita-wanita dengan fraktur vertebra
akut dan sangat nyeri (durasi nyeri punggung 4-6 minggu) menunjukkan
penurunan nyeri dan peningkatan fungsi fisik pada mereka yang menjalani
8
kifoplasti atau vertebroplasti, tapi perbandingan di setiap uji coba ini adalah
perawatan biasa daripada prosedur palsu. Dengan demikian, manfaat yang diamati
mungkin karena efek plasebo. Percobaan acak lain menunjukkan tidak ada
perbedaan dalam rasa nyeri atau status fungsional dengan vertebroplasti
dibandingkan dengan pengobatan konservatif pada pasien dengan nyeri hebat
fraktur vertebra yang terjadi dalam 8 minggu sebelumnya. Selain itu, dalam dua
percobaan acak yang membandingkan vertebroplasti dengan prosedur palsu,
pasien dengan nyeri hebat fraktur vertebra yang telah diketahui 12 bulan
sebelumnya tidak memiliki manfaat dari vertebroplasti mengenai nyeri, kecacatan
fungsional, atau kualitas hidup. Durasi rata-rata gejala sebelum melakukan
prosedur adalah 12 sampai 13 minggu pada satu percobaan dan 16 sampai 20
minggu di penelitian lain. Sejak vertebroplasti dan kifoplasti telah diusulkan
menjadi tatalaksana yang paling efektif untuk nyeri fraktur akut, analisis
dilakukan pada penelitian ini terhadap pasien yang mengalami nyeri dalam durasi
singkat, tetapi analisis ini tidak menunjukkan bahwa vertebroplasti lebih
menguntungkan daripada prosedur palsu. Namun, kekuatan untuk mendeteksi
perbedaan di antara kelompok ini terbatas.
Vertebroplasti dan kifoplasti merupakan prosedur invasif yang memiliki
risiko kecil terhadap gejala kebocoran sementum epidural, menyebabkan cedera
akar saraf (pada 0,4-4% pasien), dan gejala emboli sementum pulmoner (pada
sekitar 0,1% pasien). Lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan bahwa
prosedur-prosedur ini dapat meningkatkan resiko fraktur vertebra berikutnya
melalui peningkatan beban mekanik pada vertebra yang berdekatan dengan
vertebra yang sedang dirawat. Tidak ada resiko fraktur vertebra berikutnya dengan
vertebroplasti atau kifoplasti dilaporkan dalam percobaan acak yang dilakukan
sampai saat ini, tetapi uji coba ini tidak memadai untuk hasil ini.
Kalsium dan Vitamin D
Semua pedoman saat ini untuk pengelolaan osteoporosis
merekomendasikan asupan kalsium (≥ 1000 mg per hari) dan vitamin D (≥ 600 IU
per hari). Namun, tidak ada percobaan acak yang telah menunjukkan bahwa ada
9
penurunan resiko kejadian fraktur vertebra radiografik atau klinis dengan
penggunaan kalsium saja, vitamin D saja, atau kalsium dikombinasikan dengan
vitamin D.
Farmakoterapi
Terapi farmakologis diindikasikan untuk mengurangi resiko fraktur
selanjutnya pada orang dengan fraktur vertebra radiografik atau klinis yang bukan
hasil dari trauma besar atau kanker, terlepas dari ada atau tidaknya gejala terkait
atau skor T kepadatan mineral tulang. Percobaan acak skala besar dilakukan pada
wanita osteoporosis postmenopause (kriteria inklusi mencakup kepadatan mineral
tulang yang rendah atau fraktur vertebra radiografik umum) telah menunjukkan
manfaat dari beberapa farmakoterapi dalam mengurangi risiko kejadian fraktur
vertebra radiografik atau klinis (Tabel 1). Agen-agen yang diteliti termasuk
bifosfonat oral (alendronat, ibandronat, dan risedronat), bifosfonat intravena
(asam zoledronik), selective estrogen-receptor modulators (bazedoxifene,
lasofoxifene, dan raloxifene), hormon paratiroid, denosumab, strontium ranelate,
dan kalsitonin, meskipun manfaat kalsitonin yang dilaporkan dalam menurunkan
fraktur vertebra baru masih dipertanyakan. Pengobatan dengan bifosfonat (kecuali
ibandronat, tidak ada data yang tersedia), lasofoxifene, strontium, denosumab,
atau teriparatide juga bermanfaat dalam menurunkan resiko fraktur non-vertebra,
dan ada bukti bahwa alendronat, risedronat, asam zoledronik, atau denosumab
mengurangi resiko fraktur pinggul. Alendronat generik sering digunakan sebagai
pengobatan lini pertama karena manfaatnya dalam mengurangi fraktur vertebra
dan nonvertebra (termasuk pinggul), aman digunakan selama 10 tahun, dan
biayanya yang relatif.
Masalah-masalah yang belum pasti
Nilai pencitraan spinal tidak pasti pada pasien yang pengobatan
farmakologi dianjurkan atas dasar indikasi lain terhadap fraktur vertebra
(contohnya skor T kepadatan mineral tulang sebesar -2,5 atau lebih rendah).
Informasi mengenai status sehubungan dengan fraktur vertebra umum mungkin
meningkatkan prediksi fraktur vertebra baru melebihi yang disediakan oleh alat
10
penilaian resiko, seperti Fracture Risk Assessment Tool (FRAX) dari WHO, tapi
tidak diketahui apakah ini adalah kasus untuk prediksi kejadian fraktur di lokasi
tulang lainnya dan sejauh mana informasi ini akan mengubah pengelolaan
perawatan pasien. Di antara pasien dengan fraktur vertebra umum atau mereka
dengan osteoporosis, khasiat pengobatan farmakologi dalam mencegah fraktur
selama periode lebih dari 3 sampai 5 tahun masih tidak pasti, serta resiko dan
manfaat penghentian pengobatan untuk jangka waktu tertentu tidak diketahui.
Data tambahan dari percobaan acak diperlukan untuk menentukan apakah
prosedur penambahan vertebra yang dilakukan dalam 6 minggu pertama setelah
fraktur vertebra apakah berkhasiat dan aman. Percobaan juga dijamin untuk pasien
dengan fraktur vertebra klinis untuk mengetahui pengaruh orthoses spinal dan
program olahraga pada nyeri jangka panjang, mobilitas, status fungsional, dan
kualitas hidup.
Pedoman dari Perkumpulan Para Ahli
The International Society for Clinical Densitometry telah mengeluarkan
pedoman untuk menilai fraktur vertebra. Beberapa organisasi, termasuk the
National Osteoporosis Foundation, the European Society for Clinical and
Economic Evaluation of Osteoporosis and Osteoarthritis, dan the American
College of Physicians, telah mengeluarkan pedoman untuk diagnosis dan
pengobatan osteoporosis yang mengarah pada implikasi manajemen dari
mengidentifikasi fraktur vertebra dan efektivitas agen farmakologis dalam
pencegahan fraktur. Rekomendasi dalam artikel ini umumnya konkordan dengan
pedoman-pedoman ini.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Riwayat penyakit dan pemeriksaan pasien secara kasar dapat menunjukkan
suatu fraktur vertebra klinis, tetapi diagnosisnya harus diperkuat dengan
pemeriksaan pencitraan spinal. Identifikasi dari fraktur vertebra menunjukkan
diagnosis osteoporosis, terlepas dari skor T kepadatan mineral tulang pasien.
Meredakan nyeri dan menjaga mobilitas harus menjadi tujuan langsung yang
11
mungkin memerlukan terapi narkotik jangka pendek. Meskipun ada
ketidakpastian terhadap efek terapi latihan, kami akan merekomendasikan
program terapi fisik yang menggabungkan latihan postur ulang dan latihan untuk
meningkatkan kekuatan otot ekstensor punggung dan mobilitas.
Karena fraktur vertebra berhubungan dengan peningkatan resiko fraktur di
masa depan, tujuan jangka panjang harus mengurangi resiko fraktur berikutnya.
Kami merekomendasikan asupan kalsium sebanyak 1000-1200 mg per hari dan
asupan vitamin D sebanyak 600-800 IU per hari (termasuk diet, suplemen, atau
keduanya), meskipun manfaat dari pendekatan ini dalam mengurangi resiko
fraktur vertebra berikutnya tidak pasti. Meskipun beberapa obat mengurangi
resiko fraktur vertebra baru , kami merekomendasikan inisiasi pengobatan dengan
alendronate generik, mengingat kemanjurannya dalam mengurangi insiden
fraktur, termasuk fraktur pinggul, serta keamanan dan biaya yang relatif rendah.