fraktur-vertebra 4.docx
TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN FRAKTUR VERTEBRA
OLEH :
KADEK AYU JATI MURNI (0902105038)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2012
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi/pengertian
Fraktur adalah diskontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan
(R.Syamsuhidayat, 1997). Tanda – tanda khas terjadinya fraktur adanya
krepitasi, disfungsi serta dislokasi.
Fraktur vertebra adalah terputusnya discus invertebralis yang berdekatan dan
berbagai tingkat perpindahan fragmen tulang(Theodore, 1993).
2. Patofisiologi Fraktur Vertebra
Menurut chairudin Rasjad (1998) menegaskan bahwa semua trauma tulang
belakang harus dianggap sebagai trauma yang hebat. Oleh karena itu, klien
harus diperlakukan secara hati – hati saat pertolongan pertama dan dibawa ke
rumah sakit dengan menggunakan transportasi. Trauma pada tulang belakang
dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang (ligamen dan diskus),
tulang belakang dan sumsum tulang belakang.
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olahraga, kecelakaan industri, kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau
bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma kerana tali pengaman (fraktur
chance), kejatuhan benda keras. Sebagian besar trauma tulang belakang yang
mengenai tulang tidak disertai kelainan pada sumsum tulang belakang 4:1
disertai kelainan pada sumsum tulang belakang.
Mekanisme trauma yang terjadi pada trauma tulang belakang adalah:
a. Fleksi. Trauma terjadi akibat fleksi dan diserta dengan sedikit kompresi
pada vertebra. Vertebra mengalami tekanan berbentuk remuk yang dapat
menyebabkan kerusakan atau tanpa kerusakan ligamen posterior. Apabila
terdapat kerusakan ligamen posterior, fraktus bersifat tidak stabil dan
dapat terjadi subluksasi.
b. Fleksi dan rotasi. Trauma jenis ini merupakan trauma fleksi yang bersama
– sama dengan rotasi. Pada trauma ini terdapat strain dan ligamen dan
kapsul serta ditemukan fraktur faset. Pada kejadian ini terjadi pergerakan
ke depan atau dislokasi vertebra diatasnya. Semua fraktur dislokasi
bersifat tidak stabil.
c. Kompresi vertikal (aksial). Trauma vertikal yang secara langsung
mengenai vertebra akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus polposus
akan memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertikal.
Material diskus akan masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan
vertebra bisa menjadi rekah (pecah). Pada trauma jenis ini elemen
posterior masih utuh sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil.
d. Hiperekstensi atau retroekstensi. Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga
terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi. Keadaan ini sering ditemukan
pada vertebra servikalis dan jarang pada vertebra torakolumbalis.
Ligammen anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau terjadi
fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini biasanya bersifat stabil.
e. Fleksi lateral. Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi
lateral akan menyebabkan fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel,
foramen vertebra dan sendi laser.
f. Fraktur dislokasi. Trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur tulang
belakang dan dislokasi pada tulang belakang.
Pada pasien dengan fraktur vertebra datang dengan nyeri tekan akut,
pembengkakan, spasme otot paravertebralis dan perubahan lengkungan
normal atau adanya gap antara prosesus spinosus. Nyeri akan memberat saat
bergerak, batuk atau pembebanan berat badan (Brunner dan Suddarth, 2001;
2387). Trauma pada sumsum tulang belakang dapat terjadi perdarahan pada
sumsum tulang belakang yang disebut hematomiela. Gejala yang penting
adalah tetap adanya sensibilitas di bawag trauma (pinprick perianal). Gejala
yang paling sering terjadi adalah sindrom sentral berupa paralisis layu yang
diikuti paralisis lower motor neuron anggota gerak atas dan paralisis upper
motor neuron (spastik) dari anggota gerak bawah disertai kontrol kandung
kemih dan sensibilitas perianal yang tetap baik. Trauma tulang belakang jika
mengenai:
a. Vertebra servikalis. Jika terjadi trauma pada vertebra servikalis, maka
dapat terjadi kelumpuhan otot pernapasan karena blok saraf simpatis
sehingga klien dapat mengalami gagal napas. Trauma vertebra servikalis
juga dapat menyebabkan quadiplegik dengan disfungsi kedua lengan,
kedua kaki, defekasi dan berkemih.
b. Vertebra torakolumbalis. Dapat terjadi paraplegi dan gangguna dalam
menelan.
c. Vertebra sakralis. Jika trauma terjadi pada vertebra ini akan terjadi
disfungsi bladder dan bowel. Trauma pada sakralis juga dapat
menyebabkan penis erection.
3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik fraktur antara lain :
Edema/pembengkakan
Nyeri: spasme otot akibat reflek involunter pada otot, trauma langsung
pada jaringan, peningkatan tekanan pada saraf sensori, pergerakan pada
daerah fraktur.
Spasme otot: respon perlindungan terhadap injuri dan fraktur
Deformitas
Echimosis: ekstravasasi darah didalam jaringan subkutan
Kehilangan fungsi
Crepitasi: pada palpasi adanya udara pada jaringan akibat trauma terbuka
Manifestasi klinis fraktur vertebra berdasarkan lokasi fraktur adalah
a. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada cervical
C1-C3 : gangguan fungsi diafragma (untuk pernapasan)
C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas
C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan
C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit
C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep
C8 : gangguan fungsi jari
Gangguan motoriknya yaitu kerusakan setinggi servical menyebabkan
kelumpuhan tetraparese
b. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada torakal
T1 : gangguang fungsi tangan
T1-T8 : gangguan fungsi pengendalian otot abdominal, gangguan
stabilitas tubuh
T9-T12 : kehilangan parsial fungsi otot abdominal dan batang tubuh
c. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada lumbal
Gangguan motorik yaitu kerusakan pada thorakal sampai dengan lumbal
memberikan gejala paraparese
L1 : Abdominalis
L2 : Gangguan fungsi ejakulasi
L3 : Quadriceps
L4-L5 : Ganguan Hamstring dan knee, gangguan fleksi kaki dan lutut
d. Manifestasi klinis fraktur vertebra pada sakral
Gangguang motorik kerusakan pada daerah sacral menyebabkan gangguan
miksi & defekasi tanpa para parese
Segmen lumbar dan sacral
Cedera pada segmen lumbar dan sakral dapat mengganggu pengendalian
tungkai, sistem saluran kemih dan anus. Selain itu gangguan fungsi
sensoris dan motoris, cedera vertebra dapat berakibat lain seperti
spastisitas atau atrofi otot.
S1 : Gangguan pengendalian tungkai
S2-S4 : Penile Erection
S2-S3 : Gangguan system saluran kemih dan anus
4. Komplikasi
a. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar
akibat trauma.
b. Mal union
Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga
menimbulkan deformitas. Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang
jelek menyebabkan mal union, selain itu infeksi dari jaringan lunak yang
terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling
beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union)
juga dapat menyebabkan mal union.
c. Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan tulang.
Non union dapat di bagi menjadi beberapa tipe, yaitu:
- Tipe I (Hypertrophic non union), tidak akan terjadi proses
penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan
fibros yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan
koreksi fiksasi dan bone grafting.
- Tipe II (atropic non union), disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)
terdapat jaringan synovial sebagai kapsul sendi beserta ronga cairan
yang berisi cairan, proses union tidak akan tercapai walaupun
dilakukan imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum
yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu
imobilisasi yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit
tulang (fraktur patologis).Non union adalah jika tulang tidak menyambung
dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang
memadai.
d. Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam
waktu lama atau lambat dari waktu proses penyembuhan fraktur secara
normal. Pada pemeriksaan radiografi tidak terlihat bayangan sklerosis
pada ujung-ujung fraktur.
e. Tromboemboli, infeksi, koagulopati intravaskuler diseminata (KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau
pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat
seperti plate, paku pada fraktur.
f. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung
dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat
pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ
lain.
g. Sindrom Kompartemen
Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun
tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya.
Fenomena ini disebut ischemi volkmann. Ini dapat terjadi pula pada
pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat mengganggu aliran
darah dan terjadi edema didalam otot.
Apabila ischemi dalam 6 jam pertama tidak mendapatkan tindakan dapat
mengakibatkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan
jaringan fibros yang secara perlahan-lahan menjadi pendek dan disebut
dengan kontraktur volkmann.
Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat),
Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis.
h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia,
dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau
keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau
pemasangan traksi.
i. Dekubitus
Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips, oleh karena itu
perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan radiologi.
Sebagai penunjang,pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar Rongent (Sinar-X). Untuk mendapatkan gambaran tiga
dimensi dari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, kita memerlukan
dua proyeksi, yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) jika ada indikasi untuk
memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan sinar-X harus atas dasar indikasi kegunaan.
Selain foto polos sinar- X (plane X-ray) mungkin diperlukan teknik
khusus, seperti hal – hal berikut:
Tomografi, menggambarkan tidak hanya satu struktur saja, tetapi juga
struktur tertutup yang sulit divisualisasikan. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks, tidak hanya pada satu struktur saja,
tetapi pada struktur lain yang juga mengalami kerusakan.
Mielografi, menggambarkan cabang – cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebra yang mengalami kerusakan
akibnat trauma.
Artrografi, menggambarkan jaringan ikat yang rusak karena
rudapaksa.
Computed Tomography – Scanning, menggambarkan potongan secara
tranversal dari tulang tempat terdapatnya struktur tulang yang rusak.
pemeriksaan ini sifatnya membuat gambar vertebra menjadi 2
dimensi . Pemeriksaan vertebra dilakukan dengan melihat irisan-irisan
yang dihasilkan CT scan.
b. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium yang lazim digunakan untuk mengetahui lebih
jauh kelainan yang terjadi meliputi hal – hal sebagai berikut:
Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH – 5),
aspartat amino transferase (AST), dan .. meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c. Pemeriksaan Lain – lain.
Pada pemeriksaan kultur mikroorganisme dan tes sensitivitas didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
Biopsi tulang dan otot: pada intinya, pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan di atas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
Elektromiografi: terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur.
Artroskopi: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
Indium imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
MRI: menggambarakan semua kerusakan akibat fraktur. Pemeriksaan
ini menggunakan gelombang frekuensiradio untuk memberikan
informasi detail mengenai jaringan lunak di aerah vertebra. Gambaran
yang akan dihasilkan adalah gambaran 3 dimensi . MRIsering
digunakan untuk mengetahui kerusakan jaringan lunak pada ligament
dan diskus intervertebralis dan menilai cedera medulla spinalis.
6. Cara Mengukur Kekuatan Otot
Untuk mengukur kekuatan otot klien harus berada pada posisi stabil. Klien
melakukan manuver yang menunjukkan kekuatan sekelompok otot mayor.
Bandingkan pasangan otot yang simetris. Lengan pada sisi dominan
normalnya lebih kuat daripada lengan pada sisi nondominan. Pada lansia
kehilangan massa otot menyebabkan kelemahan bilateral, tetapi kekuatan otot
tetap lebih besar pada lengan atau tungkai yang dominan.
Setiap kelompok otot harus diperiksa. Perawat meminta klien untuk terlebih
dahulu merilekskan otot yang akan diperiksa dan kemudian menahannya
pada saat perawat memberi tekanan yang berlawanan terhadap fleksi tersebut.
Tidak membiarkan klien menggerakkkan sendi tersebut merupakan hal yang
sangat penting. Perawat secara bertahap meningkatkan tekanan pada
kelompok otot (misal ekstensi siku). Klien menahan tekanan yang diberikan
oleh perawat dengan mencoba melawan tahanan tersebut (misal fleksi siku).
Klien menahannya sampai diinstruksikan untuk berhenti. Pada saat pemeriksa
memvariasikan jumlah tekanan yang diberikan, sendi tersebut akan bergerak.
Jika diidentifikasi terjadi kelemahan, ukuran otot harus dibandingkan dengan
bagian otot lain yang sama dengan mengukur lingkar tubuh otot dengan pita
ukur. Otot yang mengalami atrofi (penurunan ukuran) dapat terasa lunak dan
liat.
Manuver Untuk Mengkaji Kekuatan Otot
Kelompok Otot Manuver
Leher
(sternokleidomastoideus)
Letakkan tangan dengan mantap pada rahang atas
klien. Minta klienmemiringkan kepala melawan
tahanan tersebut.
Bahu (trapezius) Letakkan tangan diatas garis tengah bahu klien,
beri tekanan. Minta klien mengangkat bahunya
melawan tekanan tersebut
Siku
Biceps
Triseps
Tarik ke bawah lengan atas pada saat klien
berusaha memfleksikan lengannya tersebut
Pada saat klien memfleksikan lengan, beri
tekanan pada lengan atas. Minta klien untuk
mengencangkan tangan.
Pinggul
Kuadriseps
Gastroknemius
Pada saat klien duduk, beri tekanan ke bawah
pada paha. Minta klien untuk mengangkat tungkai
dari meja.
Klien duduk, menahan garas tungkai yang fleksi.
Minta klien untuk mengencangkan tungkai
melawan tekanan tersebut.
Skala Kekuatan Otot
Tingkat Fungsi Otot Skala
Nilai % Normal Skala Lovett
Tidak ada bukti kontraktilitas 0 0 O (nol)
Sedikit kontraktilitas, tidak ada gerakan 1 10 T
(trace/sedikit)
Rentang gerak penuh, gravitasi tidak ada 2 25 P (poor/buruk)
*
Rentang gerak penuh dengan gravitasi 3 50 F (fair/sedang)
Rentang gerak penuh melawan gravitasi,
beberapa resistensi
4 75 G (good/baik)
Rentang gerak penuh melawan gravitasi,
resistensi penuh
5 100 N (normal)
*Gerakan pasif
7. Penkes Yang Diperlukan Pada Pasien Faraktur Vertebra
Memberikan informasi tentang fraktur vertebra seperti terapi yang harus
dijalani, komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur vertebra, dan
kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada fraktur vertebra seperti
terjadinya kelumpuhan.
Memberikan informasi tentang gerakan-gerakan yang boleh atau tidak
dilakukan pada fraktur vertebra.
Memberikan informasi tentang latihan gerak yang harus dilakukan pada
pasien fraktur vertebra. Aktivitas akan meningkatkan peredaran darah
( aktivitas yang boleh dilakukan).
Bila kondisi pasien sudah mulai membaik, sebaiknya kita sebagai perawat
harus memberikan saran kepada pasien agar tidak mengangkat beban
yang besar agar tidak memperparah kondisi pasien.
Perawat juga dapat memberikan informasi kepada keluarga pasien agar
menjaga lingkungan disekitar pasien, seperti lantai yang tidak licin agar
pasien tidak terjatuh.
8. Pencegahan Fraktur Vertebra
Pencegahan terjadinya fraktur vertebra dapat dilakukan dengan mengadopsi
kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari, seperti:
1. Postur tubuh yang baik
Langkah pertama yang harus Anda lakukan adalah memperhatikan dan
menyadari setiap posisi tubuh Anda. Jadi, saat Anda menahan tubuh dalam
posisi yang kaku, Anda akan segera menyadari munculnya ketegangan di
otot-otot yang Anda gunakan untuk duduk atau berdiri, dengan menekan
lengkungan alami tulang belakang. Postur tubuh yang buruk bisa
mengurangi kemampuan gerak bahu, sakit kronis, sulit berjalan, sakit
kepala dan leher, ketidakmampuan berolahraga, dan masih banyak lagi.
2. Lakukan gerakan yang benar
Jika mengangkat barang, gunakan otot kaki, bukan otot lengan atau
punggung. Jika hendak memungut barang yang berat, seperti tas belanjaan
atau kotak barang, lengkungkan lutut Anda kemudian angkatlah,
pertahankan agar punggung tetap lurus. Jika hendak bepergian keluar,
lebih baik menggunakan tas ransel dibandingkan tas yang disandang di
satu sisi bahu saja. Tas ransel akan membantu membagi beban dengan
berat yang seimbang di kedua sisi tubuh.
3. Posisi tidur yang benar
Hindari tidur telungkup. Saat perut tertekan ke bawah, maka akan
cenderung melengkungkan punggung Anda. Akibatnya, rasa sakit akan
meningkat. Di sisi lain, tidur telentang juga tidak terlalu nyaman karena
cenderung melengkungkan lumbar. Tidur pada satu sisi tubuh dengan
menekuk kaki di lutut, cenderung bisa meminimalkan stres tulang
punggung dengan cara meluruskan lengkungan lumbar. Cobalan
meletakkan 1 atau 2 bantal di bawah lutut untuk menarik pinggang ke atas,
meratakan lengkungan lumbar dan mengurangi ketegangan di area
tersebut.
4. Cobalah teknik-teknik relaksasi
Cobalah merelakskan otot-otot punggung saat Anda duduk di suatu tempat
terlalu lama. Lakukan latihan peregangan untuk menarik punggung atas
dan bawah. Tahan setiap peregangan selama 5-10 detik dan lepaskan
secara perlahan.
5. Turunkan berat badan
Jika kelebihan berat badan, cobalah mengurangi berat di punggung Anda.
Mulailah dengan latihan kardiovaskular paling tidak selama 3-5 kali
seminggu. Aerobik merupakan saah satu jenis olahraga yang paling baik
untuk mencegah sakit punggung. Dengan membuat jantung dan paru-paru
bekerja lebih keras dari biasanya, Anda bisa memulihkan kondisi fisik
yang buruk dan menjadi penyebab sakit punggung.
6. Istirahat
Jangan duduk terlalu kencang dan hindari duduk di kursi lebih dari 30
menit dalam sekali waktu. Jadi, bangunlah dan berjalanlah ke sekeliling
sebelum duduk kembali. Jangan duduk dengan memasukkan dompet datar
di saku belakang Anda. Dompet ini bisa menambah tekanan pada saraf
sciatic, yang bisa memicu sakit di punggung dan kaki.
7. Lakukan latihan untuk menguatkan punggung
Jika dilakukan secara teratur, latihan-latihan ini bisa menguatkan dan
melenturkan otot-otot punggung. Jika masih pemula, ada baiknya
menggunakan sabuk angkat beban untuk mencegah peregangan berlebih
pada punggung bawah. Selain itu, latihan dapat meningkatkan kelenturan
tulang. Lakukan olahraga pembebanan secara teratur seperti jalan kaki,
bersepeda, jogging, dansa, tenis atau badminton, dan naik turun tangga.
Sebaiknya, kombinasikan juga dengan latihan kelenturan dan
keseimbangan.
8. Penuhi kebutuhan kalsium dan vitamin D
Penuhi kebutuhan kalsium dan vitamin D harian Anda. Pada orang dewasa
usia di bawah 50 tahun membutuhkan 1.000 mg kalsium dan 400-800 IU
vitamin D tiap harinya, orang dewasa usia di atas 50 tahun membutuhkan
kalsium 1.200 mg dan 800-1.000 IU vitamin D setiap harinya.
9. Konsultasi dengan Pelayanan Kesehatan
Berdiskusi dengan pemberi layanan kesehatan mengenai kemungkinan
Anda atau keluarga Anda berisiko terkena osteoporosis serta butuh atau
tidaknya Anda menjalani tes pemeriksaan kepadatan tulang.
10. Pekerjaan
Penelitian menunjukkan bahwa kecelakaan dalam mengemudikan mobil
adalah penyebab utama dari cidera tulang belakang, terutama para lelaki
yang berusia kurang dari 65 tahun. Untuk menghindari kecelakaan mobil,
pengemudi harus selalu:
Menggunakan sabuk pengaman. Hal ini juga harus dilakukan semua
penumpang yang ada di dalam kendaraan tersebut. Sabuk pengaman
akan berfungsi meminimalisir impact dari benturan kalau-kalau terjadi
kecelakaan.
Mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan batas maksimum kecepatan
yang diizinkan setiap waktu.
Bagi orang-orang yang berumur 65 tahun ke bawah, terutama wanita,
terjatuh merupakan penyebab nomor satu cidera tulang belakang. Untuk
menghindari hal ini di rumah atau bahkan di kantor, pastikan bahwa:
Lantai bersih dari minyak, air yang berceceran, dan cairan licin
lainnya sehingga tidak ada yang akan terpeleset.
Karpet tidak licin untuk mengurangi kemungkinan terpeleset.
Handrails atau tempat tangan berpegang telah terpasang pada tangga
serta pada tempat-tempat basah seperti di kamar mandi.
Daerah sekitar tempat tinggal Anda telah memiliki penerangan yang
cukup.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien yang mengalami gangguan musculoskeletal karena
fraktur vertebra, baik subjektif maupun objektif bergantung pada bentuk,
lokasi, jenis cedera dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
Pengkajian keperawatan fraktur vertebra meliputi anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic dan pengkajian psikososial.
- Anamnesis
terdiri dari :
Identitas kllien, meliputi nama, usia, jenis kelamin,pendidikan, alamt,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit
dll.
Riwayat kesehatan meliputi :
1. Keluhan utama, klien yang mengalami fraktur vertebra biasanya
mengeluh nyeri, kelemahan, dan kelumpuhan ekstrimitas,
inkontinensia urine, dan inkontinensia alvi, nyeri tekan otot,
hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan deformitas pada
daerah trauma. Untuk memperoleh pengkajian nyeri digunakan
pengkajian PQRST yaitu :
P (provocating incident) : faktor-faktor yang menjadi
presipitasi nyeri
Q (quality of pain) : seperti apa nyeri yang dirasakan
R (region, radiation, relief) : apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan di
mana rasa sakit terjadi.
S (severity of pain) : beratnya nyeri diukur dengan
menggunakan
skala.
T (time) : berapa lam nyeri berlangsung,
kapan, apakah bertambah buruk pada
malam atau siang hari.
2. Riwayat penyakit sekarang
Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industry, jatuh dari pohon
atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma karena tali
pengaman (fraktur chance), dan kejatuhan benda keras. Pengkajian
yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis (dimulai dari
paralisis layu disertai hilangnya sensibilitas secara total dan
melemah/menghilangnya reflex alat dalam) ileus paralitik, retensi
urin dan hilangnya refleks-refleks. Perawat juga perlu menanyakan
masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan alcohol
kepada klien dan keluarga karena sering terjadi beberapa klien
yang suka kebut-kebutan menggunakan obat-obatan adiktif dan
alcohol.
3. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian ini meliputi adanya riwayat penyakit degenerative pada
tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoarthritis yang
memungkinkan terjadinya kelainan pada tulang belakang. Penyakit
lainnya seperti hipertensi, riwayat cedera tulang belakang
sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia,
penggunaan obat-obatan antikoagulan, aspirin, vasodilator dan
obat-obatan adiktif perlu ditanyakan agar pengkajian lebih
komprehensif.
4. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang digunakan klien
diperlukan untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya, perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat, serta respon dan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-
hari, baik dalam keluarga maupun masyarakat.kaji apakah ada
dampak yang timbul pada klien, seperti ketakutan akan kecacatan,
rasa cemas, rasa ketidakmampuan melakukan aktivitas secara
optimal, dan gangguan citra diri.
- Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk
mendukung data pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan per sistem (B1-B6) dengan focus pemeriksaan B3 (brain) dan
B6 (bone) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien.
1. B1 (breathing)
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otot-otot pernapasan) dan
perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatik desenden akibat
trauma pada vertebra sehingga jaringan saraf di medulla spinalis
terputus.
Inspeksi. Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi
pernapasan, retraksi interkostal, dan pengembangan paru tidak
simetris. Pada observasi ekpansi dada dinilai penuh atau tidak
penuh dan kesimetrisannya. Kesimetrisannya mungkin
menunjukkan adanya atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada
bronkus, frakur tulang iga, dan pneumotoraks. Selain itu, juga
dinilai retraksi otot-otot interkostal, substernal dan pernapasan
abdomen.
Respirasi paradox ( retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas
ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
menggerakkan dinding dada akibat adanya blok saraf
parasimpatis.
Palpasi. Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang
lain akan didapatkan apabila trauma terjadi pada rongga toraks.
Perkusi. Didapatkan adnya suara redup sampai pekak apabila
trauma terjadi pada toraks/hematoraks.
Auskultasi. Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi,
stridor, ronki pada klien dengan peningkatan produksi secret, dan
kemampun batuk menurun sering didapatkan pada klien cedera
tulang belakang yang mengalami penurunan tingkat kesadaran
(koma).
Saat dilakukan pemeriksaan sistem pernapasan klien cedera tulang
belakang dengan fraktur dislokasi vertebra lumbalis dan protrusi
diskus intervertebralis L-5 dan S-1, klien tidak mengalami kelainan
inspeksi pernapasan. Pada palpasi toraks, didapatkan taktil fremitus
tidak seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi, tidak didapatkan
suara napas tambahan.
2. B2 (blood). Pengkajian sistem kardiovaskular didapatkan renjatan
(syok hipovolemik) dengan intensitas sedang dan berat. Hasil
pemeriksaan kardiovaskular pada beberapa keadaan adalah hipotensi,
bradikardia, berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
dan ekstrimitas dingin atau pucat. Bradikardia adalah tanda perubahan
perfusi jaringan otak. Kulit pucat menandakan penurunan kadar
hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan
perfusi jaringan dan tanda awal dari suatu renjatan.
3. B3 (brain).
1) Tingkat kesadaran, merupakan indicator paling sensitive untuk
disfungsi sistem persarafan. Pada keadaan lanjut, kesadaran klien
biasanya berkisar dari letargi, stupor, semikoma sampai koma.
2) Pemeriksaan fungsi cerebral. Pemeriksaan dilakukan dengan
mengobservasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi
wajah dan aktivitas motorik klien. Klien yang telah lama
mengalami cedera akan mengalami perubahan status mental.
3) Pemeriksaan saraf cranial :
a. Saraf I : biasanya tidak ada kelainan dan tidak ada kelainan
pada fungsi penciuman.
b. Saraf II : ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
c. Saraf III, IV, dan VI : biasanya tidak ada gangguan
mengangkat kelopak mata dan pupil isokor.
d. Saraf V : umumnya tidak mengalami paralisis pada otot
wajah dan reflex kornea biasanya tidak ada kelainan.
e. Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal dan
wajah simetris.
f. Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli persepsi dan tuli
konduktif.
g. Saraf IX : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius. Ada usaha klien untuk melakukan fleksi leher dan
kaku kuduk.
h. Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
4) Pemeriksaan reflex :
a. Pemeriksaan reflex dalam. Reflex Achilles menghilang dan
reflex Patella biasanya melemah karena kelemahan pada otot
hamstring.
b. Pemeriksaan reflex patologis. Pada fase akut reflex fisiologis
akan menghilang dan muncul kembali setelah beberapa hari
yang didahului dengan reflex patologis.
c. Reflex Bulbo Cavernosus positif.
5) Pemeriksaan sensorik. Apabila klien mengalami trauma pada
kauda ekuina, ia akan mengalami hilangnya sensibilitas secara
menetap pada kedua bokong, perineum dan anus. Pemeriksaan
sensorik superficial dapat memberikan petunjuk mengenai lokasi
cedera akibat trauma di daerah tulang belakang.
4. B4 (blader). Kaji keadaan urin yang meliputi warna, jumlah dan
karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine
dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya
perfusi pada ginjal. Bila terjadi lesi pada kauda ekuina (kandung
kemih diatur oleh pusat S2-S4) atau di bawah pusat spinal kandung
kemih, hubungan antara kandung kemih dan pusat spinal akan
terinterupsi. Pengosongan kandung kemih secara periodic bergantung
pada reflex local dinding kandung kemih. Klien yang mengalami
trauma pada kauda ekuina akan kehilangan reflex kandung kemih
yang bersifat sementara. Klien mungkin mengalami inkontinensia
urine, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan
ketidakmampuan menggunakan urinal karena kerusakan motorik dan
postural.
5. B5 (bowel). Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering
didapatkan adanya ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya
bising usus sserta kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan
gejala awal syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu. Pemenuhan nutrisi berkurang karena adanya mual
dan kurangnya asupan nutrisi. Pemeriksaan rongga mulut dengan
menilai ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat
menunjukkan adanya dehidrasi.
6. B6 (bone). Paralisis motorik dan paralisis alat-alat dalam bergantung
pada ketinggian terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai
dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.
Fungsi Otot Segmen
Inspirasi Diafragma C3,4,5
Ekstensi bahu Deltoid C5
Fleksi siku Biseps brakii
Brakialis
C5,6
Ekstensi pergelangan Ekstensor karpi
radialis longus dan
brevis
C6,7
Ekstensi siku Triseps brakii C7,8
Fleksi jari tangan Fleksor digitorum
superfisialis dan
profundus
C8
Abduksi dan aduksi
jari tangan
Interossei C8, T1
Aduksi paha Aduktor longus dan
brevis
L2, 3
Ekstensi lutut Kuadriseps L3, 4
Dorsifleksi
pergelangan kaki
Tibialis anterior L4, 5
Ekstensi ibu jari kaki Ekstensor hailusis
longus
L5, S1
Plantar fleksi
pergelangan kaki
Gastroknemius
Soleus
S1, 2
Kontraksi anal Sfingter ani eksternus S2, 3, 4
7. Look. Kaji adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan
menunjukkan adanya sianosis (ujung kuku, ekstrimitas, telinga,
hidung, bibir, dan membrane mukosa). Pucat pada wajah dapat
berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Kaji
adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan dan
kehilangan sensori. Mudah lelah dapat menyebabkan maslah pada
pola aktivitas dan istirahat.
8. Feel. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Kaji
adanya nyeri pada daerah trauma.
9. Move. Disfungsi motorik yang paling umum terjadi adalah kelemahan
dan kelumpuhan pada seluruh ekstrimitas bawah. Pada penilaian
kekuatan otot yang menggunakan derajat kekuatan otot diperoleh
grade 0 pada daerah sesuai segmen tulang belakang yang mengalami
cedera.
Setiap klien dengan fraktur vertebra harus diperiksa secara lengkap.
Anamnesa yang baik mencakup jenis trauma, apakah jatuh dari ketinggian,
kecelakaan lalu lintas, atau olah raga. Pemeriksaan tulang belakang harus
dilakukan dengan hati-hati. Pemeriksaan dimulai dari vertebra servikalis
sampai vertebra lumbalis dengan cara meraba bagian-bagian vertebra,
ligament, serta jaringan lunak lainnya. Pemeriksaan neurologis secara
lengkap juga diperlukan. Pada setiap trauma tulang belakang harus
dilakukan pemeriksaan yang teliti terhadap trauma yang mungkin
menyertainya, seperti trauma pada kepala, toraks, rongga perut, serta
panggul.
- Pemeriksaan radiologis, meliputi :
Pemeriksaan rontgen. pada pemeriksaan rontgen, manipulasi
penderita harus dilakukan secara hati-hati. Pada fraktur C-2,
pemeriksaan posisi AP dilakukan dengan membuka mulut.
Pemeriksaan posisi AP secara lateral dan kadang-kadang oblique
dilakukan untuk menilai :
Diameter anteroposterior kanal spinal
Kontur, bentuk dan kesejajaran vertebra
Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus
Ketinggian ruangan diskus intervertebralis
Pembengkakan jaringan lunak
Pemeriksaan CT-scan untuk melihat fragmentasi dan pergeseran
fraktur dalam kanal spinal
Pemeriksaan CT-scan dengan mielografi
Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu
diskus intervertebralis dan ligamentum flavum serta lesi dalam
sumsum tulang belakang
- Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium klinik rutin
dilakukan untuk menilai komplikasi pada organ lain akibat cedera tulang
belakang.
.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3.
Jakarta : EGC
Potter, & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Vol. 1. Jakarta :
EGC
Firmallah,Intan. 2011. Asuhan Keperawatan dengan Fraktur Vertebra.
http://www.scribd.com/doc/53048779/Asuhan-Keperawatan-Dengan-
Fraktur-Vertebra . (Akses: 7 Januari 2012)
Mansjoer,Arif.2000.Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2.Jakarta:Media
Aesculapius
Mega P.L. 2010. Patofisiologi Fraktur.
www.scribd.com./doc/34822066/Patofisiologi-Fraktur (Akses: 7 Januari
2012)
McCloskey&Bulechek. 2004. Nursing Intervention Classification : Fourth
Edition. Mosby : USA
Moorhead, Johnson, L.Maas, & Swanson. 2008. Nursing Outcomes Classification
: Fourth Edition. Mosby : USA
Mursada. 2011. Laporan Pendahuluan Fraktur Vertebra.
www.scribd.com./doc/60966817/Laporan-Pendahuluan-Fraktur-
Vertebra (Akses: 7 Januari 2012)
NANDA. 2009-2011. Nursing Diagnosis : definitions and Classification.
Philadephia : USA
Price, Sylvia. 2003. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6.
Jakarta: EGC
Priharjo, Robert. 2006. Pengkajian Fisik Keperawatan Edisi 2. Jakarta : EGC