fraktur dentoalveolar

33
BAB I PENDAHULUAN Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur dinamai sesuai dengan regio tubuh yang mengalami diskontinuitas. Fraktur yang terjadi pada tulang – tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomaticus, nasal, maksila, dan mandibula,fraktur maksilofasial diklasifikasikan menjadi fraktur kompleks nasal, kompleks zigoma, dentoalveolar, maksila, dan mandibula. 1 Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi, subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur dentoalveolar dapat terjadi tanpa disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya, biaasanya terjadi akibat kecelakaan ringan, seperti jatuh, benturan, berolahraga, atau iatrogenik. 2,3 Epidemiologi fraktur dentoalveolar serupa dengan epidemiologi fraktur maksilofasial. Menurut penelitian yang pernah dilakukan, dari 100 orang yang mengalami fraktur didapatkan 5 orang mengalami fraktur dentoalveolar. 4 Penelitian lain menyebutkan dari 122 sampel pasien trauma terdapat 90 pasien mengalami

Upload: oeimayaprasodjoyo

Post on 25-Jan-2016

852 views

Category:

Documents


152 download

DESCRIPTION

Fraktur Dentoaveolar

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.

Fraktur dinamai sesuai dengan regio tubuh yang mengalami diskontinuitas.

Fraktur yang terjadi pada tulang – tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal,

orbitozigomaticus, nasal, maksila, dan mandibula,fraktur maksilofasial

diklasifikasikan menjadi fraktur kompleks nasal, kompleks zigoma, dentoalveolar,

maksila, dan mandibula.1

Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi,

subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur

dentoalveolar dapat terjadi tanpa disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya,

biaasanya terjadi akibat kecelakaan ringan, seperti jatuh, benturan, berolahraga,

atau iatrogenik.2,3

Epidemiologi fraktur dentoalveolar serupa dengan epidemiologi fraktur

maksilofasial. Menurut penelitian yang pernah dilakukan, dari 100 orang yang

mengalami fraktur didapatkan 5 orang mengalami fraktur dentoalveolar.4

Penelitian lain menyebutkan dari 122 sampel pasien trauma terdapat 90 pasien

mengalami fraktur maksilofasial. 8,3% diantaranyan (5 orang) mengalami fraktur

dentoalveolar.5 Puncak insidensi terjadi pada anak usia 2 – 3 tahun, sebagai akibat

sekunder perkembangan koordinasi neuromuskular. Pada gigi tetap, puncak

insidensi terjadi pada anak usia 10 tahun saat dimulainya aktifitas atletik. Etiologi

yang paling sering dilaporkan adalah kecelakaan lalu lintas dan perkelahian.

Dalam laporan ini dilakukan pembahasan mengenai kasus fraktur

dentoalveolar dengan tujuan untuk mengetahui manifestasi klinis, penegakan,

diagnosis dan tatalaksana untuk kasus tersebut yang menyesuaikan kompetensi

dokter umum.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Fraktur Dentoalveolar

Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian

terutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Literatur lain

menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas

jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma

(Mansjoer, 2000). Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka fraktur

dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada

stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma.

2.2 Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar

Jenis fraktur dentoalveolar pada anak diklasifikasikan menjadi beberapa

kejadian. Klasifikasi ini membantu dokter gigi untuk memilih cara penanganan

yang tepat untuk setiap kejadiannya sehingga pasien mendapatkan prognosis yang

baik selama perawatan. Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat memberikan

informasi yang komprehensif dan universal untuk mengkomunikasikan mengenai

tujuan perawatan tersebut. Terdapat banyak klasifikasi yang mendeskripsikan

mengenai fraktur dentoalveolar. Klasifikasi yang banyak dijadikan pedoman

dalam penanganan fraktur dentoalveolar adalah klasifikasi menurut World Health

Organization (WHO).

Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO)

diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras gigi,

jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut. Pada pembahasan ini

klasifikasi WHO yang diterangkan hanya pada trauma yang mengakibatkan

fraktur dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa, jaringan

periodontal, dan tulang pendukung (Welbury, 2005) :

1. Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa (gambar 2.1)

Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa retakan

tanpa hilangnya substansi gigi.

Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja.

Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada email dan

dentin tanpa melibatkan pulpa gigi.

Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur email dan

dentin dengan pulpa yang terpapar.

Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-root fracture):

fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa.

Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture): fraktur

email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang terpapar.

Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa, dapat

disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga koronal

(gingiva).

Gambar 2.1 Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa (Fonseca,

2005)

2. Cedera pada jaringan periodontal (gambar 2.2)

Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi.

Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi.

Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari soket.

Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket alveolar.

Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur soket

alveolar.

Avulsi: gigi lepas dari soketnya.

Gambar 2.2 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005).

3. Cedera pada tulang pendukung (gambar 2.3)

1) Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan tertekannya

soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral luksasi.

2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang terbatas pada

fasial atau lingual/palatal dinding soket.

3) Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus alveolar yang

dapat melibatkan soket gigi.

4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

Gambar 2.3 Cedera pada Tulang Pendukung (Fonseca, 2005).

2.3 Etiologi dan Epidemiologi

Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung. Trauma

langsung jika benturannya itu langsung mengenai gigi, biasanya pada regio

anterior. Trauma tidak langsung terjadi ketika ada benturan rahang bawah ke

rahang atas, gigi patah pada bagian mahkota atau mahkota-akar di gigi premolar

dan molar, dan juga pada kondilus dan simfisis rahang. Faktor yang memengaruhi

hasil trauma adalah kombinasi dari energi impaksi, resiliensi objek yang terkena

impaksi, bentuk objek yang terkena impaksi, dan sudut arah gaya impaksi.

(Welburry, 2005).

Penyebab umum trauma adalah terjatuh dengan perbandingan antara 26% dan

82% dari semua kasus cedera, tergantung pada subpopulasi yang diteliti. Olahraga

merupakan penyebab kedua yang mengakibatkan cedera (Berman, et al., 2007).

Kasus trauma dentoalveolar pada anak dapat disebabkan kecelakaan lalu lintas,

serangan hewan, perkelahian dan kekerasan dalam rumah tangga. Gigi yang

terkena trauma biasanya hanya satu, kecuali pada kasus kecelakaan dan olahraga.

(Cameron and Widmer, 2008).

Maloklusi dapat menjadi faktor pendukung terjadinya trauma dentoalveolar.

Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya trauma adalah protrusi gigi

anterior pada maloklusi kelas I tipe 2 atau kelas II divisi 1. Insidensi pada anak

dengan kondisi tersebut dua kali dibandingkan anak dengan kondisi oklusi

normal. Anak dengan overjet berlebih juga dapat memiliki faktor resiko lebih

tinggi terjadi trauma dibandingkan dengan anak dengan overjet normal (Holan

and McTigue, 2005). Tabel 2.1 menunjukkan probabilitas fraktur gigi incisif

sentral maksila dengan perbedaan overjet.

Tabel 2.1 Probabilitas Kejadian Fraktur Gigi Incisif Sentral Maksila dengan Perbedaan

Jarak Overjet (Finn, 2003).

Overjet Laki-laki Perempuan Semua Anak

< 1 mm 1:25 1:55 1:34

1-5 mm 1:13 1:27 1:18

6-9 mm 1:7 1:11 1:8

10 + mm 1:4 1:10 1:6

Prevalensi trauma gigi anak berkisar dari 10-30% di beberapa negara di dunia.

(Shun-Te Huang, et al., 2005). Data epidemiologi mengenai fraktur gigi anak di

Indonesia belum ditemukan secara pasti, namun ada beberapa laporan makalah

ilmiah yang memperkirakan 2%-5% (Sutadi, 2003). Penelitian yang dilakukan

Sasteria pada 1.348 anak usia 1-12 tahun di Klinik Ilmu Kedokteran Gigi Anak

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia selama periode 1 Januari 1995-31

Desember 1995 menunjukkan bahwa 98 anak (7,27%) mengalami fraktur pada

gigi anterior atas (Sasteria, 1997).

Kejadian terbanyak trauma dentoalveolar terjadi pada usia 2-4 tahun ketika

koordinasi motorik anak sedang berkembang. Trauma sering terjadi di rumah

ketika anak sudah mulai mencoba banyak hal baru dan bergerak aktif, sedangkan

pada usia 7-10 tahun anak biasanya mengalami trauma di sekolah ketika mereka

sedang bermain, berlari, bersepeda, dan atau berolahraga. Gigi yang mengalami

trauma pada usia ini biasanya gigi permanen. (Welbury, 2005).

Insidensi trauma dentoalveolar pada anak menurut usia adalah sebagai berikut:

pada usia 5 tahun, 31-40% anak laki-laki dan 16-30% anak perempuan mengalami

trauma. Pada usia 12 tahun 12-33% anak laki-laki dan 4-19 % anak perempuan

mengalami trauma gigi. Insidensi injuri pada laki-laki dua kali lebih banyak baik

pada usia anak maupun dewasa (Welbury, 2005). Literatur lain menyebutkan rasio

insidensi injuri pada anak hampir sama antara laki-laki dan perempuan (Berman,

et.al., 2007). Kasus trauma yang terjadi pada anak sebagian besar terjadi di daerah

anterior terutama incisif sentral (Welbury, 2005), sedangkan pada bagian posterior

biasanya terjadi karena trauma tidak langsung, seperti trauma pada bagian dagu

yang mengakibatkan tekanan berlebih pada bagian maksila (Finn, 2003).

Kejadian yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah concussion,

subluksasi, dan luksasi, sedangkan pada gigi permanen adalah fraktur mahkota

tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) (Welburry, 2005). Gambar 2.4

menunjukkan persentasi kejadian fraktur menurut klasifikasi cedera pada jaringan

pendukung gigi.

Gambar 2.4 Persentasi Kejadian Fraktur (Koch and Poulsen, 2001).

Fraktur dentoalveolar pada anak dapat menyebabkan kerusakan gigi permanen

yang berada di atas atau bawahnya. Hal ini dapat langsung terjadi dari luka atau

infeksi residual yang disebabkan oleh trauma pada gigi anak. Andreasen dan Ravn

menemukan bahwa usia anak pada waktu terjadinya trauma merupakan faktor

yang paling memengaruhi perkembangan kerusakan gigi permanen. Mereka

menemukan bahwa 60% anak di bawah usia 4 tahun dengan trauma pada gigi

incisif menunjukkan anomali klinis pada radiografi gigi permanen pengganti

(Dummet, 2006).

2.4 Pencegahan Fraktur Dentoalveolar

Hal terbaik yang dilakukan pada fraktur dentoalveolar adalah melakukan

tindakan pencegahan. Pencegahan adalah orientasi utama seorang dokter gigi,

terutama dalam perawatan gigi anak. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan

untuk mencegah kejadian fraktur dentoalveolar, di antaranya adalah sebagai

berikut (Cameron and Widmer, 2008):

1. Perawatan orthodonti;

2. Sabuk pengaman;

3. Pemakaian helm saat bersepeda;

4. Pemakaian mouth protector;

5. Pengawasan terhadap binatang peliharaan; dan

6. Penyuluhan kepada para orang tua

Tindakan pencegahan tersebut dilakukan sesuai dengan kondisi. Perawatan

orthodonti dilakukan pada pasien yang memiliki kecenderungan mengalami

fraktur gigi, seperti pada pasien kelas II divisi 1 dengan overjet tinggi.

Pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pasien dengan overjet tinggi

akan memiliki kecenderungan lebih rentan terjadi fraktur gigi daripada pasien

dengan overjet normal. Hal tersebut memberikan gambaran kepada dokter gigi

untuk menghimbau pasien dengan keadaan overjet tinggi ini untuk melakukan

perawatan orthodonti, sehingga kondisi overjet pasien dapat dikoreksi dan

kejadian fraktur dentoalveolar dapat dihindari.

Penyebab fraktur dentoalveolar berikutnya selain overjet adalah terjadinya

kecelakaan, bukan hanya saat berkendara tetapi juga saat berolahraga. Dokter gigi

dapat menghimbau kepada masyarakat untuk menggunakan sabuk pengaman saat

berkendara dan memakai helm saat bersepeda. Hal ini dapat mengurangi resiko

cedera saat terjadi kecelakaan lalu lintas.

Cedera saat berolahraga dapat dicegah dengan mouth protector. Contoh

olahraga yang biasanya membutuhkan alat ini adalah olahraga dinamis, seperti

sepakbola, hoki, baseball, softball, dan lain sebagainya. Ada beberapa jenis mouth

protector yang dapat digunakan sebagai langkah pencegahan terhadap fraktur

dentoalveolar, berikut adalah tipe dari mouth protector (Fonseca, 2005):

1. Stock mouth protectors

Jenis mouth protector ini merupakan tindakan pencegahan yang paling mudah

dan murah. Mouthguard ini dibuat dari lateks atau material silikon dan hanya

menjaga secara minimal karena cukup longgar saat digunakan sehingga harus

dalam kondisi rahang yang tertutup. Jenis ini kurang nyaman saat digunakan

karena menyulitkan pengguna untuk berbicara dan bernafas, selain itu

mouthguard ini mengiritasi gingiva dan vestibula di bagian bukal. Jenis ini kurang

direkomendasikan. Gambar 2.5 menunjukkan stock mouth protector.

Gambar 2.5 Stock Mouth Protector (Fonseca, 2005)

2. Mouth formed protectors

Mouth formed protector paling sering digunakan dan terdiri dari dua jenis,

yaitu shell-liner mouthguard dan thermoplastic guard.

1) Shell-liner mouthguard

Shell-liner mouthguard terdiri dari karet lateks atau plastik yang menutup gigi

maksila. Jenis ini cukup halus dan permukaannya lembut beradaptasi dengan gigi.

Kekurangannya adalah pemakaiannya terbatas, jika sering digigit material yang

mendasarinya akan berkurang dan mengilangkan ikatan dengan gigi. Lapisannya

dapat mengeras jika terkena cairan mulut. Pelindung ini tidak direkomendasikan

untuk atlet yang menggunakan braket ortho.

2) Thermoplastic mouthguard

Jenis pelindung ini paling banyak digunakan karena keunggulannya yang murah,

tahan lama, dan dapat dilembutkan kembali serta diadaptasikan jika retensinya

mulai berkurang. Kekurangan dari pelindung ini adalah distorsi dan pengerasan

ketika kontak dengan cairan mulut. Gambar 2.6 menunjukkan pelindung mulut

jenis thermoplastik.

Gambar 2.6 Thermoplastic Mouthguard (Fonseca, 2005)

3. Bimaxillary mouthguard

Penggunaan pelindung mulut ini terfiksasi di mandibula dan cukup nyaman untuk

bernafas secara maksimal. Efektif mencegah cedera karena concussion dan trauma

yang menyebabkan jejas pada kondilus mandibula. Gigi anterior mandibula juga

terproteksi dari trauma yang cukup frontal. Gambar 2.7 menunjukkan pelindung

mulut jenis bimaksila.

Gambar 2.7 Bimaxillary Mouthguard

4. Custom-made mouth protectors

Jenis pelindung mulut ini adalah yang terbaik jika dibandingkan dengan jenis

lainnya dilihat dari retensi, proteksi, rasa, bau, kenyamanan saat berbicara, dan

kebersihannya. Keunggulan tersebut tidak sepenuhnya menjadi bukti bahwa alat

pelindung ini paling baik mencegah dampak buruk dari trauma. Pelindung ini

difabrikasi menggunakan alginat menyesuaikan dengan maksila pasien tersebut.

Gambar 2.8 menunjukkan pelindung mulut jenis custom-made.

Gambar 2.8 Custom-made Mouth Protector (Vito, 2012)

Tindakan yang sudah disebutkan di atas akan berjalan optimal ketika para

orang tua sudah teredukasi dengan baik tentang pencegahan trauma gigi pada

anak-anak. Langkah darurat yang bisa dilakukan ketika terjadi trauma gigi pada

anak juga akan mengurangi keparahan trauma yang mengenai intraoral.

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. S

Umur : 30 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Status perkawinan : Belum Menikah

Alamat : Kendal

Pekerjaan : Wiraswasta

MRS : 1 Juni 2015

No. CM : C537563

3.2 Anamnesis

Autoanamnesis pada 1 Juni 2015 pukul 09.00 di Poli Gigi dan Mulut

RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Keluhan Utama : Rahang patah (rujukan dari RS Soewondo Kendal)

Riwayat Penyakit Sekarang

± 4 hari SMRS pasien mengalami kecelakaan motor, mekanisme

kecelakaan tidak diketahui. Pasien tidak menggunakan helm. Pingsan setelah

kecelakaan (+) Mual (-) Muntah (-). Pasien kemudian dibawa ke IGD RS

Soewondo, dilakukan penjaitan di bagian mulut dan dirawat inap selama 4 hari.

Selama rawat inap, pasien diberikan infus dan obat-obatan lewat infus. Selain itu,

pasien melakukan foto gigi. Pasien tidak dapat makan makanan padat, selama ini

hanya minum saja, tetapi tidak dipasang jalur makanan melalui hidung. Nyeri gigi

belakang rahang atas bawah (+) hilang timbul, gusi berdarah (-), nyeri gusi (-).

Pasien tidak dapat mengatupkan gigi maupun membuka mulutnya secara

maksimal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat diabetes melitus disangkal

Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat operasi sebelumnya disangkal

Riwayat alergi obat disangkal

Riwayat asthma disangkal

Riwayat trauma daerah wajah sebelumnya disangkal

Riwayat sakit gigi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat diabetes melitus disangkal

Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan seperti ini

Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien bekerja sebagai wiraswasta. Belum menikah, tinggal bersama kedua orang

tuanya. Pembiayaan mandiri.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pada 1 Juni 2015 pukul 09.30 di Poli Gigi dan Mulut RSUP Dr.

Kariadi Semarang.

a. Status Generalis

o Keadaan umum

Kesadaran : compos mentis

Keadaan gizi : cukup

o Tanda-tanda vital

TD : 110/70 mmHg

Nadi : 78x/ menit

RR : 20x/ menit

Suhu : 36,5oC

VAS : 3

o Gambaran Umum lainnya :

Tinggi Badan : 164 cm

Berat Badan : 50 kg

Edema : -

Pucat : -

Clubbing finger : -

Jaundice : -

Pemeriksaan Ekstraoral

o Wajah

Inspeksi : asimetri

Palpasi : nyeri tekan (+)

Mata : perdarahan subconjungtiva (+/-) memar (+/-)

Hidung : deviasi (-), discharge (-)

Telinga : discharge (-)

o Leher

Inspeksi : pembesaran nnll (-), dextra (-)

Palpasi : nyeri (-)

Pemeriksaan Intraoral

Mukosa pipi : edema (-/-), hiperemis (-/-)

Mukosa palatum : edema (-/-), hiperemis (-/-)

Mukosa dasar mulut/ lidah : edema (-/-), hiperemis (-/-)

Mukosa pharynx : edema (-/-), hiperemis (-/-)

Ginggiva atas : edema (-/-), hiperemis (-/-)

Ginggiva bawah : edema (-/-), hiperemis (-/-)

Karang gigi : (-)

Pocket : (-)

Oklusi : maloklusi, open bite (+)

Palatum : Tidak ada kelainan

Supernumerary teeth : Tidak ada

Diastema : Tidak ada

Gigi anomali : Tidak ada

Keterangan

Gigi 11, 12, 21, 31, 32, 33, 31, 41, 42, 43 intrusi, avulsi

Gigi 2.2 missing tooth

b. Status Lokalis

Pemeriksaan Ekstraoral

Inspeksi : wajah asimetris, tampak jahitan di daerah mulut

Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar betah bening (-), bengkak (-)

Pemeriksaan Intraoral

Gigi 1.1 gigi tampak masuk ke dalam, mahkota tampak lebih panjang

Gigi 1.2 gigi tampak masuk ke dalam, mahkota tampak lebih panjang

Gigi 2.1 gigi tampak masuk ke dalam,, mahkota tampak lebih panjang

Gigi 2.2 gigi tampak menghilang

Gigi 3.1 gigi tampak masuk ke dalam, mahkota tampak lebih panjang

Gigi 3.2 gigi tampak masuk ke dalam, mahkota tampak lebih panjang

Gigi 3.3 gigi tampak masuk ke dalam, mahkota tampak lebih panjang

Gigi 4.1 gigi tampak masuk ke dalam, mahkota tampak lebih panjang

Gigi 4.2 gigi tampak masuk ke dalam, mahkota tampak lebih panjang

Gigi 4.3 gigi tampak masuk ke dalam, mahkota tampak lebih panjang

c. Status Dental

Gigi 11, 12, 21, 31, 32, 33, 31, 41, 42, 43

Inspeksi : tidak sejajar dengan lengkung gigi

Palpasi : (-)

Sondasi : (-)

Perkusi : (-)

Vitalitas : (-)

Mobilitas : (+), intrusi

Gigi 2.2

Inspeksi : sulit dinilai

Palpasi : sulit dinilai

Sondasi : sulit dinilai

Perkusi : sulit dinilai

Vitalitas : sulit dinilai

Mobilitas : sulit dinilai

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Panoramic X-Ray

3.5 Diagnosis Kerja

Fraktur Dentoalveolar maxilla dan mandibula

3.6 Initial Plan

Dx : S : -

O : Panoramic x-ray

Rx : rujuk ke spesialis bedah mulut

Mx : tanda nyeri, tanda vital

Ex :Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai diagnosis dan

menerangkan bahwa keluhan rahang yang patah harus ditatalaksana lebih lanjut

dengan cara operasi dan rujuk ke spesialis bedah mulut.

BAB III

PEMBAHASAN

Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi,

subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur

dentoalveolar dapat terjadi tanpa disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya,

biaasanya terjadi akibat kecelakaan ringan, seperti jatuh, benturan, berolahraga,

atau iatrogenik. Fraktur dentoalveolar diklasifikasikan menjadi tiga yaitu cedera

pada tulang pendukung, cedera pada jaringan periodontal, dan cedera pada

jaringan keras gigi dan pulpa.

Seorang laki-laki 30 tahun datang ke Poli Gigi Mulut RSDK dengan

keluhan rahang bengkak atas rujukan RS Soewondo Kendal. ± 4 hari SMRS

pasien mengalami kecelakaan motor, mekanisme kecelakaan tidak diketahui.

Pasien tidak menggunakan helm. Pingsan setelah kecelakaan (+) Mual (-) Muntah

(-). Pasien kemudian dibawa ke IGD RS Soewondo, dilakukan penjaitan di bagian

mulut dan dirawat inap selama 4 hari. Selama rawat inap, pasien diberikan infus

dan obat-obatan lewat infus. Selain itu, pasien melakukan foto gigi. Pasien tidak

dapat makan makanan padat, selama ini hanya minum saja, tetapi tidak dipasang

jalur makanan melalui hidung. Nyeri gigi belakang rahang atas bawah (+) hilang

timbul, gusi berdarah (-), nyeri gusi (-). Pasien tidak dapat mengatupkan gigi

maupun membuka mulutnya secara maksimal. Riwayat penyakit jantung,

hipertensi, diabetes mellitus, dan alergi obat disangkal. Riwayat keluarga

menderita penyakit seperti ini disangkal.

Pada pemeriksaan ekstraoral didapatkan asimetri wajah, tampak jahitan di

daerah mulut. Pada palpasi tidak ada pembesaran kelenjar betah bening dan tidak

bengkak. Pada periksaan intraoral tampak mahkota lebih panjang dan luksasi

derajat 3 pada gigi 11, 12, 21, 31, 32, 41, dan 42. Pada gigi 22 tampak gigi

menghilang (avulsi). Pada pemeriksaan juga didapatkan oklusi gigi yang

abnormal.

Pada pemeriksaan status dental…

Dari anamnesis, pemeriksaan status lokalis, dan pemeriksaan penunjang

berupa panoramic x-ray yang telah dilakukan didapatkan diagnosis fraktur

dentoalveolar rahang atas dan rahang bawah serta fraktur angulus mandibula.

Penatalaksanaan yang dilakukan adalah melakukan konsul ke bagian bedah mulut

untuk kemudian dilakukan operasi. Edukasi yang diberikan kepada pasien dan

keluarga adalah memberitahukan kepada pasien dan keluarga mengenai keadaan

dan diagnosis pasien dan juga pentingnya dilakukan operasi untuk

penatalaksanaan lanjut untuk menghindari komplikasi dan mengembalikan fungsi.

Untuk menegakkan diagnosis fraktur dentoalveolar diperlukan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan

adanya riwayat trauma pada bagian mulut. Pada pemeriksaan status lokalis

didapatkan tanda-tanda klinis fraktur alveolaris yaitu gigi goyang, pergeseran

beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada ginggiva, serta adanya luka atau

bengkak pada dagu. Tanda klinis lainnya adalah luka pada ginggiva dan hematom

diatasnya, serta adanya nyeri tekan pada garis fraktur. Fraktur alveolar bisa terjadi

karena adanya trauma tidak langsung pada gigi atau tulang pendukung yang

dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu. Hal ini bisa terlihat dengan

adanya pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada bibir. Pada pasien

ini didapatkan gelaja klinis yang sesuai dengan teori mengenani fraktur

dentoalveolar, maka didapatkan diagnosis fraktur dentoalveolar.

Penatalaksanaan yang seharusnya dilakukan pada saat mendapat pasien

dengan trauma maksilofasial yang harus dilakukan pertama kali adalah

penatalaksanaan trauma secara umum. Penatalaksanaan yang harus dilakukan

meliputi pembersihan jalan napas, baik dari serpihan gigi, darah, ataupun

hematom sublingual yang dapat menyumbat jalan napas. Hal lain yang harus

dilakukan adalah menghentikan perdarahan, memberikan terapi antibiotik

profilaksis, dan kontrol rasa nyeri. Pada pasien trauma maksilofasial yang tidak

dapat makan secara normal perlu diperhatikan mengenai intake nutrisinya.

Pada pasien ini kagawatdaruratan telah tertangani RS Kendal dan sekarang

pasien dalam keadaan stabil oleh karena itu penatalaksanaan kegawat daruratan

sudah tidak perlu dilakukan. Penatalaksanaan lanjut yang dilakukan adalah

konsultasi kepada bagian bedah mulut mengenai operasi untuk memperbaiki

fungsi dan mencegah komplikasi.

BAB IV

KESIMPULAN

Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi,

subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur

dentoalveolar diklasifikasikan menjadi tiga yaitu cedera pada tulang pendukung,

cedera pada jaringan periodontal, dan cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa.

Pada pasien ini didapatkan anamnesis, gejala klinis, dan gambaran radiologis

yang sesuai dengan teori mengenai fraktur dentolaveolar sehingga didapatkan

diagnosis fraktur dentolaveolar. Penatalaksanaan kegawatdaruratan telah

dilakukan, sehingga pasien sekarang dalam keadaan stabil. Penatalaksanaan yang

akan dilakukan selanjutnya adalah konsultasi kepada bagian bedah mulut untuk

operasi yang bertujuan menghindari komplikasi dan memperbaiki fungsi.

DAFTAR PUSTAKA

1. USU 9

2. Banks P, Brown A Fractures of The Facial Skeleton. Wright; 2001. P. 40 –

2, 72 – 9

3. Killey HC. Fractures of The Middle Third of The Facial Skeleton, Third

Edition. Bristol : Johhn Wright and sons Ltd, 1977

4. Selvi, Zakiah, Intan. Fraktur Dentoalveolar. 2014. Jatinangor : FKG

Universitas Padjajaran.

5. Namirah, Nurul. Prevalensi Fraktur Maksilofasial pada Kasus Kecelakaan

Lalu Lintas di RSUD Andi Makasau Kota Pare – Pare tahun 2013. 2014.

Makassar : FKG Universitas Hassanudin.