fraktur artikulasio
DESCRIPTION
Makalah Fraktur ArtikulasioTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan
umumnya dikarenakan ruda paksa (Mansjoer, 2008). Fraktur biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan
tulang, dan jaringan lunak sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Mansjoer, 2008).
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta
orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1,3 juta orang
mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi
cukup tinggi yaitu fraktur ekstremitas bawah sekitar 40% dari insiden kecelakaan
yang terjadi. Sekitar 25% fraktur pada distal radius merupakan fraktur yang
palingsering terjadi pada orang dewasa karea posisi jatuh dengan peregangan
pergelangan tangan dan karena adanya faktor osteoporosis yang sering diderita
wanita usia tua. Fraktur ini juga terhitung merupakan fraktur ekstremitas atas yang
diperkirakan 16% dari semua fraktur yang ada di unit gawat darurat dan75% dari
fraktur region antebrachii. Pada anak-anak fraktur radius ulna terhitung10-45% dari
semua fraktur pada pediatrik dan fraktur radius distal terhitung 75%-84% dari fraktur
lengan bawah .
Beberapa penyebab fraktur diantaranya cidera atau benturan, fakor patologik, dan
yang lainnya karena faktor beban. Selain itu fraktur akan bertambah dengan adanya
komplikasi yang berlanjut diantaranya syok, syndrome emboli lemak, syndrome
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, dan avaskuler nekrosis. Komplikasi lain
dalam waktu yang lama akan terjadi mal union, delay union, non union atau bahkan
pendarahan (Price, 2005).
Trauma arteri brakhialis adalah trauma pada pembuluh darah arteri yang bisa
disebabkan oleh trauma tembus atau trauma tumpul terhadap ekstremitas yang jika
tidak diketahui dan tidak dilakukan tindakan sedini mungkin akan mengakibatkan
1
hilangnya atau matinya ekstremitas tersebut atau bahkan bisa menyebabkan kematian
bagi pasien. Akhir akhir ini kejadian trauma vaskuler meningkat, hal ini disebabkan
oleh kecelakaan lalulintas, kekerasan dan penggunaan kateterisasi intra vaskuler.
Perkembangan yang pesat dari sektor transportasi saat ini memberikan kontribusi
yang sangat besar untuk timbulnya trauma vaskuler. Di Eropa dan diberbagai tempat
lain , penyebab terbanyak dari cedera vaskuler adalah akibat senjata api (Levy RM,
2008).
Cedera vaskuler pada ekstremitas atas merupakan sekitar 30-50% dari
keseluruhan trauma vaskuler. Lebih dari 80% disebabkan oleh trauma tembus. Yang
paling sering dilaporkan adalah cedera pada arteri brachialis. Cedera ini saja
memberikan kontribusi sekitar 15-30% dari semua cedera vaskuler, trauma pada
arteri axilaris memberikan kontribusi sekitar 5-10% dan arteri radialis serta ulnaris
menyumbang sekitar 5 – 30 % (Fields C E, 2002). Kematian dan kesakitan pada
pasien biasanya disebabkan oleh trauma penyerta lainnya. Penyebab terbanyak dari
kesakitan adalah cedera saraf bersamaan demikian juga cedera pada tulang dan vena.
Cedera pada saraf adalah penyebab terbanyak dari gangguan fungsi ekstremitas atas
(35% - 45%) (Levy RM, 2008).
Berbagai tindakan bisa dilakukan diantaranya rekognisi, reduksi, dan rehabilitasi.
Meskipun demikian masalah pasien fraktur tidak bisa berhenti sampai itu saja dan
akan berlanjut sampai tindakan setelah atau post operasi. Peran perawat sangat
penting dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien fraktur artikulasi cubitii
dengan trauma pada arteri brakhialis, sehingga sebagai seorang perawat ia perlu
mengetahui bagaimana penatalaksanaan fraktur artikulasi cubitii dengan trauma pada
arteri brakhialis serta pemberian asuhan keperawatan kepada pasien dengan fraktur
artikulasi cubitii dengan trauma pada arteri brakhialis.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan asuhan keperawatan pada
klien dengan fraktur artikulasi cubitii dengan trauma pada arteri brakhialis
2
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Memahami anatomi fisiologi tulang
2. Memahami definisi dari fraktur artikulasi cubitii dengan trauma pada arteri
brakhialis
3. Memahami etiologi terjadinya fraktur artikulasi cubitii dengan trauma pada
arteri brakhialis
4. Memahami patofisiologi dari fraktur artikulasi cubitii dengan trauma pada
arteri brakhialis
5. Memahami Web of Caution terjadinya fraktur artikulasi cubitii dengan
trauma pada arteri brakhialis
6. Memahami manifestasi klinis yang muncul pada klien dengan fraktur
artikulasi cubitii dengan trauma pada arteri brakhialis
7. Memahami komplikasi yang muncul pada klien dengan fraktur artikulasi
cubitii dengan trauma pada arteri brakhialis
8. Memahami pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk mendiagnosa
fraktur artikulasi cubitii dengan trauma pada arteri brakhialis
9. Menjelaskan penatalaksanaan pada klien dengan fraktur artikulasi cubitii
dengan trauma pada arteri brakhialis
10. Menjelaskan proses asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur artikulasi
cubitii dengan trauma pada arteri brakhialis
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sendi Siku (Art. Cubiti)
2.1.1 Tulang pembentuk sendi siku
Elbow atau siku dibentuk oleh tiga tulang yaitu distal humeri, proximal ulna
dan proximal radius (Helmi, 2012).
1. Os Humeru
Merupakan tulang terpanjang pada anggota gerak atas. Ujung atas os
humerus terdiri dari sebuah caput humeri yang membuat persendian dengan
rongga glenoidalis scapula dan merupakan bagian dari persendian bahu. Di
bagian bawah caput terdapat bagian yang ramping di sebut collum
anatomicum dan di sebelah luar terdapat tuberositas mayor serta bagian dalam
terdapat tuberositas minor. Di antara kedua tuberositas terdapat celah, yaitu
sulcus intertubercularis.
Pada Batang os humerus terdapat tuberositas deltoid, yaitu tempat
melekatnya insersio otot deltoideus. Disebelah dorsal dari tuberositas deltoid
terdapat sulcus yang membelit disebut sulcus nerve radialis.
Ujung bawah os humerus terdapat permukaan sendi yang berhubungan
dengan tulang lengan bawah. Trochlear yang terletak di sebelah sisi dalam
tempat persendian os ulna dan sisi luar terdapat caspitulum yang bersendian
dengan os radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah os humerus
terdapat dua epicondylus, yaitu epicondilus lateral dan medial.
2. Os Radius
Tulang radius terletak di sisi lateral pada lengan bawah. Merupakan
tulang yang lebih pendek di bandingkan dengan os ulna. Mempunyai sebuah
batang dan dua ujung atas, yaitu caput yang berbentuk kancing. Dibawah
terdapat sebuah tuberositas radii.
4
3. Os Ulna
Tulang ulna terletak di sisi medial pada lengan bawah yang terdiri atas
sebuah batang dan dua ujung. Ujung os ulna masuk dalam persendian siku
yang disebut processus olecranon. Processus ini menonjol keatas di sebelah
posterior dan masuk ke dalam fosa olecrani os humerus. Processus
coronoideus os ulna menonjol di depannya dan tempat masuk di dalam fosa
coronoid os humerus, bila siku di bengkokkan. Batang os ulna semakin ke
bawah semakin mengecil dan memberi kaitan pada otot yang mengendalikan
gerak sendi pergelangan tangan dan jari-jari. Ujung bawah os ulna terdiri dari
caput ulna yang bersendian dengan os radius dan processus styloideus yang
menonjol ke bawah.
2.1.2 Ligamentum Sendi Siku
Untuk menghubungkan tulang humerus dengan tulang ulna dan radius,
maka diperkuat oleh ligamentum-ligamentum yang terletak pada sendi siku.
Ligamen-ligamen itu terdiri dari :
1. Ligamen collateral ulnare yaitu ligamen yang bersal dari epicondylus medial
humerus dan memperkuat sendi humeroulnaris di sisi medial.
2. Ligamen collateral radial yaitu ligamen yang terbentang dari epicondylus
lateral humeri ke ligamen anular radii menuju os ulna. Memperkuat sendi
humeroradial di sisi lateral.
3. Ligamen anular radii yaitu ligamen yang bersama dengan ligamen collateral
radial menahan capitulum humeri pada tempatnya
2.1.3 Sistem Vaskularisasi
1. Arteri Brachialis
Arteri brachialis adalah pemasok arteri utama untuk lengan atas. Arteri
brachialis adalah lanjutan dari arteri axillaris, dimana arah perjalanan sesuai
dengan satu garis pemukaan ulnaris. Bagian proximal arteri brachialis di
sebelah medial dan otot-otot coracobrachialis serta cabang-cabangnya
member nutrisi pada otot-otot di sekitarny.
2. Vena Cephalica
5
Vena melintasi ke proksimal pada fescia superficialis, mengikuti tepi
lateral pergelangan tangan dan pada permukaan antero lateral lengan bawah
dan lengan atas. Disebelah proksimal vena cephalica melintasi antara
musculus deltoideus dan musculus pectoralis dan memasuki trigonum delto
pectrole, lalu bergabung dengan vena axilaris.
3. Vena Basilica.
Vena yang melintasi pada fascia superficialis disisi medialis lengan
bawah dan bagian distal lengan atas. Vena basilica lalu menembus fascia
superficialis dan melintasi ke dalam dan ke proksimal sampai lekuk ketiak
untuk bergabung dengan vena brachialis, membentuk vena axilaris.
4. Vena Media cubiti.
Vena ini merupakan pembuluh penghubung antara vena basilica dan
vena cephalica sebelah depan daerah fossacubiti.
2.1.4 Biomekanik Sendi Siku
Sendi siku terdiri atas 3 sendi yaitu : artikulasio humeroradial , artikulasio
humeroulnar dan artikulasio radioulnar.
1. Artikulasio Humeroradialis
Persendian ini di bentuk oleh capitulum humeri dan fovea capitulum
radii. Gerakan yang terjadi adalah fleksi dan ekstensi sendi siku, terjadi pada
bidang gerak sagital dengan axisnya frontal, serta mempunyai lingkup gerak
sendi 0-145°.
2. Artikulasio Humeroulnaris
Artikulasio Humeroulnar merupakan sendi berbentuk hinge ( engsel )
dengan trochlea humeri yang ovular bersendi dengan fossa trochlearis ulna.
Permukaan trochlea humeri menghadap kearah anterior dan bawah
membentuk sudut dari shaft humeri. Fossa trochlearis ulna menghadap ke
atas dan anterior membentuk sudut 45° dari ulna.
3. Artikulasio Radioulnar
Persendian ini dibentuk oleh head of radius dengan ulna. Sendi ini
bergerak secara simultan dengan proksimal radioulnar joint. Saat gerak
6
pronasi-supinasi, fossa ulnaris radii yang konkaf bergerak slide dalam arah
yang sama dengan gerak tulang.
2.2 Definisi
2.2.1 Fraktur Artikulasio Cubiti
Fraktur Artikulasio Cubiti adalah suatu kondisi terputusnya hubungan
tulang yang terdapat pada siku, baik intraartikuler maupun ekstraartikular,
termasuk fraktur interkondiler, suprakondiler, epikondiler, fraktur olekranon,
dan fraktur kondiler. Sementara fraktur intra artikuler termasuk fraktur
troklea, dan kapitelium, kepala radius, dan proksimal ulna (olekranon)
( Zairin,2012).
1. Fraktur Interkondiler
Fraktur interkondiler terjadi apabila tulang kondiler terpisah. Mekanisme
trauma yaitu pada saat tekanan pada siku posterior seperti jatuh dengan siku
tertekuk, mendorong olekranon terhadap permukaan artikuler humeri
sehingga memisahkan tulang kondilus (Helmi, 2012).
2. Fraktur Suprakondiler
Fraktur suprakondiler biasanya ditemukan pada anak-anak. Fragmen distal
dapat bergeser ke posterior atau anterior. Pergeseran posterior menunjukkan
cedera yang luas, biasanya akibat jatuh pada tangan terlentang. Humerus
patah tepat diatas kondilus. Fragmen distal terdesak kebelakang (karena
lengan bawah biasanya dalam posisi pronasi) dan terpuntir kedalam. Ujung
fragmen proksimal yang tajam kemungkinan akan merusak jaringan lunak
kebagian anterior dan mempunyai resiko mencederai arteri brakialis atau
saraf medianus. Fraktur suprakondiler mempunyai resiko kerusakan pada
vaskuler dan cedera pada saraf, sehingga memungkinkan pembengkakan
iskemia pada bagian lengan bawah (Helmi, 2012).
3. Fraktur Olekranon
Fraktur Olekranon adalah putusnya hubungan tulang ulna bagian atas yang
disebabkan oleh suatu traumadua jenis trauma yang ditemukan yaitu fraktur
kominutif akibat pukulan langsung atau jatuh pada siku dan patah melintang
7
bersih akibat traksi ketika penderita jatuh pada tangan saat otot trisep
berkontraksi. Fraktur memasuki sendi siku, oleh karena itu dapat juga
merusak kartilago artikular. Pada fragmen melintang, aponeurosis triseps
dapat tetap utuh, dalam hal ini fragmen – fragmen fraktur tetap bersama-
sama (Helmi, 2012).
2.2.2 Trauma Arteri Brakhialis
Pembuluh darah kecil dapat robek pada saat terjadi fraktur, tetapi hal ini
jarang terjadi pada pembuluh darah besar. Walaupun begitu komplikasi akibat
trauma dapat menyebabkan sekuele berupa oklusi arteri yang persisten. Arteri
besar mudah rusak oleh trauma yang disertai fraktur dan dislokasi. Trauma
arteri brakhialis biasanya terjadi pada fraktur humerus dan fraktur
suprakondiler humerus tipe ekstensi. Cedera pada arteri brakhialis adalah
cedera arteri ekstremitas atas yang paling sering terjadi. Hal ini disebabkan
karena arteri brakhialis relatif panjang, terletak superfisial dan terekspos
dibandingkan arteri perifer lain. Trauma pada arteri brakhialis biasanya
berasal dari tindakan iatrogenik dan luka tusuk, dan biasanya disertai dengan
fraktur humerus.(Pratama, 2010). Fraktur Artikulasio Cubiti dengan Trauma
Arteri Brakialis adalah Fraktur yang terjadi di sendi siku yang mana
menyebabkan terjadinya trauma atau cedera pada arteri brakialis.
2.2.3 Macam-macam Trauma Arteri Brakhialis
1. Terputusnya arteri
Suatu arteri besar dapat terputus secara total atau tidak total oleh fragmen
fraktur yang tajam dari dalam, terjadi secara tiba-tiba atau oleh benda yang
menyebabkan penetrasi di dalam jaringan yang berasal dari luar. Robekan
areteri yang total biasanya bereteraksi dan menghentikan perdarahan secara
spontan, sedangkan robekan yang tidak total cenderung menyebabkan
perdarahan sehingga ditemukan hematoma lokal dan sistemik. Robekan
areteri tidak total dapat mengakibatkan hematoma pulsasi.
8
2. Spasme arteri
Spasme menetap pada arteri yang disertai oklusi dapat terjadi akibat traksi
berat dan tiba-tiba pada arteri besar, pada saat fraktur atau pada waktu
pengobatan fraktur. Walaupun arteri tidak terputus, biasanya ditemukan
robekan pada intima yang menyebabkan trombosis. Spasme arteri sekunder
dapat memisahkan bagian proksimal dan distal arteri kolateral yang
mengakibatkan iskemik yang luas pada bagian distal.
3. Penekanan arteri
Penekanan arteri dapat disebabkan secara iatrogenik akibat lilitan gips atau
pembalut eksterna yang terlalu kuat dan pembengkakan progresif pada
permukaan dalam yang tertutup. Kadang-kadang suatu arteri besar dapat
terjerat dan tertekan diantara dua frakmen fraktur. Tanda dan gejala
penekanan arteri sama dengan tanda dan gejala kompartemen sindrom yaitu
pain, parestesia, pallor, pulselessness, paralisis.
4. Trombosis arteri
Selain trauma arteri yang menyebabkan oklusi persisten, dapat terjadi
sekuele berupa trombosis. Arterio sklerosis terjadi karena kerusakan akibat
trombosis arteri pasca trauma
2.3 Etiologi
Menurut Sachdeva 1996, penyebab fraktur siku dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
2.3.1 Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan. seperti jatuh dengan siku tertekuk Pemukulan
biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit di
atasnya.
2. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
pada sendi siku.
3. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
9
2.3.2 Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan
berikut :
1. Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif.
2. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan
kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat
yang rendah.
2.4 Manifestasi Klinis
2.4.1 Fraktur Artikulasi Cubiti
1. Luka luas yang berkeping-keping, patah tulang yang membentuk sendi siku
yakni humerus, ulna dan radius disertai dengan dislokasi sendi siku.
2. Nyeri, karena adanya lesi saraf perifer
3. Sulit meluruskan siku, karean adanya deformitas tulang siku.
4. Edema pada lokasi fraktur siku, terkadang bengkak hebat sekali akibat
pendarahan yang luas.
5. Ada gangguan pada sirkulasi perifer karena terjadi trauma arteri brakialis dan
lesi pada sel saraf tepi
6. Ekimosis
7. Nyeri tekan
8. Kelumpuhan pada satu atau lebih jari. Karena pada lesi nervus radialis
didapati ketidakmampuan untuk ekstensi ibu jari dan ekstensi jari yang lain
pada sendi metakarpofalangeal.
2.4.2 Trauma Arteri Brakhialis
Perdarahan eksterna suatu robekan arteri dapat terlihat secara jelas,
sedangkan perdarahan interna hanya berupa pembengkakan lokal yang
10
progresif. Gejala oklusi arteri yang total pada anggota gerak berupa kulit yang
pucat pada bagian distal, dingin, hilangnya denyu arteri dan bintik-bintik serta
warna hitam pada kulit yang menunjukkan adanya gangren.
Okluasi arteri dapat dideteksi dengan bantuan arteriografi. Okluasi
arteri yang tidak total misalnya pada penjepitan vena kompartemen dalam
fasia, menjepit arteri yang dalam tapi arteri superfisial tidak terjepit dan
menyebabkan iskemia saraf dan otot (iskemik volkman). Oleh karena itu,
iskemik volkman disertai nyeri dan iskemia otot, hilangnya sirkulasi perifer,
kulit dingin dan pucat, pembengkakan yang luas serta gangguan fungsi saraf
perifer berupa parastesia, hipestesia dan paralisis.
Gambaran klinis iskemik volkman berupa nyeri, hilangnya denyutan,
pucat, parastesia dan paralisis. Ketegangan pasif otot iskemik misalnya
ekstensi pasif jari-jari yang terlihat pada iskemia otot fleksor jari-jari yang
akan memperberat nyeri. Analgetik sebaiknya tidak diberikan pada nyeri
setelah reduksi fraktur karena dapat mengaburkan adanya iskemik volkman.
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Fraktur Artikulasi Cubiti
Menurut Zairin 2012. Ada dua mekanisme terjadinya fraktur siku yaitu:
1. Tipe ekstensi (sering terjadi pada 99% kasus)
Fraktur terjadi akibat injuri hiperekstensi (Outstreched hand) gaya
diteruskan melalui elbow joint sehingga terjadi fraktur proksimal terhadap
elbow joint. Fragmen ujung proksimal terdorong melalui periosteum sisi
anterior dimana terdapat muskulus brakialis, kearah arteri brakialis dan
nervus medianus. Fragmen ini menembus kulit sehingga terjadi frakture
terbuka dan terjadi trauma arteri brakialis
2. Tipe Fleksi (jarang terjadi)
Trauma terjadi akibat trauma langsung pada aspek posterior elbow
dengan posisi fleksi. Hal ini menyebabkan fragmen proksimal menembus
muskulus/tendon trisep dan kulit. Daerah suprakondiler humeri
merupakan daerah yang relative lemah pada ekstremitas atas. Pada daerah
11
ini terdapat titik lemah, dimana tulang humerus menjadi pipih disebabkan
adanya fossa olekranon dibagian posterior dan fossa koronoid. Dibagian
anterior sehingga mudah dimengerti bahwa daerah ini merupakan titik
lemah bila terdapat trauma didaerah siku. Terlebih pada anak-anak sering
terdapat fraktur didaerah ini.
Bila terdapat oklusi pada arteri brakialis dapat menimbulkan
komplikasi serius yang diebut dengan iskemia volkman’s. arteri brakialis
terperangakap dan mengalami perhentian aliran darah pada daerah
fraktur. Selanjutnya arteri brakialis sering mengalami kontusio dengan
atau tanpa dengan robekan intima.
2.5.2 Trauma Arteri Brakhialis
Daerah suprakondiler humeri merupakan daerah yang relatif lemah
pada ekstremitas atas. Pada daerah ini terdapat titik lemah, dimana tulang
humerus menjadi pipih disebabkan adanya fossa olecranon di bagian posterior
dan fossa coronoid di bagian anterior. Fraktur suprakondiler biasanya
ditemukan pada anak-anak. Fragmen distal dapat bergeser ke posterior atau ke
anterior. Pergeseran posterior menunjukkan cedera yang luas, biasanya akibat
jatuh pada tangan yang terentang. Humerus patah tepat di atas kondilus.
Fragmen distal terdesak ke belakang dan (karena lengan bawah biasanya
dalam posisi pronasi) terpluntir ke dalam. Ujung fragmen proksimal yang
tajam kemungkinan akan merusak jaringan lunak ke bagian anterior dan
mempunyai risiko mencederai arteri brakialis atau saraf.
Pergeseran anterior yang lebih jauh jarang terjadi, diperkirakan akibat
benturan langsung (misalnya, jatuh pada siku dalam keadaan fleksi). Fraktur
suprakondiler ini mempunyai risiko kerusakan vaskuler dan cedera saraf
sehingga memungkinkan pembengkakan iskemia pada bagian lengan bawah.
Bila terjadi oklusi pada arteri brakialis dapat menimbulkan komplikasi yang
disebut iskemia Volkmann’s. Arteri brakialis terperangkap dan mengalami
perhentian aliran darah pada daerah fraktur. Selanjutnya arteri brakialis sering
mengalami kontusio dengan atau tanpa robekan intima.
12
Kondisi klinis fraktur suprakondiler humerus menyebabkan kerusakan
neuromuskular dan neurovaskular sehingga menimbulkan keluhan klien
berupa nyeri, terputusnya hubungan tulang humerus menyebabkan hambatan
mobilitas fisik, kondisi prognosis penyakit menimbulkan respons psikologis
berupa ansietas. Intervensi medis reduksi tertutup dengan traksi tulang
olekranon menyebabkan risiko tinggi trauma dan tindakan pembedahan
menimbulkan keluhan nyeri pasca bedah, risiko infeksi, risiko tinggi trauma,
dan pemenuhan informasi.
13
2.6 WOC Fraktur Siku dengan Trauma Arteri Brakialis
14
Tertutupnya aliran darah
Penekanan Arteri
Fraktur Siku
Trauma tidak langsungTrauma langsung
Munculnya gejala 5P
RR Meningkat
Sesak
Penuruan suplai oksigen dalam darah
Penurunan produksi ATP
Penurunan Metabolisme
Iskemik
Hematoma subintima Arteri yang
terjerat dan tertekan oleh
fraktur
Perdarahan sulit dihentikan
Konstriksi dan retraksi kedua ujung arteri yang
terputus tidak bisa maksimal
Hematoma
PK : PerdarahanMK : Gg.
Mobilitas Fisik
Gg. Fungsi Tulang
Deformitas
Pergeseran fragmen tulang Merangsang mediator kimia (serotonin,
bradikinin, histamine, prostaglandin)
Spasme ArteriTerputusnya Arteri
Trauma Arteri Brachialis
15
Kemampuan menjalankan
aktivitas
1. Pain = MK : Nyeri2. Pulseless = MK : Gangguan Perfusi Jaringan3. Parastesi = MK : Resiko Cedera4. Pale5. Paralisis = MK : Resiko Cedera
Peningkatan Cardiac Output
Takikardi
Kompartemen Sindrom
MK : Anxietas
MK : Defisit Perawatan Diri
MK : Nyeri Akut
Korteks Serebri
Talamus
Merangsang Medulla Spinalis
Merangsang ujung saraf bebas
MK : Pola Nafas Inefektif
MK : Intoleransi Aktivitas
Kelemahan Fisik
MK : Gg. Perfusi Jaringan
Aliran darah jari terhambat
Aneuresma palsu
Pembentukan jaringan fribous di sekitar
hematoma
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
2.7.1 Anamnesis
1. Riwayat trauma
2. Pergerakan sendi siku
3. Ada keluhan nyeri
4. Anamnesa AMPLE meliputi; A (Alergi), M(Medikasi/obat-obatan), P
( Penyakit sebelumnya yang diderita), L (Last Meal/ terakhir makan jam
berapa), dan E (Event,yaitu hal-hal yang bersangkutan dengan sebab dari
cedera)
2.7.2 Pemeriksaan fisik
Berikut adalah temuan yang didapatkan pada pemeriksaan fisik
regional dislokasi posterior.
1. Look. Deformitas pada pergeseran posterior siku , terlihat terdorong ke
belakang. Ada edema pada lokasi fraktur,
2. Feel. Nyeri tekan pada siku
3. Move pada fase akut trauma, penderita akan mengalami ketidakmampuan
menggerakkan siku dan kelumpuhan pada satu atau lebih jari
2.7.3 Pemeriksaan penunjang
1. X-Ray
Dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment.
2. Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi.
3. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks
4. Laboratorium :
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit sering
rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila
kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P
mengikat di dalam darah.
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Penatalaksanaan Kedaruratan
16
Survei dan resusitasi primer. Intervensi pada survey dan resusitasi primer
prarumah sakit adalah sebgai berikut :
1. Lakukan pengelolaan standar
a. Periksa ABCDE dan lakukan terapi pada keadaan yang mengancam
b. Nyawa terlebih dahulu, hal ini dapat dimulai sebelum pemeriksaan
selesai.
c. Periksa dan dokumentasikan keadaan neurovaskuler sebelum
melakukan intervensi, termasuk memasang bidai
2. Monitor ketat TTV, GCS, dan akses vena
3. Observasi gangguan neurovaskuler
4. Periksa adanya resiko fraktur mulitiple
5. Pengelolaan respon nyeri
6. Untuk menurunkan nyeri, lakukan intervensi dengan pemasangan
gendongan bahu dan menganjurkan penderita untuk tidak melakukan
abduksi lengan. Apabila tidak ada kontraindikasi, analgestik narkotik
diberikan secara intravena
Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reposisi, imobilisasi dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi. Pada
undisplaced fracture hanya dilakukan elbow fleksi selama tiga minggu. Jika
pembengkakan tidak hebat dapat dicoba dilakukan reposisi dalam narkose
umum. Penderita tidur terlentang, dalam posisi ekstensi, operator menekuk
bagian distal, manarik lengan bagian bawah dengan siku pada posisi ekstensi,
sedangkan asisten menahan bagian proksimal, memegang lengan atas pada
ketiak pasien. setelah tereposisi, perlahan-lahan sambil tetap menarik lengan
bawah siku difleksikan sambil diraba arteri radialis. Gerakan fleksi
diteruskan sampai arteri radialis mulai tidak teraba, kemudian siku sedikit
diekstensi untuk memastikan arteri radialis teraba lagi.fleksi maksimal akan
menyebabkan tegangnya otot trisep dan ini akan mempertahankan reposisi
lengan baik. Dalam posisi ini dilakukan imobilisasi dengan gips spalk
(posterior splint).
Pemasangan gips dilakukan dengan lengan bawah dalam posisi pronasi
bila fragmen distal displaced ke medial dan dalam posisi supinasi bila
17
fragmen distal displaced kearah lateral. Bila reposisi berhasil, biasanya dalam
1 minggu perlu dibuat foto rongent control, karena dalam 1 minggu bengkak
akibat hematom dan odem telah berkurang dan menyebabkan kendurnya
gips, yang selanjutnya dapat menyebabkan terlepasnya reposisi yang telah
tercapai. Jika dengan pengontrolan radiologi hasilnya sangat baik gips dapat
dipertahankan selama 3 minggu. Setelah itu gips diganti dengan mitela
dengan maksud agar pasien dapat melatih gerakan fleksi ekstensi dalam
mitela. Umumnya penyembuhan fraktur ini berlangsung cepat dan tanpa
gangguan.
Evaluasi union sekitar 3-4 minggu untuk anak usia 4 tahun dan sekitar 4-
5 minggu untuk anak usia 8 tahun dengan pemeriksaan klinis dan radiologis.
Dengan meletakkan jari diatas tendon bisep kemudian dilakukan fleksi dan
ekstensi siku. Adanya spasme muskulus bisep menunjukkan siku belum siap
mobilisasi. Setelah melepas splints dilakukan latihan aktif dalam sling selama
beberapa bulan sampai rang of motion tercapai sesuai yang diharapkan .
Penatalaksanaan yang dilakukan untuk mengatasi trauma arteri brakialis
adalah dengan bedah vaskuler dengan dilakukan repair arteri . repair arteri
mengikuti urutan akses, eksposur, control dan repair. Control perdarahan
sementara dapat dilakukan dengan menggunakan penekanan jari-jari atau
balut tekan tidak dianjurkan menggunakan klem pada arteri karena bisa
mencederai organ sekitar seperti syaraf.
2.8.2 Penatalaksanaan Trauma Arteri Brakhialis
Oklusi pada arteri besar membutuhkan suatu operasi darurat dalam
beberapa jam sejak terjadinya trauma bersama-sama dengan iskemik yang
bersifat irreversibel. Komplikasi pada pembuluh darah membutuhkan
pengobatan yang segera. Urutan pengobatan diatur sebagai berikut :
1. Setiap penjepitan arteri akibat lilitan pembalut yang terlalu ketat harus
dibuka (pembalut jangan hanya dipotong)
2. Setiap distorsi pada fraktur anggota gerak atau posisi ekstrim dekat
persendiaan harus dikurangi
3. Bila fraktur diobati dengan traksi kontinu, seluruh traksi harus dikurangi
18
4. Jika gagal untuk memulihkan sirkulasi perifer yang adekuat dapat
dilakukan arteriografi darurat dan bila tidak ada kemajuan dalam 30 menit,
maka harus dilakukan eksplorasio arteri.
Pada operasi, jika arteri telah dibuka harus diperbaiki dengan melakukan
teknik jahitan langsung. Jika memungkinkan dapat dilakukan vena graft
autogenous dan protesis arteri. Jika arteri tertekan dan menyebabkan spasme
arteri, alirannya dapat diperbaiki. Trombus pada arteri harus dihilangkan dan
jika arteri mengalami memar atau robekan pada intima harus dilakukan
pemotongan pada pembuluh darah yang rusak dan dipulihkan dengan
gtekhnik jahitan langsung, graft vena atau protesis.
Spasme arteri yang persisten lebih sulit dihilangkan; jika aplikasi lokal
dengan papaverin hangat tidak mengurangi spasme, maka bagian yang
mengalami kontriksi dapat didilatasi dengan injeksi intra-arterial Nacl
fisiologis dari proksimal. Sebagian patogen, pemotongan dan pengikatan
ujung arteri serta kolarateralnya akan memulihkan sirkulasi distal terutama
pada anak-anak.
Setelah pengobatan komplikasi vaskuler, maka perlu dilakukan fiksasi
interna pada fraktur untuk mencegah pergerakan pada daerah arteri yang
mengalami trauma.
Penatalaksanaan Keperawatan
Pada Trauma arteri brakhialis, ada 2 keadaan yaitu
1. Arteri terputus sehingga terjadi perdarahan sehingga
pentalaksanaan yang harus dilaksanakan yaitu hentikan
perdarahannya.
2. Arteri terjepit yang disebabkan karena fragmen fraktur atau
pembebatan yang terlalu kuat sehingga penatalaksanaan yang perlu
dilakukan adalah
a) Obeservasi status Neurovaskuler, sensoris dan motoriknya.
b) Berikan edukasi kepada pasien dan juga keluarganya untuk
keamanan luka.
19
Pada penatalaksanaan nyeri adalah dengan kolaborasi dengan
dokter untuk pemberian analgesic/antinyeri. Anti nyeri ada 2 jenis
yaitu:
a) Sedative bisa menyebabkan terjadinya kontipasi sehingga
penatalaksanaa keperawatannya observasi BAB pasien.
b) Anti inflamasi NSAID bisa menyebabkan mual, dan perdarahan
lambung sehingga penatalaksanaan keperawatannya observasi
status pencernaannya.
c) Pada penalaksanaan luka post operasi lakukan perawatan luka
setiap hari karena resiko terjadi infeksi.
d) Hambatan mobilitas fisik pada pasien bisa dilakukan mobilisasi
sendi untuk mencegah terjadinya kekakuan sendi dengan ROM
aktif/pasif atau optimalkan pada sisi yang sehat.
2.8.3 Penatalaksanaan Medis
1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden
period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
a. Pembersihan luka
b. Exici
c. Hecting situasi
d. Antibiotik
2. Seluruh Fraktur
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur
20
(setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat
fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter
melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan
lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin
sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan
untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan
prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu
dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus
ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan
dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya
saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan,
sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat
immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk
penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui
apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi
dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan
aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat
pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang
gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi
terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat
fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau
batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang
21
dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini
dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang,
alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen
tulang.
c. OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu
dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction
and external fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang
baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi
fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa
penyembuhan fraktur. Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka
dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan
radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan
secara teratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan
fraktur bisa tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara
sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota
gerak; baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada
kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan)
d. ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal
fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur
tranvers.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction and
internal fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila
dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih baik dibanding yang bisa
dicapai dengan reduksi tertutup misalnya pada fraktur intra-artikuler,
pada fraktur terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi cepat, bila
diperlukan fiksasi rigid, dan sebagainya. Sedangkan reduksi terbuka
dengan fiksasi eksterna (OREF=open reduction and external fixation)
22
dilakukan pada fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang
membutuhkan perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan lunak, atau
debridemen ulang. Fiksasi eksternal juga dilakukan pada politrauma,
fraktur pada anak untuk menghindari fiksasi pin pada daerah lempeng
pertumbuhan, fraktur dengan infeksi atau pseudoarthrosis, fraktur
kominutif yang hebat, fraktur yang disertai defisit tulang, prosedur
pemanjangan ekstremitas, dan pada keadaan malunion dan nonunion
setelah fiksasi internal. Alat-alat yang digunakan berupa pin dan wire
(Schanz screw, Steinman pin, Kirschner wire) yang kemudian
dihubungkan dengan batang untuk fiksasi. Ada 3 macam fiksasi
eksternal yaitu monolateral/standar uniplanar, sirkuler/ring (Ilizarov dan
Taylor Spatial Frame), dan fiksator hybrid. Keuntungan fiksasi
eksternal adalah memberi fiksasi yang rigid sehingga tindakan seperti
skin graft/flap, bone graft, dan irigasi dapat dilakukan tanpa
mengganggu posisi fraktur. Selain itu, memungkinkan pengamatan
langsung mengenai kondisi luka, status neurovaskular, dan viabilitas
flap dalam masa penyembuhan fraktur. Kerugian tindakan ini adalah
mudah terjadi infeksi, dapat terjadi fraktur saat melepas fiksator, dan
kurang baik dari segi estetikPenanganan pascaoperatif meliputi
perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko
infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi.
Penderita diberi antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi dan
dilakukan kultur pus dan tes sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi
kalori tinggi protein untuk menunjang proses penyembuhan.Rawat luka
dilakukan setiap hari disertai nekrotomi untuk membuang jaringan
nekrotik yang dapat menjadi sumber infeksi. Pada kasus ini selama
follow-up ditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan tampak
nekrosis pada tibia sehingga direncanakan untuk debridemen ulang dan
osteotomi. Untuk pemantauan selanjutnya dilakukan pemeriksaan
radiologis foto femur dan cruris setelah reduksi dan imobilisasi untuk
menilai reposisi yang dilakukan berhasil atau tidak. Pemeriksaan
radiologis serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan
23
12 bulan sesudah operasi untuk melihat perkembangan fraktur. Selain
itu dilakukan pemeriksaan darah lengkap rutin
e. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar
sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan,
gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna.
Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
f. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler
(mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau,
dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan
neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol
dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi,
strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan
setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan
harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan
sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan
mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi
fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang
diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.
2.9 Komplikasi
1. Kekakuan sendi
24
Fisio terapi yang terlambat bisa menyebabkan kekakuan pada sendi siku
karena jarang digerakkan
2. Osteomielitis
Terjadi infeksi tulang karena staphylococcus yang disebarkan oleh darah,
efek trauma arteri brakialis yang tidak tertangani dengan baik (Henderson,
1997)
3. Kerusakan arteri brakilais .radialis, medianus dan ulnaris.
4. Delayed union
Delayed union artinya penyatuan yang tertunda, yaitu patah tulang yang
tidak menyatu dalam waktu 3-6 bulan, tidak terlihat ada pertumbuhan
tulang yang baru, kalaupun ada sangat sedikit, kalus (tulang muda) di
sekitar daerah patahan pun sangat kurang.
Ciri-ciri yang terlihat pada kasus delayed union yaitu :
a. nyeri pada saat berjalan
b. terdapat pembengkakan
c. nyeri pada saat ditekan di daerah patahan
d. tulang bertambah bengkok ( bisa bengkok, bisa tidak)
e. terdapat gerakan yang abnormal pada daerah patahan
5. Non union
Non union artinya tidak menyatu atau tidak ada penyatuan, non union
merupakan kasus lanjutan dari delayed union. Jadi, bila patah tulang tidak
menyatu dalam waktu 6-8 bulan dinamakan non union.
Penyebab delayed union dan non union :
a. terlalu banyak bergerak
b. kurangnya asupan nutrisi untuk tulang (protein, kalsium, magnesium
dan zat
c. mineral lainnya)
d. pernah jatuh atau terpeleset
6. Mal union
Tulang yang patah menyatu dalam waktu yang tepat (3-6 bulan) tetapi
tulangnya menjadi bengkok. Penyebabnya bisa karena terlalu banyak
bergerak, pernah terpeleset sehingga fragmen tulangnya bergeser, sering
25
duduk atau tidur dengan posisi yang tidak tepat, pengobatan dengan dipijit
(karena tidak dilihat langsung, posisinya kurang pas).
7. Komplikasi yang sering muncul adalah syok, yaitu keadaan berkurangnya
perfusi organ dan oksigenasi jaringan serta gangguan mekanisme
homeostatis.
a. Fase-fase syok
Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu (Komite
Medik, 2000):
1) Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa
sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk
menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan
melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak
dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang
vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi
dan menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi
meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di
daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak
dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan
peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau
aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara
regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan
tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga
menurun.
2) Fase Progresif/dekompensasi
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu
mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan
adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi
gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri
menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata,
gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme
menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel.
26
Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi
sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun.
Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan
tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat
menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati
intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular Coagulation).
Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat
vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia
jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan
bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut
memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung).
Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa
usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi
bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan.
Dapat timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim
retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga rusak.
Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari
aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik,
terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam
karbonat di jaringan.
3) Fase Irevesibel
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga
tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya
ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak
mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul
edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan
hiperkapnea.
Dari fase-fase tersebut maka tanda-tanda syok yang harus di observasi
adalah :
a. Tekanan darah rendah
b. Suhu tubuh rendah
27
c. Denyut nadi cepat
d. Lemah, akral dingin, dan kulit pucat
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus Semu
Nn. Z umur 25 tahun, tinggal di kota x, suku bangsa jawa, dan pendidikan SMA
datang ke RS setelah jatuh dari lantai 3. Nn. Z jatuh dengan posisi siku tertekuk
Nn.Z mengeluh nyeri di bagian lengan kiri bawah/siku. Lengan Nn.Z terlihat
edema, mengeluarkan banyak darah, ditemukan adanya luka terbuka sampai
terlihat bagian tulang yang fraktur. Pasien terlihat pucat. Karena keadaannya
pasien tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk perawatan diri. Nn. Z
terlihat cemas dan terus menanyakan tentang kondisinya kepada perawat. Dari
hasil pemeriksaan fisik didapatkan data TD 100/70 mmHg, RR 30x/menit, N
28
120x/menit, suhu 37,5°C. Dari pemeriksaan X-ray didapatkan fraktur
suprakondiler humeri.
3.1 Pengkajian
1. Anamnesa
1) Identitas
Nona Z umur 25 tahun, tinggal di kota x, suku bangsa jawa, pendidikan
SMA.
2) Keluhan Utama
Nyeri di lengan kiri
3) Riwayat penyakit saat ini
Pasien datang ke RS dengan keluhan nyeri dan perdarahan yang banyak
di lengan kiri. Nn.Z sebelumnya terjatuh dari lantai 3 dengan posisi siku
tertekuk. Nn.Z tidak bisa meluruskan siku tangan kirinya.
4) Riwayat penyakit dahulu
Sebelumnya pasien tidak pernah MRS
5) Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada riwayat penyakit dalam keluarga Nn.Z
6) Pengkajian bio-psiko-sosio-spiritual
Klien merasa cemas akan keadaannya
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pernafasan (B1)
RR 30x/menit ( normal=24x/menit), pergerakan dada simetris, tidak
ada sesak, tidak ada bunyi nafas tambahan
b. Kardiovaskuler (B2)
TD 100/80mmHg (normal 120/70mmHg), suhu badan 37,5°C
(N=37,5°C), Nadi 120x/menit (Normal 60-100x/menit), perdarahan di
bagian siku kiri, akral dingin, CRT > 2 detik
c. Persyarafan (B3)
Nyeri di daerah luka, konjungtiva anemis dengan Hb=8 gr/dL (N pada
wanita= 12-16 gr/dL), pusing
d. Perkemihan (B4)
-
29
e. Pencernaan (B5)
Tidak mual dan muntah.
f. Muskuloskeletal dan integument (B6)
Pasien terlihat pucat, lengan kiri edema, siku tangan kiri tidak bisa di
luruskan
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan X-ray didapatkan fraktur suprakondiler humeri.
b. Kadar Hb=8 gr/dL
3.2 Analisa Data
Data Etiologi MK
DS= pasien mengatakan
nyeri
P : nyeri bertambah
bila siku
digerakkan
Q : nyeri sedang
R : siku kiri
S : 6
T : nyeri dirasakan
terus menerus.
DO=berkeringat, RR
30x/menit, Nadi
120xmenit, pasien
terlihat merintih
Fraktur siku
Merangsang mediator kimia
(serotonin, bradikinin,
histamine, prostaglansin)
Merangsang ujung saraf
bebas
Merangsang medulla
spinalis
Thalamus
Korteks serebri
Nyeri akut
Nyeri
DS=pasien mengatakan
tidak bisa
melakukan
aktivitasnya sehari-
hari karena siku
Fraktur siku
Pergeseran fragmen tulang
Deformitas
Hambatan
mobilitas Fisik
30
tidak bisa
diluruskan dan
nyeri.
DO=keterbatasan ROM,
penurunan aktivitas
Gannguan muskuloskeletal
Hambatan mobilitas fisik
DS=pasien mengatakan
tidak bisa
melakukan aktivitas
sehari-hari termasuk
perawatan diri
DO=ketidakmampuan
dalam melakukan
perawatan diri
Fraktur siku
Deformitas
Kemampuan menjalankan
aktivitas
Defisit perawatan diri
Defisit perawatan
diri
DS=pasien mengatakan
khawatir akan
keadaannya.
DO=pasien terus
menanyakan
tentang keadaannya,
kontak mata kurang,
terlihat gelisah.
Trauma
Fraktur siku
Kurang pengetahuan
Anxietas
Anxietas
DS=pasien mengatakan
banyak keluar darah
setelah terjatuh.
DO=darah terus keluar
dari daerah luka, hb
8 gr/dL, pucat, nadi
120x/menit (cepat
dan lemah)
Fraktur siku
Trauma arteri brachialis
Terputusnya arteri
PK:perdarahan
PK perdarahan
3.3 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan
fragmen tulang
31
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal,
nyeri.
3. Defisit perawatan diri behubungan dengan kerusakan neuromuskuloskeletal.
4. Anxietas berhungan dengan perubahan status kesehatan, kurang pengetahuan.
5. PK perdarahan
3.4 Intervensi Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan
fragmen tulang
Tujuan : Dalam 3x24 jam nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : Skala nyeri berkurang (0-10), RR normal (20x/menit),
menunjukkan keterampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik.
No. Intervensi Rasional
1. Pertahankan imobilisasi pada
bagian yang nyeri.
Menghilangkan nyeri dan mencegah
kesalahan posisi tulang atau tegangan
jaringan yang ada.
2. Jelaskan prosedur sebelum
memulai setiap tindakan
Memungkinkan pasien untuk siap
secara mental untuk aktifitas dan
berpartispasi dalam mengontrol
ketidaknyaman.
3. Atur periode istirahat tanpa
terganggu
Tindakan ini meningkatkan
kesehatan, kesejahteraan, dan
peningkatan tingkat energi yang
penting untuk pengurangan nyeri.
4. Bantu pasien untuk
mendapatkan posisi yang
nyaman
Untuk menurunkan tegangan atau
spasme otot
5. Berikan alternative tindakan
kenyamanan seperti pijatan,
perubahan posisi
Meningkatkan sirkulasi umum,
menurunkan tekanan area local dan
kelelahan otot
6. Instruksikan dan anjurkan
pasien untuk menggunakan
aktivitas pengalihan atau
Untuk meningkatkan kualitas hidup
32
rekreasional dan tindakan
pengurangan nyeri non-invasif
7. Berikan kompres dingin sesuai
kebutuhan.
Menurunkan edema dan
pembentukkan hematom serta
menurunkan sensasi nyeri
8. Kolaborasi untuk pemberian
obat: narkotik dan analgesic
non-narkotik, NSAID injeksi
seperti ketorolak (toradol) dan
atau relaksan otot
siklobenzaprin (flekseril),
hidroksin (vistaril)
Diberikan untuk menurunkan nyeri
dan atau spasme otot. Toradol lebih
efektif untuk menghilangkan nyeri
tulang dengan masa kerja yang lama
dan efek samping yang sedikit
dibandingkan dengan agen narkotik.
9. Evaluasi keluhan nyeri atau
ketidaknyamanan, perhatikan
lokasi dan karakteristik
termasuk intensitas (skala 0-10)
dan petunjuk nyeri non-verbal
Mempengaruhi pilihan atau
pengawasan keefektifan intervensi.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal,
nyeri.
Tujuan : Dalam 3x24 jam terjadi perbaikan tingkat mobilitas fisik
Kriteria Hasil : meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada
tingkat optimal, mempertahanka posisi fungsional, meningkatkan kekuatan
atau fungsi yang sakit dengan mengkompensasi bagian tubuh
No Intervensi Rasional
1. Dorong pasien dalam
melakukan aktivitas
terapeutik. Pertahankan
rangsangan lingkungan.
Memberikan kesempatan untuk
mengeluarkan energi, memfokuskan
kembali perhatian, dan membantu
menurunkan isolasi sosial.
2. Lakukan latihan ROM untuk
sendi jika tidak merupakan
kontraindikasi, minimal satu
kali setiap pergatian tugas
Latihan ROM secara aktif dan pasif
dapat mencegah kontraktur sendi dan
atrofi otot.
33
jaga.
3. Ajarkan pada pasien dan
anggota keluarga tentang
latihan ROM dan program
mobilitas
Untuk memingkatkan kemandirian
pasien.
4. Bantu atau dorong perawatan
diri atau kebersihan (contoh
mandi, mencukur)
Meningkatkan kekuatan otot dan
sirkulasi, meningkatkan control pasien
dalam situasi.
5. Berikan bantuan dalam
melakukan mobilisasi
Mobilisasi dini menurunkan komplikasi
tirah baring dan meningkatkan
penyembuhan dan normalisasi fungsi
organ
6. Ubah posisi secara periodic Mencegah atau menurunkan insiden
komplikasi kulit
7. Berikan diet tinggi protein,
karbohidrat, vitamin dan
mineral
Pada cidera musculoskeletal, nutrisi
yang diperlukan untuk proses
penyembuhan
8. Monitoring TD dengan
melakukan aktivitas dan
perhatikan adanya keluhan
pusing
Hipotensi postural adalah masalah
umum yang menyertai tirah baring lama
dan dapat memerlukan intervensi
khusus
9. Kolaborasi dengan ahli terapi
fisik atau okupasi dan atau
rehalilitasi
Berguna dalam membuat aktivitas
individu atau program latihan dan
membantu program rehabilitasi deficit
musculoskeletal
3. Defisit perawatan diri behubungan dengan kerusakan neuromuskuloskeletal.
Tujuan : Dalam 2x24 jm perawatan diri terpenuhi
Kriteria Hasil : melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan
sendiri, mengidentifikasi sumber pribadi atau komunitas memberikan bantuan
sesuai kebutuhan.
No Intervensi Rasional
1. Berikan waktu yang cukup untuk Ketergesa-gesaan menimbulkan
34
untuk pasien melakukan perawatan
diri
stress yang tidak seharusnya
terjadi dan meningkatkan
kegagalan
2. Beri privasi pada pasien Untuk meningkatkan harga diri
3. Pantau pelaksanaan kegiatan
perawatan diri setiap hari dan
berikan pujian
Penguatan dan penghargaan akan
mendorong pasien untuk terus
berusaha melakukan aktivitas
sehari-hari dan menyelasaikannya.
4. Dorong pasien untuk mencapai
tujuan program perawatan diri,
berikan umpan balik yang positif
Penguatan dan penghargaan dapat
mendorong pasien untuk terus
berusaha dalam aktivitas
pemenuhan perawatan diri sehari-
hari
5. Ajarkan pasien cara-cara
melakukan perawatan diri (mandi,
hygiene, toileting dan berhias),
gunakan instruksi yang sederhana
Agar mudah di mengerti
6. Bantu pasien dalam melakukan
perawatan diri sesuai dengan
kebutuhan. Misalnya membantu
pasien dalam berpakaian dan
berhias setiap hari:memakai baju,
mengancingkan baju, menyisir
rambut, membersihkan kuku.
Berikan bantuan hanya jika pasien
mengalami kesulitan
Untuk mendorong kemandirian
dan kepercayaan diri serta
meningkatkan kemandirian pasien
dalam melakukan perawatan diri
sehari-hari.
7. Memberikan kesempatan pasien
untuk melakukan kegiatan
eliminasi, hygiene, makan dan
berhias secara mandiri semaksimal
mungkin dan berikan bantuan bila
perlu.
Untuk menimbulkan rasa percaya
diri
35
8. Lakukan perawatan berkemih atau
defekasi bila perlu.
Pemantauan keberhasilan atau
kegagalan rencana eliminasi dapat
membantu mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah
9. Berikan alat bantu sesuai dengan
keperluan pasien
Untuk meingkatkan kemandirian
pasien dalam aktivitas pemenuhan
perawatan diri
10. Ajarkan anggota keluarga untuk
menyediakan pakaian yang mudah
dikenakan oleh pasien. Pakaian
yang berukuran sedikit lebih besar
daripada biasanya dan
menggunakan perekat Velcro dapat
membantu.
Pakaian tersebut lebih mudah
dikenakan secara mandiri oleh
pasien
4. Anxietas berhungan dengan perubahan status kesehatan, kurang pengetahuan
Tujuan : Dalam 2x24 jam ansietas berkurang
Kriteria Hasil : pasien tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang
sampai dapat ditangani, mengakui dan mendiskusikan rasa takut, menunjukkan
rentang perasaan yang tepat.
No Intervensi Rasional
1. Dorong pasien untuk
mengekspresikan ketakutan
yang dirasakannya
Mendefinisikan masalah dan pengaruh
pilihan intervensi.
2. Dorong pasien untuk
mendiskusikan masalah
sehubungan dengan cidera
Membantu untuk menghilangkan
ansietas. Berbagai informasi
membentuk dukungan dan
kenyamanan dan dapat menghilangkan
ketegangan
3. Jelaskan setiap prosedur yang
akan dilakukan
Menurunkan rasa cemas dan takut
terhadap kondisinya
4. Orientasikan pasien atau orang
terdekat terhadap peningkatan
Perkiraan dan informasi dapat
menurunkan kecemasan pasien
36
aktivitas yang diharapkan
5. Dorong kemandirian dan
perawatan sendiri dalam
rencana pengobatan
Peningkatan kemadirian dapat
meningkatkan keprcayaan diri
6. Beri privasi pasien dan orang
terdekat
Memungkinkan waktu untuk
mengekspresikan perasaan,
meghilangkan cemas.
7. Libatkan pasien atau orang
terdekat dalam rencana
perawatan dan dorong
partisipasi maksimum pada
rencana pengobatan
Keterlibatan akan membantu
mefokuskan perhatian pasien dalam
arti positif.
8. Evaluasi respon fisik terhadap
kecemasan, seperti palpitasi,
takikardi, gerakan berulang dan
gelisah
Membantu menurunkan derajat
kecemasan dan evaluasi respon verbal
dan non-verbal
5. PK Perdarahan
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam perdarahan dapat dihentikan.
Kriteria hasil : Klien tidak mengeluh pusing, membran mukosa lembab, turgor
kulit normal, TTV dalam batas normal (TD 120/80mmHg, N 60-100x/menit, RR
24x/menit, Suhu 37,5°C), CRT < 3 detik.
No Intervensi Rasional
1. Memberikan posisi lebih tinggi
dari jantung pada bagian yang
mengalami cidera.
Bertujuan untuk menurunka aliran darah
menuju daerah yang mengalami cidera.
2. Imobilisasi pada bagian tubuh
yang mengalami cidera.
Bertujuan untuk meminimalkan gerakan
anggota tubuh yang mengalami cidera,
diharapkan aliran darah ke bagian yang
cidera tersebut menurun.
37
3. Berian cairan melalui intravena. Jalur yang paten penting untuk pemberian
cairan cepat dan memudahkan perawat
dalam melakukan kontrol asupan dan
haluaran cairan.
4. Kolaborasi untuk pemberian
transfuse darah
Membantu memenuhi kebutuhan darah
dalam tubuh dan meningkatkan perfusi
jaringan sehingga dapat mencegah
terjadinya shock.
5. Kolaborasi pemberian koagulan Koagulan dapat membantu dalam proses
pembekuan darah.
6. Monitoring TTV setiap 4 jam Untuk mengetahui kondisi klinis pasien
7. Monitoring hasil Laboratorium
darah terutama trombosit, Hct,
Hb
Trombosit sebagai indicator pembekuan
darah.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan ada luka bekas operasi pada pasien
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil : Tidak ada tanda- tanda infeksi seperti merah pada luka operasi,
bengkak
Tidak ada peningkatan suhu, TTV dalam batas normal (TD 120/80mmHg, N 60-
100x/menit, RR 24x/menit, Suhu 37,5°
No Intervensi Rasional
1 Lakukan rawat luka setiap hari Untuk mencegah terjadinya infeksi
2. Kolaborasi pemberian antibiotik Untuk mencegah tumbuhnya kuman
yang bisa menyebjabkan infeksi
3. Kaji respon pasien terhadap
pemberian antibiotik
Untuk mengevaluasi pemberian
antibiotic, ada respon baik atau
buruk
4. Pantau adanya tanda-tanda
infeksi
Untuk mendeteksi apakah ada tanda-
tanda infeksi
5. Pantau luka operasi dan cairan
yang keluar dari luka
Untuk senantiasa waspada supaya
tidak terjadi infeksi.
38
AB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Fraktur Artikulasio Cubiti adalah suatu kondisi terputusnya hubungan
tulang yang terdapat pada siku, baik intraartikuler maupun ekstraartikular,
termasuk fraktur interkondiler, suprakondiler, epikondiler, fraktur
olekranon, dan fraktur kondiler. Sementara fraktur intra artikuler termasuk
fraktur troklea, dan kapitelium, kepala radius, dan proksimal ulna
(olekranon) ( Zairin,2012). Trauma Arteri Brakhialis adalah pembuluh
darah kecil dapat robek pada saat terjadi fraktur, tetapi hal ini jarang
terjadi pada pembuluh darah besar. Walaupun begitu komplikasi akibat
trauma dapat menyebabkan sekuele berupa oklusi arteri yang persisten.
Arteri besar mudah rusak oleh trauma yang disertai fraktur dan dislokasi.
Trauma arteri brakhialis biasanya terjadi pada fraktur humerus dan fraktur
suprakondiler humerus tipe ekstensi.
4.2 Saran
Perawat mampu menangani fraktur Artikulasio Cubiti dan Trauma
Arteri Brakhialis secara tepat atau cepat sehingga tidak menimbulkan
komplikasi yang akan memperburuk keadaan penderita. Lalu perawat juga
perlu memperhatikan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam
menangani pasien dengan kasus fraktur Artikulasio Cubiti dan Trauma
Arteri Brakhialis. Pasien harus mendapatkan pertolongan sesegera
mungkin. Untuk itu dibutuhkan perawat yang tanggap dalam menangani
pasien dengan Artikulasio Cubiti dan Trauma Arteri Brakhialis.
39
DAFTAR PUSTAKA
Apley, Graham .1995. Buku Ajar Ortopedi Dsn Fraktur Sistem Apley, Edisi
Ketujuh. Jakarta: Widya Medika.
Doenges, M. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
C E ., Latifi RI, Ivatury R R (2002). “Brachial and Forearm vessel Injuries :
Vascular Trauma Complex and Challenging Injuries Part II”. Surg
Clin of North Am Vol. 82 (Hlm.105 – 114).
Helmi, Zairin Noor. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeltal.
Jakarta: Salemba Medika
Helmi, ZN. 2012. Buku Saku Kedaruratan di Bidang Bedah Ortopedi.
Jakarta: Salemba Medika
Herdman, T. Heather.2009.Nursing Diagnoses : Definitions and
Classification 2009-2011.USA : Wiley-Blackwell.
Mark A, Thomas. 2011. Terapi dan Rehabilitasi Fraktur. Jakarta:
EGC
Levy RM ., Alarcon RH, Frykberg ER (2008).”Peripheral Vascular Injuries :
Trauma manual”. The Trauma and Acute Care Surgery 3 rd Edition.
Lippincott William & Wilkins.
Mansjoer, A. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisis 3. Jakarta:
Media Aesculapius
Pratama, PD. 2010. Trauma Vaskuler Extremitas Atas.Laporan Kasus.
12 Oktober 2010
40
Taylor, C.M. 2011. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan ed. 10.
Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wilkinson, J. M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kreteria Hasil NOC ed. 7. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran
EGC
41