fitokimia lanjutan gietha fix

71
HALAMAN PENGESAHAN Laporan Lengkap ini disusun sebagai salah satu syarat penilaian praktikum Fitokimia Lanjutan dan untuk mengikuti ujian Praktikum Fitokimia Lanjutan semester VI (enam) Tahun 2013/2014. Asisten I Asisten II Asisten III Muh. Nofar Lembah Apriyanti Anastasia Alfred Trisakti G 701 09 003 G 701 09 021 G 701 09 037 Asisten IV Deniarta Lakengke G 701 09 042 Mengetahui 1

Upload: gietha-naurandini-pasaribu

Post on 01-Dec-2015

331 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

fito lanjutan

TRANSCRIPT

Page 1: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Lengkap ini disusun sebagai salah satu syarat penilaian praktikum

Fitokimia Lanjutan dan untuk mengikuti ujian Praktikum Fitokimia Lanjutan

semester VI (enam) Tahun 2013/2014.

Asisten I Asisten II Asisten III

Muh. Nofar Lembah Apriyanti Anastasia Alfred Trisakti

G 701 09 003 G 701 09 021 G 701 09 037

Asisten IV

Deniarta Lakengke

G 701 09 042

Mengetahui

Penanggung jawab Praktikum Koordinator Praktikum

Syariful Anam, S.Si., M.Si., Apt. Deniarta Lakengke

NIP.1980 02 26 2005 01 1 001 NIM G 701 09 042

1

Page 2: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

kasih dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Lengkap

Praktikum Fitokimia ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

dalam menyelesaikan penulisan Laporan Lengkap Fitokimia ini baik keluarga, teman-

teman dan terutama kepada para asisten yang telah membimbing penulis selama

proses prakikum dan penyusunan laporan.

Penulis berharap, laporan ini dapat memberikan manfaat berupa tambahan

pengetahuan bagi para pembacanya. Dan saran serta kritik yang membangun sangat

diharapakan guna perbaikan dan kesempurnaan laporan ini. Akhirnya, dengan segala

kerendahan hati, penulis mempersembahkan laporan yang sangat sederhana ini.

Palu, Juni 2013

Penulis

2

Page 3: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………….1

KATA PENGANTAR……………………………………………………………….2

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………3

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang…………………………………………………..5

I.2 Rumusan Masalah……………………………………………….7

I.3 Maksud Percobaan………………………………………………7

I.4 Tujuan Percobaan………………………………………………..8

I.5 Prinsip Percobaan………………………………………………..8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Uraian Bahan………………………………………………..…10

II.1.1 Klasifikasi………………………………………….......13

II.1.2 Morfologi……………………………………………....13

II.1.3 Nama Daerah…………………………………………...14

II.1.4 Kandungan Kimia……………………………………...14

II.1.5 Kegunaan………………………………………………14

II.2 Metode Ekstraksi……………………………………………….15

II.2.1 MaserasiII.3 Ekstraksi Cair-Cair…………………………………………..…16

II.4 Kromatografi…………………………………………………...17

II.4.1 Kromatografi Kolom…………………………………….18

II.4.2 Kromatografi Vakum Cair………………………………21

II.4.3 Kromatografi Lapis Tipis………………………………..24

II.4.4 KLT Preparatif………………………………………......25

BAB III METODOLOGI KERJA

III.1 Waktu Dan Tempat…………………………………………….28

III.2  Alat dan Bahan……………………………………………...…28

3

Page 4: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

III.3 Prosedur Kerja………………………………………………….30

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Praktikum………………………………………………..34

IV.2 Pembahasan……………………………………………………37

BAB V PENUTUP

V.1 Kesimpulan…………………………………………………….41

V.2 Saran………………………………………………………...…42

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...43

LAMPIRAN

- Surat bebas laboratorium………………………………………………….44

- Semua laporan Fitokimia Lanjutan

BIOGRAFI…………………………………………………………………………45

4

Page 5: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang melimpah.

Hampir segala jenis tumbuhan dapat tumbuh di wilayah negara ini. Sebagian

besar sudah dimanfaatkan sejak nenek moyang kita untuk mengobati berbagai

penyakit. Tumbuhan-tumbuhan tersebut dalam penggunaannya dikenal dengan

obat tradisional (Anonim, 2011).

Masyarakat Indonesia ini biasanya menggunakan obat-obatan tradisional

yang umumnya berasal dari tumbuhan untuk mencegah dari serangan penyakit

atau mengobati penyakit. Aplikasi dari obat-obatan ini bisa dengan cara

meminum ekstrak air dari tanaman tersebut atau meletakkan simplisia yang sudah

ditumbuk halus pada daerah di tubuh yang sakit. Kurangnya informasi ilmiah

mengenai komponen-kompenen kimia yang terdapat dalam tanaman untuk obat

tradisional ini mengakibatkan nilai ekonomi dari tanaman-tanaman ini sangat

rendah. Selain itu penggunaannya yang biasanya menggunakan dosis sembarang

bisa mengakibatkan efek yang tidak diinginkan. Penggunaan obat tradisional

dalam pengobatan secara umum dinilai lebih aman daripada pengobatan modern.

Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif

lebih sedikit daripada obat modern. Situasi ini yang mendorong penulis untuk

meneliti tanaman yang sudah dikenal baik oleh masyarakat sebagai obat

tradisional (Anonim, 2011).

Salah satu bahan alam yang dapat digunakan untuk pengobatan

tradisional adalah sambiloto. Di Indonesia sendiri tanaman ini sudah sering

digunakan dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat di daerah tertentu.

Berdasarkan informasi tersebut, sangat perlu untuk melakukan ekstraksi dan

identifikasi kandungan kimia dari sambiloto yang bertujuan untuk mendapatkan

isolat-isolat suatu senyawa atau kumpulan senyawa sehingga dapat mempermudah

5

Page 6: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

untuk melakukan identifikasi senyawa-senyawa yang terkandung dalam tumbuhan,

sehingga diketahui senyawa apa yang bertanggungjawab dalam aksi farmakologi

tumbuhan sambiloto ini.

Metode-metode yang digunakan dalam mendapatkan senyawa aktif dari

suatu tanaman yaitu dimulai dari ekstraksi, partisi, isolasi, pemurnian, dan

identifikasi. Salah satu cara yang paling sering dilakukan dalam metode-metode di

atas adalah kromatografi. Berbagai metode kromatografi memberikan cara

pemisahan paling kuat di laboratorium. Metode kromatografi dipilih karena

pemanfaatannya yang leluasa, dipakai secara luas untuk pemisahan analitik dan

preparatif. Biasanya, kromatografi analitik dipakai pada tahap permulaan untuk

semua cuplikan, dan kromatografi preparatif hanya dilakukan jika diperlukan

fraksi murni dari campuran. Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan

cara mengotak-atik langsung beberapa sifat fisika umum dari molekul.

Dalam bidang farmasi, kromatografi memiliki banyak manfaat, seperti

pemurnian protein, pemisahan molekul-molekul penting seperti asam nukleat,

karbohidrat, lemak, vitamin dan molekul penting lainnya, peningkatan mutu obat,

pengontrol kondisi obat, penemuan produk obat baru, dan pemeriksaan kesehatan

dari fluida tubuh (darah, urin, air liur).

Oleh karena itu, untuk lebih memperjelas tahap-tahap pengolahan diatas

maka dilakukanlah praktikum ini untuk memperoleh dan mengetahui zat

berkhasiat yang ada dalam tanaman tersebut dengan menggunakan metode yang

telah disebutkan sebelumnya.

6

Page 7: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

I.2 Rumusan Masalah

a. Percobaan I

Bagaimana cara pemisahan metode partisi suatu simplisia dengan

menggunakan corong pisah?

b. Perconaan II

Bagaimana cara mengorientasi eluen?

c. Percobaan III

Bagaimana cara penggunaan kolom konvensional dalam metode isolasi

komponen bahan alam?

d. Percobaan IV

Bagaimana cara mendapatkan senyawa-senyawa metabolit sekunder malalui

metode isolasi menggunakan VC (Vacum Cair)?

e. Percobaan V

Bagaimana cara isolasi dengan KLT Preparatif?

I.3 Maksud Percobaan

a. Percobaan I

Mengetahui cara pemisahan metode partisi suatu simplisia dengan

menggunakan corong pisah.

b. Percobaan II

Mengetahui berbagai cara orientasi eluen.

c. Percobaan III

Menentukan cara penggunaan kolom konvensional dalam metode isolasi

komponen bahan alam.

d. Percobaan IV

Mengetahui dan memahami cara mendapatkan senyawa-senyawa metabolit

sekunder melalui metode isolasi menggunakan VC (Vacum Cair).

e. Percobaan V

Menentukan cara isolasi dengan KLT Preparatif.

7

Page 8: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

I.4 Tujuan Percobaan

a. Percobaan I

Memahami cara pemisahan metode partisi suatu simplisia dengan

menggunakan corong pisah.

b. Percobaan II

Memahami cara orientasi eluen .

c. Percobaan III

Mengetahui dan memahami cara penggunaan kolom konvensional dalam

metode isolasi komponen bahan alam.

d. Percobaan IV

Mendapatkan senyawa-senyawa metabolit sekunder malalui metode isolasi

menggunakan VC (Vacum Cair).

e. Percobaan V

Mengetahui dan memahami cara isolasi dengan KLT Preparatif.

I.5 Prinsip Percobaan

a. Percobaan I

Pemisahan komponen dari suatu campuran dengan menggunakan suatu

pelarut yaitu n-heksan dan etil asetat, dimana zat terlarut (solut) yakni ekstrak

daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees) terdistribusi diantara kedua

lapisan (organik dan air) berdasarkan kelarutan relatifnya.Hasil pemisahannya

di uapkan.

b. Percobaan II

Penotolan ekstrak n-heksan dan etilasetat dengan menggunakan beberapa

perbandingan eluen yakni n-heksan:etilasetat (5:1, 3:1, 1:1, dan 1:5) dengan

melihat tampakan noda pada lempeng dan nilai Rf yang dihasilkan yang akan

menunjukkan pemilihan eluen yang baik.

8

Page 9: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

c. Percobaan III

Pemisahan komponen secara kolom konvensional dilakukan dalam suatu

kolom yang diisi dengan fase stasioner (diam) berupa serbuk silika yang

dimampatkan pada kolom yang terlebih dahulu dimasukkan kapas untuk

mencegah silikanya turun, dan digunakan kertas saring agar proses partisi

dapat berjalan baik dan lebih selektif karena lewat pori-pori sedangkan

sebagai fase mobile (gerak) adalah cairan (pereaksi) yakni eluen n-heksan; n-

heksan:etilasetat (20:1, 15:1, 10:1, 5:1, 3:1, 1:1), etil asetat,

etilasetat:methanol (1:1), dan metanol sebanyak 10 ml,penggunaan

perbandingan eluen tertentu berguna untuk mempartisi ekstrak dan

digunakan dari yang paling nonpolar lalu paling polar agar proses pemisahan

lebih baik dan dibantu dengan bantuan gaya gravitasi. Hasil fraksinya

ditampung pada botol vial kemudian diuapkan dan di KLT.

d. Percobaan IV

Pemisahan komponen secara kromatografi vakum cair yang didasarkan atas

adsorpsi atau serapan, sedangkan pemisahannya didasarkan pada senyawa-

senyawa yang akan dipisahkan terdistribusi diantara fase diam dan fase gerak

dalam perbandingan yang berbeda-beda yakni n-heksan, n-heksan:etilasetat

(25:1, 20:1, 15:1, 10:1, 5:1, 3:1, 1:1), etil asetat, etilasetat:metanol (1:1), dan

metanol sebanyak 50 ml. menggunakan alat bantu yang berupa pompa vakum

untuk mempercepat laju alir fase gerak selama proses pemindahan zat terlarut.

Hasil fraksinya ditampung pada gelas kimia kemudian diuapkan dan di KLT.

e. Percobaan V

Pemisahan komponen kimia berdasarkan prinsip partisi dan adsorpsi secara

selektif karena adanya perbedaan daya serap terhadap adsorben dan kelarutan

komponen kimia terhadap cairan pengelusidan cara penotolan cuplikan yang

berkesinambungan yang memberikan hasil elusi berupa pita.

9

Page 10: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Uraian Bahan

1. Air suling (FI III hal.96)

Nama resmi : AQUA DESTILLATA

Nama lain : Air suling / Aquadest

Pemerian : cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak

mempunyai rasa

Kelarutan : -

Kegunaan : sebagai pelarut

Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik

2. Etil asetat (FI III hal.673)

Nama resmi : ETHYLIS ACETICUM

Nama lain : Etil asetat

Pemerian : cairan, tidak berwarna, bau khas

Kelarutan : larut dalam 15 bagian air, dapat bercampur dengan

etanol (95%) P dan dengan eter P

Kegunaan : sebagai Eluen

Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat

3. Etanol (FI III, hal. 65)

Nama resmi : AETHANOLUM

Nama lain : alkohol / etanol

Pemerian : cairan tidakberwarna, jernih, mudah menguap dan

mudah bergerak, bau khas, rasa panas. Mudah terbakar

dengan memberikan nyala biru yang tidak berasap

Kelarutan : sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan

eter P

Kegunaan : sebagai pelarut dan eluen

10

Page 11: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya,

ditempat sejuk, jauh dari nyala api

4. Asam sulfat (FI III, hal. 653)

Nama resmi : ACIDUM SULFURICUM

Nama lain : asam sulfat

RM : H2SO4

BM : 98,07

Pemerian : cairan kental seperti minyak, korosif, tidak berwarna,

jika ditambahkan dalam air menimbulkan panas

Kelarutan : -

Kegunaan : pereaksi semprot

Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat

5. N-heksan (FI IV, hal.1159)

Nama resmi : PETROLEUM BENZIN

Nama lain : petroleum eter P / n-heksana

RM : C6H14

BM : 86,18

Pemerian : cairan jernih, mudah menguap, berbau seperti eter

lemah atau bau seperti petroleum

Kelarutan : praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol

mutlak, dapat bercampur dengan eter, dengan

kloroform, dengan benzena dan dengan sebagian besar

minyak lemak dan minyak atsiri

Kegunaan : sebagai eluen

Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, di tempat sejuk dan

jauhkan dari nyala api

11

Page 12: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

6. Eter (FI III, hal. 66)

Nama resmi : AETHER

Nama lain : Etoksietana / eter

RM : C4H10O

BM : 74,12

Pemerian : cairan transparan, tidak berwarna, bau khas, rasa

manis dan membakar. Sangat mudah menguap, sangat

mudah terbakar, campuran uapnya dengan oksigen,

udara atau dinitrogenoksida pada kadar tertentu dapat

meledak.

Kelarutan : larut dalam 10 bagian air, dapat campur dengan etanol

(95%) P, dengan kloroform P, dengan minyak lemak

dan dengan minyak atsiri.

Kegunaan : sebagai pelarut

Penyimpanan : dalam wadah kering tertutup rapat, terlindung dari

cahaya, ditempat sejuk.

7. Kloroform (FI III, hal.151)

Nama resmi : CHLOROFORMUM

Nama lain : kloroform

RM : CHCL3

BM : 119,38

Pemerian : cairan, mudah menguap, tidak berwarna, bau khas,

rasa manis dan membakar.

Kelarutan : larut dalam lebih kurang 200 bagian air, mudah larut

dalam etanol mutlak P, dalam eter P, dalam sebagian

besar pelarut organik, dalam minyak atsiri dan dalam

minyak lemak.

Kegunaan : sebagai pelarut

12

Page 13: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik tersumbat kaca, terlindung

dari cahaya.

8. Metanol (FI III,hal. 706)

Nama resmi : Metanol P

Nama lain : metanol

RM : CH3OH

Pemerian : cairan tidak berwarna, jernih, bau khas

Kelarutan : dapat bercampur dengan air, membentuk cairan jernih

tidak berwarna.

Kegunaan : sebagai pelarut

Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.

II.1.1 Klasifikasi (Anonim, 2013)

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)

Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Scrophulariales

Famili : Acanthaceae

Genus : Andrographis

Spesies : Andrographis paniculata Nees

II.1.2 Morfologi (Yuniarti, 2008)

Tumbuhan sambiloto merupakan tumbuhan semusim, dengan

tinggi 50-90 cm, batang yang disertai dengan banyak cabang berbentuk

segi empat. Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan bersilang,

bentuk lanset, pangkal runcing, ujung meruncing, tepi rata, permukaan

atas daun berwarna hijau tua, bagian bawah daun berwarna hijau muda,

13

Page 14: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

panjang 2-8 cm, lebar 1-3 cm. Bunga tumbuh dari ujung batang atau

ketiak daun, berbentuk tabung, kecil-kecil, warnanya putih bernoda ungu.

Memiliki buah kapsul berbentuk jorong, panjang sekitar 1,5 cm, lebar 0,5

cm, pangkal dan ujung tajam, bila masak akan pecah membujur menjadi 4

keping. Biji gepeng, kecil-kecil, warnanya cokelat muda. Tumbuhan ini

dapat dikembangbiakkan dengan biji atau stek batang.

II.1.3 Nama Daerah (Yuniarti, 2008)

Nama umum tumbuhan adalah sambiloto. Tumbuhan ini dikenal

masyarakat Indonesia dengan nama daerah yaitu: ki oray, ki peura, takilo

(Sunda), bidara, sadilata, sambilata, takila (Jawa), pepaian (Sumatera).

II.1.4 Kandungan Kimia (Yuniarti, 2008)

Daun tumbuhan sambiloto yang memiliki sifat kimiawi berasa

pahit, dingin, memiliki kandungan kimia sebagai berikut: daun dan

percabangannya mengandung laktone yang terdiri dari

deoksiandrografolid, andrografolid (zat pahit), neoandrografolid, 14-

deoksi-11-12-didehidroandrografolid dan homoandrografolid. Terdapat

juga flavonoid, alkane, keton, aldehid, mineral (kalium, akarnya

mengandung flavotioid, dimana hasil isolasi terbanyaknya adalah

polimetoksiflavon, andrografin, panikulin, mono-0-metilwithin dan

apigenin-7,4-dimetileter.

II.1.5 Kegunaan (Yuniarti, 2008)

Daun tumbuhan sambiloto bermanfaat untuk menurunkan demam

tinggi dan malaria. Selain itu, daun tumbuhan sambiloto berkhasiat untuk

mengatasi:

Hepatitis, infeksi saluran empedu

Disentri basiler, tifoid, diare, influenza, radang amandel (tonsilitis),

Abses paru, radang paru (pneumonia), radang saluran napas

(Bronkitis), radang ginjal akut (pielonefritis akut), radang telinga

14

Page 15: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

Kencing nanah (gonore), kencing manis (diabetes melitus)

Tumor trofoblas (trofoblas ganas), serta tumor paru

Kanker: penyakit trofoblas seperti kehamilan anggur (mola hidatidosa)

Batuk rejan (pertusis), sesak napas (asma)

Darah tinggi (hipertensi)

II.2 Metode Ekstraksi

II.2.1 Maserasi (Anonim, 2011)

Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk

simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama tiga hari pada

temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke

dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan

konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang

konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari

dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang

sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di

dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian

cairan penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan

filtratnya dipekatkan.

Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana yang

dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari

selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya.

Metode ini dilakukan untuk menyari simplisa yang mengandung

komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak

mengandung benzoin, tiraks dan lilin. Pelarut akan menembus dinding sel

dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan

larut dan karena ada perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di

dalam sel dan di luar sel maka larutan yang lebih pekat akan didesak

15

Page 16: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

keluar, terjadi secara berulang-ulang sampai tercapai kesetimbangan

konsentrasi antara di dalam dan di luar sel.

II.3 Ekstraksi Cair-Cair (Anonim, 2011)

Ekstraksi cair-cair sangat berguna untuk memisahkan analit yang dituju

dari penganggu dengan cara melakukan partisi sampel antar 2 pelarut yang tidak

saling campur. Salah satu fasenya seringkali berupa air dan fase yang lain adalah

pelarut organik. Senyawa-senyawa yang bersifat polar akan ditemukan di dalam

fase air, sementara senyawa-senyawa yang bersifat hidrofobik akan masuk pada

pelarut organik. Analit yang terekstraksi ke dalam pelarut organik akan mudah

diperoleh kembali dengan cara penguapan pelarut, sementara analit yang masuk

ke dalam fase air seringkali diinjeksikan secara langsung ke dalam kolom. Di

samping itu, ekstraksi pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada

dalam sampel dengan jumlah kecil sehingga tidak memungkinkan atau

menyulitkan untuk deteksi atau kuantifikasinya. Dalam bentuk yang paling

sederhana, suatu alikuot larutan air digojog dengan pelarut organik yang tidak

campur dengan air.

Kebanyakan prosedur ekstraksi cair-cair melibatkan ekstraksi analit dari

fase air ke dalam pelarut organik yang bersifat non polar atau agak polar seperti

heksana, metilbenzen atau diklorometan. Meskipun demikian proses sebaliknya

(ekstraksi analit dari pelarut organik non polar ke dalam air) juga mungkin

terjadi. Dengan kata lain, dalam ekstraksi cair-cair ini tidaklah mungkin untuk

mencapai 100% analit terekstraksi pada salah satu fase/pelarut. Karena ekstraksi

merupakan proses kesetimbangan dengan efisiensi terbatas, maka sejumlah

tertentu analit akan tertahan di kedua fase. Kesetimbangan kimia yang

melibatkan perubahan pH, kompleksasi, pasangan ion, dan sebagainya dapat

digunakan untuk meningkatkan perolehan kembali analit dan/atau

menghilangkan pengganggu.

16

Page 17: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

Berbagai jenis metode pemisahan yang ada, ekstraksi pelarut atau juga

disebut juga ekstraksi air merupakan metode pemisahan yang paling baik dan

populer.pemisahan ini dilakukan baik dalam tingkat makro maupun mikro.

Prinsip distribusi ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan

tertentu antara dua zat pelarut yang tidak saling bercampur. Batasannya adalah

zat terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda dalam kedua fase terlarut.

Teknik ini dapat digunakan untuk kegunaan preparatif, pemurnian, pemisahan

serta analisis pada semua kerja.

Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi

yang menyatakan bahwa ”pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit

akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang

saling tidak campur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di

dalam 2 fase disebut dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi.

II.4 Kromatografi (Ibnu Gholib, 2008)

Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan molekul berdasarkan

perbedaan pola pergerakan antara fase gerak dan fase diam untuk memisahkan

komponen (berupa molekul) yang berada pada larutan. Kromatografi juga

merupakan pemisahan campuran senyawa menjadi senyawa murninya dan

mengetahui kuantitasnya. Untuk itu, kemurnian bahan atau komposisi campuran

dengan kandungan yang berbeda dapat dianalisis dengan benar. Tidak hanya

kontrol kualitas, analisis bahan makanan dan lingkungan, tetapi juga kontrol dan

optimasi reaksi kimia dan proses berdasarkan penentuan analitik dari kuantitas

material. Teknologi yang penting untuk analisis dan pemisahan preparatif pada

campuran bahan adalah prinsip dasar kromatografi. Pemisahan senyawa biasanya

menggunakan beberapa tekhnik kromatografi. Pemilihan teknik kromatografi

sebagian besar bergantung pada sifat kelarutan senyawa yang akan dipisahkan.

Semua kromatografi memiliki fase diam (dapat berupa padatan, atau

kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase gerak

17

Page 18: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat

dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang

berbeda. Fase diam cenderung menahan komponen campuran, sedangkan fase

gerak cenderung menghanyutkannya. Berdasarkan terikatnya suatu komponen

pada fase diam dan perbedaan kelarutannya dalam fase gerak, komponen-

komponen suatu campuran dapat dipisahkan. Komponen yang kurang larut

dalam fase gerak atau yang lebih kuat terserap atau terabsorpsi pada fase diam

akan tertinggal, sedangkan komponen yang lebih larut atau kurang terserap akan

bergerak lebih cepat.

II.4.1 Kromatografi Kolom

Kromatrografi kolom menunjukkan adanya prinsip yang sama

yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis yang dapat diterapkan pada

skala besar untuk pemisahan campuran. Kromatografi kolom seringkali

digunakan untuk pemurnian senyawa di laboratorium (Harbone, 1987).

Berbagai ukuran kolom dapat digunakan, dimana hal utama yang

dipertimbangkan adalah kapasitas yang memadai untuk menerima sampel-

sampel tanpa melalui fasa diamnya. Merupakan aturan praktis yang umum

bahwa panjang kolom harus sekurang-kurangnya 10 kali ukuran

diameternya. Jika kita mempunyai kolom dengan panjang 20 cm, dan

diameternya 1 atau 2 cm. Bahan pengemasnya suatu adsorben seperti

alumina atau resin penukar ion, dimasukkan dalam bentuk suspensi ke

dalam porsi fasa bergerak dan dibiarkan diam di dalam hamparan basah

dengan sedikit cairan (Harbone, 1987).

Kolom harus dikondisikan dengan jalan mengoperasikan sampai

keadaan stabil pada suhu yang lebih tinggi dari suhu yang digunakan

seperti yang tertera pada masing – masing monografi. Suatu uji yang

sesuai terhadap sifat inert penyangga, yang perlu untuk fase cair dengan

polaritas yang rendah, ada kalanya suatu kolom dapat dikondisikan

18

Page 19: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

dengan menyuntikkan ulang senyawa yang dikromatografi (Harbone,

1987).

Kolom untuk analisis farmasi umumnya digunakan kolom isi dan

sebaiknya hanya isi kolom yang mempengaruhi gerak relatif zat terlarut

melalui sistem. Kolom terbuat dari kaca, kecuali jika dinyatakan lain.

Kolom dengan beragam ukuran dapat digunakan, tetapi umumnya antara

0,6 m hingga 1,8 m serta diameter dalam 2 mm hingga 4 mm. Sebagai

fase cair dapat digunakan beraneka ragam senyawa kimia, seperti poly

etilen glikol, ester dan amida berbobot molekul tinggi, hidro karbon, gom,

dan cairan silikon (Hostettmann, 1995).

Kromatografi kolom digunakan untuk memisahkan suatu

campuran senyawa. Kolom yang terbuat dari gelas diisi dengan fase diam

berupa serbuk penyerap (seperti selulosa, silika gel, poliamida). Fase diam

dialiri (dielusi) dengan fase gerak berupa pelarut. Kromatografi kolom

terdiri dari 2 fase yaitu (Gemini, 2011):

Fase Diam

Fase stationer dalam kromatografi kolom adalah zat padat (adsorben).

Fase diam yang paling umum digunakan adalah silica gel yang diikuti

alumina. Fungsi dari fase diam adalah untuk menahan sampel bergerak

di sepanjang kolom.

Fase Gerak

Fase gerak yang digunakan dalam kromatografi kolom berupa

campuran pelarut atau pelarut murni (eluen). Fungsi fase gerak adalah

mengalirkan analit (sampel) untuk bergerak di sepanjang fase diam

sampai akhirnya terelusi.

Ukuran penyerap untuk kolom biasanya lebih besar daripada untuk

KLT. Kemasan kolom biasanya 63-250 m, untuk kolom yang dijalankan

dengan gaya tarik bumi, kolom yang dijalankan dengan tekanan, apakah

19

Page 20: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

menggunakan udara atau pompa, biasanya mengandung partikel 40-63 m

atau lebih halus (Kisman dkk., 1994)).

Kromatografi kolom dari larutan dibutuhkan tabung pemisah

tertentu yang diisi dengan bahan sorpsi dan juga pelarut pengembang yang

berbeda. Tabung pemisah yang diisi dengan bahan sorpsi disebut kolom

pemisah. Tergantung dari masalah bahan pemisahan dapat digunakan

tabung filter dengan gelas berpori yang pada ujung bawah menyempit

(tabung Allihn) atau tabung gelas, yang pada ujung bawah menyempit dan

dilengkapi dengan kran. Tabung bola jarang digunkan.Perbandingan

panjang tabung terhadap diameter pada umumnya adalah 40:1. Harga 20

berlaku sebagai batas bawah (Johnson, 1991).

Pengisisan tabung pemisah dengan adsorben, yang juga disebut

kemasan kolom, harus dilakukan secara hati-hati, harus rata. Aluminium

oksida atau silika gel dapat diisikan kering ke dalam tabung pemisah.

Agar pengisian rata, tabung setelah diisi divibrasi, diketok-ketok atau

dijatuhkan lemah pada pelat kayu. Adsorben lainnya harus diisikan

sebagai suspensi, terutama jika zat ini menggelembung dengan pelarut

pengembang. Yang umum dilakukan adalah, adsorben dibuat seperti

bubur dengan pelarutelusi, kemudian dimasukkan ke dalam tabung

pemisah. Sebagai bahan sorpsi digunakan bahan yang sama dengan

kromatografi lapis titpi yaitu silika gel, aluminium oksida, poliamida,

selulosa, selanjutnya juga arang aktif dan gula tepung. Tergantung dari

cara pengembangan dapat dibedakan kromatografi elusi, kromatografi

garis depan dan kromatografi pendesakan (Johnson, 1991).

Kolom kromatografi berkerja berdasarkan skala yang lebih besar

menggunakan material terpadatkan pada sebuah kolom gelas vertikal.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemisahan dengan kromatografi kolom

adalah fase diam yang digunakan, kepolaran pelarut (fase diam), ukuran

20

Page 21: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

kolom (diameter dan panjang kolom), kecepatan alir elusi membantu

mengatasi permasalahan dalam dunia bioteknologi, farmasi, klinik dan

kehidupan manusia secara umum (Soediro, 1986).

Sebagian besar prinsip pemisahan kromatografi kolom didsarkan

pada afinitas kepolaran analite dengan fase diam, sedangkan fase gerak

selalu memiliki kepolaran yang berbeda dengan fase diam. Pada sebagian

besar kromatografi kolom menggunakan fase diam yang bersifat polar

dengan fase gerak yang non-polar dengan begitu waktu retensi akan

menjadi lebih singkat. Semakin cepat pergerakan fase gerak akan

meminimalkan waktu yang diperlukan untuk bergerak di sepanjang

kolom. Laju aliran kolom dapat ditingkatkan dengan memperluas aliran

eluent di dalam kolom dengan mengisi fase diam pada bagian bawah atau

dikurangi dengan mengontrol keran (Adriana, 2009).

Pada metode kromatografi kolom, mempunyai keuntungan dan

kerugian yaitu (Gritter dkk., 1991):

Keuntungan Kromatografi Kolom yaitu :

Dapat digunakan untuk analisis dan aplikasi preparatif

Digunakan untuk menentukan jumlah komponen campuran

Digunakan untuk memisahkan dan purifikasi substansi

Kerugian kromatografi kolom yaitu :

Untuk mempersiapkan kolom dibutuhkan kemampuan teknik dan

manual

Metode ini sangat membutuhkan waktu yang lama.

II.4.2 Kromatografi Vakum Cair

Kromatografi kolom vakum merupakan kromatografi kolom yang

dipercepat dan bekerja pada kondisi vakum, fase gerak digerakkan dengan

kondisi vakum sehingga prosesnya berlangsung cepat. Kolom

kromatografi dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh

21

Page 22: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

kerapatan maksimum. Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3,

sumbat karet, pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum serta

wadah penampung fraksi. Walaupun KCV memerlukan jumlah sampel

yang lebih banyak daripada kromatografi lapis tipis (KLT), KCV tetap

ekonomis dalam sisi biaya (Johnson, 1991).

Kromatografi cair-vakum merupakan kromatografi kolom yang

dikemas kering biasanya dengan penyerap mutu kromatografi lapis

tipis10-4 μg pada kondisi vakum, fase gerak digerakkan dengan kondisi

vakum sehingga prosesnya berlangsung cepat. Kolom kromatografi

dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh kerapatan

maksimum. Setelah diperoleh kemasan yang maksimum, kemudian

vakum dihentikan dan pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan

kedalam permukaan penjerap lalu divakum lagi, kolom dihisap sampai

kering dan kolom sekarang siap dipakai (Johnson, 1991).

Salah satu cara pemisahan adalah kromatografi cair vakum,

kromatografi cair vakum adalah kromatografi kolom yang dipercepat dan

bekerja pada kondisi vakum. Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3,

sumbat karet, pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum serta

wadah penampung fraksi. Corong G-3 diisi adsorben sampai setinggi 2,5

cm, kemudian diketuk-ketuk dengan batang pengaduk bersalut dilarutkan

dalam pelarut organik yang cocok, kemudian ke dalam larutan ekstrak

tersebut ditambahkan adsorben dengan bobot sama dengan bobot ekstrak.

Campuran ini digerus sampai homogen, dikeringkan dan dimasukkan ke

dalam corong G-3 kemudian diratakan. Permukaan lapisan adsorben

ditutup dengan kertas saring. Elusi diawali dengan pelarut nonpolar

dilarutkan dengan kombinasi pelarut dengan polaritas meningkat. Jumlah

pelarut yang digunakan setiap kali elusi adalah sebagai berikut: untuk

bobot ekstrak sampai lima gram diperlukan 25 ml pelarut, untuk 10-30 g

22

Page 23: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

ekstrak diperlukan 50 ml pelarut. Dalam hal ini diameter corong dipilih

sedemikian rupa sehingga lapisan ekstrak dipermukaan kolom setipis

mungkin dan rata. Masing-masing pelarut dituangkan ke permukaan

kolom kemudian dihisapkan pompa vakum. Masing-masing ekstrak

ditampung dalam wadah terpisah sehingga menghasilkan sejumlah fraksi

(Soediro, 1986).

Kromatografi cair vakum dapat digunakan untuk fraksinasi dan

memurnikan fraksi. Metode KCV digunakan karena lebih efektif dan

efisien dalam pemisahan dibandingkan kromatografi kolom gravitasi.

Kromatografi cair vakum (KCV) pertama kali diperkenalkan oleh para

ilmuwan dari Australia untuk mengatasi lamanya waktu yang dibutuhkan

untuk separasi menggunakan kolom kromatografi klasik. Pada dasarnya

metode ini adalah kromatografi lapis tipis preparatif yang berbentuk

kolom. Aliran fase gerak dalam metode ini diaktifkan dengan bantuan

kondisi vakum. Kromatografi cair vakum pada awalnya digunakan untuk

separasi senyawaan steroid dan produk-produk natural dari laut.

Kromatografi cair vakum terdiri dari suatu corong Buchner yang memiliki

kaca masir. Corong Buchner ini diiisi dengan fase diam yang tingkat

kehalusannya seperti yang umumnya dipakai dalam kromatografi lapis

tipis (70-230 mesh) (Adriana, 2009).

Corong Buchner yang berisi fase diam ini digunakan dalam

kondisi vakum/bertekanan, yang berakibat pada kemampuan yang

dihasilkan oleh kromatografi cair vakum akan sama dengan kromatografi

gravitasi namun diperlukan waktu yang lebih singkat. Cara asli yang

diperkenalkan oleh Coll menggunakan corong Buchner kaca masir atau

kolom pendek sedangkan target menggunakan kolom yang lebih panjang

untuk meningkatkan daya pisah (Adriana, 2009).

23

Page 24: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

Kromatografi Vakum Cair mempunyai keuntungan yang utama

dibandingkan kolom konvensional yaitu (Merondah, 2008) :

Konsumsi fase gerak KCV hanya 80% atau lebih kecil disbanding dengan

kolom konvensional karena pada kolom mikrobor kecepatan alir fase

gerak lebih lambat (10-100μl/menit).

Adanya aliran fase gerak lebih lambat membuat kolom mikrobor lebih

ideal jika digabung dengan spectrometer massa.

Sensitivitas kolom mikrobor ditingkatkan karena solute lebih pekat

karenanya jenis kolom ini sangat bermanfaat jika jumlah sampel terbatas

missal sampel klinis.

Kerugian KCV (Kromatogravi Vakum Cair) yaitu (Merondah, 2008) :

Membutuhkan waktu yang cukup lama

Sampel yang dapat digunakan terbatas.

II.4.3 Kromatografi Lapis Tipis (Anonim, 2011)

Pemisahan komponen kimia berdasarkan prinsip adsorbsi dan

partisi, yang ditentukan oleh fase diam (adsorben) dan fase gerak (eluen),

komponen kimia bergerak naik mengikuti fase gerak karena daya serap

adsorben terhadap komponen-komponen kimia tidak sama sehingga

komponen kimia dapat bergerak dengan kecepatan yang berbeda

berdasarkan tingkat kepolarannya, hal inilah yang menyebabkan

terjadinya pemisahan. Prinsip Penampakan Noda adalah sebagai berikut.

a. Pada UV 254 nm

Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel

akan tampak berwarna gelap.Penampakan noda pada lampu UV 254

nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan

indikator fluoresensi yang terdapat pada lempeng. Fluoresensi cahaya

yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh

komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi

24

Page 25: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke

keadaan semula sambil melepaskan energi.

b. Pada UV 366 nm

Pada UV 366 nm noda akan berflouresensi dan lempeng akan

berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah

karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor

yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi

cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh

komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi

dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke

keadaan semula sambil melepaskan energi. Sehingga noda yang

tampak pada lampu UV 366 terlihat terang karena silika gel yang

digunakan tidak berfluororesensi pada sinar UV 366 nm.

c. Pereaksi Semprot H2SO4 10%

Prinsip penampakan noda pereaksi semprot H2SO4 10% adalah

berdasarkan kemampuan asam sulfat yang bersifat reduktor dalam

merusak gugus kromofor dari zat aktif simplisia sehingga panjang

gelombangnya akan bergeser ke arah yang lebih panjang (UV menjadi

VIS) sehingga noda menjadi tampak oleh mata.

II.4.4 KLT Preparatif (Soediro, 1986)

Absorbsi dan partisi berdasarkan pada jumlah dan cara penotolan

cuplikan yang berkesinambungan dengan hasil akhir membentuk pita.

Kromatografi lapis tipis preparatif merupakan metode isolasi dari suatu

simplisia untuk mendapatkan senyawa tunggal. (15: 54) Lapisan preparatif

normalnya adalah lapisan KLT yang lebih tebal dari 0,5. Seperti aturan

umumnya dimana ketebalan maksimumnya adalah 2 mm meskipun

beberapa pengerjaan melibatkan penggunaan lempeng yang tebalnya

mencapai 10 mm. Pembuatan lempeng KLTP haruslah resisten terhadap

25

Page 26: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

abrasi. KLTP dibahas dalam beberapa literatur dimana metode ini masih

menjadi metode yang populer.

Ada perbedaan utama antara KLTP dan KLT konvensional yakni

sampel ditotolkan berupa pita, biasanya bila memungkinkan ditotolkan

selebar lempeng. Deteksi dari pemisahan senyawa biasanya dilakukan

dengan absorbansi UV atau flouresensi. Biasanya multi elusi diperlukan

untuk memperoleh resolusi pemisahan yang baik dari komponen sampel.

Karena besarnya volume yang diaplikasikan pada KLTP bila

dibandingkan dengan KLT, penggunaan alat penotolan seperti yang

dibicarakan nanti diperlukan untuk keakuratan. Larutan sampel dapat

ditotolkan sepanjang lempeng KLTP. Ini memungkinkan jumlah

maksimum volume yang ditotolkan (volume hingga 500 ml larutan dapat

dicapai dengan penggunaan alat). Bagaimanapun juga sangat penting

untuk membiarkan sekitar 2 cm dari ujung pita dengan tepi lempeng. Ini

dapat menghindarkan efek tepi yang dapat terjadi selama pengembangan

karena perbedaan ketebalan sorben pada tepi lempeng. Ketebalan dari

lapisan dan kemampuan sampel untuk melintasi jarak dari lempeng

menyebabkan miligram samapi satu berat yang sangat rendah dapat

diaplikasikan tetapi sayangnya waktu pengembangan yang panjang tidak

dapat dihindarkan dari penggunaan gaya kapilaritas normal. Biasanya

pemisahan yang memakanwaktu 30-60 menit pada KLT akan memakan

waktu beberapa jam pada KLTP dengan lapisan setebal 2 mm. Ini tidak

serta merta menjadi kerugian dari KLTP karena pemisahan dapat

dilakukan semalaman dan kromatografer  tidak perlu melakukan banyak

hal selama pengembangan. Biasanya pemilihan eluen ditentukan

berdasarkan percobaan KLT sebelumnya. Pengembangan dari lempeng

KLTP dapat dilakukan beberapa kali (biasanya 3 sampai 5 kali) jika

diperlukan dengan pengeringan bersalang. Resolusi biasanya ditingkatkan

26

Page 27: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

dengan cara ini. Sering digunakan campuran pelarut sebagai fase gerak

yang memiliki kepolaran di bawah profil KLTnya.

Pada pengembangan pertama senyawa dipisahkan sampai bergerak

kurang lebih 2 cm. Pengembangan kedua dan selanjutnya, polaritas dari

fase gerak dapat ditingkatkan sedikit untuk menaikkan resolusi. Suatu

lempeng kecil yang tajam dapat digunakan untuk menandai posisi lapisan.

Selalu diingat bahwa penandaan dilakukan agak di bawah zona

pemisahan. Zona ini dapat dikerok dengan spatula besi atau alat lain yang

cocok. Sejumlah pelarut diperlukan untuk melarutkan analit. Sorben dapat

dipisahkan dengan penyaringan dan pelarut dapat diuapkan untuk

memperoleh senyawa yang diinginkan.

27

Page 28: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

BAB III

METODOLOGI KERJA

III.1 Waktu Dan Tempat

Praktikum Fitokimia lanjutan dilaksanakan pada :

Hari/Tanggal : Jumat, 12 April 2013 – 10 Mei 2013

Waktu : 14.00 WITA –selesai

Tempat : Laboratorium Farmakognosi - Fitokimia FMIPA UNTAD

III.2 Alat dan Bahan

a. Percobaan I

- Alat - Bahan

1. Corong Pisah 1. Ekstrak kental

2. Timbangan analitik 2. Aquadest

3. Batang pengaduk 3. n-heksan

4. Cawan porselin 4. etilasetat

5. Gelas Kimia

6. Gelas Ukur

7. Mangkok

8. Sendok tanduk

9. Kipas angin

b. Percobaan II

- Alat - Bahan

1. Lampu UV 254 nm 1. Ekstrak kental

2. Timbangan analitik 2. n-heksan

3. Batang pengaduk 3. etilasetat

4. Gelas ukur 4.Lempeng KLT

5. Gelas Kimia 5. Kertas saring

6. Sendok tanduk 6.

Metanol

28

Page 29: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

7. Pipa kapiler 7. Kloroform

8. Mistar

9. Pensil

c. Percobaan III

- Alat , - Bahan

1. Kolom Konvensional 1. Ekstrak kental

2. Timbangan analitik 2. Metanol

3. Batang pengaduk 3. n-heksan

4. Erlenmeyer 4. etilasetat

5. Gelas Kimia 5. Silika gel

6. Gelas Ukur 6. Kertas saring

7. Vial 7.Lempeng KLT

8. Sendok tanduk 8. Asam Sulfat

9. Kipas angin

10. Corong

11. Tabung Reaksi + rak tabung

12. Lampu UV 254 nm

13. Pipa kapiler

14. Chamber

15. Mistar

16. Pensil

d. Percobaan IV

- Alat - Bahan

1. Pompa vakum 1.Ekstrak n-heksan

2. Timbangan analitik 2. Eter

3. Batang pengaduk 3. n-heksan

4. Cawan porselin 4. Etilasetat

5. Gelas Kimia 5. Metanol

29

Page 30: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

6. Gelas Ukur 6. Silika gel

7. Erlenmeyer 7. Lempeng KLT

8. Sendok tanduk 8. Kertas saring

9. Corong Buchner

10. Selang

11. Lampu UV 254 nm

12. Mistar

13. Pensil

14. Chamber

e. Percobaan V

- Alat - Bahan

1. Sentrifus 1. Fraksi 4

2. Timbangan analitik 2. Metanol p.a

3. Batang pengaduk 3. n-heksan

4. Pipet mikro 4. etilasetat

5. Gelas Kimia 5. Lempeng KLT kaca (20x20 cm)

6. Gelas Ukur 6. Aluminium foil

7. Sendok tanduk 7. Silika gel

8. Mistar

9. Pensil

10. Cutter

11. Lampu UV 254 nm

12. Erlenmeyer

III.3 Prosedur Kerja

a. Percobaan I

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. Ditimbang 1 g ekstrak kental.

30

Page 31: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

3. Dimasukkan dalam Erlenmeyer lalu ditambahkan 30 ml aquadest

kemudian dimasukkan dalam corong pisah.

4. Ditambahkan 30 ml n-heksan ke dalam corong pisah.

5. Di kocok seksama campuran selama 5 menit dengan sekali-kali

membuka sumbat. Didiamkan beberapa menit sehingga terbentuk 2

lapisan.

6. Lapisan bawah dipisahkan dengan lapisan atas. Diamati.

7. Lapisan larut n-heksan ditampung, lapisan air dimasukkan kembali ke

dalam corong pisah.

8. Ditambahkan 30 ml n-heksan ke dalam corong pisah, lalu di kocok, lalu

didiamkan hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan larut n-heksan ditampung

kembali, lapisan air dimasukkan kedalam corong pisah untuk dipartisi

ketiga kalinya.

9. Lapisan air dimasukkan lagi ke corong pisah, lalu ditambahkan 30 ml

etilasetat lalu kocok, didiamkan hingga terbentuk dua lapisan. Lapisan

larut etilasetat di tamping.

10. Di partisi dengan etilasetat, dilakukan kembali dua kali.

11. Ekstrak n-heksan dan etilasetat di uapkan hingga kering lalu di timbang.

b. Percobaan II

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. Dibuat perbandingan eluen n-heksan:etilasetat (5:1, 3:1, 1:1, dan 5:1).

3. Di jenuhkan chamber, kemudian dilarutkan ekstrak n-heksan dan ekstrak

etilasetat dengan metanol.

4. Dimasukkan ke dalam chamber dan dibiarkan terelusi.

5. Diamati pada lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm.

6. Dihitung nilai Rf.

c.Percobaan III

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

31

Page 32: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

2. Dimasukkan kertas saring kedalam kolom konvensional.

3. Ditimbang silika gel sebanyak 5,18 g dan ekstrak methanol sebanyak

0,052 g..

4. Dimasukkan ke dalam kolom konvensional pertama fase diam kemudian

ekstraknya kemudian dimasukkan kertas saring ke dalamnya.

5. Ditambahkan fase gerak (eluen) dengan urutan n-heksan; n-

heksan:etilasetat (20:1, 15:1, 10:1, 5:1, 3:1, 1:1), etil asetat,

etilasetat:methanol (1:1), dan metanol sebanyak 10 ml.

6. Hasil fraksinasi di tamping pada vial sebanyal 5 ml kemudian diuapkan.

7. Diidentifikasi menggunakan metode KLT dan dihitung nilai Rf.

d. Percobaan IV

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. Fase diam berupa silica gel dimasukkan ke dalam kolom kemudian

dihisap dengan pompa vakum hingga mampat.

3. Setelah mampat, cairan pengelusi pertama yakni n-heksan dimasukkan

ke dalam kolom lalu dihisap untuk memastikan cairan dapat melalui fase

diam.

4. Sampel disiapkan dengan cara; sampel (ekstrak n-heksan) ditambahkan

sedikit pelarut eter lalu ditambahkan fase diam (serbuk silika) hingga

terbentuk serbuk sampel.

5. Serbuk sampel dimasukkan ke bagian atas fase diam, lalu di tutup

dengan kertas saring.

6. Ditambahkan eluen atau cairan pengelusi dengan urutan n-heksan, n-

heksan:etilasetat (25:1, 20:1, 15:1, 10:1, 5:1, 3:1, 1:1), etil asetat,

etilasetat:methanol (1:1), dan metanol sebanyak 50 ml..

7. Kemudian pompa vakum dijalankan hingga eluen turun mengelusi

komponen kimia.

8. Eluen yang keluar ditampung sebagai fraksi-fraksi pada gelas kimia.

32

Page 33: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

9. Diidentifikasi menggunakan metode KLt dan dihitung nilai Rf.

e.Percobaan V

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. Dibuat lempeng kaca KLT ukuran 20x20 cm kemudian dibuat batas atas

dan batas bawah.

3. Sampel (fraksi 4) ditotol secara horizontal memanjang pada bagian

bawah lempeng.

4. Lempeng lalu dikembangkan pada chamber dengan fase gerak n-

heksan:etilasetat (1:1).

5. Setelah pengembangan, bercak senyawa yang diinginkan dikeruk dari

lempeng.

6. Serbuk fase diam dari lempeng dilarutkan dengan pelarut metanol, lalu

disentrifus.

7. Cairan supernatan yang diperoleh merupakan isolat, lalu dipantau

dengan KLT.

8. Dihitung nilai Rf.

33

Page 34: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Praktikum

a. Percobaan I

No.Hasil Ekstraksi

(Perlakuan)

Bobot Ekstrak

(gram)

Persentase Ekstrak

(%)

1. Metanol 1 100

2. n-heksan 0,25 25

3. Etilasetat 0,38 38

b. Percobaan II

No. Penampakan Noda Lampu UV 254 nm Nilai Rf

1. n-heksan:etilasetat

(5:1)

- n-heksan: - etilasetat:

Rf1 = 0,08 Rf1 = 0,07

Rf2 = 012

Rf3 = 0,19

Rf4 = 0,33

2. n-heksan:etilasetat

(3:1)

- n-heksan: - etilasetat:

Rf1 = 0,07 Rf1 = 0,07

Rf2 = 0,11 Rf2 = 0,23

Rf3 = 0,17 Rf3 = 0,57

Rf4 = 0,21 Rf4 = 0,59

Rf5 = 0,28 Rf5 = 0,80

Rf6 = 0,31

34

Page 35: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

3. n-heksan:etilasetat

(1:1)

- n-heksan: - etilasetat:

Rf1 = 0,71 Rf1 = 0,08

Rf2 = 0,96 Rf2 = 0,17

Rf3 = 0,83 Rf3 = 0,23

Rf4 = 0,97 Rf4 = 0,45

Rf5 = 0,85

Rf6 = 0,98

4. n-heksan:etilasetat

(1:5)

- n-heksan: - etilasetat:

Rf1 = 0,08 Rf1 = 0,07

Rf2 = 0,59 Rf2 = 0,52

Rf3 = 0,76 Rf3 = 0,64

Rf4 = 0,90 Rf4 = 0,94

Rf5 = 0,94

c. Percobaan III

No. Gambar Ekstrak Eluen n-heksan:etil asetat (1:5) Ekstrak Nilai Rf

1.

Tampak Visual UV 254 nm H2SO4 10%Ekstrak

metanol

Rf1 = 0,43

Rf2 = 0,71

Rf3 = 0,92

2. Vial ke-3 Rf1 = 0,92

3. Vial ke-6 Rf1 = 0,92

4. Vial ke-9 Rf1 = 0,89

5. Vial ke-12 Rf1 = 0,92

6. Vial ke-15Rf1 = 0,44

Rf2 = 0,94

35

Page 36: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

7 Vial ke-17Rf1 = 0,44

Rf2 = 0,94

d. Percobaan IV

No. Fraksi Gambar Noda Nilai Rf

1. I

Eluen n-heksan : etil asetat (1:5)

Rf1 = 0,81

2. II Rf1 = 0,83

3. III

Rf1 = 0,15

Rf2 = 0,71

Rf3 = 0,88

4. IV

Rf1 = 0,17

Rf2 = 0,34

Rf3 = 0,43

Rf4 = 0,57

Rf5 = 0,76

Rf6 = 0,93

5. VRf1 = 0,32

Rf2 = 0,93

6. VI Rf1 = 0,93

7. VII Rf1 = 0,93

e. Percobaan V

No. Sampel Gambar Keterangan

36

Page 37: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

1.

Fraksi 4n-heksan : etil

asetat(1:1)

Eluen n-heksan:etil asetat (1:5)

Nilai Rf : 0,75

Warna noda : ungu tua

IV.2 Pembahasan

Fitokimia adalah ilmu yang biasanya digunakan untuk merujuk pada

senyawa yang ditemukan pada tumbuhan yang tidak dibutuhkan untuk fungsi

normal tubuh, tapi memiliki efek yang menguntungkan bagi kesehatan atau

memiliki peran aktif bagi pelindung atau pencegahan penyakit. Dalam fitokimia

I telah diajarkan bagaimana cara memperoleh ekstrak aktif dari suatu tanaman,

sedangkan dalam fitokimia II lebih ditekankan pada proses isolasi dari ekstrak

yang didapatkan untuk mengetahui senyawa murni yang bertanggungjawab

terhadap aksi farmakologis dari suatu tanaman yang dipercaya berkhasiat obat.

Adapun proses yang dilakukan dalam memperoleh senyawa murni tersebut

adalah melalui proses ekstraksi, partisi dengan metode corong pisah, identifikasi

dengan KLT, dan isolasi dengan berbagai metode yaitu kromatografi kolom

konvensional, vakum cair, dan metode KLT preparatif.

Sampel yang digunakan dalam praktikum ini adalah daun sambiloto

(Andrographis paniculata Nees) yang dipreparasi hingga menjadi simplisia

kering yang siap untuk diekstraksi. Adapun ekstraksi yang dipilih adalah

maserasi karena sampel yang digunakan berupa daun yang bertekstur lunak dan

juga diinginkan jumlah ekstrak yang banyak. Maserasi dilakukan dengan cara

merendam simplisia sebanyak 100 gram dalam pelarut metanol selama tiga hari

pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya untuk menghindari

kerusakan metabolit sekunder akibat paparan sinar UV. Ekstrak yang diperoleh

37

Page 38: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

kemudian disaring dan diuapkan pada rotavapor untul mendapatkan ekstrak

kental.

Ekstrak kental kemudian dipartisi dengan metode corong pisah

menggunakan pelarut n-heksan dan etil asetat. Tujuan dari proses partisi ini

adalah untuk mengetahui sifat kepolaran dari tiap kandungan kimia dalam

ekstrak. Dimana prinsip metode corong pisah yaitu pemisahan yang

menggunakan dua pelarut yang tidak saling bercampur. Proses partisi biasanya

diulang sebanyak tiga kali bertujuan untuk menghasilkan ekstrak yang lebih

banyak disbanding hanya satu kali partisi. Dari hasil partisi diperoleh ekstrak n-

heksan sebesar 0,25 gram dengan presentase 25% dan ekstrak etil asetat sebesar

0,38 gram dengan presentase 38%. Kesalahan dalam proses ini dipengaruhi oleh

proses pengerjaan yang tidak baik, seperti ekstrak kental yang tidak larut

sempurna dan proses pemisahan yang tergesa-gesa.

Dari ekstrak n-heksan dan etil asetat yang diperoleh dilakukan suatu

orientasi eluen dengan metode kromatografi lapis tipis. Orientasi eluen ini

bertujuan untuk mengetahui pada eluen dengan gradien kepolaran yang

bagaimana ekstrak dapat terelusi dan menunjukkan pemisahan yang baik.

Orientasi eluen ini sangat penting karena akan menentukan tipe eluen yang

digunakan pada proses selanjutnya. Adapun gradien eluen yang dibuat

berurutan dari yang nonpolar ke yang polar yakni n-heksan : etil asetat (5:1, 3:1,

1:1, dan 1:5). Setelah proses elusi, diperoleh pemisahan yang baik ditampakkan

pada lempeng KLT dengan eluen n-heksan : etil asetat (1:5). Hal tersebut

didukung dengan data nilai Rf yang diperoleh menunjukkan nilai Rf yang baik

yakni 0,1-0,8.

Tahap selanjutnya adalah dengan mengisolasi sampel dengan

menggunakan berbagai metode diantaranya isolasi dengan metode kolom

konvensional, kromatografi vakum cair (KVC), dan KLT Preparatif. Dari ketiga

38

Page 39: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

metode tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-

masing.

Kolom konvensional adalah suatu pemisahan yang dilakukan dalam

suatu kolom yang diisi dengan fase diam dan fase gerak berupa cairan

(pereaksi) untuk mengetahui banyaknya komponen yang keluar melalui kolom.

Pada metode ini adsorben (fase diam) yang berupa silika gel dikemas secara

basah atau dibuat slurry. Ekstrak kental yang digunakan juga dipreparasi

menjadi serbuk yang kemudian dimasukkan ke dalam kolom di atas fase diam.

Fase gerak dengan tingkat kepolaran yang berurutan dari nonpolar ke polar

dituangkan ke dalam kolom dan akan mengelusi sampel. Penambahan eluen

harus dilakukan 2 cm di atas sampel untuk menghindari sampel dan silika

kering. Sebab jika ada bagian yang kering akan menyebabkan tidak meratanya

eluen selanjutnya. Eluen akan mengalir sesuai dengan gaya gravitasi dan

ditampung dalam wadah vial. Hal inilah yang membuat proses ini memakan

waktu lama. Dari 17 vial yang diperoleh, dipilih enam vial berdasarkan

kelipatan untuk diidentifikasi dengan KLT. Pengamatan lempeng akan

dilakukan secara visual, UV 254 nm, dan dengan pereaksi semprot H2SO4 10%.

Pengamatan ini sangat penting dalam penegasan pemisahan yang terjadi dari

tampaknya noda. Dari tiap noda yang diamati, diperoleh noda dengan nilai Rf

yang baik yaitu 0,44; 0,92; dan 0,94.

Vakum cair merupakan pemisahan dengan prinsip adsorbsi atau serapan,

sedangkan pemisahannya didasarkan pada senyawa-senyawa yang akan

terdistribusi di antara fase diam dan fase gerak dalam perbandingan yang

berbeda-beda. Vakum cair menggunakan alat bantu pompa vakum untuk

mempercepat laju alir fase gerak sehingga dapat mempersingkat waktu

pemisahan. Dalam metode ini, fase diam dikemas kering dan dimasukkan dalam

corong Buchner dengan diberi tekanan untuk mendapatkan kerapatan

maksimum dari silika. Ekstrak dipreparasi menjadi bentuk serbuk yang

39

Page 40: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

dimasukkan di atas fase diam dan ditutupi kertas saring untuk mencegah

percikan saat eluen dituangkan. Eluen yang digunakan juga dibuat dengan

tingkat kepolaran yang berurutan dari nonpolar ke polar untuk memperoleh

senyawa dengan sifat yang berurutan pula. Dari tujuh fraksi yang diperoleh

kemudian diidentifikasi lebih lanjut dengan metode KLT. Diperoleh nilai Rf

yang baik pada fraksi keempat yakni 0,93.

KLT Preparatif adalah suatu pemisahan komponen kimia berdasarkan

prinsip partisi dan adsorpsi secara selektif karena adanya perbedaan daya serap

terhadap adsorben dan kelarutan komponen kimia terhadap cairan pengelusi.

Berbeda KLT biasa, KLT preparatif menggunakan lempeng kaca ukuran 20x20

cm yang dilapisi silika sebagai fase diam. Lempeng kaca ini juga dapat dibuat

secara manual. Sampel yang digunakan dalam metode ini relatif sedikit, dimana

sampel hanya ditotolkan di sepanjang batas bawah lempeng kaca. Penotolan

seperti ini akan menghasilkan noda yang berbentuk pita memanjang. Setelah

proses elusi, dilakukan pengamatan di bawah lampu UV 254 nm. Pita yang

nampak jelas akan dipilih sebagai noda yang paling baik dan dilakukan analisis

lebih lanjut. Noda ini memiliki nilai Rf 0,75 dengan warna noda ungu tua.

Proses analisis selanjutnya dilakukan dengan mengeruk noda dan dipisahkan

menggunakan sentrifuge hingga diperoleh supernatan jernih. Metode KLTP ini

merupakan metode yang cukup presisi dan memiliki proses pengerjaan yang

mudah serta murah.

Dari hasil diperoleh dari setiap metode isolasi dapat diamati bahwa

ekstrak daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees) memiliki kandungan

kimia yang bersifat nonpolar. Hal ini didukung dengan nilai Rf yang diperoleh

semakin besar.

Adapun faktor-faktor kesalahan yang menyebabkan hasil yang diperoleh

tidak akurat atau tidak baik selama praktikum ini dikarenakan kurangnya

pemahaman mengenai penggunaan alat, kesalahan dalam preparasi sampel,

40

Page 41: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

tidak terelusi dengan baik sehingga noda yang dihasilkan kurang baik dan masih

banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu persatu karena keterbatasan

pengetahuan yang dimiliki.

BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil percobaan pada daun sambiloto (Andrographis

paniculata Nees) yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa:

a. Partisi dengan metode corong pisah menghasilkan ekstrak n-heksan 25% dan

ekstrak etil asetat 38%.

b. Orientasi eluen yang baik adalah eluen n-heksan:etil asetat (1:5) dengan nilai

Rf 0,52; 0,59; 0,62; dan 0,76.

c. Prinsip kerja kromatografi kolom yaitu adsorbsi atau serapan, sedangkan

pemisahan didasarkan pada senyawa-senyawa yang akan dipisahkan

terdistribusi diantara fase diam dan fase gerak dalam perbandingan yang

berbeda-beda.

d. Prinsip kerja kromatografi vakum cair adalah adsorbsi atau serapan,

sedangkan pemisahannya didasarkan pada senyawa-senyawa yang akan

dipisahkan terdistribusi diantara fase diam dan fase gerak dalam

perbandingan yang berbeda-beda.

e. Eluen yang digunakan pada vakum cair yaitu n-heksan; n-heksan:etil asetat

(20:1 ; 10:1 ; 1:1); etil asetat; etil asetat:metanol (1:1) dan metanol. Eluen

yang digunakan pada KLT yaitu n-heksan:etil asetat (1:5)

41

Page 42: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

f. Hasil sentrifugasi diperoleh supernatan yang jernih yang menunjukkan

pemisahan celah sempurna.

g. KLT preparatif merupakan metode pemisahan untuk memperoleh suatu

senyawa murni atau isolat secara kualitatif dan kuantitatif.

h. Diperoleh senyawa dengan nilai Rf besar yang menunjukkan bahwa senyawa

yang difraksinasi dan ekstrak sambiloto bersifat nonpolar karena nilai Rfnya

besar.

V.2 Saran

Diharapkan selama proses praktikum dilakukan dengan hati-hati dan

sesuai dengan prosedur agar dapat menghindari kesalahan sehingga diperoleh

hasil yang representatif.

42

Page 43: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

Daftar Pustaka

Adriana, Renalitha Devri. 2009. Skripsi : Aktivitas Antiplasmodium Fraksi Non Polar Ekstrak Etanol Rimpang Temu Mangga. Universitas Muhammadiah Fakultas Farmasi. Surakarta

Alam, Gemini, dkk. 2011. Penuntun Pratikum Senyawa Bioaktif. Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin : Makassar

Anonim, 2011. http:///G:/ekstraksi-cair-cair.html (diakses pada hari Senin, 3 Juni 2013)

Anonim, 2011. http:///G:/ekstraksi-cair-cair.htmlm (diakses pada hari Senin, 3 Juni 2013)

Anonim, 2011. http:///G:Kromatografi-Lapis-Tipis.html (diakses pada hari Senin, 3 Juni 2013)

Anonim, 2011. http:///G:/ekstraksi/prinsip-kerja-dan-tujuan-ekstraksi.html (diakses pada hari Senin, 3 Juni 2012)

Anonim. 2007. Kromatografi Kolom . (Online) http://www.chem-is-try.org. Diakses tanggal 3 Juni 2013

Dalimartha, S. 2007. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 6. Trubus Agriwidya: Jakarta. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope

Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope

Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta. Ibnu Gholib Gandjar. Abdul Rahman. 2008. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar:

Yogyakarta. J. B. Harbone. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.

Penerbit ITB: Bandung. Johnson, Edward. 1991.Dasar Kromatografi Cair Penerbit ITB. BandungK. Hostettmann, M. Hostettmann, A. Marston. 1995. Cara Kromatografi Preparatif.

Penerbit ITB: Bandung. Kisman .Dr. Sastro ,ddk .1994. Analisis Farmasi Cet. 2 , Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta

43

Page 44: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

Meronda, G.Rahmah. 2008. Kromatografi, Makalah. FFUH. Dikutip dari Kromatografi Makalah journal. Makassar

Roy J. Gritter, James M. Bobbit, Arthur E. S., 1991. Pengantar Kromatografi. Penerbit ITB: Bandung.

Skoog DA, West DM, Holler FJ. 1996. Fundamentals of Analytical Chemistry. 7th edition. New York: Saunders College Publishing. Hal. 17-25.

Soediro. I., dkk. 1986. Kromatografi Cepat Sebagai Cara Fraksinasi Ekstrak Tanaman. Acta Pharmaceutica Indonesia

Surat Keterangan Bebas Laboratorium

Dengan ini menerangkan bahwa praktikan dibawah ini :

Nama : Gietha Naurandini Pasaribu

NIM :G 701 10 022

Kelompok : VI (Enam)

Telah memenuhi segala kewajiban laboratoriun selama mengikuti

praktikum Fitokimia Lanjutan.

Palu 05 Juni 2013

Menyetujui

No Nama Laboran Laboratoriun TTD

1 Ian Santoso, AMKL Fitokimia/Farmakognosi

2 Ni Wayan Madya N. Farmasetika

3 Wirahatni, Sp Farmakologi/Biofarmasi

4 Hasrat Mikrobiologi Farmasi

5 Fitria, S.Si Kimia Farmasi

44

Page 45: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

BIOGRAFI

Penulis bernama Gietha Naurandini

Pasaribu, lahir di Poso tanggal 23 Maret

1993. Alamat jalan Tanggul Utara.

Memulai pendidikan pertama pada umur

5 tahun di TK Imanuel Palu. Setelah

lulus, kemudian memulai pendidikan

selanjutnya di SDK Imanuel Palu pada

tahun 1998 selama 6 tahun. Setelah

lulus, kemudian melanjutkan studi di

SMP Negeri 1 Palu pada tahun 2004 dan

selesai pada tahun 2007.

Setelah lulus dari SMP Negeri 1 Palu,

kemudian pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi di

SMA Negeri 2 Palu dan lulus pada tahun 2010. Setelah lulus, kemudian melanjutkan

studi ke Universitas Tadulako pada tahun 2010 di Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam jurusan farmasi, dan sementara menjalani pendidikan pada

semester 6.

45

Page 46: Fitokimia Lanjutan Gietha Fix

46