fitokimia kunyit

50
Fitokimia Fitokimia merupakan senyawa yang berada di dalam tumbuhan. Fitokimia memberikan aroma khas, rasa dan warna tertentu bagi tanaman dalam berintegrasi dengan lingkungan. Manusia memilih senyawa ini karena beberapa alasan, diantaranya karena fitokimia mempunyai efek biologi yang efektif menghambat pertumbuhan kanker, sebagai antioksidan, mempunyai sifat menghambat pertumbuhan mikroba, menurunkan kolesterol darah, menurunkan kadar glukosa darah, bersifat antibiotik, dan menimbulkan efek peningkatan kekebalan (Amelia 2002). Beberapa fitokimia yang sudah diketahui terdapat di dalam tanaman obat antara lain sebagai berikut : 1. Alkaloid Alkaloid pada umumnya larut dalam bahan pelarut lipofil, yang garamnya larut dalam pelarut hidrofil. Alkaloid dalam tumbuhan umumnya terdapat sebagai garam, sehingga dapat langsung diekstraksi dengan bahan pelarut hidrofil (air, etanol) (Voight1994) . 2. Flavonoid Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan etanol. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya

Upload: alvian-vian

Post on 27-Oct-2015

372 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kunyit

TRANSCRIPT

Page 1: fitokimia kunyit

Fitokimia

Fitokimia merupakan senyawa yang berada di dalam tumbuhan. Fitokimia

memberikan aroma khas, rasa dan warna tertentu bagi tanaman dalam berintegrasi

dengan lingkungan. Manusia memilih senyawa ini karena beberapa alasan,

diantaranya karena fitokimia mempunyai efek biologi yang efektif menghambat

pertumbuhan kanker, sebagai antioksidan, mempunyai sifat menghambat

pertumbuhan mikroba, menurunkan kolesterol darah, menurunkan kadar glukosa

darah, bersifat antibiotik, dan menimbulkan efek peningkatan kekebalan (Amelia

2002). Beberapa fitokimia yang sudah diketahui terdapat di dalam tanaman obat

antara lain sebagai berikut :

1. Alkaloid

Alkaloid pada umumnya larut dalam bahan pelarut lipofil, yang garamnya

larut dalam pelarut hidrofil. Alkaloid dalam tumbuhan umumnya terdapat sebagai

garam, sehingga dapat langsung diekstraksi dengan bahan pelarut hidrofil (air,

etanol) (Voight1994) .

2. Flavonoid

Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid dapat

diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini

dikocok dengan etanol. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya

Page 2: fitokimia kunyit

akan berubah jika ditambah basa atau amonia, sehingga mudah dideteksi pada

kromatogram atau dalam larutan (Harborne 1987).

3. Tanin

Tanin dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Tanin dapat

bereaksi dengan protein membentuk suatu polimer mantap yang tidak dapat

bereaksi dengan air (Harborne 1987).

4. Kuinon

Kuinon adalah senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar seperti

kromofor pada benzikuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid.

Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksiliasi dan bersifat “senyawa fenol”

serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai

glikosida atau dalam bentuk kuinol terwarna, kadang-kadang juga bentuk dimer.

Sehingga diperlukan hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya

(Harborne 1987).

5. Saponin

Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol telah terdeteksi dari 90

tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti

sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan

menghemolisis darah (Harborne 1987).

Kurkuminoid

Kurkuminoid merupakan komponen yang dapat memberikan warna, dan

zat ini digunakan baik dalam industri pangan maupun kosmetik. Salah satu fraksi

yang terdapat dalam kurkuminoid adalah kurkumin ( Sembiring et al. 2006).

Kurkumin bermanfaat sebagai antioksidan, antimikroba, antifungi, dan

juga antiinflamasi. Selain itu kurkumin juga diyakini mampu menghambat

pertumbuhan sel kanker dan memacu apoptosisi sel kanker. Bahan warna

kurkumin dapat juga digunakan untuk memecah penggumpalan darah di otak

seperti yang terjadi pada pasien penyakit alzheimer (Dheni 2007). Menurut

Purwanti (2008), kandungan kurkumin dalam kunyit adalah 2,38 % per 100 gram

kunyit.

Page 3: fitokimia kunyit

Partikel kurkumin memiliki bagian dalam yang bersifat hidrofobik dan

bagian luar yang bersifat hidrofilik (Dheni 2007). Secara kimia, kurkumin dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 5 Struktur kimia kurkumin (Sumber: Best 2008)

Etanol

Etanol banyak dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan industri

makanan dan minuman. Etanol sering ditulis dengan rumus EtOH. Rumus

molekul etanol adalah C2H5OH atau rumus empiris C2H6O (Ane 2008). Kelarutan

zat dalam pelarut tergantung dari ikatannya (polar, semipolar, atau non polar).

Etanol termasuk ke dalam pelarut polar, sehingga sebagai pelarut etanol

diharapkan dapat menarik zat-zat aktif yang juga bersifat polar (Houghton dan

Raman 1998).

Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses untuk mengisolasi senyawa dari suatu tumbuhan.

Ragam ekstraksi bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan

yang diekstraksi pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne 1987). Ekstraksi

amat bergantung pada jenis dan komposisi dari cairan pengekstraksi. Cairan

pelarut yang biasanya digunakan dalam proses ekstraksi adalah air, eter, atau

campuran etanol air. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol air sebaiknya

menggunakan cara maserasi (Farmakope Indonesia 1979).

Prosedur klasik ekstraksi untuk memperoleh kandungan senyawa organik

dari jaringan tumbuhan kering (galih, biji kering, akar, daun) ialah dengan

menggunakan alat soxlet dengan menggunakan sederetan pelarut secara berganti-

Page 4: fitokimia kunyit

ganti, mulai dengan eter, lalu eter minyak bumi, dan kloroform (untuk

memisahkan lipid dan terpenoid). Kemudian digunakan alkohol dan etil asetat

untuk senyawa yang lebih polar. Ekstrak yang diperoleh kemudian diuapkan

dengan penguap putar yang akan menguapkan larutan menjadi volume kecil.

(Harborn 1987).

Menurut Wientarsih dan Prasetyo (2006) metode ekstraksi dibagi kedalam

5 cara, yaitu:

1. Maserasi

Maserasi adalah cara ekstraksi paling sederhana. Proses maserasi adalah

proses menyatukan bahan yang telah dihaluskan dengan bahan ekstraksi. Waktu

maserasi, semua farmakope mencantumkan 4-10 hari. Setelah waktu itu,

sebaiknya ditetapkan suatu keseimbangan antara bahan yang diekstraksi dalam

bagian sebelah dalam sel dengan yang masuk ke dalam cairan, dengan demikian

difusi akan berakhir. Melalui usaha ini diharapkan akan terjadi keseimbangan

konsentrasi simplisia yang lebih cepat ke dalam cairan. Sedangkan keadaan diam

saat maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif (Voight 1994).

Metode ekstraksi maserasi memiliki kelebihan karena pengerjaan dan alat

yang dipakai sederhana. Tetapi proses ekstraksi dengan metode ini membutuhkan

waktu yang relatif lama, serta hasil ekstraksi yang kurang sempurna (Yuliani dan

Sofyan 2003).

2. Metode Perkolasi

Metode ini dilakukan dengan cara mencampur 10 bagian simplisia ke

dalam 5 bagian larutan pencuci. Setelah itu dipindahkan ke dalam perkolator, dan

ditutup selama 24 jam setelah itu biarkan menetes sedikit demi sedikit. Kemudian

ditambahkan larutan pencuci secara berulang-ulang hingga terdapat selapis cairan

pencuci. Perkolat yang telah terbentuk kemudian diuapkan (Wientarsih dan

Prasetyo 2006).

3. Digesti

Metode ini merupakan bentuk lain dari maserasi yang menggunakan panas

seperlunya selama proses ekstraksi (Wientarsih dan Prasetyo 2006).

4. Infusi

Page 5: fitokimia kunyit

Metode ini dilakukan dengan memanaskan campuran air dan simplisia

pada suhu 90ºC dalam waktu 5 menit. Selama proses ini berlangsung campuran

terus diaduk dan diberi tambahan air hingga diperoleh volume infus yang

dikehendaki (Wientarsih dan Prasetyo 2006).

5. Dekoksi

Metode yang digunakan sama dengan metode infusi hanya saja waktu

pemanasannya lebih lama yaitu sekitar 30 menit (Wientarsih dan Prasetyo 2006).

Salep

Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan

sebagai obat luar (Farmakope Indonesia 1979). Menurut Ansel (1989), salep

merupakan sediaan dermatolologi yang paling sering dipakai. Sediaan topikal

dapat digunakan untuk perlindungan setempat (lokal) atau dengan alasan

terapeutik (Blodinger 1994).

Menurut Farmakope Indonesia (1979), bahan obat dalam pembuatan

salep harus dapat larut/terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok.

Pemilihan dasar salep harus memiliki syarat tertentu, diantaranya stabil secara

fisik dan kimia, warna dan bau stabil selama penyimpanan / pemakaian, dapat

dicampur dengan semua obat, teksturnya halus dan licin sehingga mudah dioles

pada kulit. Selain itu dasar salep juga harus baik untuk semua tipe kulit, tidak

mudah tengik, tidak mengiritasi kulit, dan mudah dioleskan (Wientarsih dan

Prasetyo 2006).

Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi dari salep tergantung

pada pemikiran yang cermat atas sejumlah faktor-faktor termasuk laju pelepasan

yang diinginkan bahan obat dari dasar salep, keinginan peningkatan absorbsi

perkutan dari obat, kelayakan melindungi kelembaban kulit, kestabilan dasar

salep dalam jangka waktu lama, pengaruh obat terhadap kekentalan atau lainnya

dari dasar salep (Ansel 1989).

Salep merupakan sediaan yang digunakan secara topikal. Salep, baik salep

penutup maupun pelindung berguna untuk melindungi kulit dari kerja yang

merusak. Salep diharapkan mampu melakukan penetrasi sampai ke dalam lapisan

Page 6: fitokimia kunyit

kulit teratas dan dapat memberikan efek penyembuhan untuk menangani luka

maupun penyekit kulit lainnya tang bersifat akut ataupun kronis (Ansel 1989).

Persembuhan Luka

Persembuhan luka adalah proses dalam tubuh untuk memperbaiki bagian

luka menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi normal tubuh sebelumnya.

(Vegad 1995). Berdasarkan keadaan luka yang terjadi, jenis penyembuhan dibagi

menjadi dua macam. Luka paling sederhana adalah luka yang dapat ditangani

sendiri oleh tubuh seperti pada insisi pembedahan, yang tepi lukanya dapat saling

didekatkan untuk dimulainya proses persembuhan. Persembuhan semacam itu

disebut persembuhan primer atau healty by first intention (Price dan Wilson

1992). Pola kedua adalah penyembuhan luka terjadi jika kulit yang mengalami

luka sedemikian rupa sehingga tepinya tidak dapat saling didekatkan selama

proses penyembuhan. Keadaan ini disebut sebagai healing by second intention

atau terkadang disebut penyembuhan dengan granulasi. Luka seperti ini biasanya

menimbulkan jaringan parut dan memerlukan waktu yang lama dalam proses

persembuhannya (Price dan Wilson 1992).

Menurut Nayak dan Pereira (2006), persembuhan luka merupakan suatu

proses untuk memperbaiki kulit dan jaringan lunak setelah terjadinya proses

perlukaan. Setelah perlukaan terjadi akan diikuti dengan reaksi peradangan pada

daerah dermis yang diikuti penurunan produksi jaringan ikat kolagen. Kemudian

akan terjadi regeneresi dari sel epitel. Oleh karena itu, proses persembuhan luka

umumnya terdiri atas tiga fase yaitu, proses peradangan, fase proliferasi, serta

remodeling atau fase maturasi (Singer dan Clark 1999).

Fase Peradangan ( Fase Inflamasi)

Peradangan adalah reaksi universal dari kerusakan jaringan karena

terjadinya trauma mekanis, nekrosa jaringan, dan terjadinya infeksi (Price dan

Wilson 1992). Pada fase inflamasi terjadi respons vaskuler dan seluler yang

terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak (Tawi 2008 ; Vegad

1995). Pada awal fase ini, luka yang mengakibatkan kerusakan pembuluh darah

Page 7: fitokimia kunyit

akan menyebabkan keluarnya darah (Spector dan Spector 1993). Menurut Tawi

(2008), kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang

berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan

juga mengeluarkan substansi “vasokonstriksi” yang mengakibatkan pembuluh

darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang yang

akan menutup pembuluh darah.

Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi

vasodilatasi kapiler stimulasi saraf sensoris, local reflex action, dan adanya

substansi vasodilator: histamin, serotonin, dan sitokin. Sitokin terdiri dari

Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-

derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) .

Keberadaan sitokin akan mempercepat kehadiran makrofag dan monosit (Singer

dan Clarc 1999). Sementara histamin, selain menyebabkan vasodilatasi juga

mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah

keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi

oedema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis (Tawi 2008).

Oedema yang terjadi akan mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama

netrofil) ke ekstra vaskuler. Fungsi netrofil adalah membersihkan daerah luka

dari benda asing dan bakteri (Singer dan Clark 1999). Menurut Spector dan

Spector (1993) keberadaan netrofil di daerah luka sangat singkat, sehingga setelah

dihasilkannya sitokin, monosit masak akan berubah menjadi makrofag di jaringan

dan menggantikan fungsi netrofil. Sel makrofag berfungsi untuk fagositosis,

mensintesa kolagen, membentuk jaringan granulasi bersama-sama dengan

fibroblas, memproduksi growth factor yang berperan pada reepitelisasi, serta

membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis (Tawi 2008)

Setelah luka bersih dari infeksi dan bakteri serta terbentuknya

makrofag, dan fibroblas, dapat dikatakan bahwa fase inflamasi telah terjadi. Fase

ini ditandai dengan adanya eritrema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit

yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 setelah terjadinya perlukaan

(Tawi 2008).

Page 8: fitokimia kunyit

Fase Proliferasi

Menurut Tawi (2008), proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini

adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel.

Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada

persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama

proses rekonstruksi jaringan.

Pada jaringan lunak yang mengalami perlukaan, fibroblas akan aktif

bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan

berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin,

hyaluronic acid, fibronectin dan profeoglycans) yang berperan dalam

membangun (rekonstruksi) jaringan baru (Singer dan Clark 1999).

Kolagen memiliki fungsi yang lebih spesifik yaitu membentuk cikal bakal

jaringan baru dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblas, memberikan

tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai satu

kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka (Tawi 2008).

Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan

baru tersebut, disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi

fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia. Respon yang dilakukan

fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah proliferasi, migrasi, deposit jaringan

matriks, serta kontraksi luka (Tawi 2008).

Angiogenesis merupakan proses komplek pembentukan pembuluh

kapiler baru didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proliferasi

persembuhan luka (Singer dan Clark 1999). Kegagalan vaskuler akibat penyakit

(diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan

lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan

vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk

memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena biasanya pada

daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase

ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi

oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (grawth factors)

(Tawi 2008).

Page 9: fitokimia kunyit

Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan

keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel

epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk

barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas,

pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan

mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan

baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi

myofibroblas yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan.

Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka yang ekstrim dibandingkan

dengan luka biasa (Tawi 2008). Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis

dan lapisan kolagen telah terbentuk (Anonim 2003).

Fase Maturasi

Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai

kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan

terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan

bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna

kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan

serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut

(Tawi 2008).

Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan

pada fase maturasi. Selain teejadi pembentukan kolagen baru, enzim kolagenase

akan mengubah kolagen muda ( gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase

proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan

struktur yang lebih baik (proses re-modelling) (Singer dan Clark 1999). Menurut

Tawi (2008) luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan

kekuatan jaringan kulit mampu melakukan aktivitas yang normal.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peradangan Dan Penyembuhan

Persembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu usia, nutrisi,

infeksi, sirkulasi dan oksigenasi, keadaan luka dan obat (Drakbar 2008). Anak dan

dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering

Page 10: fitokimia kunyit

terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari

faktor pembekuan darah (Drakbar 2008).

Menurut Drakbar (2008) proses penyembuhan membuat tubuh bekerja

lebih keras, sehingga penderita memerlukan diet kaya protein, karbohidrat,

lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Penderita kurang nutrisi

memerlukan waktu lebih lama untuk persembuhan, karena mereka harus

memperbaiki status nutrisi mereka terlebih dahulu baru melakukan proses

persembuhan. Sedangkan pada penderita yang nutrisinya berlebih (gemuk) infeksi

luka akan memerlukan waktu penyembuhan yang lama karena suplai darah

jaringan adipose tidak merata. Penggunaan obat anti inflamasi (seperti steroid dan

aspirin), heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka.

Penggunaan antibiotik yang lama juga dapat membuat seseorang rentan terhadap

infeksi luka (Drakbar 2008). Penyembuhan luka juga terganggu oleh adanya

benda asing atau jaringan nekrotik pada luka yang menyebabkan infeksi jaringan,

sehingga persembuhan luka lebih lama (Price dan Wilson 1992).

Faktor lain yang mempengaruhi proses persembuhan luka adalah proses

sirkulasi dan oksigenisasi. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan

lemak pada orang-orang yang gemuk membuat penyembuhan luka lambat. Hal

ini dikarenakan pada jaringan lemak jumlah pembuluh darah sedikit, sehingga

jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh.

Pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau

diabetes millitus aliran darah terganggu sehingga persembuhan luka terhambat.

Begitupula pada penderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada

perokok, oksigenasi jaringan menurun sehingga prosesnya lebih lama

dibandingkan pada orang yang sehat (Drakbar 2008).

Menurut Price dan Wilson (1992), hal lain yang dapat mempengaruhi

proses persembuhan luka adalah pemakaiaan obat-obatan tertentu seperti

penderita yang mengkonsumsi sediaan kortikosteroid dalam dosis tinggi ataupun

obat antiinflamasi, seperti steroid dan aspirin yang membuat proses persembuhan

luka akan terhambat.

Page 11: fitokimia kunyit
Page 12: fitokimia kunyit

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Farmasi, dan Bagian Patologi,

Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Pertanian Bogor pada bulan Juli 2007- April 2008.

Bahan dan Alat

Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit albino jantan sebanyak

45 ekor umur 8 minggu dengan berat badan 20-40 gram. Mencit dipelihara dalam

kotak plastik berukuran 20 X 30 cm. Pada sisi atas kotak ditutup dengan kawat

kasa agar mencit tidak lepas, namun udara tetap bersirkulasi. Pada bagian dasar

diberi serbuk gergaji atau sekam untuk menjaga suhu tetap optimal. Mencit diberi

pakan pelet dan minum ad libitum.

Bahan

Bahan yang digunakan antara lain rimpang kunyit berumur 9 bulan yang

diperoleh dari Balitro dan telah diidentifikasi di Herbarium LIPI Bogorience.

Kemudian rimpang kunyit tersebut diolah menjadi simplisia rimpang kunyit.

Bahan lainnya antara lain etanol 96%, eter, larutan Netral Buffer Formalin

(BNF) 10% untuk fiksasi kulit, dan kapas serta vaselin kuning untuk pembuatan

salep. Obat komersil yang digunakan mengandung ekstrak plasenta 0.5%,

neomycin sulfate 5% dan jelly base.

Bahan yang digunakan untuk membuat sediaan histopatologi yaitu larutan

Mayer’s Hematoxylin, larutan Eosin, Xylol, alkohol dengan konsentrasi

bertingkat (70%, 80%, 90%, 95% dan 100%), larutan Lithium Carbonat,

Aquades, Asam Asetat 1%, larutan Mordant, larutan Carrazi’s Hematoxylin,

larutan Orange G 0,75% larutan Ponceau Xylidine Fuchsin, Larutan

Phosphotungstic acid 2,5%, Anilin Blue, dan parafin.

Page 13: fitokimia kunyit

Alat

Alat-alat yang digunakan antara lain toples, kandang mencit, pisau bedah

untuk mendapatkan sediaan kulit, peralatan untuk pembuatan sediaan

histopatologi yaitu tissue processor, mikrotom, penangas air, gelas objek dan

gelas penutup. Mikroskop cahaya dan mikroskop video mikrometer untuk

pengamatan histopatologi. Sedangkan, alat-alat untuk ektraksi rimpang kunyit

adalah maserator, evaporator, gelas elenmayer 100 ml, dan oven untuk

pengeringan.

Tahapan Penelitian

Ekstraksi rimpang kunyit

Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Metode ini dilakukan

dengan cara serbuk kunyit (simplisia) yang didapatkan dari rimpang kunyit 9

bulan, dimasukkan ke dalam wadah, setelah itu ditambahkan pelarut etanol

(alkohol 96%) dengan perbandingan 10 : 1. Kemudian direndam selama 24 jam

dengan melakukan pengadukan secara berkala. Setelah itu dilakukan

penampungan filtrat. Ampas yang didapatkan dari penyaringan kemudian

direndam kembali dengan menggunakan etanol 96%. Prosedur ini dilakukan

sebanyak 3 kali. Setelah filtrat didapatkan maka dilakukanlah evaporasi dengan

menggunakan evaporator hingga dihasilkan ekstrak semi padat etanol rimpang

kunyit. Kemudian keringkan dalam oven bersuhu 40 º C hingga didapatkan

ekstrak kental etanol rimpang kunyit.

Page 14: fitokimia kunyit

Rimpang Kunyit

Serbuk Halus

Simplisia Kunyit

Maserasi Etanol 96%

Filtrat

Evaporasi

Ekstrak Semi Padat

Panaskan (Oven)

Ekstrak Kental

Gambar 6. : Proses ekstraksi rimpang kunyit dengan pelarut etanol

Penapisan Fitokimia

Metode fitokimia dilakukan untuk menganalisis senyawa yang terkandung

dalam rimpang kunyit yang dapat berguna dalam membantu proses persembuhan

luka. Dalam metode ini senyawa yang dianalisis keberadaannya adalah senyawa

alkaloid, flavonoid, tanin dan polifenol, saponin, dan senyawa kuinon.

a. Senyawa Alkaloid

Serbuk simplisia dibebaskan dengan amonia, kemudian ditambahkan

kloroform dan digerus kuat-kuat. Lapisan kloroform dipipet sambil disaring,

kemudian kedalamnya ditambahkan asam klorida (HCl) 2N. Campuran dikocok

Page 15: fitokimia kunyit

kuat-kuat hingga terdapat dua lapisan. Lapisan asam dipipet, kemudian dibagi

menjadi tiga bagian. Bagian pertama ditambahkan pereaksi Mayer, setelah itu

amati adanya endapan atau kekeruhan yang terjadi. Bila terjadi kekeruhan atau

endapan berwarna putih berarti dalam simplisia kemungkinan terkandung

alkaloid. Bagian kedua ditambahkan pereaksi Dragendroff. Terjadinya endapan

jingga kuning atau kekeruhan kemungkinan simplisia tersebut mengandung

alkaloid. Bagian ketiga digunakan sebagai blanko.

b. Senyawa Polifenolat

Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam

penangas air, kemudian disaring. Kepada filtrat ditambahkan larutan pereaksi besi

(III) klorida. Adanya senyawa fenolat ditandai dengan terjadinya warna hijau-biru

hitam hingga hitam.

c. Senyawa Tanin

Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam

penangas air, kemudian disaring. Setelah itu kedalam filtrat ditambahkan larutan

larutan pereaksi besi (III) klorida sehingga terjadi warna hijau-biru hitam hingga

hitam, kemudian ditambahkan larutan gelatin 1%. Adanya senyawa tanin ditandai

dengan terjadinya endapan berwarna putih.

d. Senyawa Flavonoid

Simplisia dipanaskan dengan campuran Magnesium (Mg) dan asam

klorida (HCl) 5N, kemudian disaring. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat

berwarna merah yang dapat ditarik oleh amil alkohol.

e. Senyawa kuinon

Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam

penangas air, kemudian disaring. Kedalam filtrat ditambahkan larutan KOH 5%.

Adanya senyawa kuinon ditandai dengan terjadinya warna kuning hingga merah.

f. Senyawa Saponin

Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi dipanaskan dalam

penangas air, kemudian disaring. Setelah dingin filtrat dalam tabung reaksi

dikocok kuat-kuat selama kurang lebih 30 detik. Pembentukkan busa sekurang-

kurangnya setinggi 1 cm dan persisten hilang selama beberapa menit serta tidak

Page 16: fitokimia kunyit

hilang pada penambahan tetes demi tetes asam klorida encer menunjukkan

adanya saponin dalam simplisia.

Pembuatan Salep Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit.

Ekstrak kental etanol kunyit yang telah dihasilkan kemudian ditimbang

dan dihomogenisasi dengan vaselin kuning menggunakan mortar. dilakukan

homogenisasi hingga merata dan tidak terasa lagi butiran serbuk kunyit. Setelah

itu disimpan dalam tabung dan diberi label.

Mencit Untuk Perlakuan

Mencit yang digunakan berjumlah 45 ekor dan dibagi menjadi 3 kelompok

perlakuan; 1) kontrol negatif, yaitu kelompok mencit yang dilukai namun tidak

diberikan pengobatan, 2) kontrol positif, yaitu kelompok mencit yang diberikan

salep neomycin sulfat 5%, dan 3) kelompok mencit yang dilukai dan diberikan

sediaan salep ekstrak etanol kunyit.

Perlukaan Pada Mencit

Sebelum melakukan perlukaan, rambut di sekitar punggung mencit

dicukur. Sebelum disayat kulit mencit diulas dahulu dengan menggunakan

alkohol 70%. Mencit diberi anastesia perinhalasi dengan eter, kemudian

dilakukan penyayatan pada punggung mencit sepanjang satu centimeter sejajar os.

Vertebrae dengan menggunakan pisau bedah steril.

Aplikasi Obat

Aplikasi obat luka komersil yang mengandung neomicin sulfat 5%,

plasenta, dan jelly base, dilakukan dengan mengoleskan obat pada luka dengan

menggunakan cotton buds. Begitupula dengan aplikasi obat luka salep ekstrak

etanol rimpang kunyit dilakukan dengan cara yang sama. Aplikasi sediaan obat

tersebut dilakukan setiap hari sebanyak dua kali sehari selama 21 hari pasca

perlukaan.

Page 17: fitokimia kunyit

Pengamatan patologi Anatomi

Mencit perlakuan dan mencit kontrol diamati setiap hari khususnya pada

hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21 setelah perlukaan. Pengamatan patologi anatomi

dilakukan terhadap mencit perlakuan dan mencit kontrol menggunakan metode

deskriptif dengan membandingkan proses persembuhan yang terjadi parameter

yang diamati adalah menyempitnya luka, panjang luka, keringnya luka, warna

luka, keberadaan rambut, dan keberadaan keropeng.

Pengambilan sampel kulit

Sampel kulit diambil pada hari ke 2, 4, 7, 14 dan 21 paska perlukaan

setelah mencit dieuthanasi dengan menggunakkan eter dosis berlebih perinhalasi.

Daerah punggung yang diambil kulitnya dibersihkan dari rambut yang mulai

tumbuh. Kemudian kulit disekitar luka dipotong dengan ukuran ± 1.5 cm

(sentimeter) dengan menggunakan skapel yang telah disterilkan terlebih dahulu.

Kulit yang sudah dipotong difiksasi dengan larutan BNF (Buffer Neutral

Formaline) 10 % selama ± 48 jam.

Fiksasi sediaan kulit dan pembuatan preparat histopatologi

Potongan sediaan kulit dimasukkan ke dalam kaset tisue dan didehidrasi

dengan cara merendam sediaan secara berturut-turut ke dalam alkohol 70%, 80%,

90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, xylol I, xylol II, parafin I, dan terakhir

ke dalam parafin II. Proses perendaman pada setiap bahan dilakukan selama 2 jam

untuk masing-masing sediaan.

Jaringan kemudian dimasukkan ke dalam alat pencetak berisi parafin cair .

Letak jaringan diatur sedemikian rupa agar tetap berada di tengah blok parafin.

Setelah mulai membeku, parafin ditambah kembali hingga alat pencetak penuh

dan dibiarkan hingga parafin mengeras.

Pemotongan dengan mikrotom dilakukan dengan ketebalan 5 mikron. Hasil

pemotongan yang berbentuk pita diletakkan di atas permukaan air hangat 45 º

C dengan tujuan menghilangkan lipatan-lipatan pada pita akibat pemotongan.

Setelah itu sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah

Page 18: fitokimia kunyit

diulasi larutan albumin yang berguna untuk merekatkan sediaan. Kemudian

preparat dikeringkan semalam dalam inkubator bersuhu 60ºC. Selanjutnya

dilakukan pewarnaan umum Haematoxylin Eosin dan pewarnaan khusus Masson

Trichrome.

Pembuatan sediaan Haematoxilin Eosin (HE)

Sediaan histopatologi yang telah didapatkan kemudian dimasukkan ke

dalam xylol dua kali selama dua menit. Kemudian sediaan direhidrasi yang

dimulai dari alkohol absolut sampai alkohol 80 % dengan waktu masing-masing 2

menit. Selanjutnya sediaan dicuci dalam air mengalir dan dikeringkan.

Setelah sediaan kering kemudian diberi pewarna Mayer’s Hemaktosilin

selama 8 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan lithium

karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air, dan akhirnya diwarnai dengan

pewarna Eosin selama 2 menit. Pewarna Eosin yang berlebihan dihilangkan

dengan cara mencuci sediaan pada air yang mengalir, setelah itu sediaan

dikeringkan. Kemudiaan sediaan dicelupkan ke dalan alkohol 90% sebanyak 10

kali celupan, alkohol absolut I 10 kali celipan, alkohol absolut II selama 2 menit,

xylol I selama I menit, dan xylol II selama 2 menit. Sediaan lalu dikeringkan

terlebih dahulu sebelum ditetesi dengan perekat permount dan kemudian ditutup

dengan gelas penutup dan disimpan beberapa menit hingga zat perekatnya

mengering. Preparat siap untuk diamati dibawah mikroskop cahaya.

Pembuatan Sediaan Masson Trichrome (MT)

Sediaan histopatologi dideparafinasi dan rehidrasi hingga pencucian

dengan air dan akuades dilakukan terlebih dahulu sebelum diwarnai. Sediaan

kemudian dimasukkan ke dalam larutan Mordant selama 30-40 menit lalu dicuci

dengan akuades. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam larutan Carrazi’s

Hematoksilin selama 40 menit dan dicuci dengan akuades. Setelah itu sediaan

dimasukkan ke dalam larutan Orange G 0.75 % selama 1 sampai 2 menit lalu

dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali dengan cara menggoyangnya

sebentar. Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam larutan Ponceau Xylidine

Page 19: fitokimia kunyit

Fuchsin selama 15 menit dan dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali.

Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam larutan Phosphotungstic Acid selama

10 menit lalu dicuci dengan asam asetat 1% sebanyak 2 kali dan terakhir

dimasukkan ke dalam alkohol 95 %. Berikutnya adalah sediaan dimasukkan ke

dalam Anilin Blue selama 15 menit dan dibilas dengan asam asetat 1% sebanyak

dua kali. Kemudian sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 95% selama tiga menit.

Sediaan didehidrasi dan clearing terlebih dahulu sebelum ditetesi perekat

permount dan ditutup dengan gelas penutup.

Pengamatan Histopatologi

Pengamatan histopatologi dilakukan pada sampel kulit yang telah diambil

pada hari ke 2, 4, 7, 14, dan, 21 dengan menghitung sel polimorfonuklear

(Netrofil), jumlah neovaskularisasi, persentase reepitelisasi, dan persentase luasan

jaringan ikat kolagen.

Pengamatan terhadap jumlah sel polimorfonuklear menggunakan

mikroskop Olympus BX51TF, Japan dan pemotretan dengan videophoto dalam

10 lapang pandang dimana luas tiap lapang pandang adalah 20450µm2.

Pengukuran panjang luka dan reepitelisasi menggunakan video mikrometer FDR-

A IV-560 dengan perbesaran objektif empat kali. Ketebalan dan luasan jaringan

ikat dilihat dengan menggunakan preparat yang memakai pewarnaan Masson

Trichrome. Presentase reepitelisasi dan jaringan ikat menggunakan video

micrometer JVC, Japan dengan perbesaran objektif empat kali.

Perhitungan panjang jaringan ikat kolagen dan reepitelisasi ditentukan

dengan cara mengkonfersi skala bar yang digunakan pada video mikrometer

dengan perbesaran 180x, yaitu 200 µm menjadi 3,6 cm.

200µm X 180x = 3.6 x 104 µm = 3.6 cm

Kemudian dibuatlah pola kotak-kotak dengan ukuran 3.6 X 3.6 cm dengan

kertas plastik (Gambar 7) . Kertas plastik yang sudah berpola ditempelkan pada

monitor video micrometer. Setelah itu, untuk menyamakan standar perhitungan

Page 20: fitokimia kunyit

ditentukan tiga kotak untuk setiap panjang luka yang akan dihitung yang diambil

dari tengah bagian luka.

Gambar 7. Metode penentuan luasan jaringan ikat pada pengamatanhistopatologis jaringan luka hari ke 14. Jaringan ikat terlihatberwarna biru pada sediaan Masson Trichrome.Pada tampilangambar video mikrometer dibuat pola kotak-kotak yang tiapsisinya berukuran 200µm.

Jaringan ikat yang tampak pada video micrometer ditentukan dengan

ketetapan sebagai berikut:

Jika luas jaringan ikat memenuhi lebih dari setengah bagian

kotak maka dihitung satu luasan, namun jika luasannya

kurang dari setengah kotah maka tidak dihitung sebagai

luasan

Perhitungan presentase jaringan ikat ditentukan dengan menggunakan rumus:

Luas jaringan ikat kolagen yang terbentuk

Luas luka

Sedangkan untuk presentase reepitelisasi ditentukan dengan rumus:

X 100%

Page 21: fitokimia kunyit

Luas luka yang telah ditutupi epitel X 100%

Luas luka

Analisis Data

Hasil pengamatan patologi anatomi diuji secara deskriptif. Hasil

pengamatan histopatologi berupa data banyaknya jumlah sel polimorfonuklear,

neovaskularisasi, persentase luasan jaringan ikat kolagen, dan presentase

reepitelisasi. Selanjutnya data diuji secara statistika menggunakan uji sidik ragam

ANOVA yang dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan untuk

mengetahui hasil yang diperoleh berbeda secara nyata atau tidak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 22: fitokimia kunyit

Penapisan Fitokimia

Hasil pengamatan penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui

senyawa pada kunyit yang dapat tertarik oleh pelarut etanol yang disajikan pada

Tabel 1. Senyawa-senyawa yang dilakukan pengujian adalah alkaloid, flavonoid,

tanin dan polifenol, saponin, serta kuinon. Etanol yang merupakan pelarut polar

hanya dapat menarik senyawa-senyawa yang juga bersifat polar (Houghton dan

Raman 1998).

Netrofil (Gambar 9) merupakan sel pertahanan pertama terhadap

kontaminasi mikroba pada peradangan. Fungsi netrofil adalah membersihkan

daerah luka dari benda asing dan bakteri (Singer dan Clark 1999). Menurut

Spector dan Spector (1993) keberadaan netrofil di daerah luka sangat singkat,

sehingga setelah dihasilkannya sitokin, monosit masak akan berubah menjadi

makrofag di jaringan dan menggantikan fungsi netrofil. Keberadaan makrofag

menjadi prasyarat terjadinya proses persembuhan.

Keberadaan netrofil sudah terlihat pada awal perlukaan (Tabel 2).

Netrofil sudah muncul pada hari ke-2 pada ketiga kelompok baik kontrol positif,

negatif maupun perlakuan dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit. Jumlah

netrofil tertinggi pada kontrol positif maupun perlakuan menggunakan salep

ekstrak etanol rimpang kunyit terjadi pada hari ke-7, sedangkan kelompok kontrol

negatif jumlah netrofil tertinggi terjadi pada hari ke-2. Pada hari ke -14

Page 23: fitokimia kunyit

Jum

lah

Sel

Po

limo

rfo

nu

kle

ar

kelompok kontrol positif dan perlakuan salep ekstrak etanol rimpang kunyit

memperlihatkan penurunan yang cukup signifikan, sedangkan pada kontrol

negatif jumlahnya lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Penurunan jumlah netrofil

pada kontrol positif dan dengan menggunaka sediaan salep ekstrak etanol

rimpang kunyit, dapat disebabkan karena adanya zat anti inflamasi yaitu

neoimicin sulfat 5% pada kontrol positif, sedangkan pada sediaan salep ekstrak

etanol rimpang kunyit mengandung senyawa kuinon yang berfungsi sebagai anti

mikrobial (Robinson 1995).

Jika dibandingkan ketiga perlakuan baik kontrol positif, kontrol

negatif, maupun perlakuan dengan salep ekstrak etanol rimpang kunyit terlihat

bahwa pada hari pertama kontrol positf dan perlakuan salep ekstrak etanol

rimpang kunyit memperlihatkan jumlah netrofil yang rendah di hari pertama

dan hari ke-4, namun kemudian meningkat pada hari ke-7 dan turun secara

signifikan pada hari ke -14 dan 21. Sedangkan pada kontrol negatif jumlah

netrofil tertinggi justru terjadi pada hari pertama, sedangkan jumlah netrofil

dari hari ke-7 menuju hari ke-14 penurunan jumlah netrofil tidak sebesar pada

kelompok kontrol positif maupun perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol

rimpang kunyit. Perbandingan rataan jumlah sel polimorfonuklear disajikan pada

grafik pada Gambar 10 berikut ini :

1816141210

86420

Kontrol Positif

Kontrol Negatif

Salep EkstrakEtanol

2 4 7 14 21 Rimpang

Hari Ke- Kunyit

Gambar 10. Perbandingan rataan jumlah sel polimorfonuklear pada prosespersembuhan luka

Page 24: fitokimia kunyit

21 0.00±0.00 6.00±1.00

7 8.00±1.73 0.67±1.15

0.00±0.002 0.00±0.00

Neovaskularisasi

Menurut Singer dan Clark (1999) pembentukan pembuluh darah baru

memiliki arti penting dalam proses persembuhan luka. Hasil pengamatan

mikroskopis jumlah relatif rataan neovaskularisasi, akan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan jumlah relatif neovaskularisasi pada pemeriksaan mikroskopis

Salep Ekstrak EtanolHari Kontrol Positif Kontrol Negatif

a a

4 0.33±0.58 a 0.00±0.00 a

a b

14 6.33±2.52 a 5.00±1.00 a

a b

Rimpang Kunyit0.00±0.00 a

0.00±0.00 a

1.67±0.58 b

6.67±1.15 a

1.67±1.53 a

Keterangan: Huruf supersript yang sama pada baris yang sama menunjukkantidak ada perbedaan nyata. (P>0.05)

Pada hari ke-2 maupun hari ke-4 terlihat ketiga perlakuan baik kontrol

positif, kontrol negatif maupun kelompok perlakuan menggunakan salep ekstrak

etanol rimpang kunyit tidak memperlihatkan perbedaan nyata (P>0.05) (Tabel 4)

.Pada hari ke-2 belum terlihat munculnya neovaskularisasi pada ketiga kelompok.

Hari keempat mulai terbentuk pembuluh darah baru pada kontrol positif,

meskipun jumlahnya relatif masih sedikit.

Pada hari ke-7 terjadi perbedaan nyata (P<0.05) antara kontrol positif

dengan kontrol negatif dan perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang

kunyit (Tabel 4). Menurut Martin (1997), keberadaan makrofag yang

mengeluarkan FGF2 dan vaskular endotelial growth faktor (VEGF) akhirnya

memicu pertumbuhan neovaskularisasi (Gambar 11). Menurut Spector dan

Spector (1993) Pembuluh darah baru mulai terlihat tanda-tandanya dalam satu

minggu. Pembuluh darah baru tumbuh ke dalam luka sebagai pita padat dari sel-

sel endotel yang tumbuh ke luar sebagai kuncup dari kapiler yang utuh pada tepi

luka. Kuncup endotel yang terbentuk kemudian mengalami mitosis dan

membentuk simpai serta lengkungan. Pita endotel padat kemudian berkembang

menjadi saluran dalam beberapa jam dan darah mulai mengalir. Proses

mengalirnya kembali darah menjadi amat penting dalam proses persembuhan

Page 25: fitokimia kunyit

luka. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu

respon untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka, karena

biasanya pada daerah luka terjadi keadaan hipoksia (Singer dan Clark 1999).

Pada hari ke-14 ketiga perlakukan kembali tidak memperlihatkan

perbedaan yang nyata (P>0.05). Menurut Spector dan Spector (1993), setelah

dua minggu arteriola yang baru sudah mulai terbentuk dan memberikan suplai

bagi saraf vasomotorik. Pada hari ke-21 terlihat terjadi perbedaan nyata (P<0.05)

antara kontrol negatif dengan kontrol positif dan perlakuan menggunakan salep

ekstrak etanol kunyit (Tabel 4). Hasil ini menunjukkan bahwa kontrol positif dan

perlakuan menggunakan salep ekstrak etanol rimpang kunyit memberikan hasil

yang lebih baik daripada kontrol negatif. Hal ini terjadi kemungkinan karena fase

peradangan yang lebih cepat pada kontrol positif dan perlakuan menggunakan

salep ekstrak etanol rimpang kunyit sehingga memberikan hasil yang lebih baik

daripada kontrol negatif.

Gambar 11 Neovaskularisasi yang yang terbentuk pada jaringan luka denganperlakuan salep ekstrak etanol rimpang kunyit pada hari ke 14.Pewarnaan Masson Trichrome. Bar: 20 µm

Page 26: fitokimia kunyit

Jun

lah

Neo

vask

ula

r

Apabila dibandingkan antara ketiga perlakuan (Gambar 12), terlihat

bahwa kontrol positif mulai membentuk neovaskularisasai pada hari ke-4 berbeda

dengan kontrol negatif dan perlakuan salep ekstrak etanol rimpang kunyit yang

baru membentuk neovaskularisasi pada hari ke-7. Pada kontrol positif puncak

jumlah neovaskularisasi terjadi pada hari ke-7 sedangkan pada kelompok negatif

maupun perlakuan dengan ekstrak etanol kunyit jumlah pembentukan

neovaskularisasi tertinggi terjadi pada hari ke-14. Pada hari ke-21 terlihat

penurunan jumlah neovaskularisasi pada kontrol positif dan perlakuan dengan

salep ekstrak etanol rimpang kunyit, sedangkan pada kontrol negatif jumlahnya

masih relatif tinggi. Hal tersebut dapat menggambarkan persembuhan luka yang

relatif lebih cepat pada kontrol positif maupun perlakuan dengan salep ekstrak

etanol rimpang kunyit. Terjadinya keadaan seperti ini kemungkinan karena pada

hari ke-14 dan 21 makrofag telah memfagositosis reruntuhan sel, terbukti dengan

jumlah netrofil yang menurun pada kontrol positif maupun perlakuan dengan

salep ekstrak etanol rimpang kunyit pada hari ke- 14 dan 21, sedangkan kontrol

negatif pada hari yang sama jumlah netrofilnya masih relatif lebih tinggi daripada

yang lain. Fagositosit oleh makrofag inilah yang memicu pembentukan pembuluh

darah baru (Spector dan Spector 1993).

10

8

6

4

2

0

Kontrol Positif

Kontrol Negatif

Salep Ekstrak2 4 7 14 21 Etanol

Hari Ke- RimpangKunyit

Gambar 12. Perbandingan rataan jumlah neovaskularisasi padapersembuhan luka

proses

Page 27: fitokimia kunyit

2 33.33±33.354 33.33±33.35

44.43±19.2833.33±33.35

Reepitelisasi

Proses reepitelisasi merupakan serangkaian peristiwa yang terkoordinasi

dan terstruktur. Reepitelisasi pada kulit dicapai dengan meningkatkan aktivitas

mitosis epitel di tepi luka (Spector dan Spector 1995). Hasil pengamatan

mikroskopis mengenai gambaran reepitelisasi pada ketiga perlakuan ditunjukkan

pada Tabel 5 berikut ini:

Tabel 5. Persentase (%) reepitelisasi pada pemeriksaan mikroskopis

Salep Ekstrak EtanolHari Ke- Kontrol Positif Kontrol Negatif Rimpang Kunyit

a

a

7 77.80±19.23 a

14 66.67±57.74 a

21 100.00±0.00 a

a

a

77.80±19.23 a

88.90±19.23 a

100.00±0.00 a

55.57±19.28 a

22.20±19.23 a

44.47±38.51 a

77.77±38.51 a

100.00±0.00 a

Keterangan: Huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkantidak ada perbedaan nyata. (P>0.05)

Pada proses reepitelisasi terjadi migrasi dan proliferasi dari fibroblas yang

akam mengeluarkan keranocyte growth factor, citokin dan reseptor yang akan

memproduksi metalloprotein matiks dan inhibitor. Matriks ekstraselular kemudian

akan mensintesis fibronectins, vitronectin, dan kolagen (Middelkoop 2005).

Menurut Tawi (2008) keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam

stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan

akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa

kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan

kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk

membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah

strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan

kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka yang

ekstrim dibandingkan dengan luka biasa.

Reepitelisasi (Gambar 13) pada ketiga perlakuan telah terjadi semenjak

hari ke-2. Secara statistik ketiga perlakuan tersebut tidak memperlihatkan

perbedaan nyata (P>0.05) (tabel 5). Menurut Price dan Wilson (1992), beberapa

Page 28: fitokimia kunyit

hari setelah perlukaan epitel permukaan di bagian tepi mulai melakukan

regenerasi, kemudian lapisan epitel yang tipis akan bermigrasi menuju permukaan

atas luka. Setelah itu epitel akan menjadi matang sehingga menyerupai kulit di

bawahnya.

Gambar 13. Reepitelisasi persembuhan luka dengan perlakuan salep ekstraketanol rimpang kunyit pada hari ke-14 dengan menggunakanpewarnaan Masson Trichrome. Bar: 200 µm

Setiap hari pengamatan ketiga perlakuan masih menunjukkan perbedaan

yang tidak nyata (P>0.05) (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa kandungan yang

terdapat pada kontrol positif yang mengandung neomicin sulfat 5% maupun

kandungan dalam salep ekstrak etanol rimpang kunyit tidak memberikan

pengaruh pada proses reepitelisasi persembuhan luka.

Apabila kita membandingkan ketiga perlakuan, kontrol positif dan kontrol

negatif memberikan hasil yang lebih baik pada hari ke-7 dibandingkan perlakuan

pemberian salep etanol rimpang kunyit (Gambar 13). Hal tersebut juga didukung

dari data patologi anatomi bahwa pada perlakuan pemberian salep ekstrak kulit

etanol pada jaringan perlukaan masih terdapat keropeng dan jaringan parut,

Page 29: fitokimia kunyit

sedangkan pada kelompok yang lain tidak. Menurut Price dan Wilson (1992)

matangnya jaringan parut akan bersinergis dengan menebal dan matangnya epitel

sehingga menyerupai kulit. Pada perlakuan luka yang diberikan salep ekstrak

etanol rimpang kunyit, jaringan parut yang masih hadir hingga hari ke-7

mengakibatkan melambatnya reepitelisasi.

Pada hari ke 14 kontrol negatif memperlihatkan reepitelisasi yang lebih

baik daripada kedua kelompok lainnya. Pada hari ke-21 reepitelisasi telah terjadi

secara sempurna. Hal ini dapat diperkuat dengan data patologi anatomis yang

memperlihatkan luka yang telah menutup secara sempurna.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Ekstrak etanol rimpang kunyit mengandung senyawa alkaloid dan kuinon.

2. Sediaan ekstrak etanol rimpang kunyit memberikan hasil yang lebih baik

untuk proses neovaskularisasi dibandingkan tidak dilakukan pengobatan.

3. Secara umum sediaan salep ekstrak etanol rimpang kunyit belum

mempercepat proses persembuhan luka.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sediaan yang tepat

bagi ekstrak etanol rimpang kunyit agar dapat bekerja efektif sebagai sediaan

persembuhan luka.