filsafat islam dan objek filsafat
TRANSCRIPT
FILSAFAT ISLAM DAN OBJEK FILSAFATA. Definisi Filsafat dan Filsafat Islam
1. Filsafat menurut bahasa
Kata-kata filsafat diucapkan ‘falsafah’ dalam bahasa Arab, dan berasal dari bahasa
Yunani Philosophia yang berarti ‘cinta kepada pengetahuan’, dan terdiri dari dua kata, yaitu
Philos yang berarti cinta (loving) dan Sophia yang berarti pengetahuan (wisdom, hikmah).
Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut “Philosophos” atau “Failasuf” dalam ucapan
Arabnya. Mencintai pengetahuan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha
dan tujuan hidupnya, atau dengan perkataan lain orang yang mengabdikan kepada
pengetahuan.[1]
Dalam buku Filsafat Umum karangan Dr. Ahmad Tafsir, dikatakan bahwa
Philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri dari atas Philo dan Sopiha ; Philo berarti
cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkan
itu; Sophia artinya bijaksana yang artinya pandai, pengertian yang dalam. Berdasarkan
kutipan di atas dapat diketahui bahwa dari segi bahasa, filsafat ialah keinginan yang
mendalam untuk mendapat kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak.[2]
Dari berbagai sumber yang penulis baca semua filosof sepakat bahwa filsafat atau
philosophia terdiri dari dua kata seperti yang telah penulis uraikan di atas. Dengan demikian
pengertian filsafat menurut bahasa ialah cinta pengetahuan atau kebijaksanaan.
Perkataan “filsafat” memang berasal dari perkataan Yunani, yang digunakan oleh
orang Arab dalam masa ke-emasan Islam, yang biasa dinamakan juga “zaman-terjemah”,
yaitu antara tahun 878 – 950 M. Seperti yang dikatakan oleh al-Farabi seorang filsuf muslim
terbesar sebelum Ibn Sina, bahwa perkataan “filsafat” itu berasal dari bahasa Yunani, ia
masuk dan digunakan sebagai bahasa Arab. Perkataan asal ialah Philosophia, yang terdiri
dari dua perkataan yaitu Philo yang berarti cinta dan Sophia yang berarti hikma atau
kebenaran.[3] Plato menyebut Socrates sebagai seorang Philosophos (filosof) dalam
pengertian seorang pencinta kebijaksanaan. Oleh karena itu kata falsafah merupakan hasil
Arabisasi, suatu masdar yang berarti kerja atau pencarian yang dilakukan oleh para filosof.
Dalam bahasa Belanda didapati perkataan “ Wijsbegeerte”. Wijs berarti cakap, pandai atau
bijaksana. Begeerte adalah nama benda, atau pekerjaan. Begeren, mengandung arti
“menghendaki sekali” atau “ingin sekali”. Jadi “wijs begeerte” berarti “kemauan yang keras
untuk mendapatkan kecakapan seseorang yang bijaksana”, yang biasanya dinamakan “wijs”
(orang yang bijaksana).[4] Menurut sejarah filsafat, istilah “philosophi” pertama kali
digunakan dalam sekolah Socrates, kemudian Plato menanamkan suatu ilmu pengetahuan
tentang kegiatan jiwa manusia.
Sebelum Socrates ada satu kelompok yang menyebut diri mereka Sophist (kaum
sophis) yang berarti para cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran
realitas (kebenaran, hakikat) dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam kesimpulan-
kesimpulan mereka. Secara bertahap kata “sophis” (sophis, sophistes) kehilangan arti aslinya
dan kemudian menjadi berarti seseorang yang menggunakan hujah-hujah yang keliru.
Dengan demikian, kita mempunyai kata sophistry ( cara berfikir yang menyesatkan), yang
mempunyai asal kata sama dalam bahasa Arab dengan kata Fatsathah dengan arti yang sama.
[5] Socrates karena kerendahan hati dan kemungkinan juga keinginan untuk menghindarkan
pengidentifikasian dengan kaum sophis , melarang orang menyebut dirinya seorang sophis ,
seorang cendekiawan. Ia menyebut dirinya seorang filosof (philosophos), pencinta
kebijaksanaan, pencinta kebenaran, menggantikan sophistes yang berarti sarjana dan gelar
yang terakhir ini merosot derajatnya menjadi seorang yang menggunakan penalaran yang
salah. Filsafat (philosophia) kemudian menjadi sama artinya dengan kebijaksanaan
(kearifan).[6] Oleh sebab itu, philosophia ( filosof) sebagai satu istilah teknis tidak
dipakaikan pada seorang segera setelahnya. Istilah philosophia juga tidak mempunyai arti
yang definitif pada zaman itu; diceritakan bahwa Aristoteles sendiri tidak menggunakannya.
Belakangan, penggunaan istilah philosophia (filsafat) dan philosophos (filosof) semakin
meluas. Secara etimologi kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, para ilmuwan dan filosof
sepakat memberi arti yang sama tentang filsafat tersebut.
Selanjutnya kata filsafat yang banyak terpakai dalam bahasa Indonesia, menurut Prof.
Dr. Harun Nasution bukan berasal dari kata Arab falsafah dan bukan pula dari bahasa Barat
philosophy . Di sini dipertanyakan tentang apakah fil diambil dari bahasa Barat dan safah dari
kata Arab, sehingga gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat ?[7]
2. Filsafat Menurut Istilah
Pengertian filsafat menurut istilah yang diberikan oleh beberapa ahli yang terkadang jauh lebih
luas dibandingkan dengan arti menurut bahasa.
Plato (427 – 347 Seb. Masehi), filsuf Yunani yang termashur murid Socrates,
menyatakan bahwa: Filsafat itu tidaklah lain daripada pengetahuan tentang segala yang ada.
[8] Sementara Al Farabi ( wafat 950 M) filsuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina berkata:
“Filsafat itu ialah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki
hakekatnya yang sebenarnya”.[9]
Sedangkan Thomas Hobbes (1588 – 1679 M), seorang filosof Inggris mengemukakan:
“Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan perhubungan hasil dan sebab atau sebab
dari hasilnya, dan oleh karena itu senantiasa adalah suatu perubahan”.[10]
Dari definisi di atas dapat dilihat adanya perbedaan dalam mendefinisikan filsafat
antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.
Perbedaan definisi ini menurut Abu Bakar Atjeh disebabkan oleh berbedaan konotasi
filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka.
Perbedaan itu juga dapat muncul karena perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan
beberapa pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat.[11] Di sini dapat diambil
kesimpulan bahwa perbedaan definisi filsafat antara satu tokoh dengan tokoh lainnya
disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat pada mereka masing-masing.
3. Definisi Filsafat Islam
Pembahasan mengenai hal tersebut ada masalah yang dihadapi yaitu apakah filsafat
itu bercorak Islam atau bercorak Arab.
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga
banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-
Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang
kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka “kaum
filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para filosof beragama Islam”, kadang-kadang
disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam” (Falasifatul-Islam, atau Al-falasifatul
Islamiyyin atau Hukuma’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’,
Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan dalam
bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam bahwa para ahli filsafat telah sepakat
memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh
dikisrukan: “Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah
diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut
lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam”.[12]
Seusai upacara pembukaan Universitas Mesir, seorang ahli masalah ketimuran
(Orientalis) Prof. Nellinuo memberikan ceramah tentang sejarah Ilmu Falak (Astronomi) di
kalangan orang Arab. Dalam kesempatan itu ia menampilkan tentang penamaan tersebut dan
mengupas beberapa tesis yang dibicarakan para ahli filsafat Islam dari kedua belah pihak
(yaitu yang memberi nama Filsafat Islam dan yang memberi nama Filsafat Arab). Antara lain
ia mengatakan sebagai berikut: “Setiap pembicaraan mengenai masa jahiliyah, atau masa
awal kelahiran Islam, makna sesungguhnya dan yang wajar dari kata-kata “Arab” tidak
diragukan lagi menunjuk pada suatu bangsa yang bermukim di daerah Semenanjung yang
dikenal dengan nama ‘Jazirah Arabiah’. Akan tetapi, jika pembicaraan itu beralih ke abad-
abad berikutnya mulai abad pertama Hijriyah kata “Arab” berubah menjadi suatu istilah yang
maknanya ialah segala bangsa dan rakyat yang bermukim di seluruh wilayah kerajaan Islam,
yang pada umumnya menggunakan Bahasa Arab dalam menulis buku-buku ilmiah. Dengan
demikian istilah “Arab” mencakup orang Persia, India, Turki, Suriah, Mesir, Barbar (Barbar
= penduduk Afrika Utara) Andalusia dan lain-lain. Yaitu orang dari berbagai kebangsaan
yang menulis buku-buku ilmiah dalam bahasa Arab, Jika tidak menyebut mereka dengan
“Arab”, sukar sekali untuk berbicara tentang Ilmu Falak, karena sangat sedikit putera Qathan
dan ‘Adnan)[13] yang memiliki kecerdasan berpikir.[14] Dari pernyataan tersebut jelaslah
bahwa Nellinou menitikberatkan pendapatnya pada bahasa. Karena itu ia mengatakan ilmu
tersebut (filsafat) oleh orang-orang Arab diartikan ilmu yang ditulis dalam bahasa Arab.
Courban, seorang orientalis Perancis ahli tentang Islam dan Iran mempertahankan
istilah Filsafat Islam. Ia mengatakan :
“Jika kita berpegang pada penamaan Filsafat Arab, maka pemikiran itu menjadi sempit bahkan keliru. Bagaimana kita bisa menempatkan pemikiran Nashir Khasru, misalnya atau pemikiran Afdhul Kasyani dan para ahli pikir Persia (Islam) lainnya yang hidup pada abad ke-11 hingga abad ke-13, mereka tidak menuliskan pemikirannya kecuali dalam bahasa Persia. Jika sebutan ‘ Arab ‘ dalam zaman kita dewasa ini mencakup pengertian politik dan kebangsaan dapat dibenarkan, pengertian itu tidak bisa membawa kita ke pangkalan ilmu atau sastra. Lagipula saya sendiri menolak mengkaitkan pengertian keagamaan dengan tanah air atau kebangsaan tertentu. Karena itu istilah yang paling tepat dan benar ialah Filsafat Dalam Islam atau Filsafat Islam atau Filsafat di Negeri-Negeri Islam , kalau penamaan yang terakhir disebutkan terasa terlampau panjang dan dianggap kurang baik untuk dijadikan istilah, saya tetap menolak memberikan predikat ‘ muslimah ‘ (musulman) pada filsafat tersebut. Sebab penamaan itu masih tetap mencakup keyakinan pribadi filosof yang bersangkutan, sedang filsafat islam mencakup segala hal-akhwal”.[15]
Demikian juga pendapat Dr. Ibrahim Madzakur dengan pernyataan bahwa penamaan
filsafat Arab tidak berarti pemikiran filsafat itu hasil karya suatu ras atau suatu bangsa. Saya
lebih suka menyebut Filsafat Islam, karena Islam bukan hanya aqidah atau keyakinan
semata-mata melainkan juga peradaban dan sikap peradaban mencakup segi-segi kehidupan
moral, material, pemikiran dan perasaan. Jadi Filsafat Islam ialah segala studi filsafat yang
dilukis di dalam dunia Islam, baik penulisnya orang Muslim, Nasrani ataupun Yahudi.[16]
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimana
pun hidup dan suburnya pemikiran tersebut (filsafat) adalah di bawah naungan Islam dan
kebanyakan karyanya ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan ‘ Filsafat
Arab ‘ ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil umat Arab semata-mata tidak benar, sebab
kenyataan menunjukan bahwa Islam telah mempersatukan berbagai umat dan kesemuanya
telah ikut serta dalam memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sedangkan kalau
yang dimaksud dengan Filsafat Islam ialah bahwa tersebut adalah hasil pemikiran kaum
Muslimin semata-mata juga berlawanan dengan sejarah, karena mereka pertama-tama
berguru pada aliran Nestorius dan Jacobitas dari golongan Masehi, Yahudi dan penganut
agama Sabi’ah, dan kegiatan mereka dalam berilmu dan berfilsafat selalu berhubungan
dengan orang-orang Masehi dan Yahudi yang ada pada masanya.
Namun pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum Muslimin lebih tepat disebut ‘Filsafat
Islam‘, pengingat bahwa Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga kebudayaan. Pemikiran
filsafat sudah barang tentu terpengaruh oleh kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran
tersebut adalah Islam baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun
tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran
dalam satu kesatuan. Dan dalam pemakaian istilah ‘ Filsafat Islam ‘ lebih banyak dipahami
dalam buku-buku filsafat, seperti an-Najat dan as-Syifa dari Ibn Sina, dalam buku al-Milal
wan-Nihal dari as-Syihrisaani, dalam buku Akhbar al-Hukuma dari al-Qafi dan Muqqadimah
Ibni Khaldun.[17]
Dengan demikian disimpulkan bahwa filsafat yang muncul dalam kehidupan Islam
yang banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab adalah Filsafat Islam , karena kegiatan
pemikirannya bercorak Islam. Islam disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran.
Filsafat disebut Islami bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang
beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang
membahas mengenai pokok-pokok keislaman.
Hakekat Filsafat Islam ialah aqal dan al-Quran. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa
aqal dan al-Quran. Aqal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan
al-Quran juga menjadi ciri keislamannya. Tidak dapat ditinggalkannya al-Quran dalam
filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga al-Quran tidak membatasi aqal bekerja,
aqal tetap bekerja dengan otonomi penuh.[18]
Aqal dan al-Quran di sini tidak dapat dipahami secara struktural, karena jika aqal dan
al-Quran dipahami secara struktural yang menyiratkan adanya hubungan atas bawah yang
bersifat subordinatif dan reduktif, maka antara satu dengan lainnya menjadi saling mengatas-
bawahi, baik aqal mengatasi al-Quran atau sebaliknya al-Quran mengatasi aqal. Jika al-Quran
mengatasi aqal maka aqal menjadi kehilangan peran sebagai subjek filsafat yang menuntut
otonomi penuh. Sebaliknya jika aqal mengatasi al-Quran, terbayang di sana bahwa aktivitas
kefilsafatan Islam menjadi sempit karena objeknya hanya al-Quran. Oleh karena itu, Filsafat
Islam adalah aqal dan al-Quran dalam hubungan yang bersifat dialektis. Aqal dengan
otonomi penuh bekerja dengan semangat Quranik. Aqal sebagai subjek, dan sebagai subjek ia
mempunyai komitmen, komitmen itu adalah wawasan moralitas yang bersumber pada al-
Quran. Aqal sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan al-Quran
memberikan wawasan moralitas atas pemecahan masalah yang diambil oleh aqal. Hubungan
dialektika aqal dan al-Quran bersifat fungsional.[19]
Jadi jelaslah apa yang dikatakan al-Akhwani dalam bukunya Filsafat Islam bahwa
Filsafat Islam adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam
masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama
Islam.[20]
B. Objek Filsafat
Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan, objek yang dipikirkan oleh
filsafat ialah segala yang ada dan yang mungkin ada. Jadi luas sekali.
“Objek filsafat itu bukan main luasnya”, tulis Louis Katt Soff, yaitu meliputi segala
pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia.[21] Oleh karena itu
manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya,
cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada menurut akal
pikirannya. Jadi objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya.
Objek filsafat ada dua yaitu Objek Materia dan Objek Forma, tentang objek materia
ini banyak yang sama dengan objek materia sains. Sains memiliki objek materia yang
empiris; filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris melainkan
bagian yang abstrak.[22] Sedang objek forma filsafat tiada lain ialah mencari keterangan
yang sedalam-dalamnya tentang objek materi filsafat (yakni segala sesuatu yang ada dan
yang mungkin ada).[23]
Dari uraian tertera di atas jelaslah, bahwa:
1. Objek materia filsafat ialah Sarwa-yang-ada, yang pada garis besarnya dapat
dibagi atas tiga persoalan pokok:
a. Hakekat Tuhan;
b. Hakekat Alam dan
c. Hakekat Manusia.
2. Objek forma filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-
dalamnya sampai ke akarnya) tentang objek materi filsafat (sarwa-yang-ada).[24]
Dalam buku Filsafat Agama; Titik Temu Akal dengan Wahyu karangan Dr. H.
Hamzah Ya’qub dikatakan bahwa objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya.
Di sinilah diketahui bahwa sesuatu yang ada atau yang berwujud inilah yang menjadi
penyelidikan dan menjadi pembagian filsafat menurut objeknya ialah:
1. Ada Umum yakni menyelidiki apa yang ditinjau secara umum. Dalam realitanya terdapat bermacam-macam yang kesemuanya mungkin adanya. Dalam bahasa Eropa, ADA UMUM ini disebut “Ontologia” yang berasal dari perkataan Yunani “Onontos” yang berarti “ada”, dalam Bahasa Arab sering menggunakan Untulujia dan Ilmu Kainat.
2. Ada Mutlak, sesuatu yang ada secara mutlak yakni zat yang wajib adanya, tidak tergantung kepada apa dan siapapun juga. Adanya tidak berpermulaan dan tidak berpenghabisan ia harus terus menerus ada, karena adanya dengan pasti. Ia merupakan asal adanya segala sesuatu. Ini disebut orang “Tuhan” dalam Bahasa Yunani disebut “Theodicea” dan dalam Bahasa Arab disebut “Ilah” atau “Allah”.
3. Comologia, yaitu filsafat yang mencari hakekat alam dipelajari apakah sebenarnya alam dan bagaimanakah hubungannya dengan Ada Mutlak. Cosmologia ini ialah filsafat alam yang menerangkan bahwa adanya alam adalah tidak mutlak, alam dan isinya adanya itu karena dimungkinkan Allah. “Ada tidak mutlak”, mungkin “ada” dan mungkin “lenyep sewaktu-waktu” pada suatu masa.
4. Antropologia (Filsafat Manusia), karena manusia termasuk “ada yang tidak mutlak” maka juga menjadi objek pembahasan. Apakah manusia itu sebenarnya, apakah kemampuan-kemampuannya dan apakah pendorong tindakannya? Semua ini diselidiki dan dibahas dalam Antropologia.
5. Etika: filsafat yang menyelidiki tingkah laku manusia. Betapakah tingkah laku manusia yang dipandang baik dan buruk serta tingkah laku manusia mana yang membedakannya dengan lain-lain makhluk.
6. Logika: filsafat akal budi dan biasanya juga disebut mantiq. Akal budi adalah akal yang terpenting dalam penyelidikan manusia untuk mengetahui kebenaran. Tanpa kepastian tentang logika, maka semua penyelidikan tidak mempunyai kekuatan dasar. Tegasnya tanpa akal budi takkan ada penyelidikan. Oleh karena itu dipersoalkan adakah manusia mempunyai akal budi dan dapatkah akal budi itu mencari kebenaran? Dengan segera timbul pula soal, apakah kebenaran itu dan sampai dimanakah kebenaran dapat ditangkap oleh akal budi manusia. Maka penyelidikan tentang akal budi itu disebut Filsafat Akal Budi atau Logika.Penyelidikan tentang bahan dan aturan berpikir disebut logica minor, adapun yang menyelidiki isi berpikir disebut logica mayor. Filsafat akal budi ini disebut Epistimologi dan adapula yang menyebut Critica, sebab akal yang menyelidiki akal.[25]
Adapun objek Filsafat Islam ialah objek kajian filsafat pada umumnya yaitu realitas,
baik yang material maupun yang ghaib. Perbedaannya terletak pada subjek yang mempunyai
komitmen Qur’anik.[26]
Dalam hubungan ini objek kajian Filsafat Islam dalam tema besar adalah Tuhan, alam,
manusia dan kebudayaan. Tema besar itu hendaknya dapat dijabarkan lebih spesifik sesuai
dengan perkembangan zaman, sehingga dapat ditarik benang merah dari perkembangan
sejarah pemikiran kefilsafatan yang hingga sekarang. Setiap zaman mempunyai semangatnya
sendiri-sendiri.
Dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa objek filsafat itu sama dengan objek
ilmu pengetahuan bila ditinjau secara materia dan berbeda bila secara forma. Sedangkan
objek kajian Filsafat Islam itu sendiri mencakup Tuhan, alam, manusia dan kebudayaan.
[1] A. Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), Cet. ke-5, h. 3[2] Dr. Ahmad Tafsir. Filsafat Umum; Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai James, (Bandung, PT.
Remaja Rosda Jarya, 1990), cet. ke-1, h. 8[3] Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang, Ramadhani, 1982), cet. ke-2, h. 3[4] Dr. H. Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal Dengan Wahyu, (Jakarta, Pedoman
ilmu Jaya, 1992), cet. ke-1, h. 3[5] Ibid, h. 12[6] Ibid
[7] Prof. Dr. Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta, Bulan Bintang, 1987), cet. Ke-6, h. 3[8] H. Endang Saifuddin Anshari, MA., Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya, Bina Ilmu, 1991), cet. Ke-
9, h. 82-83[9] Ibid[10] Dr. Hamzah Ya’qub, Op. Cit, h. 4[11] Dr. Ahmad Tafsir, op. cit., h. 9
[12] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1988), cet. ke-2, h. 6 [13] Dua kabilah tertua di Semenanjung Arabia yang secara umum dapat dipandang sebagai cikal bakal
Bangsa Arab.[14] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, op. cit., h. 6-7[15] Ibid, h. 9-10[16] Ibid, h. 11[17] A. Hanafi, MA, op. cit., h. 11
[18] Dr. H. Musa Asy-Arie, et. Al., Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis, Perspektif, (Yogyakarta, Lembaga studi Filsafat Islam, 1992), cet. ke-1, h. 15