resume filsafat hukum islam

33
RESUME FILSAFAT HUKUM ISLAM Diajukan untuk memenuhi UTS pada mata kuliah Fisafat Hukum Islam Disusun oleh : Nurdin Jurusan : PMH NIM : 1210304016 Dosen : Usep Saepulloh

Upload: apep-gojali

Post on 26-Jul-2015

850 views

Category:

Documents


38 download

TRANSCRIPT

Page 1: RESUME Filsafat Hukum Islam

RESUME

FILSAFAT HUKUM ISLAM

Diajukan untuk memenuhi UTS pada mata kuliah Fisafat

Hukum Islam

Disusun oleh : Nurdin

Jurusan : PMH

NIM : 1210304016

Dosen : Usep Saepulloh

Page 2: RESUME Filsafat Hukum Islam

PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM

Filsafat hukum islam adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum islam, sumber

asal muasal hukum islam dan prinsip penerapannya serta fungsi dan manfaat hukum

islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya.

OBYEK FILSAFAT HUKUM ISLAM

Obyek filsafat hukum islam meliputi obyek teoritis dan obyek praktis. Obyek

teoritis FHI adalah obyek kajian yang merupakan teori-teori hukum islam yang meliputi :

1. Prinsip-prinsip hukum islam

2. Dasar-dasar dan sumber-sumber hukum islam

3. Tujuan hukum islam

4. Asas-asas hukum islam, dan

5. Kaidah-kaidah hukum islam

Sementara obyek praktis filsafat hukum islam meliputi jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan, seperti :

1. Mengapa manusia melakukan muamalah, dan mengapa manusia harus diatur

oleh hukum islam?

2. Mengapa manusia harus melakukan shalat?

3. Apa rahasia atau hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan puasa, haji dan

sebagainya?

4. Dsb

KEMESTIAN KEBERADAAN DAN KEMAHAESAAN TUHAN ( TAUHID : WAJIBUL WUJUD)

Filsafat ketuhanan dan kemahaesaan-Nya ini menyajikan beberapa argumen

tentang kemestian adanya Tuhan. Argumen-argumen ini dikelompokan ke dalam

argumen-argumen ontologis, argumen kosmologis, argumen teologis, argumen moral,

dan argumen epistimologis.

Page 3: RESUME Filsafat Hukum Islam

Argumen ontologis

Argumen ontologis tentang hakikat wujud ini semata-mata berdasarkan

argumen-argumen logika yang logis dan rasional. Tidak berdasarkan atas alam nyata

atau empirik. Setiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah yang menjadi

hakikat sesuatu bukan benda-benda yang biasa kita lihat di alam nyata. Idea-idea yang

ada di alam idea itu adalah tujuan dan sebab dari wujud benda-benda. Idea-idea tidak

bercerai berai melainkan semuanya itu bersatu dalam idea tertinggi yang diberi nama

idea kebaikan, idea kebaikan dan mutlak baik itu disebut juga tuhan.

`Argumen Kosmologis

Kosmologis sering juga disebut argumen sebab-musabab atau hukum kausalitas.

Argumen ini diajukan oleh murid Plato, yakni Aristoteles (384-322 M). Argumen ini

menyatakan tiap benda yang dapat ditangkap panca indera mempunyai materi dan

bentuk. Bentuk kekal tidak berubah-ubah sedangkan materi sebagai subtratum berubah.

Antara bentuk dengan materi ada hubungan gerak. Bentuk yang menggerakan,materi

yang digerakan. Bentuk menggerakan potensialitas untuk menjadi aktualitas. Bentuk

materi adalah kekal dan demikian pula hubungan yang terdapat antara bentuk dengan

materi. Karena hubungan itu kekal, maka gerak itu pun mesti kekal pula. Sebab pertama

dari gerak itu mestilah sesuatu yang tidak bergerak. Gerakan terjadi dari perubahan

yang menggerakan terhadap yang digerakan; yang menggerakan digerakan pula oleh

sesuatu rentettan penggerak dan di gerak. Rentetan ini tidak akan mempunyai

kesudahan kalau penggerak yang tak bergerak; penggerak dalam arti yang tidak berubah

untuk mempunyai bentuk lain.

Argumen Teleologis

Argumen teleologis adalah argumen yang menyatakan bahwa alam itu

teleologis, yakni alam yang diatur menururt tujuan-tujuan tertentu. Alam ini

keseluruhannya berevolusi dan beredar kepada suatu tujuan tertentu. Kalau alam ini

beredar dan berevolusi kepada tujuan tertentu, yaitu kebaikan universal di bawah

kepemimpinan manusia yang bermoral tinggi, maka mestilah ada suatu zat yang

menentukan tujuan itu dan membuat alam ini beredar dan berevolusi ke arah itu.

Page 4: RESUME Filsafat Hukum Islam

Argumen Moral

Secara singkat, argumen moral ini dapat dinyatakan dalam pernyataan berikut

ini. Kalau manusia merasa bahwa dalam dirinya ada perintah mutlak yang disebut

imperative catagory untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, dan kalu

perintah itu bukan di peroleh dari pengalaman, tetapi telah terdapat dalam diri manusia,

maka perintah itu mesti dari suatu zat yang tahu akan baik dan buruk, zat inilah yang

dissbut tuhan.perbuatan baik dan buruk mengandung arti nilai-nilai. Nilai-nilai itu bukan

berasal dari manusia melainkan telah terdapat di dalam dirinya. Nilai-nilai itu berasal

dari luar diri manusia, yaitu dari suatu zat yang lebih tinggi dari manusia. Inilah yang

disebut tuhan. Keberadaan nilai-nilai itu mengandung arti adanya pencipta nilai-nilai itu.

Argumen Epistimologis

Argumen ini bertujuan untuk membuktikan adanya Tuhan secara meyakinkan

melalui teori pengetahuan atau ilmu. Menurut Ibn Taimiyah, ilmu itu mempunyai dua

sifat; ilmu yang bersifat obyektif dan yang bersifat subyektif.

Dikatakan obyektif, suatu ilmu yang keberadaan obyeknya tidak bergantung

kepada dan tidak adanya pengetahuan si subyek tentang obyek. artinya subyek ilmu

tetap ada baik diketahui maupun tidak oleh subyek. Demikian pula keberadaan obyek

pengetahuan atau ilmu agama, seperti tentang adanya Allah dan Rasul-Nya tidaklah

bergantung kepada ada dan tidak adanya pengetahuan manusia mengenai obyek. Allah

dan Rasul-Nya tetap ada walaupun manusia tidak mengetahui keberadaannya. Adanya

pengetahuan si subyek tentang Allah dan Rasulnya itu tidak menyebabkan adanya Allah

dan Rasull-Nya. Ia telah ada dengan sendiri-Nya. Sebaliknya ketidakadaan pengetahuan

si subyek tentang Allah dan RasulNya menjadi tidak ada. Allah tetap ada secara obyektif,

baik bagi orang yang mengetahui keberadaan-Nya dan mengimani-Nya maupun bagi

yang tidak.

Pengetahuan atau ilmu yang bersifat subyektif ialah pengetahuan atau ilmu

yang keberadaan obyeknya bergantung kepada adanya pengetahuan manusia sebagai

subyek tentang obyek ilmu itu. Dengan kata lain sesuatu itu dinyatakan ada kalau si

subyek atau menusia mengetahui keberadaannya.

Page 5: RESUME Filsafat Hukum Islam

Teori ilmu ini jika diterapkan kepada Allah sebagai ‘obyek’ yang ada dengan

sendiri-Nya, maka selain diri-Nya merupakan makhluk-makhluk-Nya yang berujud

karena adanya iradah, yakni karena kehendak-Nya. Sebagai halnya perbuatan manusia,

seperti duduk, berdiri, makan, pergi dan sebagainya, dapat berujud apabila ada

kehendak manusia untuk mewujudkannya, karena manusia memang mempunyai

kehendak.

FILSAFAT KENABIAN DAN KERASULAN

Kata Nabi berasal dari kata kerja (fi’l) bahasa Arab nabba’a-yunabbi’u yang

berarti memberi kabar. Kata Nabi dipetik dari kata nabiyyun dalam bahasa Arab yang

berkedudukan sebagai kata benda pelaku perbuatan (isim fa’il) yang berarti orang yang

membawa kabar atau berita. Dari kata nabi yang bermakna harfiah sebagai pembawa

berita ini kemudian digunakan dalam istilah agama sehingga nabi berarti orang yang

diutus Tuhan untuk menyampaikan berita dan pelajaran dari Tuhan untuk manusia.

Karena nabi itu pembawa berita dari Tuhan, maka dikenal pula istilah rasul yang secara

harfiah berarti utusan. Rasul berarti utusan Allah. Seorang Rasul pasti seorang Nabi, ia

pilihan Tuhan yang bertugas menyampaikan ajaran-Nya kepada umat manusia. Rasul

adalah manusia biasa. Ia tidak dipertuhankan.

Secara naluriah, manusia dapat mengetahui sebagian perbuatan yang baik dan

yang buruk dengan akalnya. Daya akal manusia belum cukup untuk mengetahui cara

yang dapat menunjukan jalan menuju keselamatan dunia dan akhirat. Oleh karena itu,

manusia memerlukan seorang manusia yang diutus Tuhan yang menyampaikan syariat-

Nya agar manusia dapat mencapai keselamatan tanpa melewati perbuatan dan jalan

yang membahayakannya. Kehadiran nabi dan rasul merupakan kebutuhan primer

manusia karena akal tidak dapat memenuhinya.

Nabi dan Rasul mengemban enam tugas utama sebagai berikut :

1. Memberikan petunjuk kepada manusia agar manusia mengetahui Allah

(ma’rifatullah); menyampaikan sifat-sifat Allah yang dapat memudahkan

manusia memahami ke-Maha Esaan-Nya, dengan cara paling mudah.

Page 6: RESUME Filsafat Hukum Islam

2. Menyampaikan berita bahwasannya Allah mengancam manusia yang tidak taat

kepada-Nya dan memberi kabar gembira bagi mereka yang mentaati-Nya (al-

wa’du wa al-wa’id)

3. Mengajarkan akhlak yang mulia kepada manusia yang berguna bagi diri manusia

itu sendiri dan bagi sesamanya, seperti sifat jujur, tidak berdusta, dermawan,

dan sebagainya.

4. Mengajarkan tata cara mengagungkan Allah serta menunaikan kewajiban yang

dibebankan Allah kepada manusia, dan beribadah kepada-Nya dalam berbagai

bentuknya secara sempurna.

5. Menetapkan ketentuan-ketentuan hukum (hudu’d) dan kaidah-kaidah yang

harus dipatuhi seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya, seperti

ketentuan hukum berzina, pembunuhan, dan sebagainya. Ketentuan-ketentuan

tersebut bertujuan menegakkan keadilan yang dapat menjamin keamanan

negeri dan penduduknya. Dalam hubungannya dengan tugas tersebut, nabi dan

rasul berfungsi sebagai hakim atau Pembuat hukum.

6. Menjelaskan cara-cara yang benar apa yang mesti ditempuh manusia dalam

kehidupan duniawinya, seperti keharusan aktif bekerja, dan melaksanakan

berbagai bentuk kebajikan.

MANUSIA, PENGETAHUAN, DAN HUKUM ISLAM

Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk mengenal dirinya.

Manusia makhluk sejarah yang dapat menceritakan kisahnya. Historisitas merupakan

struktur konstruktif eksistensi manusia. Sejarah dikendalikan oleh al-harakah. Setiap

orang memiliki al-harakah sebagai sifat dasar manusia yang berfungsi untuk mengambil

segala yang bermanfaat dan menolak segala yang merusak. Apabila keberadaan al-

harakah dalam diri manusia ini berfungsi sebagaimana mestinya, maka tujuan hukum

Islam pun pasti tercapai, yakni meraih kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat,

meraih kebahagiaan yang kekal dengan jalan mengambil maslahat dan menghindari

kerusakan. Sebab alharakah merupakan fitrah.

Page 7: RESUME Filsafat Hukum Islam

Fitrah itu meliputi tiga hal yaitu potensi akal (quwwatul ‘aql), potensi dipensif

(quwwatul gadlab) dan potensi opensif ( quwwatul syahwat). Dalam memfungsikan

fitrah itu manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya yang disebut al-fitrah al-

munazzalah, yaitu berupa wahyu. Wahyu menjelaskan perincian perbuatan yang baik

dan harus dilakukan manusia serta perbuatan buruk yang harus ditinggalkan. Dengan

fitrah yang difungsikan secara maksimal manusia dijamin kebahagiaan hidupnya di dunia

dan diakhirat. Dengan panduan wahyu, fitrah manusia lebih cepat berfungsi sehingga

daya akal segera mengetahui Allah, mengimani-Nya, mengesakan-Nya, mentaati

perintah-perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-larangan-Nya, membenarkan

Allah dan Rasul-Nya.

Manusia Dan Pengetahuan

Disamping sifat dasar (fitrah) yang diperoleh manusia sejak lahir, manusia pun

memperoleh panca indera (penginderaan) sebagai potensi lahiriah (materil). Manusia

baru dapat mengetahui sesuatu dan berfikir apabila ia dalam keadaan sadar. Dengan

alat indera manusia dapat memperoleh gambaran dari dunia luar (diluar tubuhnya) yang

dipengaruhi pula oleh lingkungan. Alat yang dimiliki manusia dan berfungsi untuk

memperoleh pengetahuan adalah kalbu, mata dan telinga. Apabila manusia salah dalam

menggunakan alat-alat tersebut ia akan tersesat.

Untuk mengetahui sesuatu, pada mulanya phenomena/nomena ditangkap oleh

oleh alat indera. Rangsangan phenomena/nomena yang ditangkap oleh alat indera ini

disebut persepsi. Selajutnya rangsangan tersebut diteruskan atau ditangkap oleh akal

dan rasa yang membentuk konsepsi.

Telinga atau pendengaran berfungsi untuk memahami ucapan yang

mengandung makna simbolik dan pengetahuan. Kalbu berfungsi untuk melakukan

intelektualisasi atas benda-benda yang ditangkap oleh indera mata dan telinga. Dengan

demikian terjadilah kerjasama antara telinga, mata dan kalbu. Oleh karena itu kalbu

merupakan sentral berfikir dan sentral keinginan manusia yang bermuara di otak

sebagai alat.

Page 8: RESUME Filsafat Hukum Islam

Manusia dan Hukum Islam

Manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas dilahirkan dengan seperangkat

potensi untuk beriman kepada Allah; dapat menginduksi obyek-obyek yang

menyenangkan dan mempertahankan diri dari berbagai hal yang dapat membahayakan

dirinya. Manusia dengan daya akalnya mampu mengetahui dan mengembangkan ilmu

pengetahuannya. Berdasarkan pengetahuannya pula manusia dapat menerima

kebenaran hukum, terutama kebenaran hukum yang datang dari Allah. Karena

sesungguhnya Allah sebagai pencipta atau pembuat hukum. Hukum telah diselaraskan

dengan jati diri manusia (kodrat manusia), sehingga hukum bermanfaat untuk mencapai

kesejahteraan umat manusia.

SUMBER DAN METODE HUKUM ISLAM

Sumber hukum Islam berasal dari sumber Ilahi dan potensi-potensi insani. Oleh

karena itu, pada dasarnya, sumber hukum Islam ada yang naqliyyah dan aqliyyah.

Sehingga, seringkali para pakar hukum Islam menyatakan bahwa sumber hukum ada

tiga, Pertama al-Qur’an; kedua Sunnah; dan ketiga ijtihad. Ijma’, qiyas, istihsan dan

sebagainya tidak lagi disebut sebagai sumber hukum Islam karena semuanya merupakan

hasil

Metode Naqliyyah-Aqliyyah

Walaupun sering dinyatakan, bahwa sumber hukum naqli yaitu al-Quran dan

Sunnah adalah sumber yang di transmisi, sumber yang diterima melalui penuturan yang

berkesinambungan. Pada hakikaynya, sumber naqli tersebut juga adalah sumber

‘aqliyyah. Kenyataan memang menunjukan demikian.

Suatu upaya untuk menjamin bahwa al-Quran itu diperoleh secara naqliyyah

ternyata memerlukan tiga metode : al-Tajribat al-Hisiyyah (pengalaman empirik); al-

Twa’tur atau al-Mutawattirat atau transmited data (data yang di transmisi melalui

periwayatan ketat), dan al-Istiqa, yaitu pengujian kebenaran sumber naqliyy secara

induktif.

Page 9: RESUME Filsafat Hukum Islam

Al-Tajribat Al-Hisiyyah

al-Tajribat al-Hisiyyah adalah pengetahuan atau pengalaman yang diperoleh akal

dan indera secara bersama-sama. Apabila seseorang mengetahuai sesuatu berdasarkan

pengalamannya, maka pengetahuannya itu dapat menjadi argumen (istidlal) bagi oraang

lain yang tidak mengalaminya. Dengan kata lain, kebenaran pengalaman seseorang

dapat menjadi sumber kebenaran bagi orang lain.

Al-mutawattirat (premis-premis yang di transmisi)

Ahli-ahli mantik berpendapat bahwa premis-premis yang diperoleh melalui al-

Tajribah, al-hadas, dan al-Tawatur, merupakan premis-premis yang hanya menjadi

pengetahuan dan sumber kebenaran bagi mereka yang mengalaminya dan

memperolehnya secara langsung. Premis-premis tersebut tidak tidak bisa dijadikan

argumentasi (istidlal) bagi orang lain yang tidak mengalaminya, mendengar dan

menyaksikannya. Pengetahuan demikian itu hanya diperoleh melalui al-iqna.

Pengetahuan yang diperoleh melalui iqna adalah pengetahun yang diperoleh karena

“kepercayaan” kepada si pemberitahu; suatu metode penalaran (reason-ing) dimana

pemikiran si pendengar diyakinkan oleh suatu pernyataan tanpa menunjukkan bukti

tanpa pembuktian.

Pendapat kalangan ahli mantik tersebut di atas dibantah oleh pakar hukum

Islam dengan pernyataan berikut: bahwa apa yang diperoleh melalui al-mutaw’tira’at

dan al-mujarrabat (yang dialami atau dindera) adalah termasuk al-makhsusat, yaitu

suatu yang empirik. Dengan demikian, preposisi yang disusun berdasarkan al-

mutaw’tira’at itu adalah shahih dan dapat dijadikan argumen tanpa harus dibuktikan

melalui pengalaman setiap orang. Fenomena-fenomena alam pun ada yang hanya bisa

diketahui dan dialami oleh orang-orang tertentu saja dan bukan keharusan bahwa

fenomena itu harus dialami atau diindera oleh setiap orang agar menjadi kebenaran.

Demkian pula fenomena batin yang berupa emosi-emosi (al-Shu’ur al-

Bathiniyah) seperti halnya fenomena fisikal tidaklah mesti dapat dialami orang secara

bersama-sama agar kebenaran keberadaan fenomena itu menjadi suatu kebenaran.

Pengetahuan orang tentang benda-benda fisikalpun didahului melalui proses al-Tawatur

Page 10: RESUME Filsafat Hukum Islam

dan al-Tajribah, seperti adanya kota Mekah, adanya Rasul, adanya buah anggur, dan lain

sebagainya. Kesemuanya itu tidak lagi mmerlukan argumen untuk membuktikan

keberadaanya. Contoh lebih jelas mengenai kebenaran pengetahuan yang diperoleh

melalui al-tawa’tur dapat diikuti berikut ini: banyak kenyataan menunjukkan bahwa

sejumlah benda yang dapat diindera baik hewan maupun tumbuh-tumbuhan yang

hanya ada di suautu negeri tertentu, dan tidak dapat di negeri lain. Mereka yang melihat

dan mendengar berita tentang keberadaan benda-benda tersebut menggambarkannya

kepada orang lain yang belum pernah melihat dan mendengarnya. Pengetahuan

mengenai benda-benda itu pun menjadi terkenal di kalangan orang banyak. Dengan

demikian, pengetahuan tentang benda-benda tersebut menjadi pengetahuan yang

diperoleh melalui khabar dan merupakan proposisi untuk memperoleh pengetahuan.

Al-istuqra

Al-Istiqra adalah penalaran induktif, yaitu suatu cara untuk mencapai

kesimpulan yang bersifat umum atau preposisi universal melalui observasi atas kejadian-

kejadian partikular. Oleh karena itu, al-Khawarizmi (yang dikenal di tanah air dengan

nama Logaritme) mendifinisikan al-Istiqra’ dengan cara “mengetahui sesuatu yang

universal dengan seluruh partikulernya”. Ibnu Sina membagi al-Istiqra’ atas dua macam,

al-ta’m dan al-masyhur. Istiqra bentuk al-ta’m ialah cara penentuan hukum yang di

dalamnya hanya terkandung kebanyakan partikuler-partikulernya. Bentuk istiqra ini

kadang-kadang disebut juga al-Istiqra al-Naqis (penalaran induksi yang tidak sempurna).

al-Istiqra al-Tam menghasilkan premis yang meyakinkan. sedangkan bentuk

penalaran induksi kedua, yakni al-Istiqra al-Masyhur atau al-Naqis menghasilkan

preposisi atau premis yang kebenarannya bersifat relatif atau zanni. Hasil penalaran

pertama sangat meyakinkan karena mencakup satuan-satuan yang diteliti secara

induktif, yaitu bentuk-bentuk yang nyata (al-Mua’yyanat) atau partikular-partikular (al-

Juziyyat) yang semua sifat-sifat persamaannya sesuai dengan setiap bagian yang

diinduksi itu.

Bentuk penalaran al-istiqra bukanlah argumentasi yang dibentuk melalui

penalaran dari suatu partikular berdasarkan partikular yang lainnya, bukan pula

argumentasi sesuatu yang khusus berdasarkan partikular yang satu dengan yang lainnya

Page 11: RESUME Filsafat Hukum Islam

yang mana partikular pertama mengharuskan adanya partikular yang lainnya itu. Cara

berargumentasi seperti ini adalah yang menunjukkan adanya dua partikular yang saling

mengharuskan keberadaannya satu sama lain itu adalah hubungan korespondensi

(ala’qa’t al-ishtirak) dalam suatu kadar yang setara dengan apa yang disebut illat atau

dalil al’illat.

Metode Pemahaman Sumber Hukum Islam

Setelah diketahui bahwa sumber hukum Islam itu ada yang naqliyyah dan ada

yang aqliyyah timbul pertanyaan, bagaimana memahami sumber tersebut sehingga

diketahui sumber yang petunjuk pelaksanaannya (di bidang hukum) merupakan suatu

kepastian yang ajeg atau petunjuk yang samar-samar dan memungkinkan timbulnya

keanekaragaman penafsiran dan praktek hukum.

Sejalan dengan sumber hukum Islam, yakni naqliyah dan aqliyyah, maka

pemahaman dan penafsiran atas sumber Hukum Islam pun digunakan metode

naqliyyah-aqliyyah. Dengan demikian, metode-metode hukum Islam yang termasuk

kategori naqliyyah meliputi: metode al-Qur’an, Metode sunnah, metode ijma’ ialah

pemahaman dan penggalian hukum Islam berdasarkan al-Qur’an.

Metode al-Qur’an

Metode pemahaman berdasarkan al-Qur’an ada empat peringkat: peringkat

pertama ialah pemahaman, penafsiran, dan penggalian hukum Islam dari al-Qur’an yang

paling tinggi ialah pemahaman hukum dari al-qur’an berdasarkan al-Qur’an itu sendiri.

Peringkat kedua adalah penafsiran dan penggalian hukum dari al-qur’an berdasarkan

Sunnah. Peringkat ketiga ialah pemahaman dan penggalian hukum dari Sunnah.

Peringkat ketiga pemahaman dan penggalian hukum dari al-qur’an berdasarkan

pemahaman dan penafsiran para sahabat Nabi, yakni mereka yang hidup sezaman

dengan Nabi serta beriman dan bertaqwa. Peringkat ke-empat, ialah penafsiran dan

penggalian hukum dari al-Qur’an berdasarkan penafsiran para tabi’in, yakni mereka yang

hidup sezaman dengan sahabat serta beriman dan bertaqwa. Peringkat kelima ialah

penafsiran dan penggalian hukum dari al-Qur’an berdasarkan pendapat tabi’in al-tabi’in,

yakni mereka yang hidup sezaman dengan tabi’in serta beriman dan bertaqwa. Metode

Page 12: RESUME Filsafat Hukum Islam

penafsiran terakhir ini tidak disepakati para pakar hukum Islam. Peringkat terakhir

adalah penafsiran dan pemahaman hukum dari al-Qur’an berdasarkan pendapat akal

atau ijtihad

Metode al-Qur’an dalam penggalian hukum sebagaimana diuraikan di atas

merujuk kepada dua aliran dalam penafsiran al-Qur’an yakni metode al-Matsur dan al-

Ra’yu. Penafsiran al-Qur’an aliran ialah suatu penafsiran al-Qur’an berdasarkan metode-

metode: 1. Metode penafsiran berdasarkan penafsiran ayat dengan ayat lainnya dalam

Al-Qur’an, 2. Penafsiran berdasarkan apa yang dijelaskan Rasulullah yang ia jelaskan

kepada para sahabatnya, 3. Penafsiran para sahabat berdasar ijtihadnya.

sedangkan aliran yang kedua yakni al-Tafsir bi al-Ray ialah bentuk penafsiran

berdasarkan ijtihad. Penafsiran ini dilakukan oleh mufassir yang telah mengetahui

bahasa Arab dengan sempurna, mengetahui Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turunnya al-

Qur’an), dan berbagai persyaratan sebagai mufassir.’

Metode Sunnah

Metode sunnah ialah suatu metode dalam menentukan suatu hukum

berdasarkan Sunnah Rasululllah saw, baik ucapan, perbuatan maupun putusan-

putusannya. Akan tetapi, dalam perkembangnnya metode ini seperti halnya metode al-

Qur’an melewati perkembangan yang berjalan sejalan dengan ilmu pengetahuan dan

zaman. Dalam penggunaan Sunnah sebagai sumber hukum dan upaya-upaya

interpretasinya, terdapat dua aliran. Pertama adalah aliran yang boleh dikatakan aliran

literalisme. Aliran yang menafsirkan sunnah secara harfiah. Kedua, aliran yang

menafsirkan sunnah secara metafor yang dapat disebut spiritualisme. Aliran ini

menganggap bahwa hadits-hadits Nabi dalam arti ungkapan yang sesuai dengan tingkat

kemampuan intelektual dan kebudayaan masyarakat pada zamannya.

Page 13: RESUME Filsafat Hukum Islam

Metode Ijma’

Ijma’ itu dapat terwujud apabila ada empat unsur :

1. Ada sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (ijma’) tidak

mungkin ada kalau tidak ada sejumlah mujtahid, yang masing-masing

mengemukakan pendapat yang ada penyelesaian pandangan.

2. Bila ada kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap hukum syara’ tentang

suatu masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri,

kebangsaan atau kelompok mereka. Jadi, kalau mujtahid Makkah, Madinah, Irak,

Hijaz saja umpamanya yang sepakat terhadap suatu hukum syara’ tidak dapat

dikatakan ijma’ menurut syara’ kalau bersifat regional. Tetapi harus bertahap

internasional. Masalah mungkin terjadi ijma’ atau tidak, lain lagi persoalannya,

karena ada diantara ulama’ yang mengatakan mungkin dan ada pula yagn

mengatakan tidak mungkin.

3. Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum tidak

dapat dianggap ijma’ kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika

mayoritas setuju, sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan

pendapat.

4. Kesepakatan para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih

dahulu, sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.

metode qiyas

Menurut para ulama ushul fiqh, qiyas ialah menetapkan hukum suatu kejadian

atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada

suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan

nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.

Adapun rukun Qiyas yaitu :

1. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan

hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran)

atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat

membandingkan);

Page 14: RESUME Filsafat Hukum Islam

2. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan

hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara'

disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau

mahmul (yang dibandingkan);

3. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan

hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan

'illatnya; dan

4. 'IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'.

Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar

untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa qiyas adalah penarikan kesimpulan

atau inferensi dari suatu peristiwa hukum yang telah ditentukan oleh nash (Qur’an atau

Sunnah) untuk suatu peristiwa hukum yang belum ditentukan hukumnya oleh nash

karena di antara dua peristiwa hukum tersebut terdapat makna homonim yang disebut

illat. Qiyas dalam pengertian ini merupakan salah satu metode hukum Islam. Kesimpulan

hukum yang diperoleh dengan dengan metode Qiyas menjadi sumber hukum keempat

setelah Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.

Prinsip-Prinsip Hukum Islam

Prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut :

1. Prinsip Tauhid

Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua

manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang

dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini

ditarik dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka

pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan

penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya. Dengan

demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama

makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia

kepada keseluruhan kehendak-Nya.

Page 15: RESUME Filsafat Hukum Islam

Dari prinsip umum tauhid ini, maka lahirlah prinsip khusus yang merupakan

kelanjutan dari prinsip tauhid ini, umpamanya yang berlaku dalam fiqih ibadah sebagai

berikut :

1. Prinsip Pertama : Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara —

Artinya bahwa tak seorang pun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai

zat yang wajib di sembah.

2. Prinsip Kedua : Beban hukum (takli’f) ditujukan untuk memelihara akidah

dan iman, penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs) dan pembentukan pribadi yang

luhur — Artinya hamba Allah dibebani ibadah sebagai bentuk/aktualisasi

dari rasa syukur atas nikmat Allah.

Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu Azas

kemudahan/meniadakan kesulitan. Dari azas hukum tersebut terumuskan kaidah-kaidah

hukum ibadah sebagai berikut :

1. Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’ — yaitu pada pokoknya ibadah itu

tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa

saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya ;

2. Al-masaqqah tujlibu at-taysiir — Kesulitan dalam melaksanakan ibadah akan

mendatangkan kemudahan

Prinsip Keadilan

2. Prinsip keadilan

Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/

moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur‟an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-

mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-

Hadid: 25.

Term „keadilan‟ pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau

kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek.

Page 16: RESUME Filsafat Hukum Islam

Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili

bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, seba Allah tidak mendapat

keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan

maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas

prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan

masyarakat.(10)

Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam

praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang

menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai

kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu : ..

Artinya : Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyeempit maka

menjadi luas; apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.

Teori „keadilan‟ teologi Mu‟tazilah melahirkan dua terori turunan, yaitu :

1. al-sala’h wa al-aslah dan

2. al-Husna wa al-qubh.

Dari kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :

1. Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan”

— perbuatan tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia

2. Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektif

sehingga dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik.

Demikian halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal

sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.

3. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar

Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/

moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur‟an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-

mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-

Hadid: 25.

Page 17: RESUME Filsafat Hukum Islam

Term „keadilan‟ pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau

kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek.

Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili

bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, seba Allah tidak mendapat

keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan

maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas

prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan

masyarakat.(10)

Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam

praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang

menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai

kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu : ..

Artinya : Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyeempit maka

menjadi luas; apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.

Teori „keadilan‟ teologi Mu‟tazilah melahirkan dua terori turunan, yaitu :

3. al-sala’h wa al-aslah dan

4. al-Husna wa al-qubh.

Dari kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :

3. Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan”

— perbuatan tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia

4. Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektif

sehingga dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik.

Demikian halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal

sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.

Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/

moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur‟an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-

mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-

Hadid: 25.

Page 18: RESUME Filsafat Hukum Islam

Term „keadilan‟ pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau

kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek.

Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili

bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, seba Allah tidak mendapat

keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan

maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas

prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan

masyarakat.(10)

Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam

praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang

menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai

kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu : ..

Artinya : Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyeempit maka

menjadi luas; apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.

Teori „keadilan‟ teologi Mu‟tazilah melahirkan dua terori turunan, yaitu :

5. al-sala’h wa al-aslah dan

6. al-Husna wa al-qubh.

Dari kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :

5. Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan”

— perbuatan tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia

6. Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektif

sehingga dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik.

Demikian halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal

sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.

4. Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan

Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam

disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi,

argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti

Page 19: RESUME Filsafat Hukum Islam

luasyg mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan

komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam

beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun: 5)

5. Prinsip Persamaan/Egalite

6. Prinsip At-Ta‟awun

Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang

diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.

7. Prinsip Toleransi

Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak

terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya — tegasnya toleransi hanya dapat diterima

apabila tidak merugikan agama Islam.

Wahbah Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran

penerapan ketentuan Al-Qur‟an dan Hadits yang menghindari kesempitan dan kesulitan,

sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syari‟at

ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan

ibadah saja tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil,

hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain sebagainya.

FILSAFAT KETATANEGARAAN

Algazali adalah pemikir yang mempunyai pandangan politik dan pemikir politik

yang memeberikan pengertian politik lebih luas dari pada pengertian politik yang

berkembang dewasa ini. Menurut Algozali, politik ialah segala upaya unutk memperbaiki

kehidupan makhluk Allah dan menunjukan ke jalan yang benar dan menyelamatkan

mereka di dunia dan akhirat. Nilai politik tertinggi baginya adalah politik para nabi sebab

obyek mereka meliputi aspek lahir batin.

Ketatanegaraan dan pemerintah (khalifah) dalam pandangan Algazali adalah

termasuk ke dalam bidang fiqh, bukan bidang yang diurus oleh kaum teolog atau pun

para filosof. Pendiriaanya ini kiranya dijadikan Algazali untuk menentang teori-teori

Page 20: RESUME Filsafat Hukum Islam

politik golongan mutakallim sebelumnya, seperti Mu’tazilah, Syi’ah, dan para filosof

muslim lainnya.

Penempatan khilafah dan permasalahannya di dalam bidang fiqh menjadikannya

sebagai persoalan hukum yang mana ukuran-ukuran fiqh menjadi tolok ukur dan alat

penilaiannya. Jika demikian, maka masalah khilafah dalam arti pemerintahan dan

ketatanegaraan dapat diselesaikan berdasarkan , dan sesuai dengan, kontek ruang dan

waktu di mana kaum muslimin berada. Pola dan tipe serta corak pemerintahan dan

ketatanegaraan tidak wajib dan mesti sama bagi seluruh umat Islam.

Jika Algazali dalam pandangan politiknya merupakan perwakilan anak

zamannya, maka pada abad kedua puluh kita jumpai Ali Abd al-Raziq, penulis al-Islam wa

Ushul al-ahkam (1925). Ia berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw., tidaklah

mendirikan suatu daulah (state) melainkan hukmah (pemerintahan; goverment).

Menurutnya, adanya pemerintahan adalah suatu keharusan, dan pemerintahan dalam

arti hukmah itulah yang dilaksanakan dalam sejarah sl-khilafah. Ia menolak al-khilafah

sebagai suatu political system atau sistim politik Islam. Nabi, menurutnya, tidak

mempunyai misi atau mengemban misi Allah untuk mendirikan negara. Masalah-

masalah yang mengatur peradilan, jabatan-jabatan pemerintahan, pusat-pusat

pemerintahan, semuanya itu diserahkan kepada umat Islam untuk menentukannya

berdasarkan akal dan pengalman-pengalamannya serta kaidah-kaidah politiknya.

FILSAFAT EKONOMI

Ekonomi islam didefinisikan sebagai suatu upaya untuk merealisasikan

kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka

yang seirama dengan maqhasid, tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan

keseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan atau menguatkan

solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat.

Paradigama islam tidak sekularis, netral nilai, materialis, sosial-Darwinisme. Ia

tidak mengandalkan pasar dan pemerintah dalam merealisasikan visinya. Ia justru

mengandalkan peran integral dari nilai-nilai dan lemabga-lembaga, pasar, keluarga,

masyarkat dan negarauntuk menjamin kesejahteraan semua orang. Ia lebih

Page 21: RESUME Filsafat Hukum Islam

menekankan perubahan sosial melaui suatu reformasi pada tingkat individu dan

masyarakat.

Fundamental, dasr keimanan pokok islam adalah tauhid yang terhimpun dalam rukun iman yang enam.

Islam mengajarkan bahwa material dan spiritual mesti seimbang, saling berhubungan, dan tidak boleh ada pemisahan yang menonjol

Adanya konsep keimanan terhadap adanya hari berbangkit sehingga memotivasi seseorang untuk berpikir jangka panjang.

Konsep khilafah yang menanggung amanah untuk mengelola alam. Terdapat konsensus bahwa kemiskinan suatu hal yang tidak disukai dan

kekayaan yang berlebihan yang di dapat dengan cara-cara yang tidak benar / menyebabkan ekstravaganza dan ketidakadilan dilarang.

Adanya konsep keadilan. Keadilan merupakan hasil pokok dari tauhid ( Ibnu Taimiyah)

Tidak ada positivisme. Adalah lancang bagi seorang jika manusia bersifat netral terhadap syarat dan kondisi (syariat) yang telah ditentukan oleh Alloh (prinsipal). Ini artinya tidak ada ruang netralitas nilai

Kaidah-kaidah ushul (legal maxim) bertentangan dengan optimum pareto (penggunaan sumber daya-sumber daya yang paling efisien dalam ilmu ekonomi konvensional) yang tidak mengakui solusi apapun yang menunut pengorbanan dari pihak sekelompok kecil (orang kaya) unutk meningkatkan kesejahteraan jumlah yang lebih banyak (orang miskin). Oleh karena itu, konsep optimum pareto tidak mendapatkan kedudukan tinggi dalam paradigma ekonomi islam. Sementara dalam perekonomian islamditentukan oleh maqashid syariah.

Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam

1. Tauhid

2. Adil

3. Khilafah

4. Persaudaraan

5. Kerja dan produktifitas

6. Kepemilikan

7. Kebebasan dan tanggung jawab

8. Jaminan sosial

9. Nubuwwah

FILSAFAT JINAYAT

Page 22: RESUME Filsafat Hukum Islam

didalam hukum pidana Islam terdapat beberapa asas yang sebagiannya terdapat

pula di dalam hukum pidana yang di anut oleh Indonesia pada khususnya. banyak

cendekiawan muslim yang merumuskan beberapa asas dalam hukum pidana islam,

namun tidak ada kesepakatan yang bulat mengenai rumusan asas-asas ini. akan tetapi

jika diperhatikan, diantara asas-asas yang diajukan oleh masing-masing mereka tidak ada

satu pun yang saling bertentangan.

Seiring dengan berjalannya peradaban islam, khazanah keilmuan pun semakin

meningkat. Khususnya dalam fiqh, karena memang fiqh merupakan produk ijtihad yang

bersifat relatif. Sehingga faktor waktu, tempat dan keadaan pun sangat mempengaruhi

eksistentsi dari sebuah produk fiqih. Pemikiran-pemikiran mengenai hukum islam

bermunculan seiring dengan berkembangnya dunia pendidikan islam. Dari makalah ini,

penulis mencoba mengkaji sedikit tentang pemikiran Prof.Amin Suma yang cenderung

tekstual, sehingga beliau menginginkan fiqih jinayah dalam islam diadopsi oleh KUHP

yang sekarang ini berlaku di Indonesia.sebagai upaya menghapuskan dekolonialisasi.

Dan beliau menganggap bahwa fiqh jinayah lebih relevan untuk diterapkan, bahkan

beliau mengkritik anggapan mayoritas yang menganggap bahwa fiqh jinayah atau

hukum pidana islam sangat kejam dan tidak manusiawi. Tokoh pemikir selanjutnya

adalah Muhammad Sa’id al-Asymawi, seorang tokoh ulama kontemporer mesir yang

cenderung kontekstual dalam memahami hukum pidana islam. Beliau menafsirkan

Syariah sebagai sebuah Metode (manhaj) untuk menggapai Rahmat Allah, yang

merupakan tujuan dari islam itu sendiri, yakni sebagai agama Rahmata li al-‘alamin .

produk pemikirannya banyak mendatangkan kontroversi di kalangan ulama

kontemporer lainya. Diantaranya beliau menganggap bahwa hukum Napoleon yang

diterapkan mesir memenuhi ketentuan syariat. karena telah menampung dua hal

penting dari syari’at, yaitu unsur ketahanan (deterrence) dan hukuman (punitive). Tidak

hanya itu, al-‘Asymawi berpendapat, bahwa apabila suatu Negara ingin menerapkan

sistem hukum islam, maka terlebih dahulu rakyat dinegara tersebut harus benar-benar

bertakwa kepada Allah, sehingga memiliki kesiapan untuk tidak melakukan tindakan-

tindakan yang melanggar hukum. Dari dua corak pemikiran ini, dapat kita ambil sisi

positipnya untuk dijadikan bahan wawasan keilmuan bagi kita bersama,

Page 23: RESUME Filsafat Hukum Islam