filariasis
DESCRIPTION
materi fillariasisTRANSCRIPT
Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit nematoda yang tersebar di
Indonesia (1). Penyakit Kaki Gajah (Filariasis atau Elephantiasis) adalah golongan penyakit
menular (2). Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan,
dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik
perempuan maupun laki-laki. Penyakit Kaki Gajah bukanlah penyakit yang mematikan, namun
demikian bagi penderita mungkin menjadi sesuatu yang dirasakan memalukan bahkan dapat
mengganggu aktifitas (3).
Nematoda (sejenis cacing darah-jaringan) dari Genus Filaria, yang penularannya pada
manusia melalui gigitan berbagai spesies nyamuk. Hingga saat ini, di Indonesia vektor penular
filariasis telah diketahui ada 23 spesies seperti : Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, Dan
Armigeres (4). Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk yang menghisap darah seseorang yang
telah tertular sebelumnya. darah yang terinfeksi dan mengandung larva dan akan ditularkan ke
orang lain pada saat nyamuk yang terinfeksi menggigit atau menghisap darah orang tersebut (3).
Filariasis merupakan jenis penyakit reemerging desease, yaitu penyakit yang dulunya
sempat ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali . Kasus penderita filariasis khas
ditemukan di wilayah dengan iklim sub tropis dan tropis seperti di Indonesia (5). Daerah
Endemis biasanya merupakan daerah dataran rendah yang berawa dengan di sana-sini dikelilingi
oleh daerah yang bersemak belukar dan berhutan (6). Filariasis pertama kali ditemukan di
Indonesia pada tahun 1877, setelah itu tidak muncul dan sekarang muncul kembali. Filariasis
tersebar luas hampir di seluruh Propinsi di Indonesia (5).
B. Pendahuluan
Penyakit kaki gajah mulai ramai diberitakan sejak akhir tahun 2009, akibat terjadinya
kematian pada beberapa orang. Sebenarnya penyakit ini sudah mulai dikenal sejak tahun 1500
oleh masyarakat, dan mulai diselidiki lebih mendalam ditahun 1800 untuk mengetahui
penyebaran, gejala serta upaya mengatasinya. Baru tahun 1970 obat yang lebih tepat untuk
mengobti filarial ditemukan(7).
Di Indonesia filariasis telah tersebar luar hamper di semua provinsi, berdasarkan laporan
survey pada tahun 2000 tercatat sebanyak 6500 kasus kronis di 1553 desa pada 231 kabupaten
di 26 Provinsi. Pada tahun 2005 kasus kronis dilaporkan sebanyak 10273 orang yang tersebar di
373 Kabuparen / Kota di 33 Provinsi (8).
I. Data Kasus penyakit Filaria
Data Pengobatan Filariasis di Indonesia sebelum reformasi
Data filariasis dunia
Data positif Filaria di Indonesia sumber dinkes RI
Data Positif Filaria di desa Sebubus
A. Isi
I. Triad Epidemiologi
1. Agent
Wuchereria bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan ( urban ) ditularkan oleh Culex
quinquefasciatus, menggunakan air kotor dan tercemar sebagai tempat perindukannya.
Wucheriria bancrofti yang di daerah pedesaan ( rural ) dapat ditularkan oleh bermacam spesies
nyamuk. Di Irian Jaya, Wuchereria bancrofti terutama ditularkan oleh Anopheles farauti yang
menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya. Di daerah pantai di NTT,
Wuchereria bancrofti ditularkan oleh Anopheles subpictus. Brugia Malayi yang hidup pada
manusia dan hewan ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Mn.uniformis,
Mn.bonneae, dan Mn.dives yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, Kalimantan, dan
Maluku. Di daerah Sulawesi, B.malayi ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang
menggunakan sawah sebagai tempat perindukannya. Brugia timori ditularkan oleh Anopheles
barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah
pedalaman. Brugia timori hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor Timur (10).
2. Host
Cacing filaria ini dapat berupa hewan dan atau manusia. Manusia yang mengandung parasit
dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Pada umumnya laki-laki lebih dmudah terinfeksi,
karena memiliki lebih banyak kesempatan mendapat infeksi (exposure). Hospes reservoar adalah
hewan yang dapat menjadi hospes bagi cacing filaria, misalnya Brugia malayi yang dapat hidup
pada kucing, kera, kuda, dan sapi (3).
3. Environment
Kasus penderita filariasis khas ditemukan di wilayah dengan iklim sub tropis dan tropis seperti di
Indonesia (5). Daerah Endemis biasanya merupakan daerah dataran rendah yang berawa dengan
di sana-sini dikelilingi oleh daerah yang bersemak belukar dan berhutan (6). Filariasis pertama
kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1877, setelah itu tidak muncul dan sekarang muncul
kembali. Filariasis tersebar luas hampir di seluruh Propinsi di Indonesia (5). Sebanyak 26
provinsi di Indonesia dikatakan endemis penyakit kaki gajah, antara lain Sumatera, sebagian
wilayah Jawa dan Bali (9).
II. Transmisi Penyebaran penyakit
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit
nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III ( L3 ). Nyamuk tersebut
mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu menghisap darah penderita mengandung
microfilaria atau binatang reservoir yang mengandung microfilaria. Siklus Penularan penyakit
kaiki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap
kedua perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoair.
Gejala klinis Filariais Akut adalah berupa ; Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, Demam
dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat ; pembengkakan kelenjar getah
bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiap (lymphadenitis) yang tampak kemerahan,
panas dan sakit ; radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar
dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis) ; filarial abses
akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan
nanah serta darah ; pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak
kemerahan dan terasa panas (early lymphodema). Gejal klinis yang kronis ; berupa pembesaran
yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti)
(10).
III. Riwayat Alamiah Penyakit
a. Masa Inkubasi dan klinis
Masa inkubasi pada manusia 3-15 bulan setelah gigitan nyamuk yang menjadi vector.
Manifestasi klinis sebagai infeksi W.bancrofti terbentuk beberapa bulan hingga beberapa tahun
setelah infeksi, tetapi beberapa orang yang hidup di daerah endemis tetap asimptomatik selama
hidupnya. Mereka yang menunjukkan gejala akut biasanya mengeluh demam, lymphangitis,
lymphadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia, dan malaise. Mula–mula cacing dewasa yang
hidup dalam pembuluh limfe menyebabkan pelebaran pembuluh limfe terutama di daerah
kelenjar limfe, testes, dan epididimis, kemudian diikuti dengan penebalan sel endothel dan
infiltrasi sehingga terjadi granuloma. Pada keadaan kronis, terjadi pembesaran kelenjar limfe,
hydrocele, dan elefantiasis. Hanya mereka yang hipersensitif, elefantiasis dapat terjadi.
Elefantiasis kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah, biasanya disertai infeksi
sekunder dengan fungi dan bakteri. Suatu sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan
Wuchereria bancrofti dinamakan Weingartner’s syndrome atau Tropical pulmonary eosinophilia
(11).
Gejala yang sering dijumpai pada orang yang terinfeksi B.malayi adalah lymphadenitis dan
lymphangitis yang berulang–ulang disertai demam (10).
Perbedaan utama antara infeksi W.bancrofti dan B.malayi terletak pada klasifikasi ureter dan
ginjal. Klasifikasi ureter dan ginjal tidak ditemukan pada infeksi B.malayi (10).
b. Diagnosis
1. Diagnosis Parasitologi
Deteksi parasit : menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada
pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi Knott, membran filtrasi dan tes provokatif
DEC(11).
Diferensiasi spesies dan stadium filaria : menggunakan pelacak DNA yang spesies spesifik dan
antibodi monoklonal.
2. Radiodiagnosis
Pemeriksaan dengan ultrasonografi ( USG ) pada skrotum dan kelenjar getah bening ingunial.
Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan
adanya zat radioaktif.
3. Diagnosis imunologi
Dengan teknik ELISA dan immunochromatographic test ( ICT ), menggunakan antibodi
monoklonal yang spesifik.
IV. PENCEGAHAN
Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati, mungkin itu adalah ungkapan yang sangat tepat
untuk menghindari penyakit kaki gajah. Karena jika kita telah terinfeksi oleh cacing filaria akan
sangat sulit sekali untuk mengobatinya serta memerlukan waktu yang lama. Ada beberapa hal
yang bisa kita lakukan untuk mencegah serangan penyakit kaki gajah,misalnya:
1. Berusaha menghindarkan diri dari nyamuk vector dengan caramenggunakan kelambu sewaktu
tidur.
2. Menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk.
3. Menggunakan obat nyamuk semprot atau bakar.
4. Bisa juga dengan mengoleskan kulit dengan lotion anti nyamuk.
5. Memberantas jentik-jentik nyamuk dengan cara bak air dirumah.
6. Menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk.
7. Serta membersihkan pekarangan dan lingkungan disekitar rumah anda.
V. PENGOBATAN
Obat utama yang digunakan adalah dietilkarbamazin sitrat ( DEC ) (12). DEC bersifat
membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang. Hingga saat
ini, DEC merupakan satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk filariasis
bankrofti, dosis yang dianjurkan adalah 6mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Sedangkan
untuk filaria brugia, dosis yang dianjurkan adalah 5mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek
samping dari DEC ini adalah demam, menggigil, artralgia, sakit kepala, mual hingga muntah.
Pada pengobatan filariasis brugia, efek samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk
pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi waktu pengobatan dilakukan dalam waktu
yang lebih lama (13).
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin (12). Ivermektin adalah antibiotik semisintetik
dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematode dan ektoparasit. Obat
ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC
(13).
Pengobatan kombinasi dapat juga dengan dosis tunggal DEC dan Albendazol 400mg, diberikan
setiap tahun selama 5 tahun. Pengobatan kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC. Yang
dapat diobati adalah stadium mikrofilaremia, stadium akut, limfedema, kiluria, dan stadium dini
elefantiasis.
Terapi suportif berupa pemijatan dan pembebatan juga dilakukan di samping pemberian
antibiotika dan corticosteroid, khususnya pada kasus elefantiasis kronis. Pada kasus-kasus
tertentu dapat juga dilakukan pembedahan (13).
I. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam sistem limfe
dan ditularkan oleh nyamuk. Bersifat menahun dan menimbulkan cacat menetap. Gejala klinis
berupa demam berulang 3-5 hari, pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran tungkai, buah dada,
dan skrotum. Dapat didiagnosis dengan cara deteksi parasit dan pemeriksaan USG pada skrotum.
b. Mekanisme penularan yaitu ketika nyamuk yang mengandung larva infektif menggigit manusia,
maka terjadi infeksi mikrofilaria. Tahap selanjutnya di dalam tubuh manusia, larva memasuki
sistem limfe dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi
penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe,
tungkai, dan alat kelamin.
c. 3. Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk dan melakukan
3M. Pengobatan menggunakan DEC dikombinasikan dengan Albendazol dan Ivermektin selain
dilakukan pemijatan dan pembedahan. Upaya rehabilitasi dapat dilakukan dengan operasi.
2. Saran
Diharapkan pemerintah dan masyarakat lebih serius menangani kasus filariasis karena penyakit
ini dapat membuat penderitanya mengalami cacat fisik sehingga akan menjadi beban keluarga,
masyarakat dan Negara. Dengan penanganan kasus filariasis ini pula, diharapkan Indonesia
mampu mewujudkan program Indonesia Sehat Tahun 2011.
DAFTAR PUSTAKA
1. Widoyono.2008.Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga.
2. Dr. Isrin Ilyas DTMH, MPH. Sub Direktorat Filariasis, Direktorat Jenderal PPM dan PLP.
Departemen Kesehatan RI., Jakarta Simposium Filariasis, Seminar Penyakit Menu/ar, 21 Maret
1988.
3. http://www.TORA25/LEUCOPSAR/MAKALAHKESEHATANMASYARAKAT.htm
4. Cermin duni Kedokteran Tahun 1990 edisi Filaria No. 64.
5. http://www.who.org/filaria
6. http://infopenyakitmenular.info/dokumen/kakigajah
7. GEMARI, edisi 109 /Tahun Gemari XI/Pebruari 2010 halaman 59 artikel oleh dr Harun
Riyanto.
8. http://www.depkes.go.id
9. http://www.UBB.ac.id/Artikel/PenyakitKakiGajah(Filariasis).htm
10. http://wahedlabstechnologiescenter.co.org
11. C Bell,John.1995.Zoonosis: Infeksi yang Ditularkan dari Hewan ke Manusia. Jakarta: EGC
Penerbit Buku Kedokteran
12. URL : http://content.nejm.org/cgi/content/full/347/23/1885
13. Tim Editor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002. Parasitologi Kedokteran Edisi
Ketiga, cetakan ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.