farmakologi pelumpuh otot rey

10
Farmakologi Obat Pelumpuh Otot Reynaldo rizky alexander 112014082 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 email : [email protected] Pendahuluan Fisiologi Transmisi Saraf Otot Daerah diantara motor neuron dan sel saraf disebut neuromuscular junction. membran sel neuron dan serat otot dipisahkan oleh sebuah celah (20nm) yang disebut sebagai celah sinaps. Ketika potensial aksi mendepolarisasi terminal saraf, ion kalsium akan masuk melalui voltage-gated calcium channels menuju sitoplasma saraf, yang akhirnya vesikel penyimpanan menyatu dengan membran terminal dan mengeluarkan asetilkolin. Selanjutnya asetilkolin akan berdifusi melewati celah sinaps dan berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada daerah khusus di membran otot yaitu motor-end plate. 3 motor end plate merupakan daerah khusus yang kaya akan reseptor asetilkolin dengan permukaan yang berlipat-lipat. 2

Upload: rey-alexander

Post on 26-Sep-2015

223 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

efegr

TRANSCRIPT

Farmakologi Obat Pelumpuh OtotReynaldo rizky alexander 112014082Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 email : [email protected]

Pendahuluan

Fisiologi Transmisi Saraf Otot Daerah diantara motor neuron dan sel saraf disebut neuromuscular junction. membran sel neuron dan serat otot dipisahkan oleh sebuah celah (20nm) yang disebut sebagai celah sinaps. Ketika potensial aksi mendepolarisasi terminal saraf, ion kalsium akan masuk melalui voltage-gated calcium channels menuju sitoplasma saraf, yang akhirnya vesikel penyimpanan menyatu dengan membran terminal dan mengeluarkan asetilkolin. Selanjutnya asetilkolin akan berdifusi melewati celah sinaps dan berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada daerah khusus di membran otot yaitu motor-end plate.3 motor end plate merupakan daerah khusus yang kaya akan reseptor asetilkolin dengan permukaan yang berlipat-lipat.2

Gambar 1. Neuro muscular junctionGambar 2. Kanal IonStruktur reseptor asetilkolin bervariasi pada jaringan yang berbeda. Pada neuromuscular junction, reseptor ini terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 subunit , dan 1 subunit , , dan . Hanya kedua subunit identik yang mampu untuk mengikat asetilkolin. Apabila kedua tempat pengikatan berikatan dengan asetilkolin, maka kanal ion di inti reseptor akan terbuka. Kanal tidak akan terbuka apabila asetilkolin hanya menduduki satu tempat. Ketika kanal terbuka, natrium dan kalsium akan masuk, sedangkan kalium akan keluar. Ketika cukup reseptor yang diduduki asetilkolin, potensial motor end plate akan cukup kuat untuk mendepolarisasi membran perijunctional yang kaya akan kanal natrium. Ketika potensial aksi berjalan sepanjang membran otot, kanal natrium akan terbuka dan kalsium akan dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler ini akan memfasilitasi aktin dan myosin untuk berinteraksi yang membentuk kontraksi otot.Kanal natrium memilikI dua pintu fungsional, yaitu pintu atas dan bawah. Natrium hanya akan bisa lewat apabila kedua pintu ini terbuka. Terbukanya pintu bawah tergantung waktu, sedangkan pintu atas tergantung tegangan.3Asetilkolim cepat dihidrolisis oleh asetilkolinesterase menjadi asetil dan kolin sehingga lorong tertutup kembali dan terjadilah repolarisasi1Pembahasan

Farmakokinetik Pelumpuh OtotSemua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi dengan kurang baik di usus dan onset akan melambat bila diadministrasikan intramuskular. Volume distribusi dan klirens dapat dpengaruhi oleh penyakit hati dan ginjal dan gangguan kardiovaskular. Pada penurunan cardiac output, distribusi obat akan melemah dan menurun, dengan perpanjangan paruh waktu, onset yang melambat dan efek yang menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi menurun dan konsentrasi puncak meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat. Pada pasien dengan edema, volume distribusi meningkat, konsentrasi di plasma menurun dengan efek klinis yang juga melemah.Banyak obat pelumpuh otot sangat tergantung dengan ekskresi ginjal untuk eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium dan cisatracurium yang tidak tergantung dengan fungsi ginjal.Umur juga mempenagruhi farmakokinetik obat pelmpuh otot. neonatus dan infant memiliki plasma klirens yang menurun sehingga eliminasi dan paralisis akan memanjang. Sedangkan pada orang tua, dimana cairan tubuh sudah berkurang, terjadi perubahan volume distribusi dan plasma klirens. biasanya ditemui sensitivitas yang meningkat dan efek yang memanjang. Fungsi ginjal yang menurun dan aliran darah renal yang menurun menyebabkan klirens yang menurun dengan efek pelumpuh otot yang memanjang.2

Farmakodinamik Pelumpuh OtotObat pelumpuh otot tidak memiliki sifat anestesi maupun analgesik. Dosis terapeutik menghasilkan beberapa efek yaitu ptosis, ketidakseimbangan otot ekstraokular dengan diplopia, relaksasi otot wajah, rahang, leher dan anggota gerak dan terakhir relaksasi dinding abdomen dan diafragma. Respirasiparalisis dari otot pernapasan menyebabkan apnea. Diafragma adalah bagian tubuh yang kurang sensitif dibanding otot lain sehingga biasanya paling terakhir lumpuh. Efek kardiovaskularHipotensi biasa ditemukan pada penggunaan D-tubocurarine, sedangkan hipertensi ditemukan pada penggunaan pancuronium, takikardi pada penggunaan gallamine, rocuronium, dan pancuronium. Pengeluaran histaminD-tubocurarine adalah obat yang tersering menyebabkan pengeluaran histamin sedangkan vecuronium adalah yang paling jarang. Reaksi alergi biasanya ditemui pada wanita dengan riwayat atopi.2

Obat Pelumpuh OtotObat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif, takikurare). Obat pelumpuh otot depolarisasi sangat menyerupai asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor asetilkolin dan membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya tidak menurun dengan cepat yang mengakibatkan perpanjangan depolarisasi di motor-end plate. Perpanjangan depolarisasi ini menyebabkan relaksasi otot karena pembukaan kanal natrium bawah terantung waktu, Setelah eksitasi awal dan pembukaan, pintu bawah kanal natrium ini akan tertutup dan tidak bisa membuka sampai repolarisasi motor-end plate. Motor end-plate tidak dapat repolarisasi selama obat pelumpuh otot depolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin; Hal ini disebut dengan phase I block. Setelah beberapa lama, depolarisasi end plate yang memanjang akan menyebabkan perubahan ionik dan konformasi pada reseptor asetilkolin yang mengakibatkan phase II block, yang secara klinis menyerupai obat pelumpuh otot nondepolarisasi.Obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin akan tetapi tidak mampu untuk menginduksi pembukaan kanal ion. Karena asetilkolin dicegah umtuk berikatan dengan reseptornya, maka potensial end-plate tidak terbentuk.Karena obat pelumpuh otot depolarisasi tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, maka ia akan berdifusi menjauh dari neuromuscular junction dan dihidrolisis di plasma dan hati oleh enzim pseudokolinesterase. Sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak dimetabolisme baik oleh asetilkolinesterase maupun pseudokolinesterase. Pembalikan dari blockade obat pelumpuh otot nondepolarisasi tergantung pada redistribusinya, metabolisme, ekskresi oleh tubuh dan administrasi agen pembalik lainnya (kolinesterase inhibitor). 3Pelumpuh Otot DepolarisasiPelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase plasma, pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase.3Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang memanjang.3Interaksi obat kolinesterase inhibitorkolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block pelumpuh otot depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu dengan menghambat kolinesterase, maka jumlah asetilkolin akan semakin banyak, maka depolarisasi akan meningkatkan depolarisasi. Selain itu, ia juga akan menghambat pseudokolinesterase. Pelumpuh otot nondepolarisasiSecara umum, dosis kecil dari pelumpuh otot nondepolarisasi merupakan antagonis dari fase I bock pelumpuh otot depolarisasi, karena ia menduduki reseptor asetilkolin sehingga depolarisasi oleh suksinilkolin sebagian dicegah.3DosisKarena onsetnya yang cepat dan duration of action yang pendek, banyak dokter yang percaya bahwa suksinilkolin masih merupakan pilihan yang baik untu intubasi rutin pada dewasa. Dosis yang dapat diberikan adalah 1 mg/kg IV.1Efek samping dan pertimbangan klinisKarena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest pada anak dengan miopati tak terdiagnosis, suksinilkolin masih dikontraindikasikan pada penanganan rutin anak dan remaja.3 Efek samping dari suksinilkolin adalah : Nyeri otot pasca pemberian Peningkatan tekanan intraokular Peningkatan tekakana intrakranial Peningkatan tekakana intragastrik Peningkatan kadar kalium plasma Aritmia jantung Salivasi Alergi dan anafilaksis1Pemilihan Pelumpuh Otot Karakteristik pelumpuh otot ideal : Nondepolarisasi Onset cepat Duration of action dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat diantagoniskan dengan obat tertentu Tidak menginduksi pengeluaran histamin Potensi Sifat tidak berubah oleh gangguan ginjal maupun hati dan metabolit tidak memiliki aksi farmakologi.2Durasi pembedahan mempengaruhi pemilihan pelumpuh otot : Ultra-short acting. contoh : suxamethonium Short duration. Contoh : mivacurium Intermediate duration. Contoh : atracurium, vecuronium, rocuronium, cisatracurium Long duration. Contoh : pancuronium, D-tubocurarine, doxacurium, pipecuronium.2Pelumpuh otot yang disarankan : Untuk induksi yang cepat - suxamethonium, atau apabila dikontraindikasikan dapat dipakai rocuronium Untuk stabilitas hemodinamika (contoh pada hipovolemia atau penyakit jantung parah) vecuronium Pada gagal ginjal dan hati atracurium, vekuronium, cisatracurium atau mivacurium Miastenia gravis : jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium Kasus obstetric : semua dapat diberkan kecuali gallamin1Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot : Cegukan (hiccup) Dinding perut kaku Ada tahana pada inflasi paru.1Penawar Pelumpuh Otot Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg).Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringetan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa).1

Daftar Pustaka :1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. ed 2. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. P 66-9.2. Davies NJH, Cashman JN. Lees Synopsis of Anaesthesia. Ed 13. Elsevier; 2006. P 175-99.3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. Ed 4. McGraw-Hill; 2007.