faringitis.docx

13
Faringitis/Laringitis Definisi Penyakit Laringitis adalah suatu radang laring yang disebabkan terutama oleh virus dan dapat pula disebabkan oleh bakteri. Berdasarkan onset dan perjalanannya, laringitis dibedakan menjadi laringitis akut dan kronis. Laringitis akut merupakan radang laring yang berlangsung kurang dari 3 minggu. Proses peradangan pada laring seringkali juga melibatkan seluruh saluran nafas baik hidung, sinus, faring, trakea dan bronkus. laringitis merupakan keradangan pada membrane mukosa laring, dengan tanda-tanda batuk, rasa sakit ketika palpasi pada laring, dysphagia, dan mungkin regurgitasi melalui hidung (Sudarisman 2003). Kausa dan Patogenesa Penyakit Pada umumnya laryngitis dan tracheitis disebabkan oleh infeksi beberapa agen penyakit seperti virus, bakteri, jamur dan juga dapat karena adanya trauma. Keradangan pada sapi yang disebabkan oleh infeksi kuman (bakteri) umumnya karena infeksi F. Necroporum dan Pasteurella sp. Selain itu juga disebabkan oleh Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae. Pada kuda kebanyakan disebabkan oleh bakteri Streptococcus equi dan Corynebacterium pyogenes atau oleh virus arteritis (Subronto 2004). Sedangkan keradangan yang disebabkan

Upload: sutan-nasution

Post on 28-Oct-2015

63 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Faringitis.docx

Faringitis/Laringitis

Definisi Penyakit

Laringitis adalah suatu radang laring yang disebabkan terutama

oleh virus dan dapat pula disebabkan oleh bakteri. Berdasarkan onset dan

perjalanannya, laringitis dibedakan menjadi laringitis akut dan kronis.

Laringitis akut merupakan radang laring yang berlangsung kurang dari 3

minggu. Proses peradangan pada laring seringkali juga melibatkan

seluruh saluran nafas baik hidung, sinus, faring, trakea dan bronkus.

laringitis merupakan keradangan pada membrane mukosa laring, dengan

tanda-tanda batuk, rasa sakit ketika palpasi pada laring, dysphagia, dan

mungkin regurgitasi melalui hidung (Sudarisman 2003).

Kausa dan Patogenesa Penyakit

Pada umumnya laryngitis dan tracheitis disebabkan oleh infeksi

beberapa agen penyakit seperti virus, bakteri, jamur dan juga dapat

karena adanya trauma. Keradangan pada sapi yang disebabkan oleh

infeksi kuman (bakteri) umumnya karena infeksi F. Necroporum dan

Pasteurella sp. Selain itu juga disebabkan oleh Haemofilus influenzae,

Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus

dan Streptococcus pneumoniae. Pada kuda kebanyakan disebabkan oleh

bakteri Streptococcus equi dan Corynebacterium pyogenes atau oleh virus

arteritis (Subronto 2004). Sedangkan keradangan yang disebabkan oleh

virus antara lain virus infectious bovine rhinotracheitis (IBR) dan malignant

catarrhal fever (MCF), juga dapat disebabkan virus influenza (tipe A dan

B), parainfluenza (tipe 1, 2, 3), rhinovirus dan adenovirus.

Kepekaan yang meningkat akan dialami oleh jaringan yang

mengalami radang akut. Aliran udara pernafasan, yang dalam keadaan

normal tidak mengganggu, pada selaput lendir tenggorok dan batang

tenggorok yang meradang akan menyebabkan rangsangan batuk. Produk

radang yang berupa lendir maupun reruntuhan jaringan yang meradang

dapat berlaku sebagai benda asing yang mampu merangsang jaringan

yang meradang, hingga karenanya perlu dibatukkan. Pada stadium awal

Page 2: Faringitis.docx

batuk tersebut bersifat kering dan pendek dan lama kelamaan berubah

menjadi basah dan biasanya intensitas dan frekuensinya menurun. Dalam

proses radang juga disertai adanya proses kebengkaan jaringan, dan oleh

adanya endapan atau melekatnya produk radang, saluran pernafasan

mengalami penyempitan. Hingga pada akhirnya menyebabkan sesak

nafas (dyspnea). Untuk mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan oleh

aliran udara yang masuk, maka proses pernafasan dilakukan secara

berlahan-lahan, dan terjadilah dyspnea inspiratorik (Subronto 2003).

Gejala Klinis

Gejala klinis di lapang yang ditemukan pada sapi, yaitu kurang

nafsu makan, produksi susu menurun dan batuk-batuk. Laryngitis terjadi

dalam 2 macam bentuk yaitu bentuk akut dan kronis. Laringitis bentuk

akut biasanya terjadi karena stress akibat transportasi maupun terhadap

temperatur yang dingin. Laringitis biasanya berhubungan dengan

terjadinya flu yang melanjut. Gejala klinis yang tampak pada laringitis akut

umumnya meliputi depresi, anorexia dan penurunan produksi susu. Gejala

yang menyertai antara lain lemah, pucat dan batuk kering yang mudah

diinduksi. Pada beberapa kejadian, laryngitis akut sering disertai dengan

tracheobronchitis dengan batuk yang parah.

Laringitis bentuk kronik jarang terjadi pada sapi, biasanya terjadi

mengikuti infeksi akut maupun luka yang disebabkan oleh penggunaan

pipa lambung yang menyebabkan munculnya abses maupun fistula

laryngeal. Umumnya laringitis kronis bersifat persisten dengan batuk

parah dan menyebabkan dyspnoea respiratorik. Laryngitis kronis terjadi

pada kasus tuberkulosis, aktinomikosis dan merupakan efek

bronchopneumonia kronis. Gejala yang muncul meliputi pembengkakan

laring, sulit bernafas ditandai dengan roaring dan keluarnya leleran

mucopurulen dari hidung.

Pengobatan

Pengobatan yang dilakukan di lapang pada sapi yang mengalami

faringitis/laryngitis ini adalah dengan penyuntikan Penstrep® 20 ml secara

Page 3: Faringitis.docx

subkutan dan Anti Cold® (Metampiron 300 mg dan Nipagin 2 mg) 10 ml

secara subkutan, vit. B-Complex® (vitamin B1, B2, B6, Nicotinamide,

Dexphantenol, Procain HCl) 20 ml secara intramuscular.

Kebanyakan dari infeksi virus yang umum pada laring dan trakea

akan dapat sembuh secara spontan jika hewan yang terkena

diistirahatkan, tidak dipekerjakan, dan tidak dipaparkan pada cuaca yang

tidak baik dan makanan yang berdebu. Hewan seperti sapi, yang sangat

bergantung pada respirasi untuk pengaturan suhu, jika berada dalam

keadaan terkena infeksi dan diikuti stress, maka dapt menyebabkan

pyrexia, oleh karena itu aksi dari antipiretik dari NSAIDs (Non-Steroid Anti

Inflamation Drugs ) dapat berguna pada spesies ini. NSAIDs juga memiliki

potensi analgesic untuk mengurangi rasa sakit. Penggunaan anti radang

dapat digunakan pada penyakit respirasi akut pada sapi, terutama yang

bersifat non-immunosuppressan akan mengurang morbiditas dan

mortalitas pada beberapa kasus (Andrews et al. 2004).

Carpal Hygroma

Definisi Penyakit

Carpal hygroma adalah pembengkakan lokal pada jaringan,

termasuk bursa precarpal hingga ke joint carpal

(www.merckmanuals.com).

Kausa dan Patogenesa Penyakit

Gejala Klinis

Pengobatan

Hipocalcaemia

Page 4: Faringitis.docx

Definisi Penyakit

Hipokalsemia pada sapi perah memiliki beberapa sinonim, yaitu

milk fever, paresis puerpuralis, dan parturient paresis (Goff 2006). Milk

fever adalah penyakit gangguan metabolisme yang terjadi pada sapi

betina menjelang/saat/sesudah melahirkan yang menyebabkan sapi

menjadi lumpuh. Milk Fever ditandai dengan menurunnya kadar kalsium

(Ca) dalam darah (Horst et al. 1997).

Kausa dan Patogenesa Penyakit

Kalsium berperan penting dalam fungsi sistem syaraf. Jika kadar

Ca dalam darah berkurang drastis, maka pengaturan sistem syaraf akan

terganggu, sehingga fungsi otak pun terganggu dan sapi akan mengalami

kelumpuhan. Kasus milk fever terjadi pada 48 – 72 jam setelah sapi

melahirkan, sapi yang mengalami gangguan ini biasanya sapi yang telah

beranak lebih dari tiga kali. Sapi berumur 4 tahun dan produksi tinggi

(lebih dari 10 liter) lebih rentan mengalami milk fever. Selain itu, angka

kejadian milk fever 3 – 4 kali lebih tinggi pada sapi yang dilahirkan dari

induk yang pernah mengalami milk fever (Horst et al. 1997).

Kebutuhan Ca pada akhir masa kebuntingan cukup tinggi sehingga

jika Ca dalam pakan tidak mencukupi, maka Ca di dalam tubuh akan

dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan Ca pada

awal laktasi juga meningkat, karena setiap kg air susu mengandung 1.2 -

1.4 gram Ca. Sedangkan Ca dalam darah adalah 8 – 10 mg/dl

(Thirunavukkarasu et al. 2010), sehingga sekresi susu yang mendekati 2

kg akan memerlukan semua Ca yang terdapat dalam darah. Jika kadar Ca

dalam darah tidak dapat dipertahankan, maka sapi akan mengalami

paresis puerpuralis atau milk fever.

Homeostasis Ca darah diatur oleh kalsitonin, hormon paratiroid

(parathormon) dan vitamin D3 (DeGaris dan Lean 2008). Pemberian pakan

tinggi Ca pada periode kering dapat merangsang pelepasan kalsitonin dari

sel-sel parafolikuler kelenjar tiroid, sehingga menghambat penyerapan Ca

dalam tulang oleh parathormon. Hiperkalsemia (tingginya kadar Ca dalam

darah) akan menghambat sekresi parathormon dan merangsang sekresi

Page 5: Faringitis.docx

(pengeluaran) kalsitonin. Kalsitonin ini dapat menurunkan konsentrasi Ca

darah dengan cara mengakselerasi penyerapan oleh tulang (Goff 2006).

Kejadian ini cenderung menghambat adaptasi normal sapi terhadap

kekurangan Ca pada permulaan partus dan laktasi yang menyebabkan

terjadinya kelumpuhan. Kelumpuhan ini karena kadar Ca dalam darah di

bawah 5 mg/dl. Berkurangnya Ca menurut Champness & Hamilton (2007)

disebabkan oleh beberapa hal, antara lain

Jumlah mineral, Ca dan P (Phosphor) dalam pakan yang berlebihan,

akibatnya akan menurunkan jumlah vitamin D yang berpengaruh

pada jumlah Ca dalam darah

Menurunnya absorpsi Ca dari usus dan mobilisasi mineral tersebut

dari tulang akibat dari kerja hormon estrogen dan steroid kelenjar

adrenal

Ca dan P dari dalam darah berpindah ke kolostrum saat sapi

menjelang melahirkan

Efek dari hormon tirokalsitonin. Hormon ini berfungsi untuk mengatur

mukosa sel-sel usus dalam menyerap dan mengatur kadar Ca dalam

darah

Nafsu makan menurun biasa terjadi pada 8-16 jam menjelang

melahirkan, akibatnya ketersediaan kalsium yang siap diserap juga

menurun

pH pakan dan kadar lemak yang tinggi

Sapi-sapi tua akan mengalami penurunan penyerapan Ca

Ketidak seimbangan komposisi Ca dan P dalam pakan.

Perbandingan yang ideal adalah Ca:P = 1:1

Gejala Klinis

Pada kasus hipokalsemia di lapang ditemukan gejala hewan

ambruk 2 hari (48 jam) post partus, suhu tubuh 36.9 °C, frekuensi napas

26 ×/menit, frekuensi denyut jantung 70 ×/menit, sinus hidung kotor akibat

makanan, nafsu makan menurun, lemas, dan kepala dijulurkan ke sebelah

kanan tubuh. Gejala awal menurut literatur yang ditemui yaitu sapi masih

berbaring, nafsu makan turun, kurang peka terhadap lingkungan, cermin

Page 6: Faringitis.docx

hidung kering, tremor pada otot, suhu tubuh rendah, kaki belakang lemah,

dan terjadi penimbunan gas di dalam rumen. Jika semakin parah, maka

sapi hanya mampu bertahan 6 – 24 jam. Sebenarnya angka

kesembuhannya cukup baik dan tingkat mortalitas kurang dari 2 – 3 %

apabila segera diketahui dan diberi pertolongan (Champness dan

Hamilton 2007).

Pengobatan

Pengobatan sapi yang menderita hipokalsemia di lapang diberikan

terapi infus 450 ml Calbro Injection secara intravena, injeksi 20 ml

Biotonic® secara intramuskular. Hewan kembali berdiri 15 menit setelah

diberikan terapi kemudian hewan sudah kembali mau makan. Pengobatan

sapi yang menampakkan gejala menurut literatur adalah diberikan

suntikan 1000 ml calcium borogluconas 40% secara intravena pada vena

jugularis (Braun et al. 2006). Suntikan dapat diulangi kembali setelah 8 –

12 jam kemudian, apabila belum menampakkan hasil, maka dapat

diberikan preparat yang mengandung magnesium. Hanya sedikit susu

yang boleh diperah selama 2 – 3 hari.

Kadar kalsium dalam pakan harus dikurangi pada akhir periode

laktasi. Pemberian kosentrat dapat diberikan 2 kg/hari atau selama

periode kering kandang dengan mengurangi pemberian legum atau

suplemen mineral. Peningkatan pemberian konsentrat baru dapat

dilakukan 2 minggu menjelang sapi melahirkan (Bewley dan Phillips

2010).

Indigesti

Definisi Penyakit

Indigesti adalah gangguan pencernaan pada lambung hewan

ruminansia (Suwito dan Nurini 2009). Menurut Subronto (2003), indigesti

merupakan sindrom yang bersifat kompleks dengan berbagai manifestasi

klinis tanpa disertai perubahan anatomis pada lambung hewan pemamah

biak.

Page 7: Faringitis.docx

Kausa dan Patogenesa Penyakit

Indigesti dapat disebabkan oleh banyak faktor, seperti perubahan

pakan yang mendadak terutama pada hewan yang masih muda.

Disamping itu, hewan yang terlalu kenyang atau hewan banyak

mengkonsumsi konsentrat dan pakan berjamur juga dapat menyebabkan

terjadinya indigesti. Subronto (2003), pathogenesis terjadinya indigesti

diawali dengan hipermotilitas dari rumen untuk mengatasi timbunan

ingesta yang terdapat pada lambung, sehingga terjadi kelemahan dari otot

rumen dan tidak kuat untuk berkontraksi akibatnya tonus rumen menjadi

hilang.

Pathogenesis dari indigesti ini juga dapat diakibatkan dari makanan

yang kandungan proteinnya banyak. Protein-protein tersebut

menghasilkan pembusukan dan menghasilkan ammonia yang berakibat

pH rumen mengalami kenaikan, sehingga bakteri atau mikroorganisme

yang tidak tahan suasana alkalis dan ada di dalam rumen mengalami

kematian sehingga proses pencernaan secara biokimiawi tidak efisien

akibatnya terjadi kontraksi berlebihan yang akan menyebabkan rumen

kelelahan (Subronto 2003). Indigesti ini juga bisa terjadi akibat

pengangkutan hewan yang berlangsung lama, sehingga asam laktat yang

terbentuk berlebihan dan dapat menekan kontraksi otot pada rumen.

Gejala Klinis

Gejala klinis yang ditemukan di lapang pada kasus indigesti ini,

yaitu tidak mau makan, tremor dan produksi susu menurun. Gejala klinis

menurut literature adalah lesu, malas bergerak, nafsu makan menurun,

nafsu minum masih ada, produksi susu menurun, frekuensi gerak rumen

meningkat dan segera diikuti dengan penurunan frekuensi gerak rumen.

Pada palpasi rumen, ingesta terasa lunak dan pada pemeriksaan tonus

rumen atau penekanan pada daerah flank dengan jari atau tangan, flank

hasil tekanan tidak kembali. Feses yang dikeluarkan sedikit berlendir,

gelap dan konsistensi lunak dan terjadi konstipasi, serta pulsus dan

frekuensi nafas masih normal (Yuriadi 2010).

Page 8: Faringitis.docx

Pengobatan

Terapi yang dilakukan di lapang pada kasus indigesti ini, yaitu

pemberian Vit. B-Complex® 20 ml secara intramuscular, ADE-Vit® 10 ml

secara subkutan, dan Anti Cold® 10 ml secara intramuscular. Menurut

Subronto (2003), pemberian vitamin B kompleks cukup bagus untuk

meningkatkan nafsu makan, kadang-kadang ketika sapi malas bergerak

harus dirangsang atau diberi vitamin A, D, dan E serta ditambah dengan

magnesium sulfat sebagai ruminatorium atau minimal air gula untuk

menambah tenaga. Beberapa obat parasimpatomimetik, seperti carbonyl-

choline dengan dosis 2 – 4 ml (sapi/kerbau dewasa), diinjeksikan secara

subkutan untuk merangsang timbulnya gerak rumen, neostigmin dan

physostigmin dosis 5 mg/100 Kg diinjeksikan secara subkutan. Secara

oral dapat diberikan MgSO4 atau sodium sulfat dengan dosis 100 – 400

gram. Pemberian dengan dosis rendah, yaitu 50 – 100 gram selama 2 – 3

hari juga memberikan hasil yang baik. Hentikan pemberian makanan serat

kasar, dan seimbangkan dengan pemberian hijauan serta pemberian air

minum ad libitum (Subronto 2003).

Daftar Pustaka

Andrews AH. et al. 2004. Bovine Medicine Disease and Husbandry of

Cattle. 2nd Edition. Oxford: Blackwell Publishing Company.

Bewley J dan Phillips D. 2010. Prevention of Milk Fever. USA: University

of Kentucky.

Braun U, Jehle W, Siegwart N, Bleul U, Hässig M. 2006. Treatment of

Parturient Paresis with High-dose Calcium. Zürich: Departement für

Nutztiere, Universität Zürich.

Champness D dan Hamilton. 2007. Milk Fever (Hypocalcaemia) in Cows.

USA: Department of Primary Industries. State of Victoria.

DeGaris PJ dan Lean IJ. 2008. Milk Fever in Dairy Cows: A Review of

Pathophysiology and Control Principles. The Vet. J. 176: 158 - 166.

Goff JP. 2006. Macromineral Physiology and Application to the Feeding of

the Dairy Cow for Prevention of Milk Fever and Other Periparturient

Page 9: Faringitis.docx

Mineral Disorders. Animal Feed Science and Technology 126: 237–

257.

Horst RL, Goff JP, Reinhardt TH, Buxton DR. 1997. Strategies for

Preventing Milk Fever in Dairy Cattle. J. Dairy Sci 80:1269–1280.

Subronto. 2008. Ilmu Penyakit ternak I-a (mamalia). Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Sudarisman. 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) Pada

sapi Di Lembang. Lembaga Pembibitan Ternak di Indonesia.

Wartazoa. 13: 108-118.

Suwito W dan Nurini S. 2009. Penyakit Pada Sapi Di Puskeswan Godean

Tahun 2006 – 2008. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan

Veteriner. Yogyakarta: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.

Yuriadi. 2010. Penyakit Organik Hewan Besar. Yogyakarta: Fakultas

Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada.

http://www.merckmanuals.com/vet/musculoskeletal_system/lameness_in_cattle/

soft-tissue_disorders_causing_lameness_in_cattle.html [Terhubung

berkala] [6 Juli 2013].