faringitis.docx
TRANSCRIPT
Faringitis/Laringitis
Definisi Penyakit
Laringitis adalah suatu radang laring yang disebabkan terutama
oleh virus dan dapat pula disebabkan oleh bakteri. Berdasarkan onset dan
perjalanannya, laringitis dibedakan menjadi laringitis akut dan kronis.
Laringitis akut merupakan radang laring yang berlangsung kurang dari 3
minggu. Proses peradangan pada laring seringkali juga melibatkan
seluruh saluran nafas baik hidung, sinus, faring, trakea dan bronkus.
laringitis merupakan keradangan pada membrane mukosa laring, dengan
tanda-tanda batuk, rasa sakit ketika palpasi pada laring, dysphagia, dan
mungkin regurgitasi melalui hidung (Sudarisman 2003).
Kausa dan Patogenesa Penyakit
Pada umumnya laryngitis dan tracheitis disebabkan oleh infeksi
beberapa agen penyakit seperti virus, bakteri, jamur dan juga dapat
karena adanya trauma. Keradangan pada sapi yang disebabkan oleh
infeksi kuman (bakteri) umumnya karena infeksi F. Necroporum dan
Pasteurella sp. Selain itu juga disebabkan oleh Haemofilus influenzae,
Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus
dan Streptococcus pneumoniae. Pada kuda kebanyakan disebabkan oleh
bakteri Streptococcus equi dan Corynebacterium pyogenes atau oleh virus
arteritis (Subronto 2004). Sedangkan keradangan yang disebabkan oleh
virus antara lain virus infectious bovine rhinotracheitis (IBR) dan malignant
catarrhal fever (MCF), juga dapat disebabkan virus influenza (tipe A dan
B), parainfluenza (tipe 1, 2, 3), rhinovirus dan adenovirus.
Kepekaan yang meningkat akan dialami oleh jaringan yang
mengalami radang akut. Aliran udara pernafasan, yang dalam keadaan
normal tidak mengganggu, pada selaput lendir tenggorok dan batang
tenggorok yang meradang akan menyebabkan rangsangan batuk. Produk
radang yang berupa lendir maupun reruntuhan jaringan yang meradang
dapat berlaku sebagai benda asing yang mampu merangsang jaringan
yang meradang, hingga karenanya perlu dibatukkan. Pada stadium awal
batuk tersebut bersifat kering dan pendek dan lama kelamaan berubah
menjadi basah dan biasanya intensitas dan frekuensinya menurun. Dalam
proses radang juga disertai adanya proses kebengkaan jaringan, dan oleh
adanya endapan atau melekatnya produk radang, saluran pernafasan
mengalami penyempitan. Hingga pada akhirnya menyebabkan sesak
nafas (dyspnea). Untuk mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan oleh
aliran udara yang masuk, maka proses pernafasan dilakukan secara
berlahan-lahan, dan terjadilah dyspnea inspiratorik (Subronto 2003).
Gejala Klinis
Gejala klinis di lapang yang ditemukan pada sapi, yaitu kurang
nafsu makan, produksi susu menurun dan batuk-batuk. Laryngitis terjadi
dalam 2 macam bentuk yaitu bentuk akut dan kronis. Laringitis bentuk
akut biasanya terjadi karena stress akibat transportasi maupun terhadap
temperatur yang dingin. Laringitis biasanya berhubungan dengan
terjadinya flu yang melanjut. Gejala klinis yang tampak pada laringitis akut
umumnya meliputi depresi, anorexia dan penurunan produksi susu. Gejala
yang menyertai antara lain lemah, pucat dan batuk kering yang mudah
diinduksi. Pada beberapa kejadian, laryngitis akut sering disertai dengan
tracheobronchitis dengan batuk yang parah.
Laringitis bentuk kronik jarang terjadi pada sapi, biasanya terjadi
mengikuti infeksi akut maupun luka yang disebabkan oleh penggunaan
pipa lambung yang menyebabkan munculnya abses maupun fistula
laryngeal. Umumnya laringitis kronis bersifat persisten dengan batuk
parah dan menyebabkan dyspnoea respiratorik. Laryngitis kronis terjadi
pada kasus tuberkulosis, aktinomikosis dan merupakan efek
bronchopneumonia kronis. Gejala yang muncul meliputi pembengkakan
laring, sulit bernafas ditandai dengan roaring dan keluarnya leleran
mucopurulen dari hidung.
Pengobatan
Pengobatan yang dilakukan di lapang pada sapi yang mengalami
faringitis/laryngitis ini adalah dengan penyuntikan Penstrep® 20 ml secara
subkutan dan Anti Cold® (Metampiron 300 mg dan Nipagin 2 mg) 10 ml
secara subkutan, vit. B-Complex® (vitamin B1, B2, B6, Nicotinamide,
Dexphantenol, Procain HCl) 20 ml secara intramuscular.
Kebanyakan dari infeksi virus yang umum pada laring dan trakea
akan dapat sembuh secara spontan jika hewan yang terkena
diistirahatkan, tidak dipekerjakan, dan tidak dipaparkan pada cuaca yang
tidak baik dan makanan yang berdebu. Hewan seperti sapi, yang sangat
bergantung pada respirasi untuk pengaturan suhu, jika berada dalam
keadaan terkena infeksi dan diikuti stress, maka dapt menyebabkan
pyrexia, oleh karena itu aksi dari antipiretik dari NSAIDs (Non-Steroid Anti
Inflamation Drugs ) dapat berguna pada spesies ini. NSAIDs juga memiliki
potensi analgesic untuk mengurangi rasa sakit. Penggunaan anti radang
dapat digunakan pada penyakit respirasi akut pada sapi, terutama yang
bersifat non-immunosuppressan akan mengurang morbiditas dan
mortalitas pada beberapa kasus (Andrews et al. 2004).
Carpal Hygroma
Definisi Penyakit
Carpal hygroma adalah pembengkakan lokal pada jaringan,
termasuk bursa precarpal hingga ke joint carpal
(www.merckmanuals.com).
Kausa dan Patogenesa Penyakit
Gejala Klinis
Pengobatan
Hipocalcaemia
Definisi Penyakit
Hipokalsemia pada sapi perah memiliki beberapa sinonim, yaitu
milk fever, paresis puerpuralis, dan parturient paresis (Goff 2006). Milk
fever adalah penyakit gangguan metabolisme yang terjadi pada sapi
betina menjelang/saat/sesudah melahirkan yang menyebabkan sapi
menjadi lumpuh. Milk Fever ditandai dengan menurunnya kadar kalsium
(Ca) dalam darah (Horst et al. 1997).
Kausa dan Patogenesa Penyakit
Kalsium berperan penting dalam fungsi sistem syaraf. Jika kadar
Ca dalam darah berkurang drastis, maka pengaturan sistem syaraf akan
terganggu, sehingga fungsi otak pun terganggu dan sapi akan mengalami
kelumpuhan. Kasus milk fever terjadi pada 48 – 72 jam setelah sapi
melahirkan, sapi yang mengalami gangguan ini biasanya sapi yang telah
beranak lebih dari tiga kali. Sapi berumur 4 tahun dan produksi tinggi
(lebih dari 10 liter) lebih rentan mengalami milk fever. Selain itu, angka
kejadian milk fever 3 – 4 kali lebih tinggi pada sapi yang dilahirkan dari
induk yang pernah mengalami milk fever (Horst et al. 1997).
Kebutuhan Ca pada akhir masa kebuntingan cukup tinggi sehingga
jika Ca dalam pakan tidak mencukupi, maka Ca di dalam tubuh akan
dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan Ca pada
awal laktasi juga meningkat, karena setiap kg air susu mengandung 1.2 -
1.4 gram Ca. Sedangkan Ca dalam darah adalah 8 – 10 mg/dl
(Thirunavukkarasu et al. 2010), sehingga sekresi susu yang mendekati 2
kg akan memerlukan semua Ca yang terdapat dalam darah. Jika kadar Ca
dalam darah tidak dapat dipertahankan, maka sapi akan mengalami
paresis puerpuralis atau milk fever.
Homeostasis Ca darah diatur oleh kalsitonin, hormon paratiroid
(parathormon) dan vitamin D3 (DeGaris dan Lean 2008). Pemberian pakan
tinggi Ca pada periode kering dapat merangsang pelepasan kalsitonin dari
sel-sel parafolikuler kelenjar tiroid, sehingga menghambat penyerapan Ca
dalam tulang oleh parathormon. Hiperkalsemia (tingginya kadar Ca dalam
darah) akan menghambat sekresi parathormon dan merangsang sekresi
(pengeluaran) kalsitonin. Kalsitonin ini dapat menurunkan konsentrasi Ca
darah dengan cara mengakselerasi penyerapan oleh tulang (Goff 2006).
Kejadian ini cenderung menghambat adaptasi normal sapi terhadap
kekurangan Ca pada permulaan partus dan laktasi yang menyebabkan
terjadinya kelumpuhan. Kelumpuhan ini karena kadar Ca dalam darah di
bawah 5 mg/dl. Berkurangnya Ca menurut Champness & Hamilton (2007)
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain
Jumlah mineral, Ca dan P (Phosphor) dalam pakan yang berlebihan,
akibatnya akan menurunkan jumlah vitamin D yang berpengaruh
pada jumlah Ca dalam darah
Menurunnya absorpsi Ca dari usus dan mobilisasi mineral tersebut
dari tulang akibat dari kerja hormon estrogen dan steroid kelenjar
adrenal
Ca dan P dari dalam darah berpindah ke kolostrum saat sapi
menjelang melahirkan
Efek dari hormon tirokalsitonin. Hormon ini berfungsi untuk mengatur
mukosa sel-sel usus dalam menyerap dan mengatur kadar Ca dalam
darah
Nafsu makan menurun biasa terjadi pada 8-16 jam menjelang
melahirkan, akibatnya ketersediaan kalsium yang siap diserap juga
menurun
pH pakan dan kadar lemak yang tinggi
Sapi-sapi tua akan mengalami penurunan penyerapan Ca
Ketidak seimbangan komposisi Ca dan P dalam pakan.
Perbandingan yang ideal adalah Ca:P = 1:1
Gejala Klinis
Pada kasus hipokalsemia di lapang ditemukan gejala hewan
ambruk 2 hari (48 jam) post partus, suhu tubuh 36.9 °C, frekuensi napas
26 ×/menit, frekuensi denyut jantung 70 ×/menit, sinus hidung kotor akibat
makanan, nafsu makan menurun, lemas, dan kepala dijulurkan ke sebelah
kanan tubuh. Gejala awal menurut literatur yang ditemui yaitu sapi masih
berbaring, nafsu makan turun, kurang peka terhadap lingkungan, cermin
hidung kering, tremor pada otot, suhu tubuh rendah, kaki belakang lemah,
dan terjadi penimbunan gas di dalam rumen. Jika semakin parah, maka
sapi hanya mampu bertahan 6 – 24 jam. Sebenarnya angka
kesembuhannya cukup baik dan tingkat mortalitas kurang dari 2 – 3 %
apabila segera diketahui dan diberi pertolongan (Champness dan
Hamilton 2007).
Pengobatan
Pengobatan sapi yang menderita hipokalsemia di lapang diberikan
terapi infus 450 ml Calbro Injection secara intravena, injeksi 20 ml
Biotonic® secara intramuskular. Hewan kembali berdiri 15 menit setelah
diberikan terapi kemudian hewan sudah kembali mau makan. Pengobatan
sapi yang menampakkan gejala menurut literatur adalah diberikan
suntikan 1000 ml calcium borogluconas 40% secara intravena pada vena
jugularis (Braun et al. 2006). Suntikan dapat diulangi kembali setelah 8 –
12 jam kemudian, apabila belum menampakkan hasil, maka dapat
diberikan preparat yang mengandung magnesium. Hanya sedikit susu
yang boleh diperah selama 2 – 3 hari.
Kadar kalsium dalam pakan harus dikurangi pada akhir periode
laktasi. Pemberian kosentrat dapat diberikan 2 kg/hari atau selama
periode kering kandang dengan mengurangi pemberian legum atau
suplemen mineral. Peningkatan pemberian konsentrat baru dapat
dilakukan 2 minggu menjelang sapi melahirkan (Bewley dan Phillips
2010).
Indigesti
Definisi Penyakit
Indigesti adalah gangguan pencernaan pada lambung hewan
ruminansia (Suwito dan Nurini 2009). Menurut Subronto (2003), indigesti
merupakan sindrom yang bersifat kompleks dengan berbagai manifestasi
klinis tanpa disertai perubahan anatomis pada lambung hewan pemamah
biak.
Kausa dan Patogenesa Penyakit
Indigesti dapat disebabkan oleh banyak faktor, seperti perubahan
pakan yang mendadak terutama pada hewan yang masih muda.
Disamping itu, hewan yang terlalu kenyang atau hewan banyak
mengkonsumsi konsentrat dan pakan berjamur juga dapat menyebabkan
terjadinya indigesti. Subronto (2003), pathogenesis terjadinya indigesti
diawali dengan hipermotilitas dari rumen untuk mengatasi timbunan
ingesta yang terdapat pada lambung, sehingga terjadi kelemahan dari otot
rumen dan tidak kuat untuk berkontraksi akibatnya tonus rumen menjadi
hilang.
Pathogenesis dari indigesti ini juga dapat diakibatkan dari makanan
yang kandungan proteinnya banyak. Protein-protein tersebut
menghasilkan pembusukan dan menghasilkan ammonia yang berakibat
pH rumen mengalami kenaikan, sehingga bakteri atau mikroorganisme
yang tidak tahan suasana alkalis dan ada di dalam rumen mengalami
kematian sehingga proses pencernaan secara biokimiawi tidak efisien
akibatnya terjadi kontraksi berlebihan yang akan menyebabkan rumen
kelelahan (Subronto 2003). Indigesti ini juga bisa terjadi akibat
pengangkutan hewan yang berlangsung lama, sehingga asam laktat yang
terbentuk berlebihan dan dapat menekan kontraksi otot pada rumen.
Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditemukan di lapang pada kasus indigesti ini,
yaitu tidak mau makan, tremor dan produksi susu menurun. Gejala klinis
menurut literature adalah lesu, malas bergerak, nafsu makan menurun,
nafsu minum masih ada, produksi susu menurun, frekuensi gerak rumen
meningkat dan segera diikuti dengan penurunan frekuensi gerak rumen.
Pada palpasi rumen, ingesta terasa lunak dan pada pemeriksaan tonus
rumen atau penekanan pada daerah flank dengan jari atau tangan, flank
hasil tekanan tidak kembali. Feses yang dikeluarkan sedikit berlendir,
gelap dan konsistensi lunak dan terjadi konstipasi, serta pulsus dan
frekuensi nafas masih normal (Yuriadi 2010).
Pengobatan
Terapi yang dilakukan di lapang pada kasus indigesti ini, yaitu
pemberian Vit. B-Complex® 20 ml secara intramuscular, ADE-Vit® 10 ml
secara subkutan, dan Anti Cold® 10 ml secara intramuscular. Menurut
Subronto (2003), pemberian vitamin B kompleks cukup bagus untuk
meningkatkan nafsu makan, kadang-kadang ketika sapi malas bergerak
harus dirangsang atau diberi vitamin A, D, dan E serta ditambah dengan
magnesium sulfat sebagai ruminatorium atau minimal air gula untuk
menambah tenaga. Beberapa obat parasimpatomimetik, seperti carbonyl-
choline dengan dosis 2 – 4 ml (sapi/kerbau dewasa), diinjeksikan secara
subkutan untuk merangsang timbulnya gerak rumen, neostigmin dan
physostigmin dosis 5 mg/100 Kg diinjeksikan secara subkutan. Secara
oral dapat diberikan MgSO4 atau sodium sulfat dengan dosis 100 – 400
gram. Pemberian dengan dosis rendah, yaitu 50 – 100 gram selama 2 – 3
hari juga memberikan hasil yang baik. Hentikan pemberian makanan serat
kasar, dan seimbangkan dengan pemberian hijauan serta pemberian air
minum ad libitum (Subronto 2003).
Daftar Pustaka
Andrews AH. et al. 2004. Bovine Medicine Disease and Husbandry of
Cattle. 2nd Edition. Oxford: Blackwell Publishing Company.
Bewley J dan Phillips D. 2010. Prevention of Milk Fever. USA: University
of Kentucky.
Braun U, Jehle W, Siegwart N, Bleul U, Hässig M. 2006. Treatment of
Parturient Paresis with High-dose Calcium. Zürich: Departement für
Nutztiere, Universität Zürich.
Champness D dan Hamilton. 2007. Milk Fever (Hypocalcaemia) in Cows.
USA: Department of Primary Industries. State of Victoria.
DeGaris PJ dan Lean IJ. 2008. Milk Fever in Dairy Cows: A Review of
Pathophysiology and Control Principles. The Vet. J. 176: 158 - 166.
Goff JP. 2006. Macromineral Physiology and Application to the Feeding of
the Dairy Cow for Prevention of Milk Fever and Other Periparturient
Mineral Disorders. Animal Feed Science and Technology 126: 237–
257.
Horst RL, Goff JP, Reinhardt TH, Buxton DR. 1997. Strategies for
Preventing Milk Fever in Dairy Cattle. J. Dairy Sci 80:1269–1280.
Subronto. 2008. Ilmu Penyakit ternak I-a (mamalia). Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Sudarisman. 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) Pada
sapi Di Lembang. Lembaga Pembibitan Ternak di Indonesia.
Wartazoa. 13: 108-118.
Suwito W dan Nurini S. 2009. Penyakit Pada Sapi Di Puskeswan Godean
Tahun 2006 – 2008. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Yogyakarta: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Yuriadi. 2010. Penyakit Organik Hewan Besar. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada.
http://www.merckmanuals.com/vet/musculoskeletal_system/lameness_in_cattle/
soft-tissue_disorders_causing_lameness_in_cattle.html [Terhubung
berkala] [6 Juli 2013].