fakultas psikologi universitas kristen satya...
TRANSCRIPT
PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA PUTUS
SEKOLAH DENGAN REMAJA SEKOLAH ANGGOTA
PPA (PUSAT PENGEMBANGAN ANAK)
OLEH
HIZKI ANTI NILASARI
802013071
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen SatyaWacana (UKSW), saya yang
bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Hizki Anti Nilasari
NIM : 802013071
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis karya : Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW
hal bebas royalty non-eksklusif (non-eclusif royalty freeright) atas karya ilmiah saya
yang berjudul :
PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA PUTUS SEKOLAH DENGAN REMAJA
SEKOLAH ANGGOTA PPA (Pusat Pengembangan Anak)
Dengan hak bebas royalty non eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih
media/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan
mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada tanggal : 10 Mei 2017
Yang menyatakan,
Hizki Anti Nilasari
Mengetahui,
Pembimbing
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Hizki Anti Nilasari
NIM : 802013071
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Sayta Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :
PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA PUTUS SEKOLAH DENGAN REMAJA
SEKOLAH ANGGOTA PPA (Pusat Pengembangan Anak)
Yang dibimbing oleh :
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau
gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk
rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya
sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya.
Salatiga, 10 Mei 2017
Yang memberi pernyataan,
Hizki Anti Nilasari
LEMBAR PENGESAHAN
PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA PUTUS SEKOLAH DENGAN REMAJA
SEKOLAH ANGGOTA PPA (PUSAT PENGEMBANGAN ANAK)
Oleh
Hizki Anti Nilasari
802013071
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui pada tanggal 16 Mei 2017
Oleh
Pembimbing
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.
Diketahui Oleh, Disahkan oleh,
Kaprogdi Dekan
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS. Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA PUTUS
SEKOLAH DENGAN REMAJA SEKOLAH ANGGOTA
PPA (PUSAT PENGEMBANGAN ANAK)
Hizki Anti Nilasari
Chr. Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
i
Abstrak
Erikson (dalam Burns, 1993) menyatakan bahwa konsep diri merupakan suatu
penelitian terhadap identitas pada masa remaja, khususnya perhatian terhadap cara
individu dalam mempersepsikan dirinya. Monks dkk (1999) menjelaskan bahwa
memasuki usia remaja, masalah konsep diri menjadi masalah yang cukup serius.
Pada umumnya remaja mengalami krisis psikososial yaitu antara menemukan dan
kebingungan atas identitas dirinya. Secara umum dapat dikatakan bahwa sikap
remaja saat ini masih dalam tahap mencari jati diri. Maka dari itu penting bagi
remaja untuk memiliki konsep diri yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antara konsep diri remaja putus
sekolah dengan remaja sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak).
Partisipan penelitian tediri dari 30 remaja putra maupun putri putus sekolah dan 30
lainnya adalah remaja sekolah putra maupun putri anggota PPA (Pusat
Pengembangan Anak). Penelitian dilakukan dengan alat ukur berupa skala psikologi
konsep diri. Hasil penelitian ini adalah terdapat perbedaan signifikan pada konsep
diri remaja putus sekolah dan remaja sekolah anggota PPA (Pusat Pengembangan
Anak).
Kata Kunci : Konsep Diri
ii
Abstract
Erikson (in Burns, 1993) stated that the concept of the self is an examination of identity
in adolescence, in particular attention to how the individual perceives in him. Monks et
al (1999) explains that as a teenager, the problem of self concept becomes quite serious
problems. In General, adolescents are experiencing psychosocial crisis between find
and confusion over his identity. In general it can be said that the attitude of adolescents
are still in the stage of searching for identity. Therefore it is important for teenagers to
have a good self concept. This research aims to find out whether there are significant
differences between the concept of yourself Teen dropouts by school children who
become teen CWA (child development center). Participants in the study consists of 30
teenagers both men and women dropping out of school and 30 other school teen both
men and women members of CWA (Child Development Center). Research done by
measuring instrument in the form of self concept scale psychology. The results of the
research there were significant differences on the concept of self teen dropouts and
teenage school members of the CWA (Child Development Center).
Keywords: Self Concept
1
PENDAHULUAN
Masa remaja adalah masa peralihan dimana perubahan secara fisik dan
psikologis dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Hurlock, 2003). Menurut
Mohamad Surya (1990 : 90) bahwa masa adolesence berawal dari 13 sampai 15
tahun untuk perempuan, 15 sampai 17 tahun untuk laki-laki sedangkan masa
adolesence yang sebenarnya antara 15 sampai usia 18 tahun untuk perempuan, 17
sampai 19 tahun untuk laki-laki. Selain itu pendapat lain mengemukakan bahwa
Masa remaja merupakan masa krusial bagi perkembangan individu, sebab pada
masa ini individu mengalami transisi bio-logis, kognitif, maupun sosial. Akibatnya,
individu mulai mencari-cari identitas dirinya (Santrock, 2012). Erikson (dalam
Burns, 1993) menyatakan bahwa konsep diri merupakan suatu penelitian terhadap
identitas pada masa remaja, khususnya perhatian terhadap cara individu dalam
mempersepsikan dirinya. Kemudian menurut Monks dkk (1999) menjelaskan bahwa
memasuki usia remaja, masalah konsep diri menjadi masalah yang cukup serius.
Pada umumnya remaja mengalami krisis psikososial yaitu antara menemukan dan
kebingungan atas identitas dirinya. Secara umum dapat dikatakan bahwa sikap
remaja saat ini masih dalam tahap mencari jati diri.
Oleh karena itu peneliti berpendapat bahwa konsep diri menjadi hal yang sangat
penting untuk dimiliki remaja pada masanya. Karena dengan konsep diri, remaja
dapat mengerti dan paham mengenai identitas dan jati dirinya. Namun ketika remaja
tidak memiliki konsep diri maka akan menimbulkan dampak yang tidak baik, seperti
kenakalan remaja. Kenakalan remaja dilatar belakangi oleh faktor internal dan
faktor eksternal, diantaranya adalah konsep diri. Konsep diri adalah pandangan dan
perasaaan kita tentang diri sendiri maupun persepsi tentang diri ini bersifat
2
psikologi, sosial, dan fisik. Jadi untuk mengetahui konsep diri kita positif atau
negatif, secara sederhana terangkum dalam tiga pertanyaan berikut, “bagaimana
watak saya sebenarnya?”, “bagaimana orang lain memandang saya?’, dan
“bagaimana pandangan saya tentang penampilan saya?”. Jawaban pada pertanyaan
pertama menunjukkan persepsi psikologis, jawaban kedua menunjukkan persepsi
sosial, dan jawaban pada pertanyaan ketiga menunjukkan persepsi fisis tentang diri
kita (Rakhmat, 2005).Kenakalan remaja menjadi topik yang sudah tidak asing lagi
bagi masyarakat, dapat didengar dan dilihat dari berbagai media komunikasi yang
ada. Dalam jurnal “Hubungan Antara Tingkat Kontrol Diri Dengan Kecenderungan
Perilaku Kenakalan Remaja” yang disusun oleh Iga Serpianing Aroma dan Dewi
Retno Suminar, mengemukakan bahwa perilaku kenakalan remaja mengalami
peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut
nampak dari fakta yang dilansir oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas
PA), yakni pelaku kriminal dari kalangan remaja dan anak-anak mengalami
peningkatan.Berdasarkan data yang ada, terhitung sejak Januari hingga Oktober
2015, meningkat 35% dibandingkan tahun sebelumnya. Pelakunya rata-rata berusia
13 hingga 17 tahun (nusantaraku.com, 2015). Dampak lain dari remaja yang tidak
memiliki konsep diri yang baik adalah penyalahgunaan narkoba. Kasus
penyalahgunaan narkoba setiap tahunnya semakin merambah pasar anak muda, baik
dari faktor usia maupun pendidikan, pengguna narkoba belia mengalami
peningkatan. Dampak lain adalah berupa pelanggaran status, pelanggaran terhadap
norma maupun pelanggaran terhadap hukum. Pelanggaran status seperti lari dari
rumah, membolos dari sekolah, minum minuman keras dibawah umur, balapan liar
dan lain sebagainya. Pelanggaran status seperti ini biasanya sulit untuk tercatat
3
secara kuantitas karena tidak termasuk dalam pelanggaran hukum. Sedangkan
perilaku yang menyimpang terhadap norma antara lain seks pranikah dikalangan
remaja, aborsi oleh remaja wanita, dan lain sebagainya.
Konsep diri meliputi apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan tentang
diri kita sendiri. Dengan demikian ada dua komponen konsep diri, yaitu komponen
kognitif dan komponen afektif. Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut
citra diri atau self image, sedangkan komponen afektif disebut harga diri atau self
esteem. Keduanya, menurut William D. Brocks dan Philip Emmert, berpengaruh
besar pada pola komunikasi interpersonal (Rakhmat, 2005).
Konsep diri (self concept) adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri;
penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan
(Chaplin, 1995). Evaluasi, penilaian, atau penaksiran berarti individu
menggambarkan dirinya dan memberikan nilai mengenai dirinya sendiri. Secara
umum penilaian tentang konsep diri dibagi menjadi dua bagian, yaitu konsep diri
positif dan konsep diri negatif. Salah satu ciri individu yang memiliki konsep diri
positif adalah mampu menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya, sedangkan
salah satu ciri individu yang memiliki konsep diri negatif adalah tidak mampu
menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya (Rakhmat, 2005). Individu yang
memiliki konsep diri positif akan mengembangkan sifat- sifat seperti kepercayaan
diri, harga diri, dan kemampuan untuk melihat dirinya sendiri secara realistis yang
kemudian individu dapat menilai hubungan dengan orang lain secara tepat dan hal
ini akan menimbulkan penyesuaian sosial yang baik. Sebaliknya bila konsep diri
negative, individu akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri,
4
merasa ragu dan kurang percaya diri. Hal tersebut dapat menumbuhkan penyesuaian
pribadi dan sosial yang buruk (Hurlock,1978).
Dari ulasan yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
apakah ada perbedaan konsep diri pada remaja putus sekolah dengan remaja sekolah
yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak). Berdasarkan fenomena yang
dilihat oleh peneliti di sekitar tempat dimana peneliti tinggal, menunjukkan ada hal
yang berbeda dari kedua subjek penelitian, yaitu remaja putus sekolah dan remaja
sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak). Hal yang dapat
diamati secara langsung adalah mengenai penampilan fisik, kedua subjek penelitian
memiliki penampilan secara fisik yang berbeda. Remaja putus sekolah cenderung
berpenampilan dengan hal-hal yang menurut mereka gaul tanpa mempedulikan
bagaimana pandangan orang-orang di sekeliling mereka pada umumnya. Memberi
warna pada rambut dan memakai anting bagi remaja laki-laki adalah hal yang sangat
umum. Namun pada organisasi-organisasi kemasyarakatan mereka cenderung tidak
berani muncul, melalui wawancara yang telah peneliti lakukan mengenai hal
tersebut, mereka mengutarakan bahwa mereka malu dan tidak percaya diri untuk
terlibat dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan, misalnya karang taruna.
Sementara remaja sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak)
secara fisik mereka berpenampilan seperti pada umumnya. Berdasarkan wawancara
yang telah dilakukan mengenai hal tersebut, remaja sekolah yang menjadi anak PPA
(pusat pengembangan anak) mengutarakan bahwa ada aturan-aturan yang
diberlakukan di sekolah mengenai penampilan fisik mereka, seperti tidak boleh
mewarnai rambut baik untuk laki-laki maupun perempuan dan tidak boleh
mengenakan anting pada laki-laki. Hal tersebut membuat mereka menampilkan diri
5
mereka secara umum dan sesuai peraturan yang berlaku. Remaja sekolah yang
menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak) lebih aktif terlibat dalam organisasi
baik di dalam maupun di luar sekolah, seperti Gereja, PPA dan lingkungan tempat
tinggal mereka.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang akan diangkat pada
penelitian ini adalah “Apakah remaja putus sekolah dan remaja sekolah yang
menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak) memiliki konsep diri yang
berbeda?”
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan
antara konsep diri remaja putus sekolah dengan remaja sekolah yang menjadi
anak PPA (pusat pengembangan anak).
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat Praktis
Mengetahui perbedaan konsep diri antararemaja putus sekolah dengan remaja
sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak).
Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian baru yang dilakukan oleh peneliti dapat memberikan
manfaat dalam dunia Psikologi Perkembangan sebagai sarana untuk memotivasi
para remaja agar memiliki konsep diri yang baik, guna mengurangi timbulnya
kenakalan remaja.
6
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Remaja
Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang
mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992).
Remaja yang sekolah menurut Rogers (1999) memiliki kemampuan ke
dalam diri sendiri, mengerti diri, menentukan hidup dan mampu menangani
masalah yang sedang dihadapi. Ini berarti dirinya dihargai, dicintai karena nilai
yang ada pada diri sendiri sebagai pribadi sehingga ia tidak bersifat defensif
namun sepenuhnya menerima dirinya sendiri dan penuh kepercayaan terhadap
diri sendiri.
Remaja yang putus sekolah biasanya memiliki banyak kecenderungan
negatif, remaja yang putus sekolah cenderung lebih suka memukul, kurang bisa
menilai dirinya sendiri, mengabaikan peraturan yang ada di sekitarnya, kurang
memberikan kasih sayang pada orang yang ada disekitarnya, melecehkan orang
lain, menghina orang lain yang menurut mereka lebih rendah dari dirinya, tidak
berlaku adil pada sesama, tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada pada
dirinya dan lain sebagainya. Remaja yang putus sekolah ketika dilihat dari
pergaulannya dengan lingkungan yang kurang mendukung, yang membuat
remaja lebih cenderung memunculkan perilaku negatif atau mempunyai konsep
diri yang negatif (Sobur, 2003).
7
Dari uraian diatas maka dapat di simpulkan bahwa setiap remaja
membutuhkan orang lain disampingnya, yaitu orang tua, guru, dan teman artinya
dengan adanya orang tua dan guru yang bisa memberikan dorongan dan
masukan-masukan, remaja bisa memperbaiki perilaku remaja sebelumnya yang
kurang bagus atau kurang baik dan bisa diarahkan ke arah yang lebih baik
lagi,serta mereka dapat mengenal dan menerima dirinya sendiri, menentukan
arah hidup masing-masing sesuai dengan nilai dalam dirinya.
2.2 Konsep Diri
Konsep diri (self concept) adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri;
penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan
(Chaplin, 1995). Evaluasi, penilaian, atau penaksiran berarti individu
menggambarkan dirinya dan memberikan nilai mengenai dirinya sendiri. Secara
umum penilaian tentang konsep diri dibagi menjadi dua bagian, yaitu konsep diri
positif dan konsep diri negatif. Salah satu ciri individu yang memiliki konsep
diri positif adalah mampu menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya,
sedangkan salah satu ciri individu yang memiliki konsep diri negatif adalah
tidak mampu menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya (Rakhmat, 2005).
Individu yang memiliki konsep diri positif akan mengembangkan sifat- sifat
seperti kepercayaan diri, harga diri, dan kemampuan untuk melihat dirinya
sendiri secara realistis yang kemudian individu dapat menilai hubungan dengan
orang lain secara tepat dan hal ini akan menimbulkan penyesuaian sosial yang
baik. Sebaliknya bila konsep diri negative, individu akan mengembangkan
perasaan tidak mampu dan rendah diri, merasa ragu dan kurang percaya diri. Hal
8
tersebut dapat menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk
(Hurlock,1978).
Dalam jurnal “Dinamika Konsep Diri pada Remaja Perempuan Pembaca
Teenlit” yang disusun oleh Novia Dwi Rahmaningsih dan Wisjnu Martani,
Berzonsky (1981) mendefinisikan konsep diri sebagai sebuah personal theory
yang mencakup seluruh konsep, asumsi, dan prinsip yang dipercayai oleh
individu tentang dirinya sepanjang kehidupan. Sementara itu, disumber lainnya
Berzonsky (1981), mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran
mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian
berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik,
psikis, sosial, dan moral. Dapat dilihat bahwa secara ringkas Berzonsky
mengungkapkan bahwa konsep diri adalah hal-hal yang terkait dengan fisik,
sosial, moral, dan psikis, hal inilah yang akhirnya menentukan konsep diri
seseorang atau individu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri mencakup seluruh
konsep, asumsi dan prinsip yang menggambarkan dirinya dan memberikan nilai
mengenai dirinya sendiri. Adapun penilaian konsep diri dibagi menjadi dua
bagian, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif
adalah dimana individu mampu menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya,
sedangkan konsep diri negatif adalah dimana individu tidak mampu menerima
dan mencintai dirinya sendiri apa adanya.
9
2.3 Aspek-Aspek Konsep Diri
Menurut Berzonsky (1981) dalam jurnal “Dinamika Konsep Diri pada Remaja
Perempuan Pembaca Teenlit” yang disusun oleh Novia Dwi Rahmaningsih dan
Wisjnu Martani, Berzonsky (1981) aspek konsep diri adalah :
2.3.1. Aspek fisik, yaitu bagaimana penilaian individu terhadap segala
sesuatu bayang terlihat secara fisik yang dimilikinya seperti tubuh,
kesehatan, pakaian penampilan.
2.3.2. Aspek sosial, yaitu bagaimana peranan sosial yang perankan individu
mencakup hubungan antara individu dengan keluarga dan individu
dengan lingkungan.
2.3.3. Aspek moral, merupakan nilai dan prinsip yang memberi arti dan arah
dalam kehidupan individu dan memandang nilai etika moral dirinya
seperti kejujuran, tanggungjawab atas kegagalan yang dialaminya,
religiusitas serta perilakunya.
2.3.4. Aspek psikis, meliputi pikiran, perasaan dan sikap yang dimiliki
individu terhadap dirinya sendiri
2.4. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Stuart dan Sudeen ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari Significant Other
(orang yang terpenting atau yang terdekat) dan Self Perception (persepsi diri
sendiri).
10
2.4.1. Significant Other( Orang yang terpenting atau yang terdekat )
Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman
dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain
yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri
pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang
yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan
dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus
hidup, pengaruh budaya dan sosialisasi.
2.4.2. Self Perception ( Persepsi diri sendiri )
Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta
persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu.
Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman
yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek yang kritikal dan
dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif
dapat berfungsi lebih efektif yang dapat berfungsi lebih efektif yang
dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual
dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif
dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu.
2.5. Hipotesis
“Ada perbedaan signifikan pada konsep diri remaja putus sekolah dengan
remaja sekolah yang menjadi anak PPA (pusat pengembangan anak). Remaja
sekolah anggota PPA memiliki konsep diri lebih baik dibandingkan remaja
putus sekolah.”
11
METODE PENELITIAN
3.1. Definisi Operasional
Konsep Diri:
Berzonsky (1981) mendefinisikan konsep diri sebagai sebuah personal
theory yang mencakup seluruh konsep, asumsi, dan prinsip yang dipercayai oleh
individu tentang dirinya sepanjang kehidupan. Sementara itu, di sumber lainnya
Berzonsky (1981), mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran mengenai
diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan
harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan
moral. Dapat dilihat bahwa secara ringkas Berzonsky mengungkapkan bahwa konsep
diri adalah hal-hal yang terkait dengan fisik, sosial, moral, dan psikis, hal inilah yang
akhirnya menentukan konsep diri seseorang atau individu.
3.2. Subjek Penelitian
Subjek keseluruhan berjumlah 60 orang dengan klasifikasi 30 orang adalah
remaja putra ataupun putri dengan kriteria putus sekolah dan 30 lainnya adalah
remaja putra ataupun putri dengan kriteria bersekolah serta menjadi anak PPA (Pusat
Pengembangan Anak). Subjek didapatkan sesuai dengan jumlah anak yang dijumpai
atau dapat dikatakan accidental.
3.3. Teknik pengumpulan data
Menggunakan teknik pengambilan data yaitu, Non Probability Sampling dengan
menggunakan Convenience Sampling, artinya adalah penentuan jumlah sampel tidak
dilakukan melalui perhitungan tertentu akan tetapi dengan menetapkan jumlah atau
ukuran sampel sesuai perkiraan (menurut Nawawi, 2001), teknik pengambilan
12
sampel dengan subjek yang besedia dan mau memberikan respons pada penelitian
(menurut Nauman, 2000).
3.4. Analisis Aitem dan Reliabilitas Alat Pengumpulan Data
3.4.1. Analisis Aitem : Item-item dalam skala psikologi ini bertujuan
untuk
mengukur sejauh mana perbedaan konsep diri
antara remaja putus sekolah dengan remaja
sekolah yang menjadi anak PPA.
3.4.2. Realibilitas : Menggunakan reliabilitas 0,25 pada skala
psikologis tentang konsep diri.
3.4.3. Alat pengumpulan data : Alat ukur yang digunakan adalah skala psikologi
tentang konsep diri
3.5. Teknis Analisis Data
Teknik analisis data pengujian hipotesis dilakukan dengan perhitungan statistik
dengan bantuan program SPSS untuk mengukur apakah terdapat perbedaan konsep
diri antara remaja putus sekolah dengan remaja sekolah dan menjadi anak PPA
(Pusat Pengembangan Anak).
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Dengan format skala Likert berjumlah 5 point, setelah dilakukan uji
reliabilitas dan seleksi aitem maka didapatkan skor reliabilitas sebesar 0,882
setelah dilakukan seleksi aitem didapatkan hasil bahwa terdapat 3 aitem yang
gugur . Peneliti menggunakan Kriteria Kaplan dimana aitem yang memiliki nilai
Corrected Aitem-Total Correlation < 0,3 akan dihilangkan.
Setelah peneliti melakukan penghitungan ulang menggunkan SPSS dengan
menghilangkan item-item yang tidak sesuai, maka hasil tingkat reliabilitas yang
peneliti peroleh yaitu meningkat dari hasil 0,882 menjadi 0,897. Untuk
mengukur hasil penelitian digunakan beberapa uji melalui SPSS versi 16.00
sebagai berikut:
UJI NORMALITAS
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
PUTUS SEKOLAH SEKOLAH
N 30 30
Normal Parametersa Mean 64.63 128.27
Std. Deviation 6.515 4.777
Most Extreme Differences Absolute .172 .144
Positive .172 .084
Negative -.168 -.144
Kolmogorov-Smirnov Z .941 .791
Asymp. Sig. (2-tailed) .339 .559
a. Test distribution is Normal.
Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov yang menunjukkan skala konsep
diri (K-S-Z = 0,992, p = 0,435, p > 0,05). Dapat disimpulkan bahwa variabel konsep diri
memiliki sebaran data yang berdistribusi normal.
14
UJI HOMOGENITAS
Test of Homogeneity of Variances
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2.068 8 16 .103
UJI-T
Group Statistics
KELOMPOK N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
NILAI 1 30 64.6333 6.51515 1.18950
2 30 1.2827E2 4.77734 .87222
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
NILAI Equal variances assumed
.511 .477 -43.141 58 .000 -63.63333 1.47502 -66.58590 -60.68077
Equal variances not assumed
-43.141 53.192 .000 -63.63333 1.47502 -66.59159 -60.67508
15
Berdasarkan uji-T yang dilakukan melali SPSS dapat dilihat bahwa SIG.(2-TAIL)
kurang dari 0,05, dimana hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan signifikan.
Dalam hal ini perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan konsep diri antara remaja
putus sekolah dengan remaja sekolah yang menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan
Anak).
4.2. Pembahasan
Perbedaan konsep diri pada remaja sekolah yang menjadi anak PPA
(Pusat Pengembangan Anak) dan remaja putus sekolah menunjukkan hasil yang
signifikan. Ini membuktikan bahwa peran dan manfaat sekolah selama ini yang
dianggap sederhana oleh sebagian orang tua, ternyata berperan sangat penting
dalam membangun konsep diri yang positif bagi remaja. Remaja sekolah yang
menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan Anak) dan remaja yang putus sekolah
dalam penelitian ini sangat berbeda. Remaja sekolah yang menjadi anak PPA
(Pusat Pengembangan Anak) lebih mengetahui konsep dirinya dibandingkan
dengan remaja putus sekolah, seperti pendapat Rogers (1999) Remaja yang
sekolah memiliki kemampuan ke dalam diri sendiri, mengerti diri, menentukan
hidup dan mampu menangani masalah yang sedang dihadapi.
Remaja yang sekolah dalam penelitian ini dinyatakann memiliki konsep
diri yang positif, dan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menghadapi
masalahnya. Sebagaimana yang telah di sebutkan oleh Rogers(1999). Remaja
yang sekolah mempunyai konsep diri yang baik terutama dalam hal penerimaan
diri dan berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Oleh
16
karena itu pendidikan disekolah dan di PPA (Pusat pengembangan Anak) sangat
berperan penting dalam pembentukkan konsep diri remaja.
Remaja yang sekolah lebih memiliki disiplin tinggi dan membentuk
konsep diri yang lebih positif, remaja yang sekolah paham dengan tanggung
jawab di sekolah ataupun dalam keluarga, taat terhadap aturan, berperilaku
sesuai dengan norma-norma yang berlaku, hal itu yang mendukung remaja dapat
membentuk konsep diri yang baik.
Remaja yang putus sekolah lebih memiliki konsep diri yang negatif.
Remaja yang putus sekolah memiliki kebiasaan yang melanggar norma yang
berlaku di masyarakat pada umumnya. Misalnya, bepakaiaan semaunya tanpa
peduli situasi, tidak mengerti tanggung jawab di masyarakat maupun dalam
keluarga, tidak memiliki tujuan hidup.
Remaja dihadapkan dengan banyak peran yang baru dan status orang
dewasa, pekerjaan dan romantika (Kanopka, dalam Pikunas, 1976; Kaczman &
Riva, 1996). Dalam hal ini orang tua sebaiknya mengizinkan mereka untuk
menjajaki berbagai peran yang berbeda, maupun berbagai jalur yang terdapat
dalam suatu peran tertentu. Jika menghadapi peran semacam itu dengan cara
yang sehat dan sampai pada jalur yang positif untuk diikuti dalam kehidupan,
maka perilaku yang positif akan dicapai.
Apabila dalam menjajaki berbagai peran dan mendefinisikan masa
depannya remaja kurang berhasil maka remaja tersebut akan mengalami
kebingungan. Hal inilah kenapa pendidikan perlu di tempuh dengan baik. Begitu
pula sebaliknya dalam kehidupan pada masyarakat luas, tidak sedikit pula
17
remaja yang putus sekolah, untuk itu pendidikan di sekolah sangat berperan
penting untuk membentuk konsep diri remaja yang lebih positif.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa konsep diri bukanlah sesuatu
yang dibawa sejak lahir. Remaja tidak dilahirkan dengan konsep diri tertentu.
Ketika remaja lahir, kita tidak memiliki konsep diri, tidak memiliki pengetahuan
tentang diri, dan tidak memiliki pengharapan bagi diri kita sendiri, serta tidak
memiliki penilaian apapun terhadap diri remaja sendiri. Konsep diri terbentuk
melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga
dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua turut memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Sikap
dan respon orang tua serta lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak
untuk menilai siapa dirinya.
Dengan demikian manusia memiliki kecenderungan untuk menetapkan
nilai-nilai pada saat mempersepsi sesuatu. Setiap individu dapat saja menyadari
keadaannya atau identitas yang dimilikinya akan tetapi yang lebih penting
adalah menyadari seberapa baik atau buruk keadaan yang dimiliki serta
bagaimana harus bersikap terhadap keadaan tersebut. Tingkah laku individu
sangat bergantung pada kualitas konsep dirinya yaitu konsep diri positif atau
konsep diri negatif.
Dari fenomena tersebut diatas, peneliti dapat melihat atau mengetahui
bahwa konsep diri remaja yang sekolah cenderung positif dibandingkan konsep
diri remaja yang putus sekolah. Remaja yang sekolah bisa lebih berusaha lebih
baik dalam pemecahan masalah yang ada pada dirinya. Sedangkan remaja yang
18
putus sekolah lebih cenderung mudah depresi atau stres, dan lebih cenderung
putus asa ketika remaja yang putus sekolah tersebut mengalami kegagalan atau
mengalami hambatan dalam pencapaian cita-cita dan harapannya. Seperti yang
dikemukakan oleh Damon, bahwa seseorang dengan konsep diri yang positif
akan terlihat memiliki harga diri yang positif
19
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai “Perbedaan Konsep Diri Antara Remaja
Sekolah Yang Menjadi Anak PPA (Pusat Pengembangan Anak) Dengan Remaja
Putus Sekolah” yang dilakukan melalui observasi dan pengambilan data
menggunakan skala psikologi konsep diri (angket). Peneliti menyimpulkan
bahwa ada perbedaan yang signifikan pada konsep diri remaja sekolah yang
menjadi anak PPA (Pusat Pengembangan Anak) dan remaja putus sekolah.
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari hasil analisis data, maka peneliti
mencoba memberikan rekomendasi sebagai berikut:
- Pentingnya peran sekolah dalam membantu remaja dalam mengenal konsep
diri mereka.
- Pentinya peran PPA (Pusat Pengembangan Anak) sebagai wadah untuk
mendidik serta mengarahkan remaja sekolah untuk memiliki konsep diri
yang positif, sehingga hal tersebut dapat menjadi upaya preventif untuk
mencegah terbentuknya konsep diri negative pada remaja.
- Pentingnya peran keluarga untuk mendukung, mengawasi dan mengapresiasi
remaja dalam usaha untuk membentuk konsep diri yang positif.
- Peneleti berikutnya harus lebih baik lagi dengan menggali lebih dalam
mengenai variable konsep diri yang diambil serta mendiskripsikan dan
menentukan subjek penelitian secara lebih spesifik
20
DAFTAR PUSTAKA
Burns R. B. (1993). Konsep diri: teori, pengukuran, perkembangan dan perilaku. (Alih
Bahasa: Eddy). Jakarta : Arcan.
Chaplin, J, P. (1995). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Hurlock, E. B. (1978). Perkembangan anak: Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hurlock, E. B. (1992). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan (Terjemahan: Istiwijayanti dan Soedjarwo). Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E. (2003). Psikologi perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Monks, F.J., dkk. (1999). Psikologi perkembangan pengantar dalam berbagai
bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Muhammad Surya. (1990). Psikologi pendidikan. Bandung: PT. Tarsito.
Rakhmat, J. (2005). Psikologi komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakara.
Rahmaningsih D. N & Martani W. (2014). “Dinamika konsep diri pada remaja
perempuan pembaca teenlit”. Jurnal Psikologi 41(02). 179 – 189
Santrock, John W. (2012). Life-span development. 13th
Edition. University of Texas,
Dallas : Mc Graw-Hill.