f5 manajemen kasus tuberkulosis

27
F5. MANAJEMEN KASUS TUBERKULOSIS PUSKESMAS PANAIKANG KABUPATEN SINJAI I. LATAR BELAKANG Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang telah lama menjadi permasalahan kesehatan di dunia. Sejak tahun 1993, penyakit ini telah dideklarasikan sebagai Global Health Emergency oleh World Health Organization (WHO). Berdasarkan laporan terbaru dari WHO pada tahun 2009, insiden kasus TB di dunia telah mencapai 8,9–9,9 juta, prevalensi mencapai 9,6–13,3 juta, dan angka kematian mencapai 1,1–1,7 juta pada kasus TB dengan HIV negatif dan 0,45–0,62 juta pada kasus TB dengan HIV positif. Data yang dilaporkan tiap tahun menunjukkan insiden atau kasus TB baru cenderung meningkat setiap tahun, sebagai contoh insiden pada tahun 2008 diestimasi sebesar 9,4 juta, dibandingkan dengan tahun 2007 dan 2006 sebelumnya yang masing-masing sebesar 9,27 juta dan 9,24 juta. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menangani kasus TB yang terjadi di dunia, dan tidak sedikit biaya yang telah dikeluarkan. Persebaran kasus TB di dunia memang tidak merata dan justru 86% dari total kasus TB global ditanggung oleh negara berkembang. Sekitar 55% dari seluruh kasus global tersebut terdapat pada negara-negara 1

Upload: muh-syahrul-al-aqzah

Post on 29-Sep-2015

65 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

mini project kedokteran

TRANSCRIPT

F5. MANAJEMEN KASUS TUBERKULOSIS PUSKESMAS PANAIKANG

KABUPATEN SINJAI

I. LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang telah lama menjadi permasalahan kesehatan di dunia. Sejak tahun 1993, penyakit ini telah dideklarasikan sebagai Global Health Emergency oleh World Health Organization (WHO). Berdasarkan laporan terbaru dari WHO pada tahun 2009, insiden kasus TB di dunia telah mencapai 8,99,9 juta, prevalensi mencapai 9,613,3 juta, dan angka kematian mencapai 1,11,7 juta pada kasus TB dengan HIV negatif dan 0,450,62 juta pada kasus TB dengan HIV positif. Data yang dilaporkan tiap tahun menunjukkan insiden atau kasus TB baru cenderung meningkat setiap tahun, sebagai contoh insiden pada tahun 2008 diestimasi sebesar 9,4 juta, dibandingkan dengan tahun 2007 dan 2006 sebelumnya yang masing-masing sebesar 9,27 juta dan 9,24 juta.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menangani kasus TB yang terjadi di dunia, dan tidak sedikit biaya yang telah dikeluarkan. Persebaran kasus TB di dunia memang tidak merata dan justru 86% dari total kasus TB global ditanggung oleh negara berkembang. Sekitar 55% dari seluruh kasus global tersebut terdapat pada negara-negara di benua Asia, 31% di benua Afrika, dan sisanya yang dalam proporsi kecil tersebar di berbagai negara di benua lainnya. Melihat hal ini, maka WHO telah menetapkan 22 negara yang dianggap sebagai high-burden countries dalam permasalahan TB untuk mendapatkan perhatian yang lebih intensif dalam hal penanggulangannya. Indonesia adalah salah satu negara yang termasuk di dalamnya.

Berdasarkan tingginya angka insiden TB di setiap negara, sampai tahun 2007 Indonesia masih menduduki peringkat ke-3 setelah India dan Cina, disusul oleh Nigeria pada peringkat ke-4 dan Afrika Selatan pada peringkat ke-5. Sementara berdasarkan laporan pada tahun 2008, kelima negara tersebut masih tetap masuk dalam daftar lima besar negara dengan kasus TB baru terbanyak tetapi dengan urutan yang berubah dimana Indonesia menduduki peringkat ke-5 dengan insiden yang mengalami penurunan dari sekitar 528-ribu di tahun 2007 menjadi 429-ribu di tahun 2008 (grafik 1.1).

Grafik 1.1 Daftar lima besar negara dengan jumlah kasus baru TB terbanyak.

Penurunan jumlah kasus baru TB di Indonesia untuk tahun 2007 dan 2008 sangat penting dalam mencapai angka yang lebih kecil lagi untuk tahun-tahun selanjutnya. Indonesia dituntut untuk membuktikan komitmennya dalam mengatasi masalah TB. Hal ini sejalan dengan tujuan ke-6 dari millennium development goals yang telah ditandatangani Indonesia bersama 188 negara lainnya pada September 2000 yakni memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya termasuk TB. Untuk mewujudkannya di tahun 2015, maka ada 3 indikator penting yang perlu diperhatikan yaitu prevalensi tuberculosis dan angka kematian penderita tuberculosis dengan sebab apapun selama pengobatan OAT, angka penemuan penderita tuberkulosis BTA positif baru, dan angka kesembuhan penderita tuberkulosis.

Menurut Leavell (1953), terdapat lima tahapan dalam pencegahan penyakit menular, yaitu promosi kesehatan, proteksi khusus, diagnosis dini dan pengobatan yang cepat, pembatasan disabilitas, dan rehabilitasi. Berkaitan dengan upaya penurunan angka kasus baru TB di Indonesia, maka tahapan ke-3 sangat penting guna memutuskan rantai penularan dari penderita ke orang yang sehat. Selama ini, upaya yang ditempuh dalam hal pengobatan penderita TB di Indonesia adalah dengan pemberian obat anti-tuberkulosis (OAT) lini-1. Pada tahun 2006, angka keberhasilan pengobatan mencapai 91%, tapi keberhasilan pengobatan ulangan hanya mencapai 77%, dan tidak semua kasus TB mendapatkan pengobatan seperti yang diharapkan sebab angka case detection rate Indonesia hanya 51% pada tahun yang sama. Permasalahan ini diperberat dengan fakta bahwa Indonesia dan dunia telah dihadapkan pada permasalahan baru dalam pengobatan TB yakni TB dengan multidrug-resistant (TB-MDR).

Pada tahun 2008, diperkirakan terdapat 390.000 510.000 kasus TB-MDR di seluruh dunia, dan telah menyebabkan 150.000 kematian. WHO bahkan telah menetapkan 27 negara yang termasuk dalam high MDR-TB burden countries, dan Indonesia yang termasuk di dalamnya menduduki peringkat ke-10 dengan 9.300 kasus TB-MDR di tahun 2008. TB-MDR disebabkan oleh bakteri yang menjadi resisten sekurang-kurangnya terhadap dua jenis OAT yang paling efektif yaitu isoniazid dan rifampicin. TB-MDR dapat terjadi baik dari infeksi primer dari bakteri yang memang resisten, maupun dari pengobatan penderita yang tidak adekuat. Bakteri yang telah resisten tersebut akan mengurangi efektivitas pengobatan dengan angka kesembuhan hanya sekitar 5970%. Akibatnya pengobatan terhadap pasien TB-MDR secara perlahan beralih pada OAT lini-2, yang seringkali lebih sulit, mahal, dan memberikan hasil yang kurang memuaskan.9

Diagnosis TB-MDR membutuhkan pemeriksaan uji sensitivitas obat yang didahului dengan pemeriksaan biakan yang rata-rata membutuhkan waktu yang cukup lama berkisar 612 minggu. Oleh karena biaya pemeriksaan yang cenderung mahal dan fasilitas laboratorium yang masih kurang, tidak semua penderita TB di Indonesia menjalani pemeriksaan tersebut. Hal yang perlu disadari dalam hal ini adalah bahwa pengobatan TB-MDR lebih sulit dibandingkan dengan TB pada umumnya. Tindakan pencegahan terjadinya TB-MDR akan jauh lebih mudah dilakukan. Dengan demikian, identifikasi suspek TB-MDR, tatalaksana diagnosis, pengobatan dan monitoring pengobatan TB dengan tepat dan benar adalah kunci utama mencegah timbulnya MDR.

II. PERMASALAHAN DI MASYARAKAT

Jumlah penderita TB Paru di Kecamatan Sinjai Timur khususnya Puskesmas Panaikang pada tahun 2014 yang diobati sebanyak 7 penderita dan yang sembuh sebesar 5 orang sedangkan penderita klinis sebanyak 40 orang. Persentase kesembuhan penderita TB Paru (71.42%) belum mencapai target nasional yaitu sebesar 85%. Dari data di Puskesmas Panaikang diperoleh terdapat 40 penderita klinis TB Paru, diantaranya yang memiliki hasil pemeriksaan positif pada sputum BTA sebesar 7 penderita, negative sebesar 33 penderita, dan yang tidak memiliki hasil pemeriksaan sputum BTA sebesar 0 penderita. Jika meninjau data tersebut di atas dapat dikatakan bahwa terdapat 0 penderita yang tidak diketahui jelas apakah penderita tersebut positif TB Paru atau infeksi saluran pernapasan yang lain.

Permasalahan lain yang biasanya ditemukan selama menjelang 2 bulan terakhir, pada saat kunjungan pasien ke poliklinik Puskesmas, adanya ditemukan kasus relaps 1 orang setelah 1-3 tahun post terapi TB paru. Hal ini tentunya perlu dievaluasi lebih lanjut dan dilakukan deteksi dini kembali untuk memberikan penatalaksanaan yang tepat sehingga tingkat penularan dapat dicegah.

Semua permasalahan yang dijelaskan sebelumnya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai TB paru meliputi gambaran penyakit, cara pencegahan penyakit dan bagaimana mengurangi tingkat penularan di lingkungan masyarakat.

III. PEMILIHAN INTERVENSI

Berdasarkan permasalahan yang ditemukan di masyarakat maka harus ditingkatkan partisipasi puskesmas untuk melakukan penyuluhan penyakit Tuberkulosis secara bertahap dan menyeluruh di setiap dusun, dan kelurahan di Kecamatan Batang. Hal penting yang harus disampaikan dalam penyuluhan yaitu bagaimana gambaran penyakit TB, bagaimana penularan penyait dan yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mencegah agar hidup kita terbebas dari infeksi TB paru.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengkomunikasikan hak-hak pasien TB (TB Patient Charter) kepada kelompok-kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, penyedia pelayanan dan pihak lainnya yang terkait. Intervensi yang dilakukan mencakup kampanye TB (Stop TB Campaign) untuk meningkatkan pengetahuan dan dukungan untuk Stop TB secara nasional, mengurangi stigma TB dengan cara meningkatkan jumlah tersangka TB yang memeriksakan ke fasilitas pelayanan kesehatan, mempromosikan obat TB program yang berkualitas dan tanpa biaya serta pengobatan pasien TB di setiap fasilitas kesehatan.

Intervensi kedua yang dilakukan adalah proteksi dini bagi pasien yang memiliki riwayat keluarga dan lingkungan tempat tinggal dengan kasus TB paru yang cukup tinggi. Misalnya untuk setiap individu yang memiliki faktor risiko terinfeksi Tuberkulosis Paru diberikan INH dengan dosis yang telah ditentukan.

Intervensi ketiga yaitu dengan menegakkan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang cepat terhadap penderita TB Paru guna memutuskan rantai penularan dari penderita ke orang sehat.

Intervensi keempat adalah melakukan monitoring pengobatan TB dengan memantau setiap minggu kepatuhan pasien untuk minum obat TB dan melakukan pemeriksaan sputum bulan ke-2, 3,4,5/6, 7/8 dan akhir pengobatan.

IV. PELAKSANAAN

Deteksi dini kasus TB dilakukan melalui skrining pasien TB di poliklinik Puskesmas Panaikang pada tanggal 21 April 2012. Ditemukan 7 penderita TB klinis, masing-masing 5 pasien dengan sputum BTA positive, dan 2 pasien yang tidak mempunyai hasil sputum BTA. Untuk ketiga pasien dilakukan pengobatan TB Kategori 1 dengan tahap Intensif selama 2 bulan dengan jumlah dosis 4 KDT (FDC) 3 tablet setiap hari. Selanjutnya untuk kelima pasien tersebut akan dilakukan kunjungan secara aktif ke rumah pasien untuk melakukan pengambilan sputum dan penyuluhan kecil dalam keluarga pasien.

V. EVALUASI

Dari ketiga kasus dengan TB paru positive dilakukan pengkajian mendalam pada mini project ini. Maka laporan kasus yang ditemukan adalah sebagai berikut.

Identitas Pasien

Nama : Ny. Su

Umur : 60 tahun

Anamnesis

Wanita, 60 tahun datang ke poliklinik dengan batuk berdahak selama 3 bulan, tidak disertai darah, kadang-kadang sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari satu bulan.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Sakit sedang/Gizi kurang/Komposmentis

Semua dalam batas normal, kecuali pada pemeriksaan thorax:

Inspeksi : Simetris kanan sama dengan kiri

Palpasi : vocal fremitus kanan sama dengan kiri

Perkusi : Sonor kanan sama dengan kiri

Auskultasi : Bunyi pernapasan : Bronkovesikular

Bunyi tambahan ; Rhonki +/+, wheezing -/-

Setelah dilakukan pemeriksaan fisik pasien tersebut secara klinis didiagnosis suspek TB paru Klinis kemudian dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3X (sewaktu-pagi-sewaktu). Dan dari hasil pemeriksaan BTA ditemukan hasil sputum BTA (++). Setelah diagnosis ditegakkan maka dimulai pengobatan tahap Intensif selama 2 bulan dengan memberikan 4KDT (FDC) 3 tablet sehari. Kemudian dilakukan monitoring pengobatan dengan kunjungan ke rumah sekaligus melakukan penyuluhan kecil terhadap pasien dengan keluarga mengenai TB Paru.

Laporan Kunjungan :

Sampai tahap ini pasien telah mengkonsumsi obat TB selama 2 bulan 1 minggu terhitung sejak tanggal 22 Agustus 2014. Pada bulan kedua pengobatan telah dilakukan dilakukan pemeriksaan sputum BTA untuk evaluasi keberhasilan obat TB tahap Intensif dngan hasil pemeriksaan BTA +++.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil kunjungan ke tempat tinggal pasien, respon terapi obat TB tidak memberikan respon efek yang sangat baik terhadap keadaan umum pasien dimana kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat TB dinilai kurang baik sehingga tidak dapat memperbaiki keadaan umum pasien dan mempersulit untuk mencegah penularan penderita terhadap keluarganya sendiri . Hal ini dikaitkan dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan bahwa dengan kepatuhan pasien meminum obat TB selama minimal selama 2 minggu sudah dapat menurunkan angka virulensi bakteri Mycobacterium tuberculosis.

Sebagai saran untuk pihak Puskesmas agar memberikan pelatihan terhadap kader kesehatan mengenai TB Paru. Serta lebih meningkatkan kualitas playanan laboratorium di Puskesmas, sehingga tida terhambatnya pelayanan prngobatan cepat pada pasien TB. Dari data statistik setiap kasus penyakit pada umumnya dan TB Paru pada khususnya untuk membantu dalam proses penetapan kebijakan-kebijakan oleh Dinas KesehatanKabupaten Sinjai.

Sinjai, 14 Desember 2014

PESERTA, PENDAMPING,

(dr.Muh. Syahrul Al Aqzah MS) (dr. H. Syamsuddin Arifin, M.kes)

II. TUBERKULOSIS

2.1.1Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh basil aerob yang tahan asam, Mycobacterium tuberculosis atau spesies lain yang dekat seperti M. bovis dan M. africanum. Tuberkulosis biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat pula menyerang susunan saraf pusat, sistem limfatik, sistem pernapasan, sistem genitourinaria, tulang, persendian, bahkan kulit.1

2.1.2Etiologi

Bakteri utama penyebab penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Berikut ini adalah taksonomi dari M. tuberculosis:

Sumber: National Center for Biotechnology Information(NCBI)12

M. tuberculosis berbentuk basil atau batang ramping lurus yang berukuran kira-kira 0,2-0,4 x 2-10 m, dan termasuk gram positif. Pada medium kultur, koloni bakteri ini berbentuk kokus dan filamen. Identifikasi terhadap bakteri ini dapat dilakukan melalui pewarnaan tahan asam metode ziehl-neelsen maupun tanzil, yang mana tampak sebagai basil berwarna merah di bawah mikroskop.13

Gambar 2.1 Basil tuberkel (merah) di bawah mikroskop dengan pewarnaan tahan asam13

Pada umumnya, genus mycobacterium kaya akan lipid, mencakup asam mikolat (asam lemak rantai panjang C78-C90), lilin, dan fosfatida. Lipid dalam batas-batas tertentu bertanggung jawab terhadap sifat tahan-asam bakteri. Selain lipid, mycobacterium juga mengandung beberapa protein yang dapat memicu reaksi tuberkulin, dan mengandung berbagai polisakarida.13

Mycobacterium tidak menghasilkan toksin, tetapi termasuk organisme yang virulen sehingga bila masuk dan menetap dalam jaringan tubuh manusia dapat menimbulkan penyakit. Bakteri ini terutama akan tinggal secara intrasel dalam monosit, sel retikuloendotelial, dan sel-sel raksasa.13

2.1.3Epidemiologi

TB merupakan penyebab utama kematian di seluruh dunia, terutama di kawasan Asia dan Afrika. Sekitar 55% dari seluruh kasus global TB terdapat pada negara-negara di benua Asia, 31% di benua Afrika, dan sisanya yang dalam proporsi kecil tersebar di berbagai negara di benua lainnya.2 Secara global, pada tahun 2008 tercatat 9,4 juta kasus baru TB, dengan prevalensi 11,1 juta, dan angka kematian berkisar 1,3 juta pada kasus TB dengan HIV negatif dan 0,52 juta pada kasus TB dengan HIV positif. Sementara itu, hingga tahun 2007, Indonesia berada di urutan ketiga penyumbang kasus tuberkulosis di dunia, dan termasuk ke dalam 22 high-burden countries dalam penanggulangan TB.1 Tabel 2.1 berikut ini menunjukkan kedudukan Indonesia dalam beban TB yang ditanggung di antara 22 negara lainnya di tahun 2007.

Tabel 2.1 Insiden, Prevalensi, dan Mortalitas kasus TB di 22 negara yang termasuk sebagai high-burden countries2

Kasus konfirmasi TB berdasarkan umur di Amerika Serikat pada tahun 2002 menunjukkan bahwa tingkat insidensi kasus TB lebih tinggi pada mereka yang berumur di atas 65 tahun, sebagaimana yang ditunjukkan pada grafik 2.1.14

Grafik 2.1 Grafik kasus tuberkulosis berdasarkan kelompok usia di Amerika Serikat tahun 2002

Sementara di Eropa, sekitar 80% orang yang terinfeksi TB ternyata berumur di atas 50 tahun. Peningkatan insiden TB pada orang yang berusia lanjut juga terjadi di daerah lain di dunia, seperti di kawasan Asia Tenggara.Di Indonesia, angka insidensi TB secara perlahan bergerak ke arah kelompok usia lanjut (dengan puncak pada 55-64 tahun), meskipun saat ini sebagian besar kasus masih terjadi pada kelompok umur 15-64 tahun.15,16

2.1.4Patofisiologi

Terdapat 4 stadium infeksi TB saat mikroba tersebut mulai masuk ke dalam alveolus.

Stadium 1

Makrofag akan memfagosit basil tuberkel dan membawanya ke kelenjar limfe regional (hilus dan mediastinum). Basil ini kemudian akan berkembang biak, dihambat atau dihancurkan, tergantung tingkat virulensi organisme dan pertahanan alamiah dalam hal ini kemampuan mikrobisidal makrofag. Makrofag yang terinfeksi mengeluarkan komplemen C5a, yang memanggil monosit ke area infeksi. Makrofag yang mengandung basil yang bermultiplikasi dapat mati dan memanggil lebih banyak monosit.15

Stadium 2

Terjadi pada hari ke-7 sampai hari ke-21, basil tetap akan memperbanyak diri sementara sistem imun spesifik belum teraktivasi dan monosit masih terus bermigrasi ke area infeksi.15

Stadium 3

Terjadi setelah 3 minggu, ditandai oleh permulaan imunitas selular dan respon Tdth. Makrofag alveolar, yang pada saat itu telah menjadi limfokin yang diaktivasi oleh limfosit T, menunjukkan peningkatan kemampuan untuk membunuh basil tuberkel intraselular. Proses ini menghasilkan kompleks ghon dan nekrosis kaseosa yang dapat terbentuk.15

Stadium 4

Menunjukkan reaktivasi (sekunder atau post primer) stadium TB. Pada stadium terakhir ini, basil akan lebih memperbanyak diri secara ekstraselular. Basil tuberkel akan menyebar ke peredaran darah secara hematogen. Basil tuberkel biasanya tetap dalam kondisi stabil sebagai dorman, sepanjang sistem imun penjamu masih intak.

Sekitar 10% individu yang terinfeksi berkembang menjadi penyakit TB pada waktu tertentu dalam hidupnya, tetapi risiko ini lebih tinggi pada individu dengan penyakit defisiensi imun seperti HIV/AIDS, sering mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan usia lanjut. Faktor lainnya seperti kurang gizi, kemiskinan, individu alkoholik, juga dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit TB.15

2.1.5Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisis, radiologi, dan laboratorium.

a. Anamnesis

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut di atas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.17

b. Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun, dan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia. Pada tuberkulosis paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal.18

c. Pemeriksaan radiologi

Radiografi dada merupakan alat yang penting untuk diagnosis dan evaluasi tuberkulosis. Akan tetapi, tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Foto toraks penderita TB dapat memberikan gambaran berupa kompleks Ghon yang membentuk nodul perifer bersama dengan kelenjar limfe hilus yang mengalami kalsifikasi. Infiltrasi multinodular pada segmen apikal posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah merupakan lesi yang paling khas pada tuberkulosis paru.17,18

d. Pemeriksaan laboratorium:

Tes tuberkulin/PPD yang paling sering digunakan adalah tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purifed Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 TU (intermediate strength).18

Pada pemeriksaan darah saat tuberkulosis baru mulai (aktif) ditemukan jumlah leukosit sedikit meninggi, limfosit dibawah normal, dan peningkatan laju endap darah.18

Pada pemeriksaan sputum, kriteria sputum BTA (Bakteri Tahan Asam) positif adalah bila ditemukan sekurang-kurangnya 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.17,18

Pemeriksaan biakan sangat berperan dalam mengidentifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi: 1) Pasien TB yang masuk tipe pasien kronis, 2) Pasien TB ekstra paru dan pasien TB anak, dan 3) Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.17

Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat mendeteksi DNA bakteri tuberkulosis dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi bakteri yang tidak tumbuh pada sediaan biakan.18

Secara singkat, alur diagnosis TB paru dapat digambarkan pada skema 2.1 berikut ini.

Skema2.1 Alur Diagnosis TB Paru17

2.1.6Terapi

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.17,19 Jenis, sifat, dan dosis OAT lini-1 dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Jenis dan sifat obat anti tuberkulosis (OAT) dan dosis yang direkomendasikan sesuai dengan berat badan17

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:17

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan, dan OAT tidak dapat digunakan secara tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.17

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:17

Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, atau pasien TB ekstra paru.

Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya, yakni pasien yang kambuh, pasien gagal OAT, dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default).

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).

Kategori Anak: 2HRZ/4HR.

Terdapat beberapa tipe penderita berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:15

Baru: penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT < 4 minggu.

Kambuh (Relaps): penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

Putus berobat (Default): penderita yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

Gagal (Failure): penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

Kronik: penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.2Tuberkulosis dengan Multidrug-Resistant (TB-MDR)

TB-MDR adalah keadaan penyakit tuberkulosis yang bakteri penyebabnya telah menjadi resisten sekurang-kurangnya terhadap dua jenis OAT yang paling efektif yaitu isoniazid dan rifampicin.8 Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT termasuk jenis MDR-TB, yaitu:

penggunaan obat yang tidak adekuat,

pemberian obat yang tidak teratur,

evaluasi dan cakupan yang tidak adekuat,

penyediaan obat yang tidak reguler, dan

program yang belum berjalan serta kurangnya tata organisasi di program.9

Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR) diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti-tuberkulosis lini-2, misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon. Pengobatan untuk pasien ini setidaknya menggunakan empat obat yang masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan. Menurut WHO, pengobatan TB-MDR diberikan selama 18-24 bulan setelah sputum konversi.8,17

Dibandingkan dengan OAT lini-1, OAT lini-2 ini jumlahnya terbatas, efektivitasnya belum jelas, dan tidak tersedia secara gratis untuk pasien TB-MDR. Sampai saat ini, belum ada data atau penelitian yang memberikan bukti tentang keberhasilan pengobatan TB-MDR dengan OAT lini-2. Lebih jauh lagi, rejimen obat, dosis, dan lama pengobatan OAT lini-2 untuk TB-MDR yang tidak sesuai dapat mengakibatkan TB-XDR (extensively drug-resistant TB). TB-XDR ini ditandai dengan resistensi bakteri terhadap isoniazid dan rifampicin, ditambah dengan resistensi satu obat apapun dari golongan fluoroquinolone, dan salah satu dari OAT jenis injeksi (amikasin, kanamisin, atau capreomisin).8

2

_1399667633.xls
Chart1Tahun 2007Tahun 2007Tahun 2007Tahun 2007Tahun 2007Tahun 2008Tahun 2008Tahun 2008Tahun 2008Tahun 2008
India
China
Indonesia
Nigeria
Afrika Selatan
1962
1306
528
460
461
1982
1301
429
457
476
Sheet1IndiaChinaIndonesiaNigeriaAfrika SelatanTahun 20071,9621,306528460461Tahun 20081,9821,301429457476To resize chart data range, drag lower right corner of range.