extrapiramidal syndrome (eps)
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Obat antipsikotik atau disebut juga Neuroleptik telah digunakan dalam dunia medis sudah lebih dari
60 tahun. Adalah Pierre Deniker, Henri Leborit dan Jean Delay, sekelompok ilmuwan Perancis yang pertama
kali menemukan obat antipsikotik pada awal 1950. Chlorpromazine adalah obat yang pertama kali ditemukan
dan saat itu menjadi pilihan utama dalam pengobatan schizophrenia dan gangguan psikotik. Dibutuhkan
waktu beberapa minggu untuk mengontrol gejala dari schizophrenia dan membutuhkan terapi dengan dosis
maintenance untuk beberapa tahun lamanya.
Diperkirakan bahwa terjadi peningkatan aktifitas dopaminergik di bagian mesolimbik dan
mesocortical pada penderita schizophrenia. Hal ini dibuktikan bahwa amfetamin, suatu zat yang menstimulasi
pelepasan dopamin dapat menyebabkan gejala psikotik pada orang-orang normal yang menggunakannya.
Pada beberapa penelitian yang sudah dilakukan menggunakan Single Photon Emission Computed
Tomography ( SPECT ) pada orang dengan schizophrenia ditemukan peningkatan fungsi secara bermakna
pada receptor D2, sehingga menstimulasi pelepasan dopaminrgik. Obat neuroleptik selain mengantagonis
reseptor dopamin di susunan saraf pusat juga memiliki efek-efek lain, seperti :
1. Memblokade reseptor muskarinik, menyebabkan : mulut kering, pengelihatan
kabur,konstipasi dan retensi urin.
2. Memblokade α-adrenoreseptor, menyebabkan : hipotensi postural, hipotermia.
3. Memblokade reseptor histamin dan serotonin
4. Memblokade reseptor D 2 pada mesolimbik sistem, menyebabkan : sedasi dan
efek antipsikotik.
5. Memblokade reseptor D2 pada tuberoinfudibular, menyebabkan : peningkatanprolaktin,
peningkatan berat badan, ketidakteraturan menstruasi, galaktorea, ginekomastia dan impotensi.
6. Memblokade reseptor D2 pada nigostriatal, menyebabkan : parkinsonisme, akathisia,
dystonia, tardive dyskinesia, dyskinesia.
Oleh karena banyaknya efek yang ditimbulkan oleh obat neuroleptik maka dikembangkangkanlah
generasi-generasi obat neuroleptik baru dengan tujuan meminimalisasi efek-efek negative yang ditimbulkan,
terutama efek samping ekstrapiramidal tetapi juga efektif mengurangi gejala positif dari schizophrenia. Obat
ini lebih dikenal dengan atipikal antipsikotik dan salah satu contoh obat pilihan utamanya adalah Risperidone.
1
Karena penggunaan obat antipsikotik pada pengobatan psikotik berlangsung dalam jangka waktu
yang cukup panjang sehingga efek samping dalam penggunaan obat antipsikotik ini tidak dapat dihindarkan.
Salah satu efek samping yang paling sering timbul adalah efek samping gangguan ekstrapiramidal, yang tidak
jarang gangguan ini bersifat irreversible. Hampir semua obat neuroleptik adalah antagonis reseptor dopamin .
Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh
penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat
antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni
Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh
Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas,
tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal). Gejala
ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia akut, tardiv
diskinesia, akatisia, dan parkinsonism (Sindrom Parkinson)1,2
2
BAB II
OBAT ANTIPSIKOTIK
Obat antipsikotik adalah sekelompok obat yang termasuk psikofarmaka yang menghilangkan atau
mengurangi gejala psikosis. Antipsikotik bekerja secara selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan
mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku serta digunakan untuk terapi gangguan
psikiatrik. Selain itu, antipsikosis juga digunakan untuk pengobatan psikosis lainnya dan agitasi 2.
2.1 FARMAKOKINETIK
Obat-obat anti psikotik dapat diserap pada pemberian peroral, dan dapat memasuki sistem saraf pusat
dan jaringan tubuh yang lain karena obat anti psikotik adalah lipid-soluble. Kebanyakan obat-obatan
antipsikotik bisa diserap tapi tidak seluruhnya. Obat-obatan ini juga mengalami first-pass metabolism yang
signifikan. Oleh karena itu, dosis oral chlorpromazine and thioridazine mempunyai availability sistemik
25 – 35%. Haloperidol dimetabolisme lebih sedikit, dengan availability sistemik rata-rata 65%. Kebanyakan
obat antipsikotik bergabung secara intensif dengan protein plasma (92 – 99%) sewaktu distribusi dalam dalam
darah. Volume distribusi obat-obatan ini juga besar, biasanya lebih dari 7L/kg. Obat-obatan ini memerlukan
metabolisme oleh hati sebelum eliminasi dan mempunyai waktu paruh yang lama dalam plasma sehingga
memungkinkan once-daily dosing. Walaupun setengah metabolit tetap aktif, seperti 7-
hydroxychloropromazine dan reduced haloperidol, metabolit dianggap tidak penting dalam efek kerja obat
tersebut. Terdapat satu pengecualian, yaitu mesoridazine, yang merupakan metabolit utama thioridazin, lebih
poten dari senyawa induk dan merupakan kontributor utama efek obat tersebut. Sediaan dalam bentuk
parenteral untuk beberapa agen, seperti fluphenazine, thioridazine dan haloperidol, bisa dipakai untuk terapi
inisial yang cepat. Sangat sedikit obat-obatan psikotik yang diekskresi tanpa perubahan. Obat-obatan tersebut
hampir dimetabolisme seluruhnya ke substansi yang lebih polar. Waktu paruh eliminasi (ditentukan oleh
clearance metabolic) bervariasi, bisa dari 10 sampai 24 jam.
2.2 MEKANISME KERJA
Secara umum, terdapat beberapa hipotesis tentang cara kerja antipsikotik, yang dapat
digolongkan berdasarkan jalur reseptor dopamin atau reseptor non-dopamine. Hipotesis
dopamin untuk penyakit psikotik mengatakan bahwa kelainan tersebut disebabkan oleh
peningkatan berlebihan yang relatif dalam aktifitas fungsional neurotransmiter dopamin
dalam traktus tertentu dalam otak. Hipotesis ini berlandaskan observasi berikut:
Sebagian besar obat antipsikotik memblok reseptor postsinaps pada SSP,
terutama pada sistem mesolimbik-frontal.
3
Penggunaan obat yang meningkatkan aktivitas dopamin, seperti levodopa
(prekursor dopamin), amfetamin (merangsang sekresi dopamin), apomorfin
(agonis langsung reseptor dopamin) dapat memperburuk skizofrenia ataupun
menyebabkan psikosis de novo pada pasien.
Pemeriksaan dengan positron emission tomography (PET) menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan reseptor dopamin pada pasien skizofrenia (baik
yang menjalani terapi ataupun tidak) bila dibandingkan dengan orang yang
tidak menderita skizofrenia.
Pada pasien skizofrenia yang terapinya berhasil, telah ditemukan perubahan
jumlah homovallinic acid (HVA) yang merupakan metabolit dopamin, pada
cairan serebrospinal, plasma, dan urin.
Telah ditemukan peningkatan densitas reseptor dopamin dalam region
tertentu di otak penderita skizofren yang tidak diobati. Pada pasien sindroma
Tourette, tic klinis lebih jelas jika jumlah reseptor D2 kaudatus meningkat.
Hipotesis dopamin untuk penyakit skizofren tidak sepenuhnya memuaskan karena
obat obatan antipsikotik hanya sebagian yang efektif pada kebanyakan pasien dan obat-
obatan tertentu yang efektif mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi untuk reseptor-
reseptor selain reseptor D2.
Lima reseptor dopamin yang berbeda telah ditemukan, yaitu D1 – D5. Setiap satu
reseptor dopamin adalah berpasangan dengan protein G dan mempunyai tujuh domain
transmembran. Reseptor D2, ditemukan dalam kaudatus-putamen, nukleus accumbens, kortek
serebral dan hipotalamus, berpasangan secara negatif kepada adenyl cyclase. Efek terapi
relatif untuk kebanyakan obat-obatan antipsikotik lama mempunyai korelasi dengan afinitas
mereka terhadap reseptor D2. Akan tetapi, terdapat korelasi dengan hambatan reseptor D2
dan disfungsi ekstrapiramidal.
Beberapa antipsikotik yang lebih baru mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap
reseptor-reseptor selain reseptor D2. Contohnya, tindakan menghambat alfa-adrenoseptor
mempunyai korelasi baik dengan efek antipsikotik kebanyakan obat baru ini. Inhibisi reseptor
serotonin (S) juga merupakan cara kerja obat-obatan antipsikotik baru ini. Clozapin, satu obat
yang mempunyai tindakan menghambat reseptor D1, D4, 5-HT2, muskarinik dan alfa-
adrenergik yang signifikan, mempunyai afinitas yang rendah terhadap reseptor D2.
Kebanyakan obat-obatan atipikal yang baru (seperti olanzapin, quetiapin, resperidon dan
serindole) mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor 5-HT2A, walaupun obat-obat
tersebut juga bisa berinteraksi dengan reseptor D2 atau reseptor lainnya. Kebanyakan obat
4
atipikal ini menyebabkan disfungsi ekstrapiramidal yang kurang kalau dibandingkan dengan
obat-obatan standar.
2.3 EFEK FARMAKOLOGIS
Penghambatan reseptor dopamin adalah efek utama yang berhubungan dengan keuntungan terapi
obat-obatan antipsikotik lama. Terdapat beberapa jalur utama dopamin diotak, antara lain :
1. Jalur dopamin nigrostriatal
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur nigrostriatal adalah untuk
mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan terjadi kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang
disebut extrapyramidal reaction (EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada
wajah dan leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.
2. Jalur dopamin mesolimbik
Jalur ini berasal dari batang otak dan berakhir pada area limbic. Jalur dopamin mesolimbik terlibat dalam
berbagai perilaku, seperti sensasi menyenangkan, euphoria yang terjadi karena penyalahgunaan zat, dan jika
jalur ini hiperaktif dapat menyebabkan delusi dan halusinasi. Jalur ini terlibat dalam timbulnya gejala positif
psikosis.
3. Jalur dopamin mesokortikal
Jalur ini berproyeksi dari midbrain ventral tegmental area menuju korteks limbic. Selain itu jalur ini juga
berhubungan dengan jalur dopamine mesolimbik. Jalur ini selain mempunyai peranan dalam memfasilitasi
gejala positif dan negative psikosis, juga berperan pada neuroleptic induced deficit syndrome yang
mempunyai gejala pada emosi dan sistem kognitif.
4. Jalur dopamin tuberoinfundibular
Jalur ini berasal dari hypothalamus dan berakhir pada hipofise bagian anterior. Jalur ini bertanggung jawab
untuk mengontrol sekresi prolaktin, sehingga kalau diblok dapat terjadi galactorrhea.
Tindakan penghambatan relatif pada reseptor oleh obat-obatan neuroleptik
5
Obat D2 D4 Alfa1 5-HT2 M H1Kebanyakan phenothiazine dan thioxanthene
++ - ++ + + +
Thiordazine ++ - ++ + +++ +Haloperidol +++ - + - - -Clozapin - ++ ++ ++ ++ +Molindone ++ - + - + +Olazapin + - + ++ + +Quetiapin + - + ++ + +Risperidon ++ - + ++ + +Sertindole ++ - + +++ - -
EMPAT PERJALANAN DOPAMINE DI OTAK
2.4 PENGGOLONGAN OBAT ANTIPSIKOTIK
1. Antipsikotik Tipikal (Antipsikotik Generasi Pertama)
Adapun beberapa contohnya antara lain
a) Derifat Fenotiazin
o Rantai alphatic: Chlrpromazine, Levomepromazine
o Rantai piperazine: perphenazin, trifluoperazine, fliphenazine
o Rantai pipiridine: thioridazine
b) Derifat Butirofenon
o Haloperidol (Haldol, Serenace)
o Droperidol (DDroperidol (Droleptan)
c) diphenyl-butyl-piperidine pimozide
2. Anti Psikotik Atipikal
Adapun contohnya antara lain:
Benzamide : sulpride
Dibenzodiazepine: Clozapine, Olanzapine, Quetiapin
Benzisoxazole : Rispedridon
6
12
34 Tuberinfandibular pathway
2.5 INDIKASI
A. Indikasi psikiatri
Skizofrenia merupakan indikasi utama dari obat antipsikotik, dimana obat tersebut masih merupakan
pilihan utama dan tidak tergantikan. Sayangnya kerja obat ini kurang optimal, kebanyakan pasien
menunjukkan perbaikan yang minimal dan hampir tidak menunjukkan respon yang penuh terhadap
pengobatan dengan antipsikotik. Anti psikotik juga diindikasikan untuk gangguan skizoafektif dimana
terdapat dua gejala bersamaan yaitu skizofrenia dan gangguan afektif. Beberapa gejala psikotik yang
membutuhkan pengobatan dengan obat antipsikotik dimana juga dikombinasikan denganmobat lain seperti
antidepresan, lithium, dan asam valproate.
Episode manik dari gangguan afektif bipolar juga membutuhkan pengobatan dengan obat
antipsikotik. Penelitian terbaru menunjukkan keampuhan monoterapi dengan antipsikosis atipikal di fase
manik akut dan olanzapine juga diindikasikan. Dewasa ini pengobatan manik dengan obat antipsikotik sudah
tidak dianjurkan meskipun pada pengobatan dengan dosis pemeliharaan, antipsikosis atipikal masih
diperbolehkan. Indikasi lain dari penggunaan obat antipsikosis yaitu sindrom tourette, gangguan perilaku pada
penyakit alzheimer dan dengan antidepresan, depresi psikotik. Antipsikotik tidak diindikasikan terhadap
pengobatan bermacam-macam withdrawalsyndromes, seperti kecanduan opioid.
B. Indikasi nonpsikiatri
Sebagian besar antipsikotik generasi terdahulu kecuali thioridazin mempunyai efek anti muntah yang
kuat. Hal ini disebabkan karena blokade reseptor dopamin, baik sentral(CTZ) dan perifer (Reseptor di
lambung). Beberapa obat seperti prokloperazin dan benzokuinamid lebih diindikasikan sebagai obat anti
muntah. Prometazin juga digunakansebagai sedasi pada preoperasi. Derivat butirofenon yaitu droperidol
digunakan sebagai kombinasi dengan opioid, fentanil pada neuroleptanesia berguna untuk pengobatan pasien
yang refrakter terhadap obat standar. Selain itu Klozapin juga cocok digunakan pada pasien yang
menunjukan gejala ekstrapiramidal berat pada pemberian antipsikosis tipikal. Namun karena klozapin
memiliki resiko timbulnya agranulositosis yang lebih tinggi dibanding dengan antipsikosis lain. Maka
penggunanannya dibatasi hanya pada pasien yang resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis yang
lain. Pasien yang diberi klozapin perlu dipantau jumlah sel darah putihnya setiap minggu. Agranulositosis
merupakan efek samping utama yang ditimbulkan padapengobatan menggunakan klozapin. Penggunaan
obat ini tidak boleh lebih dari 6 minggu kecuali bila terlihat adanya perbaikan yang signifikan. Efek samping
lain yang dapat terjadi antara lain hipertermia, takikardia, sedasi, pusing kepala, hipersalivasi. Gejala overdosis
meliputi, letargi, koma, delirium, takikardia, depresi napas, aritmia, kejang dan hipertermia Klozapin
diabsorpsi secara cepat dan sempurna pada pemberian per oral. Kadarpuncak plasma tercapai pada kira-kira 1-
6 jam setelah pemberian obat. Diekskresi lewaturin dan tinja, dengan waktu paruh rata-rata 8-11 jam.
7
2.6 EFEK SAMPING OBAT ANTIPSIKOSIS
Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa :
1. Sedasi dan inhibisi psikomotor, rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
2. Gangguan otonomik, hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik, mulut kering,
kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler
meninggi, gangguan irama jantung.
3. Gangguan ekstrapiramidal (EPS) –> distonia akut, akathisia, sindrom parkinson
(tremor, bradikardi, rigiditas).
4. Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynecomastia), gangguan metabolik (jaundice),
gangguan hematologik (agranulocytosis), biasanya pada pemakaian jangka lama.
8
BAB III
PENGARUH OBAT ANTIPSIKOSIS TERHADAP
EKSTRAPIRAMIDAL
3.1 SUSUNAN PIRAMIDAL DAN EKSTRAPIRAMIDAL
Susunan Piramidal
Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik secara langsung ke LMN
atau melalui interneuronnya, tergolong dalam kelompok UMN. Neuron-neuron
tersebut merupakan penghuni girus presentralis . Oleh karena itu, maka girus tersebut
dinamakan korteks motorik. Mereka berada dilapisan ke-V dan masing-masing
memiliki hubungan dengan gerak otok tertentu. Melalui aksonnya neuron korteks
motorik menghubungi motoneuron yang membentuk inti motorik saraf kranial dan
motoneuron dikornu anterius medulaspinalis.
Akson-akson tersebut menyusun jaras kortikobulbar dan kortikospinal.
Sebagai berkas saraf yang kompak mereka turun dari korteks motorik dan ditingkat
thalamus dan ganglia basalia mereka terdapat diantara kedua bangunan yang dikenal
sebagai kapsula interna.
Sepanjang batang otak, serabut-serabut kortikobulbar meninggalkan kawasan
mereka untuk menyilang garis tengah dan berakhir secara langsung dimotoneuron
saraf kranial motorik atau interneuronnya disisi kontralateral. Sebagian dari serabut
kortikobulbar berakhir di inti-inti saraf kranial motorik sisi ipsilateral juga.
Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, serabut-serabut
kortikospinal sebagian besar menyilang dan membentuk jaras kortikospinal lateral
yang berjalan di funikulus posterolateral kontralateralis. Sebagian dari mereka tidak
menyilang tapi melanjutkan perjalanan ke medula spinalis di funikulus ventralis
ipsilateralis dan dikenal sebagai jaras kortikospinal ventral atau traktus piramidalis
ventralis5.
Susunan Ekstrapiramidal
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum ,globus palidus, inti-inti
talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang
otak,serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan
area 8. komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson
masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar
yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima
9
tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut
dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3
sirkuit striatal penunjang (aksesori).
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan
segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan korpus
striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus dengan korteks
area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada
korpus striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu
merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh
karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang
pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut
sirkuit striatal asesorik.
Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-
globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang
melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit
asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia
nigra-striatum5.
3.2 PATOFISIOLOGI EKSTRAPIRAMIDAL SINDOM (EPS)
Istilah gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau reaksi
yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi
antipsikotik. Istilah ini mungkin dibuat karena banyak gejala bermanifestasikan
sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu diluar kendali
traktus kortikospinal (piramidal). Namun, nama ini agak menyesatkan karena
beberapa gejala (contohnya akatisia) kemungkinan sama sekali tidak merupakan
masalah motorik. Beberapa gejala ekstrapiramidal dapat ditemukan bersamaan pada
seorang pasien dan saling menutupi satu dengan yang lainnya8.
Sistem ekstrapiramidal bertanggungjawab atas:
1. pergerakan involunter dan refleks system motorik.
2. Modulasi pergerakan.
3. Mengatur dan memodulasi sel tanduk anterior dari traktus spinalis, sehingga
membatasi pergerakan motor involunter.
10
Sistem ekstrapiramidal terletak di luar korteks motorik yang melewati saluran
corticobulbar dan kortikospinalis. Sistem piramidal bertanggung jawab atas inervasi
langsung dari motor neuron sedangkan sistem ekstrapiramidal hanya bertanggung
jawab untuk bagian regulasi. Traktus ekstrapiramidal terutama terletak pada formasi
reticular dari medula dan pons. Ia juga dapat ditemukan di daerah tulang belakang,
yang bertanggung jawab untuk pergerakan, refleks, kontrol postur tubuh dan gerakan
kompleks.3
Traktus ekstrapiramidal diregulasi secara bergantian oleh ganglia basalis, jalur
striatonigral, nucleus vestibular, area sensorik dari korteks otak dan serebelum.
Daerah-daerah dan area regulasi adalah semua bagian dari sistem ekstrapiramidal.
Sistem ekstrapiramidal mengatur aktivitas motorik bahkan dengan tidak adanya
innervasi secara langsung dengan neuron motorik.3
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi
ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Pada
pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi disfungsi pada
sistem dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat transmisi
dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai inhibisi dopaminergi yakni
antagonis reseptor D2 dopamin. Namun penggunaan zat-zat tersebut menyebabkan
gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2
dopamin. Gangguan jalur striatonigral dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik
sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik
tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia
basalis yang lebih poten, sebagai akibatnya menyebabkan efek samping gejala
ekstrapiramidal yang lebih menonjol.1,4
3.3 JENIS-JENIS EKTRAPIRAMIDAL SINDROM (EPS)
Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi
distonia akut, tardiv diskinesia, akatisia, dan parkinsonism (Sindrom Parkinson)
A. Akatisia
Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak, atau
rasagatal pada otot. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif kegelisahan (restlessness)
yangpanjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki yang tidak bisa tenang.
Penderitadengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas
atauirritabel. Akatisia sering sulit dinilai dan sering salah diagnosis dengan anxietas atau
11
agitasidari pasien psikotik, yang disebabkan dosis antipsikotik yang kurang. Pasien dapat
mengeluhkarena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala
psikotik yangmemburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik
yangmemburuk. Sebaliknya akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat
perasaantidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifesatsi fisik lain
dariakatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat8.
B. Sindrom Parkinson
Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinsonism adalah peningkatan usia, dosis
obat,riwayat parkinson sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis. Terdiri dari akinesia, tremor,
danbradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan
ayunanlengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat
menimbulkanpengeluaran air liur. Pada suatu bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti
sebagai suatustatus perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk
memulaiaktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif. Tremor
dapatditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang. Gaya berjalan dengan
langkahkecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot8.
C. Reaksi Distonia
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul
beberapamenit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur
yangabnormal. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau
ototekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disartria bicara, krisis okulogirik dan sikap
badanyang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan seluruh otot tubuh). Hal ini akan
menggangupasien, dapat menimbulkan nyeri hingga mengancam nyawa seperti distonia laring
ataudiafragmatik. Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatandimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Distonia lebih banyak diakibatkan oleh
antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi dan dosis tinggi seperti
haloperidol,trifluoroperazin dan fluphenazine. Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada
priamuda. Otot-otot yang sering mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan retrocolis),
ototrahang (trismus, grimacing), lidah (protrusionI, memuntir) atau spasme pada seluruh otot
tubuh(opistotonus). Pada mata terjadi krisis okulogirik. Distonia glosofaringeal yang
menyebabkandisartria, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Spasme otot
dan posturyang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala dan leher
tetapiterkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah8.
12
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM-IV
adalahsebagai berikut: Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang
tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi
neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala
ekstrapiramidal). Posisi Abnormal pada Pasien yang Mengalami Distonia8.
D. Tardive Dyskinesia
Sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid abnormal, gerakan otot
abnormal, involunter, menghentak, balistik. Ini merupakan efek yang tidak dikehendaki dari obat
antipsikotik . Hal ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor
dopamin di puntamen kaudatus. Prevalensi sangat bervariasi, tetapi tardive dyskinesiadiperkirakan
telah terjadi pada 20-40% pasien kronis yang diobati sebelumpengenalan antipsycotics atipikal.
Deteksi dini dari kelainan ini sangat penting, karena apabilasudah lama berlangsung kelainan ini
dapat menjadi irreversible. Banyak pihak setuju bahwalangkah pertama untuk mengurangi gejala ini
adalah dengan mencoba untuk menghentikan ataumengurangi dosis antipsikotik saat ini atau beralih
ke salah satu agen atipikal yang lebih baru. Langkah kedua adalah untuk menghilangkan semua obat
dengan menggunakan antikolinergik sentral, terutama obat anti parkinsonism dan antidepresan
trisiklik. Kedua langkah ini cukup sering untuk membawa perbaikan. Namun Jika kedua cara
tersebut tidak efektif, penambahan diazepam dalam dosis 30-40 mg /hari dapat menghasilkan
perbaikan yang nyata dengan meningkatkan aktivitas GABAergic8.
3.4 PENATALAKSANAAN
Pedoman umum :
1. Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli menganjurkan
terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat EPS
atau para pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.
2. Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan
komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya menyebabkan mulut kering,
penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadin
dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.
3. Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk
menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama terhadap
kembalinya gejala.
13
Akatisia
Pengobatan akatisia mungkin sangat sulit dan sering kali memerlukan banyak
eksperimen. Agen yang paling umum dipakai adalah antikolinergik dan amantadin
(Symmetrel); obat ini dapat juga dipakai bersama. Penelitian terakhir bahwa
propanolol (Inderal) sangat efektif dan benzodiazepine, khususnya klonazepam
(klonopin) dan lorazepam (Ativan) mungkin sangat membantu.
Sindrom Parkinson
Aliran utama pengobatan sindrom Parkinson terinduksi neuroleptik terdiri atas
agen antikolinergik. Amantadin juga sering digunakan . Levodopa yang dipakai pada
pengobatan penyakit Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat efek
sampingnya yang berat.
Reaksi Distonia Akut (ADR)
Medikasi antikolinergik merupakan terapi ADR bentuk primer dan praterapi
dengan salah satu obat-obat ini biasanya mencegah terjadinya penyakit. Paduan obat
yang umum meliputi benztropin (Congentin) 0,5-2 mg dua kali sehari (BID) sampai
tiga kali sehari (TID) atau triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg TID. Benztropin mungkin
lebih efektif daripada triheksiphenidil pada pengobatan ADR dan pada beberapa
penyalah guna obat triheksiphenidil karena “rasa melayang” yang mereka dapat
daripadanya. Seorang pasien yang ditemukan dengan ADR berat, akut harus diobati
dengan cepat dan secara agresif. Bila dilakukan jalur intravena (IV) dapat diberikan
benztropin 1 mg dengan dorongan IV. Umumnya lebih praktis untuk memberikan
difenhidramin (Benadryl) 50 mg intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia
gunakan benztropin 2 mg IM. Remisi ADR dramatis terjadi dalam waktu 5 menit.
Tardive Diskinesia
Pencegahan melalui pemakaian medikasi neuroleptik yang bijaksana
merupakan pengobatan sindrom ini yang lebih disukai. Ketika ditemukan pergerakan
involunter dapat berkurang dengan peningkatan dosis medikasi antipsikotik tetapi ini
hanya mengeksaserbasi masalah yang mendasarinya. Setelah permulaan memburuk,
pergerakan paling involunter akan menghilang atau sangat berkurang, tetapi keadaan
14
ini memerlukan waktu sampai dua tahun. Benzodiazepine dapat mengurangi
pergerakan involunter pada banyak pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam
gamma-aminobutirat-ergik. Baclofen (lioresal) dan propanolol dapat juga membantu
pada beberapa kasus. Reserpin (serpasil) dapat juga digambarkan sebagai efektif
tetapi depresi dan hipotensi merupakan efek samping yang umum. Lesitin lemak kaya
kolin sangat bermanfaat menurut beberapa peneliti, tetapi kegunaannya masih
diperdebatkan. Pengurangan dosis umumnya merupakan perjalanan kerja terbaik bagi
pasien yang tampaknya mengalami diskinesia tardive tetapi masih memerlukan
pengobatan. Penghentian pengobatan dapat memacu timbulnya dekompensasi yang
berat, sementara pengobatan pada dosis efektif terendah dapat mempertahankan
pasien sementara meminimumkan risiko, tetapi kita harus pasti terhadap dokumen
yang diperlukan untuk penghentian pengobatan.
15
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Obat antipsikotik merupakan terapi simtomatik terhadap gangguan psikiatrik yang berguna untuk
menghilangkan gejala positif dan negatif. Gejala positif seperti halusinasi,waham, proses pikir kacau, gejala
katatonik, kecurigaan, dan permusuhan. Lalu gejala negatif antara lain seperti afek tumpul, penarikan
emosional, kemiskinan rapot, penarikan diri darihubungan sosial serta pasif atau apatis.Obat antipsikotik
mengurangi gejala psikotik dengan cara memblokade reseptor dopaminpasca sinaptik. Obat antipsikotik tidak
selalu efektif mengendalikan gejala psikotik bahkanmalah menyebabkan efek samping terhadap pasien. Efek
samping yang ditimbulkan yaitu gejalaekstrapiramidal. Namun sekarang terdapat obat antipsikotik atipikal
dengan gejalaekstrapiramidal minimal dan berhasil mengatasi gejala psikotik.Selain itu, jika digunakan
dengan dosis berlebihan/overdosis, obat antipsikotik dapatmenyebabkan gejala intoksikasi serius yaitu gejala
ekstrapiramidal yang mebutuhkanpertolongan segera.
4.2 Saran
1. Penggunaan obat antipsikotik harus mendapat pengawasan dan harus berdasarkan evidence based
medicine (EBM).
2. Para tenaga medis harus mengawasi setiap saat untuk mengamati gejala ekstrapiramidalyang timbul.
3. Pemberian psikoterapi sangat diperlukan untuk membantu terapi psikofarmaka agarprognosis pasien
baik.
4. Sebaiknya menggunakan obat dengan dosiss tunggal sehingga menghindari efek sam
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik : Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Cetakan pertama, 1993.
2. Buku Ajar Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
3. Saddock B.J.MD, Sussman N.MD. Pocket Handbok og Psychiatric Drug Treatment 4th
ed. Lipincott Williams & Wilkins.1933
4. Maramis, WE.Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.Airlangga University Press.2007
5. Mardjono, M.Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. 2006
6. Maslim.R,SPKJ. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik edisi ketiga.
Bagian ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.2007
7. A.Tomb. Buku Saku Psikiatri edisi 6. EGC.2004
8. Shiloh roni,dkk. Psychiatric Pharmacoterapy. Taylor & Francis. 2000
17