executive summary

9

Click here to load reader

Upload: a-hendy-sopyandi

Post on 12-Aug-2015

44 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Kajian Pengembangan Pola Pengelolaan Pos Lintas Batas Negara

TRANSCRIPT

Page 1: Executive Summary

Executive Summary

Bagian I - 1

KAJIAN PENGEMBANGAN

POLA PENGELOLAAN POS LINTAS BATAS NEGARA (Oleh : A. Hendy S, P. Kridiarto, Fauzan Dj)

BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN (BNPP)

JAKARTA-2011

Page 2: Executive Summary

Executive Summary

Bagian I - 2

PENGEMBANGAN POLA PENGELOLAAN POS LINTAS BATAS NEGARA

I. PENDAHULUAN

Penataan ulang Pos Lintas Batas Negara (PLBN) merupakan bagian dari upaya

penataan tempat keluar masuk wilayah negara secara keseluruhan, baik keluar

masuk orang maupun barang yang saat ini diatur dalam berbagai peraturan

perundang-undangan.

UU No. 6/2011 tentang Keimigrasian menyatakan bahwa fungsi keimigrasian di

sepanjang garis perbatasan dilaksanakan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yaitu

tempat pemeriksaan di pelabuhan laut, bandar udara, pos lintas batas, atau tempat

lain sebagai tempat masuk dan keluar Wilayah Indonesia, dan pos lintas batas (PLB)

yaitu tempat pemeriksaan pada jalur yang disepakati berdasarkan perjanjian lintas

batas dengan negara tetangga. UU No. 17/2006 tentang Kepabeanan menyatakan

bahwa kawasan pabean dengan batas-batas tertentu terdapat di pelabuhan laut,

bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang, dimana di

kawasan pabean ini didirikan pos pengawasan pabean, yaitu tempat yang digunakan

oleh pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang

impor dan ekspor. Sedangkan berdasarkan UU No. 16/1992 tentang Karantina

Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, dinyatakan bahwa pelabuhan laut, pelabuhan sungai,

pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara

lain, dari tempat-tempat lain yang dianggap perlu ditetapkan sebagai tempat untuk

memasukkan dari/atau mengeluarkan media pembawa hama dan penyakit hewan,

hama dari penyakit ikan atau organisme pengganggu tumbuhan.

Sebagian tempat keluar masuk wilayah negara telah dikelola oleh suatu unit

manajemen khusus. Pelabuhan-pelabuhan laut di Indonesia, termasuk di perbatasan,

dikelola PT. Pelindo sebagai operator pelabuhan, kecuali di kawasan-kawasan khusus

yang diselenggarakan oleh Badan Pengusahaan Kawasan (misalnya di Batam dan

Sabang). Sedangkan bandar udara selain ditangani Kementerian Perhubungan,

sebagian dikelola oleh PT. Angkasa Pura (Persero). Adapun untuk PLB Darat dan PLB

Laut (diluar pelabuhan laut yang dikelola PT. Pelindo), sebagian kecil telah dikelola

oleh administratur PLB berdasarkan Permendagri No. 18/2007 tentang Standarisasi

Pengelolaan Pos Lintas Batas.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa, tempat keluar masuk wilayah negara melalui

PLB baik di wilayah darat maupun laut belum dikelola secara maksimal oleh

administratur PLB secara profesional sebagaimana halnya dengan pengelolaan

bandar udara dan pelabuhan laut. Bahkan di sebagian besar PLB, administratur PLB

sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 18/2007 sama sekali belum berjalan. Hal

ini menyebabkan kawasan PLB pada umumnya belum tertata dengan baik, belum

didukung oleh pemeriksaan dan pelayanan lintas batas secara lengkap, dan memiliki

sarana dan prasarana yang alakadarnya.

Penerbitan Perpres No. 12/2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan

(BNPP) merupakan momentum untuk mewujudkan pengelolaan PLB secara lebih

terpadu dan profesional. Namun demikian, peranan BNPP dalam pengelolaan PLB

Page 3: Executive Summary

Executive Summary

Bagian I - 3

belum terumuskan jelas dalam Permendagri No. 18/2007, sehingga diperlukan

reformulasi kebijakan pengelolaan PLB yang mampu mengoptimalkan peranan

Badan Nasional Pengelola Perbatasan sesuai tugas dan fungsinya.

II. ISU-ISU STRATEGIS

Beberapa isu strategis dalam pengelolaan PLB dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Perbedaan Pendefinisian Pos Lintas Batas. Pihak Imigrasi menyatakan terdapat

79 Pos Lintas Batas yang disepakati berdasarkan perjanjian lintas batas negara.

Namun, pihak karantina ikan menyatakan hanya terdapat 4 pos perbatasan

sebagai Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Hama dan Penyakit

Ikan Karantina (Entikong, Mota’ain, Napan, dan Metamauk).1 Demikian pula, pihak

karantina hewan menyatakan hanya terdapat 3 pos perbatasan yang ditetapkan

sebagai balai atau stasiun karantina hewan (Mota’ain, Entikong, dan Skouw).2 Hal

ini disebabkan adanya perbedaan pendefinisian “PLB” pada peraturan di masing-

masing sektor. “Pos perbatasan” pihak karantina hanya mengacu kepada definisi

PLB/TPI darat pada peraturan keimigrasian, sedangkan sebagian pelabuhan laut

yang ditetapkan oleh pihak imigrasi sebagai PLB Laut tidak didefinisikan pihak

karantina sebagai PLB.

2. Pola Pembangunan PLB Bersifat Parsial dan Sektoral. Aktivitas lintas batas di

Indonesia ditangani oleh berbagai instansi terkait (Bea Cukai, Imigrasi, dan

Karantina, ditambah TNI dan POLRI) yang bekerja sesuai amanat peraturan

perundang-undangan masing-masing. Ketiadaan pola koordinasi yang jelas

menyebabkan upaya pembangunan PLB berlangsung secara parsial dan sektoral

yang menyebabkan setiap instansi berjalan sendiri-sendiri, bahkan memunculkan

tumpang tindih (overlapping) antara satu instansi dengan yang lainnya. Mobilisasi

sarana dan prasarana setiap instansi, termasuk instalasi bangunan pos, dilakukan

tanpa mengacu kepada standar dan penataan ruang bersama, estetika kawasan,

maupun efisiensi prosedur pelayanan bagi pelintas batas.

3. Ketidakjelasan Tugas Pengelola PLB. Di dalam Permendagri No. 18/2007

tentang standarisasi PLB, dinyatakan bahwa PLB dikelola oleh administratur Pos

Lintas Batas. Dalam implementasinya di lapangan, kebijakan ini ternyata tidak

berjalan sebagaimana mestinya. Di wilayah Nunukan misalnya, para petugas CIQ

tidak mengetahui keberadaan administratur PLB yang berperan dalam koordinasi

pengelolaan PLB.3 Kurangnya implementasi kebijakan administratur PLB

disebabkan oleh ketidakjelasan tugas dan fungsi dan tata kerja dari Administratur

PLB dalam pengelolaan PLB. Permendagri No. 18/20007 hanya mengatur 4

(empat) hal utama terkait administratur PLB yaitu pengaturan mengenai

penunjukkan administratur PLB; pendanaan pembangunan dan pengelolaan PLB;

pelaporan pembangunan dan pengelolaan PLB; dan Penyediaan lahan. Sedangkan

tugas, fungsi, serta tata kerja Administratur PLB dalam pengelolaan (perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian) PLB tidak diatur secara rinci.

1 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep . 16/MEN/2003 2 Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 501/Kpts/OT.210/8/2002

Page 4: Executive Summary

Executive Summary

Bagian I - 4

4. Belum Adanya Mekanisme Formal Koordinasi dan Kolaborasi Lintas-Intansi

di PLB. Sebagai implikasi dari kebijakan yang bersifat sektoral dan tidak

optimalnya peranan administratur PLB dalam mengintegrasikan pembangunan

dan pengelolaan PLB, maka operasionalisasi tugas instansi terkait di PLB berjalan

sendiri-sendiri, serta tidak memperoleh “support system” yang memadai.

Permasalahan koordinasi dalam pelaksanaan pemeriksaan lintas batas misalnya

seringkali diselesaikan secara informal di lapangan, yang tentu saja pola seperti ini

tidak memadai untuk menangani persoalan-persoalan yang kompleks.4 Demikian

juga permasalahan pemenuhan support system seperti ketersediaan listrik, air

bersih, dan prasarana dasar lainnya seringkali tidak jelas penanganannya karena

tidak ada instansi yang secara khusus berwenang menangani permasalahan

tersebut di PLB. Kondisi ini terjadi karena tidak adanya mekenisme koordinasi

dan kolaborasi yang disepakati secara formal lintas instansi.

5. Belum Adanya Prosedur Pelayanan Yang Baku Dalam Pemeriksaan dan

Pelayanan Lintas Batas. Selama ini aktivitas pemeriksaan dan pelayanan lintas

batas masih menggunakan standar operasional dari masing-masing instansi yang

terlibat di PLB dan belum ada SOP yang mengintegrasikan aktifitas dan kinerja

instansi yang terlibat langsung di PLB. Situasi ini akan cenderung memunculkan

ego sektoral dalam menjalankan fungsi dan tugas di lapangan. Tumpang tindih

dalam prosedur pemeriksaan masing-masing instansi di lapangan juga kerap

terjadi, yang biasanya bersumber dari penafsiran kebijakan secara sektoral.

Misalnya, lazim terjadi overlapping peran dalam melaksanakan pemeriksaan di

garis depan karena masing-masing instansi merasa paling berwenang untuk

melakukan pemeriksaan di lini pertama.

6. Minimnya Jumlah dan Kualitas Petugas yang Berjaga di PLB. Secara umum

sumber daya manusia (SDM) aparat yang bertugas di PLB masih minim. Pada PLB

Mota’ain di Provinsi Nusa Tenggara Timur misalnya, petugas imigrasi, bea cukai

dan karantina yang bertugas rata-rata berjumlah 3 orang dari idealnya 5 orang

yang seharusnya bertugas. Kondisi seperti ini bisa jadi terkait dengan aktivitas di

PLB dimana pada jam-jam tertentu agak lengang, sementara pada jam-jam sibuk

cukup merepotkan petugas. Selain persoalan masih minimnya jumlah petugas

yang ditempatkan di sejumlah PLB oleh instansi terkait, hal ini semakin

diperburuk dengan masih rendahnya kualitas SDM yang bertugas di PLB, terutama

kemampuan dalam berbahasa asing (bahasa Inggris). Padahal jika melihat fungsi

PLB sebagai exit entry point dimana pelintas batas sangat beragam dan dari

berbagai negara, maka kebutuhan akan kemampuan petugas PLB terhadap bahasa

asing terutama bahasa Inggris adalah sebuah keharusan.

7. Model dan Pengaturan Tata Letak Bangunan PLB Belum Sesuai Urutan

Prosedur Pemeriksaan dan Kesepakatan Antar Negara. Sebagian besar

bangunan PLB di Indonesia memiliki kantor keimigrasian, karantina, dan imigrasi

yang terpencar-pencar dan tidak mencerminkan urutan prosedur pemeriksaan.

Hal ini misalnya terjadi di PLB Belakang Padang dan Metamauk/Motamasin,. Di

beberapa PLB, misalnya di Entikong dan Mota’ain, tempat pemeriksaan utama

masih terlalu mepet dengan garis batas, tidak ada daerah steril sesuai kesepakatan

dengan negara tetangga. Permasalahan tata bangunan juga terjadi pada efektifitas

Page 5: Executive Summary

Executive Summary

Bagian I - 5

layout (tata letak) bangunan bagi penyelenggaraan pelayanan lintas batas secara

cepat. Misalnya di Aruk Kabupaten Sambas terdapat pintu lalu-lintas seperti

gerbang tol yang diraskan tidak efektif dipakai terutama bangunan bagian tengah.

8. Fasilitas untuk Mendukung Pemeriksaan Masih Minim. Banyak PLB belum

memiliki fasilitas pendukung yang penting dimiliki sebuah pos perbatasan seperti

jembatan timbang, jalur antrian, scanner x-ray, pengukur suhu tubuh manusia,

dan sebagainya. Hal ini disebabkan keterbatasan sarana pendukung misalnya

minimnya pasokan listrik, minimnya kapasitas tenaga operator/SDM, serta

keterbatasan anggaran bagi pengadaan fasilitas pendukung.

9. Terhambatnya Pembangunan Sarana dan Prasarana PLB Karena Kesulitan

Penyediaan Lahan. Beberapa pengalaman menunjukan kesulitan dalam

penyediaan lahan menjadi faktor penyebab terhambatnya pengembangan PLB,

misalnya PLB Skouw yang terhambat oleh klaim lahan adat. Demikian pula

rencana pengembangan PLB Aruk yang secara detail telah dituangkan dalam

Rencana Master Plan namun terhambat status kepemilikan tanah masyarakat yang

tidak secara sepenuhnya bisa melepas bagi kepentingan pemerintah. Masalah

penyediaan tanah ini tidak mudah, seringkali diperlukan usaha sangat panjang dan

proses yang lama sementara kebutuhan akan pemenuhan dan pembangunan

sarana prasarana PLBN sangat mendesak.

10. Minimnya Sarana dan Prasarana Penunjang. Sebagian besar PLB belum

dilengkapi oleh sarana dan prasarana penunjang yang penting bagi

operasionalisasi PLB seperti jalan, listrik, air bersih, dan telekomunikasi. Selain

sarana dan prasarana dasar yang minim tersebut, kawasan PLB minim dari

dukungan fasilitas yang lainnya seperti untuk kegiatan transaksi jual beli barang

dan makanan, tempat istirahat dan hiburan ruang publik (ruang terbuka

hijau/taman, dan ruang terbuka non hijau/open space), tempat hiburan, souvenir,

penginapan, sehingga yang tampak adalah kesan bahwa PLB yang tidak menarik

dan representatif untuk dikunjungi.

III. ARAHAN PENGEMBANGAN PENATAAN POS LINTAS BATAS NEGARA

Berdasarkan hasil analisis isu strategis di atas, beberapa arahan pengembangan yang

dapat dirumuskan bagi penataan PLB adalah sebagai berikut :

1. Perlu penyamaan definisi PLB yang dijadikan acuan bersama instansi-instansi

terkait. Istilah “PLB Negara (PLBN)” dapat digunakan untuk merujuk seluruh

tempat keluar masuk wilayah negara baik di darat maupun di laut yang

ditetapkan berdasarkan Kesepakatan Kerjasama Bilateral antara Republik

Indonesia dan Negara Tetangga sebagaimana tertulis dalam dokumen perjanjian

lintas batas. Hal ini diperlukan agar tempat-tempat keluar masuk yang disepakati

tersebut dapat dikembangkan secara bersama-sama oleh berbagai instansi

terkait, dan didukung oleh fasilitas yang lengkap dengan standarisasi tertentu.

Sesuai standar internasional, pengelolaan lintas batas negara minimal dilakukan

oleh tiga unsur yaitu kepabeanan (C), imigrasi (I), dan karantina (Q). Namun

selain ketiga fungsi tersebut dapat juga diselenggarakan fungsi-fungsi lain yang

Page 6: Executive Summary

Executive Summary

Bagian I - 6

diperlukan sesuai kebutuhan, seperti keamanan, pertahanan, perdagangan, dll

namun ditempatkan diluar tempat pemeriksaan utama.

2. Perlu klasifikasi PLBN berdasarkan volume lintas barang dan orang yang

berimplikasi kepada skala, jenis, dan jumlah sarana dan parsarana yang perlu

dibangun di PLBN beserta kawasan penunjangnya.

3. Dalam aspek pengelolaan, diperlukan revisi Permendagri No. 18/2007 dengan

memperkuat peranan BNPP dalam pengelolaan PLBN. Berdasarkan UU No.

43/2008 dan Perpres No. 12/2010, BNPP adalah satu-satunya institusi yang

memiliki tugas dalam penetapan kebijakan, penetapan rencana, koordinasi

pelaksanaan, serta evaluasi dan pengawasan dalam pengelolan batas wilayah dan

pembangunan kawasan perbatasan. Tugas tersebut diselenggarakan tanpa

mengambil alih kewenangan, tugas, dan fungsi dari K/L terkait. Berdasarkan hal

tersebut, dalam konteks pengelolaan PLBN, strategi yang paling memungkinkan

untuk diterapkan di Indonesia adalah dengan “memperkuat koordinasi dan

kolaborasi diantara instansi-instansi CIQ terkait untuk meminimalisir kelemahan

pola pengelolaan secara sektoral/parsial”. Sebagai pengejawantahan strategi

tersebut, perlu dibentuk suatu “unit manajemen” sebagai kepanjangan tangan

BNPP di PLBN untuk mendukung koordinasi CIQ yang saat ini telah ada di PLB

oleh instansi terkait.

4. Area dukungan yang diberikan unit manajemen bagi instansi di PLBN meliputi

bidang perencanaan dan pendanaan; koordinasi pelaksanaan; pengendalian dan

pengawasan; serta basis data. Dukungan ini diberikan agar setiap institusi tetap

dapat menjalankan tupoksinya sesuai aturan perundang-undangan masing-

masing tapi dalam arahan kebijakan yang dikoordinasikan oleh Unit Manajemen.

Unit Manajemen memiliki tugas untuk: (a) Menyusun dan mengusulkan rencana

pengelolaan PLBN kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai

standarisasi dan tata ruang yang ditetapkan beserta kebutuhan pembiayaannya;

(b) Mengkoordinasikan pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana oleh

instansi terkait di PLBN; (c) Melakukan pengendalian dan pengawasan; (d)

Melakukan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data-data lintas batas

melalui koordinasi dengan instansi terkait; dan (e) Memfasilitasi ketersediaan

sarana prasarana penunjang dan operasional Pos Lintas Batas Negara.

5. Tata kerja pengelolaan PLBN oleh Unit Manajemen dapat diselenggarakan

sebagai berikut :

a. Perencanaan dan Pendanaan. Unit Manajemen PLBN menyusun rencana

kebutuhan pengelolaan PLB dan mengkomunikasikannya kepada pihak

terkait untuk pembiayaannya. Dalam hal pembangunan infrastruktur pada

Tempat Pemeriksaan Utama dan pada kawasan penunjang perlu mengacu

kepada suatu Rencana Detail Tata Ruang serta standar yang telah ditetapkan.

Pengelolaan CIQ pada Tempat Pemeriksaan Utama merupakan urusan pusat

sehingga pembiayaannya dapat bersumber dari dana APBN, Sedangkan

pembangunan sarana prasarana penunjang kawasan PLB merupakan urusan

bersama (concurrent) sehingga pembiayaannya dapat bersumber dari dana

APBN atau APBD disesuaikan dengan kewenangan pembangunannya.

Pengusulan dana APBN dilakukan oleh unit manajemen PLB kepada BNPP

Page 7: Executive Summary

Executive Summary

Bagian I - 7

untuk selanjutnya dikoordinasikan kepada Kementerian/Lembaga terkait,

sedangkan pengusulan dana APBD dilakukan oleh Unit Manajemen PLB

kepada BPPD untuk selanjutnya dikoordinasikan kepada SKPD terkait.

Kebutuhan pembangunan kawasan PLB yang bersumber dari pihak swasta

misalnya perbankan, money changer, dan sebagainya juga perlu

dikoordinasikan dan difasilitasi oleh Unit Manajemen PLB.

b. Koordinasi Pelaksanaan. Unit Manajemen PLB mengkoordinasikan proses

pembangunan oleh berbagai instansi pusat, daerah, dan swasta agar

pelaksanaannya dapat berjalan sesuai dengan rencana yang ditetapkan.

Koordinasi dilakukan untuk menangani berbagai permasalahan yang dapat

menghambat proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan

swasta. Adapun penyediaan lahan pembangunan PLB menjadi tanggung

jawab Pemerintah Daerah dibawah koordinasi Unit Manajemen PLB.

Penyediaan aparatur, sarana, dan prasarana juga disediakan oleh masing-

masing instansi dengan mengacu kepada standar yang ditetapkan oleh Unit

Manajemen PLB.

c. Pengendalian dan Pengawasan. Unit Manajemen PLB melakukan

monitoring, evaluasi, dan pengawasan secara berkala terhadap kegiatan

pengelolaan PLB, termasuk terhadap prosedur pemeriksaan oleh instansi

terkait agar sesuai dengan SOP yang disepakati. Unit Manajemen PLB juga

perlu mengembangkan sistem pengawasan oleh masyarakat melalui kotak pos

pengaduan, SMS gratis pengaduan atau metode lain yang dipandang perlu.

Berbagai permasalahan yang diperoleh dari hasil monitoring, evaluasi, dan

pengawasan ataupun pelanggaran-pelanggaran perlu dikomunikasikan

kepada institusi terkait di lapangan untuk memperoleh solusi penanganan.

Dalam hal permasalahan yang memerlukan penanganan pada level yang lebih

tinggi, hasil monitoring, evaluasi, dan pengawasan dilaporkan kepada BNPP

untuk dikoordinasikan lebih lanjut penanganannya kepada instansi terkait di

tingkat pusat dan provinsi.

d. Basis Data. Unit Manajemen PLBN berhak memperoleh data yang terkait

dengan kinerja pelayanan lintas batas dan data lainnya dari instansi terkait di

PLB, untuk selanjutnya didokumentasikan, diolah, didistribusikan, dan

dipublikasikan kepada pihak-pihak terkait

6. Diperlukan penetapan SOP baku yang disepakati bersama dalam aktivitas

pemeriksaan dan pelayanan lintas batas oleh instansi terkait untuk menghindari

overlapping dan mempertagas urutan prosedur pemeriksaan. Urutan prosedur

pemeriksaan juga perlu dimanifestasikan dalam model dan pengaturan tata letak

bangunan.

7. Kebutuhan SDM dalam pengelolaan Pos Lintas Batas Negara, disesuaikan dengan

tingkat/klasifikasi/kebutuhan PLBN itu sendiri. Dimana masing-masing instansi

CIQ mempunyai standar dan kewenangan dalam menentukan kriteria serta

kualifikasi personil yang mampu untuk ditugaskan di PLBN. Sedangkan untuk

manajer pada unit manajemen kawasan PLBN merupakan pejabat pusat yang

ditunjuk oleh Kepala BNPP dengan pertimbangan efektifitas dalam

mengkoordinasikan instansi terkait di PLBN yang merupakan unit-unit dari

Page 8: Executive Summary

Executive Summary

Bagian I - 8

instansi pemerintah pusat. Pengusulan manajer tersebut dapat dilakukan oleh

Gubernur.

8. Diperlukan masterplan PLBN yang baku sesuai dengan kaidah perencanaan

termasuk dalam pengaturan site plan rinci setiap fungsi ruang kegiatan untuk

PLB yang sesuai standar dan peraturan perundangan berlaku serta disepakati

oleh negara tetangga. Terkait dengan upaya tersebut diatas untuk kedepannya

dalam perencanaan kawasan PLB harus mencakup kawasan inti dan kawasan

penyangga kawasan, hal ini dimaksudkan kawasan tersebut terintegrasi dengan

kawasan diluar tersebut dan tidak ada kesan ekslusif namun tetap mempunyai

satu kesatuan kawasan yang berkembang dan tertata rapi.

9. Diperlukan pengadaan kelengkapan fasilitas PLBN sesuai dengan standar yang

ada (BCM, scanner, x-ray, jembatan timbang, dan sebagainya) dan dukungan

kelengkapan sarana perkantoran sesuai kebutuhan. Penyediaan berbagai fasilitas

modern di PLBN harus didukung oleh dukungan infrastruktur penunjang lainnya

(listrik, jalan, dan sebagainya), serta tenaga operator yang mumpuni di

bidangnya.

10. Perlunya dukungan prasarana dan sarana perhubungan untuk meningkatkan

akses dari dan ke menuju PLBN dan membuka keterisolasian kawasan

perbatasan. Pembangunan prasarana transportasi berikut dengan kesiapan moda

angkutan dari dan ke PLBN mendesak untuk dilakukan, sehingga kawasan-

kawasan atau daerah lintasan menuju PLBN pada gilirannya akan berkembang,

namun dari sejak awal kawasan tersebut termasuk kedalam kawasan yang

diperlukan penataannya berdasarkan skala prioritas pembangunan.

11. Perlunya dukungan utilitas (listrik, telepon, air bersih) yang memadai untuk

kelangsungan kegiatan PLBN. Penyediaan sarana utilitas sangat diperlukan bagi

upaya kelangsungan kegiatan di area gedung/bangunan dan kawasan PLBN

(terutama untuk mendukung keseharian para pegawai/petugas PLBN) di

lingkungannya.

12. Perlunya penataan kawasan PLBN yang berkesan kaku menjadi area yang

mempunyai magnet untuk tertarik dikunjungi dan berkesan friendly dan greeny

serta didukung oleh sarana-sarana seperti area perdagangan dan jasa, tempat

akomodasi, art zone, ruang terbuka hijau, ruang publik dan lain-sebagainya. Hal

ini penting untuk dilakukan agar PLBN tidak terkesan ekslusif serta diusahakan

tidak saja untuk masyarakat lokal tetapi mempunyai daya tarik untuk

mendatangkan masyarakat luar Indonesia yang mendatangi PLBN tersebut.

13. Perlunya sosialisasi kepada Pemerintah Daerah agar dapat memfasilitasi

ketersediaan lahan untuk pembangunan sarana dan prasarana Pos Lintas Batas.

Negara. Aparat Pemda perlu mensosialisasikan tentang kepentingan dan atau

nilai urgensi PLBN di kawasan perbatasan yang merupakan kepentingan untuk

semua pihak dengan tidak mengesampingkan hak-hak ulayat kawasan PLB

tersebut.

IV. PENUTUP

Page 9: Executive Summary

Executive Summary

Bagian I - 9

Penataan PLBN dalam aspek pengelolaan maupun pembangunannya di seluruh

tempat keluar masuk berdasarkan Kesepakatan Kerjasama Bilateral antara Republik

Indonesia dan Negara Tetangga sebagaimana tertulis dalam dokumen perjanjian

llintas batas, melalui revisi Permendagri No. 18/2007 mendesak untuk dilakukan. Hal

ini dimaksudkan agar PLBN dapat berfungsi dengan baik sebagai tempat keluar

masuk wilayah negara seperti halnya tempat keluar masuk wilayah negara lainnya di

bandar udara dan pelabuhan-pelabuhan laut, khususnya dalam memfasilitasi

aktivitas lintas batas masyarakat setempat secara tertib, aman, dan legal.