evyn muntya p_(105020103111001)_implementasi pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan...

Upload: evyn-muntya-prambudi

Post on 16-Oct-2015

30 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DALAM RANGKA MENINGKATKAN WELFARE ECONOMIC MASYARAKAT DESA PESISIR INDONESIAOleh : Evyn Muntya Prambudi (105020103111001)

AbstrakKonsep ekonomi kesejahteraan pada dasarnya berkaitan dengan upaya memaksimumkan kesejahteraan individu dan masyarakat melalui alokasi sumber daya secara optimal. Konsep ekonomi kesejahteraan terutama dicirikan oleh perhatian yang besar terhadap pemerataan (equality) antar individu dalam masyarakat. Ekonomi kesejahteraan menjadi menarik mengingat adanya trade-off antara efisiensi dan pemerataan (efficiency-equality trade off). Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan, karena dari seluruh wilayah Indonesia, duapertiganya adalah wilayah lautan yang ditebari dengan hasil alamnya yang sangat berpotensi dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Sehingga Seharusnya potensi sumber daya alam yang begitu besar mampu mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pesisir. Makalah ini sebagai renungan yang berupaya mengungkapkan berbagai gagasan pembangunan infrastruktur masyarakat pesisir indonesia dalam mencapai welfare economic. Kata Kunci: Masyarakat wilayah pesisir, ketersediaan infrastruktur, walfare economi, Pareto Optimum, Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012

A.PendahuluanWilayah pesisir diketahui memiliki karakteristik yang unik dan memiliki keragaman potensi sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati yang sangat tinggi. Potensi sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan oleh penduduk yang tinggal di wilayah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sepanjang wilayah pesisir terdapat potensi sumber daya alam hayati maupun non-hayati, sumber daya buatan serta jasa lingkungan yang sangat penting bagi penghidupan masyarakat. Fakta yang ada Berdasarkan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Sampai dengan September 2012 lalu, jumlah penduduk miskin pesisir masih mencapai 7,87 juta orang atau 27,24% dari total penduduk miskin Indonesia yang berjumlah 28,59 juta. Seharusnya potensi sumber daya alam yang begitu besar mampu mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pesisir. Tapi selama ini yang terlihat dari sisi pembangunan di Indonesia sangat berorientasi pada wilayah daratan.Terlihat dari sisi pembangunan di Indonesia sangat berorientasi pada wilayah daratan. Hal ini memungkinkan pihak-pihak dari birokrasi pemerintah yang lebih mengedepankan self interest daripada public interest. Sehingga dapat terlihat bahwa sekian lama wilayah laut dan pesisir menjadi wilayah yang dilupakan dalam pembangunan di Indonesia. Jika melihat banyaknya penduduk pesisir yang miskin belum memperlihatkan terciptanya kesejahteraan. Angka kemiskinan diatasi dengan strategi pembangunan ekonomi yang salah satunya terletak pada pembangunan infrastruktur.Konsep ekonomi kesejahteraan pada dasarnya berkaitan dengan upaya memaksimumkan kesejahteraan individu dan masyarakat melalui alokasi sumber daya secara optimal. Konsep ekonomi kesejahteraan terutama dicirikan oleh perhatian yang besar terhadap pemerataan (equality) antar individu dalam masyarakat. Ekonomi kesejahteraan menjadi menarik mengingat adanya trade-off antara efisiensi dan pemerataan (efficiency-equality trade off). Dalam Sandmo (1995) First fundamental theorem of welfare economics menyatakan bahwa ekuilibrium yang kompetitif dapat mencapai pareto optimum dalam pasar yang sempurna. Dalam kenyataannya, terjadi kegagalan pasar (market failure), sehingga lahirlah second fundamental theorem of welfare economics yang menyatakan bahwa dalam konteks terjadi kegagalan pasar, ekuilibrium yang kompetitif dan memiliki properti pareto yang optimal dapat dicapai melalui lumpsum transfer. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar intervensi pemerintah untuk mengatasi trade-off antara efisiensi dan pemerataan melalui kebijakan redistribusi dalam bentuk pajak, subsidi, dan pengeluaran publik pemerintah yang menghasilkan spembangunan- pembangunan khususnya infrastruktur.Fenomena yang menarik dari hasil kebijakan redistribusi di Indonesia memperlihatkan Kondisi infrastruktur diduga berbanding lurus dengan tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir tersebut. tetapi hal ini ternyata berlaku secara umum. Banyak desa-desa dengan proporsi wilayah pesisir yang kondisi infrastrukturnya baik, tapi tingkat kesejahteraannya masyarakatnya rendah, perentase penduduk miskinnya tinggi ataupun lainnya. Ketersediaan infrastruktur dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap sumberdaya sehingga dapat meningkatkan produktifitas dan efisiensi dan pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hampir dalam semua aktifitas masyarakat dan pemerintah, keberadaan infrastruktur merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan sudah menjadi kebutuhan dasar. Padahal pilihan pembangunan infrastruktur sektor kelautan dan perikanan merupakan pilihan yang sangat tepat, hal ini didasarkan atas potensi yang dimiliki dan besarnya keterlibatan sumberdaya manusia di dalam kegiatan perikanan. Secara umum penulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakat proporsi desa pesisir Indonesia dan perbandingannya dengan masyarakat bukan pesisir serta kebijakan yang dibuat pemerintah untuk memaksimumkan fungsi social walfare masyarakat. Oleh karena itu hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang kuat bagi pembaca terutama dalam melihat tingkat kesejahteraan masyarakat desa pesisir yang ada di Negara kita.

B. PembahasanInfrastruktur merupakan input penting bagi kegiatan produksi dan dapat memengaruhi kegiatan ekonomi dalam berbagai cara baik secara langsung maupun tidak langsung. Infrastruktur tidak hanya merupakan kegiatan produksi yang akan menciptakan output dan kesempatan kerja, namun keberadaan infrastruktur juga memengaruhi efisiensi dan kelancaran kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya. Namun dalam penyediaannya pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Perbedaan antara infrastruktur dasar dan pelengkap tidaklah selalu sama dan dapat berubah menurut waktu. Misalnya pengadaan air minum yang dulunya digolongkan sebagai infrastruktur pelengkap, sekarang digolongkan sebagai infrastruktur dasar. Fasilitas infrastruktur bukan hanya berfungsi melayani berbagai kepentingan umum tetapi juga memegang peranan penting pada kegiatan-kegiatan swasta di bidang ekonomi. Kebutuhan prasarana merupakan pilihan (preference), dimana tidak ada standar umum untuk menentukan berapa besarnya fasilitas yang tepat di suatu daerah atau populasi.Sebagaimana bahwa belum ada definisi yang baku mengenai wilayah pesisir. Dalam makalah ini, pendelatan yang digunakan adalah desa pesisir dimana yang dimaksud dengan desa pesisir adalah desa yang sebagian atau seluruh wilayahnya berbatasan langsung dengan laut. Sementara pengelompokan untuk wilayah diatasnya yaitu kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi dilakukan atas dasar proporsi desa pesisir terhadap total desa di wilayah tersebut. Proporsi desa pesisir dalam Laporan Kementerian dan KelautandanPerikananIndonesia pada masing-masing kabupaten/kota dan provinsi terhadap total desa disetiap kabupaten/kota maupun provinsi, dan dibagi menjadi 5 (lima) kelompok, yaitu :1. Kelompok A, yaitu wilayah dengan proporsi desa pantai terhadap total desa >75 persen.2. Kelompok B, yaitu wilayah dengan proporsi desa pantai terhadap total desa antara 50,01 75 persen.3. Kelompok C, yaitu wilayah dengan proporsi desa pantai terhadap total desa antara 25,01 50 persen.4. Kelompok D, yaitu wilayah dengan proporsi desa pantai terhadap total desa antara 0,01 25 persen.5. Kelompok E, yaitu wilayah dengan proporsi desa pantai terhadap total desa 0 persen atau tidak ada desa yang berbatasan langsung dengan laut.Berikut adalah contoh hasil pengklasifikasian provinsi menurutproporsi desapesisir dimasingmasing provinsi. Kelompok Provinsi Berdasarkan Proporsi Desa yang Berbatasan denganLaut(DesaPesisir)

Sumber : Kementerian KelautandanPerikanan2012 Masyarakat dimana mereka mengidentifikasikan kebutuhan dan masalahnya secara bersama. Ada yang mengartikan pula bahwa pembangunan masyarakat pesisir khususnya adalah kegiatan yang terencana untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi kemajuan sosial-ekonomi masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Sedangkan Infrastruktur merupakan input penting bagi kegiatan produksi dan dapat memengaruhi kegiatan ekonomi dalam berbagai cara baik secara langsung maupun tidak langsung. Infrastruktur tidak hanya merupakan kegiatan produksi yang akan menciptakan output dan kesempatan kerja, namun keberadaan infrastruktur juga memengaruhi efisiensi dan kelancaran kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya. Kondisi infrastruktur diduga berbanding lurus dengan tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir tersebut. Hampir dalam semua aktifitas masyarakat dan pemerintah, keberadaan infrastruktur merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan sudah menjadi kebutuhan dasar. Masyarakat nelayan yang tinggal di daerah pesisir merupakan cerminan dari dan terisolasi yang memiliki karakteristik dalam beberapa aspek seperti pendidikan rendah yang akhirnya pengetahuan mengenai teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh secara turun temurun dengan berdasarkan pengalaman empiric, kesadaran kesehatan yang rendah juga karena akses tempat tinggal menuju tempat lainnya yang sulit dijangkau karena kurangnya transportasi.Menurut data KKP 2012, Bila dilihat berdasarkan provinsi, persentasi tertinggi yang sudah tersedia penerangan jalan terdapat di kelompok D, yaitu provinsi dengan proporsi desa pesisir antara 0,01 -25,00 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur penerangan jalan masih berfokus pada wilayah bukan pesisir. Bukan hanya itu persentase tertinggi desa yang jalan daratnya berupa aspal terdapat di provinsi dengan proporsi desa pesisir terendah. Nampaknya, daerah pesisir masih lebih terbelakang dari sisi jenis permukaan jalan terluas untuk masalah sarana dan prasrana lalu lintas begitu pula pada infrastruktur kesehatan dan pendidikan yang lebih rendah dibandingkan wilayah bukan pesisir.Hal ini yang menjadi ketakutan bahwa Pendekatan ekonomi kesejahteraan bagi proses kebijakan telah dikritik oleh mereka yang beroperasi dalam tradisi pilihan publik, karena gagal untuk mempertimbangkan bagaimana pilihan-pilihan kebijakan yang sebenarnya dibuat.

1. Konflik Politik pada Kebijakan Pembangunan Wilayah PesisirPembangunan di Indonesia di masa yang lalu ternyata seringkali berpijak pada paradigma pembangunan yang menekankan pada efisiensi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara agregat. Oleh karena pada tahap awal ekonomi nasional didominasi oleh pemerintah, pemerintah lebih memusatkan perhatiannya untuk mengalokasikan sumberdaya pembangunan yang ada kepada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi, yang pada umumnya berlokasi dikawasan darat dan perkotaan. Wilayah pesisir dan laut belum menjadi prioritas utama bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional. Kondisi demikian akan mendorong timbulnya disparitas antar wilayah yang semakin melebar karena Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup berlimpah.Para pengambil keputusan di pusat lebih menyukai mendukung pendirian industri manufaktur di kawasan urban yang tidak menimbulkan multiplier pada perekonomian lokal. Penetesan pembangunan seperti yang diharapkan,dalam prakteknya, tidak pernah terjadi. Secara substansial selama ini Indonesia, sadar atau tidak, telah mendulang akumulasi dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang salah arah (misleading policy).Seperti halnya pada Model berdasarkan peran pemerintah yang kedua melihat pemerintah sebagai sebuah entitas yang terdiri dari politisi-politisi yang memaksimalkan utility-nya sendiri (self-interest), Berpikiran jangka pendek (short-sighted) dan tidak memiliki pengetahuan sempurna. Dalam model ini, pemerintah mungkin saja membuat kebijakan ekonomi yang memaksimalkan social welfare. Namun maksimisasi social welfare tersebut adalah subordinat dari kehendak politisi untuk sway konstituen mereka agar memilihnya menjadi penguasa (Kuncoro, 2009). Jika kita perhatikan berbagai permasalahan yang timbul dalam pembangunan dan pengelolaan daerah pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : Pembangunan dan pengelolaan daerah pesisir belum diatur dengan peraturan perundang-undangan yang jelas, sehingga Daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan suatu kebijakan. Pembangunan dan pengelolaan daerah pesisir cenderung bersifat sektoral, sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama lain. Pembangunan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar Daerah. Kewenangan Daerah dalam rangka Otonomi Daerah belum dipahami secara komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap Daerah dan setiap sektor timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.Pelimpahan kewenangan yang besar ini disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Dalam penjelasan UU No.22/1999 ini dinyatakan bahwa tanggung jawab yang dimaksud adalah berupa kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan. Di dalam kewenangan otonomi yang dipunyai daerah, melekat pula tanggung jawab untuk secara aktif dan secara langsung mengupayakan kesejahteraan masyarakat di daerah bersangkutan khususnya pesisir. Dengan kata lain, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki inisiatif kebijakan operasional yang bersifat pro masyarakat yang belum sejahtera.Tantangan yang dihadapi oleh daerah adalah tuntutan untuk mengurangi ketergantungan anggaran terhadap pemerintah pusat, pemberian pelayanan publik yang dapat menjangkau seluruh kelompok masyarakat, perlibatan masyarakat dalam proses pembangunan dan peningkatan otonomi masyarakat lokal dalam mengurus dirinya sendiri. Pembangunan infrastruktur wilayah pesisir sebagai salah satu sumberdaya potensial kerap pula memunculkan beberapa permasalahan, antara lain hubungan antara daerah dan pusat. Permasalahan umum yang banyak terjadi dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah kurang selarasnya pemenuhan kepentingan pusat dan daerah. Kondisi ini terjadi antaralain karena: Instansi dinas (kelautan dan perikanan) yang ada ditingkat kabupaten/kota pada era otonomi daerah ini sangat beragam baik dalam struktur organisasi dan kewenangannya. Perubahan ini berpengaruhpada intensitas komunikasi antara instansi yang berada di pusatdan daerah. Seringkali instansi dinas di kabupaten dan kotatelah memiliki tugas pokok dan fungsi organisasi, namun belum memiliki kewenangan teknis karena belum ada penyerahan kewenangan dari pusat dan propinsi. UU No.22/1999 belum dapat berjalan selaras dengan UU Perikanan dan sebagian peraturan daerah lainnya, sehinggakewenangan dalam dinas kabupaten/kota belum efektif.Ketertinggalan pembangunan wilayah pesisir dan laut sebagai sumber daya ekonomi, merupakan indikator bahwa sektor kelautan selama 35 tahun belum menjadi sektor prioritas dalam pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Seperti disebutkan dalam papernya Sandmo (1995) menggunakan perpektif yang kedua untuk menjelaskan tentang ekonomi kesejahteraan. Berdasarkan pendekatan tersebut, selanjutnya menguraikan landasan desain kebijakan kesejahteraan dalam ekonomi kesejahteraan versi neoklasik, dan memberikan sejumlah koreksi terhadap landasan tersebut dengan mengemukakan biaya dan manfaat negara kesejahteraan terhadap proses pembangunan ekonomi.Sehingga disadari bahwa selama ini, menganggap bahwa pemerintah di berbagai level dipimpin oleh seorang aristokrasi intelektual yang memiliki nilai-nilai yang tinggi dan mulia, dan tidak lagi memikirkan diri sendiri yang bertaraf rendah, seperti mencari kekayaan.

2. Implementasi Welfare EconomicFormulasi ekonomi kesejahteraan versi ekonomi neoklasik terlalu umum dan tidak memberikan penjelasan yang detail tentang pihak mana yang akan menerima manfaat dan pihak mana yang harus berkontribusi dalam sistem redistribusi termasuk masyarakat pesisir. Sehingga, selama tidak ada standar yang jelas tentang siapa yang dikategorikan sebagai orang kaya dan miskin, desain sistem redistribusi menjadi sulit terutama menentukan yang memiliki hak untuk menerima manfaat dari pajak tersebut termasuk pembangunan wilayah pesisir. Namun, sekalipun kita memahami kebijakan optimal yang dapat diambil, hal tersebut belum tentu dapat dicapai jika institusi pembuat kebijakan tidak memilih kebijakan yang dimaksud.Secara sosial ekonomi, sebagai negara berkembang masyarakat Indonesia sebagian besar masih tergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, seperti pemanfaatan ikan hidup untuk konsumsi dan akuarium yang telah berlangsung lama. Sumberdaya hayati laut telah memainkan peran perekonomian bagi masyarakat diwilayah pesisir, sebagai penyumbang protein dari hasil ikan tangkapan, maunpun berbagai turunan produksi yang dapat dikembangkan dari sektor kelautan dan perikanan, seperti jasa wisata bahari maupun aspek-aspek sosial ekonomi lainnya yang berkembang di wilayah peisisir. Namun seperti yang dijelaskan diatas masyarakat yang proporsi wilayah pesisirnya lebih banyak namun masih bergelut dengan kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan kualitas kesehatan yang kurang baik serta cenderung dalam ketidakberdayaan menghadapi berbagai masalah.Dampak yang ditimbulkan akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung, pada semua segmen dan lapisan masyarakat terutama pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap adanya perubahan kebijakan. Hasilnya seperti yang dibicarakan diatas, arah kebijakan pemerintah mengenai pembangunan infrastruktur di wilayah pesisir dan pedesaan yang jauh tertinggal, ketimbang pembangunan di wilayah perkotaan.Kecenderungan yang terus berlanjut terhadap orientasi pembangunan yang lebih terfokus pada daratan dan mengabaikan watak dasar keindonesiaan sebagai negara kepulauan berbasis maritim semestinya menjadi perhatian bagi pihak-pihak terkait. Kecenderungan ini dapat dianggap sebagai pengingkaran terhadap jati diri bangsa Indonesia yang sepantasnya menjadi negara maritim yang unggul untuk meningkatkan perekonomian negaranya. Peningkatan kesejahteraan sosial, menurut Peraturan, interaksi sosial harus mendapatkan keuntungan setidaknya satu orang dan membahayakan siapa pun. Jika demikian setelah interaksi ini, negara disebut Pareto Superior ke pra Pareto optimalitas. Terjadi ketika semua perubahan Pareto-Superior telah maksimum. Sehingga keharusan untuk menerima Peraturan Pareto dan menunjukkan preferensi, itu akan terlihat bahwa ekonom bisa membuat pernyataan tentang social kesejahteraan pertukaran sukarela, yang tentu terbukti menguntungkan satu sama lain saat tidak membahayakan dibuktikan seperti intervensi pemerintah, yang tentu hanya menguntungkan beberapa orang dan merugikan orang lain (Lange, 1942).Hal ini senada oleh Buchanan (1970) bagaimana jika kita mampu memahami apa kebijakan optimal, tidak ada jaminan bahwa jenis pengambilan keputusan lembaga yang kita amati dalam kenyataannya akan membawa mereka menjadi berubah. Patokan yang tepat bagi pemerintah untuk efisiensi Pareto terbaik, dengan mempertimbangkan pembatasan sesuai pada instrumen kebijakan.Untuk melihat logika kritik seperti yang dikatakan Herbener (1997), mempertimbangkan argumen bahwa pemerintah harus campur tangan untuk memperbaiki kegagalan pasar. Tidak ada alasan sama sekali untuk mengharapkan proses politik untuk menghasilkan ini. Meskipun hal ini mungkin menunjukkan bahwa pendekatan pilihan publik harus lebih konservatif, ini hanya berlaku bila efek keseimbangan pada instrumen kebijakan lain diabaikan.Dalam konteks inilah perlu adanya perubahan orientasi pembangunan bangsa Indonesia dari orientasi daratan ke orientasi kelautan. Perlunya revolusi struktur pemerintahan, penyempurnaan pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, perubahan sikap keterbukaan bagi pemerintah daerah, serta perubahan pola tanggung jawab dan pelayanan publik.

C. KesimpulanPada dasarnya pilihan pembangunan infrastruktur sektor kelautan dan perikanan merupakan pilihan yang sangat tepat, hal ini didasarkan atas potensi yang dimiliki dan besarnya keterlibatan sumberdaya manusia di dalam kegiatan perikanan. Kondisi infrastruktur diduga berbanding lurus dengan tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir tersebut. tetapi hal ini ternyata berlaku secara umum. Secara sosial ekonomi, sebagai negara berkembang masyarakat Indonesia sebagian besar masih tergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, seperti pemanfaatan ikan hidup untuk konsumsi dan akuarium yang telah berlangsung lama. Sumberdaya hayati laut telah memainkan peran perekonomian bagi masyarakat diwilayah pesisir, sebagai penyumbang protein dari hasil ikan tangkapan, maunpun berbagai turunan produksi yang dapat dikembangkan dari sektor kelautan dan perikanan, seperti jasa wisata bahari maupun aspek-aspek sosial ekonomi lainnya yang berkembang di wilayah peisisir. Namun seperti yang dijelaskan diatas masyarakat yang proporsi wilayah pesisirnya lebih banyak namun masih bergelut dengan kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan kualitas kesehatan yang kurang baik serta cenderung dalam ketidakberdayaan menghadapi berbagai masalah.Dalam hal ini pemerintah lebih memusatkan perhatiannya untuk mengalokasikan sumberdaya pembangunan yang ada kepada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi, yang pada umumnya berlokasi dikawasan darat dan perkotaan. Wilayah pesisir dan laut belum menjadi prioritas utama bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional. Kondisi demikian akan mendorong timbulnya disparitas antar wilayah yang semakin melebar karena Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki potensi sumber daya pesisir dan laut yang cukup berlimpah.Namun, sekalipun kita memahami kebijakan optimal yang dapat diambil, hal tersebut belum tentu dapat dicapai jika institusi pembuat kebijakan tidak memilih kebijakan yang dimaksud. Hal ini yang menjadi ketakutan bahwa Pendekatan ekonomi kesejahteraan bagi proses kebijakan telah dikritik oleh mereka yang beroperasi dalam tradisi pilihan publik, karena gagal untuk mempertimbangkan bagaimana pilihan-pilihan kebijakan yang sebenarnya dibuat.

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, Anthony B. 2011. The Restoration of Welfare Economics. American Economic Review, Vol. 101 No. 3: 157-61.Besley, Timothy. 2002. Welfare Economics and Public Choice. London School of Economics and Political Science.Deliarnov. (2006). Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga. Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia. 2013. Kemiskinan Pesisir Masih Tinggi. http://dfw.or.id/kemiskinan-pesisir-masih-tinggi/ (Diakses pada tanggal 25 april 2013).Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia. 2013. Mimpi Baru Itu Adalah Ekonomi Biru. http://dfw.or.id/?s=Mimpi+Baru+Itu+Adalah+Ekonomi +Biru&sa.x=-1076&sa.y=-88&sa=Search (Diakses pada tanggal 25 april 2013).Herbener, Jeffrey M. 1997. The Pareto Rule and Welfare Economics. Review of Austrian Economics 10, No. 1 (1997). Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2012. Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan 2011. Publikasi Data & Informasi. Jakarta, Indonesia. Kuncoro, Mudrajad dkk. (2009). Transformasi Pertamina: dilema antara orientasi bisnis & pelayanan public. Yogyakarta: Galangpress Group. Lange, Oscar. 1942. The Foundations of Welfare Economics. Econometrica, Vol. 10, No. 3/4 (Jul. - Oct., 1942), pp. 215-228. Muflikhati, Istiqlaliyah dkk. 2010. Socio-economic Factors and Family Welfare: The Case of Coastal Area in West Java . Jur. Ilm. Kel. & Kons., Januari 2010, p : 1-10. Vol. 3, No. 1 . Rustiadi, Ernan. 2003. Potensi Dan Permasalahan Kawasan Pesisir Berbasis Sumberdaya Perikanan Dan Kelautan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (ICZPM), kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Pusat Kajuan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB.Salim, Muhammad. 2010. Dinamika Kebijakan Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Rembang Pada Masa Reformasi Dan Otonomi Daerah Tahun 1998 2008. Tesis. Magister Ilmu Sejarah Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.Sandmo, Agnar. 1995. The Welfare Economics of the Welfare State. Scandinavian Journal of Economics 97(4), 469-476, 1995Suman, Agus. 2009. Ekonomika Politik dan Kesejahteraan. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar. Universitas Brawijaya. Malang. Wiranto, Tatag. 2004. Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Laut Dalam Kerangka Pembangunan Perekonomian Daerah. Sosialisasi Nasional Program MFCDP. Bappenas Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional.