evan syndrome
DESCRIPTION
referat dytaTRANSCRIPT
EVANS SYNDROME
PENDAHULUAN
Pada tahun 1951, Evans dan rekannya menjelaskan sekelompok pasien yang
secara klinis ditandai dengan imun trombositopenia dan autoimun anemia hemolitik
(AIHA). Anemia dan trombositopenia yang terjadi bervariasi dalam hal waktu onset
dan durasi. Terjadi remisi spontan dan eksaserbasi umum, dan beberapa pasien
tersebut mengalami neutropenia.
Evans syndrome adalah suatu kondisi yang jarang ditandai dengan adanya
kombinasi imun trobositopenia (ITP) dan autoimun haemolytic anemia baik terjadi
bersamaan atau sekuensial dengan tes direk antiglobulin (DAT) positif tanpa etiologi
yang jelas. Kondisi ini biasanya berlangsung kronis dengan karakteristik terjadi
eksaserbasi dan remisi.
Berdasarkan review data pasien dewasa dengan imunositopenia dari tahun
1950 samapi 1958 terdiri dari 369 kasus AIHA dan 367 kasus trombositopenia
hanya 6 dari 766 pasien yang menderita evans syndrome. Tidak ada predileksi seks
untuk evans syndrome, dan ditemukan pada semua etnik dan segala usia. Anak-anak
dengan evans syndrome ditemukan pada usia rata-rata 5-7 tahun.
DEFENISI.
Evan syndrome didefinisikan sebagai kombinasi (baik simultan atau
sekuensial) autoimun haemolitic anemia (AIHA) dan imun trombositopenia (ITP),
terkadang dengan imun netropenia tanpa mengetahui etiologi dasar. Dengan demikian
diagnosis pasti evans syndrome adalah diagnosis enkslusi dengan menyingkirkan
faktor perancu lainya.
EPIDEMIOLOGI
Evans syndrome adalah diagnosis yang jarang dan frekuensi yang tepat tidak
diketahui. Sebuah review pasien dewasa dari tahun 1950 sampai 1958 terdiri dari
399 kasus dengan immunocytopenia dan 367 kasus AIHA, hanya enam dari 766
pasien mengalami evans syndrome. Berdasarkan laporan dari Malaysia 12 dari 220
pasien dewasa dengan trombositopenia dan 102 dengan AIHA didiagnosis sebagai
evans syndrome.
Tidak ada predileksi sex terhadap evans syndrome. Evan syndrome ditemukan
pada semua etnik dan segala usia. Anak-anak dengan evans syndrome ditemukan
pada usia rata-rata 5-7 tahun.
PATOFISIOLOGI.
Etiologi sindrom Evans tidak diketahui. Autoantibodi Noncrossreacting
diarahkan terhadap antigen spesifik terhadap sel darah merah, trombosit, atau
neutrofil.Wang et al menunjukkan penurunan kadar imunoglobulin serum (Ig) G,
IgM, IgA dan pada pasien. Sitopenia yang terjadi pada sindrom Evans mungkin
terkait dengan kelainan sel T karena penurunan T-helper sel dan meningkatkan T-
supresor sel yang ada pada pasien ini.
Dari sebuah penelitian terhadap 6 orang anak dengan evan syndrome wang et al
menemukan penurunan presentasi sel T4 (T helper), penigkatan presentasi sel T 8 (T-
supresor) , dan peurunan rasio T4 : T8 yang nyata, dibandingkan dengan pasien normal
(kontrol) dan pasien dengan ITP kronis. Kelainan ini tetap bertahan selama periode follow
up pasien rata-rata 1 tahun. Hal yang serupa oleh Karakantza et al, menemukan rasio CD
4/CD 8 pada anak usia 12 tahun dengan evan syndrome meskipun pada pasien ini jumlah
CD4 dan CD8 limfosit berkurang, menariknya, penurunan rasio CD4/CD8 bertahan
postsplenectomy. Mereka juga menemukan produksi peningkatan interleukin-10 dan
interferon-c ,sehingga mereka menduga hal ini disebabkan aktivasi autoreaktif, antibodi yang
memproduksi sel B. Akan tetapi, signifikansi dari kelainan imunitas seluler ini belum jelas
seperti yang terlihat pada kondisi autoimun lainnya maupun berkaitan dengan infeksi virus
dan tidak spesifik untuk sindrom Evans.
Meskipun evans syndrome tampaknya merupakan gangguan regulasi iumun,
patofisiologi pasti evans syndrome belum diketahui. Sebagian besar penelitian
melibatkan pasien yang sedikit dan interpretasi hasilnya menjadi lebih sulit dengan
adanya pemahaman baru bahwa beberapa kasus evans syndrome mungkin memiliki
sitopenia autoimun sekunder terhadap sindrom limfoproliferatif autoimun (ALPS)
Namun, secara keseluruhan, terdapat bukti yang mendukung bahwa terdapat kelainan baik
imunitas seluler dan humoral pada sindrom evans.
Savasan et al mengamati bahwa lebih dari setengah dari pasien dengan sindrom
Evans memiliki bukti hiperaktif limfoid. Teachey et al menunjukkan bahwa banyak pasien
(58%) dengan sindrom Evans mungkin memiliki sindrom limfoproliferatif autoimun, sebuah
temuan baru yang mungkin penting implikasinya untuk terapi.
Kematian sel terprogram (apoptosis) dari limfosit diaktifkan penting untuk
homeostasis imune. Permukaan sel protein Fas (CD95) dan ligan memainkan peran
penting dalam mengatur apoptosis limfosit, dan defek pada ekspresi baik Fas atau
ligan Fas menghasilkan akumulasi-berlebih limfosit mature dan penyakit autoimun
pada tikus. Hasil studi terbaru menunjukkan bahwa defek apoptosis limfosit yang
disebabkan oleh mutasi dari gen Fas dapat mengakibatkan sindrom limfoproliferatif
autoimun yang parah pada manusia.
Teachey et al menskiring 12 anak menggunakan flow cytometry untuk
CD4/CD8 (double negatif) sel T dan menggunakan tes definitif untuk sindrom
limfoproliferatif autoimun (yaitu, defek apoptosis Fas-dimediasi in vitro). Enam
pasien memiliki jumlah peningkatan sel T double negatif tersebut dan defek apoptosis
Fas-dimediasi dan satu pasien memiliki elevasi yang borderline, ini menunjukkan
bahwa 7 pasien dengan sindrom Evans (58%) memiliki bukti sugestif sindrom
limfoproliferatif autoimun. Temuan ini menunjukkan Evans syndrome dan sindrom
limfoproliferatif autoimun mungkin tumpang tindih.
MANIFETASI KLINIK
Pasien dapat datang dengan AIHA atau ITP baik secara terpisah maupun
bersamaan. Neutropenia terjadi sampai 55% dari presentasi pasien (Evans et al,
1951; Pui et al, 1980; Wang, 1988; Mathew et al, 1997; Savasan et al, 1997).
Sehingga manifestasi klinis mencakup gambaran yang biasa dari anemia hemolitik:
pucat, lesu, sakit kuning, gagal jantung pada kasus yang berat dan trombositopenia:
petechiae, memar, perdarahan mukokutan.
Pemeriksaan bisa menunjukkan adanya limfadenopati, hepatomegali dan atau
splenomegali (Pui et al, 1980; Savasan et al, 1997; Teachey et al, 2005).
Limfadenopati dan organomegali mungkin kronis atau intermiten dan dalam beberapa
kasus hanya terlihat selama episode eksaserbasi akut (Savasan et al, 1997; Teachey et
al, 2005). Evans syndrome adalah diagnosis eksklusi. Gangguan perancu, seperti
infeksi, penyakit rheumatologic, dan keganasan dapat hadir pada sitopenia autoimun,
dan hal ini harus dikesampingkan.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan darah lengkap dan jumlah retikulosit menunjukkan anemia,
trombositopenia, neutropenia, atau gabungan sitopenia pada pasien dengan sindrom
Evans, jumlah retikulosit meningkat jika pasien menderita anemia. Gambaran dari
hemolisis meliputi jumlah retikulosit meningkat, peningkatan bilirubin tak
terkonjugasi, dan penurunan haptoglobins. Hapusan darah harus diperiksa untuk
melihat gambaran dari AIHA (polikromasi, sferosit).
Pada evans syndrome tes antiglobulin langsung (DAT) hampir selalu positif
(seringkali lemah), bahkan tanpa adanya anemia hemolitik, dan mungkin positif
untuk IgG dan atau komplemen (C3) (Pui et al, 1980; Pegels et al, 1982, Wang, 1988;
Mathew et al, 1997; Savasan et al, 1997). Tes antiglobulin tidak langsung dapat juga
positif (pasien% 52-83, Pegels et al, 1982; Mathew et al, 1997).
Dianjurkan untuk mengukur serum imunoglobulin dan subclass
imunoglobulin pada semua pasien, tidak hanya untuk menyingkirkan diagnosis
diferensial, seperti immunodefisiensi umum dan kekurangan IgA yang telah diketahui
dapat berkembang menjadi sitopenias (Hansen et al, 1982; Sneller et al, 1993), dan
juga sebagai dasar sebelum terapi imunomodulator. Selain itu, kondisi autoimun
lainnya, terutama sistemik lupus erythematosis (SLE), harus dicari dengan mengukur
antibodi antinuclear (ANA), DNA rantai ganda (dsDNA) dan faktor rheumatoid.
Diagnosis diferensial yang paling penting adalah ALPS. Oleh karena itu pemeriksaan
subset sel-T darah perifer dengan sitometri sangat penting dalam semua kasus
sindrom Evans. Kehadiran doublenegatif (CD4) / CD8), CD3 +, TCRab +) sel T
telah terbukti menjadi yang lini pertama yang paling sensitif tes skrining untuk ALPS
(dan memungkinkan diferensiasi dari kasus Evans syndrome) (Teachey et al, 2005).
Pemeriksaaan sumsum tulang mungkin digunakan dalam evaluasi sindrom Evans di
mana perlu untuk mengeksklusikan proses infiltrasi pada pasien-pasien dengan
pansitopenia tetapi biasanya tidak selalu membantu karena tidak spesifik (Pui et al,
1980; Mathew et al, 1997).