evaluasi ex ante kebijakan dana khusus kepulauan (dkk

20
218 Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK) terhadap Ketimpangan Alokasi Transfer ke Daerah Luthfi Muhamad Iqbal 1 Afiliasi 1 Calon Perencana Pertama di Direktorat Perkotaan Perumahan dan Permukiman Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Republik Indonesia Korespondensi: [email protected] Abstrak Upaya afirmasi pembangunan bagi daerah kepulauan telah didorong oleh berbagai pihak, reorientasi paradigma pembangunan dalam mewujudkan poros maritim dunia ditempuh salah satunya melalui inisiatif RUU Daerah Kepulauan yang diusung oleh DPD. Salah satu butir utama dalam regulasi tersebut ialah terkait Dana Khusus Kepulauan (DKK) sebagai penerimaan baru bagi daerah kepulauan untuk mempercepat pembangunan daerah kepulauan. Pada tulisan ini akan dibahas dampak kebijakan DKK terhadap ketimpangan alokasi dana transfer antardaerah. Untuk menjawab tujuan, ditelusuri definisi daerah kepulauan, persoalan saat ini, konsep DKK yang diajukan serta pengaruh DKK pada ketimpangan alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi ex-ante dengan pendekatan with-versus-without comparison dan menggunakan metode penelitian campuran antara kualitatif yakni analisis konten regulasi dan literatur, serta kuantitatif deskriptif dengan memanfaatkan data sekunder yang tersedia. Hasil temuan evaluasi ini ialah masih terdapat persoalan dalam mendefinisikan daerah kepulauan terutama kriteria gugusan pulau dan kesatuan sosial budaya ekonomi dan geografis, serta adanya batasan kewenangan urusan pemerintahan di bidang kelautan yang hanya diberikan kepada pemerintahan provinsi. Selain itu kinerja daerah kepulauan berbeda-beda pula tergantung karakteristik geografis, fisik dan administratif daerah, sehingga tantangan, persoalah, yang ditangani tidak seragam antardaerah kepulauan. Sebaliknya, berdasarkan hasil analisis justru yang terlihat jelas ialah ketimpangan jawa-non jawa, barat Indonesia dan timur Indonesia serta perkotaan dan perdesaan. Kesimpulannya adalah dengan skenario DKK yang diperoleh dari 5% DTU nasional akan meningkatkan kesenjangan alokasi sebesar 25.12% apabila DKK dialokasikan pada daerah kepulauan BKSDK (8 wilayah). Jika DKK ditransfer ke seluruh daerah kepulauan yang memenuhi kriteria maka ketimpangan alokasi meningkat hingga 40.66%. Konvergensi DAK Tematik Kepulauan dan eksplorasi pembiayaan kreatif yang berbasis kelautan (marine based financing) dapat dipertimbangkan untuk mewujudkan percepatan pembangunan daerah kepulauan. Kata Kunci: daerah kepulauan; dana khusus kepulauan; evaluasi ex ante. Doi: https://doi.org/10.47266/bwp.v3i2.78 | halaman: 218-237 Dikirim pada: 25 Juli 2020. Diterima pada: 28 August 2020. Dipublikasikan pada: 07 September 2020

Upload: others

Post on 11-Nov-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

218

Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK) terhadap Ketimpangan Alokasi Transfer ke Daerah

Luthfi Muhamad Iqbal1

Afiliasi 1Calon Perencana Pertama di Direktorat Perkotaan Perumahan dan Permukiman Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Republik Indonesia

Korespondensi: [email protected]

Abstrak

Upaya afirmasi pembangunan bagi daerah kepulauan telah didorong oleh berbagai pihak, reorientasi paradigma pembangunan dalam mewujudkan poros maritim dunia ditempuh salah satunya melalui inisiatif RUU Daerah Kepulauan yang diusung oleh DPD. Salah satu butir utama dalam regulasi tersebut ialah terkait Dana Khusus Kepulauan (DKK) sebagai penerimaan baru bagi daerah kepulauan untuk mempercepat pembangunan daerah kepulauan. Pada tulisan ini akan dibahas dampak kebijakan DKK terhadap ketimpangan alokasi dana transfer antardaerah. Untuk menjawab tujuan, ditelusuri definisi daerah kepulauan, persoalan saat ini, konsep DKK yang diajukan serta pengaruh DKK pada ketimpangan alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi ex-ante dengan pendekatan with-versus-without comparison dan menggunakan metode penelitian campuran antara kualitatif yakni analisis konten regulasi dan literatur, serta kuantitatif deskriptif dengan memanfaatkan data sekunder yang tersedia. Hasil temuan evaluasi ini ialah masih terdapat persoalan dalam mendefinisikan daerah kepulauan terutama kriteria gugusan pulau dan kesatuan sosial budaya ekonomi dan geografis, serta adanya batasan kewenangan urusan pemerintahan di bidang kelautan yang hanya diberikan kepada pemerintahan provinsi. Selain itu kinerja daerah kepulauan berbeda-beda pula tergantung karakteristik geografis, fisik dan administratif daerah, sehingga tantangan, persoalah, yang ditangani tidak seragam antardaerah kepulauan. Sebaliknya, berdasarkan hasil analisis justru yang terlihat jelas ialah ketimpangan jawa-non jawa, barat Indonesia dan timur Indonesia serta perkotaan dan perdesaan. Kesimpulannya adalah dengan skenario DKK yang diperoleh dari 5% DTU nasional akan meningkatkan kesenjangan alokasi sebesar 25.12% apabila DKK dialokasikan pada daerah kepulauan BKSDK (8 wilayah). Jika DKK ditransfer ke seluruh daerah kepulauan yang memenuhi kriteria maka ketimpangan alokasi meningkat hingga 40.66%. Konvergensi DAK Tematik Kepulauan dan eksplorasi pembiayaan kreatif yang berbasis kelautan (marine based financing) dapat dipertimbangkan untuk mewujudkan percepatan pembangunan daerah kepulauan.

Kata Kunci: daerah kepulauan; dana khusus kepulauan; evaluasi ex ante.

Doi: https://doi.org/10.47266/bwp.v3i2.78 | halaman: 218-237

Dikirim pada: 25 Juli 2020. Diterima pada: 28 August 2020. Dipublikasikan pada: 07

September 2020

Page 2: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

219

Volume III No. 2

I. Pendahuluan

Upaya afirmasi pembangunan bagi daerah

kepulauan telah didorong oleh berbagai pihak

termasuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Pada 17 Desember 2019 DPD telah

mengusulkan kembali Rancangan Undang-

Undang (RUU) tentang Daerah Kepulauan ke

dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)

Prioritas Tahun 2020 (DPR RI, 2020). Salah

satu butir utama dalam usulan RUU tersebut

ialah adanya usulan mengenai Dana Khusus

Kepulauan (DKK) (DPD RI, 2019) yang pada

draf terakhir, disebut sebagai penerimaan

Daerah Kepulauan dalam rangka percepatan

pembangunan (DPR RI, 2020).

Argumentasi utama yang melandasi

usulan DKK sebagai alokasi transfer baru bagi

daerah kepulauan ialah untuk memastikan laju

perkembangan pembangunan daerah yang

berimbang antara daerah kepulauan dengan

daerah daratan, termasuk memperkuat

konektivitas kepulauan dengan daerah daratan,

percepatan pemenuhan SPM dan meningkatkan

ketangguhan daerah kepulauan terhadap

ancaman bencana alam serta perubahan iklim.

Badan Kerja Sama Daerah Kepulauan (BKSDK)

yang terdiri dari 8 Provinsi yaitu Maluku,

Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timur, Kepulauan Bangka Belitung,

Kepulauan Riau, Sulawesi Utara dan Sulawesi

Tenggara (Kelen, 2017) sangat mendukung

direalisasikannya kebijakan DKK dalam RUU

ini (Ismail, 2018).

Pada naskah akademik RUU telah

diuraikan bagaimana DKK dapat menutup gap

kemampuan keuangan antara daerah kepulauan

dan daerah bukan kepulauan. Namun belum

dibahas mengenai bagaimana dampaknya

terhadap ketimpangan alokasi dana transfer ke

daerah dan dana desa secara keseluruhan. Dalam

tulisan ini akan dilakukan evaluasi ex-ante

dampak kebijakan Dana Khusus Kepulauan

terhadap ketimpangan alokasi Dana Transfer

antardaerah, baik menurut skenario dalam

Naskah Akademik RUU maupun draf RUU

terbaru. Tulisan ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi bagi penyusunan RUU

tentang Percepatan Pembangunan Daerah

Kepulauan khususnya pertimbangan mengenai

dana khusus kepulauan/penerimaan daerah

kepulauan dalam rangka percepatan

pembangunan.

II. Metodologi

Penelitian ini adalah penelitian Evaluasi

Ex Ante, yakni evaluasi kebijakan yang

dilakukan sebelum kebijakan ditetapkan dan

diimplementasikan untuk memberikan penilaian

awal dan mengantisipasi mengenai perkiraan

dampak serta konsekuensi yang dihasilkan dari

implementasi kebijakan (Wollmann, 2007).

Pendekatan dasar evaluasi yang digunakan ialah

with vs without comparison yakni membandingkan

skenario antara dengan atau tanpa intervensi

kebijakan dengan menggunakan metode

penelitian campuran (mix method).

Ruang lingkup penelitian ialah mengenai

Dana Khusus Kepulauan dalam konstelasi

perimbangan keuangan antarpemerintah pusat

dan daerah, beserta parameter-parameter yang

digunakan untuk menghasilkan gambaran

kondisi daerah kepulauan. Cakupan wilayah

penelitian meliputi 542 daerah otonom provinsi,

kabupaten, kota di Indonesia dengan fokus pada

daerah-daerah kepulauan sesuai definisi yang

akan dibahas pada tulisan ini. Teknik

pengumpulan data dilakukan dengan dua cara

yakni melalui pengumpulan dokumen pustaka

teori, regulasi, dan kebijakan dan pengumpulan

data sekunder dari berbagai sumber elektronik.

Kerangka berpikir, data, analisis yang

digunakan, serta pertanyaan penelitian evaluasi

dapat dilihat pada Gambar 1:

Page 3: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

220

Volume III No. 2

III. Hasil dan Pembahasan

3.1. Definisi Daerah Kepulauan

3.1.1. Konsep Dasar

Landasan konstitusional mengenai daerah

kepulauan terdapat pada Pasal 25A UUD Tahun

1945 amandemen keempat yang menyatakan:

“Negara Kesatuan Republik Indonesia

adalah sebuah negara kepulauan yang

berciri nusantara dengan wilayah yang

batas-batas dan hak-haknya ditetapkan

dengan undang-undang (Undang-undang

Dasar Republik Indonesia Tahun 1945)”.

Dalam tingkatan Undang-undang, istilah

daerah kepulauan muncul dalam Pasal 1 angka

19 Ketentuan Umum UU No. 23/2014 tentang

Pemerintahan Daerah sebagai “Daerah Provinsi

yang Bericiri Kepulauan dengan definisi sebagai

berikut:

“Daerah Provinsi yang berciri kepulauan

adalah daerah provinsi yang memiliki

karakteristik secara geografis dengan

wilayah lautan lebih luas dari daratan

yang didalamnya terdapat pulau-pulau

yang membentuk gugusan pulau

sehingga menjadi satu kesatuan geografis

dan sosial budaya” (Undang Undang No

23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah).

Sehingga menurut peraturan di atas,

Daerah Kepulauan hanya diakui sampai pada

tingkat Provinsi sesuai dengan kewenangan atas

urusan pemerintahan bidang kelautan yang

otonominya diletakkan di pemerintahan daerah

provinsi. Namun jika demikian, muncul

persoalan terutama bagi:

1. Kabupaten/Kota yang memenuhi kriteria:

memiliki wilayah lautan lebih luas dari

wilayah daratan, serta memiliki pulau-

pulau namun tidak berada pada Daerah

Gambar 1. Pertanyaan Penelitian dan Kerangka Analisis

Page 4: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

221

Volume III No. 2

Provinsi berciri Kepulauan, ataupun

sebaliknya;

2. Kabupaten/Kota yang memiliki wilayah

lautan lebih kecil dari wilayah daratan dan

tidak memiliki pulau-pulau, namun berada

pada Daerah Provinsi berciri Kepulauan.

Maka dari itu, definisi yang diusulkan

dalam Naskah Akademik RUU tentang Daerah

Kepulauan diperluas menjadi:

“Daerah yang memiliki karakteristik

secara geografis dengan wilayah lautan

lebih luas dari daratan yang didalamnya

terdapat pulau-pulau yang membentuk

gugusan pulau sehingga menjadi satu

kesatuan geografis dan sosial budaya.

(Naskah Akademik RUU tentang Daerah

Kepulauan, 2019)”

Sehingga dapat mencakup semua

tingkatan pemerintahan daerah baik

Provinsi/Kabupaten/Kota. Meskipun

berdasarkan draf terakhir Rancangan Undang-

Undang tentang Percepatan Pembangunan

Daerah Kepulauan, definisi mengenai Daerah

Kepulauan dikembalikan sesuai UU 23/2014

tentang Pemerintahan Daerah menjadi:

Daerah Kepulauan adalah provinsi

kepulaun yang memiliki wilayah laut lebih

luas dari wilayah darat, yang di dalamnya

terdapat pulau-pulau termasuk bagian

pulau yang membentuk gugusan pulau,

menjadi satu kesatuan geografi, ekonomi,

politik dan sosial budaya (Rancangan

Undang Undang tentang Percepatan

Pembangunan Daerah Kepulauan, 2020).

Secara sederhana perbandingan

antardefinisi mengenai Daerah Kepulauan di

atas dapat dilihat pada tabel 1.

3.1.2. Metode Penentuan Daerah

Kepulauan

Berdasarkan definisi di atas, karena

keterbatasan data, hanya tiga dari lima kriteria

definisi yang dapat diukur dalam penelitian ini,

yakni:

1. Status Daerah Otonom, unit analisis di

tingkat provinsi, meski perlu ditinjau juga

lebih dalam kondisi masing-masing

kabupaten/kota

2. Luas wilayah darat dan lautan, dengan

kriteria wilayah laut lebih besar dari luas

wilayah darat

3. Keberadaan pulau-pulau, dengan kriteria

jumlah pulau lebih dari 1

Tahapan klasifikasi daerah kepulauan

berdasarkan tiga alternatif definisi menurut

kerangka regulasi yang ada dapat dilihat pada

gambar 2:

Tabel 1. Perbandingan Kriteria Definisi Daerah Kepulauan menurut Regulasi

Kriteria Definisi UU 23/2014

NA RUU

Daerah

Kepulauan

RUU Percepatan

Pembangunan Daerah

Kepulauan

Status Daerah

Otonom Provinsi

Provinsi, Kab,

Kota Provinsi

Kriteria Luas Luas Wilayah Laut > Luas Wilayah Darat

Keberadaan

Pulau Terdapat Pulau-Pulau (lebih dari 1)

Konfigurasi

Kepulauan

yang membentuk gugusan

pulau

termasuk bagian pulau yang

membentuk gugusan pulau

Prasyarat Membentuk kesatuan geografi ekonomi politik dan sosial budaya

Page 5: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

222

Volume III No. 2

Gambar 2. Diagram Alir (Flowchart) Penentuan Daerah Kepulauan menurut Definisi

Kriteria lain seperti apakah pulau-pulau

membentuk gugusan pulau atau apakah gugusan

pulau yang ada membentuk kesatuan geografi,

ekonomi, politik dan sosial budaya merupakan

dua kriteria yang sukar dinilai oleh data-data

yang tersedia. Untuk melihat apakah pulau-

pulau yang ada membentuk sebuah gugusan

pulau membutuhkan analisis morfologi dan

batimetri bahkan identifikasi kondisi fisik pulau

melalui susur pantai atau survei lapangan

(Kumaat, 2011). Begitupula dalam

mengidentifikasi kesatuan geografi, ekonomi,

politik dan sosial budaya kepulauan, belum bisa

tergambarkan hanya dari angka-angka atau

informasi data sekunder yang tersedia.

Untuk memperdalam analisis

karakteristik geografi yang dihitung

berdasarkan ukuran luas wilayah darat dan

lautan, digunakan tipologi daerah menggunakan

pendekatan ekosistem dan terbagi ke dalam

empat kategori sebagaimana ditunjukkan pada

tabel 2.

3.1.3. Hasil Identifikasi Daerah Kepulauan

Daerah Kepulauan di Indonesia

berdasarkan klaim politik daerah-daerah yang

tergabung ke dalam Badan Kerja Sama Daerah

Kepulauan (BKSDK) terdapat 8 provinsi yaitu:

(1) Kepulauan Riau, (2) Kepulauan Bangka

Belitung, (3) Nusa Tenggara Barat, (4) Nusa

Tenggara Timur, (5) Sulawesi Utara, (6)

Sulawesi Tenggara, (7) Maluku Utara, dan (8)

Maluku.

Tabel 2. Tipologi Daerah menurut Kriteria Proporsi Luas Wilayah

Tipologi

Kriteria Proporsi

Luas Wilayah Deskripsi

Laut Darat

Akuatik 100% 0% Lautan

Akuatik-

Terestrial > 50% < 50%

Daerah yang memiliki luas wilayah laut

lebih dibandingkan luas wilayah darat

Terestrial-

Akuatik < 50% > 50%

Daerah yang memiliki luas wilayah darat

lebih luas dibandingkan luas wilayah laut

Terestrial 0% 100% Daerah Daratan yang tidak memiliki

pesisir dan wilayah laut (landlocked)

Sumber: Dimodifikasi dari (Stefanus, 2011)

Page 6: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

223

Volume III No. 2

Gambar 3. Peta 8 Provinsi Anggota Badan Kerja Sama Daerah Kepulauan (BKSDK)

Gambar 4. Peta 16 Provinsi yang memiliki karakteristik Akuatik-Terestrial (termasuk BKSDK)

Jika dilihat berdasarkan proporsi luas

wilayah laut terhadap total luas wilayah

terdapat 16 Provinsi yang memiliki tipologi

Akuatik-Terestrial atau dengan luas wilayah

laut lebih dari 50% (setara 47.06% dari jumlah

provinsi di Indonesia). Selain 8 Provinsi anggota

BKSDK, terdapat 8 Provinsi lain yaitu: (1) DKI

Jakarta, (2) Sulawesi Selatan, (3) Provinsi Bali,

(4) Provinsi Sulawesi Barat, (5) Provinsi

Sulawesi Tengah, (6) Provinsi Banten, (7)

Provinsi Jawa Timur, dan (8) Provinsi Papua

Barat.

Kriteria yang lain ialah keberadaan pulau-

pulau yang lebih dari satu dan membentuk

gugusan pulau. Karena hanya jumlah saja yang

bisa diidentifikasi maka keberadaan gugusan

pulau belum dapat diamati dalam penelitian ini.

Page 7: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

224

Volume III No. 2

Gambar 5. Daerah Provinsi menurut Tipologi Proporsi Luas Wilayah

Sumber data: (DJPK Kemenkeu, 2018)

Gambar 6. Daerah Provinsi menurut Jumlah Pulau

Sumber data: (Nomor.net, 2020)

Berdasarkan jumlahnya, tidak semua

Provinsi yang memiliki banyak pulau tergabung

ke dalam BKSDK, contohnya: Papua Barat,

sebagai provinsi dengan jumlah pulau terbanyak

(7364 pulau) dan Sulawesi Tengah menjadi

provinsi dengan jumlah pulau ketiga terbanyak

(2360 pulau).

Bahkan terdapat provinsi dengan

karakteristik terrestrial-akuatik, namun

memiliki banyak pulau contohnya Aceh (524

pulau) yang jumlahnya jauh di atas provinsi

7,20%7,48%8,05%9,15%

18,18%18,43%19,20%

21,77%30,76%

32,99%34,43%

37,16%37,27%

42,54%43,03%43,03%43,80%

47,07%51,22%

53,37%53,52%

54,99%55,37%55,40%

60,01%61,30%62,35%

65,02%70,45%

74,27%76,80%78,10%

89,81%92,55%

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00% 80,00% 90,00%100,00%

Provinsi Jambi

Provinsi Sumatera Selatan

Provinsi Riau

Provinsi Kalimantan Timur

Provinsi Jawa Barat

Provinsi Jawa Tengah

Provinsi Kalimantan Selatan

Provinsi Aceh

Provinsi Gorontalo

Provinsi Papua Barat

Provinsi Banten

Provinsi Sulawesi Tengah

Provinsi Nusa Tenggara Barat

Provinsi Nusa Tenggara Timur

Provinsi Bangka Belitung

Provinsi Maluku

Provinsi DKI Jakarta

2038404660636688111126132

256274280298336372416425469524594637751

8939389681081

12301662

20982360

35507364

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000

Provinsi Bengkulu

Provinsi Jambi

Provinsi DI Yogyakarta

Provinsi Jawa Tengah

Provinsi DKI Jakarta

Provinsi Kalimantan Tengah

Provinsi Lampung

Provinsi Riau

Provinsi Sumatera Barat

Provinsi Kalimantan Timur

Provinsi Aceh

Provinsi Sulawesi Selatan

Provinsi Jawa Timur

Provinsi Nusa Tenggara Timur

Provinsi Papua

Provinsi Maluku

Provinsi Kepulauan Riau

Page 8: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

225

Volume III No. 2

dengan karakteristik akuatik terrestrial (Banten

– 126 pulau, Jakarta – 111 pulau, dan Sulawesi

Barat – 88 pulau). Sehingga apabila dilihat

dengan cara provinsi yang memiliki lebih dari

satu pulau, maka 100% Provinsi di Indonesia

memenuhi kriteria tersebut. (Provinsi Bengkulu

sebagai provinsi dengan jumlah pulau yang

paling sedikit: 20 pulau).

Apabila dilihat dari keberadaan Kab/Kota

bertipologi Akuatik-Terestrial dan memiliki

pulau sebagai Kab/Kota berciri Kepulauan,

maka dari 33 provinsi yang diamati (DKI

Jakarta dikecualikan karena tidak memiliki

daerah otonom di bawahnya) hanya 10 Daerah

yang tidak memiliki Kab/Kota berciri

Kepulauan, yaitu: (1) Provinsi Sumatera Selatan,

(2) Sulawesi Barat, (3) Riau, (4) Kalimantan

Timur, (5) Kalimantan Tengah, (6) Kalimantan

Selatan, (7) Jawa Barat, (8) Jambi, (9) Gorontalo,

(10) DI Yogyakarta. Namun karena Sulawesi

Barat secara provinsi memenuhi tipologi

akuatik-terestrial, sehingga terdapat total 25

Provinsi (setara 73.53%) memenuhi ciri daerah

kepulauan.

Berdasarkan hasil analisis di atas dapat

diperoleh tiga jenis daerah kepulauan yang

ditunjukkan pada tabel 3:

Gambar 7. Proporsi Kab/Kota berdasarkan Tipologi menurut Provinsi

Sumber data: (DJPK Kemenkeu, 2018)

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00% 80,00% 90,00% 100,00%

Provinsi Sumatera Selatan

Provinsi Kalimantan Selatan

Provinsi Kalimantan Tengah

Provinsi DI Yogyakarta

Provinsi Sulawesi Barat

Provinsi Jawa Tengah

Provinsi Lampung

Provinsi Papua Barat

Provinsi Nusa Tenggara Barat

Provinsi Sumatera Utara

Provinsi Sulawesi Selatan

Provinsi Kalimantan Utara

Provinsi Sulawesi Tengah

Provinsi Sulawesi Tenggara

Provinsi Sulawesi Utara

Provinsi Maluku Utara

Provinsi Kepulauan Riau

% Terrestrial % Terrestrial Aquatic % Aquatic Terrestrial

Page 9: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

226

Volume III No. 2

Gambar 8. Peta hasil Pertampalan (overlay) Provinsi Berciri Kepulauan berdasarkan kategori

definisi

Tabel 3. Tipologi Daerah Kepulauan di Indonesia

Daerah Kepulauan

Tipe I Tipe II Tipe III

Kriteria Klaim Anggota

BKSDK

Provinsi dengan Luas

Wilayah Laut lebih

dari 50%

Memiliki Kab/Kota yang

luas wilayah lautnya lebih

dari 50%

Jumlah 8 Provinsi 16 Provinsi 25 Provinsi

Provinsi

Kepulauan Riau,

Kepulauan Bangka

Belitung, NTB, NTT,

Sulawesi Utara,

Sulawesi Tenggara,

Maluku, Maluku

Utara

Tipe I +

Banten, Jawa Timur,

Bali, Sulawesi Barat,

Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tengah,

Papua Barat

Tipe I + Tipe II +

Aceh, Sumatera Utara,

Sumatera Barat,

Bengkulu, Lampung, Jawa

Tengah, Kalimantan

Barat, Kalimantan Utara,

Papua

3.2. Tantangan dan Permasalahan Daerah

Kepulauan

3.2.1. Karakteristik Daerah Kepulauan

Menurut Santoso (2009) daerah

kepulauan memiliki realitas yang berbeda dari

daerah non kepulauan, diantaranya ialah:

1. secara sosiologis provinsi kepulauan

memiliki perbedaan yang spesifik dengan

provinsi lain sehingga model

pembangunannya harus berbeda dengan

model yang umum;

2. manajemen administrasi pemerintahan

haruslah berbasis kepulauan;

3. pelayanan masyarakat harus diarahkan ke

pulau-pulau karena masyarakat provinsi

kepulauan hidup pada pulau-pulau

terisolir;

4. rata-rata masyarakat pada daerah

kepulauan terlambat dalam pembangunan

infrastruktur

5. pulau kecil terluar membutuhkan

pendekatan prosperity dan security secara

bersamaan

Badan Kerja Sama Daerah Kepulauan

(BKSDK) telah menegaskan bahwa karakter

pembeda antara provinsi kepulauan dengan

provinsi lain ialah (Stefanus, 2011):

Page 10: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

227

Volume III No. 2

1. Geografis: Luas wilayah laut yang lebih

luas dari wilayah daratan

2. Demografis: Penduduk wilayah

kepulauan biasanya bersifat relative

sedikit dan persebarannya tidak merata

3. Sosial Budaya: Komunitas-komunitas di

wilayah kepulauan tersegregasi dalam

permukiman menurut teritorial pulau-

pulau, sehingga berimplikasi pada

kuatnya rasa keterikatan terhadap pulau.

Selain itu pola hidup pada pulau-pulau

kecil selaras dengan alam sehingga

cenderung lamban menerima perubahan

4. Ketersediaan SDA: memiliki sumber

daya alam yang relatif beragam

5. Sistem Kehidupan: ditentukan oleh

tingkat isolasi geografis dengan keunikan

habitat (endemis) dan keanekaragaman

hayati (biodiversitas)

6. Sosial Ekonomi: aktivitas ekonomi, jenis

dan derajat dinamika ekonomi umumnya

terbatas dan berskala kecil serta belum

didukung oleh jaringan distribusi dan

pemasaran secara memadai

7. Lingkungan dan Kebencanaan: memiliki

kerentanan tinggi terhadap perubahan

(entrophy), rawan bencana alam

(gelombang permukaan laut, kenaikan

muka air laut, tsunami, dsb.)

8. Biogeografi: potensi keanekaragaman

hayati darat, pesisir dan perairan sekitar

pulau-pulau

9. Pertahanan dan Keamanan: hampir

semua provinsi kepulauan berada pada

wilayah kawasan perbatasan negara

(kecuali Bangka Belitung dan Sulawesi

Tenggara jika dalam konteks BKSDK)

Berdasarkan uraian tantangan, realitas,

dan karakteristik daerah kepulauan di atas,

masalah-masalah pokok yang dihadapi ialah (1)

akses terhadap pelayanan pemerintahan dan

pelayanan dasar yang memadai baik dari

ketersediaan infrastruktur maupun aksesibilitas

infrastruktur; (2) rendahnya kualitas sumber

daya manusia; (3) terbatasnya kemampuan

keuangan daerah dan ketergantungan fiskal

yang sangat tinggi pada pemerintah; yang

menyebabkan (4) disparitas layaan, ekonomi dan

kesejahteraan antarwilayah; ditambah (5)

tingginya ancaman bencana termasuk yang

disebabkan oleh perubahan iklim.

3.2.2. Permasalahan Daerah Kepulauan

Untuk menguji persoalan di atas, akan

dianalisa persoalan yang diduga spesifik

kepulauan dan menjadi latar belakang perlunya

alokasi Dana Khusus Kepulauan (DKK),

menggunakan definisi daerah kepulauan pada

Naskah Akademik RUU Daerah Kepulauan

yaitu Luas Wilayah > 50% Laut, dan memiliki

pulau-pulau, dengan memasukkan seluruh

variabel administrasi untuk mendetailkan

granulasi data (tidak hanya provinsi), yang akan

dibahas secara terpisah menurut permasalahan

Gambar 9. Kerangka Analisis Permasalahan Daerah Kepulauan

Page 11: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

228

Volume III No. 2

pokok sesuai dengan kerangka analisis pada

Gambar 9.

3.2.2.1. Kemahalan Konstruksi Daerah

Kepulauan

Salah satu urgensi Dana Khusus

Kepulauan (DKK) ialah karena kemahalan biaya

konstruksi untuk membangun di daerah

kepulauan. Sehingga menyebabkan

keterbatasaan ketersediaan dan akses terhadap

infrastruktur berkualitas.

Berdasarkan hasil analisis IKK

antarwilayah pulau, daerah kepulauan dan non-

kepulauan. Temuan yang diperoleh ialah IKK

daerah kepulauan relatif lebih tinggi

dibandingkan daerah non kepulauan, kecuali:

1. Daerah kota kepulauan

(berkarakteristik akuatik terestrial) di

wilayah Bali Nusa Tenggara memiliki

IKK lebih rendah dibandingkan kota

pedalaman (berkarakteristik terestrial

akuatik/terestrial)

2. Wilayah Maluku Papua (untuk semua

jenis daerah: Provinsi, Kabupaten, Kota)

IKK daerah kepulauan lebih rendah

dibandingkan IKK daerah pedalaman

Temuan ini menjelaskan bahwa persoalan

utamanya bukan terletak dari Kepulauan atau

Bukan Kepulauan, tetapi tersedia atau tidaknya

akses untuk distribusi logistik dan bahan

konstruksi untuk melaksanakan pembangunan.

Terbukti di daerah Maluku Papua dan Kota-kota

di Bali Nusa Tenggara, justru Daerah

Kepulauan lah yang memiliki rata-rata IKK

yang relatif lebih rendah dibanding Daerah Non

Kepulauan, karena yang Non Kepulauan lebih

terisolir dan sulit diakses dibandingkan Daerah

Kepulauan. Sehingga IKK ini isunya lebih

kepada ketimpangan Timur-Barat dibandingkan

ketimpangan Kepulauan dan Non Kepulauan.

Stimulus Fiskal dalam bentuk Dana

Khusus Kepulauan, bagi Daerah Kepulauan di

Region yang persoalannya lebih banyak di

keterisolasian wilayah darat, akan semakin

memperlebar kesenjangan pembangunan antara

pesisir/kepulauan dan wilayah pedalaman.

Gambar 10. Perbandingan Indeks Kemahalan Konstruksi

Sumber data: (DJPK Kemenkeu, 2018)

11

1,5

2

95

,75

10

3,2

7

95

,8

11

2,2

2

94

,79

96

,53

95

,56

10

0,6

4

96

,5 10

4,3

2

94

,12

99

,12

98

,45

90

,63

99

,81

99

,74

10

6,5

7

10

5,4

8

10

3,5

6

10

3,1

9

10

7,1

5

10

5,2

2

94

,9 10

4,4

9

99

,23

96

,82

92

,76

13

1,7

7

20

4,1

6

12

2,4

4

12

9,6

7

12

7,3

4

22

9,8

2

50

70

90

110

130

150

170

190

210

230

250

DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK

Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov

Sumatera Jawa Bali Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua

Page 12: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

229

Volume III No. 2

3.2.2.2. Sumber Daya Manusia Daerah

Kepulauan

Kualitas Sumber Daya Manusia Daerah

Kepulauan akan dilihat melalui perbandingan

IPM Daerah Kepulauan dan Non Kepulauan.

Berdasarkan data pada gambar 11, Rata-rata

Provinsi dan Kota di Sumatera, Provinsi di Jawa,

Kota di Bali – Nusa Tenggara, Kota dan

Provinsi di Sulawesi, serta Kabupaten dan

Provinsi di Maluku-Papua, yang memiliki ciri

Kepulauan justru memiliki rata-rata IPM lebih

baik dibandingkan Daerah Non Kepulauan, dan

Daerah Kota memiliki rata-rata IPM paling

tinggi di semua region. Sehingga IPM juga

isunya lebih kepada ketimpangan Kota-Desa

dibandingkan ketimpangan Kepulauan dan Non

Kepulauan.

3.2.2.3. Ekonomi dan Kesejahteraan

Daerah Kepulauan

Kinerja Perekonomian Wilayah dan

Kesejahteraan masyarakat daerah kepulauan

dilihat melalui PDRB perkapita. Hasilnya, dapat

dilihat di seluruh wilayah pulau, kota

memiliki PDRB perkapita paling tinggi, dan

kecuali wilayah pulau Maluku Papua daerah

kota yang berciri kepulauan lebih tinggi

dibandingkan kota non kepulauan. Di wilayah

Sumatera, Kab/Kota/Provinsi kepulauan lebih

tinggi dibanding non kepulauan; Kota dan

Provinsi Kepulauan di Jawa lebih tinggi

dibanding non kepulauan; Kabupaten di

Maluku-Papua, Kota dan Provinsi di Sulawesi,

yang berciri kepulauan memiliki PDRB

perkapita lebih tinggi dibanding Non-

Kepulauan.

Berdasarkan hasil pada gambar 12, dapat

dilihat bahwa isu PDRB perkapita bukan

ketimpangan Kepulauan dan Non Kepulauan,

namun lebih pada ketimpangan kota-non kota,

dan Jawa-non Jawa. Bahkan beberapa kota yang

berada di daerah dengan luas laut lebih dari 50%

memiliki PDRB perkapita lebih baik

dibandingkan kota-kota pedalaman kecuali di

Wilayah Maluku dan Papua.

Gambar 11. Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia

Sumber data: (DJPK Kemenkeu, 2018)

65

,65

67

,38

76

,77

74

,39

71

,77

69

,6

65

,69 6

8,3

5

72

,04

76

,7

73

,43

72

,8

61

,52

65

,01

78

,14

77

,82

67

,53

60

,87

67

,26

74

,88 77

,16

69

,57

65

,85

66

,23

76

,85

76

,33

68

,24

66

,29

62

,54

56

,67

74

,33

74

,42

65

,48

58

,05

50

55

60

65

70

75

80

DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK

Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov

Sumatera Jawa Bali Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua

Page 13: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

230

Volume III No. 2

Gambar 12. Perbandingan PDRB perkapita

Sumber data: (DJPK Kemenkeu, 2018)

Gambar 13. Perbandingan PAD perkapita

Sumber data: (DJPK Kemenkeu, 2018)

3.2.2.4. Kemampuan Keuangan Daerah

Kepulauan

Untuk mengukur Keuangan Daerah

Kepulauan akan dilihat dari Pendapatan Asli

Daerah (PAD) perkapita dan PAD per Km2.

Data yang digunakan ialah Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah tahun fiskal

2018 (APBD 2018 – Anggaran).

Dari data rata-rata PAD per Kapita yang

ditunjukkan pada Gambar 13 dapat dilihat

bahwa konsentrasi bangkitan PAD per kapita

masih dipimpin Jawa dan Sumatera. Bahkan di

Sumatera, Daerah Kepulauan baik Kabupaten,

Kota dan Provinsi; Kota dan Provinsi Kepulauan

di Jawa; Kabupaten dan Provinsi di Sulawesi dan

Maluku-Papua, memiliki Bangkitan PAD lebih

tinggi dibandingkan Non Kepulauan.

Rata-rata PAD per-Km2 (berdasarkan

luas wilayah) memang terkonsentrasi di kota-

kota (di semua wilayah). Hal ini dapat dipahami

karena kebijakan mengenai Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah (PDRD) memang bias

perkotaan (urban bias). Sedangkan Daerah

33

14

7

27

34

2

48

36

5

37

88

2

44

88

3

31

81

8

16

10

5

18

93

1

94

18

7

44

48

4

83

65

9

22

38

9

14

78

1

21

13

6

42

70

6

39

53

8

25

08

3

22

34

5

33

69

2

90

48

5

43

20

4

41

12

8

25

43

5

26

69

9

53

04

1

34

14

0

29

40

0

26

22

2

24

21

4

22

66

3

29

52

0

41

04

7

23

93

8

27

18

8

50

10050

20050

30050

40050

50050

60050

70050

80050

90050

100050

DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK

Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov

Sumatera Jawa Bali Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua

Da

lam

Rib

u R

up

iah

57

9.2

79

25

7.4

25

63

1.4

27

55

2.5

13

50

3.6

34

36

2.7

94

23

1.0

23

29

1.1

85

1.4

03

.64

7

84

3.1

43

1.4

97

.48

3

39

1.4

32

29

3.8

51

58

8.0

66

37

7.7

33

72

2.4

74

38

5.4

23

88

.40

2

49

0.1

77

28

0.4

24

62

9.6

39

67

6.3

54

27

6.8

45

26

8.2

59

56

5.5

47

58

9.8

56

30

7.5

57

26

8.9

16

37

7.9

97

34

4.4

72

29

7.7

82

36

1.3

80

25

9.6

04

24

0.3

47

-

200.000

400.000

600.000

800.000

1.000.000

1.200.000

1.400.000

1.600.000

DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK

Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov

Sumatera Jawa Bali Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua

Page 14: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

231

Volume III No. 2

Kabupaten baik kepulauan atau bukan,

kekurangan basis PDRD yang menjadi sumber

utama PAD.

3.2.2.5. Ketangguhan Daerah Kepulauan

Untuk memotret ketangguhan daerah

kepulauan didalami risiko bencana di 98 kota

berdasarkan tipologi luas wilayah: terestrial,

terestrial-akuatik dan akuatik-terestrial.

Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat

pada Gambar 15 dapat dilihat secara historis

tahun 2015-2019 bahwa daerah kota terestrial-

akuatik memiliki risiko bencana yang relatif

lebih tinggi, dan daerah kota berkarakter

terestrial cenderung paling rendah risikonya.

Gambar 14. Perbandingan PAD perkm2

Sumber data: (DJPK Kemenkeu, 2018)

Gambar 15. Scatterplot Risiko IRBI 2015-2019

Sumber data: (BNPB, 2016; BNPB, 2019)

19

.54

8.5

21

25

.00

0.4

86

26

1.0

55

.52

5

1.2

57

.45

4.0

39

10

.06

9.6

82

29

.01

2.7

42

52

.51

7.6

47

29

9.2

92

.73

6

89

5.7

19

.50

6

5.8

46

.82

3.3

47

2.0

26

.63

0.6

23

29

0.4

13

.63

6

26

.36

8.3

80

23

9.8

75

.50

4

2.4

27

.71

8.6

13

2.0

63

.78

7.2

93

80

.20

0.9

46

1.0

90

.38

3

16

.06

4.1

34

97

.87

3.3

47

1.1

33

.53

9.3

36

17

.60

2.7

39

12

.01

2.8

96

26

.43

2.5

72

52

0.4

33

.84

8

72

9.7

74

.47

2

12

.88

1.5

06

15

.53

8.5

44

4.0

50

.09

6

4.7

26

.27

7

77

.01

5.6

23

74

.13

9.0

19

2.0

72

.53

7

2.5

00

.54

8

-

1.000.000.000

2.000.000.000

3.000.000.000

4.000.000.000

5.000.000.000

6.000.000.000

7.000.000.000

DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK DK NK

Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov Kab Kota Prov

Sumatera Jawa Bali Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua

Page 15: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

232

Volume III No. 2

Gambar 16. Perubahan Risiko IRBI 2015-2019

Sumber data: (BNPB, 2016; BNPB, 2019)

Hal ini mengkonfirmasi bahwa daerah

yang memiliki wilayah laut memiliki risiko

bencana lebih tinggi dibandingkan kota

berkarakter daratan (terestrial). Meskipun

untuk konteks kota ditemukan bahwa kota

dengan karakteristik akuatik terestrial ternyata

memiliki rata-rata risiko yang relatif lebih

rendah dibandingkan kota dengan karakteristik

terestrial akuatik.

Berdasarkan upaya pengurangan risiko

bencana bisa dilihat pada Gambar 16 bahwa

dalam kurun waktu 2015-2019 kota-kota

akuatik-terestrial ialah daerah yang paling

progresif dalam mengurangi risiko bencana.

Dari semula rata-rata 152.42 di tahun 2015

menjadi 118.55 di tahun 2019 atau pengurangan

sebesar -6.41%. Fakta ini menunjukan bahwa

tanpa Dana Khusus Kepulauan selama 2015-

2019, kota-kota kepulauan telah bisa berhasil

meningkatkan kapasitas dalam menghadapi

risiko bencana termasuk yang diakibatkan oleh

Perubahan Iklim.

3.3. Konsep Dana Khusus Kepulauan

Secara konsep, menurut Naskah

Akademik RUU tentang Daerah Kepulauan

dijelaskan bahwa Dana Khusus Kepulauan

diatur dalam beberapa bagian:

• Pada Bab I Ketentuan Umum angka 19,

Dana Khusus Kepulauan (DKK)

didefinisikan sebagai:

“Dana Khusus Kepulauan yang

selanjutnya disingkat DKK adalah dana

yang bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara yang

dialokasikan untuk mendukung

pembangunan Daerah Kepulauan.

(Naskah Akademik RUU tentang Daerah

Kepulauan, 2019)”

• Pada Pasal 30 disebutkan lebih rinci yaitu:

“(1) Pemerintah mengalokasikan DKK

paling sedikit 5% (lima persen) dari dan di

luar pagu dana transfer umum; (2) DKK

diprioritaskan untuk membantu mendanai

pengembangan sektor ekonomi kelautan

prioritas dan pembangunan sarana dan

prasarana laut, darat, dan udara sesuai

karakteristik Daerah Kepulauan; (3) DKK

diperuntukan bagi dan dikelola Pemda

Kepulauan yang pengalokasian dan

penyalurannya melalui mekanisme

transfer ke daerah (Naskah Akademik

RUU tentang Daerah Kepulauan, 2019)”

Dalam draf Rancangan Undang Undang

(RUU) Republik Indonesia tentang Percepatan

Pembangunan Daerah Kepulauan tidak

11

9,8

9

16

2,9

1

15

2,4

2

10

7,4

7

13

2,4

3

11

8,5

5

-3,01%

-5,44%

-6,41%-7,00%

-6,00%

-5,00%

-4,00%

-3,00%

-2,00%

-1,00%

0,00%

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

Terrestrial Terrestrial Aquatic Aquatic TerrestrialAverage of IRBI15 Average of IRBI19 Average of %

Page 16: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

233

Volume III No. 2

ditemukan terminologi khusus mengenai Dana

Khusus Kepulauan (DKK). Dana semacam ini

disinggung pada Pasal 29 dan Pasal 32:

• Pasal 29 disebutkan bahwa penerimaan

daerah kepulauan dalam rangka

percepatan pembangunan sebagai salah

satu sumber-sumber penerimaan daerah

kepulauan:

“Sumber-sumber penerimaan Daerah

Kepulauan meliputi: a. pendapatan asli

daerah kepulauan; b. dana perimbangan; c.

penerimaan daerah kepulauan dalam

rangka percepatan pembangunan; d.

pinjaman daerah; dan e. lain-lain

penerimaan yang sah. (Rancangan

Undang Undang tentang Percepatan

Pembangunan Daerah Kepulauan, 2020)”

• Pasal 32 disebutkan lebih rinci sebagai

berikut:

“(1) Penerimaan Daerah Kepulauan untuk

percepatan pembangunan diperoleh dari

penerimaan khusus yang besarnya setara

dengan 1% (satu persen) dari plafon dana

alokasi umum yang diutamakan untuk

pembiayaan pendiidkan, kesehatan dan

pembangunan infrastruktur; (2)

Penerimaan Daerah Kepulauan untuk

percepatan pembangunan berlaku paling

lama 25 tahun; (3) Pemerintah melakukan

evaluasi setiap tahun; (4) Ketentuan lebih

lanjut diatur PP. (Rancangan Undang

Undang tentang Percepatan

Pembangunan Daerah Kepulauan, 2020)”

Sehingga terdapat dua konsep Dana

Khusus Kepulauan yang diajukan dalam Naskah

Akademik RUU Daerah Kepulauan dan Draf

RUU Percepatan Pembangunan Daerah

Kepulauan dengan penjabaran sebagai berikut:

Tabel 4. Perbedaan Konsep Dana Khusus Kepulauan

Kriteria

Pembeda

Naskah Akademik

RUU Daerah Kepulauan

Draf RUU Percepatan Pembangunan

Daerah Kepulauan

Istilah Dana Khusus Kepulauan (DKK) Penerimaan Daerah Kepulauan untuk

Percepatan Pembangunan

Besaran 5% DTU 1% DAU

Masa Berlaku Tidak diatur Paling lama 25 tahun

Peruntukan/

Penggunaan

Pengembangan sektor ekonomi

kelautan prioritas dan pembangunan

sarana dan prasarana laut, darat, dan

udara sesuai karakteristik Daerah

Kepulauan

Diutamakan untuk pembiayaan

pendidikan, kesehatan dan

pembangunan infrastruktur

Mekanisme

Alokasi Transfer ke Daerah Tidak diatur

Pemantauan

Evaluasi dan

Pengaturan

lebih lanjut

Tidak diatur

Dilakukan pemantauan dan evaluasi

oleh pemerintah setiap tahun, diatur

lebih lajut di

Peraturan Pemerintah

Page 17: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

234

Volume III No. 2

3.4. Evaluasi Ex Ante terkait Dampak

Kebijakan Dana Khusus Kepulauan

terhadap Ketimpangan Alokasi

Transfer ke Daerah

Karena keterbatasan informasi mengenai

mekanisme alokasi penerimaan daerah

kepulauan untuk percepatan pembangunan,

maka yang akan dievaluasi ialah Dana Khusus

Kepulauan (DKK) menurut versi Naskah

Akademik RUU Daerah Kepulauan, melalui

mekanisme alokasi Transfer ke Daerah.

Gambar 17. Ilustrasi kedudukan DKK dalam

struktur DTK

Memperhatikan ketentuan peruntukan

atau penggunaan DKK yaitu untuk

Pengembangan sektor ekonomi kelautan

prioritas dan pembangunan sarana dan

prasarana laut, darat, dan udara sesuai

karakteristik Daerah Kepulauan, maka dalam hal

ini diasumsikan bahwa DKK dialokasikan

sebagai dana on-top sebesar 5% DTU Nasional

(terdiri atas DAU dan DBH) di dalam kategori

Dana Transfer Khusus (menjadi tambahan

alokasi bagi DAK Fisik).

Dengan menggunakan data alokasi

Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD)

tahun anggaran 2018 diperoleh gambaran

skenario dampak kebijakan Dana Khusus

Kepulauan yang ditunjukkan pada Gambar 18:

Skenario I: tanpa intervensi DKK,

ketimpangan alokasi maksimal dan minimal

pada dana Transfer ke Daerah kategori DAK

Fisik sebesar 4.37 T. Skenario II: apabila DKK

diberikan kepada 8 Provinsi BKSDK secara

proporsional menurut proporsi wilayah laut,

ketimpangan alokasi meningkat sebesar 25.12%

menjadi 5.14 T. Skenario III: apabila DKK

diberikan pada seluruh daerah provinsi yang

berciri kepulauan menurut proporsi wilayah

laut, maka ketimpangan alokasi akan meningkat

40.65% hingga 6.18 T.

Gambar 18. Perubahan skenario ketimpangan

alokasi antardaerah

IV. Temuan dan Rekomendasi

4.1. Temuan

Berdasarkan definisi, terjadi ekslusi

kabupaten/kota yang memenuhi parameter

daerah kepulauan karena adanya batasan

kewenangan atas urusan pemerintahan pilihan

bidang kelautan yang merupakan urusan

konkuren kewenangan pemerintahan provinsi.

Hal ini perlu menjadi perhatian karena

berpotensi konflik terutama bagi daerah

kabupaten/kota yang memerlukan intervensi

khusus sebagai daerah kepulauan tetapi

terhambat oleh batasan definisi pada regulasi

yang kurang mempertimbangkan realita

kebutuhan daerah kepulauan, sehingga upaya

percepatan pembangunan daerah kepulauan

menjadi kurang komprehensif dan holistik.

Beberapa parameter seperti kesatuan

sosio-ekonomi-geografis serta kesatuan

gugusan pulau sulit untuk diukur dan

dibuktikan sehingga berpotensi menimbulkan

kekacauan dalam proses identifikasi dan

klasifikasi apabila tidak dilakukan melalui

metode ilmiah yang dapat

dipertanggungjawabkan. Temuan lain ialah

kelonggaran atau keketatan kriteria definisi

akan mempengaruhi intervensi kebijakan yang

0%,

25.12%,

40.65%,

4,30

4,80

5,30

5,80

6,30

No Action

Scenario

DKK + 8 Region DKK + All

Eligible DK

Page 18: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

235

Volume III No. 2

diterapkan termasuk konsekuensi beban

keuangan negara apabila tetap disertai dengan

Dana Khusus Kepulauan atau Penerimaan

Daerah Kepulauan dalam rangka Percepatan

Pembangunan.

Berdasarkan hasil analisis ditemukan

bahwa ketimpangan pembangunan berdasarkan

variable indikator yang diamati antara daerah

kepulauan dan non kepulauan tidak terlalu

nyata, terdapat beberapa daerah kepulauan

dengan karakter kota atau di suatu wilayah

pulau yang memiliki indikator yang lebih baik

dibandingkan daerah non kepulauan/pedalaman

ada juga yang sebaliknya. Adapun ketimpangan

pembangunan antara Jawa dan non Jawa, Kota

dan bukan Kota, serta Indonesia Timur dan

Indonesia Barat lebih jelas.

Selain itu ditemukan bahwa Dana Khusus

Kepulauan akan memperlebar ketimpangan

alokasi TKDD antardaerah. Sehingga

penambahan DKK dalam struktur transfer ke

daerah dan dana desa justru akan memicu

permohonan dana khusus lainnya dengan

berbagai argumentasi yang relevan untuk

mengatasi tantangan pembangunan di daerah

masing-masing, dana khusus daerah pedalaman

atau dana adat, dana dan lain sebagainya untuk

mengakomodasi kebutuhan yang beragam di

pemerintahan daerah.

4.2. Rekomendasi

Jika Kebijakan Dana Khusus Kepulauan

atau Penerimaan Daerah Kepulauan untuk

Percepatan Pembangunan tetap dilanjutkan

dalam RUU yang sedang disusun, maka perlu

ada perbaikan kriteria alokasi dan perumusan

definisi yang tepat untuk menghindari dampak

negatif dari pemberian alokasi tambahan ini

serta memastikan tercapainya tujuan yang

diharapkan.

Alternatif lain dari Dana Khusus

Kepulauan/Penerimaan Daerah Kepulauan

untuk Percepatan Pembangunan salah satunya

dapat melalui konvergensi DAK Tematik bagi

wilayah kepulauan, mengingat sistem DAK

relatif sudah berjalan dengan baik sehingga

tidak akan menciptakan disrupsi yang terlalu

besar bagi hubungan keuangan pusat-daerah.

Pola lain selain dari Transfer ke Daerah perlu

dioptimalkan terutama sumber pembiayaan

yang berkaitan dengan laut, pesisir, pulau-pulau

dan kepulauan (marine based financing) seperti

instrument blue loan, blue bonds termasuk

pendanaan kerja sama dalam pola transfer

antardaerah

Gambar 19. Ilustrasi konvergensi DAK

Tematik Kepulauan

Untuk mempercepat pembangunan

daerah kepulauan, semestinya Daerah Provinsi

tidak hanya yang 8, melainkan seluruh Daerah

Provinsi yang memiliki pulau-pulau dan gugus

kepulauan, mulai memikirkan bagaimana

alternatif strategi pembangunan daerah

kepulauan kedepannya. Dengan adanya

ancaman Perubahan Iklim, kenaikan muka air

laut, potensi hilangnya pulau-pulau, atau

rusaknya biodiversitas karena pengasaman

(asidifikasi), maka pola pembangunan yang

dapat membantu terpenuhinya fondasi sosial

(standar pelayanan minimum) dan menjaga

supaya laju pembangunan tidak menembus

batas-batas ekologis yang bisa membahayakan

eksistensi/keberlangsungan pulau-pulau yang

ada penting untuk dipertimbangkan.

Melalui upaya identifikasi potensi dan

perancangan program yang baik, semestinya

berbagai sumber-sumber pembiayaan

Page 19: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

236

Volume III No. 2

pembangunan dapat dimobilisasi dalam rangka

menyediakan pelayanan dasar yang memadai

bagi masyarakat kepulauan dan dalam waktu

yang bersamaan, mendorong geliat kegiatan

perekonomian masyarakat di daerah kepulauan.

Pendelegasian kewenangan pelayanan ekonomi

skala kecil sektor kelautan dari Provinsi kepada

Kabupaten Kota, yang tidak memicu timbulnya

eksternalitas negatif yang ekstrateritorial (lintas

wilayah) juga perlu didorong, supaya

memudahkan pelaku usaha dalam menggerakan

perekonomian masyarakat khususnya yang

terkait dengan sektor kelautan dan perikanan.

Pemerintah Daerah juga perlu mendobrak

proses business as usual menjadi sebuah inovasi,

yang ditempuh melalui proses kerjasama baik

antar daerah kepulauan, maupun dengan daerah

non kepulauan, atau dengan mitra

pembangunan lainnya.

Daftar Pustaka

BNPB. (2016). Risiko Bencana Indonesia. Jakarta:

Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

BNPB. (2019). Indeks Risiko Bencana Indonesia

2015-2019. Jakarta, Indonesia. Retrieved

from https://inarisk.bnpb.go.id/irbi

DJPK Kemenkeu. (2018). Portal Data DJPK.

Retrieved from Kementerian Keuangan:

http://www.djpk.kemenkeu.go.id/datada

sar/dashboard

DPD RI. (2019, April 25). Naskah Akademik

RUU tentang Daerah Kepulauan. Jakarta,

DKI Jakarta, Indonesia. Retrieved from

http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen

/RJ1-20190425-125010-5297.pdf

DPR RI. (2020, July 24). Program Legislasi

Nasional - RUU tentang Daerah Kepulauan.

Retrieved from Dewan Perwakilan

Rakyat Indonesia:

http://www.dpr.go.id/uu/detail/id/417

DPR RI. (2020, July 24). Rancangan Undang

Undang tentang Percepatan

Pembangunan Daerah Kepulauan.

Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia.

Retrieved from

http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen

/pembahasan_RUU_TENTANG_PERC

EPATAN_PEMBANGUNAN___DAER

AH_KEPULAUAN.pdf

Ismail. (2018, October 11). 80 Kepala Daerah di

Indonesia Bahas Percepatan RUU

Kepulauan. Tanjung Pinang, Kepulauan

Riau, Indonesia. Retrieved July 24, 2020,

from

https://batamtoday.com/tanjungpinang

/read/103898/80-Kepala-Daerah-di-

Indonesia-Bahas-Percepatan-RUU-

Kepulauan

Kelen, Y. A. (2017, February 24). Delapan

Provinsi Kepulauan Sepakat Bentuk

BKSDK. Retrieved July 24, 2020, from

https://www.beritasatu.com/nasional/4

16125-delapan-provinsi-kepulauan-

sepakat-bentuk-bksdk

Kumaat, J. C. (2011). Morfologi Gugusan Pulau

Kecil (Archipelagic Islands) di Kabupaten

Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.

Manado: Universitas Negeri Manado.

Nomor.net. (2020). Daftar Nama Pulau di

Seluruh Indonesia. Retrieved from

nomor.net:

https://www.nomor.net/_kodepos.php?_

i=pulau-kodepos&sby=000000

Santoso, M. A. (2009, Desember 4). Otonomi

Daerah di Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Jurnal Ilmu Administrasi, 6(4),

391.

Stefanus, K. Y. (2011). Daerah Kepulauan

sebagai Satuan Pemerintahan Daerah

yang Bersifat Khusus. Jurnal Dinamika

Hukum, 11(1), 99-111.

Undang Undang No 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. (2014). Jakarta.

Retrieved from

Page 20: Evaluasi Ex Ante Kebijakan Dana Khusus Kepulauan (DKK

237

Volume III No. 2

https://pih.kemlu.go.id/files/UU023201

4.pdf

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945. (2002). Jakarta. Retrieved from

http://www.dpr.go.id/jdih/uu1945

Wollmann, H. (2007). Policy Evaluation and

Evaluation Research. In F. Fischer, G.

Miller, & M. Sidney (Eds.), Handbook of

Public Policy Analysis: Theory, Politics and

Methods. New York: CRC Press Taylor &

Francis Group.