emfisema
DESCRIPTION
Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada paru dengan adanya kondisi klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal yang disertai dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika klien mengalami gejala emfisema, fungsi paru sudah sering mengalami kerusakan permanen (irreversible) yang disertai dengan bronchitis obstruksi kronis. Kondisi ini merupakan penyebab utama kecacatan.TRANSCRIPT
EMFISEMA
Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada paru dengan adanya kondisi
klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal yang disertai
dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami
kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika klien mengalami
gejala emfisema, fungsi paru sudah sering mengalami kerusakan permanen (irreversible)
yang disertai dengan bronchitis obstruksi kronis. Kondisi ini merupakan penyebab utama
kecacatan.
A. PENGERTIAN
Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus
menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus Irianto.2004.216)
Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-ruang
udara distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya.(Robbins.1994.253)
Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas
permukaan alveoli.(Corwin.2000.435)
B. KLASIFIKASI
Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan
yang terjadi dalam paru-paru :
1. Panlobular (panacinar), yaitu terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar,
dan alveoli. Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan
sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan
ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan.
2. Sentrilobular (sentroacinar), yaitu perubahan patologi terutama terjadi pada pusat
lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Seringkali terjadi kekacauan rasio
perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam
darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah
pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas
17
Patologi
Pada emfisema paru, terdapat pelebaran secara abnormal saluran udara sebelah distal
bronchus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus.
Pembagian Klinis
Paracicatricial Terdapat pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding
alveolus di tepi suatu lesi fibrotic paru
Lobular Pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding alveolus di
asinus/lobules sekunder
Pembagian Menurut Lokasi Tempat Proses
Sentrolobular Kerusakan terjadi di daerah sentral asinus. Daerah distalnya
tetap normal
Panlobular Kerusakan terjadi di seluruh asinus
Tak dapat ditentukan Kerusakan terdapat di seluruh asinus, tetapi tidak dapat
ditentukan dari mana mulainya
C. PENYEBAB
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah
gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume
paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang
seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan
enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini.
D. GEJALA
Gejala Emfisema ringan semakin bertambah buruk selama penyakit terus
berlangsung. Gejala-gejala emfisema antara lain:
Sesak napas
Mengi
Sesak dada
Mengurangi kapasitas untuk kegiatan fisik
Batuk kronis
Kehilangan nafsu makan dan berat
Kelelahan
18
E. ETIOLOGI
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang erat antara
merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Norwak, 2004)
2. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak pada emfisema kecuali
pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan
enzim proteulitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan,
termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi
alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. Orang
yang sering menderita emfisema paru adalah penderita yang memiliki gen S atau Z.
emfisema paru akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.
3. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun
menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan atas pada seseorang penderita bronchitis
kronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan
kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali
dengan infeksi skunder oleh bakteri.
4. Hipotesis Elastase – Antielastase
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase
agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya akan
menimbulkan kerusakan pada jaringan elastis paru. Struktur paru akan berubah dan
timbulah emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas, sel-sel PMN, dan
makrofag alveolar (pulmonary alveolar macropage—PAM). Rangsangan pada paru antara
lain oleh asap rokok dan infeksi protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin
menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara
elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru dan kemudian
emfisema.
E. MANIFESTASI KLINIS
Dispnea
Pada inspeksi: bentuk dada ‘burrel chest’
19
Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot
aksesori pernapasan (sternokleidomastoid)
Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru.
Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan perpanjangan
ekspirasi
Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum
Distensi vena leher selama ekspirasi.
F. PATOFISIOLOGI
Adanya inflamasi, pembengkakan bronchi, produksi lender yang berlebihan,
kehilangan recoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan redistribusi
udara ke alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien dengan emfisema.
Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke
luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada) dengan tekanan yang
menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru). Keseimbangan timbul antara kedua tekanan
tersebut, volume paru yang terbentuk disebut sebagai fuctional residual capacity (FRC) yang
normal. Bila elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan baru dan menghasilkan FRC
yang lebih besar. Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal
sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang,
sehingga saluran bagian bawah paru akan tertutup.
Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih cepat dan
lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih
cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup dan
dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang.
Namun, semua itu bergantung pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan
ventilasi kurang / tidak ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebaran udara pernafasan
maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada
keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama).
Pada tahap akhir penyakit, system eliminasi karbon dioksida mengalami kerusakan. Hal
ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam darah arteri (hiperkapnea) dan
menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan,
maka jaringan-jaringan kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan
ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area
20
pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu
komplikasi emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena
jugularis, atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung (Nowak, 2004).
Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu melakukan batuk
efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis menetap dalam paru yang
mengalami emfisema, ini memperberat masalah. Individu dengan emfisema akan mengalami
obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatkan tahanan jalan nafas aliran masuk dan aliran
keluar udara dari paru. Jika demikian, paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan keluar paru dibutuhkan tekanan negative selama
inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus dicapai dan dipertahankan
selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan kerja keras otot-otot pernafasan yang
berdampak pada kekakuan dada dan iga-iga terfikasi pada persendiannya dengan
bermanifestasi pada perubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP:Tranversal mengalami
peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitas paru karena adanya
kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana tulang belakang bagian
atas secara abnormal bentuknya membulat atau cembung. Beberapa klien membungkuk ke
depan untuk dapat bernafas, menggunakan otot-otot bantu nafas. Retraksi fosa supraklavikula
yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan.
Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga ikut berkontraksi saat inspirasi.
Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital paru. Ekshalasi normal menjadi lebih sulit
dan akhirnya tidak memingkinkan terjadi. Kapasitas vital total (VC) mungkin normal, tetapi
rasio dan volume ekspirasi kuat dalam 1 detik dengan kapasitas vital (FEV1:VC) rendah. Hal
ini terjadi karena elastisitas alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan nafas yang
menyempit meningkatkan upaya pernafasan (Smeltzer dan Bare, 2002).
G. KOMPLIKASI
Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
Daya tahan tubuh kurang sempurna
Tingkat kerusakan paru semakin parah
Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
Pneumonia
Atelaktasis
21
Pneumothoraks
Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma;
peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema);
peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan
apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, mis., bronkodilator.
TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan
emfisema
Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema
Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma
FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada
bronkitis dan asma
GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis
h.Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps
bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada
bronchitis
JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil
(asma)
Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa
emfisema primer
Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan
sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi
EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial
(bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis
vertikal QRS (emfisema)
EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi
keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.
22
I. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
Jika penderita adalah perokok aktif, berhenti merokok dapat membantu mencegah
penderita dari penyakit ini. Jika emfisema sudah menjalar, berhenti merokok mencegah
perkembangan penyakit. Pengobatan didasarkan pada gejala yang terjadi, apakah gejalanya
ringan, sedang atau berat. Perlakuan termasuk menggunakan inhaler, pemberian oksigen,
obat-obatan dan kadang-kadang operasi untuk meredakan gejala dan mencegah komplikasi.
23