ekstraksi karagenan_melita mulyani_12.70.0080_a1_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Pada praktikum Teknologi Hasil Laut, karagenan yang diekstrak berasal dari Eucheuma cottonii. Karagenan ini dapat dimanfaatkan sebagai pengemulsi dan penstabil dalam industri pangan.TRANSCRIPT
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan ekstraksi karagenan dapat dilihat pada Tabel 1. dan Grafik 1.
Tabel 1. Ekstraksi Karagenan
Kelompok Berat Awal (gram) Berat Kering (gram) % Rendemen (%)A1 40 3 7,5A2 40 3 7,5A3 40 2 5A4 40 2 5A5 40 4 10A6 40 3 7,5
Berdasarkan Tabel 1. di atas, berat awal sampel semua kelompok (A1-A6) sama, yaitu
sebesar 40 gram. Namun berat kering dari sampel masing-masing kelompok berbeda,
sehingga % rendemen yang didapat pun juga berbeda. Berat kering tertinggi diperoleh
pada kelompok A5 dengan % rendemen sebesar 10%, sedangkan berat kering terendah
didapatkan oleh kelompok A3 dan A4 dengan % rendemen sebesar 5%. Menurut hasil
tersebut, berat kering berbanding lurus dengan % rendemen, dimana semakin besar
berat kering yang diperoleh, maka % rendemen yang didapat semakin besar pula.
Grafik 1. Hasil Pengamatan Ekstraksi Karagenan
A1 A2 A3 A4 A5 A60
2
4
6
8
10
12
3 3 2 2 4 3
7.57.5
5 5
10
7.5
Karagenan
Berat Kering (gram)% Rendemen (%)
Kelompok
Berdasarkan Grafik 1. di atas, berat kering sampel dan % rendemen masing-masing
kelompok berbeda, namun menunjukkan bahwa berat kering berbanding lurus dengan
% rendemen, dimana semakin besar berat kering yang diperoleh, maka % rendemen
yang didapat semakin besar pula. Berat kering tertinggi diperoleh pada kelompok A5,
1
2
yaitu sebesar 4 gram dengan % rendemen sebesar 10%, sedangkan berat kering terendah
didapatkan oleh kelompok A3 dan A4, yaiti sebesar 2 gram dengan % rendemen sebesar
5%.
2. PEMBAHASAN
Menurut Rahayu, et al. (2004), rumput laut dikenal sebagai alga, dimana rumput laut
atau alga adalah tumbuhan dari divisi Thallophyta. Divisi Thallophyta ini memiliki 4
kelas, yaitu Rhodophyceae (alga merah), Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae
(alga coklat), dan Cyanophyceae (alga biru). Dari keempat kelas tersebut, hanya
Rhodophyceae dan Phaeophyceae yang telah diusahakan dalam peningkatan
penggunaannya. Sumiarsih & Indriani (1995) menambahkan bahwa spesies yang
termasuk golongan Rhodophyceae adalah Gracillaria sp., Gellidium sp., Gellidiela sp.,
dan Gellidiopsis sp. yang merupakan penghasil agar, serta Eucheuma sp. yang
merupakan penghasil karagenan, sedangkan jenis rumput laut yang tergolong dalam
Phaeophyceae adalah Turbinaria sp., Sargasum sp. sebagai penghasil alginat. Hal
tersebut didukung pula oleh pernyataan Sediadi & Budihardjo (2000) yang menyatakan
bahwa secara garis besar rumput laut dibedakan sebagai penghasil agar, karagenan, dan
alginat, dimana rumput laut penghasil karagenan dan penghasil agar termasuk kelas
alga merah (Rhodophyta) dan penghasil alginat dari kelas alga coklat (Phaeophyta).
Rahayu, et al. (2004) juga menambahkan bahwa kelas Rhodophyceae jenis Eucheuma
sp., Hypnea sp., Chondrus sp., dan Gigartina sp. merupakan rumput laut penghasil
karagenan.
Menurut Poncomulyo, et al. (2006), terdapat 3 spesies Eucheuma sp. yang dapat
digunakan sebagai bahan baku pembuatan karagenan, yaitu Eucheuma spinosum,
Eucheuma cottonii, dan Eucheuma striatum. Ketiga jenis rumput laut ini lebih banyak
dikenal sebagai carragenophyte. Hal ini sesuai dengan spesies rumput laut yang
digunakan pada praktikum kali ini, yaitu spesies Eucheuma cottonii. Anggadiredja, et
al. (2006) mengungkapkan bahwa ciri fisik dari Eucheuma cottoni, diantaranya adalah
memiliki talus berbentuk silindris, permukaan licin, berbentuk cartilageneus
(menyerupai tulang rawan), dan berwarna hijau terang, hijau olive, hingga coklat
kemerahan. Menurut Poncomulyo, et al. (2006), standar mutu dari rumput laut,
khususnya spesies Eucheuma diantaranya ialah memiliki kandungan kadar air maksimal
15%, kadar benda asing tidak lebih dari 5%, dan berbau spesifik. Aslan (1998)
menambahkan bahwa Eucheuma cottonii ini hanya menghasilkan karagenan tipe kappa
3
4
yang memiliki sifat khas yaitu dapat membentuk gel yang paling kuat dengan kehadiran
ion kalium. Tipe gel yang dibentuk kuat, namun rapuh terhadap sineresis, serta memiliki
sifat sinergis terhadap beberapa gum. Struktur kappa karaginan ini memungkinkan
terjadinya pembentukan double helix yang dapat mengikat molekul rantai pada bidang
tiga dimensi. Rahayu, et al. (2004) menjelaskan bahwa pengolahan rumput laut murni
dari jenis Eucheuma cottonii menjadi karagenan dapat dilakukan secara sederhana, yaitu
dengan cara merebus rumput laut ke dalam larutan alkali, namun di Indonesia
pengolahan karagenan hanya dapat dilaksanakan hingga mencapai kualitas setengah
murni (semi refined carrageenan).
Angka & Suhartono (2000) menerangkan bahwa karagenan merupakan polisakarida
linier yang tersusun atas unit-unit galaktosa dan 3.6-anhidrogalaktosa dengan ikatan
glikosidik α-1,3 dan β-1,4 secara bergantian yang memiliki berat molekul cukup tinggi,
yaitu 100000-150000. Terdapat beberapa jenis karagenan, yaitu kappa, lambda, iota,
nu, dan theta. Karagenan ini banyak digunakan dalam industri makanan, untuk
membuat gel dalam selai, sirup, saus, makanan bayi, produk susu, daging, ikan, bumbu
dan sebagainya. Senyawa ini juga digunakan untuk mengentalkan bahan bukan pangan
seperti odol, kosmetik, dan shampo. Dari segi kelarutannya, karagenan larut dalam air
panas, dapat bercampur dengan pelarut polar (alkohol, propilen glikol, dan gliserin),
namun tidak dapat bercampur dengan pelarut organik (non polar). Karagenan yang larut
ini bersifat kental; dimana viskositas yang dihasilkan dipengaruhi oleh konsentrasi,
suhu, dan jenis karagenan. Poncomulyo, et al. (2006) menambahkan bahwa masing-
masing jenis karagenan memiliki sifat karagenan yang berbeda. Di dalam air dingin,
lambda karagenan akan larut dalam seluruh garam, sedangkan kappa dan iota
karagenan hanya akan larut dalam garam natrium; sedangkan dalam susu dingin, justru
kappa dan iota tidak larut, sedangkan lambda karagenan akan membentuk dispersi.
Dalam pembentukan gel, kappa karagenan dapat membentuk gel dengan ion kalium,
namun lambda karagenan tidak dapat membentuk gel. Salasia, et al. (2002)
menambahkan bahwa karagenan memiliki peran dalam kesehatan manusia jika
dikonsumsi. Karagenan ini mempunyai kemampuan untuk menurunkan kadar kolestrol
darah dan mencegah peningkatan atherosclerone lesions. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa karagenan mempunyai daya hipokolesterolemik karena adanya peran
5
serat dalam karagenan. Dosis efektif karaginan yang dapat dikonsumsi adalah 12,5 mg/
kg berat badan.
Hidrolisis iota karagenan akan dibahas oleh Henares, et al. (2010) dalam jurnal yang
berjudul “Iota-carrageenan hydrolysis by Pseudoalteromonas carrageenovora
IFO12985”. Pseudoalteromonas carrageenovora merupakan salah satu spesies
penghasil karagenan, dimana pada penelitian sebelumnya dijelaskan bahwa hanya kappa
karagenan dan lambda karagenan saja yang dapat diisolasi, sedangkan tidak dihasilkan
iota karagenan karena iota karagenan hanya diisolasi dari Pseudoalteromonas fortis dan
Zobellia galactanivorans. Namun penelitian jurnal ini justru membuktikan bahwa iota
karagenan juga dapat dihidrolisis dari Pseudoalteromonas carrageenovora pada
kondisi kultur yang tepat. Penelitian yang dilakukan menggunakan SDS-PAGE.
Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Mustapha, et al. (2011) dengan judul “Production
of Semi-Refined Carrageenan from Eucheuma cottonii”, karagenan merupakan
hidrokoloid yang digunakan sebagai dasar selain pati dan gelatin, dimana karagenan
dihasilkan dari bahan matriks dalam berbagai jenis rumput laut merah (Rhodophyta)
yang dapat diaplikasikan sebagai bahan aditif makanan, penstabil, dan pengental.
Spesies utama yang memproduksi karagenan diantaranya adalah Chondrus crispus,
Gigartina stellata, dan Eucheuma cottonii, serta Eucheuma spinosum. Jenis karagenan
yang dihasilkan juga berbeda-beda, dimana terdapat 3 jenis karagenan, yaitu kappa
karagenan, iota karagenan, dan lambda karagenan yang memiliki sifat berbeda. Kappa
karagenan bersifat kuat dan dapat membentuk gel kaku bila dikombinasikan dengan ion
kalium; iota karagenan bersifat lemah dan dapat membentuk gel elastik; sedangkan
lambda karagenan tidak dapat membentuk gel dan hanya berupa larutan kental.
2.1. Cara Kerja / Metode dan Larutan yang Digunakan
Yasita & Rachmawati (2006) mengungkapkan bahwa proses esktraksi dilakukan untuk
memisahkan dua komponen yang berbeda berdasarkan pada perbedaan kelarutan,
dimana diperlukan pelarut yang berperan sebagai tenaga pemisah. Langkah awal yang
dilakukan dalam praktikum ekstraksi karagenan ini adalah dengan menimbang rumput
laut (Eucheuma cottonii) basah yang telah dipotong kecil-kecil dan diblender sebanyak
6
40 gram. Menurut Arpah (1993), tujuan dari proses penghancuran dengan diblender
adalah untuk memperluas permukaan sampel, sehingga proses selanjutnya dapat
berlangsung cepat dan sempurna, dimana proses yang dimaksud adalah proses
penyerapan pelarut atau bahan lain yang ditambahkan. Setelah itu, rumput laut tersebut
direbus / diekstraksi dalam air sebanyak 500 ml selama 1 jam pada suhu 80-90oC
dengan sesekali dilakukan pengadukan. Fungsi penambahan air adalah untuk
melarutkan atau mengekstrak karagenan dari rumput laut. Penggunaan air panas ini
sesuai dengan pernyataan Angka & Suhartono (2000) bahwa semua karagenan larut
dalam air panas, dapat bercampur dengan pelarut polar, seperti alkohol, propilen glikol,
dan gliserin; namun tidak dapat bercampur dengan pelarut organik (non polar).
Pengaturan suhu yang dilakukan pada praktikum ini juga sesuai dengan teori Aslan
(1998) yang menyatakan bahwa suhu optimum yang digunakan dalam ekstraksi
karagenan adalah pada suhu 90oC, sedangkan menurut Reynold & Richards (1996),
pengadukan dilakukan agar diperoleh hasil campuran yang homogen, sehingga kontak
antara air dan karagenan yang terkandung dalam rumput laut dapat berjalan sempurna.
Imeson (2010) menambahkan bahwa keberhasilan proses ekstraksi karagenan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah jenis dari karagenan itu sendiri,
suhu, pH, dan adanya senyawa-senyawa lain yang larut.
Selanjutnya, hasil perebusan didiamkan hingga mencapai suhu 40oC. Kemudian
dilakukan pengaturan pH hingga mencapai pH 8 dengan menggunakan HCl 10% dan
NaOH 10%, dimana pH diukur dengan pH-meter. Proses penurunan suhu sebelum
dilakukan pengukuran pH sangat perlu dilakukan karena menurut Alfonso & Edward
(1992), terdapat larangan penggunaan pH-meter pada beberapa larutan, diantaranya
larutan yang panas (melebihi suhu ruang) dan larutan es / air dingin karena dapat
mengakibatkan pengukuran yang tidak presisi, sehingga suhu menjadi salah satu faktor
penting dalam pengukuran pH. Penambahan larutan HCl 10% pada proses pengaturan
pH adalah memberikan kondisi asam jika pH sampel lebih dari 8, sedangkan
penambahan larutan NaOH 10% dilakukan jika pH sampel kurang dari 8, sehingga
diciptakan suasana lebih basa. Prasetyowati, et al. (2008) menyatakan bahwa
pengaturan pH hingga diperoleh pH 8 perlu dilakukan karena karagenan bersifat stabil
pada pH tersebut. Hal ini didukung pula oleh teori Imeson (2010) yang mengungkapkan
7
bahwa stabilitas karagenan dalam larutan terjadi pada maksimal pH 9, sedangkan pada
pH di bawah 3,5, karagenan akan mengalami kerusakan akibat terhidrolisis.
Setelah dilakukan pengaturan pH, lalu larutan tersebut disaring dengan kain saring.
Kimball (1992) menjelaskan bahwa penyaringan perlu dilakukan untuk memisahkan
bagian-bagian yang tidak diharapkan. Hal ini sesuai pula dengan pernyataan Suyitno
(1989) bahwa penyaringan akan menyebabkan partikel padat dan partikel cair terpisah.
Kemudian filtrat / partikel cair yang mengandung karagenan ditampung dan diukur
volumenya. Selanjutnya filtrat tersebut ditambahkan larutan NaCl 10% sebanyak 5%
dari volume filtrat, lalu dipanaskan hingga tercapai suhu 60oC. Campo, et al. (2009)
mengatakan bahwa penambahan NaCl bertujuan agar kemampuan pembentukan gel
karagenan menjadi aktif secara thermo-reversible, sehingga peran karagenan sebagai
larutan pengental dan gelling-agent dapat muncul. Glicksman (1983) menyampaikan
bahwa maksud dari pengaktifan pembentukan gel karagenan secara thermo-reversible
adalah menjadikan gel karagenan dapat berubah-ubah bentuk yang dipengaruhi oleh
suhu, dimana pada suhu dingin, gel akan terbentuk dan pada suhu panas, gel akan
mencair. Sedangkan menurut Mappiratu (2009), penggunaan larutan NaCl 10%
memiliki tujuan untuk mengendapkan karagenan dan proses pemanasan dilakukan
untuk mempercepat proses ekstraksi karagenan dan menghomogenkan larutan.
Serat karagenan kemudian dikeringkan dalam oven semalaman pada suhu 30oC. Proses
pengovenan bertujuan untuk menghilangkan kadar air dari karagenan, sehingga bisa
dihasilkan tepung karagenan yang tingkat kemurniannya tinggi. Filtrat hasil pemanasan
lalu dituang ke dalam cairan IPA (isopropyl alkohol) sebanyak 300 ml. Kemudian
dilakukan pengadukan selama 10-15 menit hingga didapatkan serat karagenan. Aslan
(1998) mengungkapkan bahwa cairan IPA yang ditambahkan pada sampel bertujuan
untuk mengendapkan serat-serat karagenan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan
Prasetyowati, et al. (2008) yang menyatakan bahwa serat karagenan akan terbentuk
ketika mengalami kontak dengan alkohol. Kemudian serat karagenan diambil dan
direndam kembali hingga tercelup semua dalam cairan IPA secukupnya selama 5 menit
hingga diperoleh serat karagenan yang lebih kaku. Selain bertujuan agar didapatkan
serat karagenan yang lebih kaku, Yasita & Rachmawati (2006) mengungkapkan bahwa
8
dengan dilakukannya proses pengendapan sebanyak dua kali dalam cairan IPA, maka
akan diperoleh serat karagenan yang memiliki kekuatan pembentukan gel lebih tinggi.
Serat karagenan yang diperoleh lalu ditiriskan, dibentuk tipis-tipis, dan diletakkan
dalam wadah tahan panas. Kemudian dioven selama semalam pada suhu 35oC. Setelah
dioven, karagenan kering tersebut ditimbang dan dihancurkan dengan blender, sehingga
didapatkan karagenan dalam bentuk tepung. Candra (2011) menguraikan bahwa proses
pengovenan dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan kadar air dari serat
karagenan hinggai diperoleh karagenan kering. Suhu yang digunakan pada proses
pengovenan tidak terlalu tinggi karena jika dilakukan pada suhu yang tinggi, maka
dapat merusak komponen karagenan, sehingga terjadi perubahan, baik secara fisik
maupun kimia.
2.2. Hasil Pengamatan
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1., rendemen yang dihasilkan berkisar antara
5-10%. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Bawa, et al. (2007) yang menyatakan
bahwa hasil rendemen karagenan pada ekstraksi karagenan pada pH 8 dapat mencapai
34,5% selama 2 jam ekstraksi. Menurut Setyowati, et al. (2000), salah satu penyebab
ketidaksesuaian ini adalah waktu pengekstraksian, dimana waktu pengekstraksian yang
berbeda maka akan menghasilkan rendemen yang berbeda pula. Hal ini telah sesuai
dengan praktikum yang hanya melakukan waktu pengekstraksian 1 jam, sehingga
rendemen yang diperoleh tidak terlalu banyak. % rendemen karagenan yang rendah ini
dapat terjadi juga karena bahan baku pembuatan karagenan pada praktikum ini adalah
Eucheuma cottonii, dimana menurut Atmadja, et al. (1996), karagenan yang dihasilkan
dari Eucheuma cottonii hanya karagenan dengan jenis kappa saja. Sedangkan
berdasarkan teori yang disampaikan oleh Pelegrin, et al. (2006), % rendemen yang
diperoleh dipengaruhi oleh tingginya konsentrasi larutan basa yang ditambahkan,
dimana pada praktikum kali ini, larutan basa yang digunakan akan mempengaruhi
jumlah dan sifat karagenan yang dihasilkan. Jika konsentrasi larutan basa tersebut
terlalu tinggi, maka yield karagenan yang dihasilkan akan berkurang. Umur dari rumput
laut yang digunakan juga dapat mempengaruhi jumlah karagenan yang didapatkan. Hal
tersebut disampaikan oleh Widyastuti (2010), dimana semakin tua umur rumput laut
tersebut, maka karagenan yang dihasilkan akan berjumlah banyak, sedangkan jika umur
9
rumput laut masih muda, justru akan menyebabkan karagenan yang terekstrak sedikit,
sehingga dihasilkan berat kering dan rendemen yang rendah pula.
Berdasarkan jurnal berjudul “Effects of Harvest Age of Seaweed on Carragenan Yield
and Gel Strength” yang ditulis oleh Mochtar, et al. (2013), usia rumput laut juga
mempengaruhi jumlah karagenan dan kekuatan gel karagenan yang dihasilkan. Metode
yang dilakukan pada penelitian dalam jurnal ini juga sesuai dengan metode yang
dilakukan pada praktikum kali ini, yaitu dengan mula-mula merendam rumput laut
dalam air keran, kemudian diikuti dengan pemasakan dan penyaringan. Filtrat yang
diperoleh lalu ditambahkan dengan alkohol untuk mengendapkan karagenan dalam
filtrat dan karagenan serat yang diperoleh dikeringkan, sehingga diperoleh karagenan
kering. Dari hasil yang diperoleh kemudian dilakukan perhitungan yield dan kekuatan
gel karagenan. Yasita & Rachmawati (2006) menambahkan jika jenis pengendap juga
mempengaruhi hasil rendemen yang diperoleh, dimana penggunaan larutan IPA justru
akan menghasilkan ekstrak dalam jumlah yang lebih sedikit daripada menggunakan
pelarut etanol.
Berdasarkan Tabel 1. juga terlihat bahwa berat kering dan % rendemen yang dihasilkan
pada masing-masing kelompok berbeda-beda. Seharusnya, hasil rendemen yang
dihasilkan pada masing-masing kelompok sama karena bahan baku dan metode yang
dilakukan pada semua kelompok sama. Perbedaan hasil rendemen dapat disebabkan
karena suhu pemanasan yang dilakukan pada praktikum tidak sesuai dan proses
netralisasi pada masing-masing kelompok juga berbeda, sehingga pH larutan berbeda-
beda. Hasil rendemen yang berbeda-beda juga dapat disebabkan karena proses
pengovenan yang tidak merata.
Menurut Orbita (2013) dalam jurnalnya yang berjudul “Growth Rate and Carrageenan
Yield of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Gigartinales) Cultivated in Kolambugan,
Lanao del Norte, Mindanao, Philippines”, beberapa faktor lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan dan kandungan karagenan yang diproduksi dari
Kappaphycus alvarezii (strain coklat) adalah suhu air, salinitas, arus air, dan bahan
anorganik (fosfat dan nitrat). Berdasarkan hasil penelitian dalam jurnal dijelaskan
10
bahwa tingkat pertumbuhan dan hasil karagenan yang lebih tinggi didapat selama
musim hujan barat daya dari Juni sampai September dan tingkat pertumbuhan yang
lebih rendah justru terjadi selama musim hujan barat laut dari Oktober sampai Mei,
dimana suhu air dan salinitas mempengaruhi pertumbuhan dan hasil karagenan. Selain
itu, aliran air dan kandungan bahan anorganik seperti fosfat juga dapat mempengaruhi
hasil karagenan.
Berdasarkan jurnal “Carrageenan of Eucheuma isiforme (Solieriaceae, Rhodophyta)
from Nicaragua” yang ditulis oleh Pelegrin & Daniel (2007), karagenan diperoleh dari
Eucheuma isiforme yang dipanen dari pantai Nikaragua. Karagenan tersebut lalu
dianalisa berdasarkan yield, kekuatan gel dan viskositas, dimana dibandingkan antara
karagenan murni dan karagenan yang diberi perlakuan. Selain itu juga dilakukan
analisis kimia dan spektrum FTIR. Dari hasil masing-masing parameter yang diuji,
karagenan murni menghasilkan yield yang lebih banyak dengan viskositas yang lebih
tinggi daripada karagenan yang diberi perlakuan, sehingga dapat disimpulkan bahwa
Eucheuma isiforme dapat dijadikan sumber yang baik bagi iota karagenan dengan
kualitas yang cukup baik.
3. KESIMPULAN
Thallophyta terdiri dari 4 kelas, yaitu Rhodophyceae (alga merah), Chlorophyceae
(alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat), dan Cyanophyceae (alga biru).
Rhodophyceae merupakan kelas rumput laut penghasil karagenan dan agar.
Spesies yang digunakan dalam pembuatan karagenan (carragenophyte), yaitu
Eucheuma spinosum, Eucheuma cottonii, dan Eucheuma striatum.
Spesies Eucheuma memiliki kandungan kadar air maksimal 15%, kadar benda
asing tidak lebih dari 5%, dan berbau spesifik rumput laut.
Jenis karagenan adalah kappa, lambda, iota, nu, dan theta.
Eucheuma cottonii hanya menghasilkan karagenan tipe kappa.
Gel yang dibentuk oleh kappa karagenan bersifat kuat, namun rapuh terhadap
sineresis, serta memiliki sifat sinergis terhadap beberapa gum.
Pengolahan karagenan hanya dilakukan hingga mencapai kualitas setengah murni
(semi refined carrageenan).
Karagenan merupakan polisakarida linier yang tersusun unit-unit galaktosa dan
3.6-anhidrogalaktosa dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan β-1,4 secara bergantian.
Karagenan banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, seperti pembuatan gel
dalam selai, sirup, saus, makanan bayi, produk susu, daging, ikan, dan bumbu.
Semua jenis karagenan larut dalam air panas.
Viskositas karagenan dipengaruhi oleh konsentrasi, suhu, dan jenis karagenan.
Lambda karagenan akan larut dalam seluruh garam, sedangkan kappa dan iota
karagenan hanya akan larut dalam garam natrium di air dingin.
Dalam susu dingin, kappa dan iota tidak larut, sedangkan lambda karagenan akan
membentuk dispersi.
Kappa karagenan dapat membentuk gel dengan ion kalium, namun lambda
karagenan tidak dapat membentuk gel.
Karagenan dapat menurunkan kadar kolestrol darah dan mencegah peningkatan
atherosclerone lesions.
Proses esktraksi dilakukan untuk memisahkan dua komponen yang berbeda
berdasarkan perbedaan kelarutan dengan adanya pelarut sebagai tenaga pemisah.
Suhu optimum yang digunakan dalam ekstraksi karagenan adalah pada suhu 90oC,
11
12
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses ekstraksi karagenan adalah jenis
karagenan, suhu, pH, dan adanya senyawa-senyawa lain yang larut.
Penambahan NaCl bertujuan agar kemampuan pembentukan gel karagenan
menjadi aktif secara thermo-reversible.
Cairan IPA (isopropyl alkohol) bertujuan untuk mengendapkan serat karagenan.
Faktor yang mempengaruhi ekstraksi karagenan adalah spesies alga, umur panen,
perubahan cuaca, kondisi ekstraksi, dan proses pengovenan.
Semarang, 24 September 2014 Asisten Dosen :- Aletheia Handoko- Margaretha Rani Kirana
Melita Mulyani(12.70.0080)
4. DAFTAR PUSTAKA
Alfonso, M. & Edward J. F. (1992). Dasar-dasar Fisika Universitas Edisi 2. Erlangga. Jakarta.
Anggadiredja, J. T.; A. Zatnika; H. Purwoto & S. Istina. (2006). Rumput Laut, Pembudidayaan, Pengolahan & Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial. Penebar Swadaya. Jakarta.
Angka, S. L. & M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.
Aslan, L. M. (1998). Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Jakarta.
Atmadja, W. S.; A. Kadi; Sulistijo & Rachmaniar. (1996). Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi, LIPI. Jakarta.
Bawa, I. G. A. G.; B. Putra & I. R. Laila. (2007). Penentuan pH Optimum Isolasi Karaginan dari Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii. Jurnal Kimia, Vol.1 No.1: 15-20.
Campo, V. L.; Kawano, D. F.; S. Júnior; D. B. I. Carvalho. (2009). Carrageenans: Biological Properties, Chemical Modifications and Structural Analysis, Carbohydrate Polymers, 77, 167-180.
Candra, B. A. (2011). Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang Dikeringkan dan Diamobilisasi. Insitut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/47184/C11bac.pdf?sequence=1. Diakses tanggal tanggal 25 September 2014 pukul 15.57 WIB.
Glicksman. (1983). Food Hydrocolloids. CRC Press. Boca Raton FL.
Henares, B. M.; E. P. Enriquez; F. M. Dayrit & N. R. L. Rojas. (2010) Iota-Carrageenan Hydrolysis by Pseudoalteromonas carrageenovora IFO12985. Philippine Journal of Science, 139 (2): 131-138. Philippine.
Imeson, A. (2010). Food Stabilisers, Thickeners and Geliing Agents. John Wiley & Sons Ltd. Oxford.
13
14
Kimball, J. W. (1992). Biologi Umum. Erlangga. Jakarta.
Mappiratu. (2009). Kajian Teknologi Pengolahan Karaginan Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Skala Rumah Tangga. Media Litbang 2 (1) : 01-06. Kendari.
Mochtar, A. H.; I. Parawansa; M. S. S. Ali; K. Jusoff; Reta; Rezekie; S. D. Astuti; N. Azis; A. Muchdar; M. S. Palad; Hikma; M. Nonci; Kasmawati & Nirwana. (2013), Effects of Harvest Age of Seaweed on Carragenan Yield and Gel Strength. World Applied Sciences Journal 26 : 13-16.
Mustapha, S.; H. Chandar; Z. Z. Abidin; R. Saghravani & M. Y. Harun. (2011) Production of Semi-Refined Carrageenan from Eucheuma cottonii. Journal of Scientific & Industrial Research, Vol. 70, pp. 865-870. Malaysia.
Orbita, M. L. S. (2013) Growth Rate and Carrageenan Yield of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Gigartinales) Cultivated in Kolambugan, Lanao del Norte, Mindanao, Philippines. AAB International Journal of the Bioflux Society, Vol. 5, Issue 3. Philippines.
Pelegrin, Y. F. & Daniel, R. (2007). Carrageenan of Eucheuma isiforme (Solieriaceae, Rhodophyta) from Nicaragua. Journal Appl. Phycol., Springer. Mexico.
Pelegrin, Y. F; Daniel, R. & Azamar, J. A. (2006). Carrageenan of Eucheuma isiforme (Solieriaceae, Rhodophyta) from Yucata´n, Mexico. Effect of extraction conditions. Botanica Marina Vol 49: page 65–71. Mexico.
Poncomulyo, T.; H. Maryani & L. Kristiani. (2006). Budidaya & Pengolahan Rumput Laut. PT Agro Media Pustaka. Jakarta.
Prasetyowati; Corrine, J. A. & D. Agustiawan. (2008). Pembuatan Tepung Karaginan dari Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Berdasarkan Perbedaan Metode Pengendapan. Jurnal Teknik Kimia, No. 2, Vol. 15 : Hlm 27-33.
Rahayu, U; H. Manik & N. Dolaria. (2004). Pembuatan Karaginan Kering dari Rumput Laut Eucheuma cottonii. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur, Vol.3, No. 2.
Reynold, T. D & Richards, P.A. (1996). Unit Oprations and Processes in Environmental Engineering, 2nd Edition. PWS Publishing Company. Boston.
Salasia, S.I.O.; Maryono, N; Hilmiati, R; Sulistyawan & S. Mumpuni. (2002). Daya Hipokolesterolemik Karaginan Hasil Ekstrak Rumput Laut Euchema spinosum. (“Hypocolesterolemic effects of carrageenan extracted from seeweed Euchema spinosum”). Biota, Vol. VII (2), 83-88.
15
Sediadi, A. & U. Budihardjo. (2000). Rumput Laut Komoditas Unggulan. Grasindo. Jakarta.
Setyowati, D; B. B. Sasmita & H. Nursyam. (2000). Pengaruh Jenis Rumput Laut dan Lama Ekstraksi tehadap Peningkatan Kualitas Karaginan. Penelitian Fakultas Perikanan Bogor. Bogor.
Sumiarsih, E. & H. Indriani. (1995). Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suyitno. (1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas. Jakarta.
Widyastuti, S. (2010). Sifat Fisik Dan Kimiawi Karagenan yang Diekstrak dari Rumput Laut Eucheuma Cottonii dan E. Spinosum Pada Umur Panen yang Berbeda. Agroteksos, Vol. 20, No.1 : hlm 41 – 50.
Yasita, D. & I. D. Rachmawati. (2006). Optimasi Proses Ekstraksi Pada Pembuatan Karaginan Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Untuk Mencapai Foodgrade. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus :
% Rendemen=berat keringberat basah
× 100 %
Keterangan :berat basah = berat awal = 40 gram
Kelompok A1
Berat kering = 3 gram
% Rendemen= 340
×100 %
% Rendemen=7,5 %
Kelompok A2
Berat kering = 3 gram
% Rendemen= 340
×100 %
% Rendemen=7,5 %
Kelompok A3
Berat kering = 2 gram
% Rendemen= 240
×100 %
% Rendemen=5 %
Kelompok A4
Berat kering = 2 gram
% Rendemen= 240
×100 %
% Rendemen=5 %
Kelompok A5
Berat kering = 4 gram
16
17
% Rendemen= 440
×100 %
% Rendemen=10 %
Kelompok A6
Berat kering = 3 gram
% Rendemen= 340
×100 %
% Rendemen=7,5 %
5.2. Diagram Alir
5.3. Laporan Sementara