ekstraksi karagenan_melita mulyani_12.70.0080_a1_unika soegijapranata

24
1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan ekstraksi karagenan dapat dilihat pada Tabel 1. dan Grafik 1. Tabel 1. Ekstraksi Karagenan Kelompo k Berat Awal (gram) Berat Kering (gram) % Rendemen (%) A1 40 3 7,5 A2 40 3 7,5 A3 40 2 5 A4 40 2 5 A5 40 4 10 A6 40 3 7,5 Berdasarkan Tabel 1. di atas, berat awal sampel semua kelompok (A1-A6) sama, yaitu sebesar 40 gram. Namun berat kering dari sampel masing-masing kelompok berbeda, sehingga % rendemen yang didapat pun juga berbeda. Berat kering tertinggi diperoleh pada kelompok A5 dengan % rendemen sebesar 10%, sedangkan berat kering terendah didapatkan oleh kelompok A3 dan A4 dengan % rendemen sebesar 5%. Menurut hasil tersebut, berat kering berbanding lurus dengan % rendemen, dimana semakin besar berat kering yang diperoleh, maka % rendemen yang didapat semakin besar pula. Grafik 1. Hasil Pengamatan Ekstraksi Karagenan 1

Upload: reed-jones

Post on 26-Dec-2015

44 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Pada praktikum Teknologi Hasil Laut, karagenan yang diekstrak berasal dari Eucheuma cottonii. Karagenan ini dapat dimanfaatkan sebagai pengemulsi dan penstabil dalam industri pangan.

TRANSCRIPT

Page 1: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan ekstraksi karagenan dapat dilihat pada Tabel 1. dan Grafik 1.

Tabel 1. Ekstraksi Karagenan

Kelompok Berat Awal (gram) Berat Kering (gram) % Rendemen (%)A1 40 3 7,5A2 40 3 7,5A3 40 2 5A4 40 2 5A5 40 4 10A6 40 3 7,5

Berdasarkan Tabel 1. di atas, berat awal sampel semua kelompok (A1-A6) sama, yaitu

sebesar 40 gram. Namun berat kering dari sampel masing-masing kelompok berbeda,

sehingga % rendemen yang didapat pun juga berbeda. Berat kering tertinggi diperoleh

pada kelompok A5 dengan % rendemen sebesar 10%, sedangkan berat kering terendah

didapatkan oleh kelompok A3 dan A4 dengan % rendemen sebesar 5%. Menurut hasil

tersebut, berat kering berbanding lurus dengan % rendemen, dimana semakin besar

berat kering yang diperoleh, maka % rendemen yang didapat semakin besar pula.

Grafik 1. Hasil Pengamatan Ekstraksi Karagenan

A1 A2 A3 A4 A5 A60

2

4

6

8

10

12

3 3 2 2 4 3

7.57.5

5 5

10

7.5

Karagenan

Berat Kering (gram)% Rendemen (%)

Kelompok

Berdasarkan Grafik 1. di atas, berat kering sampel dan % rendemen masing-masing

kelompok berbeda, namun menunjukkan bahwa berat kering berbanding lurus dengan

% rendemen, dimana semakin besar berat kering yang diperoleh, maka % rendemen

yang didapat semakin besar pula. Berat kering tertinggi diperoleh pada kelompok A5,

1

Page 2: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

2

yaitu sebesar 4 gram dengan % rendemen sebesar 10%, sedangkan berat kering terendah

didapatkan oleh kelompok A3 dan A4, yaiti sebesar 2 gram dengan % rendemen sebesar

5%.

Page 3: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

2. PEMBAHASAN

Menurut Rahayu, et al. (2004), rumput laut dikenal sebagai alga, dimana rumput laut

atau alga adalah tumbuhan dari divisi Thallophyta. Divisi Thallophyta ini memiliki 4

kelas, yaitu Rhodophyceae (alga merah), Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae

(alga coklat), dan Cyanophyceae (alga biru). Dari keempat kelas tersebut, hanya

Rhodophyceae dan Phaeophyceae yang telah diusahakan dalam peningkatan

penggunaannya. Sumiarsih & Indriani (1995) menambahkan bahwa spesies yang

termasuk golongan Rhodophyceae adalah Gracillaria sp., Gellidium sp., Gellidiela sp.,

dan Gellidiopsis sp. yang merupakan penghasil agar, serta Eucheuma sp. yang

merupakan penghasil karagenan, sedangkan jenis rumput laut yang tergolong dalam

Phaeophyceae adalah Turbinaria sp., Sargasum sp. sebagai penghasil alginat. Hal

tersebut didukung pula oleh pernyataan Sediadi & Budihardjo (2000) yang menyatakan

bahwa secara garis besar rumput laut dibedakan sebagai penghasil agar, karagenan, dan

alginat, dimana rumput laut penghasil karagenan dan penghasil agar termasuk kelas

alga merah (Rhodophyta) dan penghasil alginat dari kelas alga coklat (Phaeophyta).

Rahayu, et al. (2004) juga menambahkan bahwa kelas Rhodophyceae jenis Eucheuma

sp., Hypnea sp., Chondrus sp., dan Gigartina sp. merupakan rumput laut penghasil

karagenan.

Menurut Poncomulyo, et al. (2006), terdapat 3 spesies Eucheuma sp. yang dapat

digunakan sebagai bahan baku pembuatan karagenan, yaitu Eucheuma spinosum,

Eucheuma cottonii, dan Eucheuma striatum. Ketiga jenis rumput laut ini lebih banyak

dikenal sebagai carragenophyte. Hal ini sesuai dengan spesies rumput laut yang

digunakan pada praktikum kali ini, yaitu spesies Eucheuma cottonii. Anggadiredja, et

al. (2006) mengungkapkan bahwa ciri fisik dari Eucheuma cottoni, diantaranya adalah

memiliki talus berbentuk silindris, permukaan licin, berbentuk cartilageneus

(menyerupai tulang rawan), dan berwarna hijau terang, hijau olive, hingga coklat

kemerahan. Menurut Poncomulyo, et al. (2006), standar mutu dari rumput laut,

khususnya spesies Eucheuma diantaranya ialah memiliki kandungan kadar air maksimal

15%, kadar benda asing tidak lebih dari 5%, dan berbau spesifik. Aslan (1998)

menambahkan bahwa Eucheuma cottonii ini hanya menghasilkan karagenan tipe kappa

3

Page 4: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

4

yang memiliki sifat khas yaitu dapat membentuk gel yang paling kuat dengan kehadiran

ion kalium. Tipe gel yang dibentuk kuat, namun rapuh terhadap sineresis, serta memiliki

sifat sinergis terhadap beberapa gum. Struktur kappa karaginan ini memungkinkan

terjadinya pembentukan double helix yang dapat mengikat molekul rantai pada bidang

tiga dimensi. Rahayu, et al. (2004) menjelaskan bahwa pengolahan rumput laut murni

dari jenis Eucheuma cottonii menjadi karagenan dapat dilakukan secara sederhana, yaitu

dengan cara merebus rumput laut ke dalam larutan alkali, namun di Indonesia

pengolahan karagenan hanya dapat dilaksanakan hingga mencapai kualitas setengah

murni (semi refined carrageenan).

Angka & Suhartono (2000) menerangkan bahwa karagenan merupakan polisakarida

linier yang tersusun atas unit-unit galaktosa dan 3.6-anhidrogalaktosa dengan ikatan

glikosidik α-1,3 dan β-1,4 secara bergantian yang memiliki berat molekul cukup tinggi,

yaitu 100000-150000. Terdapat beberapa jenis karagenan, yaitu kappa, lambda, iota,

nu, dan theta. Karagenan ini banyak digunakan dalam industri makanan, untuk

membuat gel dalam selai, sirup, saus, makanan bayi, produk susu, daging, ikan, bumbu

dan sebagainya. Senyawa ini juga digunakan untuk mengentalkan bahan bukan pangan

seperti odol, kosmetik, dan shampo. Dari segi kelarutannya, karagenan larut dalam air

panas, dapat bercampur dengan pelarut polar (alkohol, propilen glikol, dan gliserin),

namun tidak dapat bercampur dengan pelarut organik (non polar). Karagenan yang larut

ini bersifat kental; dimana viskositas yang dihasilkan dipengaruhi oleh konsentrasi,

suhu, dan jenis karagenan. Poncomulyo, et al. (2006) menambahkan bahwa masing-

masing jenis karagenan memiliki sifat karagenan yang berbeda. Di dalam air dingin,

lambda karagenan akan larut dalam seluruh garam, sedangkan kappa dan iota

karagenan hanya akan larut dalam garam natrium; sedangkan dalam susu dingin, justru

kappa dan iota tidak larut, sedangkan lambda karagenan akan membentuk dispersi.

Dalam pembentukan gel, kappa karagenan dapat membentuk gel dengan ion kalium,

namun lambda karagenan tidak dapat membentuk gel. Salasia, et al. (2002)

menambahkan bahwa karagenan memiliki peran dalam kesehatan manusia jika

dikonsumsi. Karagenan ini mempunyai kemampuan untuk menurunkan kadar kolestrol

darah dan mencegah peningkatan atherosclerone lesions. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa karagenan mempunyai daya hipokolesterolemik karena adanya peran

Page 5: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

5

serat dalam karagenan. Dosis efektif karaginan yang dapat dikonsumsi adalah 12,5 mg/

kg berat badan.

Hidrolisis iota karagenan akan dibahas oleh Henares, et al. (2010) dalam jurnal yang

berjudul “Iota-carrageenan hydrolysis by Pseudoalteromonas carrageenovora

IFO12985”. Pseudoalteromonas carrageenovora merupakan salah satu spesies

penghasil karagenan, dimana pada penelitian sebelumnya dijelaskan bahwa hanya kappa

karagenan dan lambda karagenan saja yang dapat diisolasi, sedangkan tidak dihasilkan

iota karagenan karena iota karagenan hanya diisolasi dari Pseudoalteromonas fortis dan

Zobellia galactanivorans. Namun penelitian jurnal ini justru membuktikan bahwa iota

karagenan juga dapat dihidrolisis dari Pseudoalteromonas carrageenovora pada

kondisi kultur yang tepat. Penelitian yang dilakukan menggunakan SDS-PAGE.

Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Mustapha, et al. (2011) dengan judul “Production

of Semi-Refined Carrageenan from Eucheuma cottonii”, karagenan merupakan

hidrokoloid yang digunakan sebagai dasar selain pati dan gelatin, dimana karagenan

dihasilkan dari bahan matriks dalam berbagai jenis rumput laut merah (Rhodophyta)

yang dapat diaplikasikan sebagai bahan aditif makanan, penstabil, dan pengental.

Spesies utama yang memproduksi karagenan diantaranya adalah Chondrus crispus,

Gigartina stellata, dan Eucheuma cottonii, serta Eucheuma spinosum. Jenis karagenan

yang dihasilkan juga berbeda-beda, dimana terdapat 3 jenis karagenan, yaitu kappa

karagenan, iota karagenan, dan lambda karagenan yang memiliki sifat berbeda. Kappa

karagenan bersifat kuat dan dapat membentuk gel kaku bila dikombinasikan dengan ion

kalium; iota karagenan bersifat lemah dan dapat membentuk gel elastik; sedangkan

lambda karagenan tidak dapat membentuk gel dan hanya berupa larutan kental.

2.1. Cara Kerja / Metode dan Larutan yang Digunakan

Yasita & Rachmawati (2006) mengungkapkan bahwa proses esktraksi dilakukan untuk

memisahkan dua komponen yang berbeda berdasarkan pada perbedaan kelarutan,

dimana diperlukan pelarut yang berperan sebagai tenaga pemisah. Langkah awal yang

dilakukan dalam praktikum ekstraksi karagenan ini adalah dengan menimbang rumput

laut (Eucheuma cottonii) basah yang telah dipotong kecil-kecil dan diblender sebanyak

Page 6: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

6

40 gram. Menurut Arpah (1993), tujuan dari proses penghancuran dengan diblender

adalah untuk memperluas permukaan sampel, sehingga proses selanjutnya dapat

berlangsung cepat dan sempurna, dimana proses yang dimaksud adalah proses

penyerapan pelarut atau bahan lain yang ditambahkan. Setelah itu, rumput laut tersebut

direbus / diekstraksi dalam air sebanyak 500 ml selama 1 jam pada suhu 80-90oC

dengan sesekali dilakukan pengadukan. Fungsi penambahan air adalah untuk

melarutkan atau mengekstrak karagenan dari rumput laut. Penggunaan air panas ini

sesuai dengan pernyataan Angka & Suhartono (2000) bahwa semua karagenan larut

dalam air panas, dapat bercampur dengan pelarut polar, seperti alkohol, propilen glikol,

dan gliserin; namun tidak dapat bercampur dengan pelarut organik (non polar).

Pengaturan suhu yang dilakukan pada praktikum ini juga sesuai dengan teori Aslan

(1998) yang menyatakan bahwa suhu optimum yang digunakan dalam ekstraksi

karagenan adalah pada suhu 90oC, sedangkan menurut Reynold & Richards (1996),

pengadukan dilakukan agar diperoleh hasil campuran yang homogen, sehingga kontak

antara air dan karagenan yang terkandung dalam rumput laut dapat berjalan sempurna.

Imeson (2010) menambahkan bahwa keberhasilan proses ekstraksi karagenan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah jenis dari karagenan itu sendiri,

suhu, pH, dan adanya senyawa-senyawa lain yang larut.

Selanjutnya, hasil perebusan didiamkan hingga mencapai suhu 40oC. Kemudian

dilakukan pengaturan pH hingga mencapai pH 8 dengan menggunakan HCl 10% dan

NaOH 10%, dimana pH diukur dengan pH-meter. Proses penurunan suhu sebelum

dilakukan pengukuran pH sangat perlu dilakukan karena menurut Alfonso & Edward

(1992), terdapat larangan penggunaan pH-meter pada beberapa larutan, diantaranya

larutan yang panas (melebihi suhu ruang) dan larutan es / air dingin karena dapat

mengakibatkan pengukuran yang tidak presisi, sehingga suhu menjadi salah satu faktor

penting dalam pengukuran pH. Penambahan larutan HCl 10% pada proses pengaturan

pH adalah memberikan kondisi asam jika pH sampel lebih dari 8, sedangkan

penambahan larutan NaOH 10% dilakukan jika pH sampel kurang dari 8, sehingga

diciptakan suasana lebih basa. Prasetyowati, et al. (2008) menyatakan bahwa

pengaturan pH hingga diperoleh pH 8 perlu dilakukan karena karagenan bersifat stabil

pada pH tersebut. Hal ini didukung pula oleh teori Imeson (2010) yang mengungkapkan

Page 7: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

7

bahwa stabilitas karagenan dalam larutan terjadi pada maksimal pH 9, sedangkan pada

pH di bawah 3,5, karagenan akan mengalami kerusakan akibat terhidrolisis.

Setelah dilakukan pengaturan pH, lalu larutan tersebut disaring dengan kain saring.

Kimball (1992) menjelaskan bahwa penyaringan perlu dilakukan untuk memisahkan

bagian-bagian yang tidak diharapkan. Hal ini sesuai pula dengan pernyataan Suyitno

(1989) bahwa penyaringan akan menyebabkan partikel padat dan partikel cair terpisah.

Kemudian filtrat / partikel cair yang mengandung karagenan ditampung dan diukur

volumenya. Selanjutnya filtrat tersebut ditambahkan larutan NaCl 10% sebanyak 5%

dari volume filtrat, lalu dipanaskan hingga tercapai suhu 60oC. Campo, et al. (2009)

mengatakan bahwa penambahan NaCl bertujuan agar kemampuan pembentukan gel

karagenan menjadi aktif secara thermo-reversible, sehingga peran karagenan sebagai

larutan pengental dan gelling-agent dapat muncul. Glicksman (1983) menyampaikan

bahwa maksud dari pengaktifan pembentukan gel karagenan secara thermo-reversible

adalah menjadikan gel karagenan dapat berubah-ubah bentuk yang dipengaruhi oleh

suhu, dimana pada suhu dingin, gel akan terbentuk dan pada suhu panas, gel akan

mencair. Sedangkan menurut Mappiratu (2009), penggunaan larutan NaCl 10%

memiliki tujuan untuk mengendapkan karagenan dan proses pemanasan dilakukan

untuk mempercepat proses ekstraksi karagenan dan menghomogenkan larutan.

Serat karagenan kemudian dikeringkan dalam oven semalaman pada suhu 30oC. Proses

pengovenan bertujuan untuk menghilangkan kadar air dari karagenan, sehingga bisa

dihasilkan tepung karagenan yang tingkat kemurniannya tinggi. Filtrat hasil pemanasan

lalu dituang ke dalam cairan IPA (isopropyl alkohol) sebanyak 300 ml. Kemudian

dilakukan pengadukan selama 10-15 menit hingga didapatkan serat karagenan. Aslan

(1998) mengungkapkan bahwa cairan IPA yang ditambahkan pada sampel bertujuan

untuk mengendapkan serat-serat karagenan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan

Prasetyowati, et al. (2008) yang menyatakan bahwa serat karagenan akan terbentuk

ketika mengalami kontak dengan alkohol. Kemudian serat karagenan diambil dan

direndam kembali hingga tercelup semua dalam cairan IPA secukupnya selama 5 menit

hingga diperoleh serat karagenan yang lebih kaku. Selain bertujuan agar didapatkan

serat karagenan yang lebih kaku, Yasita & Rachmawati (2006) mengungkapkan bahwa

Page 8: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

8

dengan dilakukannya proses pengendapan sebanyak dua kali dalam cairan IPA, maka

akan diperoleh serat karagenan yang memiliki kekuatan pembentukan gel lebih tinggi.

Serat karagenan yang diperoleh lalu ditiriskan, dibentuk tipis-tipis, dan diletakkan

dalam wadah tahan panas. Kemudian dioven selama semalam pada suhu 35oC. Setelah

dioven, karagenan kering tersebut ditimbang dan dihancurkan dengan blender, sehingga

didapatkan karagenan dalam bentuk tepung. Candra (2011) menguraikan bahwa proses

pengovenan dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan kadar air dari serat

karagenan hinggai diperoleh karagenan kering. Suhu yang digunakan pada proses

pengovenan tidak terlalu tinggi karena jika dilakukan pada suhu yang tinggi, maka

dapat merusak komponen karagenan, sehingga terjadi perubahan, baik secara fisik

maupun kimia.

2.2. Hasil Pengamatan

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1., rendemen yang dihasilkan berkisar antara

5-10%. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Bawa, et al. (2007) yang menyatakan

bahwa hasil rendemen karagenan pada ekstraksi karagenan pada pH 8 dapat mencapai

34,5% selama 2 jam ekstraksi. Menurut Setyowati, et al. (2000), salah satu penyebab

ketidaksesuaian ini adalah waktu pengekstraksian, dimana waktu pengekstraksian yang

berbeda maka akan menghasilkan rendemen yang berbeda pula. Hal ini telah sesuai

dengan praktikum yang hanya melakukan waktu pengekstraksian 1 jam, sehingga

rendemen yang diperoleh tidak terlalu banyak. % rendemen karagenan yang rendah ini

dapat terjadi juga karena bahan baku pembuatan karagenan pada praktikum ini adalah

Eucheuma cottonii, dimana menurut Atmadja, et al. (1996), karagenan yang dihasilkan

dari Eucheuma cottonii hanya karagenan dengan jenis kappa saja. Sedangkan

berdasarkan teori yang disampaikan oleh Pelegrin, et al. (2006), % rendemen yang

diperoleh dipengaruhi oleh tingginya konsentrasi larutan basa yang ditambahkan,

dimana pada praktikum kali ini, larutan basa yang digunakan akan mempengaruhi

jumlah dan sifat karagenan yang dihasilkan. Jika konsentrasi larutan basa tersebut

terlalu tinggi, maka yield karagenan yang dihasilkan akan berkurang. Umur dari rumput

laut yang digunakan juga dapat mempengaruhi jumlah karagenan yang didapatkan. Hal

tersebut disampaikan oleh Widyastuti (2010), dimana semakin tua umur rumput laut

tersebut, maka karagenan yang dihasilkan akan berjumlah banyak, sedangkan jika umur

Page 9: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

9

rumput laut masih muda, justru akan menyebabkan karagenan yang terekstrak sedikit,

sehingga dihasilkan berat kering dan rendemen yang rendah pula.

Berdasarkan jurnal berjudul “Effects of Harvest Age of Seaweed on Carragenan Yield

and Gel Strength” yang ditulis oleh Mochtar, et al. (2013), usia rumput laut juga

mempengaruhi jumlah karagenan dan kekuatan gel karagenan yang dihasilkan. Metode

yang dilakukan pada penelitian dalam jurnal ini juga sesuai dengan metode yang

dilakukan pada praktikum kali ini, yaitu dengan mula-mula merendam rumput laut

dalam air keran, kemudian diikuti dengan pemasakan dan penyaringan. Filtrat yang

diperoleh lalu ditambahkan dengan alkohol untuk mengendapkan karagenan dalam

filtrat dan karagenan serat yang diperoleh dikeringkan, sehingga diperoleh karagenan

kering. Dari hasil yang diperoleh kemudian dilakukan perhitungan yield dan kekuatan

gel karagenan. Yasita & Rachmawati (2006) menambahkan jika jenis pengendap juga

mempengaruhi hasil rendemen yang diperoleh, dimana penggunaan larutan IPA justru

akan menghasilkan ekstrak dalam jumlah yang lebih sedikit daripada menggunakan

pelarut etanol.

Berdasarkan Tabel 1. juga terlihat bahwa berat kering dan % rendemen yang dihasilkan

pada masing-masing kelompok berbeda-beda. Seharusnya, hasil rendemen yang

dihasilkan pada masing-masing kelompok sama karena bahan baku dan metode yang

dilakukan pada semua kelompok sama. Perbedaan hasil rendemen dapat disebabkan

karena suhu pemanasan yang dilakukan pada praktikum tidak sesuai dan proses

netralisasi pada masing-masing kelompok juga berbeda, sehingga pH larutan berbeda-

beda. Hasil rendemen yang berbeda-beda juga dapat disebabkan karena proses

pengovenan yang tidak merata.

Menurut Orbita (2013) dalam jurnalnya yang berjudul “Growth Rate and Carrageenan

Yield of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Gigartinales) Cultivated in Kolambugan,

Lanao del Norte, Mindanao, Philippines”, beberapa faktor lingkungan yang

mempengaruhi pertumbuhan dan kandungan karagenan yang diproduksi dari

Kappaphycus alvarezii (strain coklat) adalah suhu air, salinitas, arus air, dan bahan

anorganik (fosfat dan nitrat). Berdasarkan hasil penelitian dalam jurnal dijelaskan

Page 10: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

10

bahwa tingkat pertumbuhan dan hasil karagenan yang lebih tinggi didapat selama

musim hujan barat daya dari Juni sampai September dan tingkat pertumbuhan yang

lebih rendah justru terjadi selama musim hujan barat laut dari Oktober sampai Mei,

dimana suhu air dan salinitas mempengaruhi pertumbuhan dan hasil karagenan. Selain

itu, aliran air dan kandungan bahan anorganik seperti fosfat juga dapat mempengaruhi

hasil karagenan.

Berdasarkan jurnal “Carrageenan of Eucheuma isiforme (Solieriaceae, Rhodophyta)

from Nicaragua” yang ditulis oleh Pelegrin & Daniel (2007), karagenan diperoleh dari

Eucheuma isiforme yang dipanen dari pantai Nikaragua. Karagenan tersebut lalu

dianalisa berdasarkan yield, kekuatan gel dan viskositas, dimana dibandingkan antara

karagenan murni dan karagenan yang diberi perlakuan. Selain itu juga dilakukan

analisis kimia dan spektrum FTIR. Dari hasil masing-masing parameter yang diuji,

karagenan murni menghasilkan yield yang lebih banyak dengan viskositas yang lebih

tinggi daripada karagenan yang diberi perlakuan, sehingga dapat disimpulkan bahwa

Eucheuma isiforme dapat dijadikan sumber yang baik bagi iota karagenan dengan

kualitas yang cukup baik.

Page 11: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

3. KESIMPULAN

Thallophyta terdiri dari 4 kelas, yaitu Rhodophyceae (alga merah), Chlorophyceae

(alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat), dan Cyanophyceae (alga biru).

Rhodophyceae merupakan kelas rumput laut penghasil karagenan dan agar.

Spesies yang digunakan dalam pembuatan karagenan (carragenophyte), yaitu

Eucheuma spinosum, Eucheuma cottonii, dan Eucheuma striatum.

Spesies Eucheuma memiliki kandungan kadar air maksimal 15%, kadar benda

asing tidak lebih dari 5%, dan berbau spesifik rumput laut.

Jenis karagenan adalah kappa, lambda, iota, nu, dan theta.

Eucheuma cottonii hanya menghasilkan karagenan tipe kappa.

Gel yang dibentuk oleh kappa karagenan bersifat kuat, namun rapuh terhadap

sineresis, serta memiliki sifat sinergis terhadap beberapa gum.

Pengolahan karagenan hanya dilakukan hingga mencapai kualitas setengah murni

(semi refined carrageenan).

Karagenan merupakan polisakarida linier yang tersusun unit-unit galaktosa dan

3.6-anhidrogalaktosa dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan β-1,4 secara bergantian.

Karagenan banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, seperti pembuatan gel

dalam selai, sirup, saus, makanan bayi, produk susu, daging, ikan, dan bumbu.

Semua jenis karagenan larut dalam air panas.

Viskositas karagenan dipengaruhi oleh konsentrasi, suhu, dan jenis karagenan.

Lambda karagenan akan larut dalam seluruh garam, sedangkan kappa dan iota

karagenan hanya akan larut dalam garam natrium di air dingin.

Dalam susu dingin, kappa dan iota tidak larut, sedangkan lambda karagenan akan

membentuk dispersi.

Kappa karagenan dapat membentuk gel dengan ion kalium, namun lambda

karagenan tidak dapat membentuk gel.

Karagenan dapat menurunkan kadar kolestrol darah dan mencegah peningkatan

atherosclerone lesions.

Proses esktraksi dilakukan untuk memisahkan dua komponen yang berbeda

berdasarkan perbedaan kelarutan dengan adanya pelarut sebagai tenaga pemisah.

Suhu optimum yang digunakan dalam ekstraksi karagenan adalah pada suhu 90oC,

11

Page 12: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

12

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses ekstraksi karagenan adalah jenis

karagenan, suhu, pH, dan adanya senyawa-senyawa lain yang larut.

Penambahan NaCl bertujuan agar kemampuan pembentukan gel karagenan

menjadi aktif secara thermo-reversible.

Cairan IPA (isopropyl alkohol) bertujuan untuk mengendapkan serat karagenan.

Faktor yang mempengaruhi ekstraksi karagenan adalah spesies alga, umur panen,

perubahan cuaca, kondisi ekstraksi, dan proses pengovenan.

Semarang, 24 September 2014 Asisten Dosen :- Aletheia Handoko- Margaretha Rani Kirana

Melita Mulyani(12.70.0080)

Page 13: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

4. DAFTAR PUSTAKA

Alfonso, M. & Edward J. F. (1992). Dasar-dasar Fisika Universitas Edisi 2. Erlangga. Jakarta.

Anggadiredja, J. T.; A. Zatnika; H. Purwoto & S. Istina. (2006). Rumput Laut, Pembudidayaan, Pengolahan & Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial. Penebar Swadaya. Jakarta.

Angka, S. L. & M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Aslan, L. M. (1998). Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Jakarta.

Atmadja, W. S.; A. Kadi; Sulistijo & Rachmaniar. (1996). Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi, LIPI. Jakarta.

Bawa, I. G. A. G.; B. Putra & I. R. Laila. (2007). Penentuan pH Optimum Isolasi Karaginan dari Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii. Jurnal Kimia, Vol.1 No.1: 15-20.

Campo, V. L.; Kawano, D. F.; S. Júnior; D. B. I. Carvalho. (2009). Carrageenans: Biological Properties, Chemical Modifications and Structural Analysis, Carbohydrate Polymers, 77, 167-180.

Candra, B. A. (2011). Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang Dikeringkan dan Diamobilisasi. Insitut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/47184/C11bac.pdf?sequence=1. Diakses tanggal tanggal 25 September 2014 pukul 15.57 WIB.

Glicksman. (1983). Food Hydrocolloids. CRC Press. Boca Raton FL.

Henares, B. M.; E. P. Enriquez; F. M. Dayrit & N. R. L. Rojas. (2010) Iota-Carrageenan Hydrolysis by Pseudoalteromonas carrageenovora IFO12985. Philippine Journal of Science, 139 (2): 131-138. Philippine.

Imeson, A. (2010). Food Stabilisers, Thickeners and Geliing Agents. John Wiley & Sons Ltd. Oxford.

13

Page 14: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

14

Kimball, J. W. (1992). Biologi Umum. Erlangga. Jakarta.

Mappiratu. (2009). Kajian Teknologi Pengolahan Karaginan Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Skala Rumah Tangga. Media Litbang 2 (1) : 01-06. Kendari.

Mochtar, A. H.; I. Parawansa; M. S. S. Ali; K. Jusoff; Reta; Rezekie; S. D. Astuti; N. Azis; A. Muchdar; M. S. Palad; Hikma; M. Nonci; Kasmawati & Nirwana. (2013), Effects of Harvest Age of Seaweed on Carragenan Yield and Gel Strength. World Applied Sciences Journal 26 : 13-16.

Mustapha, S.; H. Chandar; Z. Z. Abidin; R. Saghravani & M. Y. Harun. (2011) Production of Semi-Refined Carrageenan from Eucheuma cottonii. Journal of Scientific & Industrial Research, Vol. 70, pp. 865-870. Malaysia.

Orbita, M. L. S. (2013) Growth Rate and Carrageenan Yield of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Gigartinales) Cultivated in Kolambugan, Lanao del Norte, Mindanao, Philippines. AAB International Journal of the Bioflux Society, Vol. 5, Issue 3. Philippines.

Pelegrin, Y. F. & Daniel, R. (2007). Carrageenan of Eucheuma isiforme (Solieriaceae, Rhodophyta) from Nicaragua. Journal Appl. Phycol., Springer. Mexico.

Pelegrin, Y. F; Daniel, R. & Azamar, J. A. (2006). Carrageenan of Eucheuma isiforme (Solieriaceae, Rhodophyta) from Yucata´n, Mexico. Effect of extraction conditions. Botanica Marina Vol 49: page 65–71. Mexico.

Poncomulyo, T.; H. Maryani & L. Kristiani. (2006). Budidaya & Pengolahan Rumput Laut. PT Agro Media Pustaka. Jakarta.

Prasetyowati; Corrine, J. A. & D. Agustiawan. (2008). Pembuatan Tepung Karaginan dari Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Berdasarkan Perbedaan Metode Pengendapan. Jurnal Teknik Kimia, No. 2, Vol. 15 : Hlm 27-33.

Rahayu, U; H. Manik & N. Dolaria. (2004). Pembuatan Karaginan Kering dari Rumput Laut Eucheuma cottonii. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur, Vol.3, No. 2.

Reynold, T. D & Richards, P.A. (1996). Unit Oprations and Processes in Environmental Engineering, 2nd Edition. PWS Publishing Company. Boston.

Salasia, S.I.O.; Maryono, N; Hilmiati, R; Sulistyawan & S. Mumpuni. (2002). Daya Hipokolesterolemik Karaginan Hasil Ekstrak Rumput Laut Euchema spinosum. (“Hypocolesterolemic effects of carrageenan extracted from seeweed Euchema spinosum”). Biota, Vol. VII (2), 83-88.

Page 15: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

15

Sediadi, A. & U. Budihardjo. (2000). Rumput Laut Komoditas Unggulan. Grasindo. Jakarta.

Setyowati, D; B. B. Sasmita & H. Nursyam. (2000). Pengaruh Jenis Rumput Laut dan Lama Ekstraksi tehadap Peningkatan Kualitas Karaginan. Penelitian Fakultas Perikanan Bogor. Bogor.

Sumiarsih, E. & H. Indriani. (1995). Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suyitno. (1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas. Jakarta.

Widyastuti, S. (2010). Sifat Fisik Dan Kimiawi Karagenan yang Diekstrak dari Rumput Laut Eucheuma Cottonii dan E. Spinosum Pada Umur Panen yang Berbeda. Agroteksos, Vol. 20, No.1 : hlm 41 – 50.

Yasita, D. & I. D. Rachmawati. (2006). Optimasi Proses Ekstraksi Pada Pembuatan Karaginan Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Untuk Mencapai Foodgrade. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.

Page 16: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Rumus :

% Rendemen=berat keringberat basah

× 100 %

Keterangan :berat basah = berat awal = 40 gram

Kelompok A1

Berat kering = 3 gram

% Rendemen= 340

×100 %

% Rendemen=7,5 %

Kelompok A2

Berat kering = 3 gram

% Rendemen= 340

×100 %

% Rendemen=7,5 %

Kelompok A3

Berat kering = 2 gram

% Rendemen= 240

×100 %

% Rendemen=5 %

Kelompok A4

Berat kering = 2 gram

% Rendemen= 240

×100 %

% Rendemen=5 %

Kelompok A5

Berat kering = 4 gram

16

Page 17: EKSTRAKSI KARAGENAN_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

17

% Rendemen= 440

×100 %

% Rendemen=10 %

Kelompok A6

Berat kering = 3 gram

% Rendemen= 340

×100 %

% Rendemen=7,5 %

5.2. Diagram Alir

5.3. Laporan Sementara