efektifitas pembebasan bersyarat -...

112
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA JASA PARKIR DI STASIUN PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) PURWOKERTO (Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pasal 4 huruf a, d dan h) S K R I P S I Oleh : REZA HARIS E1A004208 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2011

Upload: trinhkien

Post on 14-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA JASA

PARKIR DI STASIUN PT. KERETA API INDONESIA

(PERSERO) PURWOKERTO

(Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pasal 4 huruf a, d dan h)

S K R I P S I

Oleh :

REZA HARIS

E1A004208

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2011

ii

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA JASA

PARKIR DI STASIUN PT. KERETA API INDONESIA

(PERSERO) PURWOKERTO

(Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pasal 4 huruf a, d dan h)

Oleh :

REZA HARIS

E1A004208

SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu persyaratan

Memperoleh gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2011

iii

SKRIPSI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA JASA

PARKIR DI STASIUN PT. KERETA API INDONESIA (KAI)

PERSERO PURWOKERTO

Oleh:

REZA HARIS

E1A004208

Untuk memenuhi salah satu persyaratan

Memperoleh gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan disahkan

Pada tanggal 22 Agustus 2011

Para penguji/pembimbing

Penguji I/

Pembimbing I

Hj. Rochani Urip Salami, SH., M.S.

NIP. 19520603 198003 2 001

Penguji II/

Pembimbing II

Dr. Arief Suryono, S.H., M.H.

NIP. 19580929 198702 1 001

Penguji III

Agus Mardianto, S.H., M.H.

NIP. 19650831 200312 1 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum

Hj. Rochani Urip Salami, SH., M.S.

NIP. 19520603 198003 2 001

iv

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : REZA HARIS

NIM : E1A004208

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Skripsi : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN

PENGGUNA JASA PARKIR DI STASIUN PT. KERETA API

INDONESIA (PERSERO) PURWOKERTO.

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya,

bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya aku sebagai

tulisan atau pikiran saya, kecuali yang tersebut di dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil jiplakan,

atas perbuatan tersebut maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

Purwokerto, Agustus 2011

Yang membuat pernyataan

REZA HARIS

NIM. E1A004208

K

v

ABSTRAK

Pengaturan di seputar jasa pelayanan perparkiran masih terjadi perdebatan, terutama

soal wujud jasa yang diperdagangkan. Peraturan perundang-undangan masih memandang

bahwa yang dimaksud dengan layanan jasa parkir adalah penyediaan lahan yang disewa

untuk tempat parkir kendaraan, tidak termasuk keamanan. Kehilangan dan atau kerusakan

yang terjadi pada kendaraan tersebut selama berada di lahan parkir, menjadi tanggung

jawab konsumen sendiri. Hal ini sangat merugikan pihak konsumen jasa parkir yang telah

membayar sejumlah uang namun tidak mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan.

Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini berusaha untuk mengkaji perlindungan hukum

terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto

berdasarkan Pasal 4 huruf a, huruf d, dan huruf h UU No. 8 Tahum 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perlindungan hukum

terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto

didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun

PT. KAI Persero Purwokerto oleh PT. Linggarjati Permai berdasarkan Pasal 4 huruf a

belum terpenuhi, yaitu pengelola hanya sekedar menyediakan tempat/lahan parkir untuk

disewa dan bukan penitipan kendaraan, bahwa didalam hubungan hukum sewa

menyewa terdapat proses pembayaran yang dilakukan oleh konsumen kepada pelaku

usaha atas jasa sewa lahan parkir tersebut, tanpa membebankan kepada pelaku usaha

untuk bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen.

2. Perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun

PT. KAI Persero Purwokerto oleh PT. Linggarjati Permai berdasarkan Pasal 4 huruf d

belum terpenuhi, karena keluhan tentang kurangnya pengawasan hanya sekedar

ditampung, tanpa ada upaya untuk melakukan penjagaan yang ketat pada pintu keluar,

yaitu tidak ada penarikan karcis dan pemeriksaan STNK pada setiap kendaraan yang

meninggalkan area parkir.

3. Perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun

PT. KAI Persero Purwokerto oleh PT. Linggarjati Permai berdasarkan Pasal 4 huruf h

belum terpenuhi, yaitu pengelola jasa parkir berlindung di balik klausula baku yang

tertera dalam karcis parkir, bahwa kehilangan barang/kendaraan tidak ditanggung.

Kata kunci: perlindungan hukum, konsumen, jasa, parkir

vi

ABSTRACT

The arrangement of the parking service still becomes the controversy discussion,

especially about the form off service, that will traded, the ordinance regulation still

considering that what has been defined by the parking service is the providing the area

which is hired for the parking place , not involve the security . the lost or the damages ,

that occourd for the vehicles which is located in the parking places it becomes the

responsible of consumer it self . it very inflict a financial lost for the consumer side who

uses the parking service where they have paid some of money but they still having no of

time, the guaranty security and safety, based on he reason above this research, tries to

examine the law protection to the consumer as the parkinf service user in station PT. KAI

PERSERO PURWOKERTO based on the Article 4 letters a, lettera b, and letters h

ordinance No.8 about a consumer protection.

Based on the research result and discussion about the law protection to the

consumer protection as the parking service user in stationPT.KAI Persero Purwokerto is

obtained the result as following:

1. Law protection to the consumer as the parking area user in Station PT. KAI Persero

Purwokerto by where the management only provide the plase/parking area to be hired

and not for the vehicles storage,that in thelaw relation of hire, there is the payment

process there is conducted by consumer to the businessman to responsible for the loss

or damage that has been cause by consumer.

2. Law protection to the consumer as the parking area user in station PT. KAI Persero

Purwokerto by PT. Linggarjati Permai based on the Article 4 letters d has not being

fulfilled, because the complaint about the lack of controlling they just accommodate

the vehicles without any effort to conduct the tight security in every exit door, there is

no any ticket collection and checking STNK for every vehicle that leave the parking

area.

3. Law protection to the consumer as the parking area user in Station PT. KAI Persero

Purwokerto by PT. Linggarjati Permai based on the Article 4 letters h has not been

fulfilled, where the management of parking area be hind the legal clausal that is

explained in the parking ticket, that loss of goods/vehicle is not responsible for the

parking area management.

Keyword: law protection, consumer, service, parking

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Alloh SWT atas limpahan karunia-Nya,

sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN

HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA JASA PARKIR DI STASIUN

PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) PURWOKERTO” dengan baik dan

lancar. Skripsi ini merupakan persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penyusun banyak menerima bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penyusun mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang tulus kepada:

1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, SH., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Unsoed

Purwokerto., yang sekaligus juga sebagai Dosen Pembimbing I/Penguji I., yang telah

begitu banyak memberikan saran dan motivasi sehingga studi ini dapat terselesaikan.

2. Bapak Dr. Arief Suryono, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II/Penguji II, yang

telah memberikan nasihat dan perbaikan dalam penyusunan tugas akhir ini.

3. Bapak Agus Mardianto, S.H., M.H.selaku Dosen Penguji III, yang telah memberikan

kritik, saran, serta perbaikan dalam penyusunan tugas akhir ini.

4. Seluruh civitas akademika Fakultas Hukum Unsoed, yang tidak mungkin dapat

disebutkan satu per satu, terima kasih atas semua tempaan ilmu dan wawasan yang telah

penyusun peroleh selama ini.

5. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi

ini.

viii

Penyusun menyadari bahwa skripsi ini hanya merupakan studi awal yang

mengandung banyak kelemahan. Oleh sebab itu penyusun dengan terbuka menerima

segala bentuk kritik dari pembaca yang budiman, karena komentar, saran, kritik dan

masukan merupakan warna yang indah dalam dialog intelektual. Penyusun percaya bahwa

dengan kritik seseorang akan lebih memahami kemampuan, kelebihan, kelemahan dan

kekurangan dirinya. Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat..

Purwokerto, 25 Agustus 2011

Penyusun

Reza Haris

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL DEPAN ............................................................................ i

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................................ iv

ABSTRAK .............................................................................................................. v

ABSTRACT ............................................................................................................ vi

KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Perumusan Masalah .......................................................................... 10

C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 10

D. Kegunaan Penelitian ......................................................................... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 11

A. Hukum Perlindungan Konsumen ...................................................... 11

1. Pengertian dan Tujuan Perlindungan Konsumen ........................ 11

2. Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen .................................... 14

3. Pengaturan Hukum Perlindungan Konsumen ............................. 15

B. Konsumen ......................................................................................... 19

1. Pengertian Konsumen ................................................................. 19

2. Hak dan Kewajiban Konsumen .................................................. 21

C. Pelaku Usaha ..................................................................................... 30

1. Pengertian Pelaku Usaha ............................................................ 30

2. Hak, Kewajiban dan Larangan Bagi Pelaku Usaha .................... 32

D. Retribusi Parkir ................................................................................. 38

x

E. PT. Kereta Api Indonesia (Persero) .................................................. 42

1. Pengertian Badan Hukum ........................................................... 42

2. Pengertian Perseroan Terbatas .................................................... 44

3. Perubahan Perusahaan Umum Kereta Api menjadi PT. Kereta

Api (Persero) ............................................................................... 50

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 52

A. Metode Pendekatan ........................................................................... 53

B. Spesifikasi Penelitian ........................................................................ 53

C. Lokasi Penelitian .............................................................................. 53

D. Sumber Data ...................................................................................... 54

E. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 55

F. Metode Penyajian Data ..................................................................... 55

G. Metode Analisis Data ........................................................................ 56

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 57

A. Hasil Penelitian ................................................................................ 57

1. Data Sekunder ............................................................................. 57

1.1. Penyelenggaraan Pelayanan Jasa Parkir Berdasarkan

Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun

2008 tentang Retribusi Parkir ............................................ 57

1.2. Pengelolaan Lahan Parkir di Stasiun PT. KAI Persero

Purwokerto ......................................................................... 58

1.3. Klausula/Perjanjian Baku dalam Pelaksanaan Pelayanan

Parkir di PT. KAI Persero Purwokerto .............................. 59

2. Data Primer ................................................................................. 59

xi

B. Pembahasan ....................................................................................... 60

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa ........................................... 63

2. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang

dan/atau jasa ................................................................................ 65

3. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak

sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya ....... 66

BAB V. PENUTUP ............................................................................................... 86

A. Simpulan ........................................................................................... 86

B. Saran .................................................................................................. 87

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 88

xii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan

perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya sesuai dengan yang tercantum dalam

Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan

Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan akan harkat dan martabat manusia atas dasar

nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, serta keadilan sosial. Nilai-

nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya

sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah negara kesatuan yang

menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama.

Perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar yang

bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup

sesuai dengan hak-hak asasi. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Sanadianto sebagai

berikut:

Definisi dari perlindungan hukum itu sendiri yaitu segala daya upaya yang

dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang

bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup

sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak

membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, Sistem pemerintahan negara

sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen)

diantaranya menyatakan prinsip Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum

xiii

(rechtstaat) dan Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Elemen pokok

negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap “fundamental rights” (tiada

negara hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap “fundamental rights”.

Dalam kehidupan dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral

konstitusionalisme, yaitu menjamin kebebasan dan hak warga, maka menaati hukum dan

konstitusi pada hakekatnya menaati imperatif yang terkandung sebagai substansi maknawi

di dalamnya (imperatif : hak-hak warga yang asasi harus dihormati dan ditegakkan oleh

pengembang kekuasaan negara dimanapun dan kapanpun, juga ketika warga menggunakan

kebebasannya untuk ikut serta atau untuk mempengaruhi jalannya proses pembuatan

kebijakan publik.

Perlindungan hukum berarti perlindungan menurut hukum dan undang-undang

yang berlaku, dengan asumsi bahwa tidak ada orang yang mutlak salah dan tidak ada orang

yang mutlak benar, sehingga seseorang yang dituduh bersalah maka orang itu harus

diperiksa dan diadili sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku. Barita Tambunan

dalam hal ini mengatakan sebagai berikut:

Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yaitu “perlindungan” dan “hukum”.

Artinya, perlindungan menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Bahwa pada

hakekatnya tidak ada orang yang mutlak salah dan tidak ada orang yang mutlak benar.

Apabila seseorang dituduh bersalah maka orang yang dituduh bersalah itu harus diperiksa

dan diadili sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku. Apabila seseorang yang

dituduh bersalah akan tetapi diperiksa dan diadili tidak sesuai hukum dan undang-undang

yang berlaku maka apa bedanya orang yang memeriksa dan mengadili dengan orang yang

dituduh bersalah itu.

xiv

Erwin Yuniatiningsih di pihak lain mengemukakan pendapatnya mengenai

pengertian perlindungan hukum sebagai berikut:

Perlindungan hukum adalah melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan

perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-undang, maka oleh karena

itu untuk setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta dampak yang diderita

olehnya ia berhak pula untuk mendapat hukum yang diperlukan sesuai dengan asas hukum.

Perlindungan hukum mencakup semua objek, termasuk di dalamnya konsumen

sebagai objek perlindungan. Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati menyatakan begitu

pentingnya perlindungan terhadap konsumen sebagai berikut:

Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya

menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan

perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama

lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antar konsumen, pengusaha dan

pemerintah.

Nonet dan Selznick, sebagaimana dikutip oleh Abidin, menyatakan sebagai berikut:

Konfigurasi politik demokratis akan melahirkan produk hukum responsif, yang

mencerminkan dan mengakomodasi aspirasi kepentingan rakyat. Sebagai produk politik,

negara banyak menggunakan hukum untuk mengatur pola perilaku masyarakat untuk

memenuhi tuntutan sosial, yaitu memenuhi aspirasi dan kepentingan rakyat. Masalah

konsumen sebagai bagian dari obyek pengenaan aturan/hukum tersebut, dan untuk itu

timbul hukum konsumen.

A.Z. Nasution memberikan batasan hukum konsumen sejalan dengan batasan

hukum internasional, dimana hukum konsumen dibatasi sebagai:

xv

Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah

penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan

penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat”.

Skala hukum konsumen meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan

pihak konsumen di dalamnya, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Shidarta sebagai berikut:

Hukum konsumen berskala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat

kepentingan pihak konsumen di dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada

kemauan kita mengartikan “hukum”, termasuk juga hukum diartikan sebagai asas dan

norma. Salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungannya,

misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap pihak ketiga.

Pada awalnya masalah perlindungan konsumen diawali dengan munculnya

pergerakan konsumen (consumer movement) yang merupakan reaksi masyarakat

konsumen terhadap kelalaian yang dilakukan oleh birokrasi dan ketidakpedulian

perusahaan. Hal tersebut membawa ekses yang positif terhadap peraturan hukum

konsumen itu sendiri dan hukum perlindungan konsumen. Shidarta dalam hal ini

berpendapat sebagai berikut:

Istilah ”Hukum Konsumen” dan ”Hukum Perlindungan Konsumen” sudah sering

didengar, namun belum jelas apa yang masuk dalam materi keduanya. Juga apakah kedua

”cabang” hukum itu identik. Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi

oleh hukum. Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan

(pengayoman) kepada masyarakat. Oleh karena itu, sebenarnya hukum konsumen dan

hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik

batasannya.

xvi

Sesuai dengan namanya, adressat dari hukum konsumen untuk memberikan

perlindungan terhadap konsumen. Sebagai konsekuensi logis dari hukum konsumen adalah

hukum perlindungan konsumen. Hal senada dikemukakan oleh A.Z. Nasution, yang

mengatakan sebagai berikut:

Hukum perlindungan konsumen sebagai bagian khusus dari hukum konsumen.

Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang

mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan

penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya,

dalam kehidupan bermasyarakat.

Inti dari perlindungan hukum bagi konsumen adalah upaya untuk menjamin adanya

kepastian hukum dalam memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Hal ini

sebagaimana dikatakan oleh Ahmadi Miru sebagai berikut:

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kata “segala upaya memperluas

makna perlindungan konsumen, yaitu tidak terbatas hanya pada Undang-undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun juga meliputi aturan lain sepanjang

aturan tersebut memang memberikan perlindungan kepada konsumen. Aturan di sini

hendaknya diartikan secara luas, tidak terbatas pada aturan tertulis, tetapi juga meliputi

kebiasaan-kebiasaan yang sudah menjadi semacam pedoman untuk selalu dilakukan. Kata

tersebut (segala upaya) diikuti kata “yang menjamin adanya kepastian hukum”, sehingga

menjadi --kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang

merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen..

xvii

Objek dari hukum perlindungan konsumen adalah produk barang dan/atau jasa

yang diambil manfaatnya (dikonsumsi) oleh konsumen. Pengertian barang berdasarkan UU

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur pada Pasal 1 angka 4 yang

menentukan sebagai berikut:

Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak

maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk

diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

Pengertian jasa diatur pada Pasal 1 angka 5 yang menentukan sebagai berikut:

Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan

bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

Ahmadi Miru, berkaitan dengan pengertian produk jasa sebagaimana diatur pada

Pasal 1 angka 5 tersebut di atas, mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:

Pengertian jasa di dalam Pasal 1 angka 5 yang menyebut kata “bagi masyarakat”

memberikan kesan bahwa jasa yang dimaksud haruslah jasa yang ditawarkan kepada lebih

dari satu orang. Ini berarti, jasa yang merupakan layanan khusus kepada individu secara

perseorangan bukanlah jasa sebagaimana dimaksud UUPK. Kesimpulan seperti ini

mungkin dirasakan ganjil, terutama bila dihubungkan dengan persediaan jasa, atau yang

disebut layanan itu, sifatnya sangat terbatas hanya dapat ditawarkan kepada seseorang.

Misalnya dalam jasa angkutan barang, yang kebetulan seorang pengusaha baru memiliki

satu alat angkutan, tidak dapat dihindari oleh pengusaha yang bersangkutan kecuali

menawarkan hanya kepada seseorang. Dalam hubungan ini, lebih tepat bila dalam rumusan

tersebut tidak menyebutkan istilah “bagi masyarakat”, tetapi “bagi anggota masyarakat”.

Dengan demikian tidak terbatas hanya ditawarkan untuk dua atau lebih orang, melainkan

xviii

termasuk penawaran yang dilakukan kepada seseorang, yang dalam hal ini layanan

dimaksud disediakan untuk anggota masyarakat.

Salah satu bentuk layanan jasa yang ditawarkan dan disediakan bagi konsumen

adalah layanan jasa (retribusi) parkir. Pelayanan jasa parkir di Purwokerto salah satunya

diselenggarakan oleh Stasiun Purwokerto yang merupakan stasiun besar Daerah Operasi 5

(DAOP 5).

Stasiun Kereta Api Purwokerto merupakan satu-satunya stasiun yang melayani

masyarakat yang berada di Kabupaten Banyumas yang ingin menggunakan jasa

perkeretaapian. Semakin banyaknya warga yang menggunakan jasa pelayanan

perkeretapian, maka sudah seharusnya sarana penunjang perkeretaapian harus ditingkatkan

terutama sarana yang berada di areal stasiun, terutama mengenai jasa perparkiran.

Pergerakan kendaraan yang terjadi sudah pasti diawali dan diakhiri di tempat parkir.

Kondisi yang semacam ini tentunya akan membutuhkan ruang parkir yang memadai,

namun persediaan ruang parkir di kawasan pusat kota biasanya sangat terbatas, terutama

areal parkir di luar badan jalan (off Street parking).

Masalah utama dari parkir adalah terbatasnya ruang parkir yang tersedia

dibandingkan dengan jumlah kendaraan yang membutuhkan tempat areal parkir sehingga

untuk pemecahannya perlu ditambah areal parkir yang luas sedangkan di pusat kota

terutama pada kawasan yang kegiatan perdagangan dan jasa tinggi lahan yang ada sangat

terbatas dan mahal.

Penyelenggaraan jasa parkir dalam lalu lintas harus sesuai dengan peraturan yang

berlaku dalam hal ini diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

xix

Angkutan Jalan. Pasal 1 angka 15 UU No. 22 Tahun 2009 memberikan pengertian tentang

parkir sebagai berikut:

Parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat

dan ditinggalkan pengemudinya.

Pasal 1 angka 16 UU No. 22 Tahun 2009 lebih lanjut menegaskan tentang

pengertian berhenti sebagai berikut:

Berhenti adalah keadaan kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan

pengemudinya.

Penyediaan fasilitas parkir berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 diatur pada Pasal

43 yang menegaskan sebagai berikut:

(1) Penyediaan fasilitas parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar

ruang milik jalan sesuai dengan izin yang diberikan.

(2) Penyelenggaraan fasilitas parkir di luar ruang milik jalan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara

Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa:

a. usaha khusus perparkiran; atau

b. penunjang usaha pokok.

(3) Fasilitas parkir di dalam ruang milik jalan hanya dapat diselenggarakan di

tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus

dinyatakan dengan rambu lalu lintas, dan/ atau marka jalan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengguna jasa fasilitas parkir, perizinan,

persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan parkir untuk umum

diatur dengan peraturan pemerintah.

xx

Pengertian parkir di tempat umum diatur pada Penjelasan Pasal 43 ayat (1) yang

menegaskan sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan "parkir untuk umum" adalah tempat untuk memarkir

kendaraan dengan dipungut biaya.

Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas parkir dilakukan oleh Pemerintah

Daerah setempat, hal ini sebagaimana ditegaskan pada Pasal 44 UU No. 22 Tahun 2009

sebagai berikut:

Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas parkir untuk umum dilakukan oleh

Pemerintah Daerah dengan memperhatikan:

a. rencana umum tata ruang;

b. analisis dampak lalu lintas; dan

c. kemudahan bagi Pengguna Jasa.

Pelayanan jasa parkir di Kabupaten Banyumas didasarkan pada Peraturan Daerah

Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum.

Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 memberikan definisi tempat

parkir pada Pasal 1 angka 6 sebagai berikut:

Tempat Parkir adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat pemberhentian

kendaraan yang bersifat tidak sementara pada suatu kurun waktu yang tertentu.

Pasal 1 angka 7 menegaskan tentang pengertian parkir sebagai berikut:

Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat

sementara.

xxi

Pembayaran jasa layanan parkir disebut dengan retribusi parkir, hal ini

sebagaimana ditegaskan pada Pasal 1 angka 8 sebagai berikut:

Retribusi parkir di tepi jalan umum yang selanjutnya disebut retribusi adalah

pembayaran atas pelayanan parkir di tepi jalan umum yang diselenggarakan oleh

Pemerintah Daerah.

Pihak yang memanfaatkan jasa parkir disebut sebagai wajib retribusi, sebagaimana

ditegaskan pada Pasal 1 angka 9 sebagai berikut:

Wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan

perundang-undangan di bidang retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi

termasuk pemungutan dan pemotongan retribusi tertentu.

Pengaturan di seputar jasa pelayanan perparkiran masih terjadi perdebatan,

terutama soal wujud jasa yang diperdagangkan. Peraturan perundang- undangan masih

memandang bahwa yang dimaksud dengan layanan jasa parkir adalah penyediaan lahan

yang disewa untuk tempat parkir kendaraan, tidak termasuk keamanan. Kehilangan

dan/atau kerusakan yang terjadi pada kendaraan tersebut selama berada di lahan parkir,

menjadi tanggung jawab konsumen sendiri. Hal ini sangat merugikan pihak konsumen jasa

parkir yang telah membayar sejumlah uang namun tidak mendapatkan jaminan keamanan

dan keselamatan.

Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan transaksi ekonomi

yang hak- haknya sering diabaikan oleh sebagian pelaku usaha, sehingga hak- hak

konsumen perlu dilindungi. Berkaitan dengan jasa parkir, terdapat hak- hak konsumen

yang secara normatif telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, yaitu pada Pasal 4 huruf a dimana konsumen berhak atas kenyamanan,

xxii

keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, Pasal 4 huruf d,

yang memberikan hak kepada konsumen untuk didengar pendapat dan keluhannya atas

barang dan/atau jasa yang digunakan, dan Pasal 4 huruf h yang memberikan hak kepada

konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana

mestinya.

Pasal 7 huruf f UU No. 8 Tahun 1999 juga mengatur mengenai ganti rugi sebagai

kewajiban pelaku usaha yang menegaskan sebagai berikut:

Kewajiban pelaku usaha adalah memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang

dan/atau jasa yang diperdagangkan;

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di

Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto berdasarkan Pasal 4 huruf a, huruf d, dan huruf h UU

No. 8 Tahum 1999 tentang Perlindungan Konsumen ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen

pengguna jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto berdasarkan Pasal 4 huruf a,

huruf d, dan huruf h UU No. 8 Tahum 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

xxiii

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoretis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi teori ilmu hukum,

khususnya Hukum Perlindungan Konsumen.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pemahaman tentang

perlindungan konsumen, khususnya mengenai perlindungan hukum konsumen jasa parkir

kendaraan bermotor.

xxiv

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Perlindungan Konsumen

1. Pengertian dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Pengertian perlindungan konsumen diatur pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan definisi sebagai

berikut:

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum

untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Pengertian perlindungan konsumen tersebut memberikan gambaran bahwa hubungan

antara konsumen dan pelaku usaha pada dasarnya adalah hubungan hukum yang

menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak. Hubungan

hukum antara konsumen dengan pelaku usaha senantiasa dimaksudkan agar kedua belah

pihak sama-sama menikmati keuntungan atau dengan kata lain tidak saling merugikan.

Konsumen dalam setiap mengkonsumsi suatu produk barang dan/atau jasa selain

menginginkan kepuasan, sedang pelaku usaha selalu menginginkan untuk memperoleh

keuntungan ekonomis dari hubungan tersebut. Maksud kedua pihak tersebut akan terwujud

apabila secara sadar beritikad baik untuk saling memenuhi kewajiban masing-masing.

Pemerintah juga secara konsisten mampu menegakkan hukum secara benar terhadap segala

bentuk pelanggaran hak-hak konsumen maupun pelaku usaha.

Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan kaidah-kaidah yang

mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan penyediaan masalah penyediaan

xxv

dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya. Hal ini sebagaimana

dikemukakan oleh

A.Z. Nasution yang menyatakan sebagai berikut :

Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang

mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan penyediaan masalah penyediaan

dan penggunaan produk (barang dan/ jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya,

dalam kehidupan bermasyarakat.

Tujuan perlindungan konsumen berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen diatur pada Pasal 3 yang ditentukan sebagai berikut :

Perlindungan konsumen bertujuan:

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya

dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian

hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam

berusaha;

xxvi

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan konsumen.

Prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum perlindungan konsumen bukan

merupakan sesuatu yang khas “hukum perlindungan konsumen” karena juga diterapkan

dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen

dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin dan teori. Termasuk

kelompok ini adalah sebagaimana dikemukakan oleh Shidarta sebagai berikut:

a. prinsip let the buyer beware (caveat emptor);

b. prinsip the due care theory;

c. prinsip the privity of contract;

d. prinsip kontrak bukan merupakan syarat.

Keempat prinsip tersebut oleh Shidarta lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

a. Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor berasumsi pelaku usaha dan

konsumen merupakan dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada

proteksi apapun bagi si konsumen. Konsumen tidak mendapat akses informasi yang

sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya. Jika konsumen mengalami

kerugian, pelaku usaha dapat dengan ringan berdalih, semua itu karena kelalaian

konsumen sendiri.

b. Doktrin the due care theory menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk

berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Apabila

kewajibannya sudah dilaksanakan, maka untuk dapat mempersalahkan pelaku

xxvii

usaha, seseorang harus membuktikan pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-

hatian.

c. Prinsip the privity of contrak mengatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban

untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara

mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat

dipersalahkan atas hal-hal diluar dari yang telah diperjanjikan. Konsekuensi bagi

konsumen , mereka hanya boleh menggugat berdasarkan wanprestasi (contractual

liability).

d. Kontrak bukan merupakan syarat, prinsip ini menghendaki kontrak bukan lagi

merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum. Meskipun

ada pandangan yang menyatakan prinsip kontrak bukan syarat hanya berlaku untuk

obyek transaksi berupa barang. Sebaliknya, kontrak selalu dipersyaratkan untuk

transaksi konsumen dibidang jasa.

Keberadaan hukum perlindungan konsumen, bukan berarti eksistensi pelaku usaha

tidak mendapatkan perhatian oleh pembentuk Undang-undang, karena tidaklah dapat

dipungkiri bahwa keberadaan perekonomian nasional sangat ditentukan oleh para pelaku

usaha, namun demikian tetaplah kepentingan konsumen yang diutamakan mengingat

posisinya yang lemah dibanding dengan pelaku usaha. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudho

memberikan penjelasan sebagai berikut:

Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena

itu agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum ukurannya secara

kualitatif ditentukan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang

xxviii

lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan

konsumen baik dalam hukum privat (perdata) maupun bidang hukum publik (hukum

pidana dan administrasi negara). Keterlibatan berbagai disiplin ilmu sebagaimana

dikemukakan diatas, memperjelas kedudukan hukum perlindungan konsumen berada

dalam kajian hukum ekonomi.

2. Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen

Prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum perlindungan konsumen bukan

merupakan sesuatu yang khas “hukum perlindungan konsumen” karena juga diterapkan

dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen

dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin dan teori. Termasuk

kelompok ini adalah:

a. prinsip let the buyer beware (caveat emptor);

b. prinsip the due care theory;

c. prinsip the privity of contract;

d. prinsip kontrak bukan merupakan syarat.

Shidarta selanjutnya menjelaskan keempat prinsip tersebut sebagai berikut:

a. Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor berasumsi pelaku usaha dan

konsumen merupakan dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada

proteksi apapun bagi si konsumen. Konsumen tidak mendapat akses informasi yang

sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya. Jika konsumen mengalami

kerugian, pelaku usaha dapat dengan ringan berdalih, semua itu karena kelalaian

konsumen sendiri.

xxix

b. Doktrin the due care theory menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk

berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Apabila

kewajibannya sudah dilaksanakan, maka untuk dapat mempersalahkan pelaku

usaha, seseorang harus membuktikan pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-

hatian.

c. Prinsip the privity of contrak mengatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban

untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara

mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat

dipersalahkan atas hal-hal diluar dari yang telah diperjanjikan. Konsekuensi bagi

konsumen, mereka hanya boleh menggugat berdasarkan wanprestasi (contractual

liability).

d. Kontrak bukan merupakan syarat, prinsip ini menghendaki kontrak bukan lagi

merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum. Meskipun

ada pandangan yang menyatakan prinsip kontrak bukan syarat hanya berlaku untuk

obyek transaksi berupa barang. Sebaliknya, kontrak selalu dipersyaratkan untuk

transaksi konsumen dibidang jasa.

3. Pengaturan Hukum Perlindungan Konsumen

Pengaturan hukum perlindungan konsumen diatur dalam bentuk perundang-

undangan. AZ.Nasution memberikan definisi tentang peraturan perundang-undangan

sebagai berikut:

Yang dimaksudkan dengan peraturan perundang-undangan umum adalah semua

peraturan perundang undangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan berwenang

xxx

untuk itu, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Peraturan perundang-undangan itu

antara lain adalah: (di pusat) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, Keputusan

Presiden, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan seterusnya dan (di daerah)

Peraturan Daerah, Surat Keputusan Gubernur, Surat Keputusan Bupati/Walikota, dan lain

sebagainya.

Pembangunan nasional menghendaki pembangunan manusia Indonesia yang

seutuhnya, dimana seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh kesejahteraan dan

keadilan. Berbicara mengenai kesejahteraan dan keadilan erat kaitannya dengan masalah

ekonomi dan hukum, yang sudah barang tentu untuk merealisasikannya membutuhkan

serangkaian sistem aturan main, dimana aturan main disini sebagai sarana pendukung

terciptanya kegiatan ekonomi yang sehat. Untuk mewujudkan keadilan, pemerintah

berkewajiban menyediakan perangkat hukum yang menjamin persamaan hak diantara

pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan ekonomi, atau setidaknya instrument tersebut

memberikan perlindungan kepada pihak yang memiliki bargaining power lemah, dalam hal

ini konsumen. Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan kepada

konsumen Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan lagi.

Sekedar untuk lebih meyakinkan pentingnya perlindungan hukum terhadap

konsumen, sekiranya dapat dilihat bahwa pada saat sebelum Indonesia merdeka pun,

pemerintah Hindia Belanda sudah menciptakan peraturan-peraturan yang pada intinya

memberikan perlindungan kepada konsumen, meskipun untuk saat ini sebagian besar

peraturan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Perturan-peraturan tersebut seperti yang

diungkapkan oleh Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani sebagai berikut:

a. Reglement Induistriele Eigendom, S.1912-545, jo. S.1913 Nomor 214;

xxxi

b. Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat) S.1931 Nomor 28;

c. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S.1926-226, jo. S.1927-449, jo.

S.1940-14 dan 450;

d. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S.1931-509;

e. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S.1932-143

f. Verpakkings Ordonnantie (Ordonansi Kemasan), S.1932-143

g. Ordonnantie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih), S.1936-671;

h. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Obat Keras),

S.1937-641;

i. Bedrijfsrelementerings Ordonnantie (Ordonansi Penyaluran Perusahaan),

S.1938-86

j. Ijkodonnantie (Ordonansi Tera), S.1949-175;

k. Gevaarlijke Stoffen Ordonantie (Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya), S.1949-

377;

l. Pharmaceutische Stoffen Keurings Ordonnantie, S.1955-660.

Setelah Indonesia merdeka, semangat pembangunan nasional pun dinyalakan,

pembangunan dilakukan di berbagai bidang, sektor hukum tak luput jadi sasaran. Secara

materiil, banyak hukum nasional yang materinya melindungi kepentingan konsumen,

diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Undang-undang Nomor 10 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 Tentang Barang Menjadi

Undang-undang;

b. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 Tentang Hygiene;

xxxii

c. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal;

d. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian;

e. Undang-undang Nomor 15 tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan;

f. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 Tentang Kamar Dagang dan Industri;

g. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Agreement Establishing the

World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan

Dunia);

h. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil;

i. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan;

j. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-

undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan;

k. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten;

l. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek;

m. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta;

n. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran;

o. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;

p. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas;

q. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup;

r. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lahir

sebagai perjuangan berbagai pihak dalam mengusahakan terciptanya perlindungan

xxxiii

terhadap konsumen. Sebagai dasar filosofinya, dalam setiap kegiatan ekonomi, konsumen

selalu didudukkan dalam posisi yang lemah, baik secara ekonomi maupun pendidikan

intelektual, dan untuk itu perlu dilindungi dengan hukum. Undang-undang tentang

Perlindungan Konsumen bukan merupakan pengaturan awal dan akhir dari hukum tentang

perlindungan konsumen, karena sejak ditetapkannya Undang-undang tersebut, telah pula

ditetapkan Undang-undang lain yang di dalamnya juga mengatur tentang perlindungan

konsumen. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani

sebagai berikut:

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan

awal dan akhir dari hukum yang mengatur perlindungan konsumen, sebab sampai pada

terbentuknya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini

telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen.

Mewujudkan perlindungan konsumen dapat dilakukan dengan mensinergikan hubungan

berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan

antara konsumen, pengusaha, dan pemerintah. Upaya penyelenggaraan, pengembangan,

dan pengaturan perlindungan konsumen bertujuan untuk meningkatkan martabat dan

kesadaran konsumen dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha didalam

menyelenggarakan kegiatan usahanya dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab.

Nurmadjito, sebagaimana dikutip oleh Husni Syawali, dkk., mengatakan bahwa:

Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan:

a. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan

akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum;

xxxiv

b. melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku

usaha;

c. meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;

d. memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan

menyesatkan;

e. memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan

konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain.

B. Konsumen

1. Pengertian Konsumen

Konsumen berasal dari kata consumer yang berarti pemakai atau konsumen. Hal ini

sebagaimana dikemukakan oleh Az. Nasution yang mengatakan sebagai berikut:

Sebetulnya istilah konsumen berasal dari kata Consumer (Inggris/Amerika) atau

Consument/Konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata Consumer itu adalah lawan kata

dari produsen atau setiap orang yang menggunakan barang. Namun kamus Bahasa Inggris-

Indonesia mengartikan arti kata konsumer sebagai pemakai atau konsumen.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memberikan definisi mengenai konsumen

sebagai berikut:

Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik

kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Pengertian konsumen berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

diatur pada Pasal 1 angka 2 yang menegaskan bahwa:

xxxv

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk

hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 dikenal ada 2 (dua) istilah konsumen

yaitu konsumen akhir dan konsumen antara, yang disebut konsumen akhir adalah

pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Sedangkan konsumen antara adalah

konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu

produk lainnya. Sedangkan pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah

konsumen akhir.

Az Nasution mengatakan bahwa meskipun pengertian Konsumen di masing-masing negara

berbeda-beda, namun tetap mempunyai satu makna yaitu sebagai pengguna barang atau

jasa. Hal ini dapat dilihat dari:

a. Undang-undang Konsumen India / Consumer Protection Act of 1989 Nomor 68

menentukan, bahwa konsumen adalah setiap orang pembeli barang yang disepakati

menyangkut harga dan cara pembayarannya tetapi tidak termasuk mereka yang mendapat

barang untuk dijual kembali atau untuk keperluan komersial.

b. Undang-undang jaminan produk Amerika Serikat, ditemukan ketentuan-ketentuan

ayat (1) dan ayat (3), yang menunjukan bahwa konsumen adalah setiap pembeli produk

konsumen, yang tidak untuk dijual kembali dan pada umumnya digunakan untuk keperluan

pribadi, keluarga, atau rumah tangga (personal, family or household).

c. RRC dalam pasal 2 Beijing Munisipal Regulation or Protection of Consument‟s

Legal Rights and Interest menyatakan istilah konsumen mengacu pada “units and

xxxvi

individuals who obtain, by paying the value consumer good (here after as comodities) and

commercial services (here after as serviser).”

d. Burgerlijk Wetboek baru Belanda (NBW) seperti termuat dalam bagian-bagian

ketentuan tentang syarat umum perjanjian (Algemene Voor Warden), konsumen diartikan

sebagai orang alamiah yang dalam mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang

yang menjalankan suatu profesi atau perusahaan.

Menurut Heri Tjandrasari, pengertian konsumen dapat terdiri dari 3 bagian, yaitu:

a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat barang

dan/atau jasa untuk tujuan tertentu;

b. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat barang dan/atau

jasa untuk tujuan tertentu untuk diproduksi menjadi barang/jasa lain atau untuk

memperdagangkannya, dengan tujuan komersial. Konsumen ini sama dengan pelaku

usaha;

c. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat barang dan/atau

jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk

diperdagangkan kembali.

Berdasarkan pendapat para ahli yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan istilah konsumen adalah setiap pemakai barang dan jasa yang

tersedia dalam masyarakat baik yang digunakan untuk kepentingan bersama maupun

digunakan untuk kepentingan pribadi atau sendiri demi untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhannya dan tidak untuk diperdagangkan.

2. Hak dan Kewajiban Konsumen

a. Hak Konsumen

xxxvii

Hak-hak konsumen sesungguhnya sudah sejak lama diabaikan oleh para pelaku usaha,

bahkan sejak lahirnya UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kasus yang

sering muncul adalah karena akibat dari para pelaku usaha yang tidak mau memberikan

informasi yang cukup dan memadai tentang produk yang ditawarkan baik berupa barang

maupun jasa. Dalam kasus-kasus kecil, bisa terlihat dengan gamblang bagaimana

perlakuan pelaku usaha yang bergerak di bidang industri retail dalam urusan uang

kembalian pecahan Rp. 25,00 dan Rp. 50,00, dalam hal ini malah lebih parah lagi

perlakuannya, biasanya diganti dengan permen dalam berbagai jenisnya atau kalau tidak

malah dianggap sumbangan.

Secara umum, hak konsumen telah diungkapkan dalam beberapa versi. Diantaranya

mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, sebagaimana dikutip oleh Widjaja,

mengemukakan empat hak dasar konsumen, yaitu:

1) the right to safe products (hak untuk memperoleh keamanan);

2) the right to be informed about products (hak untuk mendapat informasi);

3) the right to definite choices in selecting products (hak untuk memilih);

4) the right to board regarding consumer interest (hak untuk didengar).

Hak-hak konsumen tersebut kemudian dikembangkan oleh International Organization of

Customer Union (IOCU) dan ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, hak

tersebut adalah sebagai berikut:

1) hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;

2) hak untuk memperoleh ganti rugi;

3) hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

4) hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat.

xxxviii

Disamping itu, Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) juga telah menyepakati lima hak dasar

konsumen yaitu :

1) hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn

gezendheid en veiligheid);

2) hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn

economische belangen);

3) hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding);

4) hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming)

5) hak untuk didengar (recht om te worden gehord).

Salah satu upaya pemberdayaan yang dapat melindungi hak-hak konsumen yaitu melalui

pembentukan Undang-Undang yang merupakan instrumen yuridis untuk melindungi

kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara

efektif dalam masyarakat. Hal ini ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disetujui oleh DPR RI yang kemudian

disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 April 1999, dan mulai berlaku

efektif pada tanggal 20 April 2000 sebagai peranti hukum untuk melindungi konsumen.

Hak-hak konsumen berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 diatur pada Pasal 4

yang menentukan sebagai berikut:

Hak konsumen adalah:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa;

xxxix

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana

mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Berdasarkan hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 tersebut di atas, Ahmadi

Miru dan Sutarman Yudo menyebutkan bahwa pada dasarnya dikenal 10 macam hak

konsumen, yaitu sebagai berikut:

a. Hak atas keamanan dan keselamatan;

b. Hak untuk memperoleh informasi;

c. Hak untuk memilih;

d. Hak untuk didengar;

e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;

xl

f. Hak untuk memperoleh ganti rugi;

g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

h. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya;

j. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.

Pasal 4 huruf a UUPK yang mengatur tentang hak konsumen untuk mendapatkan

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa,

sejalan dengan pendapat Shidarta yang menyatakan sebagai berikut:

Konsumen berhak mendapatkan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan atas barang dan

jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan

jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani maupun rohani.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo terkait dengan hal tersebut di atas, mengemukakan

pendapatnya sebagai berikut:

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan

keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga

konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu

produk.

Pasal 4 huruf b UUPK mengatur tentang hak konsumen untuk memilih barang dan/atau

jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan, dijelaskan oleh Shidarta sebagai berikut:

Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak

boleh mendapatkan tekanan dari pihak luar sehingga ia bebas untuk membeli atau tidak

xli

membeli. Seandainya ia jadi pembeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan

dibeli.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo terkait dengan hak konsumen untuk memilih ini

berpendapat sebagai berikut:

Hak memilih yang dimiliki oleh konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari

jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu

produsen atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain (baik suatu barang atau jasa), maka

dengan sendirinya hak untuk memilih ini tidak akan berfungsi.

Hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 huruf c UUPK tentang hak konsumen atas

informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa,

dijelaskan oleh Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo sebagai berikut:

Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh

gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen

dapat memilih produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian

akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Informasi yang merupakan hak konsumen

tersebut dapat disampaikan baik secara lisan maupun tertulis, baik yang dilakukan dengan

mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan

yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media cetak maupun media elektronik.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo lebih lanjut berpendapat sebagai berikut:

Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang

disampaikan kepada konsumen dapat juga merupakan salah satu cacat produk, yaitu yang

dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak atas

informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran

xlii

yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat

memilih produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat

kesalahan dalam penggunaan produk. Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut

diantaranya adalah mengenai manfaat kegunaan produk, efek samping atas penggunaan

produk, tanggal kadaluwarsa, serta identitas produsen dari produk tersebut. Informasi

tersebut dapat disampaikan baik secara lisan, maupun tertulis, baik yang dilakukan dengan

mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan

yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media cetak maupun media elektronik.

Berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur dari pelaku usaha,

menurut Suyadi, informasi yang benar meliputi:

1) Informasi yang tidak menyesatkan;

2) Informasi yang memuat aspek risiko dari barang yang diinformasikan;

3) Informasi yang tidak ada unsur kebohongan, kecurangan, ketidakjujuran,

menjerumuskan, pengelabuan, mengaburkan, menyiasati peraturan;

4) Informasi yang menaati kode etik dan peraturan-peratuan yang berkaitan dengan

pemberian informasi dalam memberitahukan kecurangan kepada konsumen;

5) Informasi yang dapat dipertanggungjawabkan;

6) Informasi yang lengkap, sehingga tidak menyebabkan timbulnya interpretasi yang

salah atau interpretasi yang tidak sepenuhnya benar.

Pasal 4 huruf d UUPK mengatur tentang hak konsumen untuk didengar pendapat dan

keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, lebih lanjut dijelaskan oleh Shidarta

sebagai berikut:

xliii

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk

didengar. Ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau

berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu, konsumen berhak

mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo berpendapat

sebagai berikut:

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut,

atau hak untuk menghindarkan dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang

berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang

diperoleh tentang produk kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya

kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pertanyaan/

pendapat tentang suatu kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan

konsumen.

Pasal 4 huruf e UUPK menyebutkan hak konsumen untuk mendapatkan advokasi,

perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Shidarta dalam hal ini menjelaskan sebagai berikut:

Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum ini sebenarnya meliputi juga hak untuk

mendapatkan ganti kerugian, tetapi kedua hak tersebut tidak identik. Untuk memperoleh

ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus menempuh upaya hukum terlebih dahulu.

Sebaliknya, setiap upaya hukum pada hakikatnya berisikan tuntutan memperoleh ganti

kerugian oleh salah satu pihak.

xliv

Pasal 4 huruf f UUPK mengatur tentang hak konsumen untuk mendapat pembinaan dan

pendidikan konsumen. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo dalam hal ini mengemukakan

pendapatnya sebagai berikut:

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen

memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari

kerugian akibat dari penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut,

konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang

dibutuhkan.

Pasal 4 huruf g UUPK mengatur tentang hukum konsumen untuk diperlakukan atau

dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Kemudian pada Pasal 7 huruf c

ditegaskan sebagai berikut:

Kewajiban pelaku usaha adalah memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan

jujur serta tidak diskriminatif.

Penjelasan Pasal 7 huruf c lebih lanjut menegaskan sebagai berikut:

Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku

usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.

Konsekuensi dari usaha yang dilakukan, maka pelaku usaha dibebani kewajiban untuk

memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang

diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal

7 huruf g Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 yang menentukan sebagai berikut:

Kewajiban pelaku usaha adalah memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian

apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

xlv

Hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi diatur dalam Pasal 4 huruf h UUPK yang

menentukan bahwa hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo dalam hal ini

berpendapat sebagai berikut:

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memilih keadaan yang telah menjadi rusak

(tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi

harapan konsumen. Hal ini terkait dengan kerugian konsumen, baik yang berupa kerugian

materiil, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian)

konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentunya harus melalui prosedur tertentu, baik

yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui

pengadilan.

Hak konsumen dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tidak dibatasi secara limitatif,

dengan ketentuan Pasal 4 huruf i Undang-undang Perlindungan Konsumen, radius

perlindungan dapat diperluas hingga menjangkau hak-hak konsumen yang diatur dalam

undang-undang lain. Ketentuan mengenai hak konsumen, khususnya huruf i dalam Pasal 4

Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan “hak-hak yang diatur dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya” menjadi jembatan penghubung hak

konsumen, yaitu antara hak yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen

dengan hak yang diatur dalam undang-undang lain yang baik secara langsung/tegas/tersirat

maupun tidak langsung/implisit/tersurat juga mengatur/melindungi hak masyarakat sebagai

konsumen.

xlvi

Banyak orang tidak (mau) menyadari bagaimana pelanggaran hak-hak konsumen

dilakukan secara sistematis oleh kalangan pelaku usaha, dan cenderung mengambil sikap

tidak ingin ribut. Contoh kasus dapat dibayangkan jawaban apa yang akan diterima apabila

konsumen berani mengajukan komplain atas kehilangan sebagian atau seluruh kendaraan

yang dititipkan pada pelaku usaha perparkiran. Apalagi jika meributkan masalah uang

kembalian yang (mungkin) menurut sebagian orang tidak ada nilainya. Masalah uang

kembalian dapat menimbulkan masalah legal-political, di samping masalah hukum yang

muncul karena uang menjadi alat tukar yang sah dan bukannya permen, hal ini juga

mempunyai implikasi dengan kebanggaan nasional dalam pemakaian uang rupiah.

Hukum perjanjian yang berlaku selama ini mengandaikan adanya kesamaan posisi tawar

diantara para pihak, namun dalam kenyataannya asumsi yang ada tidaklah mungkin terjadi

apabila perjanjian dibuat antara pelaku usaha dengan konsumen. Konsumen pada saat

membuat perjanjian dengan pelaku usaha posisi tawarnya menjadi rendah, untuk itu

diperlukan peran dari negara untuk menjadi penyeimbang ketidaksamaan posisi tawar ini

melalui undang-undang, tetapi peran konsumen yang berdaya juga harus terus-menerus

dikuatkan dan disebarluaskan.

b. Kewajiban Konsumen

Kewajiban merupakan penyeimbang dengan adanya hak-hak, dengan kata lain keberadaan

hak di dalamnya senantiasa melekat pula adanya kewajiban yang harus dipenuhi dengan

adanya pemenuhan hak-hak, demikian pula dalam hal konsumen. Konsumen selain

memperoleh hak sebagai konsumen juga mempunyai kewajiban sebagai penyeimbang

diantara keduanya. Kewajiban konsumen berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun

xlvii

1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur pada Pada Pasal 5 yang ditentukan sebagai

berikut:

Kewajiban konsumen adalah:

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara

patut.

Kewajiban konsumen pada dasarnya dilakukan dalam rangka mendapatkan hasil yang

maksimal atas perlindungan hukum bagi konsumen. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani sebagai berikut:

Kewajiban-kewajiban itu dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh hasil yang

maksimal atas perlindungan dan/atau kepastian hukum baginya.

Ahmadi Miru dan Sutarman mengemukakan pendapatnya tentang pentingnya kewajiban

bagi konsumen sebagai berikut:

Adapun pentingnya kewajiban konsumen ini karena seringkali pelaku usaha telah

mencantumkan peringatan dalam kemasan atau label suatu produk, namun konsumen

disini tidak membaca peringatan tersebut.dengan adanya pengaturan kewajiban ini,

memberi konsekuensi kepada pelaku usaha tidak bertanggung jawab, apabila konsumen

yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut.

C. Pelaku Usaha

xlviii

1. Pengertian Pelaku Usaha

Pengertian pelaku usaha berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, diatur pada Pasal 1 angka 3 yang ditegaskan sebagai berikut:

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri

maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam

berbagai bidang ekonomi.

Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

konsumen selanjutnya menentukan bahwa:

Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN,

koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.

Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana diuraikan di atas cukup luas. Pengertian luas

ini memudahkan konsumen untuk menuntut ganti kerugian. Subekti dalam hal ini

memberikan pendapatnya sebagai berikut:

Kerugian yang dapat dimintakan penggantian, tidak hanya berupa biaya yang sungguh

sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh manimpa harta benda si

berpiutang (schaden), tetapi juga yang berupa kehilangan keuntungan (interessen) yaitu

keuntungan yang akan didapat seandainya si berhutang tidak wanprestasi.

Prinsip yang senantiasa dipegang oleh pelaku usaha adalah mendapatkan keuntungan yang

semaksimal mungkin dengan menekan biaya produksi seminimal mungkin. Prinsip ini

berpotensi merugikan kepentingan konsumen baik secara langsung maupun secara tidak

xlix

langsung. Oleh karena itu untuk mengantisipasi konsumen yang sering dirugikan,

konsumen harus mempunyai kesadaran yang tinggi akan hak-haknya, kritis dan hati-hati

dalam mengkonsumsi suatu produk baik berupa barang dan/atau jasa. Dengan demikian

diharapkan konsumen dapat berperan sebagai sarana kontrol bagi pengusaha sehingga

dapat menciptakan iklim usaha yang sehat, karena mengharapkan kesadaran dari pelaku

usaha adalah sesuatu yang tidaklah mudah karena pada dasarnya pelaku usaha akan

menerapkan prinsip ekonomi sebagaimana dimaksud di atas.

2. Hak, Kewajiban dan Larangan Bagi Pelaku Usaha

a. Hak Pelaku Usaha

Salah satu upaya untuk menciptakan kenyamanan dalam berusaha, dan terciptanya

keseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha, maka pelaku usaha pun memiliki hak

dan kewajiban. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatur tentang hak-hak pelaku

usaha dalam Pasal 6, yang menegaskan bahwa:

Hak pelaku usaha adalah:

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad

tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum

sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian

konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

l

Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, hak pelaku usaha dalam Pasal 6 huruf a, yaitu

hak untuk menerima pembayaran sesuai kondisi barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan, diartikan sebagai berikut:

Hak tersebut menunjukan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika

kondisi barang dan/atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang

memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.

Jika kualitas barang dan/atau jasa lebih rendah maka harga yang diberikan haruslah lebih

murah. Dengan kata lain yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.

b. Kewajiban Pelaku Usaha

Sebagaimana halnya dengan konsumen yang memiliki hak dan kewajiban yang senantiasa

berjalan beriringan dan saling melekat, demikian pula halnya dengan pelaku usaha pun

memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Pasal 7 Undang-undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang kewajiban pelaku usaha

sebagai berikut:

Kewajiban pelaku usaha adalah:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

li

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang

dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat

dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa

yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Berdasarkan kewajiban tersebut, maka setiap pelaku usaha akan memiliki tanggung jawab

yang harus dipenuhi. Menurut Hamzah, yang dimaksud dengan tanggung jawab adalah

“suatu keharusan bagi seseorang untuk melaksanakan dengan selayaknya apa yang

diwajibkan kepadanya”. Menurut Bahri Zaenal, tanggung jawab adalah “suatu kewajiban

dari seseorang untuk melaksanakan sesuatu yang telah diwajibkan kepadanya atau yang

pernah dijanjikannya maupun yang telah disanggupinya.

Menurut Shidarta, ada dua prinsip yang sangat penting dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen (UUPK) yang diakomodasi, yaitu sebagai berikut:

Tanggung jawab produk dan tanggung jawab profesional. Tanggung jawab produk atau

product liability sendiri mengacu pada tanggung jawab produsen. Jadi, apabila ada

konsumen yang merasa telah dirugikan oleh produsen, maka konsumen tersebut berhak

menuntut ganti rugi kepada produsen. Disisi lain, produsen mempunyai tanggung jawab

untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen.

Intisari dari kegiatan usaha sebenarnya adalah adanya iktikad baik dari semua pihak,

demikian pula halnya dengan pelaku usaha senantiasa dituntut untuk memiliki iktikad baik.

lii

Suyadi, kaitannya dengan ketentuan Pasal 7 huruf a, memberikan pendapatnya sebagai

berikut:

Pasal 7 huruf a menentukan kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan

kegiatan usahanya, baik dari mulai proses perencanaan pembuatan barang dan/atau jasa

sampai dengan proses penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

Pelaku usaha dengan demikian lebih ditekankan atau diwajibkan untuk beritikad baik

dalam melakukan usahanya. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo dalam buku, dalam hal ini

berpendapat sebagai berikut:

Dalam UUPK terlihat bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena

meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan

bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang

dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya

diwajibkan beritikad baik dalam melakukan pembelian barang dan/atau jasa.

c. Larangan Bagi Pelaku Usaha

Larangan terhadap pelaku usaha adalah larangan untuk memproduksi dan

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi standar yang

dipersyaratkan, tidak sesuai antara berat bersih dengan yang dinyatakan dalam label, tidak

sesuai dengan ukuran, tidak sesuai dengan jaminan sebagaimana dinyatakan dalam label,

tidak sesuai dengan mutu sebagaimana dinyatakan dalam label, tidak sesuai dengan janji

yang dinyatakan dalam label, tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa, tidak mengikuti

ketentuan berproduksi secara halal, dan lain-lain sebagaimana diatur pada Pasal 8 Undang-

undang Perlindungan Konsumen yang ditentukan sebagai berikut:

liii

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau

jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan

sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan

menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana

dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,

atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang

dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau

promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan

"halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,

ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat

sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang

menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

liv

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa

Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan

tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,

cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap

dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Selain larangan untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan dan/atau jasa

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pelaku usaha juga dilarang menawarkan,

mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar,

sebagaimana diatur pada Pasal 9 yang menentukan:

(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang

dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :

a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,

standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna

tertentu;

b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,

persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori

tertentu;

lv

d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,

persetujuan atau afiliasi;

e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;

j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak

mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;

k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk

diperdagangkan.

(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan

penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Larangan-larangan bagi pelaku usaha juga diatur dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menentukan sebagai berikut:

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk :

a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan

yang dijanjikan;

b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, memberikan pendapatnya mengenai ketentuan

sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tersebut sebagai

berikut:

lvi

Larangan yang tercantum dalam pasal 16 UUPK ini apabila dilanggar oleh pelaku usaha,

tidak saja dapat dituntut berdasarkan wanprestasi tetapi lebih dari itu dapat dituntut atas

dasar perbuatan melawan hukum, atau bahkan dapat dituntut pidana oleh aparat yang

berwenang, misalkan atas dasar penipuan.

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 9 dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 8 Tahun

1999, maka pelaku usaha akan dibebani untuk bertanggung jawab memberikan ganti rugi.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 yang

menentukan sebagai berikut:

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang

dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang

atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan

kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah

tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut

mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila

pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan

konsumen.

lvii

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 19 tersebut, Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo

memberikan pendapatnya bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi:

1) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;

2) Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran;

3) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Berdasarkan hal tersebut, maka adanya produk suatu barang dan/atau jasa yang cacat

bukan merupakan satu-satunya pertanggungjawaban pelaku usaha, namun pelaku usaha

juga bertanggung jawab atas segala kerugian yang dialami konsumen dari penggunaan dan

pemakaian barang dan/atau jasa tersebut. Apabila ada hak yang dilanggar dan kewajiban

yang disimpangi maka akan menimbulkan sengketa. Dalam hal ini, sengketa yang terjadi

adalah sengketa konsumen. Lingkup sengketa konsumen meliputi semua segi hukum baik

keperdataan, pidana ataupun tata negara.

D. Retribusi Parkir

Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara karena adanya jasa

tertentu yang diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan. Jasa tersebut

dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar retribusi yang menerima

balas jasa dari negara. Menurut Soemitro, pengertian retribusi secara umum adalah:

Pembayaran-pembayaran kepada negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan

jasa-jasa negara. Dengan kata lain, Retribusi secara umum adalah pembayaran-pembayaran

kepada negara atau merupakan iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa

balik secara langsung dapat ditunjuk.

lviii

Berdasarkan pendapat tersebut, maka terlihat ciri-ciri retribusi adalah sebagai berikut:

1. Retribusi dipungut oleh negara

2. Dalam pemungutan terdapat paksaan secara ekonomis

3. Adanya kontra prestasi yang secara langsung dapat ditunjuk

4. Retribusi dikenakan pada setiap orang/badan yang menggunakan/ mengenyam jasa-

jasa yang disiapkan negara.

Sedangkan pengertian retribusi Daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran

pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik Daerah untuk

kepentingan umum, atau karena jasa yang diberikan oleh Daerah baik langsung maupun

tidak langsung.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001

tentang Retribusi Daerah ditegaskan bahwa:

Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai

pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau

diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Pengertian retribusi daerah juga dikemukakan oleh Soeparmoko yang mengatakan bahwa:

Retribusi daerah yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin

tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan

pribadi atau badan.

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai retribusi daerah sebagaimana dijelaskan di

atas, maka dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya retribusi daerah mempunyai imbalan atau

jasa, imbalan atau jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung yang dapat ditunjuk oleh

lix

wajib retribusi atau hanya yang membayar retribusi sajalah yang menikmati balas jasa dari

negara dalam hal ini daerah tertentu.

Pengertian jasa dapat diartikan sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah

sehingga dapat dinikmati orang pribadi maupun badan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh

Kaho sebagai berikut:

Jasa adalah kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan

barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya dapat dinikmati orang pribadi atau badan.

Beberapa ciri yang melekat pada retribusi daerah saat ini yang dipungut oleh masing-

masing daerah di Indonesia adalah sebagaimana dikemukakan oleh Josep Riwu Kaho

sebagai berikut:

1. Retribusi merupakan pungutan yang dipungut berdasarkan Undang-undang dan

Peraturan Daerah yang berkenaan.

2. Hasil penerimaan retribusi masuk ke kas pemerintah daerah.

3. Pihak yang membayar retribusi mendapatkan kontraprestasi (balas jasa) secara

langsung dari pemerintah daerah atas pembayaran yang dilakukannya.

4. Retribusi terutang apabila ada jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah

yang dinikmati oleh orang atau badan.

5. Sanksi yang dikenakan pada retribusi adalah sanksi secara ekonomis, yaitu jika

tidak membayar retribusi, tidak akan memperoleh jasa yang diselenggarakan oleh

pemerintah daerah.

Retribusi sedikit berbeda dengan pajak, dalam retribusi, hubungan antara prestasi yang

dilakukan (dalam wujud pembayaran) dengan kontraprestasi itu bersifat langsung.

lx

Pembayar retribusi justru menginginkan adanya jasa timbal-balik langsung dari

pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, maka karakteristik retribusi adalah:

1. Retribusi dipungut dengan berdasarkan peraturan-peraturan (yang berlaku umum).

2. Dalam retribusi, prestasi yang berupa pembayaran dari warga masyarakat akan

mendapatkan jasa timbal langsung yang ditujukan pada individu yang membayarnya.

3. Uang hasil retribusi digunakan bagi pelayanan umum berkait dengan retribusi yang

bersangkutan.

4. Pelaksanaannya dapat dipaksakan, biasanya bersifat ekonomis.

Penetapan retribusi harus memenuhi prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan oleh

Deddy Supriady sebagai berikut:

Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif ditentukan untuk Retribusi Perizinan Tertentu,

berdasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan

pemberian izin yang bersangkutan. Tarif Retribusi Perizinan Tertentu ditetapkan

sedemikian rupa sehingga hasil retribusi dapat menutup sebagian atau seluruh biaya yang

diperlukan untuk menyediakan jasa yang bersangkutan. Untuk pemberian izin bangunan

misalnya, dapat diperhitungkan biaya pengecekan dan pengukuran lokasi, biaya pemetaan,

dan biaya pengawasan.

Retribusi Parkir di Kabupaten Banyumas diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten

Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum. Pengertian

tempat parkir ditegaskan pada Pasal 1 angka 6 sebagai berikut:

Tempat Parkir adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat pemberhentian kendaraan

yang bersifat tidak sementara pada suatu kurun waktu yang tertentu.

lxi

Selanjutnya pengertian parkir diatur pada Pasal 1 angka 7 yang menegaskan sebagai

berikut:

Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.

Pengertian retribusi parkir diatur pada Pasal 1 angka 8 yang menegaskan sebagai berikut:

Retribusi parkir di tepi jalan umum yang selanjutnya disebut retribusi adalah pembayaran

atas pelayanan parkir di tepi jalan umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.

E. PT. Kereta Api Indonesia (Persero)

1. Pengertian Badan Hukum

Istilah badan hukum di dalam masyarakat tidak asing lagi, yang sering dilawankan dengan

istilah Badan Pribadi atau manusia, namun keduanya sama-sama sebagai subyek hukum.

Dalam bahasa Belanda Badan Hukum disebut rechtspersoon. Di dalam peraturan Undang-

Undang tidak ada batasan pengertian apa yang disebut badan hukum itu. Namun

pengertian yang sudah umum dikenal oleh beberapa ahli bahwa Badan Hukum adalah

segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban, dapat melakukan perbuatan

hukum, dapat menja-di subyek hukum, dapat dipertanggungjawabkan seperti halnya

manusia. Badan Hukum mempunyai hak dan kewajiban, harta kekayaan dan tanggung

jawab yang terpisah dari orang perseorangan.

Berdasarkan beberapa sumber ditemukan beberapa pengertian Badan Hukum antara lain

menurut R. Subekti sebagai berikut:

Badan Hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki

hak-hak dan melakukan perbuatan seperti manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat

digugat atau menggugat didepan hakim.

Murjiyanto di pihak lain mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:

lxii

Badan hukum (rechtspersoon) ialah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta

kewajiban seperti orang pribadi.

Purwosutjipto menjelaskan bahwa:

Manusia adalah badan pribadi, itu adalah manusia tunggal. Selain dari manusia tunggal,

dapat juga oleh hukum diberikan kedudukan sebagai badan pribadi kepada wujud lain,

disebut badan hukum yaitu kumpulan dari orang-orang bersama-sama mendirikan suatu

badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yang tersendirikan untuk tujuan

tertentu.

Dalam ha1 badan hukum melaksanakan hak dan kewajibannya tersebut diwakili oleh para

pengurusnya yang ditunjuk sesuai dengan anggaran dasarnya, sehingga perbuatan-

perbuatan hukum yang dilakukan pengurusnya itu mengikat badan hukum itu sendiri, tidak

mengikat pengurusnya secara pribadi, dan yang bertanggungjawab adalah badan

hukumnya bukan pengurusnya secara pribadi, sepanjang hal itu dilakukan sesuai dengan

tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada pengurus dalam anggaran dasarnya.

Indonesia adalah negara hukum yang menggunakan hukum sebagai pengarah dan

pengayom kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehubungan dengan perkembangan

ekonomi, hukum berfungsi sebagai landasan kegiatan ekonomi. Bila kepastian hukum

tidak dimiliki maka ekonomi negara Indonesia akan tertinggal dengan negara lain dalam

menarik investasi. Dengan demikian peranan hukum nasional, khususnya hukum ekonomi

harus mampu membangun kerangka kerja pengaturan hukum yang melandasi kegiatan

ekonomi pada dunia usaha.

lxiii

Peranan hukum dalam menghadapi perdagangan bebas tampak dari lahirnya Undang-

undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang merupakan usaha

pemerintah meningkatkan pembangunan ekonomi nasional dalam dunia usaha dan

memperbaharui secara terus menerus hukum yang pendirian suatu badan usaha berbentuk

Perseroan Terbatas.

2. Pengertian Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas adalah persekutuan modal yang oleh undang-undang diberi status

badan hukum, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas (UUPT) Pasal 1 angka 1 jo Pasal 7 ayat (4). Pasal 1 angka 1

menegaskan bahwa:

Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang

merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan

usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi

persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 7 ayat (4) menentukan bahwa:

Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri

mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.

Pasal 33 UUPT menegaskan bahwa:

(1) Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh.

(2) Modal ditempatkan dan disetor penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.

lxiv

(3) Pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal

yang ditempatkan harus disetor penuh.

Sehubungan dengan hal ini perlu ditegaskan bahwa sekalipun semua saham dimiliki oleh 1

(satu) orang, konsep persekutuan modal tetap valid karena Perseroan tidak menjadi bubar

melainkan tetap berlangsung sebagai subyek hukum. Kebenaran ini dipertegas oleh

ketentuan Pasal 7 ayat (7) yang mengatur bahwa:

Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak

berlaku bagi:

a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau

b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga

penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam undang-

undang tentang Pasar Modal.

Fred B.G. Tumbuan dalam hal ini menjelaskan sebagai berikut:

Dengan demikian sesungguhnya antara para pendiri di satu pihak dan Perseroan di lain

pihak terjadi hubungan keanggotaan, dan oleh karena itu perbuatan hukum pendirian oleh

para pendiri sekaligus mengakibatkan terjadinya penyertaan oleh semua pendiri dalam

Perseroan selaku persekutuan modal.

Memperhatikan sifat khas perbuatan hukum pendirian Perseroan tersebut di atas, maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa Perseroan dapat didirikan oleh 1(satu) orang. Kebenaran

kesimpulan dimaksud ditegaskan oleh UUPT yang dalam Pasal 7 ayat (7) diatas mengatur

bahwa antara lain negara sebagai pendiri tunggal dapat dengan sah mendirikan BUMN

berbentuk perseroan terbatas yang disebut Perusahaan Perseroan atau Persero.

lxv

Berbeda dengan badan usaha bukan badan hukum, misalnya Persekutuan Perdata

(maatschap), CV, dan Firma, timbulnya perseroan semata-mata karena

disepakati/diperjanjikan oleh para pendirinya. Dan disini bukanlah berstatus badan hukum,

sedangkan Perseroan Terbatas (PT) karena merupakan badan hukum maka dibutuhkan

adanya suatu persetujuan atau pengesahan dari instansi yang berwenang, dalam hal ini di

Indonesia dipercayakan kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat

Jenderal Administrasi Hukum Umum. Karena perkembangan teknologi dan tuntutan

zaman yang semakin hari semakin canggih dan menuju ke arah globalisasi, maka

Perseroan Terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu

diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun

sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Pemerintah merasa perlunya

memberikan pelayanan yang cepat dalam bidang usaha demi persaingan dalam

memperoleh devisa bagi negara.

Sebagaimana telah berjalan selama ini, pengesahan atau persetujuan Perseroan Terbatas

telah dilakukan melalui media komunikasi internet, agar Kementerian Hukum dan Hak

Asasi Manusia tersebut tidak perlu didatangi tamu-tamu dari seluruh Indonesia. Selain

memproses lebih cepat juga menghemat biaya, hal ini telah pula diserahkan oleh

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada suatu perusahaan swasta, yang

bernama Perseroan Terbatas PT. Sarana Rekatama Dinamika, yang berkedudukan di

Jakarta, yang terkenal dengan sebutan perusahaan yang menangani Sisminbakum, yaitu

singkatan dari sistem administrasi badan hukum. Namun dalam perkembangannya setelah

berjalan lebih kurang 9 (sembilan) tahun, maka mulai akhir bulan Januari 2009,

pengadministrasian pendaftaran badan hukum telah diambil alih kembali pengelolaannya

lxvi

oleh Direktorat Perdata, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dengan sebutan

SABH (Sistem Administrasi Badan Hukum).

Pembuatan akta untuk Badan Hukum Perseroan Terbatas ini haruslah akta otentik, yang

dipercayakan kepada Notaris, yaitu seorang Pejabat Umum, yang bekerja secara

profesional. Setelah Akta Pendirian Perseroan Terbatas dibuat maka diteruskan dengan

Pengesahan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Sisminbakum

tersebut melalui internet.

Pemeriksaan internet selesai dilanjutkan dengan pemeriksaan data fisik yang disampaikan

oleh Pejabat Umum pembuat akta otentik tersebut. Adapun tujuan dikeluarkan Undang-

Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tersebut, guna memenuhi

perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan

ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah berkembang begitu pesat khususnya

pada era globalisasi. Hal mana telah diperkenankan di Indonesia melalui Instruksi Presiden

Nomor 6 Tahun 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, Media dan Informatika) yang

menyatakan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi tematika untuk

mendukung good government yang online kepada seluruh notaris dapat mencegah dan

menghapus korupsi, kolusi, nepotisme dan suap, dan sekaligus mewujudkan tata kelola

pemerintahan yang baik dan bersih (Good and Clean Government).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dipandang tidak lagi memenuhi tuntutan

masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan pengembangan

dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate

governance).

lxvii

Dalam Rangka memberikan kemudahan dalam permohonan pengesahan badan hukum,

persetujuan dan pemberitahuan perubahan anggaran dasar perseroan, UUPT mengatur

mengenai pelayanan satu atap yaitu mengenai daftar perusahaan dan pengumuman dalam

Berita Negara Republik Indonesia, dimana sebelumnya merupakan kewajiban Direksi atau

kuasanya, maka menurut UUPT yang baru semuanya ini merupakan tugas Menteri,

sebagaiamana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan:

Daftar Perseroan diselenggarakan oleh Menteri.

Pasal 30 lebih lanjut menegaskan:

(1) Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia:

a. akta pendirian Perseroan beserta keputusan menteri sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 ayat (4);

b. akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta keputusan menteri sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);

c. akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri.

(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri dalam

waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya keputusan

Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b atau sejak diterimanya

pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengumuman dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Status badan hukum Perseroan Terbatas merupakan salah satu daya tarik bagi investor,

disamping daya tarik lain dari sebagai suatu asosiasi modal. Persoalannya sekarang bahwa

lxviii

mengenai kapan mulainya status badan hukum Perseroan Terbatas itu? Menurut Pasal 7

ayat (4) UUPT yaitu:

Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri

mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.

Dalam ilmu hukum dikenal dua subjek hukum, yaitu orang dan badan hukum. Mengenai

definisinya, badan hukum atau legal entity atau legal person dalam Black‟s Law Dictionary

dinyatakan sebagai a body, other than a natural person, that can function legally, sue or be

sued, and make decisions through agents. Sementara dalam kamus hukum versi Bahasa

Indonesia, badan hukum diartikan dengan organisasi, perkumpulan atau paguyuban lainnya

di mana pendiriannya dengan akta otentik dan oleh hukum diperlakukan sebagai person

atau sebagai orang. Menurut doktrin, kriteria yang dipakai untuk menentukan ciri-ciri suatu

badan hukum adalah apabila perusahaan itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan

sendiri, dan adanya organisasi yang teratur. Karena bentuk badan hukum adalah sebagai

badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak

dengan perantaraan pengurus-pengurusnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut secara eksplisit sangat jelas disebutkan bahwa Perseroan

Terbatas merupakan badan hukum. Perseroan Terbatas merupakan suatu bentuk (legal

form) yang didirikan atas fiksi hukum (legal fiction) bahwa perseroan memiliki kapasitas

yuridis yang sama dengan yang dimiliki oleh orang perseorangan (natural person). Apabila

dikaitkan dengan unsur-unsur mengenai badan hukum, maka unsur-unsur yang menandai

Perseroan Terbatas sebagai badan hukum adalah bahwa Perseroan Terbatas mempunyai

kekayaan yang terpisah (Pasal 24 ayat (1) UUPT), mempunyai kepentingan sendiri (Pasal

lxix

82 UUPT), mempunyai tujuan tertentu (Pasal 12 huruf b UUPT), dan mempunyai

organisasi teratur (Pasal 1 butir 2 UUPT).

Pada dasarnya suatu perseroan terbatas mempunyai ciri-ciri sekurang-kurangnya sebagai

berikut:

1. memiliki status hukum tersendiri, yaitu sebagai suatu badan hukum, yaitu subyek

hukum artificial, yang sengaja diciptakan oleh hukum untuk membentuk kegiatan

perekonomian, yang dipersamakan dengan individu manusia, orang perorangan;

2. memiliki harta kekayaan tersendiri yang dicatatkan atas namanya sendiri, dan

pertanggungjawaban sendiri atas setiap tindakan, perbuatan, termasuk perjanjian yang

dibuat. Ini berarti perseroan dapat mengikat dirinya dalam satu atau lebih perikatan, yang

berarti menjadikan perseroan sebagai subyek hukum mandiri (persona standi in judicio)

yang memiliki kapasitas dan kewenangan untuk dapat menggugat dan digugat di hadapan

pengadilan.

3. tidak lagi membebankan tanggung jawabnya kepada pendiri, atau pemegang

sahamnya, melainkan hanya untuk dan atasnama dirinya sendiri, untuk kerugian dan

kepentingan dirinya sendiri;

4. kepemilikannya tidak digantungkan pada orang perorangan tertentu, yang

merupakan pendiri atau pemegang sahamnya. Setiap saat saham perseroan dapat dialihkan

kepada siapapun juga menurut ketentuan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan undang-

undang yang berlaku pada suatu waktu tertentu;

5. keberadaannya tidak dibatasi jangka waktunya dan tidak lagi dihubungkan dengan

eksistensi dari pemegang sahamnya;

lxx

6. pertanggungjawaban yang mutlak terbatas, selama dan sepanjang para pengurus

(direksi), dewan komisaris dan atau pemegang saham tidak melakukan pelanggaran

terhadap hal-hal yang tidak boleh dilakukan.

3. Perubahan Perusahaan Umum Kereta Api menjadi PT. Kereta Api (Persero)

PT. Kereta Api (Persero) merupakan PT Negara atau disebut juga persero. Persero (PT

Negara) adalah organisasi yang bertujuan untuk mencari keuntungan dan kekayaan negara

atau pemerintah daerah dan sebagai imbalannya negara memperoleh saham sebagai bukti

turut sertanya negara atau pemerintah daerah dalam persero (PT Negara) atau pemerintah

daerah itu sendiri.

PT. Kereta Api (Persero) yang berbentuk badan hukum ini sudah mengalami lima kali

perubahan yaitu :

a. Dengan S. 1939-556, berbentuk badan hukum DKA adalah Djawatan Kereta Api

b. Dengan PP No. 22 tahun 1963 (LN 1963-43) bentuk badan hukum dirubah menjadi

Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA)

c. Dengan PP No. 61 tahun 1971 (LN 1971-75) bentuk PNKA dirubah menjadi

Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA)

d. Dengan PP No. 57 tahun 1990 PJKA dirubah statusnya menjadi Perusahaan Umum

Kereta Api (PERUMKA)

e. Dan akhirnya dengan PP No. 19 tahun 1998 Perusahaan Umum Kereta Api berubah

menjadi PT Kereta Api (Persero).

Tujuan dari Persero (PT Negara) adalah untuk turut membantu ekonomi nasional sesuai

dengan ekonomi terpimpin dan mengutamakan kebutuhan rakyat dan ketentraman serta

kesenangan kerja dalam perusahaan menuju masyarakat yang adil dan makmur dengan

lxxi

tujuan utama mencari keuntungan. Persero (PT Negara) adalah suatu kesatuan produksi

yang bersifat :

a. Memberi jasa

b. Menyelenggarakan kemanfaatan umum

c. Memupuk pendapatan

PT. Kereta Api (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tujuan dari

BUMN adalah :

a. Memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

b. Memajukan kesejahteraan masyarakat serta ikut membangun tatanan

perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan

makmur.

c. Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas hidup manusia

dan masyarakat.

d. Untuk memperoleh yang sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi badan usaha.

Dikarenakan PT Kereta Api (Persero) adalah BUMN, maka dari itu perkeretaapian

diselenggarakan oleh pemerintah dan pelaksanaannya diserahkan kepada badan

penyelenggara yang telah dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Badan usaha lain selain badan penyelenggara dapat diikutsertakan dalam kegiatan

perkeretaapian atas dasar kerjasama dengan badan penyelenggara.

Negara Republik Indonesia melakukan penambahan penyertaan modal pemerintah kepada

modal saham perusahaan Perseroan (Persero) PT Kereta Api Indonesia yang didirikan

berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1998. Penambahan penyertaan modal

lxxii

pemerintah berasal dari tambahan anggaran pendapatan dan belanja negara. PT Kereta Api

(Persero) berada di bawah Kementerian Perhubungan.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode adalah suatu cara untuk menemukan jawaban akan sesuatu hal. Cara penemuan

tersebut sudah tersusun dalam langkah-langkah tertentu yang sistematis. Metode menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan

pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.

Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji

kebenaran dari suatu pengetahuan. Menemukan berarti berusaha memperoleh sesuatu

untuk mengisi kekosongan atau kekurangan. Mengembangkan berarti memperluas dan

menggali lebih dalam sesuatu yang telah ada. Menguji kebenaran dilakukan jika apa yang

sudah ada masih atau menjadi diragukan kebenarannya.

Suatu penelitian perlu didukung oleh metode yang baik dan benar, agar diperoleh hasil

yang tepat dan dapat dipertanggunjawabkan kebenarannya. Dengan kata lain metode harus

ada dalam pelaksanaan penelitian. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah

yang didasarkan pada metode yang berupa cara berpikir dan berbuat untuk persiapan

lxxiii

penelitian, sistematika, dan pemikiran tertentu yang mempelajari satu atau lebih gejala

hukum tertentu dengan cara menganalisanya.

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Ronny

Hanitijo Soemitro berpendapat sebagai berikut:

Pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis

positivis. Konsepsi ini memandang hukum sebagai norma-norma tertulis yang dibuat dan

diundangkan oleh lembaga dan pejabat yang berwenang, selain itu konsepsi ini juga

memandang hukum sebagai sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas

dari kehidupan masyarakat dan menganggap norma lain itu bukan sebagai norma hukum.

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang

bertujuan untuk menggambarkan keadaan dari objek atau masalah yang diteliti tanpa

bermaksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum. Spesifikasi

penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto dalam dijelaskan sebagai berikut:

Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data

yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya

menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang

berlaku umum.

lxxiv

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada lembaga/instansi yang terkait, yaitu pengelola parkir stasiun

PT. KAI Persero Purwokerto selain itu juga dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII)

Fakultas Hukum Unsoed.

D. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan hukum ini ada dua macam, yaitu data sekunder dan

data primer, yaitu sebagai berikut:

1. Data Sekunder

Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier, dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri dari:

1) Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945

2) Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait dengan penelitian ini, yaitu:

a) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

b) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

c) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah

d) Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi

Parkir di Tepi Jalan Umum.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, antara lain:

lxxv

1) Pustaka di bidang hukum.

2) Artikel-artikel ilmiah, baik dari koran maupun internet,

3) Hasil penelitian yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa:

1) Kamus hukum

2) Ensiklopedia

2. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian yang berupa

keterangan hasil wawancara.

E. Metode Pengumpulan Data

1. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-

undangan yang terkait, dokumen resmi, makalah-makalah, buku-buku literatur yang

kemudian dicatat berdasarkan relevansinya dengan pokok permasalahan untuk kemudian

dikaji sebagai suatu kesatuan utuh.

2. Data primer

Data primer diperoleh dengan cara wawancara dengan para pihak yang terkait dengan

penelitian ini, yaitu wawancara dengan pengelola parkir stasiun PT.KAI Persero

Purwokerto.

lxxvi

F. Metode Penyajian Data

Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis.

Sistematis di sini maksudnya adalah keseluruhan data sekunder dan data primer yang

diperoleh sebagai hasil penelitian akan dihubungkan satu dengan yang lainnya sesuai

dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.

G. Metode Analisis Data

Seluruh data yang telah terkumpul secara lengkap dari hasil penelitian kemudian dianalisis

dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif. Normatif, karena penelitian ini

bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif,

sedangkan kualitatif yaitu menghubungkan paparan hasil penelitian yang tersistematis

tersebut dengan yang didapat dari teori hukum, postulat hukum, serta hukum positif, untuk

dapat menjelaskan permasalahan secara ilmiah dan bukan dalam bentuk angka-angka.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Data Sekunder

1.1. Penyelenggaraan Pelayanan Jasa Parkir Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten

Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi Parkir

lxxvii

Dasar hukum penyelenggaraan pelayanan jasa parkir adalah Peraturan Daerah Kabupaten

Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi Parkir. Berdasarkan Perda tersebut

diatur hal-hal sebagai berikut:

1.1.1. Pasal 1 angka 7 mengatur bahwa parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu

kendaraan yang tidak bersifat sementara.

1.1.2. Pasal 1 angka 9 mengatur bahwa Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan

yang menurut peraturan perundang-undangan di bidang retribusi diwajibkan untuk

melakukan pembayaran retribusi termasuk pemungutan dan pemotongan retribusi tertentu.

1.1.3. Pasal 1 angka 10 mengatur bahwa badan adalah suatu bentuk badan usaha yang

meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik

Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan bentuk apapun, Persekutuan,

Perkumpulan, Firma, Kongsi, Yayasan atau organisasi yang sejenis, Lembaga, Dana

Pensiun, bentuk badan usaha tetap serta bentuk badan usaha lainnya.

1.1.4. Pasal 3 ayat (2) mengatur bahwa jasa pelayanan parkir meliputi penyediaan tempat

untuk parkir dan pengaturan parkir kendaraan.

1.1.5. Pasal 4 mengatur bahwa Subyek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang

memanfaatkan pelayanan parkir.

1.2. Pengelolaan Lahan Parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto

Pengelolaan lahan parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto dilakukan melalui

perjanjian kerjasama antara PT. KAI Persero Purwokerto dengan PT. Linggarjati Permai

Nomor: 77/TB/SET.PWT/98 tentang Pengembangan Fungsi Areal Parkir, Tempat Parkir

Mobil dan Sepeda Motor di Emplasemen Stasiun Purwokerto.

lxxviii

Perjanjian tersebut kemudian dirubah dengan Perjanjian Kerjasama Nomor:

HK.213/VII/04/DV-2009 tentang Perubahan dan Tambahan (Adendum) Terhadap

Perjanjian Kerjasama Nomor: 77/TB/SET.PWT/98. Berdasarkan perjanjian tersebut, maka

didapatkan data sebagai berikut:

1.2.1. PT. KAI Persero Purwokerto menyerahkan pemanfaatan lahan/tanah di halaman

depan Stasiun Purwokerto kepada PT. Linggarjati Permai sebagai areal perparkiran

kendaraan dalam rangka pelayanan terhadap penumpang kereta api.

1.2.2. PT. Linggarjati Permai mengelola perparkiran di areal yang disewa dengan

kewajiban membayar/menyetor uang parkir dari hasil pengelolaan parkir stasiun

Purwokerto.

1.2.3. PT. KAI Persero Purwokerto berhak mendapatkan uang setoran pengelolaan parkir

dari PT. Linggarjati Permai

1.2.4. Tarif pengelolaan lahan parkir sebesar Rp 1.250.000,00 (Satu juta duar ratus lima

puluh ribu rupiah) setiap bulan.

1.2.5. Uang pengelolaan parkir dibayarkan pada setiap akhir bulan kepada Kas Stasiun

Purwokerto.

1.2.6. Perjanjian pengelolaan lahan parkir akan berakhir pada tanggal 30 Juni 2012.

1.3. Klausula/Perjanjian Baku dalam Pelaksanaan Pelayanan Parkir di

PT. KAI Persero Purwokerto

Berdasarkan karcis parkir dan peraturan tata tertib parkir diperoleh data sekunder

mengenai klausula baku sebagai berikut:

1.3.1. Kehilangan barang/kendaraan tidak ditanggung

1.3.2. Kendaraan harap dikunci

lxxix

1.3.3. Pengelola menyediakan lahan parkir

2. Data Primer

Data primer yang diperoleh berupa hasil wawancara dengan pihak pengelola jasa parkir di

Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto yaitu Nasir Abdullah, yang mewakili manajemen PT.

Linggarjati Permai, diperoleh data sebagai berikut:

2.1. Cara penyelenggara parkir untuk menciptakan kenyamanan bagi konsumen parkir

adalah dengan penataan terhadap kendaraan yang diparkir, yaitu antara roda dua dan roda

empat dipisahkan.

2.2. Cara penyelenggara parkir untuk menciptakan keamanan bagi konsumen parkir

adalah dengan menghimbau agar konsumen menggunakan kunci ganda.

2.3. Ada keluhan dari konsumen parkir kepada penyelenggara parkir biasanya

disampaikan kepada petugas di lapangan secara informal. Keluhan berkaitan dengan

kurang ketatnya penjagaan pada pintu keluar.

2.4. Pernah terjadi pencurian kendaraan bermotor yakni roda dua, dalam hal ini korban

diberi uang bantuan, bukan sebagai ganti rugi, karena aturan yang diterapkan adalah

kehilangan barang/kendaraan tidak ditanggung oleh pengelola parkir.

B. Pembahasan

Perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang relatif baru dalam peraturan perundang-

undangan di Indonesia. Praktek monopoli dan kurang terjaminnya perlindungan konsumen

telah meletakkan posisi konsumen dalam tingkat terendah dalam menghadapi para pelaku

usaha. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani dalam hal ini berpendapat sebagai berikut:

lxxx

Konsumen tidak hanya dihadapkan pada persoalan ketidakmengertian dirinya ataupun

kejelasan akan pemanfaatan, penggunaan maupun pemakaian barang dan/atau jasa yang

disediakan oleh pelaku usaha, karena kurang atau terbatasnya informasi yang disediakan,

melainkan juga terhadap bargaining position yang kadangkala sangat tidak seimbang, yang

pada umumnya tercermin dalam perjanjian baku yang siap ditandatangani maupun dalam

bentuk klausa, atau ketentuan baku yang sangat tidak informatif, serta tidak dapat ditawar-

tawar oleh konsumen mana pun.

Pengertian perlindungan konsumen menurut rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK)

adalah:

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum

untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Shidarta memberikan penjelasan sebagai berikut:

Hukum konsumen berskala lebih luas meliputi aspek hukum yang terdapat kepentingan

pihak konsumen di dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan kita

mengartikan “hukum”, termasuk juga hukum diartikan sebagai asas dan norma. Salah satu

bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungan, misalnya bagaimana cara

mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan pihak lain.

Shidarta lebih lanjut berpendapat sebagai berikut:

Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu,

perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun yang mendapatkan

perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat

lxxxi

abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan

perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.

Erwin Yuniatiningsih dalam hal ini memberikan pendapatnya tentang pengertian

perlindungan hukum sebagai berikut:

Perlindungan hukum adalah melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan

dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-undang, maka oleh karena itu untuk

setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta dampak yang diderita olehnya ia

berhak pula untuk mendapat hukum yang diperlukan sesuai dengan asas hukum.

Perlindungan konsumen, di samping terhadap penggunaan barang yang ditawarkan oleh

pelaku usaha, juga mencakup perlindungan konsumen atas pemanfaatan jasa yang

ditawarkan. Dalam hal ini termasuk juga perlindungan hukum terhadap konsumen jasa

parkir, karena perlindungan hukum merupakan upaya yang ditujukan untuk memberikan

rasa aman kepada seseorang dengan membatasi hak dan kewajibannya berdasarkan suatu

peraturan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat.

Kegiatan jasa parkir adalah kegiatan memungut retribusi parkir atas layanan yang telah

diberikan berupa penyewaan lahan parkir. Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah

Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi Parkir

Retribusi Parkir adalah pembayaran atas pelayanan parkir di tepi jalan umum yang

diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.

Pengertian konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 2 UUPK ditentukan bahwa:

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk

hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

lxxxii

Konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 tersebut adalah konsumen akhir,

hal ini sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 yang menentukan sebagai

berikut:

Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara.

Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan

konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari

proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini

adalah konsumen akhir.

Berdasarkan hasil penelitian data sekunder nomor 1.1.2. mengenai Wajib Retribusi dan

data sekunder nomor 1.1.5. tentang subyek retribusi, apabila dikaitkan dengan ketentuan

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen, maka dapat dideskripsikan

bahwa orang pribadi atau badan yang diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi

merupakan konsumen jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto.

Perlindungan konsumen pada dasarnya merupakan upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dengan kata lain, perlindungan

konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap

hak-hak konsumen. UUPK secara normatif mengatur hak konsumen dalam Pasal 4

sebagai berikut:

Hak konsumen adalah:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

lxxxiii

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana

mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Analisis hak-hak konsumen dalam penelitian perlindungan hukum terhadap pengguna jasa

parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto berdasarkan Pasal 4 huruf a, huruf d, dan

huruf h UU No. 8 Tahum 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa

Pasal 4 huruf a UUPK mengatur tentang hak konsumen untuk mendapatkan kenyamanan,

keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hal ini sejalan

dengan pendapat Shidarta yang menyatakan sebagai berikut:

lxxxiv

Konsumen berhak mendapatkan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan atas barang dan

jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan

jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani maupun rohani.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo terkait dengan hal tersebut di atas, mengemukakan

pendapatnya sebagai berikut:

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan

keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga

konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu

produk.

Berdasarkan data sekunder nomor 1.1.4. tentang penyediaan tempat untuk parkir dan

pengaturan parkir kendaraan, data sekunder nomor 1.2.2. tentang

PT. Linggarjati Permai sebagai pihak yang mengelola perparkiran di areal yang disewakan,

data sekunder nomor 1.3.2. tentang kewajiban konsumen untuk mengunci kendaraan, data

sekunder nomor 1.3.3. tentang penyediaan lahan parkir, dihubungkan dengan ketentuan

Pasal 4 huruf a UUPK, serta pendapat Shidarta, Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, maka

dapat dideskripsikan bahwa pengelola jasa parkir di PT. KAI Persero Purwokerto belum

memberikan hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan kepada konsumen dalam

menggunakan jasa parkir, dengan alasan sebagai berikut:

a. Pengelola hanya sekedar menyediakan tempat/lahan untuk parkir dan pengaturan

parkir kendaraan dan bukan penitipan kendaraan.

b. Kewajiban konsumen untuk mengunci kendaraan tidak dibarengi dengan

pengawasan yang ketat terhadap keluar masuknya kendaraan yang sedang dan telah

memanfaatkan jasa parkir.

lxxxv

Hal ini didukung oleh data primer nomor 2.2. yang menyatakan bahwa pemberian

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan kepada konsumen diwujudkan dalam bentuk

himbauan agar konsumen menggunakan kunci ganda.

2. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan

Pasal 4 huruf d UUPK mengatur tentang hak konsumen untuk didengar pendapat dan

keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Hal ini dijelaskan oleh Shidarta

sebagai berikut:

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk

didengar. Ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau

berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu, konsumen berhak

mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo berpendapat

sebagai berikut:

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut,

atau hak untuk menghindarkan dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang

berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang

diperoleh tentang produk kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya

kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pertanyaan/

pendapat tentang suatu kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan

konsumen.

Berdasarkan data primer nomor 2.3. tentang keluhan dari konsumen yang telah

memanfaatkan jasa parkir mengenai kurang ketatnya penjagaan pada pintu keluar, bila

lxxxvi

dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 huruf d UUPK serta pendapat Shidarta, Ahmadi Miru

dan Sutarman Yudo, maka dapat dideskripsikan bahwa pengelola jasa parkir di PT. KAI

Persero Purwokerto belum memberikan hak konsumen untuk didengar pendapat dan

keluhannya atas barang dan/atau jasa, yaitu hanya sekedar menampung aspirasi konsumen.

Hal ini terbukti pada waktu dilakukan observasi lapangan, bahwa keluhan tersebut tidak

ditindaklanjuti dengan upaya penjagaan yang ketat pada pintu keluar, misalnya dengan

penarikan karcis dan pemeriksaan STNK setiap kendaraan yang keluar.

3. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana

mestinya

Konsekuensi dari usaha yang dilakukan, maka pelaku usaha dibebani kewajiban untuk

memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang

diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal

7 huruf g Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 yang menentukan sebagai berikut:

Kewajiban pelaku usaha adalah memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian

apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi diatur dalam Pasal 4 huruf h UUPK yang

menentukan bahwa hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo dalam hal ini

berpendapat sebagai berikut:

lxxxvii

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memilih keadaan yang telah menjadi rusak

(tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi

harapan konsumen. Hal ini terkait dengan kerugian konsumen, baik yang berupa kerugian

materiil, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian)

konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentunya harus melalui prosedur tertentu, baik

yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui

pengadilan.

Berdasarkan data sekunder nomor 1.1.4. tentang penyediaan tempat untuk parkir dan

pengaturan parkir kendaraan, data sekunder nomor 1.2.2. tentang penyewaan lahan parkir

yang dikelola oleh PT. Linggarjati Permai, data sekunder nomor 1.3.1. tentang ketentuan

bahwa kehilangan barang/kendaraan tidak ditanggung, data sekunder nomor 1.3.3. tentang

pengelola menyediakan lahan parkir bukan penitipan kendaraan bermotor dan didukung

dengan data primer nomor 2.4. bahwa kehilangan barang/kendaraan tidak ditanggung oleh

pengelola parkir, apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 huruf h UUPK serta pendapat

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, maka dapat dideskripsikan bahwa

PT. Linggarjati Permai selaku pengelola lahan parkir di PT. KAI Persero Purwokerto

belum memberikan hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya,.

Konsumen pengguna jasa layanan parkir kendaraan bermotor seringkali merasa dirugikan

dengan penggunaan klausula baku dalam karcir parkir, karena jika terjadi kehilangan

kendaraan yang diparkir, konsumen akan menemui kesulitan untuk menuntut ganti rugi,

karena pelaku usaha selalu berdalih bahwa kehilangan kendaraan yang diparkir adalah

lxxxviii

tanggung jawab konsumen sendiri, sesuai ketentuan dalam karcis parkir, sehingga di sini

tidak ada perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa layanan parkir. Hubungan

hukum yang terjadi dalam jasa layanan parkir adalah perjanjian sewa menyewa, karena

didalam sewa menyewa terdapat proses pembayaran yang dilakukan oleh konsumen

kepada pelaku usaha atas jasa sewa lahan parkir tersebut.

Konsumen parkir dalam perjanjian baku belum mendapatkan hak-haknya secara penuh,

yaitu hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi atau

menggunakan barang atau jasa dan hak untuk memperoleh kompensasi, ganti rugi dan/atau

jasa yang diterima tidak sesuai atau tidak semestinya. Konsumen jasa parkir tidak pernah

bisa lepas dari praktik perjanjian sepihak yang terpaksa diterima konsumen.

Konsumen meski jelas mengalami kerugian, seperti kendaraan hilang. Pada kasus seperti

itu konsumen selalu berada pada pihak yang paling dirugikan, karena pihak pengelola

parkir lepas tanggung jawab atas segala kerugian itu. Pada umumnya korban kelalaian

pengelola parkir seperti kendaraannya rusak/hilang, enggan meneruskan kasusnya ke jalur

hukum. Akhirnya kerugian konsumen terus berulang, dan pihak pengelola parkir bebas

tanpa ada sedikit pun tanggung jawabnya.

Keengganan konsumen jasa parkir menyelesaikan masalahnya melalui jalur hukum

memang cukup beralasan, karena proses pertama yang dilakukan ketika terjadi

kerusakan/kehilangan kendaraan sudah dihadapkan pada pengalihan tanggungjawab dari

pengelola perparkiran. Sebagaimana lazimnya, pihak pengelola menolak memberi ganti

kerugian dengan alasan dalam karcis parkir sudah disebutkan segala kerusakan/kehilangan

menjadi tanggungjawab konsumen sendiri. Argumen pengelola perparkiran itu didasarkan

pada klausula yang selalu menyebut atas hilangnya kendaraan dan/atau barang-barang

lxxxix

yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di kawasan

parkir, masih merupakan tanggungjawab konsumen jasa parkir.

Selain itu konstruksi hukum yang digunakan pengelola parkir selalu menerapkan konsep

˜sewa lahan” atau hanya menyediakan lahan parkir semata dan bukan penitipan barang.

Resikonya bagi konsumen, jika menggunakan konsep sewa lahan, pengelola parkir terlepas

dari tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh konsumen. Hal yang kurang mengenakkan

untuk konsumen dalam konsep sewa lahan, pengelola parkir hanya berkewajiban untuk

menyediakan lahan saja. Dalam soal keamanan dan keselamatan saat parkir, bukan

menjadi tanggung jawab pengelola parkir. Akan berbeda konsekuensi logis yang timbul

ketika pengelola parkir menggunakan konstruksi hukum ˜penitipan barang”.

Agar ada perlindungan hukum bagi konsumen jasa parkir idealnya konstruksi hukum

perparkiran adalah ˜penitipan barang” dan bukan ˜sewa lahan”, karena secara nyata telah

membelenggu hak konsumen. Logika hukumnya, ketika ada kerusakan/kehilangan

kendaraan konsumen jasa parkir, pengelola parkir harus turut bertanggungjawab penuh

atas segala kerugian konsumen.

Beberapa permasalahan terkait masalah parkir, khususnya apabila terjadi keadaan rusaknya

atau hilangnya kendaraan yang diparkir dalam lokasi parkir, pihak pengelola parkir selalu

berdalih bahwa hubungan antara Pengelola Parkir sebagai pemberi jasa dengan konsumen

selaku pemakai jasa berada dalam konteks perjanjian sewa menyewa lahan. Oleh sebab itu

sebagaimana layaknya hubungan sewa menyewa, maka risiko atas kendaraan yang diparkir

tidaklah menjadi tanggung jawab pengelola. Terlebih-lebih lagi di dalam perjanjian baku

(yang biasanya dicantumkan dalam kertas parkir) antara pengelola dan konsumen tertulis

xc

jelas bahwa atas kehilangan/kerusakan terhadap kendaraan yang diparkir, pengelola parkir

tidaklah bertanggungjawab.

Bagi konsumen yang umumnya awam hukum dan ditambah dengan tingkat kesadaran

konsumen akan haknya yang masih sangat rendah, biasanya konsumen akan menerima

begitu saja keadaan yang menimpanya tanpa pernah mempermasalahkannya apalagi

menuntut ganti kerugian terhadap pelaku usaha/ pengelola jasa parkir yang tentu saja hal

ini sangat merugikan konsumen.

Pertanyaan yang muncul, benarkah konsumen tidak bisa berbuat apa-apa karena merasa

secara langsung sudah terikat dalam kontrak/perjanjian baku yang diterimanya dalam

bentuk kertas parkir, benarkah hukum tak memberikan perlindungan. Pengelola

jasa/pelaku benar ketika berbicara bahwa kontrak baku yang tertulis dalam kertas parkir

adalah diperbolehkan dan tentu saja mengikat para pihak sebagaimana yang diatur dalam

hukum Perdata. Selain itu Kontrak baku yang point-pointnya langsung tertera pada kertas

parker tersebut diadakan adalah untuk efektifitas pelayanan, sebab tidaklah mungkin ketika

seseorang hendak memarkirkan kendaraannya para pihak membuat perjanjian parkir

terlebih dahulu, pasal per pasal. Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan:

Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain

dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh

undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dengan dasar itu, para pelaku usaha berdalih dan mengklaim bahwa tiap point dalam

perjanjian/kontrak yang ada dalam kertas baku adalah mengikat para pihak. Oleh

karenanya point mengenai tidak bertanggungjawab atas risiko kehilangan atas kendaraan

xci

yang dialami konsumen adalah mengikat konsumen. Tapi benarkah dalil pelaku

usaha/pengelola jasa parkir dapat diterima begitu saja. Untuk menguji dalil tersebut hal

yang harus dilakukan adalah menilai apakah kontrak baku/perjanjian tersebut telah

memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam hukum perdata, yang

nantinya dipakai sebagai dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pelaku

usaha/pengelola parkir. Syarat-syarat Sahnya suatu perjanjian, dalam hukum perdata diatur

dalam pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata telah merumuskan empat syarat

yang harus dipenuhi untuk syahnya suatu perjanjian, yaitu:

1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu pokok persoalan tertentu;

4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Perjanjian dinyatakan sah jika memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan demikian yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Kata sepakat menimbulkan adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang

membuat perjanjian. Persetujuan kehendak adalah kesepakatan seia sekata setara pihak-

pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat.

Persetujuan kehendak tidak boleh mengandung unsur:

a. Paksaan

Paksaan dalam arti luas meliputi segala ancaman baik kata-kata atau tindakan. Orang yang

berada dibawah ancaman tidak dapat dengan bebas mengemukakan kehendaknya.

xcii

Ancaman harus dilakukan dengan alat yang diperbolehkan tetapi suatu ancaman yang

dengan upaya-upaya hukum adalah diperbolehkan, kalau tujuannya tidak merugikan orang

yang dipaksa.

b. Kekhilafan

Kekhilafan terjadi apabila dalam persetujuan kehendak salah satu pihak mempunyai

gambaran keliru mengenai orang dan barang.

c. Penipuan

Perjanjian yang dilakukan dengan unsur penipuan dapat dibatalkan. Penipuan dilakukan

dengan sengaja dari pihak lawan untuk mempengaruhi gambaran orang tersebut agar

gambaran barang atau orang keliru.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Orang yang tidak cakap membuat perjanjian diatur dalam Pasal 1330 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata yaitu:

a. Orang yang belum dewasa

Orang yang belum dewasa menurut Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

adalah mereka yang belum berusia 21 tahun atau belum kawin.

b. Mereka yang dibawah pengampuan

Mereka yang berada dibawah pengampuan dalam melaksanakan hak-haknya harus

diwakili oleh pengampunya.

c. Perempuan yang telah kawin

Pada umumnya seorang perempuan yang telah kawin tidak cakap dalam melakukan

perbuatan hukum, kecuali dalam hal-hal tertentu dan didalam menjalankan hak-haknya

atau melakukan perbuatan hukum harus ditentukan dan didampingi suaminya.

xciii

3. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan

Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu barang yang cukup jelas atau

tertentu. Barang yang dimaksud dalam perjanjian harus ditentukan jenis, jumlah walaupun

tidak ditentukan dalam Undang-Undang. Selanjutnya Undang-Undang menghendaki causa

atau sebab atau tujuan, yaitu apa yang hendak dikehendaki kedua belah pihak yang

mengadakan perjanjian.

4. Suatu sebab yang halal

Sebagai syarat yang keempat dari syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditetapkan dalam

pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebab. Sebab dapat diartikan

sebagai suatu hal yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa meskipun hukum

perjanjian menganut sistem terbuka, orang bebas untuk mengadakan perjanjian, tidak

terikat pada ketentuan-ketentuan yang telah ada, namun syarat sahnya perjanjian yang

dikehendaki oleh undang-undang haruslah dipenuhi agar berlakunya perjanjian tanpa cela.

Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 KUH

Perdata, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya:

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu, dan

4. Suatu sebab yang halal

Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu syarat

subyektif dan obyektif, sebagai berikut:

1. Syarat Subyektif

xciv

Syarat subyektif adalah syarat yang menyangkut pada subyek perjanjian itu atau dengan

perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian di

mana hal ini meliputi:

a. Sepakat dari mereka yang mengikatkan diri

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak.

Kesepakatan ini terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adanya

penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Cara-cara untuk terjadinya penawaran

dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun dengan tidak tegas, yang penting

dapat dipahami atau dimengerti oleh pihak bahwa telah terjadi penawaran dan penerimaan.

Subekti dalam hal ini menjelaskan sebagai berikut:

Kesesuaian kehendak ini harus dinyatakan dan tidak cukup hanya dalam hati saja, karena

hal itu tidak akan diketahui oleh orang lain sehingga tidak mungkin melahirkan kata

sepakat yang perlu untuk melahirkan perjanjian.

Pernyataan sepakat ini tidak terbatas dengan mengucapkan kata-kata, akan tetapi juga bisa

diwujudkan dengan tanda-tanda yang dapat diartikan sebagai kehendak untuk menyetujui

adanya perjanjian tersebut seperti tulisan.

Beberapa cara terjadinya kesepakatan/terjadinya penawaran dan penerimaan adalah:

1) dengan cara tertulis;

2) dengan cara lisan;

3) dengan simbol-simbol tertentu; dan

4) dengan berdiam diri.

Seorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta

dibawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang

xcv

dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti

Notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu.

Kesepakatan lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak terjadi dalam masyarakat,

namun kesepakatan secara lisan ini kadang tidak disadari sebagai perjanjian padahal

sebenarnya sudah terjadi perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya,

misalnya seorang membeli keperluan sehari-hari di toko maka tidak perlu ada perjanjian

tertulis, tetapi cukup dilakukan secara lisan antara para pihak. Kesepakatan yang terjadi

dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya

menjual satu macam jualan pokok, contohnya adalah jual beli ternak, penjual dan pembeli

hanya cukup meraba jari tangan, maka setelah proses tersebut menciptakan kata sepakat.

Kesepakatan dapat pula terjadi dengan hanya berdiam diri, misalnya dalam hal perjanjian

pengangkutan. Jika kita mengetahui jurusan mobil-mobil penumpang umum, kita biasanya

tanpa bertanya mau kemana tujuan mobil tersebut dan berapa biayanya, tetapi kita hanya

langsung naik dan bila sampai di tujuan kita pun turun dan membayar biaya sebagaimana

biasanya. Sehingga kita tidak pernah mengucapkan sepakat kata pun kepada sopir mobil

tersebut, namun pada dasarnya sudah terjadi perjanjian pengangkutan. R. Subekti dalam

hal ini menerangkan sebagai berikut:

Dengan demikian tolak ukur kesepakatan para pihak adalah pernyataan-pernyataan yang

boleh dipegang untuk dijadikan dasar sepakat adalah pernyataan secara objektif yang dapat

dipercaya atau yang secara sungguh-sungguh memang dikehendaki oleh para pihak.

Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut diatas, khususnya syarat kesepakatan yang

merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti bahwa tidak adanya

kesepakatan para pihak, tidak terjadi kontrak.

xcvi

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Untuk mengadakan perjanjian, para pihak harus cakap, namun dapat saja terjadi bahwa

para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan perjanjian adalah tidak cakap menurut

hukum. Seorang oleh KUHPerdata dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian jika

belum berumur 21 tahun, kecuali ia telah kawin sebelum itu. Sebaliknya setiap orang yang

berumur 21 tahun keatas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh

di bawah pengampuan, seperti gelap mata, sakit ingatan, atau pemboros. Sementara itu,

dalam Pasal 1330 KUHPerdata, ditentukan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian

adalah:

a) Orang-orang yang belum dewasa;

b) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

c) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua

orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.

R. Subekti memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai ketentuan Pasal 1330

KUHPerdata huruf c sebagai berikut:

Khusus huruf c diatas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undang-

undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi, setelah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah

Agung Nomor 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu hak perempuan dan laki-laki telah

disamakan dalam hal membuat perjanjian. Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi oleh

para pihak mengakibatkan perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut dapat

dibatalkan. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap

atau pihak yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah

xcvii

dibuat tetap mengikat, selama tidak dibatalkan oleh Pengadilan atas permintaan yang

berkepentingan.

2. Syarat Obyektif

Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian, ini meliputi:

a. Suatu hal tertentu

Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan para pihak, objek

perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak

berbuat sesuatu. Hal tertentu dalam kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang,

keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya

dalam hal ini menjelaskan sebagai berikut:

Dengan demikian maka dalam setiap perjanjian, baik yang melahirkan perikatan untuk

memberikan sesuatu, perikatan untuk berbuat sesuatu atau perikatan tidak berbuat sesuatu,

senantiasa haruslah jelas yang menjadi obyek perjanjiannya, yang selanjutnya akan

menjadi obyek dalam perikatan yang lahir (baik secara bertimbal balik atau tidak) diantara

para pihak yang membuat perjanjian tersebut.

Pasal 1332 KUHPerdata juga menjelaskan, bahwa obyek dari perjanjian adalah benda yang

dapat diperdagangkan, karena benda diluar perdagangan tidak dapat dijadikan obyek

perjanjian.

b. Suatu sebab yang halal

Syarat obyektif lainnya dalam perjanjian yaitu suatu sebab yang halal, yaitu sebagai

berikut:

1) Bukan tanpa sebab, artinya jika ada sebab lain daripada yang dinyatakan;

xcviii

3) Bukan sebab yang palsu, artinya adanya sebab yang palsu atau dipalsukan;

3) Bukan sebab yang terlarang, artinya apabila berlawanan dengan kesusilaan atau

ketertiban umum.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebab yang halal

itu adalah bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak bertentangan dengan

kesusilaan, ketertiban umum dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Syarat

obyektif wajib dan harus ada dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Jika syarat

obyektif tidak disebutkan atau terpenuhi oleh para pihak maka akibatnya adalah perjanjian

tersebut batal demi hukum.

Syarat perjanjian yaitu kecakapan untuk membuat suatu perikatan dan suatu hal tertentu

tentulah tidak ada masalah. Dalam hukum mereka yang boleh mengendarai kendaraan

tentulah mereka yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dari segi umur dan

kedewasaan adalah mereka yang memang layak memilikinya, terlepas dari kondisi nyata

yang berbeda di lapangan. Syarat suatu hal tertentu juga tidak bermasalah, sebab hal

tertentu yang menjadi objek perjanjian telah jelas yakni mengenai parkir.

Hal yang signifikan untuk menguji keabsahan kontrak baku tersebut adalah syarat

mengenai adanya kata sepakat diantara para pihak, yang dimaksud dengan kata sepakat

ialah dalam mengadakan perjanjian, para pihak haruslah dalam keadaan bebas untuk

menentukan kehendaknya. Dalam bahasa yang lain berarti para pihak tidak mendapat

sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya paksaan untuk menyetujui perjanjian yang

akan disepakatinya tersebut. Para pihak harus berada dalam posisi seimbang, tidak boleh

dalam keadaan diancam atau dipaksa, dalam keadaan khilaf, atau ditipu.

xcix

Dalam konteks jasa parkir, benarkah para pihak telah berada dalam kondisi yang bebas

untuk menentukan kehendaknya. Ketika seseorang/konsumen datang ke suatu tempat, mau

tidak mau dia harus parkir di tempat yang telah disediakan, yakni ditempat parkir yang

dikelola pelaku usaha tertentu. Konsumen tidak mempunyai pilihan lain untuk memilih

dimanakah ia harus parkir. Dalam kondisi semacam ini sebenarnya konsumen telah berada

dalam posisi yang tidak berimbang atau sub-ordinat dengan pelaku usaha. Konsumen harus

memilih untuk parkir di tempat tersebut dan mematuhi setiap klausul yang berada dalam

karcis parkir yang dibuat oleh pelaku usaha. Dengan adanya kondisi semacam ini maka

syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya sebagai syarat sahnya perjanjian tersebut

tidaklah terpenuhi, dan jika point ini tidak dipenuhi maka atas kontrak tersebut dapat

dimintakan pembatalan sekaligus tuntutan ganti kerugian.

Syarat yang tidak kalah pentingnya untuk menilai sah atau tidaknya kontrak baku tersebut

yang berguna untuk meminta tuntutan ganti kerugian jika terjadi kehilangan/kerusakan

ialah klausul adanya suatu sebab yang halal. Undang-undang tidak memberikan pengertian

mengenai „sebab/kausa‟, tapi yang jelas bahwa yang dimaksud dengan „sebab/kausa‟ di

sini bukanlah dalam konteks hubungan sebab akibat, sehingga pengertian „sebab/kausa‟

tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran kausalitet (sebab-akibat). Menurut

yurisprudensi (putusan hakim terdahulu) yang ditafsirkan dengan „sebab/kausa‟ adalah isi

atau maksud dari perjanjian. Isi dari suatu perjanjian tidak bertentangan dengan Undang-

Undang, Ketertiban Umum maupun Kesusilaan (Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337

KUHPerdata).

Pasal 1335 KUHPerdata menegaskan sebagai berikut:

c

Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang

terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.

Pasal 1336 KUHPerdata berbunyi:

Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi memang ada sebab yang tidak terlarang, atau jika

ada sebab lain yang tidak terlarang selain dari yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah

sah.

Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan

Suatu sebab adalah terlarang, apabila sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila

sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, berarti terlebih dahulu harus dilihat apakah isi atau

klausul yang diatur dalam perjanjian khususnya soal “tidak bertanggungjawabnya atas

kehilangan kendaraan dalam lokasi parkir” tidak bertentangan dengan Undang-Undang.

Politik hukum di Indonesia sebenarnya dengan cukup baik telah mengatur mengenai upaya

perlindungan hukum terhadap konsumen, hal ini dapat dilihat dengan hadirnya Undang-

undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UUPK ini telah mencoba

merinci hak-hak maupun kewajiban-kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen. Namun

sayangnya, hampir kebanyakan pelaku usaha pura-pura tidak tahu dengan pengaturan yang

ada dalam UUPK tersebut. Di pihak lain konsumen pun juga belum sadar bahwa ada

peraturan yang melindungi mereka dari perbuatan pelaku usaha. Bab V, Pasal 18 UUPK

ci

sebenarnya sudah memberikan rambu-rambu tegas mengenai Ketentuan Pencantuman

Klausul Baku.

Asumsi penggunaan konsep klausula baku dalam layanan jasa parkir bertentangan dengan

Bab V tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku, Pasal 18 UUPK yang mengatur

sebagai berikut:

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap

dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang

dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang

dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara

langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan

dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan

jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi

harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,

tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha

dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

cii

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli

oleh konsumen secara angsuran.

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit

terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau

perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

dinyatakan batal demi hukum.

(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan

Undang-undang ini.

Berdasarkan Bab V Pasal 18 UU tersebut sebenarnya sudah diberikan rambu-rambu tegas

mengenai ketentuan pencantuman klausul baku (kontrak baku). Pasal 18 ayat (1) huruf a

ditegaskan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan

untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap

dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku

usaha.

Berdasarkan Pasal 18 tersebut dapat dimengerti bahwa sebenarnya klausul/point perjanjian

dalam kertas parkir yang mengatakan pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas risiko

kehilangan adalah bertentangan dengan hukum, sebab klausula tersebut telah mencoba

mengalihkan tanggung jawab yang dimiliki oleh pelaku usaha ke konsumen yang tentunya

telah melanggar Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK tersebut. Pada umumnya syarat tersebut

biasanya dituliskan sangat kecil dikertas parkir yang menyebabkan konsumen sangat sulit

untuk melihatnya.

ciii

Klausula baku yang terdapat pada karcis parkir telah menyimpang dari ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku yaitu melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 18

ayat (1) UUPK. Dalam karcis parkir tersebut terdapat beberapa penyimpangan, yaitu

adanya klausula mengenai pengalihan tanggung jawab pihak penyelenggara parkir dan

ketentuan yang menyatakan bahwa konsumen tunduk pada peraturan yang berupa aturan

baku yang dibuat oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa. Dengan

adanya klausula tersebut, menyebabkan konsumen tidak dapat menuntut ganti rugi pada

pihak penyelenggara parkir ketika kendaraan atau barang-barang yang terdapat di dalam

kendaraan konsumen mengalami kerusakan atau hilang di area parkir, baik itu karena

kesengajaan atau kelalaian dari pihak penyelenggara parkir. Berdasarkan Pasal 18 ayat (3)

UUPK, klausula baku pada karcis parkir yang telah melanggar Pasal 18 ayat (1) UUPK,

mempunyai akibat hukum yaitu batal demi hukum sehingga klausula baku pada karcis

parkir tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak. Bahkan klausul baku

yang dibuat sepihak oleh pengusaha dalam karcis adalah perbuatan melawan hukum.

Misalnya, dalam karcis parkir tertulis “kehilangan kendaraan atau isinya tidak menjadi

tanggungjawab pengelola.” Klausul seperti itu terlarang di UUPK yang termaktub dalam

Pasal 18.

Kesimpulan yang dapat diambil ialah bahwa kontrak standar dengan klausula pengalihan

tanggungjawab tersebut telah melanggar Undang-undang yang memiliki konsekuensi yakni

perjanjian parkir (bisa) dianggap tetap sah, namun klausul/point mengenai pengalihan

tanggungjawabnya adalah batal demi hukum atau tidak berlaku. Atau Perjanjian (secara

keseluruhan) batal demi hukum karena pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang

melawan hukum dan oleh karenanya dapat dituntut ganti kerugian. Selain itu dengan

civ

adanya pasal tersebut juga semakin menegaskan bahwa perjanjian parkir antara pengelola

dan konsumen adalah perjanjian penitipan, bukan sewa menyewa lahan sebagaimana yang

didalilkan oleh para pengusaha parkir tersebut. Sebab dalam perjanjian penitipan, orang

yang dititipkan suatu barang (dengan upah), haruslah bertanggungjawab atas barang yang

dititipkan kepadanya tersebut atau setidak-tidaknya perjanjian parkir mengandung dua

perjanjian sekaligus, yakni sewa menyewa dan penitipan.

Fakta dan data yang ada selama ini, konsumen jasa parkir nampaknya tidak pernah bisa

lepas dari praktik perjanjian sepihak yang terpaksa diterima konsumen. Konsumen meski

jelas mengalami kerugian, seperti body mobil tergores, velg roda hilang, kaca spion

dicongkel, hingga kendaraan hilang. Pada kasus seperti itu konsumen selalu berada pada

pihak yang paling dirugikan, karena pihak pengelola parkir lepas tanggung jawab atas

segala kerugian itu. Bahkan terkesan bahwa pengelola parkir dengan berlindung dibalik

klausula baku itu tidak tersentuh oleh hukum.

Keengganan konsumen jasa parkir menyelesaikan masalahnya melalui jalur hukum

(pengadilan) memang cukup beralasan, karena proses pertama yang dilakukan manakala

terjadi kerusakan/kehilangan kendaraan sudah dihadapkan pada adanya klausula

pengalihan tanggungjawab dari pengelola perparkiran. Sebagaimana lazimnya, pihak

pengelola menolak memberi ganti kerugian dengan alasan dalam karcis parkir sudah

disebutkan dengan jelas dan tegas bahwa atas segala kerusakan/kehilangan menjadi

tanggungjawab konsumen jasa parkir sendiri, dan bukan tanggungjawab pengelola parkir.

Argumen pengelola perparkiran itu didasarkan pada klausula yang selalu termuat dalam

karcis yang menyebut atas hilangnya kenderaaan dan atau barang-barang yang berada di

dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di kawasan parkir, masih

cv

merupakan tanggungjawab konsumen jasa parkir sendiri. Menurut Pasal 1 angka 10

UUPK:

Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah

dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang

dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi

oleh konsumen.

Konsep tersebut sudah tidak sesuai lagi, sebab sudah tidak selaras dengan nafas hukum

yang terus berkembang. Dalam hal ini, klausula baku erat kaitannya dengan UUPK. UUPK

secara tegas dan detil mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku

usaha, serta hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Khusus mengenai klausula

baku ini UUPK melarang dengan tegas pencantuman klausula baku pada setiap dokumen

dan/atau perjanjian yang tujuannya merugikan konsumen (vide Pasal 18 UUPK). Pasal 18

ayat (3) UUPK menegaskan bahwa:

Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau

perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

dinyatakan batal demi hukum.

Idealnya, meski pengelola parkir mencantumkan klausula baku pada karcis sesungguhnya

itu hanya perjanjian sepihak yang terpaksa diterima konsumen jasa parkir. Karenanya, jika

pihak pengelola parkir telah melalukan pelanggaran hukum dengan kelalaian dan

perlakuan yang tidak memadai terhadap konsumen jasa parkir, pengelola parkir tetap

berwajiban memberi ganti kerugian pada konsumen. Pasal 19 UUPK menegaskan:

cvi

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang

dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang

atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan

kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah

tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut

mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila

pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan

konsumen.

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 tersebut, maka terdapat keseimbangan hak dan kewajiban

pengelola parkir dan konsumen jasa parkir (vide Pasal 4, 5, 6 dan 7 UUPK).

BAB V

PENUTUP

cvii

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap

konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto berdasarkan Pasal

4 huruf a, huruf d, dan huruf h UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun

PT. KAI Persero Purwokerto oleh PT. Linggarjati Permai berdasarkan Pasal 4 huruf a yang

menyatakan “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa” belum terpenuhi, yaitu pengelola hanya sekedar menyediakan

tempat/lahan parkir untuk disewa dan bukan penitipan kendaraan, bahwa didalam

hubungan hukum sewa menyewa terdapat proses pembayaran yang dilakukan oleh

konsumen kepada pelaku usaha atas jasa sewa lahan parkir tersebut, tanpa membebankan

kepada pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen.

2. Perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun

PT. KAI Persero Purwokerto oleh PT. Linggarjati Permai berdasarkan Pasal 4 huruf d yang

menyatakan “hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan” belum terpenuhi, karena keluhan tentang kurangnya pengawasan hanya

sekedar ditampung, tanpa ada upaya untuk melakukan penjagaan yang ketat pada pintu

keluar, yaitu tidak ada penarikan karcis dan pemeriksaan STNK pada setiap kendaraan

yang meninggalkan area parkir.

3. Perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun

cviii

PT. KAI Persero Purwokerto oleh PT. Linggarjati Permai berdasarkan Pasal 4 huruf h yang

menyatakan “hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana

mestinya” belum terpenuhi, yaitu pengelola jasa parkir berlindung di balik klausula baku

yang tertera dalam karcis parkir, bahwa kehilangan barang/kendaraan tidak ditanggung.

B. Saran

Permasalahan dalam perjanjian parkir timbul karena ada hubungan tidak seimbang, yaitu

penyelenggara parkir berhak mengutip retribusi dari konsumen, sementara hak

perlindungan konsumen terhadap peristiwa atau kejadian yang merugikan, misalnya

kehilangan atau kerusakan, tidak ada ganti rugi, hal ini terlihat dari lembar bukti karcis

parkir. Pada sisi lain, pengelola jasa parkir juga merasa keberatan untuk memberi ganti

rugi atas kendaraan dan barang yang ada di dalamnya apabila terjadi kerusakan atau

kehilangan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, para pelaku usaha hendaknya berupaya

melakukan perlindungan hukum, yang antara lain dapat dilakukan dengan pemeriksaan

karcis parkir dan STNK saat kendaraan akan meninggalkan lokasi parkir.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Teks:

cix

Abidin, Wikrama Iryans. 2005. Politik Hukum Indonesia. Gramedia Widiasarana

Indonesia. Jakarta.

Hamzah, Andi. 1986. Kamus Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Kaho, Josep Riwu. 2002. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. PT.

Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Marjuki, Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum. Prenada Media Group. Jakarta.

Miru, Ahmadi, dan Sutarman Yudo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Rajawali

Pers. Jakarta.

Miru, Ahmadi. 2007. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. RajaGrafindo Persada.

Jakarta.

Muhammad, Abdul Kadir. 1991. Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara. Citra

Aditya Bakti. Bandung.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaya. 2002. Perikatan Yang lahir dari Perjanjian, Raja

Grafindo Persada. Jakarta.

Murjiyanto, R. 2002. Pengantar Hukum Dagang. Liberty. Yoyakarta.

Nasution, A.Z. 1995. Hukum dan Konsumen. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

. 2002. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Diadit Media.

Jakarta.

Poerwodarminto, W.J.S. 1998. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Purwosutjipto, H.M.N. 1988. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2, Djambatan.

Jakarta.

Shidarta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Grasindo. Jakarta.

cx

Soemitro, Rochmat. 1979. Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Rineka Cipta.

Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soeparmoko, M. 2002. Ekonomi Publik Untuk keuangan dan Pembangunan Daerah. Andi

Offset. Yogyakarta.

Soerjono, Soekanto. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta..

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamuji. 1986. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat). CV. Rajawali. Jakarta.

Soebekti, R. dan R. Tjitrosubio. 1990. Kutab Undang-Undang Hukum Perdata. Pradnya

Paramita. Jakarta.

Subekti, R. 1992. Aneka Perjanjian. Citra Aditya Bakti. Bandung.

. 2002. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa. Jakarta.

Supriady, Deddy. 2002. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Gramedia

Pustaka Utama. Jakarta.

Suyadi. 2006. Diktat Hukum Perlindungan Konsumen. FH. Unsoed Purwokerto.

Syawali, Husni, dan Neni Sri Imaniyati. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Mandar

Maju. Bandung.

Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani. 2000. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Widjaja, Gunawan. 2008. Seri Pemahaman Perseroan Terbatas, Risiko Hukum sebagai

Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Praninta Offset. Jakarta.

YLKI. 1981. Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta.

cxi

Zaenal, Bahri. 1993. Kamus Umum (Khusus Bidang Hukum dan Politik). Angkasa.

Bandung.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah

Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi Parkir di

Tepi Jalan Umum.

Website:

http//en.wikipedia.org/wiki/Corporation

Pajak, Retribusi dan Sumbangan. Diakses melalui www.google.com. Pada 3 Desember

2010.

Pajak, Retribusi dan Sumbangan. Diakses melalui www.google.com. Pada 10 Maret 2011.

Sanadianto. 2008. Tinjauan Umum Perlindungan Hukum. Diakses melalui

http://one.indoskripsi.com/tinjauan-umum-perlindungaan-hukum. Pada tanggal 3

Desember 2010

Tambunan, Barita. 2008. Pengertian Perlindungan Hukum : Tanya Jawab. Diakses

melaluihttp://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080318051947AAf1sB0 Pada

tanggal 3 Desember 2010

cxii

Tjandrasari, Heri. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Upaya

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen, Opini Masyarakat Pemantau Perdilan Indonesia,

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, www.pemantauperadilan.com, diakses tanggal 10

Maret 2011.

Yuniatiningsih, Erwin. 2007. Kebutuhan Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban

Tindak Pidana Perkosaan di Indonesia. Diakses melalui:

http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browsedanop=readdanid=jiptumm-gdl-s1-2002-erwin-

4869-pidanadanq=Nasional. Pada tanggal 3 Desember 2010.

Karya Ilmiah:

Tumbuan, Fred B.G. 2007. Tugas dan Wewenang Organ Perseroan Terbatas. Makalah

disampaikan pada acara Sosialisasi UUPT. Tanggal 22 Agustus 2007 di Jakarta.