10 publicservice - fh.unsoed.ac.idfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/12sp260401010_ok.pdf · untuk...

1
Pemimpin Umum: Seno Subardi Pemimpin Redaksi: Yon Daryono Redaktur Pelaksana: Zunianto Subekti Koordinator Liputan: Angga Saputra Redaktur: Maula Asadilah, Sri Juliati, Bayu Nur Sasongko, Redaktur Foto: Nurul Iman, Redaktur Bahasa: Kholil Rokhman, Reporter Banyumas: Fatimah Arsalan N, Agus Setiyanto, Dedy Afrengki, Renny Tania, Fitri Nurhayati, Hanie Maria, Ade Yulia N, Purbalingga: Yuspita Anjar Palupi, Banjarnegara: Rudal Afghani, Cilacap: Agung Lindu Nagara, Fotografer: Idhad Zakaria, Sekretaris Redaksi: Riyanti Widyastuti, Desain Grafis: Budi Haryanto, Satrio Hapsoro, Desain Iklan: Almumin, Kobahoro, Layouter: Anhar Guruh S, Jack Rastam, Anas Masruri, Iyus Saputra,Rizqi Ramdani IT: Galih Yoga Priyambodo, Aris Riyanto Wartawan SatelitPost selalu dibekali tanda pengenal dan dilarang menerima, meminta, baik uang atau barang yang dapat mempengaruhi isi pemberitaan Direktur Utama: Seno Subardi Direktur: Jessica Noviani Pemimpin Perusahaan: Jessica Noviani Koordinator Iklan: Angga Saputra Koordinator Sirkulasi: Sindu Dwi Hartanto Iklan Penglaris (Baris): Harga Rp 3.500 per baris (per baris 39 karakter) maksimal 6 baris Baris Spektakuler: Cukup Rp 5.000 per hari (datang langsung ke kantor) Iklan Foto Sepeda Motor: Ukuran 40 x 37 mm. Harga Rp. 15.000 per terbit Kantor Redaksi: Jl. Dr. Angka No. 79 Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Telepon: 0281 623099, Faximile: 0281 623388 Penerbit: PT. Satria Media Grafika Email: [email protected] www.satelitnews.co Facebook: Harian Pagi SatelitPost KAMIS KLIWON, 26 APRIL 2012 10 Service Public Redaksi SatelitPost menerima kiriman opini dari pembaca. Panjang opini berisi dua halaman spasi 1,5 . Naskah dikirim via email dan hendaknya dilengkapi dengan foto terbaru berikut nomor telepon yang dapat dihubungi. SatelitPost tidak mengembalikan opini yang diterima. Kolom ini juga terbuka untuk guru. email: [email protected] Sorot Redaksi Sorot Redaksi P EMBACA setia SatelitPost, silakan sampaikan keluhan, saran, kritik, dan pertanyaan Anda terhadap public service atau masalah pembangunan di sekitar kita, secara singkat, cerdas, dan santun melalui fanpage Harian Pagi SatelitPost atau melalui sms ke nomor 081 327 751 303. Kami dengan senang hati akan menyam- paikan keluhan atau pertanyaan Anda pada pihak yang bersangkutan sehingga bisa langsung dijawab. LAGOJE Vidinic berputar-putar di bangku cadangan. Raut mukanya ber- kerut memikirkan bagaimana dia memertanggungjawab- kan kinerjanya di hadapan rakyat Zaire. Pria Macedonia itu didapuk membawa kum- pulan anak Zaire bertarung di Piala Dunia, Jerman Barat pada 1974. Dia mewakili nama Zaire, negeri yang belakangan mengubah sebutan menjadi Republik Demokratik Kongo. Vidinic pusing bukan kepalang karena dia adalah entrenador anak-anak negeri di Afrika bagian tengah itu. Partai pertama gelaran hajatan sepakbola terakbar, Zaire dipukul Skotlandia dua gol tanpa balas. Di partai kedua Grup B Piala Dunia 1974, anak asuhnya dipermak 9-0 oleh negara leluhurnya sendiri, Yugoslavia. Di partai ketiga, giliran kumpulan tim samba menggasak 3-0. Vidinic berpikir, sebagai duta Zaire, dia malu. Malu karena timnya dijadikan lumbung gol. Lebih malu lagi karena di gelaran sepakbola empat tahunan itu, masih ada anak asuhnya yang tak tahu aturan standar bermain sepakbola. Vidinic malu dan enggan pulang ke Zaire. Vidinic sudah sangat serius. Memasang taktik, merotasi pemain, hingga minimal minta anak buahnya memertahankan gawang dari kebobolan. Vidinic, mencurahkan pengalamannya saat menjadi pese- pakbola. Tapi tetap saja, dia gagal. Keseriusan yang tidak membuahkan hasil. Seorang wakil negara yang malu sekalipun segenap keringat, otak, hingga batin diserahkan bagi keharuman nama Zaire di Piala Dunia 1974. Wakil yang tahu diri. Malu karena tidak bisa memberikan yang terbaik sekalipun sudah sangat berusaha. Kadang, dan bahkan sering kita memi- kirkan hal besar dari arena permainan seperti sepakbola. Dari mulai ideologi yang dipertentangkan, rasa memiliki, hingga niat baik sebagai wakil negara. Kita, dengan segudang permasalahan, rasanya ingin memunyai wakil yang minimal seperti Vidinic. Tanggung jawab yang besar dan rasa malu yang masih ada. Tapi, kita sering membuat dahi sendiri bergaris, memikirkan wakil kita. Mekanisme demokrasi keterwakilan membuat kita punya wakil yang bernama DPR. Namun, ber- bongkah-bongkah masalah muncul. Tidak terhitung berapa yang terseret kasus korupsi. Mereka tak bertanggung jawab dan punya rasa malu yang tak sampai sekulit ari. Tak hanya korupsi, kita juga punya wakil yang terseret kasus asusila. Tak hanya satu wakil, beberapa anggota DPR ditelanjangi kecang- gihan teknologi soal kasus asusila. Ada yang membantah, tapi belakangan mengaku. Ada yang mengaku tapi tak tegas mengakui. Terbaru, ketika video tak senonoh kembali muncul dan diduga dilakukan wakil kita. Belum pasti memang, tapi publik punya logika sendiri. Bagi kita yang diwakili, kecanggihan teknologi seperti sudah mengonfirmasi dugaan menjadi kepastian. Menyesakkan memang. Tak ada kekecewaan kecuali terbayarkan saat mekanisme pemilihan terjadi lima tahun sekali. Saat itu, kita bisa memilih wakil yang sesuai dengan apa yang kita inginkan. Untuk kebaikan Indonesia, pamflet-pamflet muncul menyosialisasikan agar kita tak memilih politisi busuk. Busuk perangainya dan busuk akhlaknya. Tiap saat, menjelang pemilu, imbauan mampir di media cetak dan nangkring di layar kaca. Imbauan agar kita memilih wakil yang tepat. Tapi, sebagus apapun imbauan, Tempat Pemungutan Suara (TPS), saat ini punya logika sendiri. Seperti apapun imbauan, uang kadang mengalahkan segalanya. Tidak sedikit kita yang bisa dibeli, memertaruhkan masa depan dengan memilih wakil yang tak layak. Setiap orang yang bisa dibeli juga punya nalar sendiri. Bagi mereka, uang sangat dibutuhkan di tengah ketidakmampuan pemerintah memberi penghidupan yang layak. Semua punya logika sendiri dan berputar tak berujung. Hingga kemudian, episode tentang kenakalan, korupsi, asusila wakil kita terus berulang. Terjadi dan terjadi lagi. Membangun keterwakilan tidak hanya dengan teori dan imbauan semata. Pemberian kesejahteraan, pemahaman, rasa memiliki bangsa, dan ketidak- rakusan harus dirangkum. Dipikirkan lebih detil oleh yang punya kewenangan. Sebetulnya tidak sulit, tapi kadang memang tidak mudah. (kholil_rokhman@- yahoo.com) Wakil KHOLIL ROKHMAN Redaktur Bahasa SatelitPost B BERITA DUKA CITA EKA PRALAYA Yayasan PenolongKematian LANI AGUSTINA (Tan Lan Ing) Usia 63 Tahun. Alamat: Puri Indah C-36, Purwokerto z Jalan Rusak Cilacap 1 Kabupaten Cilacap paling kaya. Ada PLTU, Pertamina, pelabuhan, Holcim, dan gudang aspal. Tapi kenapa, jalan- nya pada rusak. Pada dibawa kemana aspalnya? NN, 081 326 869 XXX z Jalan Rusak Cilacap 2 Assalamualaikum. Bapak kepala Bina Marga Cilacap yang saya hormati dan bapak/ibu pemerintah pula yang saya hargai. Kapan mau diperbaiki sepanjang Jalan Tentara Pelajar. Jalannya berlu- bang, rusak parah banget. Tolong secepatnya jalannya diperbaiki. Soalnya jalan itu sebagai akses truk, bis, dan truk Holcim. Terimakasih. AINI, Cilacap 085 647 805 XXX Tanggapan: Terimakasih untuk masukannya pembaca SatelitPost. Cilacap me- mang memunyai banyak pabrik, sa- tu di antaranya pabrik aspal. Na- mun, aspal itu kan milik negara. Bupati tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau meminta aspal. Kalau pun meminta, tidak semudah itu prosedurnya. Berkaitan dengan banyaknya jalan rusak, ini sebagai dampak kemajuan kota industri Cilacap. Namun, APBD kita untuk memerbaiki jalan cukup terbatas. Namun, kami akan berusaha memerhatikan sekaligus memerbaiki jalan rusak itu satu per satu. Terutama jalan rusak yang masuk ke ranah kabupaten. Sedang- kan jalan nasional dan provinsi, tetap harus ada koordinasi dengan pemerintah pusat dan BPT Bina Marga Provinsi. GUNAWAN ST Kepala Bidang Jalan, Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (SDABM) Cilacap z Bikin SIM Jangan Dipersulit Pak polisi Cilacap-Banyumas. Gawe SIM aja dipersulit. Nek nilang sregep. Giliran gawene angel banget. KARTIKA, 085 726 393 XXX Tanggapan: Terimakasih untuk pertanyaannya Ibu Kartika. Bukannya kita ingin memersulit, tetapi memang pro- sedurnya seperti itu. Karena SIM berkaitan dengan kompetensi ber- kendara. Harap maklum. AKP Chalid Mawardi Kasat Lantas Polres Banyumas DALAM banyak buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun dalam berbagai seremoni memeringati kelahirannya, gelar Raden Ajeng kerap disebut-sebutkan di depan nama Kartini. Penyebutan itu tentu tak salah karena Kartini memang berasal dari keluarga aristokrat. Dia dibesarkan dalam lingkungan kabupaten, sebuah masyarakat kecil yang tersusun atas lapisan-lapisan sesuai dengan struktur sosial feodal. Namun, penyebutan gelar kebang- sawanan tersebut tidak akan membuat Kartini gembira. Sekiranya ia masih hidup dan hadir dalam perayaan yang ditujukan untuk menghargai jasanya terhadap bangsa ini. Dikatakan demi- kian, karena Kartini memang tak mau dipanggil dengan panggilan Raden Ajeng. Ia berkeyakinan, semua manusia pada hakikatnya sama, dan berbagai gelaran yang artifisial sifatnya itulah yang justru menimbulkan banyak ketidakadilan sosial. Tulisan ini secara singkat menyoroti signifikansi dan relevansi pemikiran Kartini dalam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sosok Kartini yang begitu kritis terhadap kondisi sosi- al politik memang tidak banyak didapat dalam bu- ku Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternicht tot Licht) yang hingga kini menjadi rujukan utama untuk memerkenalkan ke- beradaannya. Sosoknya yang lain, seorang feminis Jawa yang mencabar ke- benaran sosial politik pada jamannya ditemu- kan dalam buku Panggil Aku Kartini saja yang di- susun berdasar surat-surat Kartini. Dalam buku yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer itu terungkap pandangan- pandangan non konformis pu- teri Bupati Jepara ini terutama yang berkaitan dengan hal ikhwal sosial dan politik, filsafat, bahkan agama. Satu di antara yang paling menohok adalah permintaan Kartini sendiri agar dipanggil tanpa gelaran apapun, suatu penolakan tegas terha- dap feodalisme. Bahwa Kartini menolak panggilan Raden Ajeng tentu adalah suatu keluarbiasaan. Diletakkan dalam konteks masanya ketika paham ke- tidaksamaan derajat di antara manusia masih begitu kuat di tanah Jawa. Apa yang menjadi pandangan perempuan yang pandai melukis ini adalah suatu lompatan sejarah, suatu dobrakan dari dalam jantung feodalisme itu sendiri. Ia memuja kesetaraan, persamaan antar manusia, dan demokrasi. Walau ia adalah puteri bangsawan, hidup dalam pingitan, hati sanubarinya begitu dekat dengan rakyat dan men- curahkan segala perhatiannya demi kemakmuran rakyat. Diyakininya, gelar kebangsawanan justru membuat beban dan menyebabkan ketidakadi- lan sosial karena dengannya orang tak akan sekali-kali berkesamaan derajat sebagai manusia. Ia menulis pedas betapa para bang- sawan memertahankan kebangsawa- nan dan kebodohan di antara para pri- bumi guna terus berkuasa terhadap- nya. Tentangan atas usahanya untuk mendirikan sekolah bagi kaum pribumi diyakininya lebih disebabkan karena ketakutan para bangsawan akan run- tuhnya eksistensi mereka di panggung kuasa manakala masyarakat telah lebih melek dengan pendidikan. Tak saja terhadap para bangsawan KARTINI DAN DEMOKRASI MANUNGGAL K. WARDAYA Dosen Fakultas Hukum Unsoed, PhD Researcher pada Radboud Universiteit Nijmegen, Belanda Para pejabat penyelenggara mestilah menempatkan diri sebagai abdi masyarakat. Bukan sebaliknya, mengreasi feodalisme jaman modern yang menuntut upeti dan imbalan dari majikan sejatinya: manusia warga negara. pribumi, perempuan yang namanya diabadikan sebagai nama jalan di Negeri Belanda itu juga keras meng- kritik pejabat Belanda. Mereka juga mengukuhi angga- pan, bangsa pen- jajah, Eropa, le- bih mulia d a r i kaum pri- bumi terjajah. Bahwa Belanda lebih agung dan mulia daripada orang Jawa. Karenanya Bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan tak seharusnya ada dalam benak kepala orang Jawa. Kendati dekat dengan banyak or- ang Belanda dan peradaban Barat/ Eropa yang ia pandang mencerahkan, namun ia tetap kritis terhadap perilaku aparat kolonial yang memerlakukan manusia tak sebagaimana harusnya manusia diperlakukan. Ia haus untuk mengecap kultur Eropa yang di- yakininya membebaskan dari adat kuno feodalisme yang tak terhin- darkan. Sembari meyakini pula, pera- daban Eropa tak sama dengan penja- jahan Barat di Hindia Belanda. Sesungguhnyalah, kritik Kartini akan feodalisme di mana orang men- dapat penghormatan. Dikarenakan status darah yang mengalir dan jaba- tan amatlah paralel dengan prinsip kesetaraan (equality) yang dikenal dan diakui dalam berbagai instrumen hukum HAM. Baik dalam levelnya yang internasional maupun domestik. Perjuangannya untuk mendirikan sekolah bagi kaum pribumi adalah manifestasi atas keyakinannya yang teguh. Siapapun manusia tanpa mem- bedakan status sosialnya memiliki hak atas pendidikan, sebuah prinsip non- diskriminasi dalam penikmatan HAM. Sementara itu pandangannya, para bangsawan seharusnya memiliki kepedulian sosial, menyingsingkan lengan baju guna kemakmuran rakyat adalah manifestasi paham demokrasi di mana rakyat adalah pemegang kuasa, yang berdaulat. Penolakannya atas penghormatan berlebihan terhadap manusia karena mitos genetis kebangsawanan dan implikasinya di la- pangan publik adalah gugatan yang dapat disetarakan de- ngan pemikiran Jo- hn Locke (1632-1704). Ia juga mencabar kekuasaan absolut raja yang men- dasarkan kuasa mereka dengan klaim takdir ketuhanan. Baik Kartini ma- upun Locke meyakini, setiap manusia adalah sama, oleh karenanya kons- truksi sosial yang menghalangi kesa- maan itu musti diruntuhkan. Kadar seseorang haruslah ditakar dari peran dan kontribusinya dalam masyarakat, dan bukannya klaim-klaim yang menyandarkan pada bangunan mi- tologi akan adanya hak istimewa dari Tuhan. Pemikiran dan perjuangan Kar- tini sudah barang tentu tetap relevan untuk diimplementasikan dalam perikehidupan kekinia. Tak saja dalam pemahamannya yang domestik-konvensional (yang melulu berkisar pemberda- yaan kaum Ibu dan perem- puan seperti selama ini dicoba-kesankan). Na- mun lebih dari itu, se- bagai inspirasi bagi siapapun pejabat ne- gara dalam melaksa- nakan tugas dan we- wenangnya. Sikap politik Kartini yang tak ingin dihor- mati sekadar karena ke- bangsawanannya sudah semestinya menjadi tela- dan para penyelenggara negara terutama dalam konteks negara berpaham kedaulatan rakyat seba- gaimana ditegaskan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi sebagai- mana diperjuangkan Kartini sepatutnya tak dilupakan guna terwujudnya keadilan dan kemak- muran rakyat yang sebesar-besarnya. Para pejabat penyelenggara mestilah menempatkan diri sebagai abdi ma- syarakat. Bukan sebaliknya, me- ngreasi feodalisme jaman modern yang menuntut upeti dan imbalan dari majikan sejatinya: manusia warga negara. (*) BOODIE SIPON/SATELITPOST

Upload: tranlien

Post on 30-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pemimpin Umum: Seno SubardiPemimpin Redaksi: Yon DaryonoRedaktur Pelaksana: Zunianto SubektiKoordinator Liputan: Angga SaputraRedaktur: Maula Asadilah, Sri Juliati, Bayu Nur Sasongko, Redaktur Foto: Nurul Iman, Redaktur Bahasa: Kholil Rokhman,Reporter Banyumas: Fatimah Arsalan N, Agus Setiyanto, Dedy Afrengki, Renny Tania, Fitri Nurhayati, Hanie Maria, Ade Yulia N, Purbalingga: Yuspita Anjar Palupi, Banjarnegara: Rudal Afghani, Cilacap: Agung Lindu Nagara, Fotografer: Idhad Zakaria, Sekretaris Redaksi: Riyanti Widyastuti, Desain Grafi s: Budi Haryanto, Satrio Hapsoro, Desain Iklan: Almumin, Kobahoro, Layouter: Anhar Guruh S, Jack Rastam, Anas Masruri, Iyus Saputra,Rizqi Ramdani IT: Galih Yoga Priyambodo, Aris Riyanto

Wartawan SatelitPost selalu dibekali tanda pengenal dan dilarang menerima, meminta, baik uang atau barang yang dapat mempengaruhi isi pemberitaan

Direktur Utama: Seno SubardiDirektur: Jessica Noviani

Pemimpin Perusahaan: Jessica NovianiKoordinator Iklan: Angga Saputra

Koordinator Sirkulasi: Sindu Dwi Hartanto

Iklan Penglaris (Baris):Harga Rp 3.500 per baris (per baris 39 karakter) maksimal 6 baris

Baris Spektakuler:Cukup Rp 5.000 per hari (datang langsung ke kantor)

Iklan Foto Sepeda Motor:Ukuran 40 x 37 mm. Harga Rp. 15.000 per terbit

Kantor Redaksi: Jl. Dr. Angka No. 79 Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Telepon: 0281 623099, Faximile: 0281 623388Penerbit: PT. Satria Media Grafi kaEmail: [email protected]

www.satelitnews.coFacebook: Harian Pagi SatelitPost

KAMIS KLIWON,26 APRIL 201210 ServicePublic

Redaksi SatelitPost menerima kiriman opini dari pembaca. Panjang opini berisi dua halaman spasi 1,5 . Naskah dikirim via email dan hendaknya dilengkapi denganfoto terbaru berikut nomor telepon yang dapat dihubungi. SatelitPost tidak mengembalikan opini yang diterima. Kolom ini juga terbuka untuk guru.email: [email protected] Redaksi Sorot Redaksi

PEMBACA setia SatelitPost, silakan sampaikan keluhan, saran,kritik, dan pertanyaan Anda terhadap public service ataumasalah pembangunan di sekitar kita, secara singkat, cerdas,

dan santun melalui fanpage Harian Pagi SatelitPost atau melalui smske nomor 081 327 751 303. Kami dengan senang hati akan menyam-paikan keluhan atau pertanyaan Anda pada pihak yang bersangkutansehingga bisa langsung dijawab.

LAGOJE Vidinicberputar-putar dibangku cadangan.Raut mukanya ber-

kerut memikirkan bagaimanadia memertanggungjawab-kan kinerjanya di hadapanrakyat Zaire. Pria Macedoniaitu didapuk membawa kum-pulan anak Zaire bertarungdi Piala Dunia, Jerman Barat

pada 1974. Dia mewakili nama Zaire, negeri yangbelakangan mengubah sebutan menjadi RepublikDemokratik Kongo.

Vidinic pusing bukan kepalang karena dia adalahentrenador anak-anak negeri di Afrika bagian tengahitu. Partai pertama gelaran hajatan sepakbolaterakbar, Zaire dipukul Skotlandia dua gol tanpa balas.Di partai kedua Grup B Piala Dunia 1974, anakasuhnya dipermak 9-0 oleh negara leluhurnya sendiri,Yugoslavia. Di partai ketiga, giliran kumpulan timsamba menggasak 3-0.

Vidinic berpikir, sebagai duta Zaire, dia malu. Malukarena timnya dijadikan lumbung gol. Lebih malu lagikarena di gelaran sepakbola empat tahunan itu, masihada anak asuhnya yang tak tahu aturan standarbermain sepakbola. Vidinic malu dan enggan pulangke Zaire.

Vidinic sudah sangat serius. Memasang taktik,merotasi pemain, hingga minimal minta anak buahnyamemertahankan gawang dari kebobolan. Vidinic,mencurahkan pengalamannya saat menjadi pese-pakbola. Tapi tetap saja, dia gagal. Keseriusan yangtidak membuahkan hasil. Seorang wakil negara yangmalu sekalipun segenap keringat, otak, hingga batindiserahkan bagi keharuman nama Zaire di PialaDunia 1974.

Wakil yang tahu diri. Malu karena tidak bisamemberikan yang terbaik sekalipun sudah sangatberusaha. Kadang, dan bahkan sering kita memi-kirkan hal besar dari arena permainan sepertisepakbola. Dari mulai ideologi yang dipertentangkan,rasa memiliki, hingga niat baik sebagai wakil negara.

Kita, dengan segudang permasalahan, rasanyaingin memunyai wakil yang minimal seperti Vidinic.Tanggung jawab yang besar dan rasa malu yangmasih ada. Tapi, kita sering membuat dahi sendiribergaris, memikirkan wakil kita.

Mekanisme demokrasi keterwakilan membuat kitapunya wakil yang bernama DPR. Namun, ber-bongkah-bongkah masalah muncul. Tidak terhitungberapa yang terseret kasus korupsi. Mereka takbertanggung jawab dan punya rasa malu yang taksampai sekulit ari. Tak hanya korupsi, kita juga punyawakil yang terseret kasus asusila. Tak hanya satuwakil, beberapa anggota DPR ditelanjangi kecang-gihan teknologi soal kasus asusila.

Ada yang membantah, tapi belakangan mengaku.Ada yang mengaku tapi tak tegas mengakui. Terbaru,ketika video tak senonoh kembali muncul dan didugadilakukan wakil kita. Belum pasti memang, tapi publikpunya logika sendiri. Bagi kita yang diwakili,kecanggihan teknologi seperti sudah mengonfirmasidugaan menjadi kepastian. Menyesakkan memang.

Tak ada kekecewaan kecuali terbayarkan saatmekanisme pemilihan terjadi lima tahun sekali. Saatitu, kita bisa memilih wakil yang sesuai dengan apayang kita inginkan. Untuk kebaikan Indonesia,pamflet-pamflet muncul menyosialisasikan agar kitatak memilih politisi busuk. Busuk perangainya danbusuk akhlaknya.

Tiap saat, menjelang pemilu, imbauan mampir dimedia cetak dan nangkring di layar kaca. Imbauanagar kita memilih wakil yang tepat. Tapi, sebagusapapun imbauan, Tempat Pemungutan Suara (TPS),saat ini punya logika sendiri. Seperti apapun imbauan,uang kadang mengalahkan segalanya. Tidak sedikitkita yang bisa dibeli, memertaruhkan masa depandengan memilih wakil yang tak layak.

Setiap orang yang bisa dibeli juga punya nalarsendiri. Bagi mereka, uang sangat dibutuhkan ditengah ketidakmampuan pemerintah memberipenghidupan yang layak. Semua punya logika sendiridan berputar tak berujung. Hingga kemudian, episodetentang kenakalan, korupsi, asusila wakil kita terusberulang. Terjadi dan terjadi lagi.

Membangun keterwakilan tidak hanya dengan teoridan imbauan semata. Pemberian kesejahteraan,pemahaman, rasa memiliki bangsa, dan ketidak-rakusan harus dirangkum. Dipikirkan lebih detil olehyang punya kewenangan. Sebetulnya tidak sulit, tapikadang memang tidak mudah. ([email protected])

WakilKHOLIL ROKHMANRedaktur Bahasa SatelitPost

B

BERITA DUKA CITAEKA PRALAYA

Yayasan PenolongKematian

LANI AGUSTINA(Tan Lan Ing)

Usia 63 Tahun.Alamat: Puri Indah C-36, Purwokerto

Jalan Rusak Cilacap 1

Kabupaten Cilacap paling kaya. AdaPLTU, Pertamina, pelabuhan, Holcim,dan gudang aspal. Tapi kenapa, jalan-nya pada rusak. Pada dibawa kemanaaspalnya?

NN, 081 326 869 XXX

Jalan Rusak Cilacap 2

Assalamualaikum. Bapak kepala BinaMarga Cilacap yang saya hormati danbapak/ibu pemerintah pula yang sayahargai. Kapan mau diperbaiki sepanjangJalan Tentara Pelajar. Jalannya berlu-bang, rusak parah banget. Tolongsecepatnya jalannya diperbaiki. Soalnyajalan itu sebagai akses truk, bis, dan trukHolcim. Terimakasih.

AINI, Cilacap085 647 805 XXX

Tanggapan:

Terimakasih untuk masukannyapembaca SatelitPost. Cilacap me-mang memunyai banyak pabrik, sa-tu di antaranya pabrik aspal. Na-mun, aspal itu kan milik negara.Bupati tidak memiliki kewenanganuntuk mengambil atau memintaaspal. Kalau pun meminta, tidaksemudah itu prosedurnya.Berkaitan dengan banyaknya jalan

rusak, ini sebagai dampak kemajuankota industri Cilacap. Namun,APBD kita untuk memerbaiki jalancukup terbatas. Namun, kami akanberusaha memerhatikan sekaligusmemerbaiki jalan rusak itu satu persatu. Terutama jalan rusak yangmasuk ke ranah kabupaten. Sedang-kan jalan nasional dan provinsi,tetap harus ada koordinasi denganpemerintah pusat dan BPT BinaMarga Provinsi.

GUNAWAN STKepala Bidang Jalan, Dinas SumberDaya Air dan Bina Marga (SDABM)Cilacap

Bikin SIM Jangan DipersulitPak polisi Cilacap-Banyumas. GaweSIM aja dipersulit. Nek nilang sregep.Giliran gawene angel banget.

KARTIKA, 085 726 393 XXX

Tanggapan:

Terimakasih untuk pertanyaannyaIbu Kartika. Bukannya kita inginmemersulit, tetapi memang pro-sedurnya seperti itu. Karena SIMberkaitan dengan kompetensi ber-kendara. Harap maklum.

AKP Chalid MawardiKasat Lantas Polres Banyumas

DALAM banyak buku sejarah yangdiajarkan di sekolah-sekolah maupundalam berbagai seremoni memeringatikelahirannya, gelar Raden Ajeng kerapdisebut-sebutkan di depan namaKartini.

Penyebutan itu tentu tak salahkarena Kartini memang berasal darikeluarga aristokrat. Dia dibesarkandalam lingkungan kabupaten, sebuahmasyarakat kecil yang tersusun ataslapisan-lapisan sesuai dengan struktursosial feodal.

Namun, penyebutan gelar kebang-sawanan tersebut tidak akan membuatKartini gembira. Sekiranya ia masihhidup dan hadir dalam perayaan yangditujukan untuk menghargai jasanyaterhadap bangsa ini. Dikatakan demi-kian, karena Kartini memang tak maudipanggil dengan panggilan RadenAjeng.

Ia berkeyakinan, semua manusiapada hakikatnya sama, dan berbagaigelaran yang artifisial sifatnya itulahyang justru menimbulkan banyakketidakadilan sosial. Tulisan ini secarasingkat menyoroti signifikansi danrelevansi pemikiran Kartini dalamdalam kehidupan berbangsa danbernegara.

Sosok Kartini yang begitukritis terhadap kondisi sosi-al politik memang tidakbanyak didapat dalam bu-ku Habis Gelap TerbitlahTerang (Door Duisternichttot Licht) yang hingga kinimenjadi rujukan utamauntuk memerkenalkan ke-beradaannya. Sosoknyayang lain, seorang feminisJawa yang mencabar ke-benaran sosial politikpada jamannya ditemu-kan dalam buku PanggilAku Kartini saja yang di-susun berdasar surat-suratKartini.

Dalam buku yang ditulisoleh Pramoedya Ananta Toeritu terungkap pandangan-pandangan non konformis pu-teri Bupati Jepara ini terutamayang berkaitan dengan hal ikhwalsosial dan politik, filsafat, bahkanagama. Satu di antara yang palingmenohok adalah permintaan Kartinisendiri agar dipanggil tanpa gelaranapapun, suatu penolakan tegas terha-dap feodalisme.

Bahwa Kartini menolak panggilanRaden Ajeng tentu adalah suatukeluarbiasaan. Diletakkan dalamkonteks masanya ketika paham ke-tidaksamaan derajat di antara manusiamasih begitu kuat di tanah Jawa. Apayang menjadi pandangan perempuanyang pandai melukis ini adalah suatulompatan sejarah, suatu dobrakan daridalam jantung feodalisme itu sendiri.

Ia memuja kesetaraan, persamaanantar manusia, dan demokrasi. Walauia adalah puteri bangsawan, hidupdalam pingitan, hati sanubarinyabegitu dekat dengan rakyat dan men-curahkan segala perhatiannya demikemakmuran rakyat. Diyakininya,gelar kebangsawanan justru membuatbeban dan menyebabkan ketidakadi-lan sosial karena dengannya orang takakan sekali-kali berkesamaan derajatsebagai manusia.

Ia menulis pedas betapa para bang-sawan memertahankan kebangsawa-nan dan kebodohan di antara para pri-bumi guna terus berkuasa terhadap-nya. Tentangan atas usahanya untukmendirikan sekolah bagi kaum pribumidiyakininya lebih disebabkan karenaketakutan para bangsawan akan run-tuhnya eksistensi mereka di panggungkuasa manakala masyarakat telah lebihmelek dengan pendidikan.

Tak saja terhadap para bangsawan

KARTINI DAN DEMOKRASI

MANUNGGAL K. WARDAYADosen Fakultas Hukum Unsoed, PhD Researcher pada Radboud

Universiteit Nijmegen, Belanda

Para pejabat penyelenggara mestilah menempatkandiri sebagai abdi masyarakat. Bukan sebaliknya,

mengreasi feodalisme jaman modern yang menuntutupeti dan imbalan dari majikan sejatinya: manusia

warga negara.

pribumi, perempuan yang namanyadiabadikan sebagai nama jalan diNegeri Belanda itu juga keras meng-kritik pejabat Belanda. Mereka jugamengukuhi angga-pan, bangsa pen-jajah, Eropa, le-bih muliad a r ikaumpri-

bumi terjajah.Bahwa Belanda lebih agung dan muliadaripada orang Jawa. KarenanyaBahasa Belanda dan ilmu pengetahuantak seharusnya ada dalam benakkepala orang Jawa.

Kendati dekat dengan banyak or-ang Belanda dan peradaban Barat/Eropa yang ia pandang mencerahkan,namun ia tetap kritis terhadap perilakuaparat kolonial yang memerlakukanmanusia tak sebagaimana harusnyamanusia diperlakukan. Ia haus untukmengecap kultur Eropa yang di-yakininya membebaskan dari adatkuno feodalisme yang tak terhin-darkan. Sembari meyakini pula, pera-daban Eropa tak sama dengan penja-jahan Barat di Hindia Belanda.

Sesungguhnyalah, kritik Kartiniakan feodalisme di mana orang men-dapat penghormatan. Dikarenakanstatus darah yang mengalir dan jaba-tan amatlah paralel dengan prinsipkesetaraan (equality) yang dikenal dandiakui dalam berbagai instrumenhukum HAM. Baik dalam levelnyayang internasional maupun domestik.Perjuangannya untuk mendirikansekolah bagi kaum pribumi adalahmanifestasi atas keyakinannya yangteguh. Siapapun manusia tanpa mem-bedakan status sosialnya memiliki hakatas pendidikan, sebuah prinsip non-diskriminasi dalam penikmatan HAM.Sementara itu pandangannya, parabangsawan seharusnya memilikikepedulian sosial, menyingsingkanlengan baju guna kemakmuran rakyat

adalah manifestasi paham demokrasidi mana rakyat adalah pemegangkuasa, yang berdaulat.

Penolakannya atas penghormatanberlebihan terhadap manusia karena

mitos genetis kebangsawanandan implikasinya di la-

pangan publik adalahgugatan yang dapat

disetarakan de-ngan pemikiran

J o -

hn Locke (1632-1704). Ia juga mencabarkekuasaan absolut raja yang men-dasarkan kuasa mereka dengan klaimtakdir ketuhanan. Baik Kartini ma-upun Locke meyakini, setiap manusiaadalah sama, oleh karenanya kons-

truksi sosial yang menghalangi kesa-maan itu musti diruntuhkan. Kadarseseorang haruslah ditakar dari perandan kontribusinya dalam masyarakat,dan bukannya klaim-klaim yangmenyandarkan pada bangunan mi-tologi akan adanya hak istimewa dariTuhan.

Pemikiran dan perjuangan Kar-tini sudah barang tentu tetaprelevan untuk diimplementasikandalam perikehidupan kekinia. Taksaja dalam pemahamannya yang

domestik-konvensional (yangmelulu berkisar pemberda-

yaan kaum Ibu dan perem-puan seperti selama ini

dicoba-kesankan). Na-mun lebih dari itu, se-bagai inspirasi bagisiapapun pejabat ne-gara dalam melaksa-nakan tugas dan we-wenangnya.

Sikap politik Kartiniyang tak ingin dihor-mati sekadar karena ke-bangsawanannya sudahsemestinya menjadi tela-dan para penyelenggaranegara terutama dalamkonteks negara berpahamkedaulatan rakyat seba-gaimana ditegaskan Pasal1 ayat (2) UUD 1945.Prinsip kesetaraan dan

non-diskriminasi sebagai-mana diperjuangkan Kartini

sepatutnya tak dilupakan gunaterwujudnya keadilan dan kemak-

muran rakyat yang sebesar-besarnya.Para pejabat penyelenggara mestilahmenempatkan diri sebagai abdi ma-syarakat. Bukan sebaliknya, me-ngreasi feodalisme jaman modernyang menuntut upeti dan imbalandari majikan sejatinya: manusiawarga negara. (*)

BOODIE SIPON/SATELITPOST