pamflet semar ui edisi 03 / oktober / i / 2013
DESCRIPTION
Edisi Ke-3 PAMFLET, terbitan rutin Departemen Agitasi dan Propaganda SEMAR UI (Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia). Selamat Menikmati dan Mari #MahasiswaDukungMogok !TRANSCRIPT
SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA
Edisi 03/Oktober/II/2013
PAMFLET. Terbitan ini ditulis dan
disebarluaskan oleh:
Departemen Agitasi
dan Propaganda
Serikat Mahasiswa Progresif
Universitas Indonesia
(SEMAR UI)
Redaksi:
Aldilah Ayu Putri
Bayu Baskoro F
Bhadrika Dirgantara
Dicky Dwi Ananta
Muhammad Ridwan B
Rio Apinino
Robie Kholilurrahman
M Trishadi Pratama
Narahubung:
@SEMARUI
serikatmahasiswaprogresif
@gmail.com
087870155420
Foto dalam pamflet ini diambil dari:
NOBODYCORP.
INTERNATIONALE UNLIMITED (http://nobodycorp.org/)
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi ................................ 2
Tajuk Utama: Menuju Mogok Nasional ............. 3
Obrolan Warung Kopi ................................ 5
Wawancara ................................ 6
Rubrik Teori: Teori Nilai Lebih ......................... 7
Telaah Hukum ............................. 10
Sehari Saja Kawan! ...................................... 12
“Mogok?” “Ya! Mari kita mahasiswa, mogok kuliah!” Mungkin tinggal sebagian dari kita yang
masih ingat lontaran usul ini sekitar dua tahun lalu.
Untuk melawan dugaan penyelewengan aset-aset kampus oleh Rektor, seorang pimpinan lembaga
kemahasiswaan menyerukan civitas akademika UI
untuk mogok kuliah. Mungkin menurutnya dengan
mogok kuliah, masalah akan selesai: aset-aset
kampus yang diselewengkan dapat kembali ke
kegunaannya semula.
Terlepas dari seberapa siapkah prasyarat riil dari
usulan di atas, dan rencana macam apa tentang mogok yang divisualisasikan, bahkan apakah itu
konsepsi yang rapi ataukah sekadar celetukan yang
terpaksa dipertanggungjawabkan, fragmen singkat di atas menyiratkan bahwa ternyata di benak kita masih
bersemayam naluri mendasar tentang salah satu
metode paling sederhana (namun prinsipil dan efektif) untuk melawan, yaitu: Mogok! Ternyata di
sudut relung benak kita, di balik berbagai selaput
mitos, beragam tudung bias, dan beberapa lapis kenyinyiran itu, masih tersimpan harapan bahwa
dengan mogok, kita bisa buat perubahan. Tan Malaka puluhan tahun lalu memang telah menyatakan
(Semangat Muda, 1926): “Senjata Feodalisme dan
Kapitalisme terutama Peluru dan Pedang. Senjata Proletar Industri ialah Agitasi, Mogok dan
Demonstrasi.”
Dua tahun setelahnya, yaitu di bulan ini, ada lagi
yang berteriak: Mari kita mogok! Konsolidasi
Nasional Gerakan Buruh (KNGB) yang terdiri dari berbagai serikat, federasi, dan konfederasi buruh di
berbagai wilayah di Indonesia, berencana melakukan
mogok nasional tanggal 28-30 Oktober 2013.
Merupakan langkah maju, seiring dengan memang
sedang bangkitnya politik kelas di Indonesia, bahwa
MoNas (Mogok Nasional) kali ini akan dilakukan oleh lebih besar lagi persatuan gerakan buruh
daripada MoNas tahun sebelumnya. Marx dan Engels
(Manifesto Komunis, 1848) pernah menulis, “Kadang-kadang kaum buruh memperoleh
kemenangan, tetapi hanya untuk sementara waktu.
Buah yang sebenarnya dari perjuangan mereka tidak terletak pada hasil yang langsung, tetapi pada
senantiasa makin meluasnya persatuan kaum buruh.”
MoNas ini sendiri merupakan lanjutan dari tuntutan-tuntutan gerakan buruh pada momen Hari Buruh
Sedunia 1 Mei 2013 yang belum digubris oleh
pemerintah (di antaranya: upah layak, hentikan sistem kerja outsourcing, dan selenggarakan jaminan
sosial universal).
Yang menarik dari berbagai isu seputar MoNas
adalah masih semaraknya #gagalpaham tentang
MoNas itu sendiri terutama di kalangan terdidik:
Mahasiswa. #gagalpaham itu terjadi diberbagai level, mulai dari apakah strategi mogok masih relevan,
apakah tuntutannya realistis, bahkan apakah
tuntutannya itu adalah hal-hal yang memang perlu dituntut (dan layak dipenuhi)! Kegelisahan yang
menghinggapi kami, redaksi Pamflet SEMAR UI saat
menyimak berbagai #gagalpaham yang berdengung
tersebut, membuat kami berusaha menanggapinya,
meluruskan beberapa mispersepsi, dengan harapan
tersingkaplah tirai-tirai kabut yang menyelubungi realita seputar MoNas yang akan dilakukan gerakan
buruh di akhir bulan ini.
Dalam Tajuk Utama, kami akan mengetengahkan
argumentasi mengapa tuntutan Mogok Nasional
tentang kenaikan UMR 50%, bukan sekadar layak dituntut, melainkan juga layak untuk dipenuhi.
Argumentasi ini akan ditopang dengan dua rubrik lain
yaitu “Obrolan Warung Kopi” a la “MasBro-MbakSis” dan “Merdeka 100%” dengan tema yang sama, dan
rubrik wawancara bersama Muchtar Guntur Kilat,
Presiden KSN-Konfederasi Serikat Nasional sebagai anggota dari KNGB. Selain itu, kami juga hadirkan
dua rubrik rintisan yaitu, pertama, “Pojok Teori” yang berusaha mengilmiahkan diskursus tentang teori
Marxisme di kampus, yang pada edisi kali ini
mengangkat pembahasan tentang “Nilai Lebih”. Kedua, “Telaah Hukum” yang kali ini berusaha
mereview kondisi hukum perburuhan kontemporer di
Indonesia. Mudah-mudahan beberapa sajian dalam Pamflet Edisi Ke-3 ini dapat mengatasi kegelisahan
kami dengan membantu memadamkan berbagai
#gagalpaham yang beredar.
“Dengan melalui aksi-aksi solidaritas, melalui
pemogokan-pemogokan simpati dan lain-lain bentuk aksi politik yang bisa dipahamkan, yang dapat simpati
dan disokong oleh massa yang luas, kaum buruh
Indonesia akan membajakan kesatuan berjuang dari massa, dan lambat laun akan tampil ke muka sebagai
pembela hak-hak dan kebebasan demokrasi, akan
tampil sebagai kampiun perdamaian, sebagai pemimpin, sebagai juru mempersatukan seluruh
golongan Rakyat dan sebagai pembangunan front
persatuan nasional.” (CC PKI dalam Kewajiban Front Persatuan Buruh, 1952)
Selamat membaca. Selanjutnya, selamat menanggalkan belenggu kehampaan eksistensial dan kebingungan
intelektualmu dengan cara bernalar, bertindak, dan
berlawan!
Kaum buruh (dan calon buruh; baca: mahasiswa)
sedunia, bersatulah!
2
SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA
Edisi 03/Oktober/II/2013
Pengantar Redaksi
Menuju Mogok Nasional Tahun
2013 Oleh Gesang Kinasih
Pada 28-30 Oktober 2013, Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (KNGB) akan melakukan mogok
nasional. Dalam mogok tersebut, buruh mengajukan
tiga tuntutan utama, yaitu naikan upah minimum 50% atau 3,7 juta untuk Jakarta, hapuskan sistem
kerja kontrak dan outsourcing dan wujudkan jaminan
sosial untuk seluruh orang Indonesia. Selain itu, juga menolak Inpres No. 9 Tahun 2013 Tentang
Kebijakan Penetapan Upah Minimum. Tulisan ini
berusaha memaparkan rasionalitas kenaikan upah buruh saat ini, alasan yang menjadi latar belakang
mogok dan posisi mahasiswa atasnya.
Rasionalitas Kenaikan Upah
Asumsi kenaikan upah secara rasional berangkat dari posisi upah riil yang semakin menurun dibandingkan
dengan tahun lalu. Penurunan ini disebabkan oleh,
salah satunya, karena kenaikan harga BBM 2013 yang mengakibatkan harga kebutuhan pokok,
kontrakan dan transport rata-rata naik 30%. Dengan
kenaikan itu, secara otomatis terjadi penurunan upah riil dengan angka yang sama. Artinya, upah yang
diterima oleh buruh pada tahun 2013 sudah
mengalami penurunan sebesar 30%. Selain itu, inflasi di tahun 2014 diperkirakan akan menyentuh di
atas angka 10%. Kemudian ditambah dengan
perkiraan pertumbuhan ekonomi sebesar 6.2%, yang tentu saja harus dinikmati oleh kaum buruh, karena
ada kontribusi buruh di dalamnya. Oleh karena itu,
asumsi kenaikan upah sebesar 50% adalah realistis
dan rasional.
Produktivitas buruh dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya semakin meningkat. Namun, upah riilnya
cenderung stagnan. Pada tahun 2001, produktivitas
buruh sebesar Rp 164,12 juta, sedangkan pada tahun 2010, produktivitas buruh mencapai Rp 490,62 juta.
(BPS, "Produktivitas Tenaga Kerja, 2001-2010,"
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?
kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=09¬ab=5.)
Dengan begitu terjadi peningkatan produktivitas
sebesar 199% di antara rentang waktu tersebut. Namun, hal itu berbeda dengan upah riil yang
cenderung stagnan. Bahkan pada tahun 2013 justru menurun sebesar 30%. Itu bisa dilihat pada tabel dari
BPS di bawah ini (BPS, “Upah Riil Industri di
Bawah Mandor (Supervisor),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?
kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=19¬ab=6.)
Dengan begitu, kenaikan upah sebesar 50% adalah
wajar sebagai bagian dari kontribusinya dalam peningkatan produktivitas. Namun, pengusaha sering
mengecam rencana buruh ini karena diyakini akan
membawa industri pada keadaan kolaps dan PHK besar-besaran terjadi, apalagi kondisi saat ini sedang
krisis. Namun sebenarnya, kenaikan tersebut, secara
real bisa diusahakan oleh pengusaha. Argumen industri akan bangkrut dan rugi sebenarnya hanyalah
keinginan pengusaha untuk tidak mau keuntungannya
berkurang.
Untuk mencari jawaban atas ini, kita harus lihat
bahwa nilai output atau keluaran hasil industri berasal dari lima komponen utama, yaitu (1) biaya
input, yakni biaya alat-alat produksi yang “habis
dipakai” dalam setahun produksi, seperti bahan baku, bahan bakar, dll; (2) penyusutan modal tetap atau
penyusutan nilai alat-alat produksi yang tidak habis
dipakai dalam setahun, seperti mesin-mesin, gedung, dsb; (3) pajak tidak langsung; (4) biaya tenaga kerja,
yang mencakup bukan hanya upah, tetapi juga imbalan pekerja lainnya, seperti bonus, tunjangan
sosial, dan lain-lain, dan (5) keuntungan bersih
pengusaha. (KNGB, “Kenapa Mogok Naisonal”
diunduh dari http://kngb-
portal.blogspot.com/2013/10/kenapa-mogok-
nasional.html). Dengan memeriksa komponen tersebut, bisa kita dapati bahwa kenaikan upah
pekerja sebesar 50% sebenarnya tidak akan membuat
mereka kolaps. Dengan menggunakan data industri sedang dan menengah dari BPS pada tahun 2012
saja, kita bisa lihat bahwa keuntungan bersih
pengusaha mencapai 34,52%. (BPS, ”Statistik Indonesia 2013”, http://www.bps.go.id/
hasil_publikasi/SI_2013/index3.php?pub=Statistik%
20Indonesia%202013). Bila menggunakan data yang sama, kemudian upah pekerja dinaikan 50% dan
inflasi dimasukan sebagai variabel sebesar 10%.
Maka keuntungan bersih pengusaha masih mencapai 25,92%. (KNGB, “Kenapa Mogok Nasional”, op.cit).
Pengusaha dalam hal ini tidak mengalami kerugian.
Mereka tetap untung. Jadi yang dimaksud kerugian
3
TAJUK UTAMA
SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA
Edisi 03/Oktober/II/2013
bagi pengusaha adalah menurunnya tingkat
keuntungan! Bukan dalam arti rugi sebenarnya,
apalagi kolaps.
“Yang dimaksud kerugian bagi
pengusaha adalah menurunnya tingkat
keuntungan! Bukan dalam arti rugi
sebenarnya, apalagi kolaps”
Namun, kenyataannya industri nasional tidak hanya berupa industri sedang dan besar. Kenaikan upah
50% diyakini sebagai malapetaka bagi industri kecil
dan mikro. Sumber daya mereka sangat terbatas untuk ikut menaikan upah buruh mereka sebesar
tersebut. Dalam kondisi demikian, maka menjadi
tugas dan tanggung jawab negara untuk mensubsidi sektor tersebut. Sehingga buruh yang bekerja di
sektor tersebut tetap dapat menikmati kenaikan upah
sebesar 50%. Oleh karena itu, dalam hal ini negara, tidak bisa tidak, harus terlibat dalam menyokong
usaha kecil, mikro dan menengah di Indonesia.
Kenapa Harus Mogok?
Mogok merupakan senjata pekerja yang paling ampuh untuk menuntut haknya. Dalam kapitalisme,
pekerja berada dalam posisi yang sentral. Tanpanya,
proses produksi komoditas tidak akan berjalan, sehingga proses akumulasi kapital juga tidak akan
tercipta. Kenaikan upah merupakan tuntutan paling
fundamental bagi seorang buruh. Karena itu merupakan sumber hidup satu-satunya, dan karena
posisi mereka yang tidak memiliki faktor produksi.
Dalam sejarah manusia, banyak kemenangan buruh yang diperoleh melalui mogok. Kita ingat, jam kerja
selama 8 jam adalah salah satu hasil perjuangan
buruh yang dilakukan dengan mogok. Sebelumnya jam kerja buruh sangat ekstrem dengan mencapai
durasi 12 -18 jam sehari. Pada akhirnya, jam kerja
yang lebih pendek itu bisa kita nikmati hari ini. Namun, banyak orang yang tak sadar dengan hal
tersebut.
Buruh selama ini telah melakukan usaha yang lebih
soft untuk memperjuangkan hak-haknya, termasuk
upah minimum yang layak dengan advokasi, lobi, protes kecil, dll. Namun, kondisi demikian tidak
membuat kondisinya berubah. Hal itu karena logika dasar pengusaha yang berfokus pada akumulasi
kapital dengan mencari keuntungan yang sebesar-
besarnya. Salah satu caranya dengan menekan upah buruh. Hukum umum yang berjalan dipikiran
kapitalis adalah saat upah rendah, maka keuntungan
akan meninggi. Dengan begitu, pengusaha tidak akan
mungkin sekonyong-konyong mau menaikan upah
pekerja.
Di sisi lain, negara justru lebih memihak pada
kapitalis. Kondisi ini dibaca sejak dahulu oleh Marx,
dengan menempatkan negara sebagai komite pengurus
kebutuhan kelas borjuasi. Pembacaan tersebut dapat
diihat dalam kenyataan sekarang, salah satunya, dari
program MP3EI yang menempatkan investasi swasta
sebagai core penggerak perekonomian nasional.
Sementara tugas pemerintah adalah menciptakan
kondisi yang kondusif bagi dunia usaha tersebut.
Berhubungan dengan program tesebut, Presiden
mengeluarkan paket kebijakan yang disebut “Paket
Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi”
yang dikeluarkan pemerintah pada 23 Agustus 2013
sebagai respon terhadap krisis Rupiah. ("Pokok-Pokok
Paket Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan
Ekonomi," http://www.ekon.go.id/press/view/pokok-
pokok-paket-kebijakan.189.html#.Uj8T8n_eLkw). Isi
paket kebijakan itu pada dasarnya adalah memberikan
insentif kepada investor dan melimpahkan beban krisis
pada buruh dan rakyat pekerja lainnya. Turunan dari
itu, Presiden kemudian mengeluarkan Inpres No. 9
Tahun 2013. Isi Inpres tersebut sangat membahayakan
buruh karena, pertama, meniadakan kenaikan upah
minimum yang bersifat lintas-sektoral (UMP/K) dan
hanya membolehkan kenaikan upah minimum sektoral
(UMSP/K) di daerah yang upah minimumnya masih di
bawah KHL. Kedua, meniadakan kenaikan UMP/
UMK di provinsi/kabupaten/kota yang upah
minimumnya sudah mencapai KHL atau lebih. KHL di
sini versi pemerintah, tentunya. Ketiga, membuka
peluang bagi tindak represi oleh kepolisian saat proses
penentuan upah minimum. (“Kenapa Mogok
Nasional”, op.cit)
Jadi, Mogok Nasional diperlukan untuk memaksa
pengusaha dan pemerintah agar mau mendengar
aspirasi kaum buruh untuk hidup sejahtera melalui kenaikan upah 50%. Sebenarnya, pengusaha tidak
akan rugi dengan membagi keuntungan mereka untuk kenaikan upah buruh sebesar 50%. Sekaligus
menuntut dibatalkannya Inpres No. 9 Tahun 2013.
Selain itu, juga untuk memaksa pemerintah menghapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing
dan menerapkan sistem jaminan sosial yang
menyeluruh tanpa syarat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengapa Mahasiswa Harus Mendukung Mogok
Nasional?
Mahasiswa dalam sirkulasi sistem kapitalisme merupakan bagian dari usaha reproduksi kelas
4
SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA
Edisi 03/Oktober/II/2013
pekerja. Reproduksi tersebut dijalankan dari sistem
pendidikan, dimana mahasiswa saat ini berada.
Sistem pendidikan bertujuan utama untuk selalu
menghasilkan kelas pekerja baru yang terdidik dan terampil sehingga bisa diitempatkan dalam
pembagian kerja yang semakin kompleks saat ini.
Bila mahasiswa adalah bagian dari proses reproduksi tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa mahasiswa
adalah calon buruh di masa depan. Dengan
demikian, tidak ada alasan untuk tidak mendukung
mogok nasional yang menuntut kenaikan upah ini.
Hal itu karena hasil dari kemenangan mogok, jika
berhasil, juga akan dinikmatinya di masa yang akan datang.
Selain itu, mahasiswa sebenarnya merupakan bagian
dari rakyat yang sedang menuntut haknya itu.
Mahasiswa dalam posisinya, bukanlah agent of
change atau seperti Jiban yang menjadi pembela
rakyat. Melainkan, ia sendiri adalah rakyat. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa saat ini harus
menggabungkan dirinya dengan gerakan rakyat di
sekitarnya, termasuk gerakan buruh supaya tidak jadi alien. Maka, momen ini bisa menjadi pintu awal dari
kemanunggalan (kembali) gerakan mahasiswa
dengan gerakan rakyat lainnya. Dengan itu, gerakan
mahasiswa akan kembali menemukan esensinya.
Dengan ini, saya tak bosan-bosannya untuk
menyerukan kembali, “Buruh (dan calon
buruh) di seluruh dunia, bersatulah !!!”
5
SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA
Edisi 03/Oktober/II/2013
Bayu Baskoro
Dua orang mahasiswa, Tole (T) dan Sukri (S), sedang
bercakap tentang nasib mereka di sebuah warung
kopi. Berikut adalah percakapan yang terdengar...
T : Bro, gw lagi kesel nih. Masa gebetan yang gw
incer lebih milih jadian ama orang lain, anak
orang pajak yang tajirnya tumpeh-tumpeh.
Kampret banget!
S : Yaelah hari gini masih aja galau yang begituan.
Daripada lu galau ato kesel, mending lu ikutan gw.
T : Ada acara apaan emangnya? Kalok itu bisa bikin
gw gak galau boljug tuh.
S : Ada aksi Mogok Buruh Nasional tanggal 28-30
Oktober nanti. Gimana tertarik gak? Kita sebagai
mahasiswa kudu mendukung organ gerakan rakyat
lain buat mencapai tujuan-tujuannya!
T : Lah bijimane urusannya? Emang apa urusannya
mahasiswa ama buruh-buruh yang pada mogok
itu?
S : Lah lu gimana sih, kan kita ini, mahasiswa, calon-
calon buruh semua ujung-ujungnya. Apalagi
mahasiswa, calon buruh berkualitas dengan
spesialisasi hasil pendidikan tinggi. Kita harus
sadar bahwa tenaga kita atau para pekerja itu tidak
sebanding dengan upah yang diberikan oleh para
pemilik sektor produksi. Tujuan dari Mogok
Nasional ini adalah untuk menuntut kenaikan Upah
Minimum Regional sebesar 50%. Kalo gak
direalisasikan, siap-siap saja para buruh akan
berhenti bekerja dan mogok beramai-ramai, dan
kita mahasiswa sebagai calon buruh harus
mendukung aksi ini!
T : Wah baru tau gw kalok kita ini emang calon-
calon buruh terdidik, bahkan dijerumuskan ke arah
spesialisasi suatu bidang lagi. Ini pasti kerjaannya
kaum-kaum kapitalis buat memenuhi suplai tenaga
kerja yang sesuai dengan kualifikasinya mereka,
dengan upah yang gak sebanding pula. Kurang ajar
betul!
S : Nah tuh paham lu! Sadar gak sih, mahasiswa
sekarang dituntut untuk lulus cepat, bahkan pada
usia muda banyak yang menjadi ahli spesialisasi
sebuah bidang? Itu karena para kapitalis mau
memperkerjakan mereka sedari mereka muda.
Supaya jangka waktu kerja mereka lebih panjang.
Udah berkualitas, usia kerja panjang, bayaran gak
sesuai sama pekerjaan, gimana gak seneng tuh para
kapitalis-kapitalis sialan itu!
T : Bener juga lo. Oke kayaknya gw bakal gabung
sama lo dan organ-organ rakyat lain buat menuntut
hak kita sendiri. Kita juga kudu memberi
pemahaman tadi kepada para mahasiswa
khususnya bahwa mereka itu calon-calon buruh
yang kelak bakal di tindas seperti layaknya buruh-
buruh yang akan mogok nanti. Biar mereka sadar
akan hal-hal ini.
S : Mantep, Bro! Lo kalok udah sadar akan hal
beginian gak bakal galau lagi. Soalnya gw juga
dulu pernah ngerasain pas gebetan yang gw taksir
di akuisisi sama senior tajir anak pengusaha. Ini
membuktikan teori materialistiknya Marx kalok
ekonomi sebagai basis mempengaruhi segala
aspek, bahkan dalam hal percintaan! Mending
milih yang lebih tajir kan daripada kita-kita yang
berasal dari kelas pekerja, yang makan 3 kali sehari
aja megap-megap! Hahahaaaa......
Obrolan Warung Kopi
Mukhtar Guntur Kilat: “Tidak Ada
Alasan Perusahaan untuk Tidak
Menyanggupi Kenaikan Upah!”
Wawancara Mukhtar Guntur Kilat (Presiden Konfederasi Serikat Nasional/KSN) dengan M.
Trishadi Pratama dan Ridwan Bukhari dari Serikat
Mahasiswa Progresif UI
Menurut Bung Mukhtar apa alasan buruh mogok?
Sebenarnya mogok yang dilakukan buruh secara
nasional ini, bukanlah kehendak buruh, tetapi kondisilah yang memaksanya. Karena penetapan upah
dari pemerintah hanya melihat dari aspek pemenuhan
kebutuhan fisik buruh dan itu untuk buruh yang lajang
(minimum). Padahal dalam penetapan upah harus
memenuhi aspek kebutuhan fisik dan sosial . Jika ini
dibiarkan, akan berdampak ke kehidupan buruh dan keluarganya. Anak-anak dari buruh akan menjadi
buruh kembali, karena upah yang diberikan hanyalah
untuk memenuhi kebutuhan makanan, dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan lain seperti pendidikan.
Banyak yang mengatakan bahwa aksi mogok nasional
yang menuntut kenaikan upah tidak rasional,
bagaimana menurut anda?
Pengusaha selalu mengaku tidak mampu untuk
menyanggupi tuntutan kenaikan upah oleh buruh.
Padahal, tidak ada alasan perusahaan untuk tidak bisa menyanggupinya. Ketika pengusaha tidak sanggup,
negara harus turun membantu perusahaan untuk
membayar upah buruh sesuai undang-udang, dimana negara menjamin perkejaan untuk rakyatnya dan
kesejahteraan rakyatnya. Pengusaha membayar upah
buruh sangat minimum. Mereka lebih banyak menggunakannya untuk mengupahi aparat atau tokoh-
tokoh sekitar pabrik, seperti ketua RT, RW, Tentara,
dan lainnya, yang bertujuan untuk meredam para buruh. Bahkan data terbaru, kenapa pengusaha rata-
rata anaknya sekolah di luar negeri, karena pengusaha
tidak punya beban. Pengusaha menggunakan biaya pabriknya untuk mebiayai anaknya sekolah. Lalu,
memasukan anaknya dalam pabrik dalam jabatan dan
upah yang tinggi. Maka, disini yang tidak rasional siapa? Pemasukan perusahaan yang dihasilkan buruh
malah digunakan untuk kepentingan lain, yang
seharusnya untuk menyejahterakan buruh. Pengusaha malah berdalih sedang merugi atau tidak sanggup
memenuhu tuntutan kenaikan upah, padahal
pemasukannya digunakan untuk membayar aparat dan keperluan pribadinya.
Apa yang melatarbelakangi aksi kali ini?
Yang pertama kenaikan harga BBM. Kenaikan harga
BBM ini mempengaruhi kenakan harga bahan pokok, dimana upah buruh sekarang sudah tidak cukup untuk
membeli kebutuhan bahan pokok. Kemudian yang
kedua inflasi yang membuat harga barang-barang pokok semakin mencekik.
Bagaimana persiapan mogok nasional kali ini?
Kita telah berkomunikasi di 20 provinsi yang telah
menyatakan siap. Sekitar 200 kabupaten dan kota telah menyetorkan datanya dan siap melakukan mogok. Di
Jakarta, kita kemungkinan akan menutup di empat titik
yaitu, Suntet, Cakung, Pulo Gadung, dan Tanjung Priuk.
Apa tuntutan mogok nasional kali ini?
Buruh menuntut kenaikan upah 50%, Mencegah
Privatisasi BUMN, karena jika BUMN diprivatisasi maka kontrol negara terhadap kebutuhan masyarakat
seperti listrik, BBM, dan lain-lain menjadi tidak stabil.
Kemudian penghapusan outsourcing, karena ini sebenarnya inkonstitusional. Kontrak kerja ini,
membuat kepastian kerja tidak ada. Padahal seharusnya negara memastikan pekerjaan untuk
rakyatnya. Yang terakhir Union Busting, atau
pemberangusan serikat buruh. Hal ini telah terjadi, banyak buruh yang diintimidasi di pabrik oleh
pengusaha, bahkan dilingkungan tempat tinggalnya
sendiri yang melibatkan RT dan RW.
Harapan pasca mogok nasional kali ini?
Kita bisa dapat membuktikan bahwa gerakan buruh
tidak bisa dipandang sebelah mata lagi oleh
pemerintah. Kebijakan pemerintah yang masih tidak
memperhatikan kesejahteraan buruh, akan membuat
pemberontakan yang semakin besar lagi. Kami juga
berharap gerakan buruh dapat dukungan dari gerakan elemen lain seperti mahasiswa, tani, perempuan, dan
miskin kota dan kemudian akan bergerak bersama
menuntut kesejahteraan.
Apa signifikansi mogok bagi gerakan buruh dan
pengaruhnya terhadap kondisi ekonomi politik?
Gerakan mogok ini akan sangat signifikan, karena
melihat kekuatan buruh yang akan melakukan mogok ini berjumlah lebih dari satu juta orang dan dilakukan
secara nasional. Hal ini akan membuat aktivitas secara
umum akan terhenti. Dengan berhentinya aktivitas secara umum, akan mempengaruhi terhentinya
ekonomi secara makro. Akhirnya, pemerintah harus
mengeluarkan kebijakan politik yang berorientasi pada kesejahteraan buruh.
6
SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA
Edisi 03/Oktober/II/2013
WAWANCARA
7
Nilai-lebih (Surplus-Value) sebagai
Sumber Keuntungan Kapitalis Oleh Rio Apinino
Salah satu tuntutan yang seringkali diperjuangkan kelas pekerja di seluruh dunia, utamanya kelas
pekerja di negara berkembang, adalah upah yang
layak. Hal ini pula yang kemudian menjadi salah satu tuntutan utama MOGOK NASIONAL yang
akan dilaksanakan kaum buruh di seluruh Indonesia
pada tanggal 28 sampai dengan 30 Oktober 2013. Selain tuntutan untuk menyelenggarakan jaminan
sosial bagi seluruh rakyat serta penghapusan sistem
kerja kontrak dan outsourcing. Hal ini tentu bukan tanpa dasar. Di tengah inflasi yang semakin
mencekik, harga-harga yang terus meroket dan
ketidakpastian hidup ditengah lautan kapitalisme yang memiliki ekses krisis yang terus berulang,
upah bagi buruh cenderung stagnan. Sedangkan di
satu sisi, kontribusi buruh terhadap ekonomi Indonesia selama ini cenderung meningkat[1].
“Nilai-lebih secara sederhana
adalah nilai yang dihasilkan oleh
kelas pekerja dalam memproduksi
komoditas dan diambil alih oleh
para kapitalis sebagai sumber
keuntungannya”
Bagaimana membaca tuntutan kenaikan upah ini?
tentu ada beragam analisis dan perspektif. Tetapi,
yang jelas adalah, kita sebenarnya sudah memiliki
seperangkat teori yang komprehensif tentang bagaimana kapitalisme, sebagai sistem ekonomi-
politik yang ada saat ini, bekerja. Dan teori tersebut
adalah Marxisme. Marxisme, terutama kritik ekonomi-politik-nya, memblejeti dan menelanjangi
cara kerja kapitalisme secara imanen. Dengan
mempelajari kritik ekonomi-politik Marxisme terhadap kapitalisme, kita akan menemukan
berbagai macam konsep yang vital dari kapitalisme.
Dalam esai ini, saya akan menjelaskan salah satu konsep kapitalisme yaitu nilai-lebih (surplus value).
Nilai-lebih secara sederhana adalah nilai yang dihasilkan oleh kelas pekerja dalam memproduksi
komoditas dan diambil alih oleh para kapitalis
sebagai sumber keuntungannya. Dengan memahami konsep nilai-lebih, kita akan secara lantang berkata:
ambil alih kembali nilai-lebih yang dirampas para
kapitalis!
Kerja Upahan
Kapitalisme adalah sistem ekonomi-politik yang
dikonstitusikan oleh relasi antara kelas kapitalis,
sebagai pihak yang memiliki alat-alat produksi, dan kelas proletar yang tidak memiliki alat-alat produksi.
Relasi ini merupakan hasil dari gerak sejarah dimana
sebelum kapitalisme ada, corak produksi yang
dominan adalah feodalisme yang di dasari pada
kepemilikan tanah[2]. Untuk dapat melanjutkan
hidupnya, seorang buruh, yang tidak memiliki alat produksi dan hanya memiliki tenaga di dalam dirinya,
terpaksa untuk menjual tenaga kerjanya tersebut
kepada pemilik alat produksi, yaitu kapitalis. Kemudian, buruh mendapat upah sebagai kompensasi
atas hasil kerja dan waktu kerja tertentu yang mereka
berikan. Dalam hal ini nampaknya kapitalis membeli kerja para buruh dengan uang, tetapi pada
kenyataannya, apa yang dijual buruh kepada para
kapitalis adalah tenaga kerja mereka. Kapitalis membeli tenaga kerja ini dalam waktu tertentu, entah
sehari, seminggu atau sebulan. Setelah membeli tenaga
kerja itu, kapitalis menyuruh buruh bekerja selama waktu yang telah ditentukan.
Mari membuat sebuah ilustrasi agar menjadi lebih
jelas. Misalnya, seorang buruh yang bekerja sebagai
pengrajin kayu dalam pabrik milik kapitalis. Buruh
mulai bekerja untuk mengubah kayu yang merupakan
bahan pokok menjadi perabotan-perabotan, misalkan
saja kursi atau meja untuk dibayar sebesar 50 ribu. Pertanyaannya, apakah upah sebesar 50 ribu tersebut
adalah bagian yang sudah ada di dalam meja dan kursi
atau dalam kata lain, di komoditas hasil kerjanya? Tentu tidak. Hal ini terjadi karena ada kemungkinan
meja dan kursinya tidak laku terjual di pasar, terjual
tetapi tidak memenuhi upah buruh, atau justru
mendapat untung yang berkali lipat lebih besar
daripada upah si buruh. Ketika meja dan kursi itu
belum selesai, buruh tukang kayu telah mendapat upahnya dari kekayaan si kapitalis yang telah ada
sebelumnya. Hal ini menujukkan bahwa apapun yang
terjadi pada kursi dan meja setelah diproduksi tidak ada sangkut pautnya dengan buruh tukang kayu karena
tenaga kerja tukang kayu telah dibeli dari kekayaan si
kapitalis. Oleh karena itu, apa yang dimaksud upah bukanlah andil buruh dalam komoditas yang
dihasilkannya, melainkan hanya sebagian dari faktor
produksi yang dimiliki kapitalis. Tak beda dengan mesin dan bahan baku seperti kayu sebagaimana
contoh di atas. Sebagaimana yang dijelaskan Marx,
“...upah bukan andil si buruh dalam barang-dagangan
yang dihasilkannya. Upah adalah sebagian dari
barangdagangan-barangdagangan yang telah ada, dengan mana si kapitalis membeli untuk dirinya sediri
SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA
Edisi 03/Oktober/II/2013
RUBRIK TEORI
jumlah tertentu tenagakerja yang produktif”[3]
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, buruh menjual
tenaga kerjanya dilakukan dengan terpaksa karena hanya hal itu yang bisa mereka lakukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kerja bukan
dilakukan untuk memperoleh meja dan kayu yang telah mereka ciptakan, namun buruh justru terasing
dari komoditas yang mereka hasilkan sendiri. Yang
dihasilkan dari mereka adalah, upah dari meja dan
kursi tersebut yang digunakan untuk membeli beras,
menyewa kontrakan murah, dan memenuhi
pendidikan anaknya yang semakin tidak terjangkau. Dalam pandangan kapitalis, buruh hanyalah salah
satu faktor dari berbagai macam faktor produksi
lainnya, yang telah ia beli untuk menciptakan komoditas dalam rangka akumulasi kapital.
“Dalam pandangan kapitalis,
buruh hanyalah salah satu faktor
dari berbagai macam faktor
produksi lain yang telah ia beli
untuk menciptakan komoditas
dalam rangka akumulasi kapital”
Proses Produksi dan Keuntungan
Dalam bagian sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana relasi kerja upahan sebagai bentuk relasi
produksi dalam kapitalisme. Seorang buruh, yang
tidak memiliki alat produksi, menyerahkan tenaga kerja mereka kepada para kapitalis untuk bekerja
dalam kuantitas waktu kerja atau kuantitas
komoditas tertentu untuk ditukarkan dalam bentuk
upah. Kapitalis mengkonsumsi tenaga kerja buruh di
dalam proses kerja. Bagaimana proses kerja dalam
kapitalisme? Marx menjelaskan,
“Proses kerja, atas suatu dasar kapitalis, mempunyai
dua kekhasan. 1. Pekerja bekerja dibawah kontrol kapitalis, 2. Produksi menjadi milik kapitalis, karena
proses kerja itu kini hanyalah suatu proses diantara
dua hal/barang yang dibeli oleh si kapitalis: tenaga kerja dan alat alat produksi”[4]
Lantas, bagaimana proses produksi komoditas itu terjadi dan darimana asal mula keuntungan dari para
kapitalis? Proses produksi komoditi, terjadi dengan
melibatkan buruh dan tenaga kerjanya untuk mengoperasikan alat-alat produksi lain seperti mesin
dan bahan-bahan bentah. Oleh karena itu, nilai
komoditas terdiri dari dua unsur (yang merupakan
faktor produksi): 1. Biaya untuk alat-alat produksi
seperti bahan mentah dan mesin-mesin, yang disebut
sebagai kapital konstan dan 2. Biaya untuk upah
buruh atau disebut juga kapital variabel. Adapun keuntungan merupakan unsur ketiga dari sebuah
komoditas selain kedua unsur ini. Lantas, darimana
sumber kentungan itu sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Marx memulainya
dengan mengkritik pandangan ekonom klasik Inggris,
David Ricardo. Bagi Ricardo, keuntungan berasal dari
proses pertukaran. Maksudnya, dalam proses
pertukaran, seseorang (kapitalis) yang menukarkan barangnya lebih tinggi daripada harga yang sebenarnya
akan memperoleh untung. Poin ini yang dikritik oleh
Marx. Dalam kapitalisme, semua penjual adalah juga pembeli dan sebaliknya, semua pembeli adalah juga
penjual. Karenanya, jika seorang bisa menjual barang
di atas harga produksinya, maka yang lain akan bisa melakukan hal yang sama. Maka, jika semua orang
menjual komoditas di atas biaya produksinya, tentu
tidak akan ada keuntungan umum yang diperoleh.
Berdasarkan kritik tersebut, bagi Marx, keuntungan
umum yang didapat kapitalis berasal dari
penghisapan nilai-lebih oleh yang dihasilkan oleh
kelas pekerja. Keuntungan ini hanya dimungkinkan jika ada faktor produksi yang mampu menciptakan
nilai, dan faktor ini hanya terdapat dalam buruh dan
tenaga kerjanya. Dalam membeli tenaga kerja buruh, dalam bentuk upah, kapitalis memperoleh hak untuk
menggunakan mereka dalam memproduksi komoditas
sesuka hati mereka. Dalam proses produksi ini, hanya buruh dan tenaga kerjanya sajalah yang mampu untuk
menciptakan nilai baru dari komoditas tersebut.
Misalnya, dalam contoh yang sama, seorang buruh tukang kayu lah –sebagai produsen sesungguhnya-
yang menciptakan nilai baru, yaitu nilai yang dimiliki
oleh meja dan kursi yang tidak dimiliki oleh bahan
mentahnya, kayu.
“Keuntungan umum yang didapat
kapitalis berasal dari penghisapan
nilai-lebih yang dihasilkan oleh
kelas pekerja”
Pertambahan nilai atau nilai baru yang dihasilkan seorang buruh dalam proses produksi selalu berjumlah
jauh lebih besar daripada total biaya yang dibutuhkan
untuk mengupah buruh. Menurut Marx,
“Sebagai suatu proses penciptaan nilai, proses kerja
itu menjadi suatu proses produksi nilai-lebih pada
8
SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA
Edisi 03/Oktober/II/2013
saat ia diperpanjang melampaui titik dimana ia
menyetorkan suatu ekuivalen (kesetaraan) sederhana
untuk nilai-tenaga kerja yang dibayar itu”[5]
Mari kita coba perjelas konsep nilai-lebih dengan
contoh. Misalnya saja, seorang buruh ditarget
mengerjakan 30 piece sepatu dalam sehari. Jika satu piece sepatu dijual seharga Rp 150 ribu, sedangkan
harga bahannya dan biaya-biaya lain sekitar Rp 100
ribu per piece, maka buruh tersebut akan memberi
Rp 50 ribu per piece per hari pada pemilik pabrik,
totalnya Rp 1,5 juta per hari. Sementara ia hanya
diupah sekitar Rp 85 ribu perhari (UMP DKI Jakarta). Jadi sebenarnya, sebelum menyelesaikan
piece kedua pun buruh dan kapitalis sudah impas.
Bahkan, sebagaimana kita lihat dalam ilustrasi di atas, buruh telah memberi keuntungan berlipat
ganda pada pemilik pabrik daripada upah yang
diterimanya. Tetapi, sekalipun sebelum menyelesaikan piece sepatu kedua buruh sudah
impas, ia tentu tidak diperbolehkan untuk berhenti
bekerja karena sistem kerja upahan mengharuskan ia bekerja selama 8 jam sehari. Dengan sistem kerja
upahan yang seperti ini, kapitalis akan terus
mengeruk keuntungan dari selisih antara biaya yang dikeluarkannya sebagai upah, dan nilai yang
dihasilkan buruh melalui kerja. Kalaupun pengusaha memberi “insentif”, jumlahnya jauh lebih kecil
daripada total nilai yang dihasilkan si buruh.
Mengambil contoh yang sama, seandainya pemilik pabrik memberi insentif sebesar 10 persen dari total
keuntungan yang diserahkan buruh, maka tiap buruh
akan mendapat insentif sebesar Rp 150 ribu sehari. Apakah ada kejadian seperti ini kita temui sehari-
hari? Pasti kita hanya bermimpi. Ketika kapitalis
memperoleh nilai baru sejumlah Rp 1,5 juta per hari lewat kerja buruh, buruh hanya dapat membeli
barang senilai Rp 85 ribu per hari setelah diupah.
Jadi, ada selisih sebesar Rp 1.415.000.
“Maka, keuntungan kapitalis, pada
dasarnya bersifat penghisapan atau
eksploitasi atas pekerja”
Selisih inilah yang disebut nilai-lebih. Dari sinilah
datangnya keuntungan –dan konsentrasi kekayaan di
tangan segelintir kapitalis. Maka, keuntungan kapitalis, pada dasarnya bersifat penghisapan atau
eksploitasi atas pekerja. Berapapun besar upah yang
buruh terima, tetap saja tidak akan sebanding dengan besarnya nilai-lebih yang buruh serahkan
pada kapitalis dalam produksi. Konsep upah,
sejatinya hanyalah agar buruh mampu untuk tetap hidup agar bisa tetap datang ke pabrik keesokan
harinya, dan tetap produktif serta mampu untuk
mereproduksi calon buruh baru. Sebagaimana
menurut Marx,
“Harga rata-rata dari kerja-upahan ialah upah minimum, yaitu jumlah bahan-bahan keperluan hidup
yang mutlak diperlukan untuk mempertahankan buruh
sebagai seorang buruh dalam hidup sekedarnya. Oleh karena itu, apa yang telah dimiliki oleh buruh-upahan
berkat kerjanya, hanyalah cukup untuk
memperpanjang dan melanjutkan lagi hidup yang
sekedarnya itu”[6]
Relasi Yang Timpang Akan Tetap Terus Ada
Selama Kapitalisme Ada
Berdasarkan pemaparan nilai-lebih di atas, dapat disimpulkan pada dasarnya sistem kerja-upahan yang
ada dalam moda produksi kapitalisme mensyaratkan
adanya ketimpangan dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan hanya dengan adanya ketimpangan itulah
kelas kapitalis akan tetap terus melakukan akumulasi
kapital. Bagaimana menyelesaikan relasi yang timpang ini? Satu-satunya jalan adalah mengambil-alih
faktor produksi, yang dalam sistem kapitalisme
dimiliki oleh segelintir orang, menjadi milik sosial
agar watak kelas-nya hilang dan menjadi watak
sosial. Hanya dengan jalan itulah penindasan dan eksploitasi kelas pekerja –yang merupakan kelas
mayoritas- melalui sistem kerja upahan, akan hilang.
Socialism, The True Path to
Liberate Working People!
Catatan Kaki
[1]Untuk data dan penjelasan yang lebih
komprehensif, silahkan dilihat tulisan dari Mohamad
Zaki Husein “Rasionalitas Tuntutan Kenaikan Upah
Minimum 50 Persen” di http://
serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/10/
kenaikan-upah-minimum-50-itu-rasional_10.html
[2]Untuk penjelasan tentang sejarah perkembangan
masyarakat lebih lanjut, silahkan lihat Karl Marx dan
Friedrich Engels “Manifesto Partai Komunis”
[3]Karl Marx. Kerja Upahan dan Kapital. Hlm. 5
(Terjemahan) diakses dari http://www.geocities.com/
edicahy/
[4]Friedrich Engels. Tentang Das Kapital. Hlm. 64
(Terjemahan) diakses dari http://www.geocities.com/
edicahy/
[5]Ibid. Hlm 66
[6]Karl Marx dan Friedrich Engels. Manifesto Partai
Komunis. Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1959. Hlm 57
9
SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA
Edisi 03/Oktober/II/2013
Aspek Negatif dalam Peraturan
Mengenai Serikat Pekerja pada UU
Nomor 13 Tahun 2003 dan UU
Nomor 21 Tahun 2000
Oleh Muthmainnah dan Nadya Demadevina Mahasiswi FH UI dan Anggota SEMAR UI
Penggaungan pembentukan serikat buruh sebagai salah satu cara untuk meningkatkan daya tawar
buruh di dalam hubungan industrial, baik secara
bipatride atau pun tripatride, menemui jalan yang tak mudah. Hal ini karena buruh sebagai pihak yang
cenderung ‘lemah’ tak hentinya menjadi alat
‘pemuas’ dalam pemenuhan kebutuhan untuk
mendapatkan laba yang maksimal. Suatu hal yang
secara sisi kemanusiaan menjadi ironis, di saat
posisi buruh bukan sebagai faktor produksi yang “mati” seperti tiga macam faktor produksi lainnya.
Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri bahwa buruh
akan selalui menemui posisi sulit dan teralienasi di tengah posisinya yang juga merupakan natuurlijk
persoon. UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sebagai kaedah heteronom seolah dipertanyakan kembali, apakah benar-benar telah
memuat hak-hak para buruh atau justru
mempecundangi mereka dengan mengemas kata-kata indah di berbagai pasalnya? Padahal sekali lagi,
dari itu kita tahu bahwasanya modern slavery
sejatinya belum dihapuskan dari praktik hukum ketenagakerjaan sehari-hari.
“Tidak bisa dipungkiri bahwa
buruh akan selalui menemui posisi
sulit dan teralienasi di tengah
posisinya yang juga merupakan
natuurlijk persoon” Pembentukan serikat buruh merupakan hal yang
sejatinya legal. Ini sejalan dengan apa yang
terkandung dalam Pasal 104 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Pasal 5 ayat
(1) UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/
Serikat Buruh yang menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh. Serikat pekerja/serikat buruh itu
sendiri dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh sebagaimana yang
dimuat di dalam Pasal 5 ayat (2) UU Serikat Pekerja/
Serikat Buruh.
Pendirian serikat buruh pun, menempuh proses yang panjang di dalam sejarah hukum ketenagakerjaan di
Indonesia. Ketika zaman Orde Baru, serikat buruh di
Indonesia secara jumlah sangat limitatif di tengah otoritas orba yang absolut. Hal ini tentu memberi
kerugian kepada kaum buruh itu sendiri. Pasca
reformasi, peraturan tentang pekerja diperbaharui.
Namun, apakah pasti selalu berpihak pada buruh dan
kesejahteraannya?
UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagkerjaan dan
UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Buruh/Pekerja
merupakan produk hukum dengan hierarki tertinggi bagi perburuhan, namun justru bisa menjadi blunder
bagi buruh itu sendiri di dalam pasal-pasal yang
memiliki muatan tentang pengaturan serikat pekerja. Hal itu diantaranya pada Pasal 104 UUK dan Pasal 5
UU Serikat Pekerja. Dengan UU tersebut, terutama
dalam peraturan mengenai serikat, terkesan menguntungkan buruh karena siapa saja bisa
mendirikan serikat. Kemudian, serikat dapat menjadi
sarana penampung aspirasi pekerja yang disebabkan oleh perbedaan pendapat diantara mereka, sehingga
dengan itu aspirasi semua buruh dapat diakomodasi lewat perkumpulannya masing-masing. Namun, hal
lain perlu diperhatikan dalam peraturan mengenai
serikat ini. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa diperbolehkan terdapat lebih dari satu serikat buruh di
dalam suatu perusahaan, dengan anggota minimal 10
orang. Sedangkan, setiap satu buruh hanya diperbolehkan bergabung di dalam satu serikat pekerja
saja. Alih-alih ditujukan untuk kondisi yang
demokratis, hal demikian sebenarnya justru bisa menjadi blunder bagi gerakan buruh.
“Alih-alih ditujukan untuk kondisi
yang demokratis, hal demikian
(diperbolehkannya ada lebih dari
satu serikat dan buruh hanya boleh
masuk dalam satu serikat)
sebenarnya justru bisa menjadi
blunder bagi gerakan buruh”
Oleh karena itu, jika ditelaah lebih jauh, pengaturan ini berpotensi membahayakan kaum pekerja, karena:
Rawan Manipulasi Pengusaha
Dengan adanya peraturan tentang serikat buruh yang
menghendaki terbentuknya lebih dari satu serikat
10
SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA
Edisi 03/Oktober/II/2013
TELAAH HUKUM
buruh di dalam suatu perusahaan, pengusaha dapat
dengan mudah menjadikan serikat buruh tandingan
(dalam bahasa kelas pekerja disebut Serikat Kuning)
sebagai boneka yang terdiri dari pekerja-pekerja kepercayaannya guna memperjuangkan aspirasi
pengusaha. Hal ini juga memungkinkan serikat
pekerja boneka tersebut dapat menarik mayoritas suara anggota pekerja karena sumber daya yang
dimilikinya. Akibatnya, serikat pekerja yang benat-
benar memperjuangkan kepentingan pekerja dapat
terdominasi oleh kondisi demikian.
“Bargain yang lemah bisa
menyebabkan kekalahan bagi
gerakan buruh”
Rawan Penggembosan
Hubungan antar organisasi di kalangan buruh sendiri
menjadi tidak stabil karena rawan penggembosan.
Hal ini dapat dilihat dengan membuat perumpamaan jika pada bulan ini serikat buruh A di perusahaan X
menjadi serikat buruh mayoritas, kemudian bulan depannya mayoritas serikat buruh A berpindah ke
serikat buruh B, otomatis akan memberikan peluang
dapat merubah perjanjian kerja bersama. Sehingga, stabiliasi setiap serikat buruh akan terus terguncang
dengan adanya keharusan yang memuat bahwa
setiap pekerja hanya boleh tergabung di dalam satu serikat buruh saja.
Prinsip Mayoritas
Ketika ada pengaturan bahwa serikat buruh dalam
satu perusahaan boleh lebih dari satu, tapi yang
berhak menyelenggarakan perjanjian kerja bersama
di perusahaan itu adalah serikat buruh yang
memiliki suara mayoritas, maka hal itu akan
menimbulkan kondisi dimana kepentingan buruh tidak terakomodasi secara holistik dalam perjanjian
kerja bersama. Hal ini diperparah dengan adanya
kondisi di mana perjanjian kerja bersama mengikat seluruh buruh, walaupun buruh tersebut tidak setuju
atau berposisi sebagai minoritas. Prinsip ini
menekankan persaingan diantara serikat buruh itu
sendiri. Kondisi ini bisa menciptakan situasi non-
kooperasi dan anti-solidaritas di antara serikat
pekerja di dalam pabrik, karena prinsipnya yang menang adalah yang kuat.
Posisi Daya Tawar dengan Asosiasi Pengusaha
Kondisi fragmented mempengaruhi serikat buruh itu
sendiri di dalam posisi daya tawarnya di hadapan
pengusaha dalam bernegosisasi atau pun penuntutan hak. Bargain yang lemah bisa menyebabkan
kekalahan bagi gerakan buruh. Hal ini karena
kondisi demikian dapat berpotensi menciptakan disintegrasi kepentingan di dalam kalangan buruh
sendiri. Akibatnya, itu bisa membuat pengusaha
melihat tuntutan para kaum pekerja dengan sebelah mata.
Demikian adalah penjelasan mengenai sisi negatif
dari aturan tentang serikat pekerja dalam suatu
pabrik. Dengan mengetahui ini, semoga menjadi pembelajaran bagi semua pekerja agar lebih taktis
dan strategis dalam menentukan posisi politiknya di
hadapan pengusaha. Tidak terbawa oleh situasi yang justru merugikan mereka. Hal ini membawa harapan
agar kekuatan kelas pekerja di Indonesia semakin
menguat, dan menang.
11
SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA
Edisi 03/Oktober/II/2013
12
SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA
Edisi 03/Oktober/II/2013